Diosetta Profile picture
Aug 18, 2022 395 tweets >60 min read Read on X
Cetik Badung - Tetesan Air Mayat
- A Thread -
Tetesan cairan perlahan mengisi cawan kayu yang sengaja kuletakkan di tanah. Bau yang sangat busuk tercium dari dekatnya.
Aku tertawa seperti orang yang kesetanan menyaksikan setiap tetesnya..
#bacahorror @bacahorror_id @IDN_Horor Image
"Nah Meme, tiang ane lakar ngwalesang gedeg memene. Tiang lakar ngwalesang gedeg iragane teken ia ajak makejang ane suba ngaenang Meme buka kene,”
(“Baik ibu, akan kubalaskan dendamu. Akan kubalaskan dendam kita pada mereka yang telah membuatmu menjadi seperti ini”) ucapku pada Meme (Ibu).
Cairan itu menetes sedikit demi sedikit dari mayat Meme-ku yang telah mati. Berhari-hari aku menangisi jasadnya hingga tidak tersisa lagi air mata yang bisa kujatuhkan.
Seolah menggantikan air mataku, cairan-cairan dari organ jasad ibu mulai menetes dari ranjang kayu tempatku menidurkanya. Aku melihatnya sebagai sebuah harapan. Harapan bagiku untuk menghabisi mereka yang telah melakukan ini semua.
Bau yang amat busuk menyelimuti seluruh ruangan tempatku hanya berdua dengan jasad Ibu. Namun bau busuk ini tidak dapat mengalahkan kegembiraanku mendapatkan tetesan air ini. air mayat dari tubuh ibu yang bisa kugunakan untuk membalas mereka dengan sebuah ilmu..
Cetik Badung.. sebuah ilmu santet dengan perantara Air mayat.
***
𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟏 - Angin Hitam dari Timur

Bertahan hidup di Ibukota dengan status sebagai mahasiswa nekad bukanlah hal mudah. Bukan masalah mahalnya biaya hidup di sini, tapi kadang sedikit sulit untuk membedakan antara kebutuhan hidup dan gaya hidup.
Hal inilah yang kadang membuat mahasiswa perantauan nekad menyerah di tengah jalan karena tidak mampu mengikuti gaya hidup mahasiswa di kota ini.

“Surya, lu di dalem kan?” tanyaku sembari mengetuk pintu kamar kos yang tak jauh dari kamarku.
“Eh elu Ndra, kenapa pagi-pagi gini?” tanya Surya masih dengan wajah kasurnya.

“Tanggal tiga Ndra, udah disuruh narikin uang kosan nih,” ucapku yang sejak tahun lalu memang dititahkan oleh ibu kos untuk mengurus pembayaran kamar.
“Berapa? Tiga ratus tujuh puluh ya? Nih,” ucapnya sembari mengeluarkan empat lembar seratus ribuan yang sepertinya memang telah ia siapkan.
“Udah kembalinya buat lu aja, ongkos kemarin sering nitip beli nasi goreng,” tambah surya.

“Serius Sur?”

“Iya santai aja.”
“Gua udah bawa kembalian nih,” ucapku.
“Halah nggak usah basa-basi, seneng juga kan lu,” balasnya yang sudah mengerti gaya bercandaku.

Aku tertawa membalas perkataanya dan berterima kasih. Akupun melanjutkan ke kamar berikutnya.
Dalam waktu tiga hari aku sudah menyelesaian tugas ibu kos untuk menagih delapan belas kamar. Akhirnya aku bisa menghadap ke ibu kos dengan bangga kali ini.
“Cengar-cengir, udah lu tagih semua belum?” tanya Bu Royani, ibu kosku yang sudah menjadi ceesku tak lama setelah aku tinggal di sini.

“Sudah donk bu, lengkap delapan belas kamar!” balasku dengan meletakkan setumpuk uang di hadapanya.
“Nah, udeh tuh. Per kamar lu ambil dua puluh ribu. Ongkos lu nagihin mereka,” ucapnya sambil melirik ke tumpukan uang itu.

“Siap Bu, hari ini ibu cantik banget dah,” ucapku memujinya.

“Bisa aje lu, lagian biasanya juga udah tau itunganya,” balasnya.
“Ya kan tetep ijin dulu, siapa tau ibu juga butuh,” ucapku sembari mengembalikan sisa uang kos itu kepadanya dan berpamitan.
Haha.. Tuhan memang selalu punya rencana untuk memenuhi kebutuhan umatnya. Aku selalu percaya itu.
Setelahnya aku segera bersiap untuk berangkat ke kampus dan memasukkan satu box kartu perdana ke tasku. Ini adalah salah satu daganganku yang membuat ku menjadi terkenal di kalangan mahasiswa penghamba kuota.

Apa? Mahasiswa nekad? Gagal di tengah jalan?
Sori, Premis di atas tadi bukan kisah tentang gua. Mana mungkin seorang Indra Askara, mahasiswa perantau dari Purwakarta ini bisa kebingungan masalah uang.

Bukan bermaksud untuk sombong, tapi aku adalah orang yang tidak mempedulikan apa kata orang. Kalau bahasa kerenya ..
“Gua gak peduli lu menghina apa, toh bukan lu yang ngasi gua makan..”

Memang itu bukan kata-kata bijak yang sering dipajang orang-orang di media sosialnya agar terlihat keren. Tapi kalimat itu cukup membuatku menjadi cuek dengan pandangan orang dan terus melangkah.
“Ndra! Udah siap belum,” panggil seseorang sambil mengetuk pintu kamarku.

Itu adalah Arsa, temanku yang paling dekat. Kami memang beruntung sampai semester empat ini masih bisa satu kelas.
“Sudah donk, yuk” balasku sembari mengenakan tas ranselku yang cukup besar.

“Woy! Tungguin! Gua juga bareng..” Teriak seorang perempuan dari kamar di lantai dua.
Dia Amita, salah seorang sahabatku juga.
Mahasiswa perantauan dari Bali yang mendapat beasiswa untuk mencari ilmu di kampus dan kelas yang sama denganku.

“Iye! Jangan lama-lama!” ucapku.

“Nggak lah, ini langsung turun.. tapi habis make up, milih tas, sama milih sepatu,” balasnya.
“Yuk kita berangkat duluan!” balas Arsa sambil mengajakku keluar.

“Heh! Bercanda, ni gua langsung turun,” balas Amita yang dalam hitungan detik sudah menghampiri kami.

“Kalau sampe nungguin lu milih baju mending gua ngerjain skripsi duluan,” ledekku.
Amitapun menepuk pundakku dengan tertawa.

“Nggak selama itu juga kang kasep,” balasnya yang sok menirukan logat sunda mengingat kota kelahiranku.

“Yah, Geg Amita mulai belajar bahasa sunda. Awas betah,” ledek Asra.
“Yee biarin, Ini mau ngobrol apa mau berangkat nih? Kalau masi mau ngobrol gua bikin skripsi dulu nih,” balas amita.
“Yee, dibales..”
Kami bertiga memang sedekat ini. walau Amita berbeda jurusan tapi hampir setiap jadwalnya tidak berbeda dengan kami.
ada alasan ia tidak sering berkumpul dengan anak kos atau mahasiswi perempuan lainya dan lebih memilih dengan kami.
Menurutnya, mahasiswi beasiswa itu mengemban tanggung jawab yang besar. Baik dari soal nilai maupun biaya hidup.
Berteman dengan kami sudah terbukti bisa menghindari lifestyle anak kampus dan teman-teman kos kami.

Hanya dengan berjalan kaki sekitar sepuluh menitkami sudah mencapai gerbang utama kampus.
Kos kami memang tidak jauh, malah kadang aku curiga jarak dari gerbang utama hingga gedung kuliah masih lebih jauh dari jarak kosku ke gerbang kampus.
“Balik jam dua kan? Pada mau ke mana habis itu?” ucap amita.
“Ke warung nasi Bu Marti aja, biar kenyang sampe malem,” Ajakku.
“Oke, ketemu di sana,” balas Mita.
Aku dan Asra segera menuju kelas yang memang berbeda arah dengan Amita. Seperti ceritaku tadi, sudah ada beberapa mahasiswa yang menungguku di kelas menanti kartu perdana daganganku.
“Tar kalau habis, gua kontek lagi ya ndra,”
“Beres, thank you bro”
Dalam sekejap aku menghabiskan setengah box kartu perdana yang kubawa yang kuduga akan habis dalam hitungan hari.
Aku dan Arsa sudah siap di kursi kami tepat saat dosen datang. Aku tidak mau sampai ketinggalan materi pelajaran perkuliahan. Untukku, semua materi yang diajarkan pasti bernilai. Maksudnya bernilai dalam arti yang sebenarnya..
Setiap menjelang ujian, catatan dan kisi-kisi yang kucatat selama ini bisa bernilai sebungkus rokok.
Sesuai janji, selesai perkuliahan kami bertemu di warung Bu Marti. Warung ini letaknya cukup tersembunyi di dalam gang jadi tidak terlalu ramai.
Setelah menahan rasa laparku, akhirnya aku melampiaskana dengan memilih beberapa sayur rumahan sebagai lauk. Asra dan Amita sudah lebih dulu selesai memilih.
“Eh buset, lu jajan apa ngerampok?” ledek Asra.
“Amunisi sampe nanti malem, lagian lu pada irit-irit banget makanya. Bayarnya kan sama,” balasku.
Amita mengambilkan minuman yang telah selesai dibuatkan dan membawanya ke meja kami.
“Ta, libur semester ini kan panjang. nyambung sama libur lebaran, Lu ga ada rencana balik ke bali?” tanyaku.
“Nah, itu gua baru mau ngomong. Rencananya sih gitu. Lu pada pulang kampung juga?” balas Mita.
“Gua pasti pulang. kalau nggak, nama gua bisa hilang dari kartu keluarga,” respon Asra.
“gua pulang pas hari H lebaran aja, itung-itung nemenin ibu kos,” balasku.
Kampungku paling dekat dibanding mereka berdua. Selain karena bisa pulang kampung kapan saja, sepertinya lebih berfaedah bila aku tetap tinggal di kos membantu ibu kos menjaga kamar-kamar yang ditinggal oleh penghuninya.
“Bagus tuh, gua nitip motor ya. Males gua kalau pas balik harus repot-repot servis sama cek aki lagi,” ucap Asra.
“Tenang motor lu aman, di tangan gua,” balasku.
“Jangan tiba-tiba gua liat motor gua di tukang gadai ya!” balas Asra.
“Yakin nggak mau? Gua cariin harga yang bagus deh,” balasku meledek.
“Ngaco lu..”
Seusai makan dan perbincangan tidak jelas itu kami kembali ke kos. Biasanya kalau malamnya salah satu dari kami bosan, kami tinggal nongkrong di tukang roti bakar.
Satu roti bakar biasanya bisa bertahan beberapa jam untuk kami bertiga.
***
Menjelang malam angin mulai berhembus dengan kencang. Tiba-tiba saja jendela kamarku terbanting menutup beberapa kali. Akupun menghampirinya dan berniat menguncinya.
Saat menghampiri jendela, perhatianku tiba-tiba tertuju pada seseorang yang berdiri tertegun di halaman depan. Dari baju yang ia pakai aku tahu Itu Amita..
Sedang apa dia seorang diri berdiri di sana.
“Woi Mita! Ngapain di sana?” panggilku, tapi ia tidak merespon sama sekali dan hanya berdiri di tengah kencangnya angin yang berhembus.
Pikirku mungkin ia sedang menunggu seseorang. Akupun kembali menutup jendelaku dan bersiap berbaring lagi memainkan telepon genggamku.
Tok..tok..tok..
Baru saja aku bersiap merebahkan tubuhku tiba-tiba terdengar suara seorang mengetuk pintu kamarku.
“Indra..” panggilnya.
Itu suara Mita..
Lantas, siapa yang ada di luar tadi? Saat itu juga aku merasa ada yang aneh. seketika bulu kudukku merinding.
Aku belum pernah merasa seperti ini di kos ini.
“Indra…” suaranya terdengar lirih tidak seperti biasanya.
Dengan perasaan ragu akupun membuka pintu. Dan benar memang benar itu Mita.
Tapi wajahnya terlihat pucat, matanya menguning dan seperti ada bekas air mata yang mengering di pipinya.
“Indra, aku nggak mau mati..”
Suara ketokan pintu terdengar membangunkanku dari tidurku. Aku terbangun dengan keringat yang mengucur deras dan jantung yang berdegup kencang.
Mimpi? Jadi yang barusan itu mimpi?
Belum sempat berpikir panjang terdengar lagi suara ketukan di pintu kamarku.
“Ndra, tidur lu Ndra?”, itu suara Asra.
Akupun segera membukakan pintu untuknya.
“Sori-sori, ketiduran gua,” balasku.
“Dih maghrib-maghrib tidur, dimimpiin yang aneh-aneh lho,” ucapnya.
Aku hanya menggaruk kepalaku tanpa menjawab.
Sepertinya setelah mimpi tadi aku jadi harus mempercayai mitos itu.
“Roti bakar yuk, bosen gua,” ucap Asra.
“Gua ganti baju bentar, udah ajak Mita?” tanyaku.
“Ya samperin ke atas aja nanti..” jawab Asra.
Akupun bersiap sebentar dan naik ke lantai dua menghampiri kamar Mita. Lantai dua memang dikhususkan untuk kamar putri. Awalnya Bu Royani memang sedikit ketat melarang pria naik ke lantai atas. namun saat semakin dekat dengan anak-anak kosnya, iapun melonggarkan aturan ini.
“Mita, keluar yuk.” Panggil Asra sambil mengetuk pintu kamar Mita.
Walau sudah cukup sering naik ke lantai atas. Namun aku tetap saja canggung tiap berada di lantai yang dikhususkan oleh penghuni kos putri ini.
Bagaimana tidak, banyak dari mereka yang menjemur pakaian dalamnya dengan santai di depan kamarnya masing-masing.
Suara engsel kunci terdengar dari dalam. Mitapun membuka pintu dan terlihat wajahnya yang terlihat kusut.
“Sori Ndra, tiba-tiba nggak enak badan gua. Skip dulu ya,” kata Mita.
“Eh, iya tuh.. muka lu pucet, mau kita anter ke klinik?” balas Asra.
Melihat wajah Mita tiba-tiba aku teringat mimpi barusan. Kenapa bisa kebetulan?
“Nggak usah Sra, masuk angin biasa kayaknya. Gua istirahat dulu aja,” balas Mita.
“Ya udah, tapi kalau tambah parah bilang ya. Biar langsung gua anter ke klinik,” Ucapku.
“Iya, tar gua kabarin..”
Kamipun mengurunkan niat kami untuk keluar dan memilih untuk standby di kos untuk siaga dengan kondisi Mita.
“Arsa…”
“Kenapa ndra?”
Aku berniat menceritakan mimpiku soal Amita tadi. Tapi mungkin saja bukan hal yang penting, sehingga aku memilih menyimpanya sendiri.
“Nggak jadi, tar kontek-kontekan ya kalau di mita ngabarin,” ucapku.
“Iya, lu juga”
Kamipun kembali ke kamar masing-masing dan aku lebih memilih menghabiskan waktu dengan menonton televisi.
Sampai malam tidak ada kabar dari Mita, sepertinya dia benar-benar beristirahat.

