Pusara Waktu Profile picture
Aug 4, 2022 398 tweets >60 min read Read on X
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.IV : Tumbal Pertama

@IDN_Horor

@bacahorror

#bacahorror #horor #KISAHNYATA Image
***
Satu jam lebih riuh suara kebahagiaan di dalam Barak menggema, sebelum malam memasuki kata larut. Lantaran kedatangan Dasio beserta keluarga kecilnya, menjadi satu obat tersendiri bagi Kisman, Nanang dan beberapa teman yang lainnya.
Tetapi dari sekian kali obrolan yang terus mengalir, Dasio terkadang ragu hingga akhirnya menunda untuk menyampaikan pesan-pesan dari keluarga masing-masing yang menginginkan kepulangan mereka.
Ia tak ingin wajah cerah penuh harapan dari rekan satu kampungnya berubah, kala harus menentukan pilihan.
Hembusan bersemilir menyapu kulit, menjadi hantaran Parti dan Darmono untuk segera ingin merasai malam pertama mereka di bumi perantauan. Menyadarkan keasyikan Dasio, membuatnya segera berpamitan untuk pergi ke kantor Gudang, yang kini sudah menjadi tempatnya.
Setiba di depan kantor gudang, Dasio tersambut seutas senyum segan dari bibir Jayadi, sang penjaga gudang. Berbasa-basi sejenak, Jayadi kemudian menyerahkan kunci pintu sebelum kemudian berlalu.
"Sementara dewe istirahat kene. Sisok lagi golek panggonan gok njobo." (Sementara kita istirahat di sini. Besok baru cari tempat tinggal di luar.)
ucap Dasio setelah membuka pintu ruangan yang berukuran tak lebih lebar dari kamarnya di kampung, yang kini digunakan sebagai kantor dan juga kamar.
Parti hanya diam tak merespon, baginya kamar kecil itu tak menjadi masalah. Tetapi yang mengganjal saat itu, hawa yang tersemat di tubuhnya sangat lain dan terasa begitu aneh.
Anyep terselimut lembab semakin lama makin melekat dalam perasaan Parti, membuatnya ragu untuk berbaring di sebuah ranjang yang tak begitu lebar dengan kasur kapuk tipis sebagai alas.
Tak berbeda dengan Ibunya, Darmono kecil pun menunjukan gelagat gagapan kecemasan. Matanya selalu menghindar, menunduk mulai dari awal masuk, seperti enggan untuk menatap isi dalam kamar itu.
Dasio sendiri sebenarnya sadar dengan sikap yang ditunjukan oleh anak serta istrinya itu, namun tak ada pilihan lain lagi baginya, terkhusus malam itu, mengingat mereka baru saja sampai dan tak memungkinkan mencari tempat lain.
"Buk, Aku wedi! Aku wedi!" (Buk, Saya takut! Saya takut!)

Parti yang baru saja berbaring, terperanjat. Segera ia mendekap Darmono, manakala tetiba saja anaknya itu merengek ketakutan.
Kekagetan juga menyaru Dasio, tetapi ia tak sedikit bergeming dari pembaringan, meski tau jika rasa takut Darmono itu pasti terhubung dengan makhluk penghuni yang beada di sekitar proyek.
Dasio baru beranjak bangkit setelah rengekan Darmono tak juga mereda, tapi justru kini merebak pada gigilan yang memuncak. Sejenak, tangannya menjulur, meraba tubuh kurus terbungkus kulit kecoklatan anaknya.
Panas dan basah tercampuri peluh hampir merata di seluruh tubuh kecil itu, membuatnya terpaksa bangun dan mengedarkan mata.
Sepintas tak ada yang menakutkan di matanya, semua biasa saja, wajar dan sama, seperti ketika ia menempatinya sebelum datang kembali bersama anak istri.
Namun saat ia akan kembali berbaring, dari langit-langit kamar, matanya melihat beberapa kepala anak kecil yang tergantung dan berdempetan, terkerat juntaian rambut hitam urakan memburai sangat panjang.
Puluhan detik Dasio bersitatap dengan potongan kepala itu, dari dalam perutnya tetiba merasakan sesuatu menguar teraduk.
Tak berapa lama kejadian yang pernah ia alami pun terulang, memuntahkan lelehan darah dari perut, yang langsung menjadi rebutan dari lidah-lidah kepala yang berdempetan itu.
Ngeri, hingga ketakutan itu dirasakan Parti yang melihat menjadikan tubuhnya beku seketika. Hanya matanya yang melolong tak berkedip, seperti terpaku untuk terus menatapi potongan kepala-kepala bocah yang tengah bermain lidah, menjilati muntahan darah dari suaminya itu.
Putaran waktu dirasakan oleh Parti saat itu seakan terhenti, sampai harus dirinya begitu lama menyaksikan kejadian mengerikan yang baru sekali ini ia alami dalam hidupnya.
Sekian puluh menit berlalu, barulah rasa takut Parti perlahan memudar setelah lelahan darah tak lagi tersisa, hanya meninggalkan piasan bekas lidah hitam di lantai tanah.
Tetapi hal itu belum cukup bagi Parti untuk bisa bernapas lega, oleh karena mendadak hidungnya tetiba tersesaki aroma Gondoriyo, sesaat setelah potongan kepala bocah-bocah itu menghilang.
Bahkan kini tubuh Darmono yang masih dalam dekapannya berubah dingin ... sangat dingin, yang embuatnya merasai kecemasan teramat, mengalahkan ketakutannya sendiri.
"Kang, iki Darmono!" (Kang, ini Darmono!) serunya sembari meraih lengan suaminya yang masih terpekur diam.
Makasi Min :D
Dasio spontan terhenyak mendapati keanyepan tubuh kecil anaknya itu. Ia pun kemudian bergegas mengacak isi dalam tas kain miliknya, segera mengeluarkan selembar selimut lusuh, yang langsung dibentangkan guna menutupi seluruh tubuh Darmono.
"Rasah kuater, Anakmu ora opo-opo." (Tidak usah khawatir, anakmu tidak apa-apa.)
Belum reda kepanikan yang dirasa, Dasio kini kembali tersentak, ketika mendengar satu suara wanita yang berasal dari samping sudut tepat searah, sejajar dengan bahu. Memaksanya untuk memalingkan wajah perlahan, menoleh ke arah sumber suara.
"Sopo-sopo seng nduwe talen geteh karo koe, pancen kudu ngerti, pamujaning Ndoro Agung!" (Siapa saja yang punya ikatan darah denganmu, memang harus tau, jika tuan mereka sekarang adalah Ndoro Agung!)
ucap suara itu lagi, suara sesosok wanita bergaun putih yang tiba-tiba sudah berdiri di sudut ruangan.
Keterkejutan Dasio akhirnya tersurut pelan mereda, mengetahui ucapan lembut namun tegas dari sosok wanita yang telah ketiga kalinya ia lihat.
Tetapi lain bagi Parti, wajahnya terlihat semakin memutih dengan bibir tergerak bergetar. Tersadar dan menjadi jawaban baginya, akan semua kejadian yang ia alami.
"Kang...."

Lirih, hampir terkalahkan oleh lenguhan napas suara Parti memanggil, menyentak Dasio yang kini terdiam menunduk, menghantar pada perasaan bingung oleh karena tatapan Parti saat itu begitu memelas.
Semenit berlalu dalam kesunyian, Dasio perlahan mendekati istrinya setelah sosok wanita berambut sepinggang itu menghilang.

Dasio mengusap lembut buliran bening dari dua mata Parti, sebelum merengkuh dengan uraian kalimat memohon maaf.
Singkat namun mudah dipahami penjelasan yang diutarakan oleh Dasio, hingga akhirnya mampu diterima Parti meski tetap menyisakan rasa takut. Membuatnya dapat melewati malam pertamanya di tempat itu, menyongsong pagi dengan keadaan tubuh masih terbalut rasa lelah.
Berdiam diri sembari menunggu Darmono kecil yang masih meringkuk, samar telinga Parti mendengar keriuhan para pekerja dan beberapa deru mesin kendaraan proyek yang tengah dipanaskan.
Sedikit menenangkan jiwa serta pikirannya yang hampir terpupus, melihat keadaan sangat berbeda ketika siang telah datang di tempat itu.

Lepas Darmono terbangun, mereka bergegas mengikuti Dasio menuju kantin yang letaknya tak jauh dari kantor gudang.
Beberapa kali ia menangkap satu sorot tajam berisyarat, seakan ditujukan padanya. Namun Parti hanya terdiam, termangu, tanpa tahu makna yang terkandung di balik tatapan tak ramah pemilik Kantin itu.
"Cah bagus, ikut sama Mak saja, Ya?" ucap Mak Nap sambil mendekat ke arah Darmono, setelah selesai menyiapkan pesanan Dasio.
"Saya mau cari rumah di sekitaran kampung terdekat sini, Mak. Ya ... mungkin saya sewa dulu." ujar Dasio seperti sengaja menyahuti ajakan basa-basi Mak Nap.
"Kamu sudah nekat sekali, Dek! Memang, kasian anak istrimu kalau harus tinggal di sekitaran sini. Carilah tempat lain yang lebih jauh, supaya hidup keluargamu tenang." timpal Mak Nap menjawabi dengan sebuah saran.
Tak berpikiran aneh, Dasio diam beberapa saat kemudian mengiyakan anjuran Mak Nap. Hal itu sesuai akan janjinya pada Parti dan Darmono semalam, bahwa ia akan melindungi, memberi ketenangan selepas mendapatkan hunian baru.
Menjelang siang, Dasio kedatangan sang Bos, Sanusi. Menebar keakraban, menyamarkan ikatan paksa yang telah terjalin antara keduanya di mata Parti.
Tapi hal itu tetap tak dapat membohongi sang bocah. Terbaca dari siratan di wajah lugunya saat ia memandang sosok Sanusi. Di samping ketidaksukaannya yang jelas menggurat, terselip liringan sebuah ketakutan.
Keputusan Dasio yang ingin bertempat tinggal di luar area proyek, sekali lagi mendapat sambutan baik serta dukungan dari Sanusi. Terbukti di hari itu juga, sekira lebih dari lima jam, mereka habiskan waktu mencari sebuah rumah untuk Dasio dan keluarga kecilnya tinggali.
Sedikit jauh dari area proyek, tetapi lebih dekat dari kediaman Sanusi, sore itu Dasio mendapat hunian sangat layak dibandingkan dengan rumah mereka dulu di kampung. Berlokasi di sebuah desa dengan penduduknya yang lumayan padat, hunian itu memberi harapan baru di benak Parti.
Tak ada acara apapun yang digelar oleh Dasio saat pertama memasuki rumah berukuran 8x12, berfasilitas tiga buah kamar dengan lantai halus berdasar acian semen.
Walau masih terlihat melompong tanpa perabotan terpasang, namun senyum Parti dan Dasio terlihat mengembang, membaur kebahagiaan.
Kelengkapan susul menyusul pun tak butuh waktu lama bagi Dasio untuk memenuhinya. Mulai dari kebutuhan rumah tangga, hingga kendaraan yang akan menjadi tunggangannya setiap hari ke proyek.
Bagi Parti sendiri, tinggal di tempat yang bernuansa sama persis dengan keadaan di kampungnya dulu, membuatnya tak begitu kesulitan beramah tamah hingga mudah untuk mengenal warga dan para tetangga.
Selanjutnya, kehidupan mereka pun segera dimulai, berukir antara ketentraman berselimut kengerian....
***
Sepuluhan hari sudah, Dasio, Parti dan Darmono menempati rumah ayng untuk sementara menjadi milik mereka, oleh sebab belum terlunasi. Selama itu juga, kehidupan baru mereka tampak riang tanpa beban, terpenuhi segala kebutuhan tanpa sedikitpun merasai kekurangan.
Namun, semua kebahagiaan itu harus terhenti untuk Dasio nikmati, tepat di hari ke sebelas. Berawal saat waktu mulai merangkak meninggalkan senjakala menyambut malam, yang memberi hawa berbeda daripada biasanya.
Ketika itu, Dasio bersama keluarga kecilnya seperti sebelumnya selalu berkumpul. Tapi kali ini dalam keadaan berbeda.
Terambang awal oleh kegelisahan, berlanjut pada cengkraman rasa was-was, menandai kehadiran aroma Gondoriyo yang menyeruak, menyelimut seluruh bagian di dalam rumah mereka.
"Pak, Ibu, Dar ngantuk, arep turu...." (Bapak, Ibu, Dar ngantuk, mau tidur....) ucap Darmono tiba-tiba, di sela kebersamaan mereka.
Permintaan itu sejenak membuat Dasio dan Parti saling pandang. Mereka mula terheran dengan sikap anaknya itu, yang biasanya selalu memilih larut malam untuk urusan tidur.
Tapi malam itu, entah apa yang ia rasakan sehingga meminta sampai berulang-ulang untuk segera diantar ke dalam kamar.
Parti yang tak tahan mendengar rengekan Darmono, akhirnya menuntun buah hatinya itu menuju kamar paling depan. Meninggalkan Dasio sendiri duduk di ruang tamu, menatapi rintikan air hujan yang baru saja turun membasahi bumi.
Sekira sudah lebih dari lima menitan sejak kepergian istri dan anaknya, Dasio masih bertahan sendiri dalam jejalan aroma langu Gondoriyo. Namun selanjutnya, tak berapa lama dirinya pun terkalahkan, tak sanggup lagi tersapu oleh pekatan dari bau khas mayat.
Hal itu kemudian memaksa Dasio untuk bangkit dan memilih untuk beranjak masuk, setelah mengunci pintu depan. Berjalan pelan menuju belakang, bermaksud sekalian memastikan keadaan antar pintu penghubung luar demi keamanan.
Tetapi baru saja ia tiba di ruang keluarga, ayunan kaki Dasio terhenti. Tercegah sebuah suara nyanyian lirih berirama lembut tanpa iringan tetabuhan.
Kemerduan tembang itu mengiang seantero dalam rumah, namun anehnya hanya telinga Dasio saja yang mendengar. Berulang-ulang terus dengan bait yang sama, liringan suara wanita itu seakan menggerakkan, menuntun Dasio menuju ruang kamar paling belakang.
Sesampainya di depan pintu kamar, bersamaan pula aroma Gondoriyo menghilang. Berganti wewangian sangat tajam beraroma aneh tak tertebak, oleh karena tak sekalipun pernah Dasio baui sebelumnya.
Tepat sekira lepas tiga tarikan napas berlalu, lingsir memadu cekaman mistis sangat kuat dari tembang yang disuarakan oleh wanita itu tiba-tiba berhenti.
Berganti sunyi mencekam, sebelum tersulur suara geraman dan tawa melengking, menjadi penanda kemunculan beberapa bayangan hitam berjejer tegak, saling berhadap-hadapan.
"Iki wancine Koe ngabdi, Le." (Ini waktunya kamu mulai mengabdi, Le.)

