Pusara Waktu Profile picture
Jul 19, 2022 150 tweets 16 min read Read on X
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.III : Keluarga Yang Terusir

@IDN_Horor @bacahorror
#bacahorror #horor #KISAHNYATA
Yuk Lajut lagi~
...

Kegusaran begitu dirasa menusuk relung batin Dasio, setelah tahu siapa sosok Sanusi sebenarnya. Bayang-bayang kematian pun tetiba menghimpit pikiran, bersama dengan kengerian-kengeriannya.
Apalagi mulai detik itu ia telah masuk menjadi salah satu bagian dari perjanjian Sanusi, membuatnya semakin tercekat dalam keputus-asaan.

"Sampeyan wes dadi mandor lapangan kok lemes ngunu to, Kang?" (Sampeyan sudah jadi mandor lapangan kok lemas gitu to, Kang?)
Ucapan Kisman yang terdengar secara tiba-tiba, membuyarkan lamunan dan membuat Dasio tersadar. Ia kemudian menatap lekat-lekat sahabat sekaligus orang yang paling dekat dengannya sejak masih di kampung, dengan siratan ingin berbagi suatu beban
Namun untuk berucap menceritakan ihwal kepergiannya ke rumah Sanusi sampai harus menginap semalaman, lidahnya kelu terkunci. Membuatnya hanya bisa membuang napas panjang, mencoba melonggarkan timbunan menggumpal sebuah penyesalan.
Dasio selanjutnya mengalihkan pembicaraan tanpa menyinggung urusan dalam pekerjaan maupun yang berhubungan dengan Sanusi.
Sampai melihat sorot matahari yang semakin kukuh menembus dedaunan, Dasio dan Kisman mengakhiri obrolan mereka. Berjalan bersama meninggalkan tempat langganan Dasio, yang menjadi jugjugan saat dirinya ingin menyendiri.
Melihat seluruh rekannya telah siap bekerja setelah mengisi perbekalan tenaga, ada rasa sedih tersendiri menyusup tajam dalam batin Dasio. Ia ingin seperti mereka, bekerja tanpa harus terbebani sesuatu yang tak diinginkan.
Namun takdir berkata lain, entah karena alasan apa ia terpilih menjadi satu dari beberapa orang yang harus berjalan di belakang sosok bernama Ndoro Agung.
Tak lagi berteman lumpur dan kucuran keringat, bukan berarti membuat Dasio terenakan. Seperti siang itu, meski banyak bekerja di tempat teduh, mengawasi seluruh pekerjaan Proyek, rasa lelah tetap saja menyaru tubuhnya.
Bukan ke barak kali ini ia pergi beristirahat, melainkan ke sebuah gudang yang letaknya tak jauh dari kantin Mak Nap, yang kini menjadi tempat singgah utamanya.
Selesai mengatur beberapa urusan menyangkut material, Dasio kemudian menghampiri kantin. Deretan makanan khas buatan tangan, tampak masih rapi di atas laman bertilam daun jati, serta dua gelas kopi yang sudah kosong terlihat di atas meja, menjadi pemandangan pertama Dasio.
Sembari tangannya meraih satu buah jajanan terbungkus daun pisang, Dasio memanggil Mak Nap. Sebentar saja, sosok wanita tua itu kemudian muncul dengan raut wajah sangat berbeda dari biasanya.
Kerlingan aneh lalu menyurut pada ujung bola mata wanita berumur seujung pangkal itu, ketika menatap datar Dasio. Tak ada senyuman, justru seakan ada ketakutan yang tersembunyi di balik wajah keriputnya.

"Kenapa, Mak?" tanya Dasio yang menyadari sikap aneh Mak Nap.
Saat itu hanya gelengan kepala yang diberikan oleh Mak Nap sebagai jawaban. Dan tak lama kemudian, kakinya berayun ke dalam, dan kembali dengan segelas kopi yang menjadi jatah pasti Dasio.
"Mak dak nyangka kamu secepat ini terpilih. Satu pesan, Mak. Jangan libatkan keluargamu." ucap Mak Nap masih dengan posisi berdiri setelah meletakkan gelas berisi kopi panas di atas meja.
Dasio tercenung sejenak. Mencoba menebak bila yang dimaksud oleh Mak Nap adalah tentang kejadian di rumah Sanusi.

"Dari mana Mak bisa tau semuanya?" sahut Dasio.
Bukan sunggingan senyum yang ditunjukan oleh Mak Nap saat itu, tetapi pandangan lurus ke depan tanpa arah, memutar ingatan akan sesuatu hal yang lain.

"Sebelum kamu datang, pekerjaan ini sempat terhenti. Sungai tenang, tak ada darah tertumpah...."
Mak Nap terlihat menatap kosong jauh ke depan, seperti berat mengingat sebuah kejadian yang tidak ingin diceritakannya, sebelum kemudian dia meneruskan bercerita.
"Belum genap satu tahun ini, sungai kembali bergolak. Menagih janji dari sebuah perjanjian." Mak Nap masih dengan tatapan ke arah luar, berucap dengan kemurungan.
"Apa ada hubungannya dengan Ndoro Agung?" sahut Dasio.