***
Pagi kali ini aku terbangun dengan suara dering dari telepon genggamku. Berkali-kali aku tidak menggubrisnya, namun suara itu terus berulang. Akupun mengalah dan beranjak dari tempat tidurku.
Rupanya telepon dari Asra..
“Ndra, ke kamar gua sekarang,” ucapnya singkat dengan nada suara serius.
“Kenapa sih Ndra pagi-pagi buta gini,” jawabku malas.
“Udah cepetan kesini sekarang, Mita di sini,” ucapnya.
Mita? Di kamar Asra? Pasti ada sesuatu yang penting.
Akupun segera mencuci muka seadanya dan pergi ke kamar Asra.
Pintu kamar Asra setengah terbuka, dan benar memang ada Mita di sana.
“Gua masuk ya Sra,” ucapku.
Terlihat Mita sedang terduduk menyandarakan dirinya ke tembok dengan memeluk bantal. Matanya terlihat sembab.
“Si Mita Ndra..” Asra ingin mulai cerita namun segera dipotong oleh Mita.
“Meme gua.. Nyokap gua ndra, nyokap gua udah nggak ada,” ucapnya yang segera disusul dengan suar isak tangis.
“Nyokap lu? Nyokap lu yang di bali?”
Mita mengangguk, ia berusaha menahan tangisnya namun sepertinya itu terlalu berat.
“Masalahnya nggak itu saja, Bokapnya Mita keadaanya juga kritis,” tambah Asra.
“Kritis? Mereka kecelakaan?” tanyaku memperjelas.
Mita menggeleng,”Nggak, bukan kecelakaan. Tiba-tiba saja tadi pagi Pak Nik yang ngabarin”
Dari ucapanya sepertinya seseorang yang mengabari Mitapun masih belum bisa memastikan penyebab kematian ibunya.
“Ya udah Mit, lu balik aja.. ijin kuliah dulu,” ucapku.
“Udah gua cariin tiket pesawat, adanya jam satu siang gimana?” balas Asra.
Sekarang masih jam enam pagi. Bila kami beberes secepatnya kemungkinan masih bisa kekejar untuk sampai di bandara sebelum jam dua belas.
“Iya ambil itu aja, masih sempat. Sekalian buat gua Sra, biar gua nemenin Mita nanti gua transfer,” ucapku.
“Lu mau ikut?” Tanya Asra.
Akupun menggeser posisi duduku dan mendekat ke Asra.
“Ibunya Mita udah nggak ada, ayahnya sakit. Siapa lagi yang nemenin dia kalau bukan lu atau gua Sra,” ucapku.
Asrapun segera mengerti maksudku. Ia segera meminta data KTP kami dan memesankan tiket pesawat melalui aplikasi di telepon genggamnya.
“Udah nih, siap-siap jam sepuluh kita harus udah berangkat dari sini,”
“Kita?”
“Iye, gua ikut. Pasti nggak bakal tenang gua kalau gua di sini. Nggak kebayang bakal segimana repotnya di sana,” ucap Asra.
Akupun tersenyum mendengar niat Asra. Ini adalah perjalanan pertama kami bertiga keluar kota. Setelah ini aku harus menghitung sisa tabunganku dan menelpon orang tuaku untuk pamit. Aku tahu mereka pasti akan mengerti bila kujelaskan.
“Maafin gue ya Ndra, Sra.. gua nggak tahu lagi harus minta tolong ke siapa,” isak Mita.
“Ssst.. udah tenang aja yang penting lu tenangin diri dulu sambil siap-siap, nanti gua anterin sarapan ke kamar lu,” balasku.
Pagi yang biasa kami gunakan untuk bercengkerama dengan kasur kini berbeda drastis. Kami mengejar waktu untuk packing, mandi , dan sarapan sebelum akhirnya kami berangkat ke bandara.
Beruntung, siang itu lalu lintas tidak terlalu padat. Kamipun segera memasuki terminal keberangkatan dan melakukan check in di maskapai.
Sebenarnya sepanjang perjalanan aku merasakan Mita tidak hanya sedih. Ia seperti memikirkan seuatu yang seolah membuatnya bimbang.
Namun semua itu terjawab ketika kami bersiap memasuki gate boarding.
Tiba-tiba Mita menarik bajuku seolah ragu untuk berangkat.
“Ndra, Sra… ada yang belum gua ceritain,” ucap Mita dengan hidungnya yang masih merah setelah menangis cukup lama.
“Kenapa Ta?” Balasku.
“Gu—gua mimpi.. sebelum gua dapet kabar nyokap meninggal, gua dapet mimpi aneh,” ucap Mita.
Mita bercerita, malam itu saat ia merasa tidak enak badan dan beristirahat dia terbangun beberapa kali. Dan mimpi setiap tertidur selalu menyambung.
Di mimpi itu ada sosok perempuan dengan wajah yang dipenuhi garis biru dari urat-uratnya. Ia menatap Mita dengan mata yang sudah memerah. Berkali-kali ia mencoba mengejar Mita, mengetahui sosoknya yang seperti itu Mitapun selalu melarikan diri.
Entah berapa lama itu terjadi sampai akhirnya perempuan itu berhasil menangkap Mita. Namun yang terjadi perempuan itu hanya berucap pada Mita.
Eda mulih! Engken ja panadine, eda mulih!"
(Jangan pulang! Apapun yang terjadi jangan pulang!)
“di mimpi itu perempuan itu ngelarang gua untuk kembali entah apa maksudnya. Gua nggak tahu itu Cuma mimpi atau peringatan,” cerita mita.
Aku saling bertatapan dengan Asra.
“Awalnya lu nggak cerita soal ini karna lu tetep pingin pulang ke Bali kan?” tanya Asra.
Mita mengangguk.
“Ya udah urusan kita sama keputusan lu, bukan mimpi lu lagi. Ayo jalan..” ucapku melengkapi maksud pertanyaan Asra.
Ini pertama kalinya aku menaiki kendaraan yang sering diumpamakan dengan nama burung besi ini.
mungkin kalau bukan karena darurat aku akan lebih memilih naik bus yang harganya bisa lima kali lebih murah dari pesawat.
Dan satu lagi, beruntung ada Asra yang sudah pengalaman dengan perjalanan udara. Kalau tidak mungkin aku sudah seperti orang bodoh di bandara tadi.
Birunya lautan dan berbagai pegunungan terlihat dengan indah dari jendela. Seandainya ini bukan perjalanan darurat mungkin aku lebih bisa menikmati perjalanan ini. namun sama seperti yang lain,
mungkin pikiran kami semua sudah terpaku pada apa yang harus kami lakukan di tempat mita nanti.
Setelah mendarat kampun melanjutkan perjalanan kami dengan menggunakan taxi bandara. Ternyata desa Mita terletak di utara pulau bali yang membutuhkan waktu beberapa jam dari bandara.
Kamu turun di desa rumah orang tua Mita tinggal. Bukan desa seperti yang kubayangkan berisi rumah adat bali, ternyata rumah-rumah di desa mita sudah mengikuti perumahan sekarang. Hanya saja ciri khas arsitektur rumah bali tetap dibangun dengan halaman yang mengelilingi rumah.
Terlihat dengan adanya kuil kecil tempat meletakkan canang (sesaji) yang biasa disebut sanggah.
Kedatangan Mita disambut dengan wajah haru kerabatnya yang menunggu di sana.
“Geg, maafkan Pak Nikmu ini geg,” ucap seorang bapak yang cukup berumur yang air matanya menetes lagi ketika melihat Mita.
“Sudah Pak Nik, Tiang mau belajar ikhlas,” jawab Mita.
Belum sempat mereka berbincang lebih dalam.
Kami melihat pemandangan yang sama sekali tidak kami duga.
Tidak hanya ada satu jenazah di sana. Ada empan Jenazah yang dibaringkan bersama dengan ibu Mita.
“Pak Nik, i—itu jenazah siapa saja?”
Paman Mita mengusap air matanya yang kembali keluar dan mendekat ke arah Mita.
“Pak Nik ga mau bikin geg khawatir. Jadi Pak Nik tidak memberi tahu geg soal mereka. Menik – Menik dan Ninimu juga bernasib sama,” cerita Pak Nik.
Akhirnya aku tahu mengapa Paman Mita hanya mengabari seadanya tentang kepergian ibunya Mita.
Rupanya istrinya juga bernasib sama dengan ibunya mita. Aku tidak menyangka akan melihat hal seperti ini.
Wajah Mita terlihat semakin shock. Aku hanya bisa mengelus punggung mita.
“Yang tenang ya Mit, di ikhlasin..” ucapku.
“Mereka orang-orang baik Ndra, mereka yang ngurus aku waktu kecil,” sekali lagi air mata Mita mengalir deras.
Mita berniat melihat terakhir kali jasad ibu dan kerabatnya. Ia membuka kain penutup yang menutupi wajah jenazah ibunya itu.
Betapa kagetnya kami saat mengetahui Ibu Mita meninggal dengan mata berwarna kuning yang tidak bisa menutup dengan rahang yang kaku.
“Saya cari!! Akan saya cari siapapun yang mengirim ilmu untuk membunuh mereka!”
Tiba-tiba terlihat salah seorang bapak yang mengamuk di tengah kumpulan kerabat Mita. Saat mita menatapnya sepertinya mita mengenal orang itu.
“Pak Nik, maksudnya apa? Membunuh? Ibu di bunuh?” tanya mita yang semakin shock dengan apa yang ia lihat dan ia dengar.
Pak Nik menjelaskanya sambil menangis. Sehari sebelumnya hari bapak dan ibu Mita mengalami sakit yang aneh. matanya semakin lama semakin menguning dan tubuhnya terasa sakit.
Ayah Mita menelpon Pak Nik bercerita bahwa ia berniat berobat, namun setiap keluar niatnya selalu tertutup seolah ada yang menjaga rumah mereka.
Mendengar cerita itu Pak Nik meminta tolong seorang Terma Balian yang ia kenal untuk membantu Ayah Mita.
Sayangnya saat sampai di rumah Ibu Mita sudah kehilangan nyawanya. Balian itu berhasil menolong Ayah Mita namun sampai sekarang kondisinya masih kritis.
Seolah tidak senang dengan perbuatan Pak Nik, tiba-tiba tadi malam istrinya terlihat bertingkah aneh,
seperti ada sesuatu yang menyerangnya. Pak Nik mencoba berbagai cara untuk menolong. Sayangya hanya dalam hitungan menit, istrinya meninggal dengan wajah yang ketakutan.
Mendengar cerita itu seketika tubuhku merinding.
Ternyata mitos tentang masih kentalnya klenik di Bali mungkin benar adanya. Tapi apa benar sehebat itu hingga bisa mematikan empat orang dalam satu malam?
“Salah Meme sama Bapa apa Pak Nik? Kenapa sampai ada yang ingin membunuh mereka?” tanya Mita dengan memelas.
Pak Nik menggeleng, sepertinya dia juga belum tau dengan jelas tentang apa yang terjadi.
“Polisi dan Pecalang sudah kemari, mereka akan mencari tahu pelakunya. Tapi sebaiknya Geg jangan berharap banyak, berusahalah untuk ikhlas,” ucap Pak Nik.
Setelah kepanikan Mita mulai reda, Mitapun mengenalkan kami pada Pak Nik mereka dan beberapa kerabat. Nama-nama yang disebutkan cukup membuatku kesulitan menghafalnya.
Mereka bercerita, untuk sementara jasad akan dikubur lebih dulu sebelum mereka memiliki kemampuan untuk mengadakan ngaben, atau mengikuti ngaben masal.
Aku baru tahu soal hal ini. Di adat umat Hindu di Bali.
Tangguk jawab keluarga terhadap jenazah yang sudah meninggal baru sempurna ketika jenazah itu sudah di kremasi dengan ritual adat Ngaben.
Ritual ngaben membutuhkan sangat banyak biaya.
Oleh karena itu, mereka yang belum mampu memilih menguburkan jasad kerabatnya dulu hingga ada acara ngaben masal atau kemampuan finansial mereka sudah mencukupi.
Tanpa terasa mengikuti perbincangan mereka, akhirnya malampun tiba. Suasana di rumah ini menjadi sangat berbeda.
Walaupun masih ada beberapa kerabat yang menunggu aku tetap saja merasa aneh.
“Nanti kalian tidur di rumah saya saja ya, tidak jauh dari sini kok,” ucap Pak Nik.
“Iya pak, Terima kasih.” Balasku.
Pak Nik mengantarku ke rumahnya untuk aku meletakkan barang-barangku.
Sedari tadi Mita meminta untuk ditemukan dengan Ayahnya. Namun kerabatnya memintanya beristirahat dulu dan besok pagi baru menemui ayahnya.

“Pak, memangnya bisa ya semudah itu membunuh orang dengan ilmu?” Tanya Asra yang wajahnya penasaran sejak tadi..
“Tidak semudah itu, mereka butuh benda-benda dan informasi yang sangat pribadi dari korbanya. Baru mereka bisa melancarkan serangan,” jelasnya.
Pak Nik menghela nafas sebelum melanjutkan kata-katanya.

“Maka itu, biasanya pelakunya bukan orang jauh dan masih kerabat sendiri.”
Mendengar penjelasan itu aku dan Asra saling bertatapan, buat kami ini adalah fakta yang mencengangkan. Bagaimana mungkin orang terdekat malah menjadi ancaman terbesar?

Pak Nik kembali lebih dulu ke rumah Mita sementara kami membereskan barang dan mandi terlebih dahulu.
kami melakukan semuanya secepat mungkin dan ingin segera kembali ke rumah Mita.
Sambil mendengar cerita mereka, pandanganku terpancing pada sosok perempuan yang melihat dari depan rumah.
“Ta, itu siapa? Nggak diajak masuk aja?” tanyaku.
Mita menoleh ke arah perempuan yang mungkin seumuran dengan Mita dan mencoba mengenalinya.

Perempuan itu mengenakan baju kebaya Bali berwarna hitam lusuh dengan rambut yang terurai hampir menutupi wajahnya.
Walau dengan penampilan itu sepertinya Mita mengenali perempuan itu.

“Rala? Itu Rala Pak Nik?” Tanya mita.
Pak Nik melongo melihat sosok yang ditunjukkan oleh Mita. Seolah sadar keberadaanya diketahui, perempuan itu berjalan pergi meninggalkan rumah Mita.
“Sra, gua yang salah liat atau gimana ya? Itu cewe senyum?” tanyaku.

“Iya Ndra, gua juga liat. Tiba-tiba merinding gua,” balas Asra.

Pak Nik mencoba mengejar perempuan itu.
tapi anehnya baru beberapa detik sejak kepergianya tiba-tiba sosok perempuan itu sudah menghilang dari pandangan kami.

Wajah Pak Nik terlihat bingung. Ia seolah mencoba berpikir mengingat sesuatu.

“Pak Nik itu bener Rala?” tanya seorang kerabat yang penasaran.
“Dak tahu, sudah hilang saja wujudnya,” balas Pak Nik.

“Itu Rala Pak Nik, Tiang ingat wajahnya,” ucap Mita.

Pak Nik kembali menatap mita dan menghela nafas. Sepertinya ada sesuatu yang memang belum diceritakan oleh Pak Nik.
“Sudah lebih dari satu minggu kami tidak melihat Rala dan ibunya. Rumahnya kosong, dan teleponya sudah tidak aktif,” ucap Pak Nik.
Penjelasan Pak Nik cukup membuatku berpikir curiga dengan seseorang yang dipanggil dengan nama Rala itu.
“Jangan-jangan Rala juga sedang ada masalah Pak Nik,” tanya Mita yang khawatir dengan keponakanya itu.

“Entahlah geg, Pak Nik sudah mencoba menghubungi tapi tidak ada hasil,” balasnya.
Setelah ucapan itu Mita melamun sebentar.
Setelah itu ia meninggalkan pelataran terasnya dan mengajak kami berjalan-jalan keluar.