Tersentak kaget Dasio mendengar satu seruan serak di belakangnya. Suara yang bersumber dari sesosok nenek tua bertubuh bungkuk, sangat laras dengan rambut putihnya yang menjuntai panjang menyentuh lantai.
Wanita tua itu segera mendekat ke arah Dasio setelah saling bertatap pandang sebentar. Namun bukan dengan cara melangkah dilakukan nenek bermata belong itu, tapi melayang ringan sembari mengglambirkan jubah hitam yang menutupi kedua kakinya.
"Gawe baktimu, trimonen iki." (Untuk pengabdianmu, terimalah ini.)
Dasio hanya diam ternganga saat sosok yang dipanggil Nyi Gambir tinggal sejengkal jarak dengannya, tetiba berucap sembari menjulurkan tangan. Menyerahkan sebuah benda bulat berwarna kuning keemasan, atau tepatnya sebuah cawan.
Saat itu, di sela kesadarannya, Dasio meyakini bila cawan sebesar tempurung kelapa itu bukanlah barang biasa. Tertampak dari ukiran mengkilat seekor ular kecil, melilit melingkar ke atas dengan posisi menegakkan kepala.
"Gawenen wadah suguhane Ndoro Agung, Le." (Buatlah tempat persembahan Ndoro Agung, Le.) sambung Nyi Gambir.
Dengan gemetar tangan Dasio akhirnya menerima cawan emas itu. Sebuah benda yang langsung membuatnya tergidik ngeri, manakala terantuk pada kepala ular sebesar jari kelingking yang tegak seolah hidup, menyilaukan sebuah sinar hijau dari dua bola mata kecilnya.
Puas memandang kengerian benda di tangannya, Dasio kemudian mengarahkan tatapan kepada Nyi Gambir. Sosok tua itu pun segera menyambut dengan sunggingan dari sudut bibir keriputnya, menjadikan tubuh Dasio semakin terasa anyep.
"Telung dino neh, Ndoro Agung jikok sesembahan wiwitan rene, Le. Kudu mbok siapno, ojo ngasi obor seng kesumet dadi ngobong wadah e...."
(Tiga hari lagi, Ndoro Agung ambil persembahan pertamamu ke sini, Le. Harus kamu siapkan, jangan sampai obor yang sudah menyala jadi membakar tempatnya....)
Sekali lagi Dasio terperangah. Tak hanya tubuhnya yang kaku, namun jiwanya serasa membeku. Hal itu lantaran ucapan Nyi Gambir yang termakna permintaan dengan ancaman sebuah resiko bakal ia terima, apabila tak bisa memberikan tumbal pertamanya.
Bersambung.....
Halo Temen2, buat tim yang gak sabaran dan ingin baca langsung, sekaligus ngesupport akun ini bs langsung klik link di bawah ya. Dan utk pembaca Twitter, InsyaAllah saya sambung hari Minggu atau Senin.

Thank You~

Bab IV : karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Bab V : karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Maaf baru bisa lanjut, kemaren tumbang :')
"Nyai, sesembahan seng kepiye kudu tak siapke?" (Nyai, persembahan yang seperti apa harus saya siapkan?)

Dengan bergetar Dasio pun memberanikan diri bertanya. Sedikit berharap, bila tumbal yang diminta bukanlah sebuah nyawa dari manusia, terkhusus keluarganya.
"Jenang putih, sisan sepasang kolongan...." (Jenang putih, sekalian dengan kolongan (sepasang bola mata)....)

Mendengar jawaban Nyi Gambir, Dasio terdiam. Ingatannya berputar pada kalimat berkias yang pernah dirinya dengar.
Namun belum sampai pikirannya menyimpulkan, tangisan kencang menghentak lamunannya.

"Darmono!" seru Dasio tegang, mendengar tangisan menjerit dari arah depan, sangat mirip dengan suara anaknya.
"Anak Bojomu gak bakal kenopo-kenopo, asal ora mbanggel!" (Anak istrimu tidak akan kenapa-kenapa, asal tidak berkhianat!) ujar Nyi Gambir, kali ini dengan sinisan menyeringai.
Seakan terhempas tubuh Dasio saat itu. Bukan saja karena tangisan yang mirip persis dengan suara Darmono yang masih menggema, tetapi lebih kepada resiko ancaman yang tak main-main.
Tiga hari ... Tiga hari.... Kalimat itu terus saja berkelebat dalam benak Dasio, sepeninggalan Nyi Gambir dan puluhan bayangan hitam yang berjejer.
Dalam keterpakuan, Dasio terus saja berpikir keras dengan permintaan yang sebenarnya tak ia kehendaki. Gambaran sesuatu tersanepo tentang sesembahan yang harus ia penuhi, menyeretnya pada degupan beruntun, membayangkan selembar nyawa yang harus ia dapatkan.
"Kang...! Kang!"

Keras, panggilan dari depan menyadarkan Dasio dari lamunan yang langsung membuatnya bergegas menuju sumber suara yang tak lain dari kamar depan, tempat di mana Parti menemani Darmono tidur.
Pucat pasi dan siratan khawatir dari wajah Parti langsung menyambut Dasio ketika masuk ke dalam kamar. Tak membuatnya menunggu lagi untuk mendekat pada tubuh kecil yang sedang meringkuk, dalam gigilan ketakutan.
"Aku wedi karo keselametane Tole Dar, Kang." (Saya takut dengan keselamatannya Tole Dar, Kang.) ucap Parti di sela isak tangisan.
"Tenango, Dek. Gak bakal ono seng nyenggol anak e dewe." (Tenanglah, Dek. Tidak ada yang akan menyentuh anak kita.) sahut Dasio penuh keyakinan, mencoba menenangkan Parti.
"Bapak, Dar wedi! Dar pingin muleh gone kakung, Dar pingin karo kakung wae...." (Bapak, Dar takut! Dar mau pulang ke rumah kakung, Dar mau sama kakung saja....)

Sesaat Dasio memalingkan wajah ke arah Darmono. Menatap penuh welas, kemudian merengkuh erat.
"Ndak enek opo-opo, Dar. Ojo wedi meneh, saiki enek Bapak ngancani." (Tidak ada apa-apa, Dar. Jangan takut lagi, sekarang ada Bapak yang nemani.) sahut Dasio dengan suara lembut.
Menyambut rengkuhan Bapaknya, Darmono terlihat lebih tenang. Terlebih kalimat ucapan Bapaknya, membuatnya merasa terlindungi, membawanya pada rasa nyaman melelapkan.
Tetapi guratan sendu, takut, masih membaur sangat jelas di wajah Parti. Sesekali juga ia terlihat menoleh, melirik pada ambang pintu kamar, seakan ada yang tengah dirasakannya.
"Kang, Sampeyan mau seko ndi? Terus barang opo iku seng mbok gowo?"(Kang, Sampeyan tadi dari mana? Terus benda apa itu yang Sampeyan bawa?) tanya Parti setelah memastikan Darmono telah terlelap pulas.
Sesaat Dasio tertegun. Lalu matanya meluruh ke arah cawan yang ia letakkan di sudut atas kasur, yang menjadi perhatian Istrinya.
"Iku barang seko utusane Ndoro Agung, Dek. Lungoku mau yo mergo iki, nang mburi." (Itu benda dari utusannya Ndoro Agung, Dek. Pergiku tadi ya karena ini, di belakang.) jawab Dasio pelan.
Wajah Parti sebentar datar. Tak lama, berubah pias terheran, dengan pengakuan Dasio.
"Nang mburi ngendi, Kang? Aku mau golek i Sampeyan ngasi teko mburi lo, Kang. Wektu tole Dar awak e panas pol...." (Belakang mana, Kang? Saya tadi nyariin Sampeyan sampai ke belakang lo, Kang. Sewaktu Tole Dar badannya panas banget....) timpal Parti menjelaskan.
Sekali lagi Dasio harus terdiam. Pikirannya langsung dipenuhi dugaan-dugaan tentang kejadian bertemunya ia dan Nyi Gambir yang tak terlihat oleh Parti.
"Opo barang kui dadi tondone nek Sampeyan anak buah e Pak Sanusi, Kang?" (Apa benda itu jadi tandanya kalau Sampeyan anak buahnya Pak Sanusi, Kang?) sambung Parti yang masih tersisip rasa penasaran, tentang keberadaan cawan berwaran mengkilap keemasan.
Dasio yang belum sempat menjawab ucapan awal istrinya pun harus kembali berpikir keras untuk menjelaskan semuanya. Beruntung saat itu dirinya tertolong oleh suara lirih Darmono yang memanggil Parti, membuatnya sementara terlepas dari kejaran rasa penasaran istrinya.
Walaupun Dasio telah bercerita banyak tentang kejadian yang mereka alami bersangkutan dengan keadaannya yang terpaksa harus menjadi salah satu Abdi sesosok Ndoro Agung atas ulah Sanusi, namun ada batasan yang tak ia ungkapkan.
Termasuk, tentang “Tagih Janji”, di mana Dasio harus memberikan persembahan untuk pengabdiannya.

