Wah @hariankompas 1 Nov memuat perjuangan kampung2 utk pemenuhan hak atas hunian layak let #collectivehousing. Sayang foto yg ditampilkan bkn versi “after”.
Ada 3 contoh strategi berbeda yg sdh kami implementasikan bersama di Jakarta.
Mari kita julidin .. #eh bahas maksudnya.
Jika punya kompas ID, cuss langsung ke sini:
Dan ada foto dari fotografer Kompas di Kampung Marlina sesudah penataan: dari gang gelap gulita dan tenggelam, menjadi gang terang benderang.
Kampung Marlina: perbaikan setempat, dgn dana yg didapat dari hibah dan dana yg digulirkan Koperasi.
Kampung Akuarium: Kampung Susun
Kampung Tongkol: penataan setempat dan reforma agraria.
Kampung Tongkol. Terancam tergusur di 2014-5, & akhirnya mrk lakukan penataan mandiri: potong bangunan & ubah jd jalan inspeksi. Ada cohousing jg loh.
Pny kenangan pribadi soal kampung ini, krn berhasil kaitkan kampung ini dgn kegiatan2 UNESCO. Bahkan jd lokasi Heritage Clinic.
Kampung Susun Akuarium …
Rasanya wa udah terlalu banyak ngoceh ya soal ini … 😅
Dan kalau mau tau lebih banyak soal Kampung Susun, ada diskusinya di 10 Nov. daftar di sini: bit.ly/desainkampungs…
Dan yg terakhir, Kampung Marlina. Kondisi “before” adlh gang senggol tanpa pencahayaan, krn seluruh lantai 2 menempel ke dinding seberang gang.
Lalu, lewat pendampingan teknis & dana hibah+bergulir, satu persatu rumah diperbaiki: potong dan tambah lantai.
Dpt matahari+sirkulasi.
Terlampir adalah konsep Marlina …
Tidak terlalu melencenglah dari kenyataan … selain saat konstruksi, budget per rumahnya agak membengkak …
Btw, kampung ini menjadi “developer” bg dirinya sendiri.
Dan ini beberapa proses di Marlina.
Pic 1: Rumahnya ambles dan jalan makin ditinggikan.
Pic 2: mulai bongkar bongkar …
Dan afternyaaaa …
Perhatikan, bagian latar belakang adalah rumah yg blm masuk perbaikan setempat- jalan pun nunduk2 krn dimakan lantai 2. Dan rumah yg di latar depan sudah.
Jadi dapat matahari masuk, plus tanamannya tumbuh.
Eya maaf … aye salah masukkan gambar di atas. Gambar atas itu desain balai warga kampung Kedaung Kaliangke … haha ..
Setelah baca liputan ini, wa jadi kuesel:
Yang lebih menjengkelkan dari soal hutang 2 turunan adalah masa depan KAI jadi berrisiko dan gak jelas. Dan akhirnya berdampak ke masa depan perkeretaapian sa Indonesia. Cuma demi proyek geje, membahayakan yg lain.
Asli mau marah.
Risiko lain adalah: mendorong peralihan tata guna lahan di hulu dan suburbanisasi, yang pastinya bakal diikuti sama land grabbing, konflik lahan, & hancurnya ekosistem.
Bakal lagi ke real estate yg spekulatif utk nombokin - rugi bandar lah kita semua, sampai generasi berikutnya.
Sekali lagi, tidak semua proyek transportasi massal/publik pasti otomatis bagus. Proyek goblok ya goblok aja …
Mungkin ada konten pd thread yg obyektif, logis, bersandar pada ilmu arsitektur, perencanaan kota & bangunan - tp thread tsb misalnya tdk memenuhi kriteria: 1. Apakah sdh mengetahui POV arsitek? 2. Yang jelas bahasa & diksinya gak banget. Mana ada kritik nulis “kolam DBD”? 😂
Kolam DBD dlm konteks kritik mungkin jadi “Setiap ruang biru di TIM bak api dalam sekam bagi publik, terutama dalam menjaganya agar tetap indah dan memberi manfaat visual bagi publik sesuai dalam imaji arsiteknya. Tapi seberapa besar yg publik bisa korbankan demi imaji itu?”
TIM baru membuat saya yakin, ada kalanya kalau arsitek2 ini pada ke Jepang, tolong ya pakai waktu itu jadi liburan saja - bukan utk “inspirasi” dipindahkan plek2 ke kota tropis macam Jakarta. Apalagi kalau budget materialnya gak nyampe 😑
Indonesia masuk no 2 terbesar yang gak percaya krisis iklim …
Dan inilah produk arsitektur kekiniannya, dgn fitur urban heat island, beton dimana-mana, dan entah air apa ini yg jelas gak berfungsi sebagai retensi di waktu hujan ekstrim …
Kurang denial apa coba 😅
Kita ini kota di negara berkembang, akses ke air bersihnya masih buruk dan masih ada keluarga2 yg harus beli air.
Bikin fitur yg mahal perawatan plus bahkan gak jelas hendak apresiasi “benda” atau “situasi” apa? 😑
Flash flood (banjir kilat) yang berbuntut musibah di Mtsn 19 mengingatkan pada flash flood di Thamrin, terutama Gedung UOB, akibatnya gagalnya tanggul BKB Latuharhari di 2013.
Menyedihkan sekali kali ini, terlebih korbannya anak2. Pemprov @DKIJakarta harus tanggung jawab & kudu
makin waspada utk risiko dr krisis iklim: hujan intensitas ekstrim dalam waktu singkat. Infrastruktur di Jakarta, saya rada yakin, tidak didesain utk menghadapi, hujan ekstrim tsb.
Jarak Mtsn 19 ke kali terdekat (lebar 4 meter) sekitar 210m dan arah air memang ke Barat, krn kelihatan sekali cekungnya ke arah halaman sekolah bahkan dr street view. Beda tinggi dgn jalan -1m.
Ini spt “menunggu bencana”. Kok bisa gak disadari ya risiko itu sama level lokal.
Rencana giant seawall baru yang udah ganti nama lagi di 2019 (d/h JCDS, d/h NCICD) jadi IFSP …
Mau bikin tembok buat nutup teluk….. padahallllll ….
Padahalll …. Kalau yg 5 proyek dikerjakan bener (kecuali yg Sunda Kelapa showcase - entah itu apaan), ya tembok laut yg bakal ada tolnya itu jadi gak ada gunanya.
😂😂 itu mah tembok akal2an aja supaya bikin pulau2 palsunya nambah lagi.
Kenapa bisa bikin pulau palsunya 1-2 bahkan muncul semua lagi? spt bisa pemerintah akan bilang: gak cukup duit buat bikin tanggul, kudu kpbu lah, atau kewajiban pengembang lah dlll.
Padahal ya ela, pengembang aja masih lari dari kewajiban bikin tanggul di masing2 kawasannya.
Gabut sore adalah nyimak pidato Menkeu dan Presiden soal penandatanganan MoU INA (Indonesia Investment Authority) - SWF nya Indonesia dgn Hutama Karya & Waskita Toll.
Rada aneh deh pas nyimak.
SWF alias sovereign wealth fund/pengelola investasi dana abadi biasanya antara basis sumber daya alam, surplus amggaran atau keuangan. Investasi SWF biasanya dilakukan di luar negeri.
SWF bisa ada di Indonesia tak lain tak bukan hasil UU Cilaka.
Yg rada bikin bingung saya yg bukan orang keuangan, INA menarik investasi luar negeri (dari 3 lembaga sesama SWF & dana pensiun asing) utk investasi proyek tol di dalam negeri - Trans Jawa dan Sumatera.