Seketika Mak Nap memgalihkan tatapannya pada Dasio, saat mendengar pertanyaan itu. Kilas keterkejutan terbubuhi rasa takut, kentara menggaris pada wajah sepuhnya.
"Kamu sudah tau awalannya. Itu artinya tak lama lagi seluruh penghuni di sini akan kamu kenal. Mak berharap sekali ini saja terjadi, agar kelak anak cucu menikmati pengorbanan dari leluhurnya, tanpa kengerian."
Selesai mengucapkan itu, Mak Nap tetiba menunduk kemudian berlalu. Meninggalkan Dasio yang sebenarnya masih ingin bertanya menyahuti.
Dasio baru sadar alasan kepergian Mak Nap ke dalam, oleh karena kedatangan satu sosok penuh wibawa. Seseorang yang telah merubah jalan hidupnya dengan sebuah janji yang terpaksa harus diikuti.
"Mengko sore ono rombongan wong kerjo, sementara manggone dadi siji karo batirmu. Koe iso turu nang kantor gudang." (Nanti sore ada rombongan orang kerja, sementara tempatnya jadi satu dulu dengan temanmu. Kamu bisa tidur di kantor gudang.)
Tanpa basa-basi, Sanusi, yang baru datang langsung masuk dan berucap pada Dasio. Tatapanya dingin, mengitari sekilas sudut dalam kantin.
Dasio yang ikut berdiri segera mengangguk, tanpa berani beradu pandang. Nyalinya menciut saat berdekatan dengan Sanusi, yang selalu membawa aroma Gondoriyo.
"Aturen wong sewelas mengko masalah gaweane. Koncomu tetep nggarap pancang pilar seng arep dicor. Limang pancang pinggir kene usahakne kudu siap telung dino neh. Mergo Pak Narodo arep rene."
(Atur orang sebelas nanti masalah pekerjaannya. Temanmu tetap mengerjakan pancang pilar yang akan dicor. Lima pancang pinggir sisi kiri usahakan harus selesai tiga hari lagi. Karena Pak Narodo mau ke sini.)
Lagi-lagi Dasio hanya mengangguk pelan. Menyanggupi perintah, tanpa bertanya. Namun satu nama yang disebut Sanusi tertinggal dalam pikirannya. Nama besar yang diucap dengan hati-hati oleh Sanusi, menunjukkan keseganan dan hormat yang terkandung di dalamnya.

"Mak Nap!"
Tegas, suara Sanusi memanggil dan tak berapa lama bersambut wajah tua Mak Nap yang datang dari ruang belakang. Berjalan sedikit membungkuk, wanita sepuh itu menyahut pelan seruan itu.

"Setanggi pucuk tilam, siapkan tiga hari lagi."
Setelah mengucapkan itu, tanpa menunggu jawaban Mak Nap, Sanusi keluar dari kantin. Menyisakan tanda tanya panjang dalam benak Dasio, tentang apa yang ia lihat dan dengar baru saja.
"Mak, siapa Pak Narodo?" tanya Dasio setelah punggung Sanusi tak lagi terlihat dari pandangan mata.