***
"Ini baru awal, Dek!"

Dasio menarik panjang napas berbau keresahan, ketika mendengar ucapan Mak Nap setibanya ia di kantin pagi itu, atau tepat setelah menyampaikan ganjalan dengan kejadian yang ia alami semalam.
Pikirnya, Mak Nap lah yang lebih tahu tentang perihal tagih janji, di mana hanya tiga hari saja waktu untuknya menyiapkan persembahan pertamanya.
Ada keinginan kuat dari Dasio untuk menghindar, namun tentu tak akan mudah, justru ia yakin bila hal itu tetap nekat dilakukan, nasib keluarganya yang akan menjadi taruhan.
"Cawan sudah kamu terima, satu nyawa harus kamu berikan!" ujar Mak Nap kembali, setelah semua cerita singkat Dasio ia dengarkan.

"Ini yang tidak saya kehendaki, Mak!" sahut Dasio tegang, kala tau dugaannya tak menyimpang.
"Mau tidak mau, seorang Abdi pancer harus siap! tentukan siapa yang bakal kamu pilih, tandai satu nyawa itu, maka selamatlah keluargamu!" ujar Mak Nap dengan wajah kaku dan tatapan menusuk.
Lagi-lagi napas Dasio tersengkak kuat. Satu pilihan yang harus ia ambil, bukanlah hal ringan. Membuatnya saat itu juga harus mengambil keputusan, mengingat waktu tujuh puluh dua jam bukanlah lama.

"Ingat, Dek! Salah satu orang dekatmu lah, penyelamat keluargamu!"
Kalimat Mak Nap ini masih Dasio dengar kemudian ia bawa melangkah keluar dari Kantin tanpa menjawab. Menyusur lahan proyek, menuju area bendungan.
Terselip rasa iba saat ia menatapi puluhan pekerja yang sedang penuh semangat mengucurkan keringat di bawah calon bangunan kokoh. Terlebih di antara mereka, adalah orang-orang yang pertama datang bersamanya, berasal dari satu kampung, satu nasib dan niat sama diawalnya.
Sampai waktu menjelang sore, Dasio masih tetap tergundah oleh bayang-bayang wajah rekan-rekannya. Satu persatu menjadi pertimbangan, namun selalu tergusur perlawanan dari dalam batinnya.
Kebimbangan yang terus mengganjal di dalam benak, lalu Dasio bawa hingga sampai di rumah, tepat ketika senjakala berangsur memudar.
Terjeda sejenak oleh obrolan ringan dengan anak istrinya saat bersantap bersama, namun kembali menguat manakala wajah putra semata wayangnya, Darmono, tiba-tiba mengulas alam pikiran tengah menjerit dalam tangisan.
Hal itu kemudian menuntun dirinya buru-buru berpamitan kepada Parti, untuk segera kembali ke proyek. Membulatkan satu wajah dari salah satu rekannya, yang bakal ia tandai malam itu juga.
Parti sendiri awalnya bingung dan bertanya-tanya. Tapi sedikit alasan kemudian Dasio utarakan, yang membuatnya mengerti serta tak sedikitpun menaruh curiga dengan kepergian mendadak suaminya itu.
Ditemani kendaraan roda dua yang di masa itu sudah menjadi barang mewah bagi sebagian masyarakat, Dasio melaju pelan menembus tebalnya kabut malam. Menyemai rasa was-was dalam cahaya lampu sorot kendaraan, berangkat dari rasa cinta pada keluarga yang memupus rasa tega.
Wajah-wajah heran sepintas menyirat dari para pekerja yang sedang berkumpul di dalam barak, tak terkecuali Kisman dan Nanang, sebelum mendengar kalimat penjelasan terucap oleh Dasio menutupi niat aslinya.
Setelah beberapa saat obrolan bergulir berseling gurauan mengundang tawa, Dasio mengajak Nanang dan Kisman menuju ke dalam kantor gudang.
Kala itu tak ada sedikit pun penolakan atau keberatan dari keduanya, meski mereka tahu saat itu sudah bukan lagi jam kerja.
Sebab bagi keduanya, Dasio adalah seorang teman, seorang atasan, yang sejak awal mereka dan rekan lainnya telah dianggap sebagai seseorang yang telah memberikan harapan untuk kehidupan yang lebih baik.
Sesampainya mereka di dalam gudang yang beberapa hari pernah ditempati Dasio, tetiba tatapan menyirat ragu mengambang pada wajah Kisman. Oleh karena aroma wewangian menyeruak tajam, berasal dari sebuah telampah yang terletak di sudut kiri gudang material.
Dasio sendiri sebenarnya heran dengan telampah itu, sebab berisi lengkap sesajian guna sebuah ritual. Namun, segera ia bersikap biasa seolah tak perduli, dan menduga jika Mak Nap lah yang melakukannya.
"Iki aku karo Kang Kisman kon notoni opo, Kang Das?" (Ini Saya sama Kang Kisman suruh membenahi apa, Kang Das?) tanya Nanang yang lebih dulu masuk ke dalam ruangan bekas tempat Dasio.
"Barang-barang iki kabeh dijikuk, soale sisok isuk arep di bungkar, digedekne gawe ndokok barang proyek." (Barang-barang ini semua diambil, sebab besok mau dibungkar, dibesarkan buat menaroh barang proyek.) jawab Dasio datar.
"Ngopo kok ora sisok isuk sekalian, Kang?" (Kenapa kok tidak besok pagi sekalian, Kang?) timpal Kisman, dengan raut semakin heran.
"Gak cukup wektune, Man. Gek barang iki, barangku pribadi." (Tidak cukup waktunya, Man. Lagian barang ini, barangku pribadi.) sahut Dasio memberi penjelasan.
Kisman akhirnya mengalah, menuruti Dasio dan membantu Nanang yang lebih dahulu telah mulai membereskan barang-barang dalam pandangan mata tak bernilai itu.
Beberapa lembar pakaian, kain selimut serta kasur kapuk lusuh, menjadi barang pertama yang mereka keluarkan dari dalam ruangan itu. Selebihnya hanya mereka susun di dalam, sehingga tak sampai satu jam, ruangan itu terlihat rapi tanpa ceceran barang bekas secuilpun.
Melihat itu Dasio pun tersenyum puas. Tangannya kemudian merogoh saku celana, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas warna biru bergambar wajah Presiden di masa itu, pada Nanang.
Tampak wajah Nanang terlihat sumringah, lain dengan Kisman. Ia terlihat semakin pias dalam keheraan, berpentok pada sebuah kecurigaan.
"Kang, aku ngroso nek Sampeyan iku gak semoto gor arep mbringkesi kantor gudang to, tujuane rene?" (Kang, Saya merasa kalau Sampeyan itu tak semata cuma ingin memberesi kantor gudang saja kan, tujuannya ke sini?)
Dengan pelan sedikit terpaksa, akhirnya Kisman memberanikan diri bertanya.
Tetapi, hal itu justru tersambut sikap diam dan tatapan dingin Dasio. Membuatnya semakin membesarkan tanda tanya, seraya tetap mencoba menelusuri perubahan sikap pada diri rekan seniat, seperjuangannya dulu itu.
"Opo ono seng ketok aneh seko aku selama iki, Man?" (Apa ada yang terlihat aneh dari Saya selama ini, Man?) ucap Dasio membuka suara, setelah Nanang beranjak keluar dari ruangan itu.
"Ora, Kang. Aku gor ngroso wengi iki Sampeyan bedo. Aku kenal Sampeyan iku ora sedino rong dino, dadi aku apal!" (Tidak Kang. Saya cuma merasa malam ini Sampeyan beda. Saya kenal Sampeyan itu tidak sehari dua hari, jadi saya hapal!) ujar Kisman menyahuti.
"Sampeyan rene koyo gowo beban." (Sampeyan ke sini seperti membawa beban.) sambung Kisman menjelaskan, mendahului Dasio yang hendak bertanya.
"Bebanku seng abot gor siji, Man! nek koe tetep gak gelem muleh!" (Bebanku yang berat cuma satu, Man! kalau kamu tetap tidak mau pulang!) sahut Dasio sedikit menyengit.
Berganti Kisman kali ini yang terdiam. Seperti berpikir tentang kalimat pengusiran dari Dasio yang telah beberapa kali terucap. Membuatnya seiring bingung, oleh alasan yang sampai pada detik itu belum dirinya ketahui secara gamblang.
Diam dalam renungan, Kisman tak sadar bila Dasio telah berlalu. Melangkah keluar, menyusul Nanang dan meninggalkannya sendirian di dalam ruangan gudang.
Hawa anyep nan lembab lah, yang kala itu menyadarkan Kisman. Memaksanya mengayunkan kaki buru-buru, menghindari klebatan bayangan hitam yang seolah tengah mengawasi dirinya.
Sepi dan hening suasana luar yang dirasakan oleh Kisman, ketika kakinya telah menapak lantai teras. Tak ada siapapun yang ia temui, padahal baru beberapa puluh detik lalu Dasio keluar, namun sudah tak ia temukan.
Sembari merasai keanehan, Kisman berjalan pulang ke barak. Menembus tebaran kabut-kabut tipis, yang hampir setiap malam menjadi hiasan area sekitaran proyek.
Akan tetapi detik itu perasaan Kisman sangat lain merasainya. Bukan hanya karena alasan sedari awal kedatangan Dasio yang terasa janggal, namun juga oleh batinnya, merasa seakan tengah diawasi oleh beberapa pasang mata dari arah belakang.
Semakin jauh Kisman melangkah meninggalkan gudang, semakin dirinya merasa lebih banyak bola-bola mata yang mengikuti bersama dengan beberapa pasang kaki terikut menapak tanah uruk proyek.
Menjadikan alur jalannya terlihat buru-buru, terkejar rindingan bulu lembut yang telah tegak berdiri.

Setiba di depan barak, Kisman sebentar mengatur napas. Melirik sedikit ke belakang, sebelum akhirnya merangsek masuk.
Namun, baru saja tubuhnya berada di dalam barak tenda, sesuatu kembali mengganjal pikirannya. Di mana ia tak menemukan Dasio dan Nanang yang dirinya sangka telah kembali lebih dulu.
Lebih mengherankan lagi baginya, saat masih melihat kendaraan Dasio terparkir tetap di sudut pintu masuk tenda. Itu artinya, Dasio dan Nanang memang belum kembali.
Hal itu kemudian membuatnya melontarkan pertanyaan kepada dua orang rekannya yang masih terjaga. Tetapi jawaban yang sama dengan dugaannya, bila dua rekannya itu belum sama sekali kembali sedari mereka bertiga pergi ke kantor gudang.
Kemelut deraan rasa janggal, akhirnya memunculkan rasa berani dalam diri Kisman, guna mencari dan menyusul Dasio dan Nanang.
Dan baru saja selangkah kaki Kisman keluar dari ambang pintu, dari jarak tak begitu jauh, dua sosok yang akan ia cari tampak sedang berjalan menuju arah barak. Membuatnya terpaku diam menunggu.
"Mampir ngendi ndisek Sampeyan mau ki?" (Mampir di mana dulu Sampeyan tadi?) tanya Kisman saat Dasio dan Nanang telah berada di hadapannya
Nanang dan Dasio yang baru saja tiba pun berhenti besamaan mendengar pertanyaan dari Kisman. Keduanya sekilas lalu saling tatap, sebelum Nanang kembali berjalan mendekat.
"La aku karo Kang Das ki ket rampungan njagong nang ngarep gudang nunggu Sampeyane lo, Kang. Saiki malah Sampeyane seng takok." (La Saya sama Kang Das tu sedari selesai beberes duduk di depan gudang nunggu Sampeyan lo, Kang. Sekarang malah Sampeyan yang tanya.)
sahut Nanang menjelaskan.

