Cerita ini saya ambil dari sudut pandang mas thole. Base on true story setelah cerita mas thole tersesat di gunung merbabu. Semua tempat dan semua rangkaian kejadian sedikitnya saya samarkan agar tidak menimbulkan masalah di masa depan.
SOLO HIKING SEMERU
"SEBUAH MIMPI TAK BERUJUNG YANG MEMBUATKU TERPAKSA MELAKUKAN PENDAKIAN DI MALAM RABU WEKASAN"
“jancok! Koen nek nyabrang dalan matane koen dienggo cok!”
(jancok! Kamu kalau mau menyeberang jalan matamu di pakai cok!)
Ucap seorang pengemudi roda empat yang lantang akan kata umpatnya di lampu merah di kota malang.
Sudah bukan hal yang tabu, bahkan esok hari terasa kurang bermakna jika dering-dering nyala umpat tak berbunyi di jalan raya, di pagi yang masih enggan untuk membuka matanya.
Jaman sudah berbeda, semua sudah lebih maju daripada jaman yang lalu. Namun, semakin maju jaman pemikiran banyak manusia-manusia serasa tertinggal jauh dibelakang sana.
Ahhh... buat apa aku merisaukan itu, itu bukan urusanku.
Meski aku tahu aku juga termasuk pada pemuda sang generasi bangsa.
Tapi...
Sekarang bukan saatnya, lebih baik aku memikirkan diriku saja yang masih saja payah untuk mencerna mimpi tapi terkesan nyata yang aku alami beberapa malam ini.
Fyuhhh...
hela napas kuhentakkan jauh-jauh...
“matamu picek a? Aku nyebrang wes ati-ati, koen ae sek ora becus numpak sepeda motor”
(matamu buta ya? Aku menyebrang sudah hati-hati, kamu saja yang tidak becus mengendarai sepeda motor)
Ucap seorang pengemudi roda dua membalas ucapan si pengemudi roda empat.
HAHAHA....
Perdebatan dengan dialeg jawa timuran seperti ini yang terkadang aku rindukan jika aku tak ada disini, entah kenapa nampak kasar namun terkadang bisa membuatku merasakan hiburan komedi di pagi hari.
Komedi yang tak seperti komedi negeri ini...
Kota, kehidupan yang sama seperti jaman dahulu kala. Namun, dengan hukum rimba modernisasinya.
Kota, dimana kata umpatan lebih bijak daripada falsafah kehidupan.
Kota, dimana nominal dipuja, adab dan ilmu bisa dibeli dengan beberapa lembarnya.
Ahh...
Buat apa juga aku meributkan kehidupan kota yang semrawut ini, aku lupakan saja sajak keluhku sembari mengamati lalu lalang banyak akomoda dari lantai dua rumah budheku.
Kringgg!!!
Suara dering telephone berbunyi...
“halo dengan siapa disana?”
Tanya budheku, budhe lasmini pada seseorang diseberang telephone sana
“thole wonten budhe?”
(thole ada budhe?)
Tanya seseorang dengan suara lelaki yang masih muda di seberang telephone sana.
“hloh, iki sopo yo?”
(hloh, ini siapa ya?)
Tanya balik budhe lasmini
“kulo dimas budhe, dangu kulo rencange pas tasih SMA”
(saya dimas budhe, dulu saya temannya pas masih SMA)
Jawab seseorang itu yang ternyata adalah dimas.
“owalah, dimas to tak kiro sopo. Suaramu iku hlo wes bedo dadi manglingi”
(owalah, dimas ya tak kira siapa. Suaramu itu hlo sudah berbeda jadi terkesan asing)
Ucap budhe lasmini pada dimas namun dengan setengah hati.
Kemudian tak ada angin tak ada hujan budhe berteriak memanggilku, tapi itu adalah pagi terlucu dari hidupku. Hahaha...