"Nanti kamu akan tau sendiri. Bukan kuasa Mak, menjelaskan. Dan pasti kamu bakal mengenalnya dekat." jawab Mak Nap dengan suara serak sebelum melangkah kembali ke belakang.
Dalam pikiran tak menentunya, Dasio kemudian meninggalkan Kantin. Sampai menjelang sore, beberapa ganjalan yang belum terjawab, masih mengganggu dalam benaknya.
Memasuki waktu menjelang Maghrib, sebelas orang yang telah dijanjikan Sanusi akhirnya tiba, mereka berasal dari satu provinsi dengan Dasio, namun berbeda kota.
Kesebelas laki-laki yang rata-rata berumur di bawah 40-an itu menempati barak yang sama dengan Kisman, yang memang lebih dari cukup untuk menampung mereka semua.
Perkenalan saling beramah tamah pun terjalin begitu akrab, tanpa sekat oleh karena satu tujuan, bersama menjadi pejuang untuk keluarga masing-masing.
Berbasa-basi beberapa saat sambil memberi arahan, Dasio yang harus tinggal di kantor gudang, kemudian meninggalkan barak. Menyusuri gelapnya malam dan kesunyian area proyek, yang sebenarnya belum masuk waktu larut.
Dasio melangkahkan kakinya dengan gontai, diiringi perasaan was-was, karena kini dirinya selalu merasa diikuti. Tak hanya oleh suara tapakan yang tak terlihat pemiliknya, tetapi juga selalu terendus aroma wewangian khas sebuah pemujaan.
Beberapa kali Dasio sempat menoleh, melirik ke arah belakang. Namun hanya gumpalan kabut tipis berhawa sejuk menembus jaring-jaring pakaiannya yang terlihat.
Sampai di dalam ruangan khusus yang tak lebih dari tiga meter persegi bersebelahan dengan gudang material, Dasio merebahkan tubuhnya. Menatap langit-langit beratap balok dan asbes, melayangkan pikiran tak terarah.
Kerjap-kerjap mata Dasio hampir saja mengatup lelap, tetapi harus kembali terjaga, kala hawa sangat dingin dirasa menusuk ngilu sendi-sendinya. Bukan hanya karena malam yang terus beranjak, namun dingin yang menyentuhnya terasa berbeda dari biasanya.
Cukup lama Dasio bersedekap dalam balutan selimut. Dan belum lepas dari keanehan itu, Dasio harus berjuang menepis aroma amis darah bersama iringan derap langkah ramai mengitari luar kantor gudang.
Tak mampu lagi bertahan dalam kebekuan, Dasio memiliih bangun, duduk di sudut ranjang berkasur kapuk. Mendengarkan dengan seksama langkah-langkah menjejak, berputar tanpa jeda.
Seiring rasa dingin yang kemudian berangsur-angsur mereda, aroma amis justru tercium semakin menyengat. Membuat Dasio merasakan isi dalam perutnya teraduk cepat, sebelum akhirnya menyesak keluar.
Berselang beberapa detik, dalam keadaan napas yang masih terengah-engah, tiba-tiba tubuh Dasio tersurut mundur. Kembali ke sudut ranjang, dengan mata melotot menatap ke arah depan.

"Caaappp ... Cappppppp ... Caapppp...."
Berkali-kali, berulang-ulang, suara kecapan dari lidah-lidah hitam panjang yang tengah menjilati cairan merah di lantai tanah bekas muntahkan Dasio, terdengar jelas.
Mereka berebut, menghimpitkan kepala tanpa badan satu sama lain, serta menyatukan rambut-rambut hitam sangat panjang seperti tak berujung.
Selesai dan tak bersisa, beberapa kepala tak berleher diam menatap ke arah Dasio. Lalu menyungging tawa ngikik, memperlihatkan deretan gigi runcing berwarna hitam pekat.
Pemandangan mengerikan itu harus dinikmati oleh Dasio sampai beberapa lamanya. Baru berakhir ketika potongan kepala-kepala itu melayang bersama, menyeret juntaian rambut-rambut mereka yang bergulung menyatu, keluar dari kamar.
Hempasan kelegaan kemudian meredakan ketegangan dan gerak dada Dasio yang kencang naik turun. Sekira puluhan desah napasnya yang mulai teratur, tubuh kokohnya terhenyak membaring.
Matanya tak lagi mengerjap. Pucat wajahnya pun semakin mempias, kala kernyitan keningnya menonjol kuat, memikirkan darah yang ia muntahkan.
Sebentar tangan Dasio meraba bagian dada hingga ke perut. Semua terasa biasa, tak ada rasa sakit sedikitpun, membuatnya semakin bingung dengan keadaan dirinya sendiri.
Lama berpikir tak menemukan jawaban, Dasio kemudian memilih untuk menutup matanya. Tetapi satu bayangan kemudian hadir menyusup, memanggil dengan suara menyayat.

"Parti...!"
Pekikan keras tiba-tiba terlontar memanggil sebuah nama keluar dari tenggorokan Dasio. Wajahnya yang masih pucat lalu menengadah, bersamaan tubuhnya yang sedikit bangkit.
Pancaran kecemasan menggurat jelas di wajah kerasnya. Mengisyaratkan kekhawatiran sangat, akan satu sosok yang ia panggil Parti, yang tak lain adalah nama Istrinya sendiri.
Batinnya saat itu juga bertarung antara percaya dan tidak, bahwa yang hadir membayang di pelupuk matanya benar-benar satu kejadian yang menimpa Istrinya.
Meski pun ia tau bila sang Istri berada jauh di kampung halamannya, tetapi kilas kejadian yang baru saja menyusup, terasa begitu nyata.
Alih-alih untuk tidur menenangkan, Dasio justru bangkit dari pembaringan, berjalan pelan keluar dari kamar.
Sunyi berselimut kabut saat itu suasana alam luar. Sangat gelap, bahkan kerlipan cahaya lampu dari gudang yang terletak di sebelahnya tak tertembus oleh matanya.
Sebuah bangku kecil dengan meja bulat dari triplek menjadi tujuan Dasio. Duduk dengan pikiran tak menentu, membuatnya merindui keluarga di kampung sebrang nun jauh.
Berpikir sampai di situ, lagi-lagi klebatan bayangan Istrinya yang ia lihat meronta dari siksaan sesosok wanita tua, kembali hadir.
Sangat terang bayangan itu, juga sangat jelas teriakannya yang melengking, manakala sosok wanita tua menancapkan kuku-kuku hitam panjangnya di leher Istrinya.