"Yo wes ... Yo wes.... Aku tak pamit muleh." (Ya sudah ... Sudah.... Saya pamit pulang saja.) timpal Dasio memotong, sebelum perdebatan antara Nanang dan Kisman memanjang.
"Ora nginep kene ae opo, Kang?" (Tidak nginap di sini aja apa, Kang?) ujar Nanang menimpali ucapan Dasio.
"Ora, Nang. Mesakne Darmono karo Mbakmu Parti." (Tidak, Nang. Kasihan Darmono sama Mbakmu Perti.) jawab Dasio sembari berjalan mendekati kendaraan roda duanya.
Tak berselang lama, mesin motor dua tak milik Dasio pun menderu. Kemudian melaju perlahan, meninggalkan halaman barak dan juga Kisman yang masih berkelumit dalam kebingungan.
Sedih, pilu, tapi juga lega membaur menemani perjalanan pulang Dasio. Rasa tega yang mulai tertanam malam itu, membuka salah satu kisah baru dalam hidupnya, di mana lembaran-lembaran putih bakal tercoret oleh tinta hitam.
Bersambung....

Bab 4 dan 5 sudah selesai di Karyakarsa, temen2 bisa langsung baca di sana sekaligus ngesupport akun ini :D

Thank You~

Bab IV : karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Bab V : karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Kita lanjut siang-siang ya PWers~ :D
Sepi, sesaat sesampainya Dasio di halaman rumah. Tak ada sambutan dari istrinya yang biasa berdiri setelah membukakan pintu.
Belum genap satu menitan sesampainya ia di rumah, atau tepat sebelum dirinya memasukkan kendaraan ke dalam, sebentar harus tertahan di depan teras, tatkala samar telinganya mendengar suara merdu sedang menembang dari dalam, persis tak berbeda dengan suara wanita itu.
Bahkan lantunan bait-baitnya, kalimat yang terlagu berirama pernah Dasio dengar sekali.

Selagi berusaha mencari di sekitaran area luar rumah, justru Dasio terkejut ketika suara itu berasal dari dalam, tepatnya ruang tamu.
Hal itu pun teryakinkan oleh karena matanya sangat jelas melihat sesosok wanita bergaun putih dari kaca tak bertirai, tengah menari pelan di bawah pancaran lampu berwatt sedang tergantung di atas langit-langit ruangan yang biasa Dasio pakai untuk bersantai.
Sosok itu tampak gemulai memainkan gerak tangan dan kakinya meski tanpa diiringi tetabuhan. Menggerai rambut hitamnya yang panjang sepinggang, menyiur bagian-bagian lekukan tubuh lainnya.
Sedikit ragu Dasio yang sudah berada di teras untuk meneruskan langkah masuk ke dalam. Ia justru terpaku dan terus menatapi lenggokan sang Wanita, yang lambat laun gerakannya semakin memelan.
Tiba di bagian bait akhir, sosok wanita itu kemudian sebentar terdiam. Lalu memalingkan wajahnya ke arah luar, seperti tahu bila kini tengah diperhatikan.
Sejurus kemudian wanita berwajah putih selaras dengan bola matanya yang juga rata putih, bergerak pelan seakan berjalan. Tetapi Dasio dengan jelas melihat, bila sosok itu tak menapak, melainkan melayang.
Sampai di ambang pintu berdaun lembaran papan berkotak dua yang tiba-tiba terdorong terbuka, sosok wanita itu berhenti. Menatap sejenak ke arah Dasio, sebelum menggerakkan tangan kanannya, mengulur, menyerahkan bunga berwarna merah yang terselip di telinganya.
"Tanda itu sudah aku terima, dan ini sebagai lambang persembahan darimu, terimalah...."

Lembut dan terdengar dingin suara wanita yang sudah ketiga kalinya Dasio lihat, tapi baru sekali mendengarnya berucap.
Ragu-ragu Dasio untuk menerima sekelopak bunga berwarna merah yang menebar bau wangi dari tangan sosok itu. Kemudian memandangi dengan seksama setelah berada di tangannya, hingga mengabaikan kepergian sosok wanita di depannya.
Sadar akan dirinya yang tinggal sendiri, Dasio lalu cepat-cepat masuk sambil mendorong kuda besinya, menutup kembali rapat-rapat pintu, kemudian melangkah tergesa meninggalkan ruang tamu dengan membawa seuntai bunga yang sama sekali tak ia ketahui kegunaannya.
Tiba di kamar depan, Dasio sebentar melihat pada dua tubuh, anak dan istrinya yang telah pulas bertutup kain selimut di atas ranjang. Kemudian ia meneruskan langkah, menuju kamar tengah yang hanya tersekat tembok antara kamar depan.
Entah karena dorongan atau hanya firasatnya saja, Dasio kemudian meletakkan bunga itu ke dalam cawan pemberian Nyi Gambir.

Awalnya biasa, terletak begitu saja. Tetapi berselang tiga kali hembusan napas, bunga itu tiba-tiba meleleh, menebar aroma amis menyengat tajam.
Dasio yang terkejut pun beringsut mundur. Jantungnya terpacu bersama desiran darah yang mengalir begitu cepat, menyaksikan keanehan pada cawan yang seolah lekat menempel pada pegangan tangannya.
Masih dalam gemuruh ketegangan, lagi-lagi Dasio yang masih tertuju pada cawan itu kemudian dibuat semakin terperanjat, manakala setelah lelahan kental darah melumuri dalam cawan, pekikan sebuah suara tetiba terdengar menggema kencang di gendang telinganya.
Lengkingan suara itu memekak, menyayat seolah dalam kesakitan. Membuat tubuh Dasio gemetar, ketika menyadari bahwa suara itu tidaklah asing, sebuah suara yang sangat-sangat dirinya kenal.

***
Pagi yang cerah, bertolak dengan keadaan Dasio. Kesuraman yang memancar dari wajahnya, menunjukan sebuah rasa sesal yang begitu dalam. Teringat akan semua kejadian semalam, Dasio merasa enggan melakukan aktifitas apapun.
Bahkan sekedar beranjak dari kamar saja, membuat lunglai tubuhnya seperti dipaksa. Namun, sebuah tanggung jawab sebagai kepala pekerja proyek yang terpikul di pundaknya, mengharuskan ia untuk tetap datang meski sekedar memantau.
Sama halnya pada hari itu, dalam pikiran tak menentu Dasio tetap memenuhi kewajibannya. Tetapi kedatangannya itu justru menjadi puncak penyesalan. Sebab sesampainya ia di proyek, kerumunan puluhan pekerja di pinggiran sungai menjadi awal darahnya berdesir.
"Ada pekerja yang meninggal di sungai, Pak."

Jawaban dari seorang operator alat berat yang pertama Dasio dengar, sesaat menghentikan dirinya untuk semakin mendekat ke tepi sungai.
Tatapannya kosong, sekosong pikirannya, ketika menyaksikan dengan perlahan sebuah tubuh yang terangkat dari dalam sungai oleh beberapa orang.
Jaraknya yang tinggal sepuluh meteran dari tanggul, sedikit lambat untuk mengenali seonggok tubuh tak bernyawa dengan kondisi basah kuyup. Tapi dari dalam hati Dasio tahu, Dasio yakin, oleh karena kematian itu berawal dari dirinya.
Belum sempat berbuat apapun, tubuh yang tinggal raga itu kemudian diangkat oleh beberapa orang. Mereka membawa mendekat ke arahnya, melewati dirinya menuju barak.
Di saat itulah Dasio beradu pandang dengan satu raut wajah marah. Menyirat satu kebencian, seperti tak terima dengan kematian Nanang.

"Kamu sudah memulainya!"
Dasio tersentak dan segera berpaling. Menatap datar sosok yang menyeru di belakangnya. Sebentar ia pun tertunduk, mendapati sunggingan sinis dari Mak Nap, menjadi sambungan dari kalimat yang dilontarkan padanya.
Diam dan seolah menunggu, namun sampai beberapa saat tak ada lagi ucapan yang keluar dari bibir tua Mak Nap. Justru sosok sepuh itu beranjak pergi begitu saja, dan meninggalkan Dasio yang masih dalam guncangan jiwa.
"Pak, ditunggu konco-konco teng barak." (Pak, ditunggu teman-teman di barak.)

Dasio akhirnya tersadar penuh oleh perkataan dari salah seorang pekerja yang sengaja menghampirinya. Ia pun segera mengekor di belakang pekerja itu, menuju barak dengan degupan jantung tak beratur.
Sesampainya di dalam barak, desiran darah Dasio kembali menguat menyaksikan kondisi Nanang yang sangat mengenaskan. Matanya mengembung dan melotot tajam serta kulit menyeluruh membiru.
Tak kalah aneh dan ngeri dari semua keadaan mayat Nanang, adalah kedua tangannya yang kaku terkungkung dengan posisi menjambak rambutnya sendiri. Menjadikan banyak mata yang melihat saat itu, menduga-duga bila kematian Nanang bukan karena tercebur ke sungai--
--melainkan ada sesuatu hal yang terjadi sebelumnya. Namun semua itu hanya sebatas tersimpan di benak masing-masing, tanpa tahu pasti asbab musabab kejadian yang sebenarnya.
Selagi dalam rundung kedukaan, terselip satu ketegangan antara dua wajah yang kembali saling bertemu. Kisman, masih terus dengan sorot amarah menatap pada Dasio, bahkan ia memilih menyingkir ketika Dasio berjalan lebih mendekat ke tempat mayat Nanang dibaringkan.
"Iki njur kepiye, Pak?" (Ini terus bagaimana, Pak?) tanya seorang pekerja yang sempat menghampiri Dasio, memecah ketegangan.
"Diopeni semestine. Mengko kuburke nang sebelahe kuburane Rowi." (Diurusi selayaknya. Nanti kuburkan di sebelahnya kuburan Rowi.) sahut Dasio memberikan perintah sekaligus arahan.
Mendengar ucapan Dasio, beberapa orang langsung tergerak menyiapkan peralatan seadanya guna prosesi pemakaman Nanang. Semua bahu membahu melaksanakan kewajiban mengurus Jenazah meski dengan peralatan terbatas.
Dari sekian banyak, atau hampir seluruh pekerja yang ikut mengurus, tak satupun mampu mengembalikan kedua tangan Nanang dalam keadaan semestinya.
Sekalipun usaha mereka sebegitu kuatnya, namun justru seakan jasad itu seperti melawan. Begitu juga dengan bola matanya yang membelalak tersembul keluar. Mengerut sangat kencang hingga tak dapat dikatupkan.
Pada akhirnya, beberapa orang pun bermusyawarah untuk bisa menolong jasad Nanang supaya layak untuk di kuburkan. Mereka semua, terutama Dasio, kemudian sepakat meminta bantuan sesepuh kampung, guna menyempurnakan raga Nanang.
Namun, baru saja salah satu dari seorang pengawas lapangan akan berangkat menuju kampung, terpaksa harus menunda oleh karena kedatangan Sanusi. Mereka pun selanjutnya urung meminta bantuan, sebab Sanusi telah membawa salah satu tokoh juga sesepuh dari kampung hilir, Mbah Sakar.
Tak berapa lama lelaki tua yang menjadi kepercayaan Sanusi dalam urusan ghaib, masuk ke dalam barak dan langsung mendekati jasad Nanang. Memandang sebentar tubuh yang mulai menghitam di depannya--
--sebelum memberi isyarat pada beberapa orang yang berada di dalam barak untuk meninggalkan dirinya.
Sepuluh, duapuluh menitan telah berlalu, tetapi Mbah Sakar belum juga selesai dan keluar. Sementara langit sudah mulai menggeser matahari naik ke atas, meninggalkan sengatan hangat, menuju terik yang membakar.
Kurang lebih satu jam kemudian Mbah Sakar pun keluar dengan keadaan tubuh dipenuhi peluh membasah. Mengendus napas yang memburu lelah, menggambarkan satu kondisi di mana bukan hal ringan dalam menyempurnakan jasad Nanang.
Saat itu juga beberapa orang pekerja yang dikomandoi oleh Kisman menyaru masuk demi melihat keadaan jasad Nanang. Setelah merasa semuanya normal, prosesi pun mereka lanjutkan, selayaknya memenuhi syarat utama pemakaman.
Siang beranjak sore, jasad Nanang selesai sudah selesai terkubur di sisi gundukan tanah bernisan kayu dengan tulisan jelas sebuah nama, Rowi.
Tak ada acara lanjutan seyogyanya adat di kampung mereka, tak ada tangisan yang mengiring, tak ada ucapan selamat tinggal ketika telah teruruk tanah basah berwarna merah.
Justru, rasa takutlah yang membias pada tiap-tiap raut penghuni barak. Menghadapi malam yang sebentar lagi datang, membayang kepergian salah satu rekan yang selama ini selalu bersama, mati dengan cara sangat mengenaskan.
Sebenarnya terucap keinginan Kisman yang ingin mengadakan satu acara kecil-kecilan guna mendoakan, seperti yang pernah mereka lakukan sewaktu kematian Rowi. Tetapi semua tertolak oleh Sanusi, dengan alasan Mbah Sakar yang tak mengijinkan.
Dasio sendiri saat itu menyetujui permintaan Kisman, mengingat bagaimanapun juga Nanang dan Rowi adalah teman satu kampung, yang artinya tak ingin dibedakan. Tapi sekali lagi, ketegasan Dasio spontan luntur kala Sanusi mengulang kalimat penolakan dengan ketegasan penuh.
Waktu berlanjut, sore pun menyapa. Dasio kemudian berpamitan menyusul Sanusi dan Mbah Sakar yang sudah lebih dulu meninggalkan barak. Menyusur jalanan berhimpit penyesalan, mengabaikan cahaya senja yang hangat memayungi.
Setiba di rumah pribadinya, hamparan semburat merah di ujung langit tersapu paksa oleh tebaran awan hitam. Membuat seketika alam mempercepat putaran waktu gelap, menunggu butiran bening berjatuhan membasuh bumi yang seharian tersiram cahaya terik matahari.
Tepat setelah nyaring lantunan Adzan Maghrib berkumandang, rintikan gerimis datang. Terkawal kilat-kilat bersahutan, tersambut oleh selorohan guntur bergemuruh.
Suasana itu terbilang menyamankan keberadaan para warga di dalam rumah masing-masing. Menikmati kebersamaan di tengah-tengah keluarga, dipenuhi rasa damai dan cinta. Tetapi, semua itu jauh berbeda dengan keadaan Dasio.
Bukan kenyamanan dan bukan kehangatan ia rasakan, melainkan sebaliknya. Di mana, kegusaran yang tadinya sempat beberapa menit hilang oleh kebersamaan anak dan istri, kini kembali hadir menyelimuti manakala bayangan kematian Nanang tiba-tiba tergambar jelas memenuhi pikirannya.
"Enek opo to, Kang?" (Ada apa to, Kang?)