Karena beberapa teriakan budhe tak juga aku gubris. Akhirnya budhe menghampiriku dan berteriak menggunakan mega phone atau TOA dengan menempelkannya ke kupingku secara langsung.
“wedhus elek!”
(kambing jelek!)
spontan saja aku mengucapkan umpatan lucu tatkala aku terkejut.
Memang itu umpatan, namun kalau pertama kali didengar orang yang belum pernah mendengarnya itu akan menimbulkan gelak tawa pada pendengarnya. Benar, kulihat budhe lasmini nampak menawan gelak tawa dengan cara merapatkan bibirnya.
Namun, ketika aku mulai memasang muka cemberut ketika itulah tawa budhe langsung pecah. Entah, apa yang ia tertawakan. Meski jika itu perihal lucu aku memang manusia ter-imut dan terlucu dimuka bumi ini. Itu kata almarhumah ibuku dulu sih tapi hehehe...
“hahaha, ndak usah cemberut begitu le, sana itu ada telephone dari dimas. Jangan sampai temanmu itu kesini dan membuat kegaduhan lagi seperti beberapa tahun lalu”
Ucap budhe lasmini dan sedikit himbauannya.
Hahaha, sedikit aku tertawa sinis tatkala mengingat peristiwa lama itu, jika aku ceritakan sedikit mungkin banyak orang akan tertawa namun juga kesal. Kenapa bisa seperti itu?
Dulu dijaman aku masih bangku SMA aku mengalami sakit aneh, hampir 14 hari aku tak bisa masuk sekolah karena sakit yang tak bisa dijelaskan secara medis yang menimpaku. Sudah berbagai rumah sakit dan pengobatan alternatif aku datangi bersama budheku, namun hasilnya nihil.
Berbagai macam cara juga sudah kami tempuh namun juga sama saja tak berbuah hasil. Tak ada sama sekali teman sekolahku maupun guruku yang menjengukku.
Bahkan sempat aku dengar kabar burung yang beredar bahwa tak ada yang berani menjengukku karena desas-desus itu.
Dari kabar itu, aku dikabarkan mengalami sakit aneh yang menular, berita itupun sampai menyebar bukan hanya dirumah dan kerabat dekatku, bahkan sampai penjuru sekolah pun mengetahuinya.
Aku hampir putus asa. Namun, mau tertawa atau terharu aku tak mampu memilih salah satu dari keduanya ketika menjelang maghrib ada teman yang memang terkenal bar-bar dan perusuh di sekolahku datang ke rumah budhe.
Namun saat dimas mengetuk pintu dan belum mengucapkan salam, ia malah berteriak dengan kata “JANCOK!!!” berulang-ulang, bahkan diwaktu bersamaan ia juga menggedor pintu dengan sangat keras yang membuat budhe berlari untuk membuka pintu.
Tapi, aneh. Ketika pintu di buka bukan dimas bersikap tenang malahan ia berlari menabrak budhe lasmini, dimas juga ikut jatuh namun ia kembali bangkit berdiri dan melajutkan larinya yang membabi buta membuat seisi rumah bagai kapal pecah.
Ketika sampai di depan pintuku dan membukanya kembali ia berteriak kata “JANCOK!!!” dengan sangat keras. Belum sampai disitu di lorong ia melihat ada keris almarhum pakdheku dan langsung ia mengambilnya lalu membukanya dari sarungnya.
Ia mengayunkan keris itu membabi buta cukup lama, tetap dengan kata; jancok-nya ia membabi buta di kamarku dan setelah keris itu seolah mengenai sesuatu dimas berhenti.
Tapi, tidak lama keadaan dimas terlihat tenang. Dengan masih menggenggam keris dimas keluar dari kamarku dan berlari menuju teras, ia seolah mengejar sesuatu namun tak kutahu ia melihat apa saat aku intip dari jendela.