"Crringgg ... Crriingg ... Crringgg...."
Dasio terhenyak. Suara jangkahan kaki layaknya menyeret besi beradu, membuyarkan lamunannya. Keresahan yang sempat mendalam, tetiba luntur berganti ketegangan.
Lebih mendekat, derap gemerincing makin menusuk telinga. Matanya tak lepas menyorot lurus ke arah munculnya suara itu, menembus kabut-kabut tipis yang pelan melayang.
Ketegangan yang memuncak dirasakan oleh Dasio, sebentar kemudian berubah menjadi cekaman mencengkram. Menilik satu bayangan, sebuah sosok berjalan merangkak, mendekat ke arahnya yang sedang berdiri tegang.
Sosok itu seketika menjadikan tubuh Dasio gemetar hebat. Aliran darahnya seolah terhenti, mengetahui bila sosok yang ia sempat lihat dalam bayang-bayang menyiksa Istrinya, kini nyata ada di hadapan.
"Koe kudu nompo opo seng wes dadi kapesten. Ojo nggetuni seng mbok kekno. Iku dadi taline batin antarane koe nang Ndoro Agung." (Kamu harus menerima apa yang sudah jadi kepastian. Jangan disesali yang kamu beri. Itu menjadi ikatan kuat batin antara dirimu kepada Ndoro Agung.)
Mendengar, tetapi tak paham makna apa di balik ucapan sosok wanita tua yang berjalan merangkak dengan kuku-kuku hitam panjangnya yang dijadikan penyangga.
Selanjutnya sosok wanita berkulit keriput lekat pada wajahnya itu, lebih mendekat ke arah Dasio. Menderaskan kucuran keringat oleh rasa ngerinya, ketika melihat begitu dekat wujud sosok itu.
Mengendus-ngendus sebentar, kemudian menancapkan kuku-kukunya pada dinding papan, sosok yang tertutup seluruh bagian punggung sampai kaki dengan rambutnya kembali merangkak ke atas. Tanpa bersuara, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun, kecuali aroma Gondoriyo yang menyengat.
"Ilingen! Bakor Setanggi kudu mbok siapke saben-saben dino bancaan! maneh jenang putih sak gulungan kanggo suguhan Ndoro Agung!"
(Ingatlah! Bakor Setanggi (Sesaji penuh) harus kamu siapkan tiap-tiap hari perjanjian! Juga jenang putih beserta wadahnya untuk persembahan Ndoro Agung!) Seru satu suara serak tak berwujud, menggema nyaring di telinga Dasio.
Terduduk lemah, tak tahu harus berbuat apa, Dasio merutuki dirinya sendiri. Menyesali semua yang ia alami akibat dari kebodohannya.

"Tung, tung, tung.... Tung, tung, tung...."
Selagi dalam kubangan membauri penyesalan, Dasio kembali terkesiap mendengar suara kentongan dari arah Sungai.
Pukulan yang berirama pada tiap-tiap tiga kali ketukan dirasakanya sangat aneh. Tak hanya suaranya yang memantul mengalun pelan, tetapi juga seperti tengah berjalan memutari sekitaran area pancang.
Terusik bunyi yang terus menerus berulang dengan ketukan irama yang sama, Dasio pun bangkit. Memberanikan diri berjalan keluar, mendekat ke arah tanggul.
Alam malam yang membatasi penglihatan, memaksa Dasio untuk terus mendekat, mendekat, mendekat, lebih mendekat. Melangkah pelan penuh hati-hati, hingga sampai di tumpukan material pasir dan koral yang hanya berjarak sepuluhan meter dari sumber suara.
Tepat ketika kaki Dasio berhenti memijak, irama kentongan pun mereda. Berganti dengan keheningan, menyambut beberapa obor muncul dari pondokan kecil sebrang tanggul, beserta dengan derap beberapa langkah kaki.
Pandangan Dasio semakin terpancar ketat, manakala dari cahaya obor samar terlihat tiga wajah bertutup topeng kain hitam. Setengah berlari ketiganya terlihat menuju ke bawah, atau tepatnya ke arah pancang-pancang pondasi.
Detik-detik berikutnya Dasio masih diam menunggu dalam ketegangan. Matanya terus mengikuti gerakan tiga sosok berpostur tegap yang telah berada di salah satu lubang persegi, berada persis di paling tengah.
Siuran angin pelan akhirnya merebakkan aroma amis darah yang menguap dari arah area pancang pondasi, manakala tiga sosok membuka tentengan mereka masing-masing.
Dasio yang membaui seketika langsung menebak bila isi dari bungkusan yang mereka buka sebelum melemparkan ke dalam lubang pancang, adalah potongan kepala seperti yang pernah ia lihat. Tetapi yang membedakannya kali ini, tak terlihatnya sosok tua Mbah Sakar berada di tempat itu.
Cukup lama tiga sosok lelaki yang kesemuanya berbalut kain hitam berada di tempat itu, meski bungkusan yang mereka bawa telah terlempar.
Mereka baru bersikap tegak berdiri, saat dari belakang muncul kerlipan cahaya senter tangan disorotkan oleh satu sosok yang berjalan mengiring sesosok lelaki bertubuh tinggi di depannya.
Kilas cahaya obor yang memantul, sepintas menerangi wajah dua sosok itu. Menjadikan tubuh Dasio semakin menunduk berupaya mengenali wajah keduanya yang tak bertutup.