Sebentar, lamunan Dasio terjeda pertanyaan Parti. Namun belum sempat menjawab, Parti justru berlalu melangkah ke depan, menanggapi ketukan di pintu yang terdengar berulang-ulang.
Hampir satu menitan Dasio menunggu, namun Parti tak juga kembali, menimbulkan tanda tanya di benak Dasio tentang siapa yang bertamu dalam suasana rintikan hujan.
Tak sabar lagi, Dasio pun ikut mengusul ke depan guna memastikan, tetapi tepat saat itu, Parti baru saja menutup pintu, membuatnya tak sempat melihat siapa yang datang.

"Sopo, Dek?" (Siapa, Dek?) tanya Dasio penasaran.
Bukan memberi jawaban, justru Parti kembali membuka pintu dan melongokkan kepala keluar. Membuat Dasio terlihat bingung, hingga ikut mendekat ke ambang pintu.
"Sopo seng teko jane, Dek?" (Siapa yang datang sebenarnya, Dek.) tanya Dasio kembali, setelah ikut mengedarkan pandangannya keluar, namun tak melihat sesiapapun.
"Iku lo kang, Nanang." (Itu lo Kang, Nanang.) jawab Parti, masih sambil menyorotkan pandangannya ke halaman.

Mendengar nama tamu yang disebutkan oleh Parti, tubuh Dasio seketika dingin. Darahnya seolah berhenti, tetapi jantungnya justru berdegup kencang tak beraturan.

"Kang..."
Parti yang sadar akan sikap Dasio, menyentuhkan tangannya pada lengan sang Suami sembari memanggil. Hal itu lantaran ia melihat wajah dari suaminya berubah drastis begitu pucat.
Dasio yang kemudian tersadar, cepat-cepat menarik Parti kembali masuk dan segera mengunci pintu. Selanjutnya, ia langsung mengajak Parti ke dalam kamar depan, menemani Darmono yang sudah terpulaskan buaian mimpi.
"Enek opo jane, Kang?" (Ada apa sebenarnya, Kang?) seru Parti bertanya, sesampainya di dalam kamar.

Diam sejenak pilihan Dasio saat itu. Bingung ingin bercerita dari mana untuk mengawali, tentang Nanang yang baru beberapa jam lalu dikuburkan.
"Kang, Nanang kui mau rene ki arep pamitan...." (Kang, Nanang tadi itu ingin pamitan....)

"Dek! awakmu tenango disek!" (Dek, Kamu itu tenanglah dulu!) seru Dasio memotong ucapan Istrinya.
Parti pun kemudian terdiam dalam keheranan. Namun tak berapa lama, wajahnya berubah pucat melebihi pucatnya wajah Dasio kala mendengar jika Nanang telah meninggal.
Rasa takut akhirnya tak mampu lagi Parti sembunyikan. Dirinya kembali teringat beberapa saat lalu, ketika bersitatap langsung dengan sosok yang menyerupai Nanang.

"Kenek opo Nanang ninggale, kang?" (Karena apa Nanang meninggalnya, Kang?)
"Kelelep nang kali." (Tenggelam di sungai.) jawab Dasio pelan.

Hening, Parti maupun Dasio sama-sama bermain dalam angan masing-masing. Sebelum beberapa saat kemudian Dasio bangkit dan melangkah keluar menuju ke kamar sebelahnya.
Ada perasaan lain saat ia masuk, di mana aroma yang sudah akrab di hidungnya menyemai sangat tajam ketika kakinya baru menapak di lantai kamar itu.
Bukan ingin berbaring, Dasio kemudian terus mendekat ke arah meja yang terletak di sudut, menyimak seksama cawan emas simbol pengabdian pada Ndoro Agung.
Aneh, tentu saja langsung terpikirkan oleh Dasio. Sebab cawan itu mengkilap, kering, tak ada lelahan darah, bahkan bekasnya sama sekali tak terlihat setitik pun.
Dalam perasaan mengambang, tiba-tiba Dasio merasakan hembusan tipis tapi cukup lama menerpa tubuhnya. Seperti sengaja menghapus aroma Gondoriyo yang awalnya menyengat, terganti dengan wewangian sangat khas menyejukkan.
Kasturi, langsung tertebak benak Dasio wangi yang kini telah dominan menyelimut di dalam kamar. Membuatnya merasai ketidaknyamanan, terlepas ingin segera beranjak pergi dari kamar itu.
Tetapi baru saja membalikkan badan, Dasio terhenyak melihat pintu kamar yang kini telah tertutup rapat. Padahal saat awal dirinya masuk tak sedikitpun ia menyentuh, apalagi menutupnya.
Belum reda dari rasa bingungnya, kembali Dasio dikagetkan oleh pencahayaan yang tadinya terang berasal dari bohlam memancar putih, tetiba berubah redup meremang.
Setelahnya, suara ketukan keras bertalu layaknya bunyi kentongan menggema, menusuk gendang telinga sekaligus membuat kepala Dasio seperti berputar.
Semakin cepat suara pukulan, semakin pula Dasio limbung, goyah, sampai pada akhirnya ia roboh bersama kegelapan yang menyambang pandangannya.

***
Bersambung....

Bab 4, 5 dan 6 sudah selesai di Karyakarsa, temen2 bisa langsung baca di sana sekaligus ngesupport akun ini :D

Thank you~

Bab 4: karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Bab 5: karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Bab 6: karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Kita lanjut, beresin bab 4 malam ini ya temen2~
Lama, mungkin itu awal yang dirasakan oleh Dasio saat perlahan matanya terbuka. Sebab ia menduga jika waktu telah larut. Apalagi hawa sekitarnya terasa begitu dingin, sampai-sampai mengilukan sendi dan tulang-tulangnya.
Namun anggapannya sedikit demi sedikit berubah, manakala dari ujung sisi kiri, telinganya mendengar suara riuh ramai.
Terpacu dalam kebingungan Dasio memaksakan bangkit, dan saat itulah ia benar-benar sadar tempatnya berada bukan di rumahnya sendiri.
Seperti orang linglung Dasio pun menggedekan kepala, menelisik tempat sekitaran.