Yang malah menjadi masalah ia berlari dan menghancurkan beberapa tanaman budhe lasmini, bahkan ia juga menginjak bunga tulip belanda kesayangan budhe lasmini.
Hahhh.... aku hanya bisa menepuk jidatku sembari menggeleng-gelengkan kepalaku.
Semenjak kerusuhan hari itu, itu adalah kali pertama dan terakhir dimas berani masuk ke rumah budhe. Ya bisa ditebak pasti takut dengan budhe hahaha.
Meski selang waktu berganti, kadang kala dimas nekat menjemputku di luar pagar rumah budhe secara diam-diam untuk mengajakku bermain atau menghabiskan waktu setiap akhir pekan hahaha.
Namun, jika ada yang bertanya apa pendapatku mengenai jawaban dimas, aku memang lain dari budhe. Meski aku tak bisa melihat apa yang dimas lihat tapi aku percaya akan apa yang dimas katakan.
Karena sebelum aku sakit aneh, aku selalu bermimpi wanita yang mirip dengan almarhumah ibuku tapi dengan muka yang jelek dan seram, wanita itu memberikanku minuman aneh lalu memaksaku meminumnya.
Bahkan mimpi itu sangat sering datang dan kembali memaksaku meminum minuman aneh. Kemudian tiba-tiba aku mengalami hal yang janggal hingga aku di diadnosa tak memiliki penyakit apapun.
Tapi, dengan jelas tubuhku lemas dan tak bisa apa-apa. Hingga pada hari itu dimas datang dan esoknya tiba-tiba anehnya penyakit anehku hilang begitu saja. Maka dari itu aku ingin lebih dekat dengan dimas dan sampai saat ini dimas menjadi sahabat yang paling berharga bagiku.
Karena tanpa... tanpa dimas mungkin aku takkan bisa membuka mata sebuah cakrawala dunia dan berbagai misteri yang tersembunyi didalamnya.
“sendiko dawuh ndoro”
Ucapku pada budhe sembari aku melakukan gerak tubuh laksana seorang rakyat jelata menghormati ratunya hahaha.
Namun,
TUENGGGG!!!!
Hantaman panci dengan pantatnya yang sudah berborok hitam di lepaskan ke arah mukaku.
“ndora ndoro, hla kamu kira budhe itu memperlakukan kamu seperti babu dirumah ha? Lihat itu mukamu udah budhe wujudin biar mirip babu!”
Ucap panjang lebar budhe dengan nada omelan seperti ibu-ibu bawel pada umumnya.
Nampaknya sebelum pantat panci burik berborok itu mendarat lagi di mukaku yang penuh keimutan ini, aku harus segera melarikan diri dan segera pula menghubungi kembali dimas untuk bertemu.
Tak elok jika telat melarikan diri, mungkin muka ku yang lucu ini akan cemong dan gosong berburik seperti panci sakti jaman baheula budhe itu.
-rehat dulu-
Saya mau ngopi sama sebats dulu. Yang masih kerja pagi mending tidur deh soalnya cerita ini selesai part 1 nya subuh sepertinya.
Masih ada yang melek kan?
Segera aku berjalan pelan mengendap-endap menuju meja telephone.
“halo, dim ndak usah ngomong di telephone. Kita ketemuan aja di tempat biasa yo, di warung mi ayam mbok darmi”
Ucapku pelan seperti berbisik.
“owalah, iyo”
jawab dimas dan telephone langsung ditutup.
Langsung saja aku berjalan menyelinap ke kamarku untuk mengambil kunci vespa dan dompetku.
“heiiii!!! Arep nyandi bocah wedhus!?”
(heiiii!!! Mau kemana anak kambing!?)
Tanya budhe masih dengan amarahnya yang masih tersisa.
“hloh ko ngono to budhe, cah enom kok malam minggu yo dolen”
(hloh kok gitu sih budhe, Anak muda kok, malam minggu ya main)
Jawabku tak terima disebut anak kambing sembari berkata menyindir.