"Pak Sanusi!" gumam Dasio lirih.
Meski tak begitu membuat Dasio kaget akan kehadiran Sanusi, namun hal itu menjadikan ketakutan tersendiri.
Sebab ia tau bila dirinya sudah terpaksa menjadi bagian dari ritual TUMBAL SERIBU KEPALA. Yang artinya, cepat atau lambat, dirinya bakal mengalami seperti yang kini ada di depannya.

***
Bersambung....

Buat yang mau support atau gak sabar pengen baca Bab III ini sampai selesai, bisa langsung ke karyakarsa, dan jangan lupa di follow juga ya temen2 :))

Thank You~

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Yuk Lanjut~
Menatapi Sanusi yang sedang menaburkan bunga ke dalam lubang pancang, nyiuran nyeri menyelubung dalam dada Dasio. Ia pun segera membalikkan badan yang mulai terasa panas, entah dikarenakan oleh sebab apa.
Baru saja berpaling, tetiba wajah Dasio mencekung terkejut. Langkahnya tertahan oleh sesosok bayangan putih, yang berdiri tegak sekira empat puluhan langkah dari tempatnya.
Tak sempat bagi Dasio untuk menghindar, ia pun hanya terpaku saat sosok itu melangkah maju mendekat ke arahnya.
Langkah sosok itu terlihat begitu ringan. Tak sedikitpun terdengar tapaknya menyentuh tanah becek, padahal jelas bagi mata Dasio melihat ayunan berganti dari dua kaki sosok itu.
Sadar akan keanehan pada sosok itu, Dasio berangsur pelan mundur. Tetapi tak cukup baginya untuk menghindar, atau menyimpangi hampiran sosok yang ternyata wujud seorang wanita.
Dasio terkesiap, tubuhnya terasa lumpuh, manakala sosok bergaun putih bersih dengan tebaran aroma wangi kasturi sudah berada tepat di hadapannya. Menatap dengan sorot nyalang, seirama dengan dengusan napas menderu yang keluar dari hidungnya.
"Panguranmu sudah diterima Ndoro Agung. Bukalah jalan pengabdianmu."

Lembut, sangat lembut suara sosok wanita itu bertolak dengan raut wajahnya yang terlihat bengis menakutkan.
Namun bagi Dasio tetap saja menyiutkan nyali, apalagi ketika sosok itu berlalu melewatinya seraya tertawa lirih ngikik, meyakinkan dirinya bila sang Wanita bukanlah seorang manusia.
Melayang menuju pancang yang sudah ditinggalkan Sanusi, Mbah Sakar dan tiga orang bertopeng, Dasio bersempat menatapi punggung sosok itu. Membangkitkan ingatannya, bahwa telah dua kali ini ia melihat.
Aroma kasturi dan pantulan tawa segera memudar bersama hilangnya sosok itu di sekitaran area pancang. Membuat Dasio buru-buru bergegas melangkah cepat, kembali ke kantor gudang yang telah menjadi tempat tinggalnya.

"Dari mana, Pak?"
Satu sapaan tiba-tiba menghentak Dasio saat baru saja sampai di halaman gudang. Antara kaget dan curiga, ia menatap lekat pada seorang lelaki muda, yang juga tengah memandang ke arahnya.
"Siapa kamu?" jawab Dasio setelah yakin bila yang berada di hadapannya, benar-benar Manusia.

"Saya Jayadi, Pak. Penjaga gudang baru." sahut lelaki berperawakan sedang, berkulit kuning bersih.
Dasio akhirnya terangguk, mengiyakan ucapan pemuda bernama Jayadi. Sebab dirinya tahu, bila memang proyek sedang mencari penjaga gudang, menggantikan penjaga lama yang berhenti tanpa sebab, juga tanpa alasan yang jelas.
Kerut kelegaan pun langsung menghiasi wajah Dasio saat itu juga. Setidaknya dirinya mempunyai seorang teman untuk menemani ketika malam telah larut, khususnya malam itu.
Membuatnya bisa melepas rasa lelah, melupakan rasa ngeri dan takut yang menguasai batin beberapa saat sebelumnya, sebelum kedatangan Jayadi.