Tak asing, tapi semakin membuatnya kebingungan. Di mana ia melihat dan hapal bahwa tempat itu adalah lahan proyek.
Namun saat kesadarannya yang semakin pulih, Dasio justru terkejut ketika menyaksikan hamparan tempat dirinya bekerja berubah. Bukan saja dari sisi bangunan, tapi juga dari para pekerja yang jauh lebih banyak dari biasanya.
Penarasan akhirnya menuntun kaki Dasio melangkah menjelajahi tempat sekitaran untuk memastikan, di samping ingin lebih mendekat ke tempat utama bendungan yang kini ramai dipenuhi pekerja.
Setapak menjangkah Dasio langsung merasakan hawa lain hadir, lembab serta hampa. Tetapi hanya sebentar dan tak sempat menghentikan niatnya untuk terus menuju di tempat yang lebih terang dan riuh.
Barulah sekira tinggal sepuluh meteran jarak ke arah tanggul bendungan, ia berhenti. Memandang lekat satu persatu wajah para pekerja, yang sama sekali taka da yang dikenalnya.
Menyadari kejanggalan itu, bukan malah membuat Dasio takut atau mundur. Tapi justru menambah keingintahuannya dengan apa yang sebenarnya tengah ia alami.
Hal itu kemudian memulai langkah Dasio untuk semakin mendekat, sedekat-dekatnya. Sampai tibalah dirinya tepat berada di tepian tanggul, memaksa matanya melihat dengan jelas sebuah kengerian.
Tak dapat lagi tubuh Dasio bergerak. Kakinya terpaku, tubuhnya beku seakan terhimpit, mendapati puluhan bahkan ratusan potongan kepala tersusun di bawah bangunan.
Lebih mengerikannya lagi, dari tiap potongan kepala itu semuanya sudah tak lagi berbola mata, serta pada bagian atasnya terpenggal tipis beberapa senti. Hal itu memunculkan isi dalamnya yang juga sudah kosong tanpa gumpalan otak.
Selagi dalam pancatan rasa ngeri teramat sangat, tiba-tiba Dasio ingin memekik, melihat dari sisi kanan tempatnya berdiri, muncul segerombolan pekerja yang berwajah pucat pasi.
Namun bukan itu yang membuat tenggorokan Dasio berserak ingin mengeluarkan jeritan, tapi pada keranda terbuka yang mereka bawa berisi potongan kepala masih segar, berlumur darah.
Tak hanya satu atau dua, keranda yang bergagang kayu hitam dengan alas selembar kain berwarna merah itu memuat penuh potongan kepala.
Tetapi berbeda dengan potongan kepala di bawah, di atas keranda itu kesemuanya masih lengkap, antara bola mata dan rambut-rambutnya masih terpasang dan hanya terkotori ceceran darah.
Semakin keranda yang diangkat oleh enam sosok pekerja itu mendekat ke arahnya, semakin jelas mata Dasio beradu dengan lototan bola mata dari kepala-kepala itu, seakan semua bersatu, menyorot kepada dirinya.
Sekian detik berlalu dan kini tinggal sekelompok lagi sosok-sosok pembawa keranda melewatinya, jiwa Dasio terguncang hebat. Tubuhnya bergetar, mendapati satu di antara kepala-kepala yang hanya tinggal sebatas leher tanpa tahu potongan tubuhnya, adalah kepala Nanang.
Hampir saja tubuh Dasio roboh, saat keranda itu berada di depannya, bertepatan matanya lurus beradu pandang dengan mata melotot milik Nanang. Namun Dasio terus mencoba bertahan dan hanya meluruh pelan kemudian menapakkan kedua lutut di atas tanah, yang menyangga tubuh lemahnya.
Tangisan lirih tak dapat lagi ia tahan. Tersengguk dalam baluran penyesalan, berharap semua yang telah matanya saksikan hanyalah mimpi belaka. Tetapi harapannya itu tak sejalan dengan kenyataan.
Di mana setelah cukup lama dirinya menunduk tersimpuh, kini harus kembali dihadapkan satu kejadian yang tak kalah mengerikan.
Berawal dari gemuruh riuh para pekerja yang tetiba menghentikan seluruh kegiatan, kemudian semua berdiri sejajar memanjang, membuat sebuah jalan berpagar tubuh mereka sendiri.
Tercipta keheningan sejenak saat itu. Sebelum terdengar suara ketukan Gong mengalun tiga kali, sebagai tanda kemunculan beberapa sosok dari arah seberang tanggul yang terdapat pondokan kecil.
Terlihar samar kala pertama Dasio melihat lima sosok yang datang beriringan. Tapi tak berselang lama, kesamaran itu menjadi sangat jelas, di mana hanya satu sosok saja dari kelimanya, yang tak ia kenal atau sekali itu dirinya lihat.
Sosok itu berwajah sangat tampan dengan memakai lembaran kain bangsawan kuno. Terdapat mahkota mengkilat berlingkar lilitan seekor ular, menyekat rambut panjang sepunggungnya.
Mengiring di belakang sosok berwibawa itu, Dasio satu persatu mengenali. Membuat pikirannya spontan beranggapan, jika yang mereka ikuti adalah sang Ndoro Agung.
Masih dalam balutan rasa ngeri, Dasio terus mengikuti dengan apa yang terjadi di depannya. Sedikit aneh mula tersisip dalam benaknya, sadar bila kehadirannya di tempat itu seolah tak terlihat--
-tak terpantau oleh ratusan pasang mata, termasuk oleh sosok Sanusi, Mbah Sakar dan sang Bos besar, NARODO.
Menguatnya kenehan itu lantaran sebelum masuk ke area bawah, mereka melewati dirinya sama persis dengan keranda pembawa kepala. Hanya lewat tak menganggap.
Saat itu Dasio ingin sekali membuktikan kebenaran tentang kejadian yang tengah dirinya saksikan. Tapi sayangnya, belum sempat berbuat apapun, sebuah nyiuran angin tipis pembawa wangi Kasturi menghentikan keinginannya itu.
Belum lagi hidungnya terbebas dari aroma Kasturi, Dasio tersentak dengan liringan gelombang suara dari seluruh sosok yang berada di tempat itu. Mereka seakan bersorak menyuarakan kehadiran sesosok wanita tua yang berjalan mendekati keranda berisi potongan kepala.
Dari tangan sang wanita tua itu, terlihat tentengan sebilah pisau sepanjang jengkalan tangan orang dewasa. Kilatan-kilatan mematul putih, memberi tanda bagi mata siapapun yang melihat untuk mengukur atau sebagai penunjuk atas ketajaman dari mata pisau tersebut.
Sesampainya sang Wanita tua tepat di sisi keranda, riuhan suara pun terhenti. Tersisir keheningan, sebelum beberapa langkah kaki tertapak di tanah yang juga menuju ke arah keranda.
Sekilas tak ada bedanya dengan semua sosok yang berada di tempat itu, kehadiran sepuluhan sosok wanita yang berjalan beriringan dari arah berbeda menyusul ke satu arah tempat wanita tua itu masih tegak berdiri.
Tetapi melihat dengan apa yang mereka bawa, barulah Dasio teringat sesuatu yang juga ia miliki, cawan berkilat emas.

Setelah sosok-sosok wanita berpakaian layaknya seorang dayang dalam sebuah kerajaan berkumpul--
-berjejer sembari menadahkan cawan di tangan masing-masing, tepat di waktu yang sama, sang Wanita tua kemudian menggoreskan mata pisau mengkilat yang masih dalam genggamannya ke bagian atas potongan kepala di atas keranda.
Seketika juga darah mengucur, lalu tercopot kulit bertumbuh rambut dari tiap-tiap kepala yang telah terpisah dari badannya. Terus dan bergilir sampai semua kepala-kepala itu terkupas memperlihatkan gumpalan putih didalamnya.
Kemudian selesai mengiris, wanita tua itu kini mengarahkan ujung pisaunya pada bagian mata. Menusuk perlahan sebelum mencongkel keluar satu persatu bola-bola mata dari tiap-tiap kepala.
Sama halnya ketika saat mengiris, pengambilan bola mata juga bergilir sampai seluruh kepala itu kini tak lagi berkulit atas juga terlihat bolong pada bagian mata, hanya menyisakan tetesan darah bercampur lendir, sama persis dengan potongan kepala yang tersusun di bawah bangunan.
Dasio yang menyaksikan semua itu merasakan dadanya sesak terjejal kengerian nan menakutkan. Apalagi kala wanita tua itu mengiris, mencongkel kulit dan mata kepala Nanang, mata Dasio ikut melotot seperti ikut tertarik bersamaan detak jantung yang lagi terasa degupannya.
Belum selesai semua itu. Sebentar kemudian isi kepala dan bola-bola mata yang sudah diambil dari potongan kepala, tertampung pada tiap-tiap cawan yang sudah ditadahkan puluhan sosok wanita muda berwajah putih pasi, tanpa kelopak hitam sedikit pun di bagian mata.
Cawan-cawan yang telah terisi kemudian mereka bawa menghadap pada sosok bermahkota. Beriring pantulan Gong bertalu, satu persatu cawan tersadur dalam tenggakkan sosok bergelar Ndoro Agung.
Tak ada satu cawan pun yang masih berisi, semua terteguk habis dan hanya menyisakan tetesan darah bercampur lendiran yang berwarna putih.
Setelah selesai semuanya, kelima orang yang dikenal Dasio pun kemudian kembali mengiring kepergian sang Ndoro Agung meninggalkan area bendungan.
Begitu juga para pekerja, mereka kembali pada tugas masing-masing termasuk menyusun potongan kepala yang baru saja terambil beberapa bagian isinya.
Napas Dasio sendiri masih begitu sesak. Guncangan dalam jiwanya juga tetap terdera meski iringan pengawal Ndoro Agung telah menghilang di ujung sebrang bendungan.
Lama, Dasio terpaku dalam perasaan yang tak mampu ia lukiskan. Baru tersurut mundur ketika satu sosok terlihat ke arahnya. Sosok itu menatap lekat, sambil terus mendekat dengan cara merangkak, mengacak rambut hitam panjangnya sampai menutup tubuh bagian belakangnya.
Dasio yang masih dalam kungkungan rasa takut terus menyurut mundur. Sebab ia sadar, jika sosok yang sudah beberapa kali menampakkan wujudnya itu menyadari kehadirannya.
Terbukti, saat tinggal beberapa langkah lagi jarak dengan dirinya, sosok berwajah keriput itu menatap tajam sebelum kemudian membuka mulutnya, terkekeh menampakan barisan gigi hitamnya.
Entah karena rasa takut atau ada kekuatan lain saat itu, Dasio tak lagi mampu menggerakan kakinya barang sejengkal. Membuat ia hanya tersudut ngeri, kala sosok berkuku hitam merangkak mendekati tempatnya berdiri.
Langu, aroma yang keluar dari mulut sosok itu. Terhembus saat wajahnya yang dipenuhi keriputan lekat tinggal berjarak sejengkal dengan wajah Dasio.
Satu tiupan kencang mendadak kemudian tetiba saja tersembur tepat menerpa wajah Dasio. Membuatnya seketika merasakan hawa panas, sebelum terhuyung ke arah belakang dan roboh.
Saat terjatuh itulah, Dasio merasai tulang-tulang persendiannya linu ngilu. Tapi dari itu juga, Dasio kembali tersadar jika dirinya telah berpindah tempat kembali.
Sejenak terdiam dalam pekuran bingung. Dasio merabai bagian tubuhnya, memastikan jika dirinya memang masih dalam keadaan bernyawa.
Setelah yakin, ia pun kemudian mengingat-ngingat kejadian yang sedang dirinya alami. Memunculkan kilas balik semua kejadian mengerikan yang beberapa menit lalu ia lihat, terkelebat runtut tanpa terjeda.
"Tok....Tok....Tok...."

"Kang....Kang...."

Terkejut, Dasio bergeming sebentar. Lalu ia bangkit, memastikan jika suara panggilan yang telinganya dengar adalah benar suara Parti.
Sedikit terseok kaki Dasio yang masih ngilu menapak menuju pintu. Barulah saat tangannya menggenggam handle yang tergantung pada daun pintu, ia sadar keberadaannya kini masih di dalam kamar rumahnya sendiri.
Wajah Parti yang muncul dari balik pintu menjadi kelegaan tersendiri bagi Dasio. Bahwa nyata dirinya bukan berada di area proyek, melainkan masih berdiam di dalam rumah, tepatnya di kamar kedua dari depan.
Lalu, apa arti dari kejadian yang menyeretnya kepada kengerian di area proyek?

Pertanyaan itu tak langsung bisa Dasio jawab dan hanya berkutat di dalam benaknya.
Terhalang oleh beberapa pertanyaan dari Parti, mengenai muasal dirinya di dalam kamar dengan keadaan tertidur yang cukup lama.
Semua ganjalan dari rangkaian kalimat yang Parti ungkap, menjadi titik terang akan hal yang dirinya alami. Membuatnya memuat ulang kejadian dari awal hingga di tanah proyek, di mana itu adalah sebuah gambaran asli yang terjadi pada proses pembangunan bendungan.
Hal itu juga yang mengingatkan Dasio pada ucapan Nyi Gambir tentang waktu tiga hari untuk tagih janji. Dan malam itu, adalah hari yang dimaksudkan tagih janji atau ritual persembahan kepada Sang Ndoro Agung.
Keluar dari kamar itu, Dasio kemudian terpapah oleh Parti menuju ruang keluarga. Terduduk dalam guncangan batin, terdiam menunggu Istrinya yang sedang pergi kebelakang.
"Aku ngiro Sampeyan iki nyimpen perkoro, Kang." (Saya mengira Sampeyan ini menyimpan masalah, Kang.) ucap Parti setelah tiba dan menyerahkan segelas air putih pada Dasio.
"Masalah opo maksudmu, Dek?" (Masalah apa maksudmu, Dek?) sahut Dasio, yang baru saja menghabiskan air dalam gelas yang tersaji.
"Iku seng pengen tak ngerteni. Misal aku wes ngerti, gak kiro aku takok, Kang." (Itu yang ingin Saya ketahui. Andai Saya sudah tau, tak mungkin Saya bertanya, Kang.) jawab Parti sedikit lebih tegas.

