Pada kesempatan kali ini gw ada cerita mistis dari seorang santri, sebut saja dia adalah Soliqudin.
Jadi waktu Soliq ini mondok di pesantren yang ada di daerah Jombang Jawa Timur dan selama tinggal di pondok itu dia ini kenal sama orang yang menurutnya dia ini baik banget tapi aneh, hingga akhirnya temannya itu minta pada Soliqudin untuk menyampaikan sesuatu ke Romo kyai.
Namanya juga amanah kan, lalu Soliqudin datang ke ndalem Romo Kyai buat nyampein amanat tersebut lalu Romo Kyai menceritakan sesuatu yang membuat Soliqudin hampir tidak percaya.
Tahun 2006. Setelah kelulusan Madrasah Tsanawiyah (Setara dengan Sekolah Menengah Pertama) Soliqudin di daftarkan oleh orang tuanya di sebuah pondok pesantren yang terletak di daerah Jombang, Jawa Timur.
Sebuah pondok pesantrean Salafiyah. Disana Soliqudin mulai mengenal temen-temen barunya dari berbagai daerah dan dia menempati kamar komplek 1. Jadi di pesantren itu ada 5 komplek yang setiap kompleknya terdiri dari 5 kamar.
Seorang santri dari keluarga yang sangat sederhana, setiap ada libur pondok dia pulang perginya menggunakan sepeda ontel yang sudah sudah amat jadul, istilah jawanya sepeda Unto.
(Tau kan sepeda unto yang jadul itu, biasa dipakai orang tua)
Setiap harinya Soliqudin menjalani hari-harinya layaknya seorang santri, kalau pagi sekolah, sore mengaji diniyah dan malam harinya mengaji kitab kuning/kitab gundul, hingga tidak terasa 1 tahun sudah dia lalui, sekarang Soliq sudah duduk di kelas 2 Aliyah.
Seperti yang di terangkan, podoknya ini adalah pondok salaf, pondok klasik, sekolahnya satu lingkungan dengan pesantren dan setelah maghrib diajarkan mengaji kitab-kitab kuning atau kitab gundul. Diantaranya adalah Tafsir, Ushul Fiqih, Hadist dan semacamnya.
Pada suatu ketika Soliqudin mendapat tugas dari guru diniyah yaitu hafalan kitab. Nah, ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan banyak santri, kalau ada tugas hafalan kitab mereka selalu menghafalkannya di teras atas komplek yang ditempati Soliq, sebenarnya bukan teras,
itu adalah bangunan tingkat yang belum jadi namun santri biasa memanfaatkan tempat itu untuk menjemur pakaian dan kalau malam biasa digunakan untuk melepas penat karena tempatnya terbilang sangat nyaman dan sunyi,
benar-benar syahdu kalau malam-malam nongkrong diatas sambil melihat bulan bintang.
Malam itu Soliqudin memilih duduk di sudut untuk menghafalkan tugas dari gurunya itu, ketika sedang fokus menghafal tiba-tiba dia didatangi santri lain yang sebelumnya belum pernah dia kenal. Bertemu saja belum pernah.
“Permisi mas, mau setoran ya?”, ucap santri itu.
“Eh iya nih mas, ada hafalan dari pak Hafidz”, jawab Soliqudin.
“Saya ikut duduk disini ya”, lanjut santri itu.
“Monggo-monggo”, jawab Soliqudin memberinya tempat.
Setoran itu berarti, kalau kita ada tugas hafalan nantinya harus setoran hafalannya itu ke guru mengaji.
Santri itu kemudian duduk didekat Soliqudin, lalu Soliq bertanya,
“Santri baru ya mas? Kok saya gak pernah liat masnya?”
“Bukan, saya udah lama”. Jawabnya.
“Tapi kok gak pernah ngeliat ya?”, tanya Soliqudin.
“Saya tinggal di kamar gubuk”. Jawabnya.
Di dalam pondok memang ada istilah kamar gubuk, tempatnya berlokasi di pojok diantara komplek 4 dan 5, kamar gubuk itu di bangun sendiri oleh santri yang sudah lama dan yang menempati kamar itu sebagian banyak adalah santri yang sudah senior.
“Oh, pantesan saya gak pernah liat masnya, namanya siapa mas?”, tanya Soliqudin sambil mengulurkan tangannya.
“Saya Ghofur dari Jakarta”, jawabnya.
“Oh, mas Ghofur, saya Soliqudin biasa dipanggil Soliq dan saya dari Jombang sendiri”. lanjut Soliqudin.
Soliqudin bertempat tinggal di daerah Ploso, Kabupaten Jombang.