“Keluar sebentar yuk, cari angin” ajak mita.

“Sekalian cari makan aja, lu belum makan kan?” tambah Asra.

“Nggak laper gua, lagian di rumah juga udah disiapin makanan,” balasnya.
Wajar, dalam kondisi emosinya seperti itu ia mungkin tidak terpikir untuk makan.

Kamipun berjalan memutari desa mengikuti arahanya. Dari arah Mita melangkah sepertinya ia menuju ke suatu tempat.

“Kita ke arah mana Mit?” tanyaku.
“Rumah Rala, gua yakin perempuan tadi itu Rala,” ucap mita.

Aku menoleh ke arah Asra. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang buruh dengan seorang yang bernama Rala itu.
Perjalanan kami sampai di sebuah rumah yang sedikit terpisah dari rumah lainya. Bangunanya tidak sebagus rumah Mita sebagian temboknya masih berupa bata. Lampunya padam seolah lama tidak disinggahi. Melihat bangunan itu di tengah kegelapan membuatku merasa merinding.
“Permisi! Rala!” Teriak mita memastikan apakah ada orang di dalam.
Tapi seperti dugaan kami, tidak ada orang yang menjawab salam dari Mita. Kemungkinan memang tidak ada orang di dalam.
Sayangnya dugaan kami berubah menjadi keraguan ketika menemukan canang dan dupa yang berada di sana seperti belum lama dipersembahkan.

“canang dan dupanya masih baru, berarti tadi ada orang di sini,” ucap Asra.
Mita melangkah masuk ke dalam mendekat ke arah pintu. Saat semakin dekat menuju rumah samar-samar aku mencium bau yang aneh yang membuatku mual.

Mita merogoh tasnya cukup lama dan mengeluarkan sebuah kunci yang kuduga merupakan kunci dari pintu rumah di hadapan kami.
“Ta? Lu ada kuncinya?” tanyaku.

“Gua sama Rala temenan dari kecil, mungkin udah kayak saudara. Makanya Memenya nitipin kunci rumah biar aku bisa sering mampir pas Rala di rumah sendiri,” jelas Mita.

Pantas saja Mita begitu khawatir dengan perempuan bernama Rala itu.
ternyata ia mempunyai hubungan yang erat denganya.

Tepat saat pintu terbuka, bau yang menyengat semakin tercium. Aku tidak pernah mencium bau seperti ini sebelumnya.
Kami menyalakan penerangan dari telepon genggam, dan menelusuri rumah Rala yang terlihah berantakan.
Ada sebuah kamar yang tertutup rapat di belakang tidak seperti kamar lain yang terbuka.
Sepertinya kami bertiga mengambil kesimpulan yang sama dan menuju kamar itu.

“Hoeeekkk!!”

Tepat ketika kamar itu terbuka, Asra tak bisa menahan rasa mualnya dan terus menutup hidungnya.
Benar, bau itu berasal dari kamar ini.
Tak cukup sampai di situ, saat kami mengarahkan cahaya senter kami ke arah dalam. Di sana terbaring sosok jasad seorang perempuan yang sudah membusuk dan hampir tidak berbentuk.
Posisi kepalanya yang menengok ke arah kami membuat mita seketika panik dan terjatuh.

“I—Itu Mayat!!” ucapku panik.

Asra masuk melihatnya dan segera berpaling tidak tega melihat kondisi jasad yang ada di hadapanya itu.

“Ma—mayat itu..” Mita mencoba mendekat memastikan.
“Sra! Cari meteran listrik.. coba nyalain lampunya,” perintahku.

Asrapun mencari meteran listrik dan menemukanya di samping rumah. Tak berapa lama setelahnya beberapa lampu di rumah ini menyala. Lampu dari bohlam berwarna oranyepun menerangi ruangan ini.
“Itu! Menik! Meme-nya Rala!!” teriak Mita yang kembali menangis saat bisa melihatnya dengan jelas.
Sayangnya bukan hanya sosok jasad itu saja yang bisa terlihat dengan jelas. Tembok-tembok meja dan semua benda di ruangan itu penuh dengan coretan-coretan.
Bahkan ada beberapa yang ditulis dengan darah.

Matiang Cang iba! Makejang arus mati!
I Meme kanti ngalahin, arus walesang!

(Kubunuh kalian! Semua harus mati!
Kematian meme-harus dibalas!)
Nyak Dewa, nyak butha, Cang sing peduli, makejang lakar sembah apang ngidang ngwalesang ene makejang!

(Dewa atau setan aku tidak peduli, siapapun kusembah demi membalas ini semua!)
Berbagai umpatan, cacian, sumpah serapah tertulis oleh seseorang yang memendam rasa dendam yang sangat dalam. Aku melihat hampir seluruh tulisan itu sampai tiba-tiba aku berhenti pada sebuah tulisan.
Lima hari.. lima hari aku menunggu jasad meme, kukira lebih baik aku mati bersama meme. Tapi meme berkehendak beda, jasad memepun menuntut keadilan.

Dengan air yang kudapat dari jasad meme, akan kubalaskan kematianya kepada mereka yang telah membunuhnya.
Aku menelan ludah membaca tulisan itu. Mitapun menemukan beberapa cawan kayu yang berisi cairan berbau sangat busuk.

“Nggak mungkin.. nggak mungkin Rala yang membunuh Meme??” ucap Mita dengan air mata yang masih menetes.
Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi melihat bencana yang menimpa Mita Saat ini. Aku hanya bisa membantu Mita untuk berdiri dan mengajaknya meninggalkan rumah ini untuk melapor kepada Pak Nik.
Wajah Asrapun menggambarkan ia benar-benar tidak mampu menangkap kejadian ini dengan nalar. Kehidupan Mita yang selama ini nyaman di Jakarta mendadak berubah menjadi begitu pelik dalam satu hari.
Kamipun memilih untuk segera keluar dan meninggalkan tempat yang mengerikan ini..
Tapi, tepat saat akan meninggalkan rumah, samar-samar kami melihat bayangan sosok wanita menatap dari luar.
Wanita dengan kebaya bali berwarna hitam dengan rambut panjangnya yang kusut menatap kami dari luar seolah menanti kami.
***
(Bersambung Part 2 of 3 - Jasad Pembawa Dendam)
Terima kasih telah mengikuti kisah ini.
buat temen-temen yang mau baca kelanjutanya duluan bisa mampir ke sini ya :
karyakarsa.com/diosetta69/cet…

mohon maaf apabila ada salah kata atau bagina yang menyinggung dan buat yang menunggu kisah danan cahyo, kita mulai lagi akhir bulan ini.
CETIK BADUNG
Part 2- Jasad Pembawa Dendam
...
Jasad itu mencoba untuk bangun, namun ia terjatuh kembali ke tanah hingga beberapa kali sembari menoleh ke arah kami.

Ia tersenyum…
Jasad itu menyeringai saat akhirnya berhasil menemukan kami..
#bacahorror @IDN_Horor @bacahorror_id Image
Part 2 - Jasad Pembawa Dendam

Seorang wanita dengan kebaya Bali berwarna hitam dengan rambut panjangnya yang kusut menatap kami dari luar. Entah aku harus berkata dia wanita yang anggun ataukah mengerikan? Kedua hal itu kurasakan dalam dirinya.
“Rala, kamu Rala kan?” ucap Mita yang mulai mengenali sosok wanita di luar.

Wanita itu tidak menjawab, sebaliknya ia malah tersenyum dengan matanya yang terus menatap ke arah Mita.
“Rala? Jadi kamu yang melakukan ini semua? Kamu yang membunuh meme?” Mita mulai mencari jawaban dari sosok yang ia lihat itu.

“Khahahaha… hahahaaa” Seketika Rala tertawa tak terkendali sembari mengacak-acak rambutnya. Matanya melotot seperti kesetanan.
“Semua akan mati! Kusisakan Ayahmu untuk menyaksikan hingga akhir! Dia pantas mendapatkanya!” Teriak Rala meluapkan seluruh emosinya.

Mita yang sudah tidak tahan segera melesat keluar mencoba mendekati Rala,
namun tiba-tiba listrik rumah Rala tempat kami berada saat ini kembali mati. hujan deras turun seketika bersama petir yang menyambar.
Entah kemana perginya, tiba-tiba Rala sudah menghlilang dari pandangan kami.
aku mencoba mencari keluar tapi tidak ada satupun petunjuk mengenai kepergian Rala.
“Sra, cek meteran listrik lagi gih..” ucapku sambil menyalakan senter dari telepon genggamku.
Asrapun mengerti dan segera bergegas pergi sementara Mita terlihat sangat shock.
“Uda Ta, tenang dulu.. jangan terlalu dipikirin,” aku mencoba menenangkan Rala dari rasa kalutnya.
“Dia bener Rala Ndra, kenapa dia sampai bisa melakukan ini semua?” ucap Mita sambil terisak.
Aku yang tidak mampu menjawab apapun hanya mampu mengelus punggung Mita sembari menemaninya.
“Bukan dari listrik rumah Ndra, saklarnya masih naik” ucap Asra.
“Ya sudah terus gimana? Kita mau nerobos hujan atau nunggu di sini?” tanyaku.
“Ka—kalau gua sih mending hujan-hujanan, ogah gua di sini. Udah gelap, ada mayat juga di dalam,” balas Asra.

Benar ucapan Asra, akupun mulai merasa sangat tidak nyaman di tempat ini.
Selain gelap dan hujan deras, keberadaan sosok mayat yang sudah membusuk benar-benar bukan kondisi yang tepat untuk menunggu hujan usai.

“Kita terobos hujan saja ya Mita?” ajakku.
Mita mengangguk dan berusaha berdiri dengan bantuanku.
Kamipun melangkah keluar menuju pintu tempat dimana Rala menampakkan dirinya tadi. Namun baru beberapa langkah saat akan meninggalkan rumah, tiba-tiba Mita menahanku dan Asra menghentikan langkahnya.

“Ndra..” Asra memanggilku dengan suara yang bergetar.
Aku menoleh ke arahnya dan wajahnya terlihat memucat. Genggaman tangan Mita pada bahuku juga semakin keras dan gemetar.

“I—Itu apaan Ndra?” tanya Asra sambil menunjuk ke arah luar.
Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Asra namun tidak ada apapun di sana selain tetesan air hujan yang membasahi tanah dengan derasnya.

“Apaan Sra? Nggak ada apa-apa?” ucapku.

“Liat yang bener Ndra, i—itu kenapa ada orang-orang tanpa kepala di sana?” teriak Mita.
“Orang tanpa kepala? Nggak ada apa-apa mit?”
“Mereka semua nenteng bangkai hewan Ndra, kepala monyet, kepala kambing.. mereka apaan?” tambah Asra.
Aku tidak mengerti apa yang mereka maksud. Halusinasi? Atau aku yang memang tidak peka.
Tapi yang aku tahu, ketakutan mereka itu nyata.
“Ndra! Tutup Ndra! Tutup pintunya! Mereka ke sini!” Teriak Mita.

Asra mendahuluiku untuk berlari dan kususul untuk membantunya menutup pintu. Asra menahan pintu itu dengan punggungnya sekuat tenaga dan Mitapun mulai membantunya.
Aku yang masih belum mengertipun ikut duduk bersandar pada pintu itu.

“Mita, Asra.. kalian yakin, kalian nggak lagi berhalusina…”

Prang!!!

Seketika kaca jendela rumah pecah dengan lemparan batu dari luar. Satu persatu semua kaca pecah tanpa terkecuali.
Mita berteriak sekuat tenaga ketakutan dengan kejadian itu sementara aku dan Asra memastikan posisi kami aman dari pecahan kaca yang berserakan.

Sayangnya itu hanya permulaan, tak lama setelahnya sebuah benda dilempar ke dalam dan memantul ke arahku.
Tanpa sengaja aku menangkap benda itu dan tersontak dengan apa yang ku genggam.

“Ke—kepala monyet??!” teriakku yang spontan melemparkan kemBali benda itu.
Tak lama kemudian menyusul dari jendela yang pecah kepala kambing, kepala ayam, dan berbagai kepala hewan menghujani kami dan mewarnai lantai rumah dengan darahnya.

“Hh… hoekk… jadi yang kalian lihat tadi beneran?” tanyaku.
“Beneran lah Ndra! Sejelas itu!!” protes Asra.
Akupun masih penasaran dan sedikit mengintip dari kaca jendela yang pecah tadi, namun sama saja tidak ada apapun yang terlihat dari sana. Apa maksudnya ini?
“Ndra, jangan ngeliat keluar.. mereka masih di sana, ada suara aneh yang muncul dari mereka,” ucap Mita dengan ketakutan.

Suara? Buakanya mereka tidak memiliki kepala? Lalu suara apa yang terdengar oleh Mita?
Asrapun memutuskan untuk mengunci pintu dari dalam dengan kunci yang dimiliki Mita. kami hanya terduduk lemas menanti derasnya hujan yang mengguyur bangunan ini.

Setiap kami merasa keadaan sudah mulai tenang, tiba-tiba ada kepala hewan yang dilemparkan masuk ke dalam rumah.
“Mita, coba hubungi Paknikmu? Minta tolong jemput kita di sini” ucapku pada Mita.

“Sudah Ndra, daritadi gua coba telpon gua kirim pesan tapi nggak ada respon,” jawab Mita.

“Duh… kenapa bisa nggak di jawab, bukanya mereka standby di rumah Mita?” ucap Asra kesal.
Mendengan jawaban itu aku teringat ucapan Rala tadi.

“Jangan-jangan terjadi sesuatu juga pada Paknik?” ucapku.

Asra dan Mita menoleh perlahan ke arahku. Mereka mulai merasa sepaham denganku.
“Terus gimana? Kita mau terus di sini?” tanyaku lagi.
“Mereka masih di luar Ndra, mereka ngelilingin rumah ini..” ucap Mita yang masih ketakutan.

“Kita cuma bisa nunggu mereka pergi, atau pagi datang lebih dulu Ndra” tambah Asra.
Aku tidak bisa berpikir lagi. Saat ini pecahan kaca dan kepala hewan yang berserakan berada di ruangan ini membuatku ingin segera pergi.

“Apa kita pindah ke dalam?” tawarku pada mereka.
“Nggak Ndra, dari tadi tiba-tiba gua ngerasa perasaan nggak enak dari kamar itu. kamar yang ada jasadnya Menik” ucap Mita.

Aku semakin kalut, soal hal ucapan Mita aku sepakat.
Sedari tadi memang aku merasakan perasaan mengerikan dari ruangan itu, namun aku pikir itu hal yang wajar karena memang ada jasad manusia di sana.

“Ta? Makhluk itu ngomong apan ta? Mantra ? lagu? Atau apa?” tanya Asra yang semakin gelisah.
“Nggak Tahu Sra, itu juga bukan bahasa Bali. Gua nggak berhenti merinding dengernya”

Aku berdiri dan menatap Mita dan Asra, mereka benar-benar ketakutan sementara aku tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan.
“Baca doa sebisa kalian, tenang saja. Malam ini pasti bisa kita lewati,” aku mencoba sedikit menenangkan mereka.

Aku bisa berkata seperti itu mungkin karena aku tidak merasakan apa yang mereka rasakan.
Tapi setidaknya dengan doa kami masing-masing, kami bisa menguatkan mental kami.
Detik demi detik kami lalui menunggu dengan semua keadaan mengerikan ini. petir yang saling bersahutan terkadang memantulkan bayangan sosok makhluk yang berada di luar yang tidak dapat kulihat.
Kami menunggu sembari menahan rasa takut kami. Saat berfikir kami sudah melewati puncak kengerian ini, kami salah besar.