“pancen bocah wedhus!”
(memang anak kambing!)
Ucap budhe.
Tak kuhiraukan ucapab budheku, aku berjalan ke sudut ruanganku, aku selempangkan tas kesayanganku dan membawa barang yang kurasa pentin.
Tak lupa aku berjalan kembali ke arah budhe lasmini. Aku mengecup tangannya dan berpamitan. Namun, ketika aku berjalan sebelum keluar rumah, tepatnya di pintu menuju teras..
“budhe..”
Sapaku pada budhe..
“opo?”
Sahut budhe
“nek aku bocah wedhus, berarti budhe iku budhene wedhus HAHAHA”
(kalau aku anak kambing, berarti budhe itu budhenya kambing HAHAHA”
Ucapku dengan gelak tawa dan langsung secepatnya berlari menuju motor vespaku
“BOCAH WEDHUS!”
Itu adalah kalimat terakhir dari budhe setelah aku keluar dari rumah budhe, entah panci keramat itu terlempar seperti keris empu gandring apa tidak, jujur mungkin panci budhe jika diadu dengan keris mandraguna manapun lebih sakti panci keramat itu mungkin hahah.
"Percaya apapun yang akan terjadi nanti, kau tetap pesona di lagu ini…."
Itu adalah satu bait lagu yang kuputar di Walkman ku, lagu yang terputar sembari mengenang kebersamaan dengan seseorang dalam perjalananku dulu.
Kuingat kebersamaan itu masih... masih dengan mengemudikan akomoda serba besi beroda dua ku ini.
Citttt!!!
Rem vespaku berdecit tanda sudah sampai di tujuan...
(le, kamu katanya kesini sendiri kan? Kok kamu bawa teman sih?)
Tiba-tiba tanya dimas padaku, terkejut rasanya.
“oposih dim, ngawur!”
(apasih dim, ngawur!)
Jawabku pada dimas.
“iku hlooo...”
(itu hlooo...)
Ucap dimas sembari memberikan kode dengan pipinya yang terlihat ditonjolkan dengan lidahnya. Dari kode itu menunjuk ke arah belakangku...
Aku mencoba untuk menoleh secara perlahan ke arah belakangku...
“astaghfirullahaldzim...”
Ku ucapkan istighfar karena memang ada wujud yang cukup menyeramkan di belakangku dan mungkin membonceng entah dari kapan.
Wujud hitam disekujur tubuhnya dengan darah hitam yang masih menetes dan wujudnya yang berkucir, wajahnya pun hitam membusuk.
Pantas, dari sepanjang perjalanan tadi aku mencium bau yang sangat busuk, aku kira aku melewati bangkai, ternyata malah aku yang membonceng bangkai, Jancok! Masih terang kenapa ada pocong yang menampakkan diri...
“weslah, mudun wae. Ora perlu kaget, paling iku yo mung soko wit gedang ngarep omahe budhemu iku le”
(sudahlah, turun aja. Tidak perlu kaget, paling itu ya Cuma dari pohon pisang depan rumah budhemu itu le)
Ucap dimas.
Aku pun langsung turun dan tak lupa aku parkirkan vespaku, huh masih dengan wujud pocong jelek itu yang tetap duduk tak berpindah di jok belakang.
“yuk masuk”
Ajak dimas sambil menepuk pundakku...
Kami pun duduk dipojokan dekat dengan parkiran seperti biasanya.
“mbok, mieso loro yo, es-teh kampul siji karo teh kampul anget siji yo...”
(mbok, mieso dua ya, es-teh kampul satu sama teh kampul hangat satu ya...)
Ucap dimas memesan makanan dan minuman kepada mbok darmi.
Kawanku satu ini memang aku rasa memang layak aku sebut sebagai sahabatku yang sangat berharga, ia sangat tahu bahwa aku jarang bahkan hampir sama sekali tak meminum es atau minuman yang dingin. Kemudian...