Dasio kali ini diam. Memikirkan jawaban atas kecurigaan istrinya.
"Aku bingung, Kang. Kenopo setiap seng do melu Sampeyan kerjo ninggal, sak bare mesti do nemoni. Mulai Nadir, Salim, saiki Nanang!"
(Saya bingung, Kang. Kenapa setiap yang ikut Sampeyan bekerja meninggal, setelahnya pasti menemui. Mulai Nadir, Salim, sekarang Nanang!) sambung Parti.
"Opo ono sangkutane karo seng dilakoni Sampeyan? Opo wong-wong iku ninggale mergo dadi tumbal?" (Apa ada hubungannya dengan yang dilakukan Sampeyan? Apa orang-orang itu meninggalnya karena dijadikan tumbal?)
Terus dan terus mencecar dengan suara tegas sedikit serak, Parti. Membuat Dasio semakin merasa terhimpit oleh perasaan bersalah dan bingung. Tetapi lagi-lagi diamlah menjadi pilihannya.
Bukan tak ingin menjawab, namun ia tak ingin jika istrinya tahu yang sebenarnya, bakal memperkeruh keadaan.
"Nek Sampeyan ora gelem jujur, berarti podo wae wes mblenjani janji karo anak bojo, khususe Bapak, Kang." (Kalau Sampeyan tidak mau jujur, berarti sama saja sudah mengingkari janji pada anak dan istri, khususnya Bapak, Kang.)
Tersentak, Dasio kemudian memasang wajah sendu tegang mendengar nama Bapaknya disebut oleh Parti. Seketika dari pelupuk matanya membayang wajah tua, wajah yang telah banyak berkorban untuk dirinya.
Sunyi, suasana sebentar menyaru ruang tengah. Tempat berlaman tikar, biasa Dasio, Parti dan Darmono gunakan untuk duduk bersantap bersama.
"Rowi, Nadir, Salim, aku ora ngerti pestine. Mergo wektu kui aku urung kejebak Pak Sanusi. Nek Nanang, memang aku seng numbalke. Iku terpaksa tak lakoni demi kowe karo Darmono!"
(Rowi, Nadir, Salim, Saya tidak tau pastinya. Karena waktu itu Saya belum dijebak Pak Sanusi. Kalau Nanang, memang Saya yang menumbalkan. Itu terpaksa Saya lakukan demi Kamu sama Darmono!) ucap Dasio, setelah mempertimbangkan beberapa hal sebelum akhirnya ia berani jujur.
Tak ada reaksi, wajah Parti datar. Entah karena alasan yang dikemukaan oleh Dasio, atau karena ada sesuatu yang lain. Dirinya pun yang selanjutnya berganti terdiam, tak berani menyahuti saat Dasio mengungkapkan semuanya.
Panjang lebar dan tak satupun Dasio lewatkan, cerita lengkap tentang awal sampai ritual yang bakal ia jalani ke depannya. Tak seperti ketika dirinya pertama bercerita saat di gudang kantor, yang mana masih banyak ia sembunyikan.
Kini Dasio berpikir, toh suatu saat sang Istri juga bakal tahu pada ujungnya, bahwa mulai detik itu, setelah mengorbankan Nanang, ada tuntutan wajib yang terus menerus baginya agar selalu menyediakan tumbal bila tiba waktu yang telah ditentukan pada sosok Ndoro Agung.
Untuk bab 4 sudah selesai, dan akan bersambung ke Bab 5. Temen2 bisa langsung baca bab 5 dan 6 di Karyakarsa, sekaligus ngesupport akun ini :D

Dan untuk Twitter, InsyaAllah saya lanjut beberapa hari kedepan ya. Tq~

Bab 5: karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Bab 6: karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Maaf temen2, baru bisa lanjut. Kemaren2 banyak banget urusan di RL 🙏
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.V : Kembang Dua Kelopak

@IDN_Horor

@bacahorror

#bacahorror #horor #KISAHNYATA
***
Mendengar kejujuran seperti yang diharapkan, Parti justru berubah sikap. Padahal Dasio telah berjanji sebelumnya dan menjamin bila dirinya, Darmono, tak akan tersentuh oleh apapun yang berhubungan dengan Ndoro Agung.
Tapi itu tidak cukup, sebab bagi Parti, ketakutan dalam hatinya bisa datang setiap saat. Dan malam itu dilalui oleh Dasio dengan sangat berat. Bukan saja karena pemandangan yang mengerikan, tetapi juga disebabkan oleh beban mental dalam menghadapi perubahan sikap istrinya.
Pagi menjelang, suasana hati Dasio masih sama, bahkan tetap berlanjut hingga ia tiba di proyek. Ngeri, sudah barang tentu masih membekas dalam benak Dasio, saat menatap ke arah calon bendungan.
Apalagi ketika pandangannya dialihkan kepada dua gundukan tanah yang terlihar samar yang berada di seberang sungai. Piasan rasa bersalah pun masih menyisa, terasa menusuk di hati Dasio.

"Sudah kenal dengan Ndoro Agung?"
Sedikit kaget, Dasio memutar tubuhnya kala satu suara wanita seakan menyapa dirinya.

"Mak...." sahut Dasio singkat.
"Saya tau semua ini bukan keinginan hatimu. Tapi kamu harus ingat akan nasib keluargamu, rekan-rekanmu yang ada di sini. Kasihan meraka...." ujar Mak Nap dengan suara dingin.
"Entah Mak, saya sendiri bingung. Saya tak mau mereka celaka, tapi saya juga harus menyelamatkan anak istri saya." timpal Dasio datar.
"Mulailah berkawan dengan keadaanmu sekarang. Nikmati apa yang telah jadi takdirmu agar kelak penyesalanmu tak begitu dalam." sahut Mak Nap memberi nasehat.
"Apa Mak Nap juga ada hubungan dengan apa yang dilakukan oleh Pak Sanusi?" tanya Dasio sambil mengerutkan kening.

Mendengar pertanyaan Dasio, Mak Nap hanya menyunggingkan senyum getir. Tanpa menjawab, tubuh sepuhnya berlalu meninggalkan Dasio dalam keadaan terambang.
Hari itu tak banyak yang bisa dilakukan oleh Dasio, selain hanya mengawasi, memberi intruksi kepada para pekerja, selebihnya ia habiskan duduk di dalam gudang kantor yang telah dirubah, hanya menyisakan ruangan kecil dengan dua kursi dan sebuah meja sebagai tempat kerja dirinya.
Tiba waktu istirahat atau menjelang sore, sebelum pulang Dasio menyempatkan diri untuk pergi ke tempat biasa dirinya duduk menyendiri. Dan tepat saat itu juga dirinya melihat Kisman, yang tengah duduk melamun.
Namun kesan tak enak langsung terpampang jelas dari raut wajah Kisman, ketika tahu bahwa Dasio mendekatinya.

Bangkit dari tempatnya, Kisman berniat untuk pergi. Tapi baru saja Kisman membalikkan badan untuk menjauh, kini tertahan oleh ucapan Dasio yang tiba-tiba meminta maaf.
"Aku ngerti kowe wes gak seneng karo coroku, Man. Mulo aku pingin kowe muleh." (Saya tau kamu tidak suka dengan caraku, Man. Untuk itu saya mau kamu pulang.) ucap Dasio setelah permintaan maafnya disambut sikap diam oleh Kisman.
"Siji seng kudu tok ngerteni, iki kabeh dudu karepku." (Satu yang harus kamu pahami, ini semua bukan keinginanku.) sambung Dasio yang justru dirinya memilih mendahului Kisman berlalu dari tempat itu.
Tetap tak ada reaksi apapun yang ditunjukan oleh Kisman, hingga Dasio telah jauh melangkah. Hanya pandangan matanya saja mengikuti, menyulut rasa benci yang belum mereda sedikitpun.
Dasio sendiri terus mengayunkan kakinya untuk kembali ke kantor gudang. Sekejap masuk, kemudian keluar sembari mengunci pintu berdaun dari kepingan triplek.
Sebentar kemudian, Dasio menuju ke depan Kantin Mak Nap bermaksud menghampiri kendaraan roda duanya. Namun baru tiba di samping, Dasio terdiam sejenak.
Matanya kemudian lekat tertatap ke arah bagian belakang kantin, mencoba mencari sumber aroma wangi dupa yang menyengat menyusup hidungnya. Seketika Dasio pun menunda kepulangannya, ia melangkah perlahan ke belakang, demi mencari jawaban atas rasa penasaran.
Sesampainya, Dasio hanya melihat pintu kantin belakang milik Mak Nap tertutup rapat. Tetapi aroma dupa berseling wewangian dari beberapa kembang, juatru semakin tercium kental.
Hal itu semakin membuat Dasio ingin lebih tahu asal wewangian dan siapa yang tengah melakukan ritual persajian di waktu senjakala. Menuntunnya untuk lebih mendekat ke arah pintu, berusaha mencari jawaban dengan suasana yang ada di dalam.
Tetapi hanya hening yang ia dapati, tak terdengar apapun sampai beberapa saat lamanya, membuat Dasio tak sabar lagi dan berniat meninggalkan tempat itu.
Setapak berlalu menjauh dari ambang pintu, suara pekikan lirih dari dalam menarik kembali kaki Dasio. Segera ia menempelkan telinganya, ingin memperjelas dengan apa yang baru saja dirinya dengar.
Lirih-lirih nan lambat menyamar satu tangisan yang tersusup masuk ke dalam gendang telinga Dasio. Bukan seperti tangisan biasa, juga bukan suara tangisan Mak Nap. Pilu, menyayat, membuat Dasio merinding.
Hampir sepuluh menitan Dasio mendengar tangisan tanpa henti. Baru, ketika satu suara menjeda dengan ucapan seperti tengah membaca mantra, tangisan lirih itu berhenti.
Sebenarnya Dasio tak mengerti makna dari rangkaian bait mantra itu meski sangat jelas dirinya dengar. Namun entah mengapa, dirinya seolah tertarik untuk terus menyimak.
Setengah jam lebih Dasio berdiri sambil terus menempelkan telinganya. Tanpa menyadari jika gelap sudah mulai merambah.
Tubuh Dasio baru mundur beberapa jengkal dari ambang pintu, saat suara yang ia yakini adalah Mak Nap, merampungkan kalimat mantra dan berganti suara langkah menapak ke arah depan.
Tak ingin dirinya diketahui, Dasio menlangkah pelan dan menjauh dari belakang kantin. Sampai di tunggak kayu mati, Dasio berhenti. Menatap lurus ke arah pintu yang baru saja mengeluarkan bunyi krietan.
Terlihat dari keremangan suasana petang, sosok Mak Nap keluar bersama seorang wanita muda. Tampak kontras terlihat langkah keduanya, di mana Mak Nap yang lebih tua justru memapah sosok sang wanita muda itu.
Tak berapa lama, ketika jarak pandang Dasio semakin terpangkas lebih dekat, barulah ia tahu alasan Mak Nap mengapit sang wanita muda. Bukan karena kekurangan dalam fisiknya, namun dalam hal mental.
Dugaan Dasio semakin terpastikan manakala ia melihat dan mendengar, sosok wanita muda dengan rambut acak-acakan tertawa keras, bahkan bertingkah layaknya seorang bocah.
Dari rentetan tawa mendera yang terkadang teriring jeritan, ada satu keanehan yang Dasio dapati, di mana beberapa kali tersebut nama Narodo berulang-ulang, keluar dari mulut wanita muda itu.
Terseok, pelan setapak demi setapak langkah Mak Nap menyimpang ke arah kiri menyusur jalan rimbun menuju kampungnya. Meninggalkan puluhan tanda tanya dalam diri Dasio, yang masih terdiam di samping moncolan tunggak, terletak di sisi kanan belakang kantin.
Sampai tak terlihat lagi bayangan tubuh Mak Nap, barulah Dasio tersadar bila malam hampir merajai. Beruntungnya saat kegelapan itu menyaru, dari gudang sudah terlihat titik cahaya lampu yang pastinya dinyalakan oleh Jayadi.
Hal itu memudahkan Dasio untuk mengambil kendaraannya yang masih terpakir di sudut tanah lapang antara kantin dan gudang. Tanpa basa-basi lagi, ia segera memacu kendaraan roda duanya meninggalkan tempatnya mengais pundi-pundi rupiah.
Sepanjang perjalanan, dalam desakan semilir angin menerpa wajah, bayangan sosok wanita muda itu terus menari di pikiran Dasio. Ia tak mengenal, bahkan baru sekali tadi melihat, namun seolah enggan untuk keluar dari kepalanya.
Rasa penasaran pada sosok itu bukan pada wajah atau kekurangan mentalnya. Tapi pada penyebabnya. Satu yang paling Dasio terus ingat, umpatan melengking sambil menyebut nama Narodo, sang bos besar.
Tentu, bila tidak saling mengenal antara keduanya, tak mungkin wanita itu berani mencaci. Lalu, siapa sebenarnya wanita itu dan mengapa Mak Nap lah yang mengurus? juga apa gunanya ritual yang dilakukan oleh Mak Nap?
Klebatan pertanyaan itu terus saja memenuhi isi kepala Dasio sepanjang perjalanan pulang. Dan hilang tersamurkan, ketika dirinya baru saja membelokan stang motor kehalaman, melihat pintu rumahnya yang terbuka lebar.
Tak biasanya menjelang malam atau sehabis maghrib Parti berani membuka pintu seperti yang sedang ia lihat. Pikir Dasio, saat itu di dalam rumah sedang ada tamu, namun saat dirinya masuk sembari menuntun kendaraannya, ternyata kosong dan sepi.
Berulang kali Dasio memanggil nama Parti dan Darmono bergantian, tapi hanya hening tanpa adanya sahutan. Dasio sempat berpikir jika Parti khususnya masih marah dan tak mau menyahuti panggilannya.
Akan tetapi ketika semua kamar ia periksa dan tak menemukan keduanya, sedikit tersimpul satu kecemasan menyusup dalam batinnya.
Rasa cemas itu muncul bukan tanpa alasan. Di mana saat ia tengah terpikir oleh keberadaan Parti dan Dasio, bersamaan dengan santernya bau di sekitar dalam rumah, yang tericum seperti aroma wewangian kembang-kembang khas pelengkap sesaji.
Dasio sendiri awalnya tak bisa memastikan arah sumber wewangian itu, namun ketika dirinya tertuntun berjalan menuju ke arah belakang, tepat di kala kakinya menapak lantai acian ruang dapur, sengatan wangi kembang tercium begitu pekat berada di sudut kiri tempatnya berdiri.
Tak sia-sia, Dasio yang langsung memalingkan wajah. Melihat dua orang yang sedang dicarinya, Parti dan Darmono sedang duduk membelakangi.
Akan tetapi saat tiga sampai lima kali seruan memanggilnya tak juga ditanggapi serta hanya diacuhkan oleh keduanya, seketika juga menimbulkan rasa bingung dan was-was bagi Dasio.
Kejanggalan pun pada akhirnya memaksa Dasio untuk lebih mendekati tempat Parti dan Darmono terduduk. Tepat sesampainya di belakang keduanya, Dasio justru melebarkan mata.