DiBalik suara derasnya hujan kami mendengar suara pintu kamar yang bergerak.
Sontak mata kami tertuju pada setiap pintu kamar, dan suara itu berasal dari kamar dimana jasad ibu Rala berada.

“Nggak, nggak mungkin..” ucapku sembari menggelengkan kepala.

“Itu siapa?” tanya Asra.

“Nggak ada orang lain selain kita di rumah ini,” tambah Mita.
Hal yang paling tidak ingin kubayangkan.
Terdengar langkah terseok-seok dari arah dalam kamar itu. terdengar suara pintu terbanting ke tembok beberapa kali seperti seseorang yang kesulitan untuk berjalan.

Jasad Ibu Rala…
Itu jasad ibu Rala yang lengah membusuk merayap keluar dari kamar.

“Ndra! I—itu mayat.. bisa gerak??” Wajah Asra semakin pucat sementara Mita hanya menangis tidak karuan menyaksikan hal mengerikan itu.
Jasad itu mencoba untuk bangun, namun ia terjatuh kembali ke tanah hingga beberapa kali hingga akhirnya jasad itu menoleh ke arah kami.

Ia tersenyum…

Jasad itu tersenyum menyeringai saat berhasil menemukan kami.
Saat itu jantungku berdebar sangat cepat.
Entah apa maksud dari senyuman itu.
Tidak tahu apa yang harus kami lakukan, akhirnya aku hanya bisa membacakan doa sebisaku walaupun aku harus mengulangi beberapa kali untuk menyelesaikan sebait doa.
Tepat saat petir menyambar seketika sosok jasad itu hilang. Kami menoleh ke segala arah dan sama sekali tidak melihat sosok jasad itu lagi.

“Kemana jasad tadi sra?”

“Nggak tahu Ndra, gua nggak ngeliat”

Kami mengatur nafas sembari tetap waspada.
Sampai akhirnya sesuatu menetes ke lantai tempat kami berdiri. Spontan kamipun mencari asal tetesan air itu. Tapi…

Dari langit-langit rumah, jasad yang tadi menghilang sudah merayap di atas memandang kami sambil wajah tawanya yang mengerikan.

"Khheoeekk…kheeoek.."
Tawanya terdengar aneh dengan tenggorokanya yang mungkin telah rusak dimakan belatung.

Seketika wajahku pucat, kakikupun bergetar lemas melihat sosok mengerikan yang wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dari kepalaku.
“Lari… lari Mita!” ucap Asra sementara aku menarik tangan Mita untuk meninggalkan tempat itu.

Tepat saat kami pergi, jasad itu terjatuh di lantai. Ia terus menatap kami sambil merayap memakani satu persatu kepala hewan yang berserakan di ruangan ini.
Aku mencoba menahan mual melihatnya.
Perlahan kami menjauh dari makhluk itu ke arah dalam rumah menghindari semua kengerian itu.

“Ndra!”panggil Asra berbisik.
Aku segera menoleh ke arahnya. Ia terlihat terpaku menatap ke dalam kamar.
“Liat itu ndra, Mita..” tunjuk Asra.

Kami menoleh ke dalam kamar. Saat itu juga bulu kuduk kami kemBali merinding. Posisi kamar itu masih sama persis seperti saat kami keluar tadi. Dan Jasad itu masih terbaring mengenaskan di kamar.
“Jadi Sra, makhluk yang menyerupai jasad itu apa?” tanya Mita yang semakin cemas.

Seolah menyadari tingkah laku kami. tiba-tiba sosok yang menyerupai jasad itu menghampiri kami sambil merayap memuntahkan berbagai darah yang ia hisap dari kepala-kepala hewan itu.
“Lari! Kita harus lari! Kita terobos aja makhluk di luar!” ajakku yang merasa panik saat mengetahui makhluk itu mendekat.

“Makhluk di luar banyak Ndra!! Gimana cara kita kabur?” balas Asra panik.

Akupun menarik mereka ke dapur mencoba memeriksa pintu belakang.
Namun ekspresi Asra dan Mita mengatakan bahwa kondisi di luar jauh lebih berbahaya.

Belum sempat memikirkan cara lain, tiba-tiba sosok itu sudah merayap semakin cepat menghampiri kami di dapur.

“Ndra.. kita terpojok ndra” ucap Asra.
Di hadapanku hanya terlihat satu makhluk menyeramkan, namun mengapa saat itu aku merasa ada makhluk lain yang mengikuti makhluk itu seolah menatapku dari seluruh penjuru ruangan ini.

Dongggg….
Samar-samar terdengar suara gong di telinga kami.
anehnya, jauh atau dekat kami tidak bisa membedakan.

“Mita, lu denger suara gong?”

Mita mengangguk.

Dongggg….

Suara itu terdengar lagi bersamaan teriakan makhluk yang menyerupai jasad Ibu Rala. Sepertinya suara gong itu membuat makhluk itu tidak nyaman.
Ia berteriak gila setiap mendengar gong itu. Mita dan Asrapun mengatakan sosok diluar terlihat bingung dan perlahan menghilang.

“Ini suara gong dari mana?” ucapku kagum.

“Mungkin.. ada Balian yang berusaha nolongin kita,” ucap Mita menebak.
Benar saja, setiap gong itu terdengar membuat makhluk itu perlahan menghilang dari hadapan kami. dan terdengar langkah mendekat ke arah rumah ini dari luar.
Saat itu juga kami berlarian menuju ke luar dan membuka pintu untuk beberapa saudara Mita bersama Balian dan Pecalang yang sepertinya membantu mereka.

“Mita, kamu nggak papa?” tanya seseorang yang sepertinya masih saudara Mita.
Mita mengangguk sembari berusaha menghapus sisa air matanya.

“Maaf Bli, ada jasad di kamar itu,” ucapku berusaha memberitahu mereka.

Merekapun mengecek kamar itu dan tercengang melihat kondisi kamar yang benar-benar mengerikan itu.
Jasad itu masih ada terbaring seperti sebelumnya..

“Bagaimana kalian bisa masuk ke rumah ini?” tanya salah seorang pecalang.

“Ini rumah Rala, ibunya sempat menitipkan kunci rumah ini pada Mita teman kecil Rala.
Kami ke sini karena Mita khawatir dengan Rala dan sama sekali tidak menyangka bahwa akan menemukan hal seperti ini..” Jelas Asra menggantikan Mita untuk bercerita.

Sepertinya penjelasan Singkat Asra sudah cukup untuk mereka.
“Paknik? Bagaimana keadaan Paknik? Tadi Mita telpon tidak ada jawaban,” tanya Mita khawatir.

“Tadi di rumahmu juga ada kejadian, Paknikmu terkena serangan namun ia selamat. Sekarang ia masih menenangkan diri,” ucap pecalang itu.
Wajah lega terpampang di wajah kami. saat itu juga kami memutuskan untuk menerobos hujan yang mulai mereda untuk kemBali memeriksa keadaan Paknik.
Selama perjalanan Akupun menceritakan keberadaan jasad di kamar itu pada mereka dan tentang hal yang hanya dapat dilihat oleh Asra dan Mita tadi.

Mereka terlihat tidak heran, mungkin saja kejadian yang dialami Paknik tidak jauh berbeda dengan yang kami alami.
“Benar Paknik, terjadi sesuatu pada mereka” ucap seorang Balian yang menolong kami tadi.

“Syukurlah kalian selamat,” ucap Paknik yang terlihat khawatir dengan keadaan kami walau sebenarnya wajah Paknik masih terlihat pucat saat ini.
“Paknik, Banyak yang ingin Mita ceritakan,” ucap Mita Cemas.
“Kalian tenangkan diri dulu, di sini aman.. ada Bli Sande, Beliau Balian yang membantu ayahmu,” ucap Paknik.

Mita yang mendengar berita itu segera menghampiri Bli Sande dan menanyakan kabar ayahnya.
Namun ia tidak bisa berharap banyak, ayahnya masih belum sadar, dan saat ini ada temanya yang menjaga di rumah sakit.

“Bli,Paknik ini semua ulah Rala Bli..” ucap Mita.
Paknik terlihat cukup kaget dengan ucapan Mita,
tapi mengingat kejadian yang kami alami tadi expresi Paknikpun tidak heran.

“Rala? Kami sempat ingin curiga, tapi kami dari hati yang terdalam kami berharap ini bukanlah perbuatanya,” ucap Paknik.

Kamipun menceritakan mengenai kejadian yang kami alami di rumah Rala tadi.
Mengenai keberadaan jasad ibu Rala yang sudah membusuk di sana, hingga kejadian aneh saat ada makhluk tanpa kepala di luar yang mengepung kami.

“Jadi Cetik Badung yang digunakan, ia dapatkan dari tetesan air mayat ibunya..” ucap Bli Sande dengan wajah kasihan.
Memang benar, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kesedihan Rala saat mengetahui kematian ibunya.

Terlebih ibunya mati dengan tidak wajar. Membayangkan ia mengurung diri berhari-hari di kamar bersama jasad ibunya itu benar benar membuat hatiku seperti merasa teriris.
“Maafkan bila saya lancang, tapi Rala melakukan itu semua karena ingin membalas dendam pada seluruh keluarga Mita. Apa kematian ibu Rala ada hubunganya dengan orang tua Mita dan kerabatnya?” Tanya Asra.

Paknik sedikit memalingkan wajahnya seolah belum yakin untuk bercerita.
Namun kejadian hari ini benar-benar memaksa siapapun di tempat ini untuk tidak menyimpan rahasia.

“Yang saya tahu, keluarga kami tidak ada yang beniat jahat terhadap Rala atau ibunya. Tapi memang dulu kami sedikit berhati-hati dengan mereka.
Terutama saat mengetahui bahwa ibu Rala adalah seorang Melik” jelas Paknik.

“Melik?” tanyaku bingung.

“Di Bali, melik adalah sebutan untuk beberapa orang yang terlahir istimewa dan ada tingkatanya. Kadang berdampak buruk dan kadang justru berguna untuk orang di sekitarnya..
mungkin mirip seperti Indigo,” jelas Mita.

Aku mengangguk mendengar penjelasan Mita.

“Dari tulisan-tulisan Rala, Ibunya mati dengan serangan ilmu hitam. Apa itu benar Bli?” tanyaku penasaran.

Bli Sande hanya menghela nafas mendengar pertanyaanku.
“Walaupun saya seorang Balian, tapi saya juga manusia biasa. Saya harus memeriksa kondisinya dulu bersama pihak medis untuk memastikan.” Jawabnya.
Memang masuk akal, anggapan orang umum mengenai seseorang yang memiliki kemampuan kadang menuntut mereka untuk melakukan hal yang sebenarnya tidak bisa dia lakukan. Tapi aku merasa ada maksud lain dari jawaban Bli Sande.
“Sekarang, lebih baik kalian istirahat. Besok kita harus menguburkan jasad ibu Mita dan yang lainya. Dan satu lagi, cetik itu hanya bisa menyerang seseorang yang kondisinya sedang lemah. Jadi sebisa mungkin jaga kondisi kalian baik-baik,” peringat Bli Sande.
Aku setuju, saat ini tubuhku terlalu lelah dan mataku terlalu berat. Malam yang hanya tersisa sedikit ini harus bisa kami manfaatkan untuk melepas seluruh rasa lelah kami.
Mita memutuskan untuk tidur di rumahnya ditemani saudara perempuan yang lain. Aku dan Asra kembali ke rumah Paknik untuk secepat mungkin meletakkan kepalaku dan melewati malam ini.

***
Cukup banyak ritual yang dilakukan oleh Mita dan saudara-saudaranya sebelum akhirnya menguburkan jenazah ibunya.
Aku dan Asra hanya memantau dari jauh sembari sesekali membantu apa yang kami bisa. Setelah melihat hal ini aku sanksi apakah Mita akan kembali bersama kami ke kampus.
“Kalau gua Jadi Mita, mungkin gua nggak bakal ikut Balik ke Jakarta Sra,” ucapku.
“Iya Ndra, gua juga ngerti kalau dia sampai mutusin kaya gitu. Apalagi kondisi bokapnya masih belum stabil,” balas Asra.
Melihat prosesi ini aku membayangkan bagaimana seandainya ayah Mita bisa kembali pulih dan ia mengetahui istrinya telah meninggal dan ayah Mita tidak mampu mengantarnya sampai peristirahatan terakhirnya.

Entah sesakit apa perasaanya saat itu…
Lewat tengah hari barulah Mita sudah selesai dengan acara pemakaman. Ia terlihat anggun dengan baju adat Bali yang ia kenakan. Namun kebaya hitam yang ia kenakan masih menggambarkan kesedihan dalam dirinya.
Saat aku terpaku dengan Mita, wajah Asra terlihat aneh dengan memandang sesuatu di belakang Mita.

“Sra, lu kenapa?” tanyaku bingung.

“Iya kenapa Sra?” tambah Mita.

Asra tetap terpaku ke arah itu, ia seolah ingin berlari ke sana.
“Aneh, masa nggak ada yang ngeliat orang itu..” ucap Asra.

Aku dan Mitapun menoleh ke arah ia menatap. Ada sekumpulan kerabat Mita, namun aku yakin yang dimaksud Asra bukan itu. Tapi rupanya responku berbeda dengan Mita.
Mita terlihat menelan ludah dan wajahnya terlihat cemas.
“Sra, orang itu nenteng kepala kambing?” tanya Mita.

Sontak aku menoleh ke arah Mita. Sekali lagi aku tidak bisa menyadari keberadaan seseorang yang dilihat oleh mereka berdua.
“Iya Ta, dan nggak ada orang yang curiga. Padahal jelas itu bukan pemandangan yang wajar.” Balas Asra.

Sepertinya kali ini mereka lebih berani dengan adanya orang lain di sekitar kita dan memutuskan untuk menghampiri orang itu.
Baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba kami terhenti dengan sosok seseorang yang menghadang kami.

“Bli Sande?” tanyaku.

“Aku tahu apa yang kalian lihat, jangan dekati makhluk-makhluk itu,” ucapnya.
“Ta—tapi Bli, mereka itu siapa? Bahkan di rumah Rala mereka tidak memiliki kepala?” tanya Asra.

“Saya masih belum tahu dengan pasti, kemungkinan mereka adalah perwujudan ilmu hitam dari orang yang berniat jahat terhadap keluarga Mita,” jelasnya.
Perwujudan ilmu hitam? Bisa berwujud seperti manusia? Gila.. aku tidak mengerti tentang situasi ini.
Bli Sande mengaku belum bisa melakukan apa-apa terhadap makhluk itu. yang ia bisa saat ini hanya menjaga keluarga Mita yang tersisa dari serangan orang-orang yang mengincarnya.
“Bli, bukanya Rala membunuh menggunakan Cetik badung. Apa ada orang lain yang berniat jahat terhadap kami?” tanya Mita.

“Pikirkan saja, apa mungkin anak polos seperti Rala bisa mengetahui dan mengirimkan Cetik badung untuk keluargamu begitu saja?” jelas Bli Sande.
Masuk akal, saat itu juga aku berpikir bahwa ada sosok yang membantu Rala untuk mengirimkan ilmu-ilmu itu terhadap keluarga Mita.
“Sebenarnya, Cetik Badung itu apa? Apa segitu mematikanya?” tanya Asra yang masih bingung.
“Yang gua tangkep sih itu semacem ilmu santet Sra, bener ga Ta?”

Mita mengangguk dan mencoba membantu menjelaskan.