Berselang pagi hari, saat songsongan kilau cahaya matahari menyapa alam semesta, mendadak Dasio tersusupi keinginan untuk pulang.
Hal itu semakin berat untuk ia tahan, ketika waktu memasuki siang menjelang sore. Tepat saat senja berpadu dengan liringan suara serangga malam, tak kuasa lagi Dasio untuk menyimpan.
Berjalan menuju barak rekan-rekannya, Dasio bersemangat dengan tekad membulat. Tak perduli dengan larangan yang ia bayangkan akan didapat dari Sanusi, mengetahui keinginannya untuk pulang sekedar melepas kangen.
Keraguan untuk meminta ijin langsung sejenak melewati benak Dasio, saat berhadapan dengan Sanusi yang kebetulan berada di barak setelah ikut menghantar kedatangan sebuah alat pengeruk tanah baru. Namun saat Sanusi bertanya, ia pun memberanikan diri.
"Ono opo, Das? koyone lesu ngunu?" (Ada apa, Das? sepertinya lesu begitu?) tanya Sanusi, yang baru saja mencuci tangan dengan air jernih dalam kemasan.

Dasio sebentar menunduk, lalu mengedar pandangan sekeliling, sebelum mengungkapkan niatnya.
"Aku pingin muleh, Pak." (Saya ingin pulang, Pak.) sahut Dasio mengucapkan keinginannya.
Tak seperti apa yang dibayangkan, Dasio melihat utasan senyum tersembul dari bibir Sanusi mendengar ucapannya. Lalu mendekat ke arahnya, menepuk pelan pundaknya seraya berucap mengiyakan.
"Iyo, Das. Aku ngerti koe wes kangen karo keluargamu. Sisok budalo, muleh rene, ajak sekalian anak bojomu." (Iya, Das. Saya tau kamu sudah kangen dengan keluargamu. Besok berangkatlah, pulang ke sini ajak sekalian anak dan istrimu.) timpal Sanusi pelan.
Setelah itu, Sanusi berjalan menuju mobil mewahnya yang terparkir di depan barak. Sebentar kembali dengan membawa sebuah amplop putih dan menyerahkannya pada Dasio.
Sedikit enggan tangan Dasio awalnya untuk menerima, tetapi melihat anggukkan kepala Sanusi berulang sampai tiga kali sebagai isyarat agar tak menolak, tangan Dasio kemudian mengulur.
Sepeninggalan Sanusi, Dasio tercenung. Dirinya yakin bila segepok uang yang diberikan olehnya bukanlah tanpa jasa. Namun pulang dari perantauan dengan membawa hasil, tentu akan menjadi kebahagiaan, kebanggan tersendiri bagi keluarganya.
Menimbang hal itu, hempasan napas rela menyertai kakinya mengayun masuk ke dalam barak.

"Sampeyan arep pirang dino nang omah, Kang?" (Sampeyan mau berapa hari di rumah, Kang?)
Belum sempat menghenyakkan pantatnya, satu pertanyaan terlontar dari Kisman. Menatap sebentar, Dasio lalu duduk di tepian panggung barak, menyebelah di antara Kisman dan Nanang.

"Gung weruh, Man." (Belum tau, Man.) jawab Dasio.
"Lha mau jare Pak Sanusi kok paling suwi seminggu Sampeyan muleh?" (Lha tadi kata Pak Sanusi cuma seminggu paling lama Sampeyan pulang?)

Nanang, yang baru saja membakar sebatang rokok pun kemudian ikut bersuara.
"Mosok Pak Sanusi wes muni ngunu?" (Masak Pak Sanusi sudah bilang begitu?) tanya Dasio heran, sebab dirinya tak merasa mengatakan lamanya waktu untuknya di kampung halaman.
"Lha, piye to Sampeyan? Bukane muleh iku tujuane njikok Mbak Parti karo Darmono?" (Lha gimana Sampeyan? Bukannya pulang itu tujuannya jemput Mbak Parti dengan Darmono?)
Kali ini perkataan Kisman tak cuma membuat heran, tapi juga menyulut kekagetan Dasio. Menjadikannya merasai keganjilan dari semua ucapan Sanusi yang disampaikan pada rekan, terutama Kisman dan Nanang.
Tak mau terlampau jauh pembicaraan yang membuatnya tak nyaman, Dasio mengalihkan topik, memilih dengan obrolan ringan tentang keceriaan di kampung mereka.
Puas dengan canda tawa bersama rekan sekampung dan beberapa pekerja baru, Dasio kemudian berpamitan untuk kembali ke kantor gudang.