Nyessss.... telapak tangan Ghofur terasa sangat dingin ketika sedang berjabat tangan dengan Soliqudin, tapi Soliqudin tidak berfikir aneh-aneh karena memang malam itu diatas ini udaranya cukup dingin.
Mereka terlibat obrolan yang cukup panjang dan katanya dia sudah bertahun-tahun tinggal di pondok ini. Setelah ngobrol panjang Ghofur pamit, katanya dia hendak kembali ke kamarnya yaitu ke kamar gubuk dan disini Soliq merasa sedikit heran.
Ketika berjalan pergi dia tidak mendengar suara langkah kakinya Ghofur, wajarnya orang berjalan pastilah terdengar, entah itu “srek.. srek” atau “buk..buk”, tapi kali ini Soliqudin masih belum berfikir negatif dulu,
mungkin saja Ghofur kalau berjalan kakinya di angkat tinggi-tinggi. Dia lanjut menghafalkan kitabnya sampai sekitar jam 11 malam dia turun untuk tidur.
Beberapa hari setelahnya Soliqudin berhasil menghafal kitabnya dan pada suatu malam dia main ke atas teras untuk melepas penat dan mencari udara malam karena memang di atas ini tempatnya sangat asyik untuk bersantai, dia duduk di tempat yang sama yaitu di sudut.
Sebelumnya dia juga sudah sering main keatas bersama temannya tapi kali ini dia sendiri karena teman yang biasanya bareng dia itu sudah tidur.
Ketika sedang duduk sendiri di tempat yang sama dia di datangi lagi oleh Ghofur dengan pakaian yang sama persis saat ketemu Soliqudin waktu itu.
“Loh mas, monggo-monggo”, ucap Soliqudin menyapa.
Tanpa menjawab Ghofur duduk di dekat Soliqudin dan malam itu mereka terlibat obrolan panjang lagi, Ghofur cerita banyak ke Soliqudin tentang kehidupannya selama di pesantren ini dan katanya dia sudah beberapa tahun tidak pulang.
“Loh berarti meskipun ada libur idul fitri juga gak pulang mas?”, tanya Soliq.
“Tidak mas, haram bagi saya untuk pulang”. Jawab Ghofur dan Soliqudin sedikit tersentak.
Bukan karena rumahnya jauh di Jakarta lantaran dia punya tanggungan ke Romo Kyai untuk menghafalkan Al-Quran sampai khatam 30 surat beserta artinya.
Soliqudin hanya bisa menggelegkan kepala lantaran dia heran,
“Waduh, hafalan Quran 30 jus beserta artinya? bisa bertahun-tahun tuh”, batin Soliqudin.
Di sela-sela obrolan Ghofur minta tolong sesuatu ke Soliqudin,
“Mas, saya boleh minta tolong gak”, ucapnya.
“Boleh mas, insya allah saya bantu kalau mampu”, jawab Soliqudin.
“Tolong kamu ke ndalem dan bilang ke Romo Kyai kalau saya sudah hafal Al-Quran 30 jus beserta artinya”. Jelas Ghofur.
Ndalem adalah rumah tempat tinggal Romo Kyai.
Soliqudin sempat menolak karena selama tinggal disini dia tidak pernah masuk ke ndalemnya Romo Kyai, bukan karena apa-apa, tapi masa iya dia harus ke ndalem hanya untuk menyampaikan pesan dari Ghofur?
“Mas, saya sungkan kalau harus ke ndalem, kenapa gak sendiri aja, mas kan udah lama disini sedangkan saya masih baru”.
“Saya udah sering ke ndalem tapi ndalemnya Romo Kyai selalu ditutup dan saya tidak bisa masuk, tolong lah mas, jasa mas Soliq gak bakal saya lupain”.
Dia memohon ke Soliqudin dan karena kasihan akhirnya Soliqudin bersedia membantu.
Keesokan harinya sepulang sekolah dia memberanikan diri untuk datang ke ndalem Romo Kyai, setelah beberapa kali mengucapkan salam akhirnya Bu Nyai membuka pintunya,
“Permisi Umi, saya ingin bertemu dengan Romo Kyai”. Ucap Soliqudin.
“Oalah monggo, ayo silahkan masuk dulu”. Jawab bu Nyai.
Soliqudin berjalan di belakang Bu Nyai memasuki ndalem,
“Kamu duduk dulu biar saya beritahu Romo Kyai”, pinta Bu Nyai.
Soliqudin duduk di ruang tamu, tidak lama kemudian Romo Kyai datang dan Soliqudin segera bersalaman sambil mencium tangan Romo Kyai,
“Apa yang membawamu kesini nak?”, tanya Romo Kyai.