“Cetik itu mirip santet, namun wujudnya racun yang tidak berasa, berwarna, dan berbau. Untuk cetik badung sendiri berasal dari tetesan air mayat.
Ada mantra dan ritual yang harus dilakukan agar tetesan air itu bisa mematikan dan tidak terdeteksi oleh korbanya,” jelas Mita.
“Kabar buruknya, Kamu dan semua kerabatmu sudah meminum racun itu,
saat ini kita hanya kuat-kuatan antara ilmu Rala dan sosok yang membantunya yang menang, atau kita yang menang” ucap Bli Sande.
Aku menelan ludah mendengar ucapan Bli Sande.

“Tapi kapan aku terkena Cetik itu Bli? Bukankah saya baru datang dari Jakarta?” Tanya Mita bingung.
“Banyak cara untuk mengirimkan cetik itu, salah satunya melalui sosok ghaib. Tapi saya tidak bisa memastikan,” Jawab Bli Sande.

Mendadak aku teringat sosok makhluk menyerupai Mita yang terlihat di luar kos dan menghampiriku dengan wajah yang pucat.
“Sebelum lu sakit di kos kemarin, gua sempet ngeliat sosok mirip elu di luar. Habis itu sosok itu mengetuk kamar gua ta.. wajahnya mirip elu dan pucet. Waktu itu gua kira itu mimpi” aku mencoba menceritakan apa yang aku lihat sebelumnya.
“Bisa jadi itu salah satu kirimanya, sosok itu menyerupai Mita agar mudah mencarinya,” balas Bli Sande.
Tak banyak lagi perbincangan di antara kami setelah itu. Bli Sandepun setelahnya mengajak kami menjenguk Ayah Mita.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di sana, hanya pemandangan Mita yang mendoakan ayahnya dan mencurahkan perasaanya saat ini pada ayahnya yang hanya membalasnya dengan diam.
Sebuah pemandangan yang sangat pilu. Namun Mita cukup tegar, aku merasakan ia masih ingin berusaha menyelamatkan ayahnya dan mencari tahu tentang mengapa Rala ingin menghabisi keluarganya.
Kamipun kembali ke rumah Mita dihantarkan oleh pemandangan langit yang mulai memerah. Tidak banyak perbincangan sepanjang perjalanan kami. beberapa kali aku membuka pembicaraan, Mita hanya membalas dengan seadanya. Mungkin ia juga terlalu lelah.
Tapi keheningan itu terhenti saat sampai di salah satu ujung jalan, kami terhenti dengan sosok seseorang yang berdiri di ujung jalan itu.
Aku belum sempat melihat sosoknya dengan jelas, tapi rasa merinding sudah menyelimutiku saat ini.
Saat kami semakin mendekat, sontak tubuh kami bertiga kaku saat melihat sosok itu…
Perempuan dengan kebaya hitam berdiri tepat dihadapan kami. Dari bajunya dan bentuk tubuhnya aku menduga itu adalah Rala.
Tapi yang membuat kami bertiga bergidik merinding adalah saat mengetahui, itu adalah sosok tubuh Rala yang menggenggam kepala seekor kerbau.
Dan sialnya, tidak ada kepala yang menyambung di leher Rala..
Kebaya hitamnya sudah bercampur dengan darah dari lehernya. Pemandangan itu terlihat begitu mengerikan bersama langit merah yang seolah membakar dendam Rala.
Ditengah kepanikan kami, tiba-tiba sosok itu menghilang tanpa jejak.
Kami mencari keberadaan sosok itu, namun sama sekali tidak ada petunjuk.
Saat itu juga kami mempercepat langkah kami menuju rumah Mita. dan betapa terkejutnya kami saat mengetahui rumah Mita masih ramai dengan orang.
“Paknik? Ini ada apa? Kenapa semakin ramai?” tanya Mita.
Mata Paknik terlihat berkaca-kaca. Entah sepertinya permasalahan yang rumit baru saja terjadi.
“Kamu tenangin diri kamu dulu ya Mita, setelah itu kamu bisa melihat ke dalam isi kardus itu,” ucap Paknik.
Aku menoleh ke arah sebuah kardus yang dikerubuti oleh beberapa warga. Kira-kira apa isinya sampai bisa membuat Paknik gelisah dan warga berkumpul di tempat ini?
Rasa penasaran membuat kami bertiga memilih untuk segera mengecek isi kardus itu.
Tepat saat melihat isinya, seketika rasanya jantungku ingin segera berhenti.

Mita menutup mulutnya dan menangis dengan air mata yang tak lagi dapat ia tahan.

Kepala Rala…

Kardus itu hanya berisi sebuah kepala seorang perempuan yang semalam kami lihat.
Sebuah kepala yang terlihat dengan jelas bahwa matinya tidak tenang dengan mata yang masih terbelalak.

“Ndra, gua nggak kuat lagi Ndra,” tangis Mita yang meminjam bahuku untuk menumpahkan air matanya.
Sayangnya pemandangan itu bukanlah yang paling mengerikan. Ada sebuah surat yang datang bersama dengan kepala itu.

Sebuah pesan…

Membacanya sekilas membuatku penasaran, apakah yang dilakukan keluarga Mita hingga Rala melakukan ini semua?
"Bila tetesan air jasad meme tidak cukup untuk membunuh kalian semua, maka tetesan air dari jasadku yang telah membusuk dan rohkulah yang akan membunuh kalian semua…"

(Bersambung Part akhir)
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir..
buat teman-teman yang ingin baca duluan part akhirnya atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya..

karyakarsa.com/diosetta69/tam…
Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung..

semoga dapat dibuang negatifnya dan diambil positifnya, dan diterima sebagai hiburan.
Cetik Badung
Part 3 - Wasiat Dendam Sang Putri

@IDN_Horor
@bacahorror_id
#ceritaserem #bacahorror #bacahoror Image
Sebuah kepala…
Matanya terbelalak dengan penuh dendam bersama darah yang masih terus menetes dari belahan lehernya. Tidak ada satupun dari kami yang tidak gemetar melihat hal ini.
Entah sehancur apa perasaan Mita saat melihatnya.
Ia harus menerima kebencian sahabat kecilnya dengan separah itu. Sontak aku dan Asra menggenggam erat tangan Mita. Kami merasa saat ini hanya kamilah yang mampu menguatkan Mita.
“Ta, gua janji.. gua bakal nemenin lu sampai semua masalah ini selesai,” ucapku.
“Iya Ta.. nggak bakal gua biarin lu ngehadapin ini semua sendiri,” Tambah Asra.
Mita hanya mengangguk sambil terus menghapus air matanya mencoba menahan isak tangisnya.
Saat ini aku yakin kami memikirkan hal yang sama.
Setelah kematian Rala, pastilah ada seseorang yang bertugas mengirimkan cetik menggunakan cairan mayat dari tubuh Rala untuk menghabisi Mita dan seluruh keluarganya yang masih tersisa.
“Sra, Kita harus nyari orang itu, orang yang menggunakan mayat Rala untuk menyerang Mita dan keluaranya,” ucapku.
Asra mengangguk setuju. Kamipun menemani Mita hingga ia tenang. Paknik dan yang lainpun sangat shock hingga tidak tahu harus berbuat apa.
Tak berapa lama polisipun datang ke tempat ini dan meminta keterangan atas kejadian ini.
Pemeriksaan berlangsung cukup lama, walaupun dalam keadaan shock. Mita tetap berusaha koordinatif untuk memberikan keterangan tentang kronologi kejadian yang ia tahu selama ini.
Polisi berjanji akan menyelidikinya, namun kami tahu mereka tidak dapat berbuat banyak dengan hal yang berbau dengan sihir.
“Sra, gua mau ke rumah Rala lagi..” ucapku setelah memastikan Mita sudah beristirahat di kamarnya.
“Lu gila Ndra? Nggak kapok sama kejadian semalem?”
“Bukan begitu Sra, sepertinya satu-satunya tempat dimana kita bisa mendapatkan petunjuk cuma di rumah itu.”
Kami tidak begitu mengerti tentang tempat ini, pulsu ini, ataupun orang-orang di tempat ini, bahkan tentang keluarga Mitapun aku juga tidak dapat seenaknya mencari tahu.
Satu-satunya yang dapat kulakukan adalah mencari petunjuk di rumah mengerikan itu.
Asra menatapku cukup lama, sepertinya ia cukup ragu. Namun aku yakin, rasa khawatirnya terhadap Mita juga sudah memuncak.
“Ya udah, kapan?” balasnya.
“Habis ini, kita siapin senter dan bawa benda yang kira-kira perlu,” ucapku.
Asra mengerti dan segera mengeluarkan beberapa benda dari tasnya. Kali ini kami harus datang ke sana dengan persiapan.
Garis polisi sudah membentang di gerbang rumah Rala. Sepertinya pemeriksaan telah dilakukan dan jasad ibu Rala sudah dievakuasi dari tempat ini.
“Gimana masih mau lanjut?” Tanya Asra.
“Iya Sra.. pasti masih ada sesuatu di rumah ini yang bisa menjadi petunjuk mengenai kebencian Rala,” jawabku.
Kamipun melanggar peringatan dilarang melintas itu dan memasuki rumah yang saat ini pintunya sudah tidak terkunci lagi.
Sisa sisa darah dari kepala-kepala hewan masih memenuhi lantai rumah. Bau anyir tetap tidak hilang walaupun bangkai kepala itu sudah dibersihkan dari tempat ini.
“Sudah tidak ada, jasad itu benar sudah di evakuasi,” jelas Asra yang memastikan ke arah kamar.
“Cari petunjuk apapun Sra, buku, tulisan, foto, atau apapun,” perintahku.
Kamipun berpencar, Asra memasuki kamar yang sebelumnya terdapat jenasah ibu Rala dan meruntut setiap tulisan yang tertulis di dinding kamar itu.
Aku membuka beberapa lemari di sekitar rumah untuk menemukan petunjuk. Ada beberapa buku dan foto-foto, namun aku tidak menemukan keanehan di dalamnya.
cukup lama kami mencari petunjuk, aku berusaha tidak melewatkan sedikitpun informasi yang bisa kudapatkan di tempat ini.
“Ndra, ke sini sebentar..” panggil Asra tiba-tiba.
Aku menghampiri Asra ke dalam kamar. Ia mengarahkan senternya pada sebuah goresan tulisan yang dibuat oleh Rala.

-- Hidup dalam hina, atau mati dengan dendam yang terpuaskan.
Meme kau sayangi, tubuh meme kau nikmati, meme kau hamili, meme dan aku kau biarkan menderita, dan meme kau bunuh dengan keji… --

Asra memindahkan lagi cahaya senternya dan menunjuk ke tulisan yang terletak di sisi lain di dinding kamar itu.
-- Tidak cukup kau buat meme menderita, bahkan tubuhkupun tidak luput dari nafsu biadabmu..
Aku tidak akan pernah lupa setiap helai bajuku yang kau tanggalkan dengan paksa bersamaan pukulan yang kau berikan untuk memaksaku diam..
Aku tidak akan pernah lupa rasa sakit di seluruh tubuhku dari setiap cengkraman tangan kotormu dan benda menjijikkan yang kau masukan ke kemaluanku..
Benda menjijikkan yang juga menjadi penyebab kelahiranku…
Aku tidak akan lupa ketika kau datang kembali, bersama orang-orang yang sama biadabnya sepertimu dan melakukan kembali perbuatan yang kau lakukan kepadaku.. darah dagingmu sendiri… --
Tulisan di dinding itu tertulis berantakan berhiaskan darah yang kurasa berasal dari benturan tangan seseorang yang menulisnya.
Tanganku gemetar, nafasku seperti tertahan merasakan getirnya takdir yang dialami oleh Rala.
Asrapun mengusap matanya yang berkaca-kaca membaca tulisan ini. Sekarang kami tidak heran mengapa Rala bisa sedendam itu.

Tapi.. apa hubungan ayah Rala dengan keluarga Mita?
Aku dan Asra kembali menelusuri dinding kamar mencari tulisan lain yang mungkin bisa petunjuk kepada kami.
Sebuah nama… kami berharap menemukan sebuah nama tertulis di dinding ini. Pemikiranku,
bila dendamku sebegitu besarnya pasti aku akan menulis dengan jelas nama dari seseorang yang kubenci sebesar mungkin.
“Ada petunjuk lagi?” tanyaku pada Asra.
Asra menggeleng, tapi kami masih tidak ingin menyerah.
Beberapa kali kami menggeser perabotan, meneliti setiap sudut hingga akhirnya mata kami tertuju pada sebuah tembok yang sangat kotor seperti tertutup seperti bekar terbakar.
“Ndra, mungkin ga kalau ada orang yang sudah datang lebih dulu sebelum kita dan menutupi sesuatu di tempat ini?” Asra bertanya curiga.
“Lu ngeliat ada kemungkinan itu?”
Asra tidak menjawab, ia malah memperjelas tembok yang berwarna seolah bekas terbakar sesuatu dengan senternya.
“Bentuk tembok rusak dan warnanya yang sudah tidak layak membuat seolah bekas hitam ini terlihat wajar, bisa jadi ini bekas baru,” jelas Asra.
“Tapi apa polisi yang meriksa nggak sadar Sra?” tanyalu.
Asra mengambil sehelai baju yang berserakan dan mencoba mengelap dinding itu.
“Yang meninggal kan orang biasa Ndra, seniat apa sih mereka mengurus kasus-kasus orang kecil seperti Rala dan ibunya?” Ucap Asra sembari membersihkan sisa gosong di dinding itu.
Perlahan bekas hitam itu menghilang walau tidak sepenuhnya.
Melihat Asra sangat yakin dengan hipotesanya, akupun membantunya membersihkan dari bagian yang lain secara perlahan.
Dan benar saja, tidak begitu jelas.. namun perlahan terlihat sisa goresan tipis yang menuliskan beberapa kata.
Sebuah umpatan yang diakhiri sebuah nama..
“Sra, namanya nggak asing..” ucapku.
“Iya.. kalau ini benar, masuk akal sudah..” balas Asra.
Kata-kata itu terukir dengan benda tajam seperti pisau, bahkan bekas terbakar yang tebal tidak mampu menghilangkan ukiran itu. Nama belakang orang itu sama dengan nama belakang Mita.
“Pantas saja Rala begitu dendam dengan Ayah Mita hingga menginginkanya mati paling akhir dengan seluruh siksaan yang ia berikan,” ucapku.
“Iya, kita jelaskan ke Mita pelan-pelan. Jangan sampai dia tahu dengan kondisi yang membuatnya semakin shock,” jelas Asra.
Kami mengambil beberapa foto yang tertulis di dinding dan menutupnya dengan perabotan berjaga-jaga ada yang mengetahuinya sebelum kami memberi tahu Mita.
Setelah cukup mencari, aku dan Asra meninggalkan rumah itu dan kembali. Awalnya kami ingin beristirahat di rumah Paknik.
Namun sesampainya di depan rumah tiba-tiba Asra menahanku untuk masuk.
“Kalau kita tidur di rumah Mita gimana? Di kursi teras aja..” ajak Asra.
“Boleh aja..” balasku.
Aku menangkap maksud Asra, mungkin setelah mengetahui hal tadi,
Asra ingin kita saling berdekatan agar bisa menjaga Mita. Namun ternyata ia memiliki maksud lain.
“Menurutmu siapa yang mencoba menyembunyikan nama pelaku itu Ndra? Tidak mungkin ayah Rala yang tengah sekarat kan?
Rala berada di tempat itu bersama jasad ibunya sebelum menggunakan ilmu Cetik itu..” jelas Asra.

“Gua gak ada petunjuk Sra, emangnya lu tahu sesuatu?”
“Nggak, tapi yang melakukan itu mungkin orang yang terlibat, atau setidaknya ia ingin menjaga nama baik pelaku.. yang artinya pelakunya…”

“Bagian dari keluarga Rala?” sahutku.