Di pagi hari, tepat di jam yang sama ketika dulu mengantar Salim dan Nadir, Dasio pulang ke kampung halamannya dengan menumpang sebuah Bus.
Satu hingga dua jam duduk di kursi bagian tengah dalam Bus yang melaju kencang, Dasio masih dirundung kegelisahan. Terpancar dari sorot mata sayunya menatapi tepian jalan dari kaca jendela, memunculkan gurat-gurat tak tertebak.
Sekira telah menempuh beberapa puluh kilometer, Bus yang ditumpangi Dasio pun berhenti di sebuah rumah makan. Tak lebih dari setengah jam, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Siuran rasa ngantuk akhirnya menuntun mata Dasio untuk terpejam, saat Bus baru berjalan beberapa menit. Menghantarkan dirinya pada kilas balik beberapa kejadian mengerikan yang telah ia lalui, memaksa tubuhnya untuk berkeringat hingga membuat matanya kembali terjaga.
Tergagap Dasio sambil menyeka wajah, lalu terdiam merasai keheningan suasana dalam Bus. Tetapi hening kali ini begitu berbeda bagi Dasio. Bukan saja karena penumpang lain yang serentak tertidur, tapi hawa dingin lembab yang begitu terasa menyelimuti.
Semua itu terus berlanjut, bahkan saat menyebrangi lautan pemisah pulau hingga pagi menjelang. Dan berubah ketika matahari tersembul di ujung langit.
Malam kedua dalam perjalanan, Dasio tak lagi menghiraukan. Waktunya lebih ia gunakan untuk terpejam meski alam pikirannya tak ikut terlelap.
Tiba di tempat yang pernah ia dan rekan-rekannya mengawali perjalanan, wajah Dasio kini dipenuhi sumringah kegembiraan. Rasa kangen dengan kampung halaman, terkhusus anak, istri dan orang tua yang tinggal seorang bapak, bakal segera terobati.
Deru mesin Bus yang sebentar terhenti ketika Dasio turun kembali mengaum, meninggalkan Dasio yang menggeliatkan tubuhnya sejenak, sebelum kemudian melangkahkan kaki menuju kampung tempat dirinya dibesarkan.
Sunyi, jalanan tanah tak begitu lebar yang dilalui Dasio. Ia berpikir jika hal itu karena waktu yang sudah masuk pada peraduan malam. Meski belum larut, tetapi menilik kebiasaan warga kampungnya yang bisa dikatakan tertinggal, tak membuatnya terheran.
Setapak demi setapak kaki Dasio terus menyusur hingga akhirnya sampai di sebuah perempatan jalan bertanda gerbang bambu, yang menjadi ambang batas antara Dukuh Tempel dengan perdukuhan lainnya.
Dari situ, Dasio kemudian mengambil jalan lurus mengarah ke Dukuh Tempel. Melewati rumah-rumah papan yang telah tertutup rapat dengan pencahayaan lampu dimar di dalam, serta lampu teplok terpasang di tiap-tiap samping pintu luar.
Tiba di sebuah persimpangan jalan kecil yang mengarah ke sisi kiri, Dasio tiba-tiba menghentikan ayunan kakinya.

"Kang...."

Dasio tertegun, matanya liar menelusur sekitaran, mencari sumber suara yang memanggilnya.
"Kang, Das. Aku nang kene...." (Kang, Das. Saya di sini....)

Kembali, suara itu memanggil dan kali ini sembari mengarahkan. Lalu Dasio pun menoleh, membalikkan badan ke sumber suara yang ternyata dari dua sosok yang berdiri tak jauh di belakangnya.
Awalnya Dasio terheran dengan keberadaan dua sosok itu, yang tiba-tiba saja terlihat sudah berdiri di sisi kanan jalan. Sebab sangat jelas dirinya pertama kali mendengar seruan itu memanggil dari arah jalan kecil di sebelahnya, bukan dari belakang.
Namun raut heran tak lama berubah menjadi sebuah senyuman, saat mengetahui dua sosok itu adalah Salim dan Nadir. Dasio pun lalu menghambur, mendekati keduanya.
"Lim, Dir. Piye kabare?" (Lim, Dir. Gimana kabarnya?) ucap Dasio penuh keakraban.

Tetapi semua itu tak terbalas dengan jawaban. Nadir dan Salim hanya diam, dengan mata menatap lekat tak berkedip pada Dasio.
"Koe ki wes do sehat to?" (Kamu berdua sudah sehat kan?) tanya Dasio kembali yang beranjak lebih mendekat.

Lagi-lagi dua rekannya itu membisu, membuat Dasio bingung terheran, sebelum sesuatu yang berbeda ia sadari ketika melihat kondisi Nadir dan Salim.
"Dir! Lim! Awakmu ngopo meneng wae?" (Dir, Lim! Kalian kenapa diam saja?)