"Dek, Tole Dar...!"
Kembali Dasio berseru memanggil. Kali ini lebih tegas namun parau, membuat sosok Parti dan Darmono sejenak mendongak ke atas, menatap wajah Dasio yang juga sedang melihat serius kepada keduanya.
Beberapa detik saja mereka saling beradu pandang, selanjutnya Dasio kembali tersuguhi pemandangan aneh dan gila menurutnya, di mana sosok istri dan anaknya itu tengah saling berbagi, melahap sejumput demi sejumput tiga jenis kembang yang tersaji di atas sebuah tepak pinggan.
"Dek!" sentak Dasio berusaha menghentikan Parti.
Tapi yang ia sentak justru memelototkan bola mata dan menyorotkan kemarahan. Membuatnya berganti merasai ketakukan hingga memilih mundur.
Sekira lima langkah menjauh, Dasio diam menunggu dengan penuh ketegangan. Merasa tak percaya dengan keadaan anak dan istrinya. Sampai pada titik dimana sosok Parti dan Darmono menghabiskan seluruh kembang-kembang yang tersaji, Dasio lagi-lagi hanya mampu menatap tanpa berucap.
Terasuk oleh rasa bimbang, menyusul sikap tak perduli keduanya seakan tak mengenali.

Menjangkah perlahan, Dasio mengikuti di belakang Parti dan Darmono menuju ke depan. Berlalu melewati ruangan demi ruangan, bahkan sampai di pintu utama yang masih terbuka lebar.
Sekali ini Dasio melangkah cepat ingin mengejar atau menghadang langkah Parti serta Darmono yang terlihat maju terus meninggalkan rumah.
Tetapi lagi-lagi aneh, bukan saja mereka tak terkejar, justru sosok keduanya tetiba menghilang tepat ketika berada di batas antara halaman rumah dan jalan umum yang berpenerang samar.
Sulit bagi Dasio pada saat itu untuk menalari kejadian yang baru saja ia alami. Walau di menit berikutnya timbul keyakinan jika dua sosok yang hanya menyisakan aroma wangi kembang bukanlah sosok asli Parti dan Darmono--
-namun atas terjadinya kejadian itu menjadikan adanya kekhawatiran tersendiri baginya.

Lama terduduk menyendiri dalam keresahan, perlahan membuat alam sadar Dasio terseret ke dalam kesunyian malam--
-Membawa masuk ke dunia mimpi, mengistirahatkan rasa lelah yang mendera jiwa dan batinnya. Entah berapa puluh menit, berapa jam, Dasio merasai nikmat pelukan alam sebelah. Lalu harus kembali pada dunia nyata, oleh sebuah sentuhan dan suara lembut yang menyadarkannya.

"Kang...."
Sebentar Dasio tergagap ketika telah membuka mata. Menatap penuh selidik, pada satu sosok yang ada di depannya, Parti.

"Kok turu nang kene, to Kang?" (Kok tidur di sini, to Kang?)
Parti kembali berucap dan semakin membuat kesadaran Dasio pulih akan tempat dirinya terbaring saat itu. Sebelum menjawab, Dasio mencoba kembali merunut ingatannya darii awal sampai ia harus tertidur di kursi tamu.
Dari situlah dirinya tahu, bila yang dirinya alami adalah sebuah bayangan semata. Tapi hal itu tetap saja menimbulkan kecemasan, was-was bilamana semua itu satu gambaran yang bisa saja terjadi kelak.
"Dek, Darmono nandi?" (Dek, Darmono di mana?) tanya Dasio setelah benar-benar telah kembali pulih.

"Wet bar Maghreb wes turu, Kang." (Sedari habis Maghrib sudah tidur, Kang.) sahut Parti pelan.
"Oh yo, Kang. Mau awan Pak Sanusi dolan rene. Ngeterke gajiane Sampeyan." (Oh iya, Kang. Tadi siang Pak Sanusi main ke sini. Ngantar bayaran Sampeyan.) sambung Parti sambil mendekatkan duduknya.
Bayaran…. Kalimat itu langsung membuatnya tertegun. Apalagi ketika Parti menyebut nominal yang ia diterima, spontan ia terperangah tak percaya.
"Jare Pak Sanusi iku termasuk bonus borongane seng di cekel Sampeyan." (Kata Pak Sanusi itu termasuk bonus borongannya yang dipegang Sampeyan.) terang Parti menggamblangkan.
Atas semua yang diceritakan, tetap saja Dasio tak begitu percaya dengan jumlah yang sudah diterima oleh istrinya dari Sanusi walau memang banyak pekerjaan proyek yang ia pegang.
Justru hal itu mengingatkannya pada sosok Narodo, Bos besar yang memegang kendali penuh atas bendungan dan jembatan raksasa yang bakal menjadi tumpuan penduduk satu kabupaten kelak dalam roda perekonomian, khususnya bidang pertanian--
-Membuatnya tak luput ber-angan sampai pada ritual terpaksa yang dilakukannya, hingga harus mengorbankan satu nyawa, menyangkutkannya pada perkara itu.
"Aku paham saiki opo seng Sampeyan kabeh lakoni, Kang. Jujur aku dewe wedi, terutama nang Darmono. Tapi sak bare Pak Sanusi njelaske dowo-dowo mau, saiki aku ngerti."
(Saya paham sekarang apa yang Sampeyan semua lakukan, Kang. Jujur saya sendiri takut, terutama pada Darmono. Tapi setelah Pak Sanusi menjelaskan panjang lebar tadi, sekarang saya mengerti.) ujar Parti kembali.
Dasio menatap lekat wajah istrinya kali ini, setelah sebuah keterangan yang meluncur dari mulutnya, seolah menjadi dukungan untuk dirinya. Namun di balik itu semua, ada satu ganjalan yang tak sampai untuk dirinya ungkap dan ia tanyakan langsung saat itu.
Tentang semua kebenaran dari kata “paham”, berdasarkan sebuah keterpaksaan akan keadaan yang memang mengharuskan, atau karena sejumlah uang yang sudah diterimanya.
Pertanyaan itu pun akhirnya Dasio simpan dalam-dalam, tak ingin merubah senyum Parti yang tersungging, setelah dari kemarin malam hanya kemurungan dan kemarahan yang terpancar.
Berawal dari malam itu, hari-hari selanjutnya Dasio nikmati dalam kebahagiaan bersama istri dan anaknya. Tak ada lagi yang dirinya sembunyikan dengan semua pekerjaan, terutama dalam hal ritual wajib, untuk dirinya lakukan setiap saat atas petunjuk dari Sanusi.
Bersambung....

Bab 5 dan 6 sudah selesai di Karyakarsa ya temen2. Kalian bisa langsung kunjungi dengan klik link di bawah. Terima kasih :)

Bab 5: karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Bab 6: karyakarsa.com/pusarawaktu/se…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Jul 19, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.III : Keluarga Yang Terusir

@IDN_Horor @bacahorror
#bacahorror #horor #KISAHNYATA
Yuk Lajut lagi~
...

Kegusaran begitu dirasa menusuk relung batin Dasio, setelah tahu siapa sosok Sanusi sebenarnya. Bayang-bayang kematian pun tetiba menghimpit pikiran, bersama dengan kengerian-kengeriannya.
Read 150 tweets
Jun 17, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA

- HOROR THREAD -

Sebuah kisah kelam berdasarkan kejadian nyata. Terjadi di tahun 80an, bahkan sampai sekarang.

@menghorror @issssss___ @autojerit @Penikmathorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror

#bacahoror #penikmathoror #horor #KISAHNYATA Image
DILARANG KERAS MEMBAGKAN KISAH INI DALAM BENTUK APAPUN DI LUAR TWITTER, TANPA SE-IZIN PENULIS!
Hola PWers~
Sambil menunggu rame, boleh minta retweet dan likenya dulu?

Terima kasih :)
Read 641 tweets
Jun 13, 2022
"DILARANG MENYEBARKAN KISAH INI DALAM BENTUK APAPUN, TANPA SEIZIN PENULIS!"
Yuk kita mulai berkisah lagi, PWers~
Read 83 tweets
Jun 9, 2022
Sebelum aku menceritakan kisah ini, aku ingin meminta maaf bukan maksudku untuk membongkar aib orang yang sudah meninggal,
tapi tujuanku menceritakan kembali kisah ini adalah supaya kalian yang membaca kisahku ini bisa mengambil pelajaran dari Almarhum, khususnya untuk kaum Laki-Laki.
Read 73 tweets
May 26, 2022
JAREK TANGKUP
(Tolakan Pengundang Bala)

- HOROR THREAD -

@issssss___
@autojerit
@Penikmathorror
@ceritaht
@IDN_Horor

#horor #kisahnyata #bacahoror Image
Hallo PWers~
Kita mulai berkisah lagi ya :D

Oh ya sebelumnya, kisah ini akan sedikit slow updatenya, bahkan malam ini pun, baru sebatas teaser dulu sampai agak senggang waktuna nanti :D

Yuk langsung mulai~
"Sampeyan wes roh, Yu. Kang Sakir muleh?" (Kamu sudah tau, Yu. Kang Sakir pulang?)

"Sopo seng ngabari?" (Siapa yang memberi tau?) Ucap Menik, seorang wanita berumur 43 tahunan, balik bertanya kepada Asti, tetangganya.
Read 81 tweets
May 19, 2022
Kita lanjut yaa temen2 :D
Nenek bongkok ini sudah tidak tanggung-tanggung. Tiga kiriman langsung menggempur, dia kirimkan. Aku yang sudah bersiap-siap, dan membentengi rumah dengan Yasin Tujuh Mubbin sebelumnya, segera menuju lahan kosong sebelah rumah.
"Ayo Nek, kita main di sini saja. Biar lapang dan leluasa." Tantangku, sambil terus menatap banaspati berputar-putar.

Banaspati adalah sosok bola api yang sering dijadikan sebagai media untuk mengirim santet kelas tinggi.
Read 167 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(