Asra mengangguk dan akupun menangkap maksudnya.
Ia merasa Paknik juga salah satu orang yang mungkin menyembunyikan hal ini.
Malam itu kami habiskan beristirahat di kursi teras rumah Mita berbekal jaket tebal dan celana panjang untuk menghindarkan kami dari hawa dingin dan gigitan nyamuk.
Gelapnya malam itu berhasil membuatku tertidur dengan cepat. Dinginya udara malam di tempat ini tidak sedingin di jakarta sehingga aku masih bisa tertidur dengan tenang.
Sama seperti Asra, sepertinya rasa lelah kami membuat kami cepat pulas.
Entah berapa lama kami tertidur, beberapa kali aku terbangun untuk merubah posisi tidurku. Tapi, di pertiga malam tiba-tiba mataku terpaku pada bulatan rembulan yang terpampang jelas di hadapanku saat ini.
Ada yang aneh, entah saat itu aku masih belum tersadar sepenuhnya atau memang yang kulihat itu nyata. Bulan yang terlihat di hadapanku bergoyang perlahan. Wujudnya seperti melayang-layang seolah memantau rumah ini.
Bukan… itu bukan bulan! Aku memperhatikanya sekali lagi dan berdiri mendekat.
“Sra, bangun sra..” aku berusaha membangunkan Asra untuk memastikan apa yang kulihat.
Bukan tanpa alasan, tapi perlahan sosok yang kukira adalah bulan purnama itu ternyata berbentuk seperti bola api yang melayang-layang.
“Kenapa Ndra?”
“ini mata gua yang salah atau memang di langit itu bola api Sra?” tanyaku
Asra yang belum tersadar sepenuhnya mendadak terkaget melihat apa yang ada di hadapan kami.
Bola api berwarna oranye melayang layang di atas rumah Mita..
Aku yang orang biasapun menyadari betapa berbahayanya benda itu. Bukan seperti santet yang dikirim seperti di cerita di jawa, bola api ini seolah memiliki kesadaran. seolah itu adalah perwujudan dari seseorang yang berilmu.
Sontak bulu kuduku berdiri, rasa takut menjalar diantara kami berdua.

“Bapak!! Bapak!!”

Dari dalam rumah terdengar suara Mita, suaranya tidak seperti orang yang berteriak melainkan seperti sedang mengigau.
Kami berpikir ingin masuk ke rumah memastikan keadaan Mita namun sosok di hadapan kami benar-benar tidak bisa diacuhkan begitu saja.

“Kita harus gimana ini Ndra?” tanya Asra Panik
“Entah Sra, itu perwujudan ilmu hitam.. kita nggak bisa apa-apa selain mencari pertolongan,” balasku.

Asra setuju denganku, namun pertolongan dari siapa yang bisa melindungi kami dari serangan makhluk itu. dan apakah kami sempat menemukanya?
Di tengah kebingungan kami tiba-tiba muncul sosok seseorang yang memasuki pelataran rumah Mita dan berdiri menghadap ke bola api itu. Terlihat pemandangan yang tidak mudah kami percaya setelahnya.
Bola api itu terus mencoba menerjang ke arah rumah Mita seolah sudah mengincar beberapa orang di tempat ini, namun hebatnya orang yang baru datang itu terus menghadang serangan bola api itu dengan mantra dan dentingan benda yang ia bawa di tanganya.
Seorang pria dengan baju adat Bali mirip dengan Bli Sande Balian yang membantu ayah Mita sebelumnya.

Suara keras yang menggelegar membangunkan Mita dan beberapa saudarinya yang berada di rumah. Mereka bergegas mencari asal suara itu dan menghampiri kami.
"Indra, Asra? Lu di sini?” Tanya Mita.

“Iya mit, kami ada perasaan nggak enak jadi kami pikir lebih baik kami istirahat di sini sembari ngejagain elu.. dan bener ternyata..” balasku.

“Itu apa? Dan orang itu siapa?” Mita bertanya lagi dengan wajah yang masih bingung.
“Nggak tahu mit, bola api itu dari tadi mengincar sesuatu di dalam rumah, beruntung pas hendak menyerang orang itu datang dan menghalangi,” jelas Asra.
Mita dan beberapa saudaranya memperhatikan dengan jelas wujud seseorang yang menjaga sosok bola api yang melayang di hadapanya agar tidak menyerang siapapun di rumah ini.
Suara menggelegar terdengar hingga ke beberapa sisi desa, wajar bila banyak warga yang mendengar suara ini. Merasa tidak mampu menembus pertahanan orang itu,
bola api itupun pergi meninggalkan rumah Mita setelah berputar-putar dengan cepat mengelilingin sisi rumah seolah kesal dengan kegagalanya.

Merespon kepergian bola api itu, seseorang yang menghadapinya ikut pergi mengejar ke arah bola api itu terbang.
Beberapa saudara Mita mencoba mengejar orang itu, namun terhenti saat keberadaan kedua sosok itu tak lagi terlihat. Tubuh Mita terlihat gemetar mengetahui kejadian barusan.

“Tenang Mita, nggak usah panik,” ucapku mencoba menenangkan.
“Nggak mungkin nggak panik Ndra, semua orang Bali tahu kalau wujud bola api itu ilmu tingkat tinggi. Ini artinya Balian yang membantu Rala juga menguasai ilmu pengleakan,” jelas Mita.
Pengleakan? Apa yang Mita maksud adalah ilmu yang terkenal di Bali di mana manusia yang memiliki ilmu itu bisa berubah berbagai wujud untuk mendapatkan korban untuk ilmunya?
“Yang bener lu mit?” tanya Asra.
Mita tidak menjawab, dirinya masih berusaha menenangkan tubuhnya yang tak berhenti gemetar melihat kejadian tadi.
“Ya udah lu istirahat lagi mit, masih ada beberapa jam sebelum pagi.. biar kami jaga di sini,” ucapku.
“Kalian istirahat di dalam juga nggak papa, ada tempat kok..” ucap Mita.
“Kalau kami ke dalam berarti tujuan kami ngejagain lu ga ada gunanya mit,” balas Asra.
Mitapun menatap kami memastikan niat kami dan akhirnya masuk ke dalam rumah untuk istirahat.

***
Malam telah melewati batas tengahnya, teror dari bola api yang mencoba menyerang Mitapun tidak lagi kembali. Aku dan Asra memutuskan tidur bergantian untuk menghindari hal serupa.
Kami sudah menyimpan nomor Bli Sande dan Paknik dari Mita apabila terjadi teror-teror lain seperti yang terjadi barusan.
Asra tertidur dengan pulas sementara aku berjaga sembari memainkan telepon genggamku. Ada beberapa pesan dari teman-teman kos yang menanyakan kapan kami kembali?

“Ndra, kapan balik? Repot nih ga ada yang bisa dititipin beli lauk..”
“Ndra, di Bali sampai kapan? Butuh Joki nih buat tugas kelompok gua..”

“Kalau sudah pulang kabarin ya? Nggak papa deh gua puasa kuota sampe lu balik,”
Aku sedikit tersenyum saat mengetahui cukup banyak yang mencariku di Jakarta walaupun atas asas membutuhkan. Sayangnya, setelah kejadian barusan aku merasa mungkin kami bisa lebih lama di pulau ini.
Mau bagaimana lagi, saat berangkat ke tanah ini kami sama sekali tidak menyangka bahwa sesuatu yang kami hadapi ternyata semengerikan ini. Terlalu banyak hal yang terjadi diluar nalar kami. Akupun hanya bisa melamun membaca setiap pesan yang beberapa hari ini sempat kulewatkan.
Di tengah lamunanku, perlahan aku mendengar suara langkah dari dalam rumah. Awalnya aku tidak menghiraukanya, namun perlahan pintu yang berada di dekat kami terbuka.

Itu Mita, apa dia tidak bisa tidur?
Awalnya aku berpikir seperti itu. Tapi ternyata bukan itu. Ada yang berbeda dari Mita.

Ia tidak menoleh ke arahku sama sekali. Ia menatap gelapnya langit malam dengan raut wajah yang aneh.

“Ta? Nggak bisa tidur?” tanyaku memastikan.
Mita tidak menjawab. Sebaliknya, tanpa memandangku sedikitpun ia berjalan meninggalkan rumah dengan terburu-buru dengan hanya memandang ke satu arah.

Tidak, ini tidak wajar…

“Ta! Mita!!” teriakku sambil menarik tangan Mita mencoba menghentikanya.
Kali ini Mita menoleh perlahan ke arahku, ia menyeringai dengan mengerikan dengan tatapan mata mengancam ke arahku.
Seketika rasa merinding muncul seolah ada berbagai makhluk yang memandangku dari segala sisi.
Dan hanya dengan sekali hentakan tanganya, aku terjatuh tak mampu menahan Mita. Yang aku tahu, Mita tidak punya tenaga sebesar ini.
“Asra! Bangun Sra! Panggil Bli Sande!” teriakku membangunkan Asra.
Asra yang segera membuka mata mencoba menyusulku, namun ia terhenti dengan wajah yang pucat.
“Ndra! Mita kenapa? Terus mereka kenapa bisa ada di sini?”
“Mereka?..”
Aku tidak mengerti maksud Asra, hanya ada kami bertiga di tempat ini. tapi wajah pucat Asra menandakan ada hal lain di tempat ini.
Aku yang tak mampu menahan Mitapun menoleh ke segala arah. Tidak ada siapapun di sekitarku,
namun memang aku merasakan ada sosok-sosok yang memperhatikanku dari kegelapan malam. Apa mungkin mereka kejadian ini sama seperti saat di rumah Rala?
Tapi mengapa hanya aku yang tidak bisa melihat sosok mereka?
Tidak ada waktu untuk menebak-nebak, kami harus meminta pertolongan seseorang.
“Sra, gua ngejar Mita elu panggil Bli Sande!” teriakku sembari mengikuti Mita yang pergi semakin cepat meninggalkan rumah.
Baru menoleh ke Asra sebentar saja, Mita sudah menjauh hampir hilang dari pandanganku. Akupun berlari menyusulnya sementara Asra menghubungi Bli Sande dan berlari ke arah rumah Pak Nik.
Aku terus berusaha mengikuti Mita yang berjalan cepat dengan gelisah entah menuju kemana.
Berkali-kali aku memanggilnya namun ia sama sekali tidak menghiraukan panggilanku. Setidaknya saat ini aku hanya bisa mengikutinya dan mengupdate posisiku pada Asra yang mencari pertolongan.
Mita melewati sebuah gerbang pura di selatan desa dan menuju sebuah pohon beringin besar yang berada di dalamnnya. Nafasnya semakin cepat, ia terlihat semakin gelisah ketika tiba di bawah pohon itu.
Aku merasa mungkin Mita akan melakukan hal yang berbahaya setelahnya. Akupun menyusulnya dan sekuat tenaga menahan tubuh Mita, namun aku terus saja gagal. Ini pertama kalinya aku melihat seseroang kesurupan dan sialnya itu adalah temanku sendiri.
“Mita! Sadar mit.. kuatin diri lu!” teriakku.
Mita semakin terengah-engah, tatapanya terlihat kosong dan bingung. Lambat laun dari matanya mengucur dengan deras air mata yang menetes tanpa kuketahui alasanya.
Raut wajahnya terus berubah, berkali kali aku meraih tubuhnya berusaha menenangkanya namun berkali-kali juga ia berhasil mementalkanku.
Mita semakin menggila, ia mendekat ke arah pohon beringin meraup tanah dibawah pohon itu dan memakanya sambil tertawa dengan mengerikan.
“Mit, jangan gila mit! Sadar!” ucapku terus mencoba menahanya, namun ia hanya tertawa seperti kesetanan.
Sialnya, suara tawa Mita seolah memancing sosok di sekitar tempat ini.
aku tidak bisa melihatnya, namun aku mendengar suara makhluk-makhluk yang bergumam dengan bahasa yang tidak kumengerti.
Purnama saat itu terasa sangat begitu mencekam. Dan aku baru sadar, sedari tadi Mita tertawa dengan menatap ke satu arah.
Salah satu sisi di atas pohon beringin.
Saat inipun Mita terus mencoba memakan tanah di bawah pohon itu yang ternyata lebih basah dari pohon lainya. Akupun akhirnya menoleh ke atas mencari tahu apa yang dilihat oleh Mita. Dan saat itu juga tubuhku hampir terjatuh lemas.
Sesosok jasad tanpa kepala tergantung di atas pohon itu…
Jasad seorang wanita dengan mengenakan kebaya bali hitam dan masih mengenakan kamen-nya dengan rapi dengan hiasan darah di seluruh tubuhnya.
Sesosok jasad yang mulai membusuk meneteskan cairan dengan kedua tangan yang menggantung ke bawah. Darah dari lehernya menetes dari lengan kananya, dan air dari organ-organya yang sudah membusuk menetes dari tangan kirinya.