“Begini romo, saya dapat amanah dari mas Ghofur, katanya dia sudah hafal Al-Quran dan saya diminta menyampaikan ini ke Romo Kyai”. Jawab Soliqudin sambil menunduk.
“Ghofur? Yang kamu maksud Ghofur siapa?”, tanya Romo Kyai.
“Ghofur yang dari Jakarta romo, dia yang tinggal di kamar gubuk”. Jawab Soliq.
Romo kyai diam beberapa saat, lalu beliau meminta Soliqudin untuk minum air mineral yang sudah tersaji diatas meja.
“Kamu namanya siapa nak dan rumahnya dimana?”, tanya Romo Kyai.
“Saya Soliq romo, saya dari Ploso”. Jawab Soliqudin.
“Jadi begini ya Soliq, saya mau cerita apa kamu mau mendengarkan?”, ucap beliau.
“Injih romo dengan senang hati”. jawab Soliqudin.
(Cerita dari romo kyai)
6 tahun yang lalu ada seorang santri di pondok ini yang sangat berbakti sama kyainya, dia orangnya jujur dan taat sama tuhannya.
Romo kyai sangat bangga mempunyai santri sepertinya sampai-sampai Romo Kyai sering mengajak santri itu untuk menemani Romo Kyai ketika beliau ada pengajian di daerah lain.
5 tahun lebih dia tinggal di pesantren dan 1 tahun lagi dia akan lulus, beberapa bulan sebelum kelulusan Romo Kyai memberi wasiat ingin menikahkan santri itu dengan santriwatinya.
Seorang perempuan yang anggun dan solehah, jujur dan taat sama tuhannya. Namanya adalah Iffah Nur Shobhah, biasa dipanggil Iffah.
Sebagai santri yang taat dia menurut dengan apa yang menurut Romo Kyai baik baginya, dia di pertemukan dan di kenalkan langsung dengan Iffah di ndalem dan keduanya setuju.
Hari berganti hari. Beberapa bulan setelahnya Romo Kyai melihat sebuah kejadian yang membuatnya sangat kecewa. Namanya juga manusia tidak luput dari salah dan dosa.
Pada suatu malam Romo Kyai ada pengajian di kampung sebelah. Ba’da isya sepulang dari pengajian itu beliau terhenti di depan ndalem dan entah kenapa beliau tiba-tiba melihat ke sebuah ruangan yang terletak di gedung sekolah lantai 2.
Seperti ada kecurigaan di dalam hati beliau, rasa penasaran mendorong beliau naik ke gedung tersebut.
Hal ini benar-benar aneh, padahal sebelumnya Romo Kyai sangat jarang menginjakan kaki di tempat tersebut.
Sebuah gedung sekolah berlantai 3. Kalau pagi gedung itu digunakan untuk sekolah dan kalau malam digunakan untuk mengaji Diniyah.
Perlahan beliau berjalan menuju ke ruangan tersebut, beberapa anak tangga sudah beliau lewati tanpa meninggalkan suara jejak kaki.
Ketika hendak sampai di ruangan yang akan dituju jantung beliau berdetak hebat, beliau mempunyai firasat buruk. Sesampainya di ruangan tersebut yaitu ruangan kelas Diniyah,
dari jendela kaca beliau menyaksikan sebuah pemandangan yang membuatnya ingin segera pergi meninggalkan ruangan tersebut.
“Astaghfirullah hal’adzim!!”, ucapnya dengan spontan, seakan-akan beliau tidak percaya melihat kejadian itu.
Masih berpakaian seragam Diniyah santri dan santriwati yang menurut beliau taat sama tuhannya itu sedang berciuman mesra.
Mendengar Romo Kyai nyebut asma Allah mereka berdua terlihat kaget dan segera menghentikan aksinya, mereka hanya diam di tempat.
Romo Kyai tidak berkata apapun, setelah menyebut asma Allah beliau bergegas pergi meninggalkan tempat ini dan masuk ke ndalem.
Keesokan harinya beliau memanggil kedua orang itu ke ndalem, sambil menitihkan air mata dan di saksikan oleh Bu Nyai beliau memberi nasehat pada mereka,
“Perbuatan kalian ini dilaknat lo, jangan anggap cuma saya yang melihatnya”. Ucap beliau.
“Iya romo, saya minta maaf yang sebesar-besarnya romo”, jawab santri itu menangis.