Sedikit bergetar dan tegas ucapan Dasio kali ini, tapi hanya tersahut dengan tundukan kepala Nadir dan Salim, sebelum keduanya kemudian beranjak pergi masuk menuju jalan kecil tanpa bersuara sedikitpun.
Berkali-kali Dasio masih mencoba memanggil mereka, bahkan ia sempat mengejar Nadir dan Salim, namun tak lagi menemukan sosok keduanya.
Seketika itu juga Dasio terkesiap, tak percaya jika Nadir dan Salim bisa begitu cepat menghilang. Padahal hanya beberapa detik saja mereka berjalan menuju jalan kecil, berarah lurus tanpa belokan hingga ratusan meter ke depan.

"Dir! Lim!"
Sekali lagi Dasio berteriak memanggil, masih berharap untuk menemukan keduanya. Namun hingga puluhan tarikan napas yang terhempas, kesunyianlah sebagai jawabannya.
Sadar adanya keanehan, Dasio pun berlalu meninggalkan tempat itu. Mempercepat gerak kakinya, meninggalkan sapuan angin tipis yang membawa halus aroma kembang kamboja.
Sepanjang jalan terus dilalui oleh Dasio tanpa bertemu dengan seorang pun. Jejak tapaknya juga sudah tak beraturan hingga terkadang harus terhenti, kala dari belakang merasakan hembusan sapuan napas beraroma wangi fambo.
Kejadian itu terus berlangsung dan baru berganti kelegaan, saat kakinya memijak tanah berpasir di halaman sebuah rumah berdinding papan dengan teras setinggi dua meteran.
Bersambung....

Buat yang mau support atau gak sabar pengen baca Bab III ini sampai selesai, bisa langsung ke karyakarsa, dan jangan lupa di follow juga ya temen2 :))

Thank You~

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Kelupaan, untuk bab IV juga udah release di Karyakarsa ya temen2. Bisa langsung klik link di bawah :D

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Aug 4, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.IV : Tumbal Pertama

@IDN_Horor

@bacahorror

#bacahorror #horor #KISAHNYATA Image
***
Satu jam lebih riuh suara kebahagiaan di dalam Barak menggema, sebelum malam memasuki kata larut. Lantaran kedatangan Dasio beserta keluarga kecilnya, menjadi satu obat tersendiri bagi Kisman, Nanang dan beberapa teman yang lainnya.
Read 398 tweets
Jun 17, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA

- HOROR THREAD -

Sebuah kisah kelam berdasarkan kejadian nyata. Terjadi di tahun 80an, bahkan sampai sekarang.

@menghorror @issssss___ @autojerit @Penikmathorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror

#bacahoror #penikmathoror #horor #KISAHNYATA Image
DILARANG KERAS MEMBAGKAN KISAH INI DALAM BENTUK APAPUN DI LUAR TWITTER, TANPA SE-IZIN PENULIS!
Hola PWers~
Sambil menunggu rame, boleh minta retweet dan likenya dulu?

Terima kasih :)
Read 641 tweets
Jun 13, 2022
"DILARANG MENYEBARKAN KISAH INI DALAM BENTUK APAPUN, TANPA SEIZIN PENULIS!"
Yuk kita mulai berkisah lagi, PWers~
Read 83 tweets
Jun 9, 2022
Sebelum aku menceritakan kisah ini, aku ingin meminta maaf bukan maksudku untuk membongkar aib orang yang sudah meninggal,
tapi tujuanku menceritakan kembali kisah ini adalah supaya kalian yang membaca kisahku ini bisa mengambil pelajaran dari Almarhum, khususnya untuk kaum Laki-Laki.
Read 73 tweets
May 26, 2022
JAREK TANGKUP
(Tolakan Pengundang Bala)

- HOROR THREAD -

@issssss___
@autojerit
@Penikmathorror
@ceritaht
@IDN_Horor

#horor #kisahnyata #bacahoror Image
Hallo PWers~
Kita mulai berkisah lagi ya :D

Oh ya sebelumnya, kisah ini akan sedikit slow updatenya, bahkan malam ini pun, baru sebatas teaser dulu sampai agak senggang waktuna nanti :D

Yuk langsung mulai~
"Sampeyan wes roh, Yu. Kang Sakir muleh?" (Kamu sudah tau, Yu. Kang Sakir pulang?)

"Sopo seng ngabari?" (Siapa yang memberi tau?) Ucap Menik, seorang wanita berumur 43 tahunan, balik bertanya kepada Asti, tetangganya.
Read 81 tweets
May 19, 2022
Kita lanjut yaa temen2 :D
Nenek bongkok ini sudah tidak tanggung-tanggung. Tiga kiriman langsung menggempur, dia kirimkan. Aku yang sudah bersiap-siap, dan membentengi rumah dengan Yasin Tujuh Mubbin sebelumnya, segera menuju lahan kosong sebelah rumah.
"Ayo Nek, kita main di sini saja. Biar lapang dan leluasa." Tantangku, sambil terus menatap banaspati berputar-putar.

Banaspati adalah sosok bola api yang sering dijadikan sebagai media untuk mengirim santet kelas tinggi.
Read 167 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(