“Rala?”
Aku ingat, sosok inilah yang menampakan diri pada kami kemarin.
Mita seperti kesetanan mencoba memakan tanah dimana terdapat tetesan cairan dari jasad itu, saat mengetahui keberadaan jasad itu aku setengah mati menahan Mita.
Tidak peduli apapun itu, ia tidak boleh menyentuh tetesan air itu ataupun tanah tempat tetesan itu terjatuh.
“Mita, udah mit! Cukup!”
“Khhikhi… khi..khi…” tawa mita tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Mita semakin menggila saat mengetahui masih ada cairan yang menetes ke tanah. Aku tetap menahan tubuhnya, berkali kali aku terhempas oleh tenaganya yang begitu kuat namun aku terus kembali mendekap Mita menahanya agar tidak mendekat ke tetesan itu.
Malam itu semakin mencekam ketika terdengar suara gong di sekitar kami. Rasa sakit tiba-tiba muncul di kepalaku bersamaan dengan terlihatnya sosok-sosok makhluk yang sebelumnya tidak dapat kulihat.
Sosok-sosok makhluk yang membawa kepala hewan di tanganya bermunculan di sekitar kami. Walaupun wujudnya manusia, tapi aku tahu dengan jelas, mereka bukanlah bagian dari kita.
Beruntung rasa khawatirku pada Mita mampu mengalahkan rasa takutku. Akupun terus mencoba menahan Mita, sementaria itu makhluk-makhluk itu sepertinya memutuskan untuk mendekat ke arah kami.
“Pergi Mita.. ki—kita pergi dari sini,” ucapku dengan jantung yang berdegup kencang.
Mita tetap berusaha pergi dariku dan mengarah ke tetesan mayat di tanah itu.
Sialnya, samar-samar dari jauh juga terlihat sesosok bola api melayang-layang seolah memantau kami dari kejauhan.
Belum pernah aku merasa setakut ini. Berkali-kali aku berharap ini hanyalah mimpi, namun setiap rasa sakit dari cakaran Mita dan hawa dingin yang kurasakan benar-benar nyata.
Aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi. Saat ini aku hanya mendekap Mita dan menjaganya agar tidak melukai dirinya lebih dari ini.
Di tengah keputus asaanku, tiba-tiba terdengar suara-suara dentingan benda logam yang dibenturkan menggema dari jauh.
Suaranya sama seperti yang kudengar saat diselamatkan dari rumah Rala.
“Asra! Itu Asra Mit! Dia dateng bersama Bli Sande!” ucapku pada Mita.
Namun Mita yang masih belum sadar hanya terus mencoba melepaskan diri dariku.
Terdengar suara lantunan doa dengan bahasa Bali yang tidak kumengerti. Suara itu diikuti dengan suara lonceng yang terus dibunyikan oleh seseorang di sebelahnya. seseorang yang kusadari bahwa ialah yang menghadang bola api yang menyerang rumah Mita.
Tepat saat doa yang mereka lantunkan selesai, sosok-sosok yang mengepung kami menghilang perlahan. Aku sedikit menarik nafas lega melihat kejadian itu.
“Waja, bisa bantu urus balian pengiwa itu?” Perintah Bli Sande.
Seseorang yang dipanggil dengan nama Waja itu mengangguk mematuhi permintaan Bli Sande. Sama seperti tadi, ia mengusir sosok bola api itu dengan kemampuanya hingga bola api itu benar-benar menjauh dan menghilang.
“Ndra! Mita! Lu nggak papa?” teriak Asra didampingi dengan Paknik yang menghampiri kami.
“Paknik, Asra… diatas” ucapku memberitahu keberadaan sosok jasad yang digantung diantara dedaunan itu.
Wajah mereka terlihat panik..
“Berani-beraninya melakukan hal seperti ini di pura dalem,” geram Paknik.
Bli Sande membaca doa di hadapan Mita sembari memegang dahinya dengan keras. Mita awalnya terlihat gelisah, namun perlahan ia mulai tenang.
Tapi… ada sesuatu yang tidak berubah. Ia terus menangis, menangis tanpa henti.
“Mit, Mita.. udah, kita udah aman,” ucapku mencoba menenangkan Mita.
Mita menggeleng sembari menutup wajahnya.
“Paknik, tiang melihat semuanya.. Tiang melihat tentang apa yang dilakukan bapak saat tiang kehilangan kesadaran tadi,” ucap Mita.
Sontak jantungku tersentak, aku saling menatap dengan Asra.
“Mita, itu bukan salah lu.. jangan salahkan dirilu lebih dari ini,” ucap Asra yang yakin bahwa Mita sangat terpukul.
Mendengar ucapan Mita, Paknik hanya menghela nafas. Sepertinya ia tidak begitu kaget dengan apa yang Mita katakan.
Aku menatapnya dan ingin segera membunuh rasa penasaranku.
“Paknik..” ucapku ragu.
“Apa Paknik yang menyembunyikan nama ayah Mita di dinding rumah Rala?” tanyaku sembari terus mendekap Mita.
Paknikpun tersentak, wajahnya terlihat tidak menyangka dengan pertanyaanku.
“Ma—maksud kamu apa Ndra?” tanya Mita.
Aku tidak akan menyembunyikanya lagi. Misteri dendam Rala harus dituntaskan saat ini juga. Mita tidak boleh tersiksa lebih dari ini.
Aku dan Asrapun menceritakan kejadian kemarin saat kami menelusuri rumah Rala.
Awalnya kami sedikit ragu saat menceritakan tentang perbuatan ayah Rala, namun sepertinya Mita juga sudah mengetahuinya lewat penglihatanya.
“Rala.. Rala adalah darah daging bapak, dan dengan biadabnya bapak juga memperkosa Rala..” Mita kembali menangis memperjelas semua yang kuceritakan.
Wajah Bli Sande dan Bli Waja cukup kaget mendengar cerita kami. namun Paknik malah berusaha untuk menghindari cerita ini.
“Paknik tahu ini semua?” tanya Mita.
Paknik terlihat ragu untuk menjawab.
“Paknik! Tolong pak.. jangan sembunyikan apapun lagi!” pinta Mita.
Paknikpun menghela nafas mencoba mengatur emosinya.
“Paknik tidak tahu Mita, Paknik hanya menemukan jasad memenya Rala saat memeriksa rumahnya karena khawatir.
Paknik juga kaget melihat semua tulisan yang tergores di dinding kamar itu, saat mengetahui nama ayahmu tertulis di dinding itu seketika Paknik berpikir setidaknya Paknik masih bisa melindungi nama baik keluarga kita dan melindungi perasaanmu,” jelas Paknik.
Mita terlihat tidak terima, namun sepertinya ia bisa menjaga emosinya.
“Tiang akan berusaha mengerti maksud Paknik, tapi apa menurut Paknik ini adalah perbuatan yang benar?” tanya Mita.
Paknik ragu untuk menjawabnya..
“Ini juga kesalahan Paknik, Paknik selalu berpikir seandainya Paknik tidak melakukan itu mungkin saja Rala tidak membunuh menik,” ucapnya sedih.
Mita melangkah perlahan ke arah Bli Sande, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.
“Bli, bapak tidak bisa diselamatkan kan?” tanya Mita.
Aku dan Asra saling bertatapan, apa maksud dari pertanyaan Mita itu?
“Jadi kamu sudah tahu?” tanya Bli Sande.
Mita mengangguk.
“Bapak, menerima karma atas perbuatanya kan? Ia menerima semua penderitaan yang diarahkan kepadaku dan yang lain. Bapa juga menerima bayaran atas ilmu pengiwa yang ia pelajari?” tanya Mita.
Bli Sande mengangguk mengiyakan. Ia menghela nafas saat mengetahui Mita sudah mengetahui semuanya.
“Saya berniat memberi tahu saat kamu sudah siap, saya bisa membantu meringankan penderitaan bapa untuk cepat pergi dengan tenang.
Namun itu harus berdasarkan keikhlasan Mita, karena saat ini kalian yang masih hiduplah yang terpenting,” jelas Blis Sande.
“Tiang mengerti Bli, saya titipkan keputusan yang terbaik untuk Bapa pada Bli Sande,” ucap Mita.
“Mita kamu yakin?” tanya Paknik.
Minta mengangguk dengan mantap. Ia yakin penderitaan yang ia alami tidak sesakit apa yang dirasakan oleh Rala.
“Paknik, seandainya bapa dan meme masih memiliki peninggalan harta. Tolong gunakan seluruhnya untuk menyempurnakan kepergian Rala dan Memenya.
Juga menik dan keluarga kita yang telah pergi.. Walau tidak meninggal dengan sempurna Mita ingin seluruh jasad mereka diaben dengan semestinya..” ucap Mita.
“Kamu yakin?”
Mita mengangguk dengan mantap.
Malam itu adalah kali terakhir mendapat teror yang berasal dari dendam Rala. Aku menanyakan pada Bli Sande bahwa Rala juga sudah menelan air cetik dari tubuh Rala, namun menurutnya seluruh kutukan yang Rala terima diterima sepenuhnya oleh ayahnya.
Mengenai sosok Balian Pengiwa yang membantu Rala, Bli Waja menemuinya dan menjelaskan tentang niatan Mita. Mereka sempat bersitegang, bahkan sempat ingin beradu ilmu. Untungnya Bli Waja bisa menenangkanya walau dengan sedikit ancaman.

***
Persiapan upacara ngaben cukup panjang. Beruntung ada kenalan Bli Sande yang mau membeli harta penginggalan keluarga Mita dan mendanai upacara ngaben sesuai permintaan Mita.
Sayangnya, kami tidak bisa hadir di sana.
Aku dan Asra harus kembali ke kampus dan meninggalkan Mita di tanah kelahiranya. Namun, ia berjanji setelah selesai menunaikan kewajiban pada keluarganya ia akan kembali ke ibukota dan melanjutkan pendidikanya.
Aku dan Asra menyampaikan permasalahan yang dialami Mita pada pengurus kampus agar setidaknya Mita mendapat ijin untuk melanjutkan semesternya. Beruntung prestasi Mita juga menjadi pertimbangan dan pihak kampus masih mau mengerti.
Malam ini aku menghabiskan waktu di warung roti bakar bersama Asra. Cukup aneh tidak ada seorang Mita yang mengajak rebutan mengambil sisi tengah yang merupakan bagian terenak dari roti bakar ini.
“Besok masuk apa sra?” tanyaku.

“Pagi gua, elu?”
“sama.. udah nelpon Mita?” tanyaku.

“terakhir dua hari yang lalu, habis itu belum lagi. Balas besanya juga jarang-jarang, mungkin masih sibuk,” jawab Asra.
Yah, setidaknya Mita masih memberi kabar. Terakhir Mita memberi kabar masih ingin di sana untuk melakukan bakti pada keluarga-keluarganya yang telah tiada dan mencari ketenangan dengan tuntunan Bli Sande.
“Kalau dua minggu lagi Mita nggak balik, kita susul gimana?” ucapku pada Asra.
“Boleh tuh Ndra, sepi banget nggak ada dia,” jawab Asra spontan.
Hari-hari tanpa Mita memang tidak lengkap, tapi kami sangat yakin bahwa saat waktunya tiba. Dia akan kembali bersama kami dan merusuh kembali di kos yang mempertemukan kami.

***
Suara telepon genggam berbunyi di tengah lamunanku menunjukkan sebuah pesan yang muncul di layarnya.
“Gua sampe bandara jam 16.00 ya!”
Tiba-tiba terlihat sebuah pesan saat sedang asik menikmati siang di akhir pekan yang tidak seharusnya diisi dengan kesibukan.
Tak lama kemudian suara ketukan pintu terdengar dengan terburu-buru.

“Ndra! Dapet pesan dari Mita ga?” teriak Asra dari luar.

Aku segera membukakan pintu dan mengiyakan ucapanya.

“Anjir si Mita, lama ga ada kabar terus ngasi tau mendadak..” ucapku sembari tertawa.
Ya udah cepetan siap-siap, dari sini ke bandara lumayan lama.
Kamipun segera bersiap dan menaiki motor Asra.

“Eh tunggu Sra, kalau kita naik motor tar Mita taro di mana?” Tanyaku bingung.

“Lha iya si gobl**.. cari taksi!”
Asrapun segera memarkir motornya lagi dan bergegas ke jalan utama dekat kos mencari taksi yang memang cukup sering lewat di jalan ini.

“Bang, ke Bandara ya bang..” ucap Asra memberi petunjuk pada abang taksi yang mengangkut kami.
Anehnya, saat kami sudah masuk sopir taksi itu tidak segera menjalankan kendaraanya.

“Pak kenapa pak? Kita lumayan buru-buru nih,” ucap Asra.

Aku tidak ingin berkomentar dan hanya mencoba sekuat tenaga menahan tawaku.
“I—itu, masnya mau pake helm ke bandara?” ucap supir taksi itu.

Sontak tawaku meledak di dalam mobil ditemani pukulan Asra yang menyalahkanku karena tidak mengingatkan mengenai helmnya.
Sepanjang jalan akupun terus tertawa dengan kejadian ini dan berjanji akan menceritakan kepada Mita Nanti.
Tidak sesuai ketakutan kami, rupanya kami sampai lebih awal dari yang kami perkirakan.
Sungguh canggung menunggu di bandara seperti ini yang merupakan tempat yang jarang sekali kukunjungi.

“Ndra, tar kalau Mita dateng kita bahas apa ya?” tanyaku.

“Nah itu, takutnya dia masih shock.. salah ngomong bahaya,” jawabku.
Sontak perbincangan bodoh itu merubah suasana menunggu kami menjadi lebih canggung. Masing-masing dari kami memikirkan kata-kata apa yang sebaiknya kami ucapkan untuk menyambut Mita.
Tepat pukul 16.00 terdengar suara informasi tentang mendaratnya nomor persawat dari bali yang ditumpangi oleh Mita.
Aku dan Asra bersiap di pintu penjemputan sembari melingak linguk mencari sosok Mita.
Akupun maju ke depan untuk mencari lebih dekat agar jangan sampai Mita tidak melihat kedatangan kami.

“Asra! Indra!” Panggil seseorang yang baru saja muncul dari kerumunan.
Aku segera menghampiri orang itu, seorang wanita yang masih mengenakan kebaya bali namun dengan celana panjang. Sepertinya ia tidak sempat mengganti pakaianya setelah acara tadi pagi.

“Cepet banget nemuin kita, gua kira lu bakal bingung dulu nyariin..” sambutku.
“Gimana bisa bingung, tuh liat kelakuan Asra di belakang lu!” ucap Mita.

Aku menoleh ke arah belakang. Baru saja kutinggalkan sebentar, Asra sudah membawa lembaran kardus cokelat bertuliskan nama Mita yang sebelumnya ia angkat setinggi-tingginya.
“Buset bisa-bisanya lu Sra!” ucapku.

“lah, di film-film caranya gini kan kalau jemput orang di bandara,” balas Asra sambil tertawa.

“Ya nggak pake sobekan kardus juga, yang ada malu gua sama semesta,” balas Mita.
Akupun segera membantu membawa bawaan Mita, terutama kardus bertuliskan toko oleh-oleh yang terkenal dari pulau dewata.

“Yee.. tau aja lu barang bawaan yang berfaedah,” ucap Asra.

“Bantuin doank, niat gua baik kok..” ucapku.
Mitapun tertawa mendengar perbincangan kami.
“Gila, udah lama gua nggak ketawa begini,” ucap Mita.
Mendengar ucapan itu seketika rasa cemas kami akan keadaan Mita sirna sudah. Sepertinya Mita sudah mampu menenangkan dirinya dari tragedi itu.
Aku dan Asra bertatapan memberi isyarat untuk tidak membahas tentang kejadian sebelumnya.

“Ayo cepetan, jangan lama-lama.. masih banyak yang harus dikerjain, list gua banyak” ucap Mita.

“Cie, dateng-dateng udah sok sibuk aja. Kerjaan apan sih?” tanya Asra.
“Makan sayur di warung Bu Marti, nongkrong sama kalian di Roti bakar, bayar utang ke ibu kos… banyak deh” ucap Mita yang segera menarik tangan kami berdua untuk berjalan lebih cepat.
Yah itulah sepenggal kisah tentang kami bertiga. Bukan.. sebenarnya tentang Mita , dan sedikit cerita tentang kami.
Akupun tidak pernah menyangka bahwa pulau dewata yang merupakan surga bagi sebagian orang ternyata membawa kisah kelam untuk kami.
Namun kami tetap yakin, suatu saat kami akan kembali ke pulau itu bertiga untuk menikmati keindahan dan pesona alamnya yang pasti tidak akan dapat kami lupakan.

-TAMAT-
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung baik secara alur cerita maupun kesalahan literasi.

mohon diambil positifnya saja dan dibuang negatifnya dan diterima sebagai hiburan.
Jangan lupa tinggalin komen ya...
dan minggu depan kita akan lanjut 2 cerita
1. Kelanjutan getih sedulur
2. Babak baru kisah Danan & Cahyo

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Nov 21
PERANG TANAH DANYANG
Part 7 - Perang Pertama

Tiga zaman bersatu dalam peperangan makhluk dari alam yang tak kasat mata. Nyawa Manusia adalah amunisisnya..

#bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror Image
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.

"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.

"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.

Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.

"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.

Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.

Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.

Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.

Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."

Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."

Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.

"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.

Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.

Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.

"Tahan, Raksawira!"

Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.

"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.

Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.

Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.

Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.

Srratt!

Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.

Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.

“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.

Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Read 15 tweets
Nov 14
PERANG TANAH DANYANG
Part 6 - Tanah Para Danyang

Awal mula Perang Para Danyang di masa lalu terungkap. Takdir darah sambara terikat di masa itu

#bacahoror Image
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.

Dharrr!!!

Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.

"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.

"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.

"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.

Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.

"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.

Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.

"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.

"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.

"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.

Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.

"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.

“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.

Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.
Read 12 tweets
Oct 31
PERANG TANAH DANYANG
Part 5 - Ratusan Tahun Yang Lalu

Widarpa menghilang, Daryana mulai bergerak. Bencana dimulai dari zaman itu...

#bacahorror @bacahorror Image
Suara senjata beradu di tengah rumah terpencil di pinggir hutan. Bukan sebuah kekacauan, namun sebuah pemandangan unik dimana seorang pendekar bertarung melawan lebih dari lima anak- anak kecil.