“nganggo boso nasional waelah le, sekalian ben ketok gaul ngono hlo”
(pakai bahasa nasinal ajalah le, sekalian biar kelihatan gaul gitu hloh)
Ucap dimas lagi
“nganggo guwa guwe ngono a?”
(pakai guwa guwe gitu ya?)
Tanyaku pada dimas
“yoi bosque”
Jawab dimas
“yoi raimu iku dim.. dim...”
(yoi mukamu itu dim.. dim...)
Ucapku sedikit kesal
“yawes pakai bahasa join aja yo”
Ucap dimas
“apa lagi iku dim?”
Tanyaku
“jowo-indo wkwkw”
Jawab dimas.
“karepmu dim.. dimm...”
Ucapku makin kesal.
Hahaha
Gelak tawa dimas puas membercandaiku...
“le, besok malam udah rabu wekasan, konon katanya itu malam yang cukup menakutkan.”
Ucap dimas
“terus?”
Tanyaku
“nabrak goblok!”
Jawabnya sambil memukul kepalaku pelan, kemudian ia memutarkan kepalaku hingga penglihatanku mengarah ke parkiran
“terus, terus boncengkan itu pocong asu kembali ke pohon pisang depan rumah budhemu!”
Ucap dimas kesal,
Ya, aku tahu meski dimas suka bercanda tapi memang ia tergolong orang yang tak bisa diajak bercanda jika ia sedang berbicara serius, akupun hanya diam mendengarkan ucapannya kembali.
“kemarin kan di mimpimu itu kamu bertemu siapa itu? Mbok? Mbok .. mbok siapa?”
Tanya dimas
***
Ingin rasanya saya sebagai penulis kemudian ada di tkp itu dan tak jawab “mbok yo sing full senyum sayang” biar dimas kesal kesetanan rasanya wkwkwkw
Lanjut....
***
“mbok rondo...”
Jawabku
“nahhh...”
Ucap dimas
“jika mimpi itu mau kamu buktikan, aku ada ide...”
Ucap dimas lagi
“apa itu?”
Tanyaku
“kenapa kita nggak naik ke semeru di malam rabu wekasan, lewat jalur A*******”
Yang aku tahu itu dulu adalah jalur untuk mencari rumput bagi penduduk dan jalur orang yang mengirimkan sesembahan jika ada hajat tertentu. Dan dipastikan itu bukanlah jalur resmi melainkan jalur illegal.
Saya punya sekelumit cerita di sekitar saya, sebuah cerita yang membuat saya merinding ketika masih duduk dibangku menengah pertama. Yang paling saya ingat adalah ketika hendak pulang dari kegiatan ektrakulikuler pramuka tepat jam 06.00 wib, menjelang mau maghrib.
Saya melihat teman sekelas saya duduk sambil nulis di black board. Sebuah kata “genjer-genjer” tidak hanya itu.
Malam yang dingin di desa wanamaja, seorang anak laki-laki nampak terduduk lesu dibawah pohon randu. Ia menangis tersedu-sedu karena baru saja ia mendapatkan beberapa pukulan dari bapaknya.
Anak itu benar-benar nampak sedih dan berpikir apakah orang tua dan keluarganya menyayanginya. Ataukah ia hanya sebatas anak pungut yang dirawat kelurganya. Begitu banyak pikiran aneh berterbangan di benak kepala anak usia 7 tahun itu.
Dimanapun manusia berada ia akan selalu mencari cara instan dalam memperolah kekayaan.
manusia tidak pernah dilahairkan jahat, namun sifat jahat selalu mengikuti kemanapun manusia berada.
kali ini ijinkan saya bercerita tentang pengalaman narsumber saya yang bernama eko, dimana eko pernah melakukan sebuah ritual pesugihan dengan cara yang sangat mudah. tapi kini semua yang ia lakukan membuatnya dalam kata putus asa.