“Jangan minta maaf sama saya, minta maaf sama tuhanmu! Kalian ini sudah diajarkan agama lo disini, bisa-bisanya kalian berbuat seperti itu. Saya menyesal sudah mengenalkan kalian berdua”. Ucap Romo Kyai.
Santri dan santriwati itu menangis atas kesalahannya hingga mereka siap jika ingin di nikahkan sekarang juga untuk menebus kesalahannya.
Melihat mereka berdua sudah sudah mengakui kesalahannya dengan tulus akhirnya Romo Kyai memberinya maaf tapi dengan syarat,
yaitu mereka harus di ta’zir. Ta’zir adalah hukuman yang sudah di tetapkan pihak pesantren bagi siapapun yang melanggar aturan pesantren, entah itu santri ataupun pengurus pesantren.
Mereka siap menerima hukuman apapun dari Romo kyai dan bersumpah tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi.
Selama 3 bulan Iffa harus membersihkan kamar mandi di pondok putri seorang diri sedangkan santri yang laki-lakinya diberi hukuman dengan di gunduli rambutnya. Bukan hanya itu,
Romo Kyai juga memintanya untuk menghafalkan Al-Quran 30 surat beserta artinya dengan tujuan agar santri itu paham kalau perbuatannya waktu itu adalah dosa besar. Bukan hanya itu juga,
sebelum dia bisa menghafal Al-Quran Romo Kyai mengharamkan santri itu untuk pulang meskipun nanti sudah lulus.
Hukuman yang digunduli itu memang sudah biasa diterima santri lain kalau mereka berbuat kesalahan dalam pesantren, tapi Romo kyai merahasiakan kesalahan mereka berdua ke santri lainnya.
Hari terus berlalu, untuk menebus kesalahannya santri itu berjuang keras untuk menghafalkan Al-Quran, sampai hari kelulusan tiba teman-teman sebayanya pada pulang tapi tidak dengan santri itu, dia menetap di pondok sampai dia benar-benar sudah hafal Al-Quran.
Pastinya untuk menghafal Quran itu tidak mudah, butuh waktu beberpa tahun apalagi dia harus menghafal beserta artinya.
Di tengah perjuangannya menghafal santri itu mendapat kabar dari saudaranya di rumah kalau orang tuanya sedang ada masalah hingga bercerai. Mendengar kabar itu santri ini merasa bingung, kepalanya di penuhi dengan masalah baru, dia menanggung beban yang sangat berat,
ingin rasanya izin pulang tapi tidak ada keberanian mengingat tanggungannya disini belum selesai dan dia juga berani berani menceritakan masalah keluarganya itu ke Romo Kyai karena menurutnya itu tidak ada sangkut pautnya dengan Romo Kyai.
Hari-hari dilalui santri itu dengan penuh beban, hingga pada suatu pada ketika santri ini sudah merasa frustasi, berbagai cara dia lakukan agar bisa fokus ke hafalan Al-Quran dan tidak memikirkan kejadian di rumah hingga dia meminum obat penenang.
Pada suatu ketika Romo Kyai dibuat kaget karena mendapat kabar dari pengurus pesantren kalau ada santri yang tubuhnya kejang, kesadarannya hilang dan muntah-muntah.
Beliau memerintahkan pihak pengurus untuk segera membawanya ke puskesmas terdekat tapi pihak puskesmas tidak sanggup menangani dan merujuk santri itu ke RSU (Rumah Sakit Umum),
sesampai di RSU keberuntungan tidak berpihak, santri itu menghembuskan nafas terakhirnya di RSU tersebut.
Pihak rumah sakit memberitahukan penyakit yang di derita santri itu bahwasanya dia mengalami oversdosis karena berlebihan mengkonsumsi obat penenang.
Pihak pesantren berusaha menghubungi pihak keluarga santri tapi tidah bisa hingga di datangi ke alamat rumahnya di Jakarta pun tidak membuahkan hasil.
Rumah santri ini sudah kosong, tidak tau pemiliknya pindah kemana hingga akhirnya santri itu di makamkan di desa tempat pondok pesantren tersebut.
Romo Kyai benar-benar terpukul atas peristiwa ini, beliau mendatangkan Iffa ke pesantren untuk di beritahukan. Saat berada di ndalem Iffa sedikit bercerita ke Romo Kyai kalau beberapa hari yang lalu santri ini sempat menelfon Iffa melalui wartel
dan memberitahukan masalah keluarganya itu, Iffa sempat menyarankan agar minta keringanan pada Romo Kyai tapi dia tidak mau karena dia tidak ingin mengecewakan Romo Kyai.