“Eyang! Ini jurus kodok terbang dari bukit nestapa!”

Seorang anak melakukan sebuah gerakan lucu sambil mengayunkan tongkat kayunya yang panjang.

“Heh! Kertasukmo, mana ada kodok bisa terbang?!” Ucap pendekar itu sambil tertawa dan menghindarinya.

“Hahaha! Dia emang hobinya gitu, Eyang Daryana! Ngasi nama jurus aneh-aneh, tapi gerakannya nggak jelas!” Tawa Purbawengi yang masih mencari celah untuk menyerang Daryana dengan sebuah senjata pisau di tangannya.

“Biarin! Kata Bapak, ngasi nama jurus harus keren biar lawan gentar!” Balas Kertasukmo.

Brakk!! Brakk!! Brakk!!

Beberapa pukulan sekaligus menjatuhkan anak-anak yang mengepung Daryana.

“Aduh! Sakit, Eyang!” Keluh Wirabumi yang terjatuh merasakan pukulan paling keras diantara yang lainnya. Namun dengan segera Daryana mengulurkan tangannya.

“Maaf, Eyang sengaja. Karena kelak, kamulah yang akan menjadi pelindung mereka semua..” Ucap Daryana

Wirabumi tak lagi mengeluh. Ia berdiri dengan bangga mendengar ucapan Daryana, Eyang kebangganya itu.

Mereka pun berkumpul kembali ke pendopo untuk beristirahat sekaligus menghabiskan waktu di sana.

Itu adalah terakhir kalinya Daryana menemui cucu-cucunya. Perjalanan hidupnya membuatnya menemui wanita-wanita hebat yang mengaguminya.

Keempat istri Daryana terpencar di berbagai daerah dan dari mereka lahirlah orang tua dari Wirabumi, Kertasukmo, Purbawengi, dan keturunan Sambara yang lain.

Setelah menyempurnakan Ajian Pemutih Raga, Daryana melakukan perjalanan untuk mencari ayahnya Widarpa Dayu Sambara. Setidaknya di umur sehatnya ia ingin melakukan perjalanan, dan memastikan keadaan ayahnya yang telah lama menghilang dan tak lagi menemuinya.

Sama seperti Widarpa, walau keberadaanya menghilang dari keluarganya, ia telah meninggalkan serpihan-serpihan kesaktiannya yang mungkin bisa akan berguna bagi keturunannya kelak. Sebelum dirinya menua, Daryana berniat mengamalkan ilmunya serta menemukan ayahnya itu.

***
Read 15 tweets
Oct 24
PERANG TANAH DANYANG
Part 4 - Penduduk Masa Lalu

Cahyo kembali ke desa itu, tempat dimana ia telah berdosa pada penduduk yang tinggal di sana. Sebuah desa yang dihuni oleh Trah keluarga yang mengucilakna dirinya. Trah Rojobedes...

@bacahorror #bacahorror Image
Part Sebelumnya bisa dibaca di sini ya :
part 1 : x.com/diosetta/statu…
part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…

Semoga teman-teman berkenan meninggalkan komen setelah membaca part ini..
Wabah di desa Darmo Kulon menewaskan lebih dari dua puluh nyawa. Anggoro sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ia tak mampu berbuat banyak kepada mereka yang sudah sekarat.

Setidaknya, kedatangan Anggoro menghentikan jumlah korban yang terus bertambah.

“Ustad. Apa yang terjadi antara Mas Cahyo dan Raden Suto Benggolo di bukit? Mengapa Mas Cahyo tidak kembali ke sini?” Anggoro terlihat cemas saat mengetahui Ustad Imran kembali tanpa Cahyo.

“Tidak usah khawatir. Mas Cahyo baik-baik saja. Pasti kamu juga dengar suara khas knalpot vespanya saat melintas tadi, kan?”

Anggoro memang mengingat suara berisik yang melintasi desa setelah subuh. Ia baru sadar bahwa itu suara motor tua milik Cahyo.

“Lantas kenapa Mas Cahyo tidak kembali ke desa, Ustad?”

Ustad Imran menghela nafas menunjukkan wajahnya yang bingung menjelaskan apa yang terjadi.

“Apa yang ia hadapi jauh lebih besar dari bencana yang ada di desa ini, Mas Anggoro. Sesuatu yang benar-benar tak terbayangkan oleh manusia pada umumnya..”

Anggoro membaca raut muka Ustad Imran. Ia mencoba memahami kegelisahan dalam dirinya. Namun satu kabar dari Ustad Imran cukup membuat Anggoro dan warga desa lega.

Ustad Imran mengatakan bahwa tanah di desa Darmo Kulon sudah diruwat. Tak ada lagi kutukan yang mengikat desa tempat mereka tinggal. Jasad-jasad sudah bisa dimakamkan di tanah mereka.

Mendengar kabar itu, warga desa, terutama mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya tak mampu menahan air mata.

Kini mereka benar-benar terlepas dari kutukan Raden Suto Benggolo. Namun Ustad Imran sendiri belum bisa tenang. Semua tidak ada artinya jika Cahyo gagal menangani sosok yang jauh lebih berkuasa dari Raden Suto Benggolo itu.

“Setidaknya saya ingin menyampaikan, jika suatu saat ia membutuhkan kemampuan medis saya, saya siap membantu Mas Cahyo kapan saja..” Anggoro membersihkan tangannya sambil menatap langit pagi hari di desanya. Ustad Imran mendekat dan berdiri di sebelahnya.

“Saya merasa, waktu itu akan tiba…”

***
Read 10 tweets
Oct 17
Di Balik Jejak Melati
- a horror thread –

Bau Melati yang semula menenangkan kini berubah menjadi isyarat kematian.

Sosok pendendam yang membawa ketakutan untuk warga desa. Ia tak akan tenang sebelum dendamnya terpuaskan.

#bacahorror @bacahorror Image
Namaku Arya, seorang jurnalis lepas yang terbiasa menggali cerita kriminal, misteri, hingga horor.

Adrenalin selalu terpacu saat menemukan kisah misteri yang belum terungkap, dan biasanya aku mendapatkan info dari kantor, narasumber, atau teman-teman.
Tapi kali ini, sumbernya berbeda.
Berulang kali aku bermimpi tentang sebuah desa. Desa yang selalu sunyi saat malam tiba, penduduknya dicekam ketakutan oleh sosok tak kasat mata yang meneror mereka.
Read 66 tweets
Oct 17
PERANG TANAH DANYANG
Part 3 - Jeritan Alam terkutuk

Part 1 : Sendang Mayat
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Ratu
x.com/diosetta/statu…

#bacahorror @bacahorror Image
Ada legenda yang mengatakan bahwa manusia, hanya menempati satu dari sekian ribu alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.

Alam manusia, alam roh, alam mimpi, alam antara, akhirat, khayangan, atau berbagai macam nama yang sering tersebut di berbagai kepercayaan mungkin memiliki tempat tersendiri yang tak mudah dijangkau oleh manusia.

Tapi di balik itu, setiap alam memiliki ikatannya sendiri dan saling mempengaruhi dengan caranya sendiri.

Tapi satu alam pernah mati menyisakan kesadaran yang memaksa dirinya sebagai alam untuk mendapatkan energi hidup dari alam lain.

Alam itu sadar bahwa tak ada makhluk yang berhak memiliki keinginannya sendiri. Jika hanya ada satu kesadaran untuk semua makhluk di satu alam, maka alam itu akan bangkit menjadi alam yang terkuat.

Jagad Segoro demit. Hanya amarah dan nafsu yang diizinkan untuk ada di sana. Setiap makhluk perlahan akan melupakan dirinya dan menjadi satu kesadaran dengan alam itu.

Hanya kegilaan dan kekacauan yang terus ada mengorbankan darah dan nyawa untuk kembali lahirnya sebuah alam yang telah mati.
Akan ada waktunya alam ini merebut alam manusia untuk menjadi bagian darinya..

***
Dananjaya Sambara. Itu namaku, dan aku adalah seorang manusia. Iya! Aku benar-benar manusia. Namun saat ini aku terpaksa menjebak diriku di alam tempat bangsa setan, dan lelembut berasal. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika kami tidak menghentikannya.

Sebuah peperangan antara makhluk yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu akan terjadi dan mengoyak batas alam antara alam manusia dan Jagad Segoro Demit. Aku di sini untuk menghentikan itu semua.

Tapi, sepertinya keberadaanku tidak dibutuhkan.
Di hadapanku berdiri seorang sesepuh leluhur Trah Sambara yang telah mengurung dirinya di Jagad Segoro Demit Selama ratusan tahun. Seseorang yang menjaga kesakralan Trah Sambara dari alam terkutuk.

Eyang Wirabumi Dayu Sambara.

“Terlemah?” Gumamku saat Eyang Wirabumi mendakwaku sebagai trah sambara yang terlemah. Aku tak bisa membantahnya, mungkin ucapannya benar. Aku memang tidak memiliki ajian-ajian sesakti Paklek dan Jagad.

“Bagaimana bisa kalian membawa manusia seperti dia ke alam ini?! Apa tidak ada pilihan lain!!” Teriak Eyang Wirabumi pada Nyi Purbawengi dan Eyang Kertasukmo.

Mereka tak menjawab dan memilih mundur sambil tersenyum. Aku menoleh pada Nyi Sendang Rangu dan ia justru berpaling seolah tak ingin terlibat dengan permasalahan Trah Sambara.

“Arrrgggh!! Mengapa kalian jadi setolol ini! Jangan salahkan aku jika dia mati dalam pertempuran!” Teriaknya sambil berpaling membuang muka, namun baru melangkah sesaat ia kembali menoleh ke arahku dan menunjukkan jarinya ke wajahku.

“Dan kau! Jangan sampai kau menjadi batu sandungan untuk kami!” Ancam Eyang Wirabumi.
Aku berusaha untuk tidak merespon apapun. Selain tidak mengerti dengan keadaan di alam ini, Eyang pasti punya alasan untuk sebegitu selektifnya menilai aku dan yang lain.

“Dia hanya tidak ingin ada lagi yang mati..” Ucap Nyi Purbawengi.

“Percayalah, walau perangainya buruk dia salah satu leluhur kita yang paling baik,” Tambah Eyang Kertasukmo.

Aku hanya menghela nafas sambil berusaha tersenyum. Perangai emosinya itu memang sedikit mirip dengan Eyang Widarpa. Seandainya Eyang masih ada, mungkin akan seru jika mereka berdua bertemu.

“Kepala Ki Kundawayan itu, apa eyang yang menghabisinya?” Tanya Mas Jagad.

Tak hanya Mas Jagad, aku pun merasa penasaran bagaimana makhluk sekuat itu dan hampir membunuh kami bisa takluk begitu saja.
Eyang Wirabumi mencabut keris dari kepala itu. Ia melangkah menuju sebuah ruangan dimana terdapat sebuah cermin di sana.

“Aku melihat semua pertarungan kalian dari Koco Benggolo. Ledakkan kekuatan telur jagat membuatnya lemah, saat tiba di Jagad Segoro Demit, kami menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya..” Jelas Eyang Wirabumi.

“Kami?” Paklek bertanya.

Eyang Wirabumi memalingkan wajahnya dari cermin dan kembali menatap ke arah kami.

“Aku tidak seorang diri di sini, leluhur kalian yang lain terpencar di alam ini. Mereka menghimpun kekuatan dan memburu danyang yang bersekutu dengannya.”
Aku semakin penasaran dengan wujud dari leluhur-leluhurku. Hampir setiap dari mereka memiliki sifat yang berbeda, dan kehebatannya sendiri-sendiri. Setiap kemampuan itulah yang menurun kepada kami.

“Wirabumi, kau sudah mendapatkan pusaka itu?” Eyang Kertasukmo tiba-tiba membuka pembicaraan. Namun Eyang Wirabumi membalasnya dengan menggeleng dan menghela nafas.

“Aku hampir tidak percaya jika pusaka ratu ular itu memang ada di alam ini. Sudah ratusan tahun aku mencarinya, petunjuk yang kita miliki menuntun kami ke hasil yang kosong..”

Aku dan Paklek mempertanyakan apa yang dimaksud pusaka ratu ular itu? apa pusaka itu sepenting itu hingga leluhur kami mencari selama ratusan tahun.

“Eyang, apa pusaka ratu ular memang sepenting itu?” Tanyaku pada Nyi Purbawengi.

Nyi Purbawengi mengajak kami untuk duduk di ruangan itu. Koco benggolo terlihat menutup dengan sendirinya ketika kami menjauh. Sekilas aku melihat bayangan dua orang perempuan yang berjalan di sebuah desa tua. Tapi apa yang kulihat itu tidak untuk kubahas saat ini.

“Pusaka Ratu Ular merupakan penentu perang para danyang di zaman dulu. Kami semua hampir musnah oleh kekuatannya…” Jelas Nyi Purbawengi.

Ia menceritakan saat Danyang putih dan trah sambara berhasil menghentikan peperangan dengan menaklukkan danyang hitam, ada sosok danyang dari bukit pesisir yang berkhianat. Ia menggunakan pusaka ratu ular yang seketika memakan ratusan nyawa untuk membangkitkan kembali kekuatan danyang hitam.

“Pengkhianat?” Tanyaku.

Nyi Purbawengi mengangguk. Danyang itu menitiskan kekuatan dewi samudera, namun ia lahir dari tanah terkutuk.

“Siapa? Apa namanya dikenal di alam manusia?” Tanya Mas Jagad.

“Manusia memujanya untuk menanti berkah alam, namun ada yang menyembahnya untuk mendapatkan kekayaan. Di alam manusia ia merupakan sosok anggun yang dikenal dengan nama Dewi Naganingrum..” Eyang Kertasukmo mencoba menjelaskan.

Ia menambahkan bahwa nama dan sosok anggun itu hanyalah kedok. Wujud sebenarnya adalah seekor ular raksasa yang menguasai tanah bukit pesisir.

“Berarti saat ini dia ada di alam manusia?” Aku memastikan.

“Naganingrum hidup di dua alam. Ia mempunyai raga yang terkurung di alam ini, dan roh di alam manusia..” Jelas Nyi Purbawengi.

Braakk!!!
Pukulan keras Eyang Wirabumi menghantam lantai kayu bangunan itu.

“Kupastikan ia akan mati tak bersisa saat berhadapan denganku!!” Teriak Eyang Wirabumi.

Aku merasa ada permasalah pelik yang membuat Eyang Wirabumi begitu dendam dengan sosok Naganingrum itu.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba koco benggolo memantulkan cahaya api yang begitu pekat. Eyang Wirabumi meninggalkan tempatnya dan bergegas menghampiri cermin itu. Ia buru-buru mengambil kerisnya lagi dan hendak meninggalkan ruangan.

“Eyang?! Ada apa?!” Tanyaku.

Jagad menatap ke koco benggolo dan wajahnya seketika diliputi amarah.

“Brengsek! Mereka membakar satu bangunan yang menampung puluhan anak kecil! Apa yang mereka lakukan?!”

Aku menghampiri ke arah mas jagad, dan pemandangan mengerikan itu benar-benar terpampang di koco benggolo. Suara anak-anak yang berteriak ketakutan pun terdengar samar dari cermin itu.

Eyang Wiraguna berhenti sejenak dan memanggil kami.

“Kalian! Ikut denganku?!” teriaknya tertuju kepada kami bertiga.

Aku menoleh ke arah Eyang Kertasukmo, Nyi Purbawengi, dan Nyi Sendang Rangu. Mereka mengangguk memberi isyarat agar kami mengikuti eyang Wirabumi.

***
Read 12 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(