Romo Kyai sangat merasa bersalah, seandainya dia memberitahukan pasti beliau tidak akan keberatan memberi izin pulang, tapi nasi sudah menjadi bubur dan semoga santri itu bisa tenang di alam sana.
Santri itu adalah Ghofur. Ahmad Maulana Ghofur.
(Kembali ke cerita Soliqudin)
Mendengar cerita dari Romo Kyai Soliqudin merasa antara kasihan dan takut, kasihan atas kejadian yang menimpa Ghofur dan takut kalau nanti Ghofur mendatangi dia lagi.
Kesimpulannya meskipun sudah meninggal Ghofur ini tidak lepas dari tanggung jawabnya pada Romo Kyai, mungkin di alam lain Ghofur terus menghafal Al-Qur’an dan ketika tiba saatnya dia sudah hafal dia ingin mengatakan itu pada Romo Kyai,
tapi dia tidak bisa masuk ke ndalem karena terhalang sesuatu yang terpagar di sekitar ndalem.
Setelah bercerita panjang lebar itu Romo kyai bilang ke Soliqudin,
“Nanti ba’da ashar kamu izin gak masuk diniyah, tulis aja di surat kalau aku yang suruh, aku mau mengajakmu ke makam Ghofur buat ziarah”.
“Injih romo saya mau, saya mau ziarah ke makam mas Ghofur”. Jawab Soliqudin.
Soliq pamit untuk kembali ke kamar, sesampai di kamar dia ini masih tidak habis fikir, dia menaruh rasa empati pada Ghofur.
Ba’da ashar dia dan Romo Kyai datang ke pemakaman untuk berziarah ke makam Ghofur, setelah mendoakan Romo Kyai memegang batu nisan Ghofur sambil berucap,
“Ahmad Maulana Ghofur, wes yo le tanggunganmu wes lunas, kowe sing tenang to ndk kono”.
(Ahman Maulana Ghofur, udah ya nak tanggung jawabmu sudah lunas, kamu yang tenang ya disana)
Kisah yang dialami Ghofur ini memang pahit, Soliqudin mejadikan peristiwa itu sebagai pelajaran yang sangat berharga agar di kemudian hari nanti dia bisa menjadi santri yang taat pada tuhannya dan bisa mengamalkan apa yang sudah dia dapat dari pesantren.
Selesai
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kisah ini dialami oleh seorang warga desa yang pernah di asingkan ke tengah hutan, pertanyaannya kenapa bisa dia diasingkan?
Karena orang ini menderita penyakit berbahaya yaitu budug dan penyakit itu bisa menular dengan cepat dan orang yang terkena penyakit budug kemungkinan bisa bertahan hidupnya tipis banget.
Pada kesempatan kali ini gw mau nyeritain pengalaman mistis dari gunung Lawu. Jadi beberapa hari yang lalu gw di ceritain sama orang kalau dia ini pernah melakukan perjalanan spiritual ke gunung Lawu dengan tujuan menjalankan amanah dari leluhur.
Disitu dia cerita banyak dan menurut gw ini cerita epic banget buat di ceritain. Beliau mengizinkan kisahnya ini buat diceritain dengan tujuan buat pengetahuan aja, tapi dengan syarat identitas dan latar belakangnya di samarkan karena itu privasi.
Kali ini gw mau nyeritain pengalaman horor yang dialami oleh Jimmy ketika melakukan pendakian ke gunung Semeru bersama 5 orang temannya.
Jadi di pendakiannya itu mendakinya via jalur ilegal yaitu jalur ayek-ayek dan itu membuat mereka menemukan beberapa kejadian aneh dalam pendakiannya. Jalur itu sebenernya legal tapi saat itu jalur ayek-ayek sudah dututup oleh pihak TNBTS karena terlalu bahaya buat pendaki.
Kisah ini dialami oleh 4 orang, 2 cowok dan 2 cewek. Sebut saja mereka adalah Nino, Dimas, Felly dan Yuni.
Kisah horor ini mereka alami ketika melakukan perjalanan pulang dari Jakarta menuju ke Semarang.
Dimana waktu itu mereka berempat ini disesatkan google maps ke sebuah hutan. Dan parahnya lagi didalam hutan itu mobil yang mereka kemudikan ini mogok pas tengah malem pula.
Waktu itu, kami berenam berniat pergi ke kota Batu, Malang untuk mengisi waktu libur akhir pekan setelah beberapa hari sebelumnya di sibukan oleh pekerjaan, disana kami menyewa sebuah vila yang terletak di kaki gunung Arjuno,
tapi vila yang kami tempati itu ternyata dihuni oleh makhluk lain yang menyerupai salah satu teman kami.