Diosetta Profile picture
Dec 15, 2022 725 tweets >60 min read Read on X
JASAD HIDUP SANG SANTRI
Part 1 - Langkah di Tengah Malam

Setiap malam kamis Wage, Santri itu akan meninggalkan pondok & mengambil titipan ibunya.

Ia menggali tanah, memakan Janin yang di kubur oleh ibunya sebagai syaratnya untuk tetap hidup..
#bacahorror @IDN_Horor @qwertyping Image
Terima kasih buat @qwertyping @ukmpengamatan @Amaaisan @RestuPa71830152 yang membantu sampai kisah ini bisa ditulis..

Disclaimer :
seluruh nama, tempat, dan informasi sensitif sudah disamarkan agar tidak menyinggung pihak-pihak tertentu.
Dan untuk pembaca yang mengetahui tentang lokasi dan kejadian sebenarnya mohon dijaga rapat-rapat,
dan Cerita ini tidak ada niat untuk menjatuhkan atau menyudutkan pihak tertentu.
Mohon disingkapi dengan bijak..

Selamat Membaca.
PROLOG

“Di pondok belajar yang bener ya, jangan ngerepotin Pak Ustad” Ucap seorang ibu sembari mengelus kepala putranya.

Suara bising klakson kendaraan mengiringi perjalanan mereka melintasi batas propinsi.
“Iya Bu, yang penting Ibu jangan lupa aja kalau punya anak yang tinggal di pesantren,” balas anak itu.

Ibu itu tersenyum, Ia mengelus kepala anak itu berusaha menghargai keteguhan hati anaknya.

“Ndak mungkin to Le, nanti tiap ada libur ibu pasti datang,” balas ibu itu.
Perjalanan cukup panjang mereka lalui untuk mencapai sebuah kota di Jawa Barat. Cahaya rembulan menemani perjalanan mereka menembus jalur pegunungan yang berkelak-kelok. Sayangnya penerangan di sana masih jauh dari cukup.
Hanya cahaya dari mobil tua yang mereka sewa yang menerangi perjalanan mereka.
“Hati-hati Mas, jangan ngebut-ngebut.. jalananya gelap.” Ucap ibu itu.

Sopir itu mengangguk, “Iya bu, biar kita bisa cepet lewatin jalur ini bu. Udah merinding dari tadi,”

“Heh, ngomongnya..”
Baru beberapa saat menutup perbincangan mereka, jalanan yang mereka lalui menjadi gelap. Lampu sorot mobil yang mereka gunakan tiba-tiba mati. sopir itu berniat meminggirkan sesaat mobil mereka, namun mereka sedang berada di jalan turunan.
“Mas, minggir mas… jangan ngebut!” teriak ibu itu.

“I—iya bu, ini dari tadi mau minggir tapi turunan, rem nya nggak makan,” balasnya sopir itu dengan suara panik.

Nasib sial tidak dapat mereka hindari. Jalanan itu membawa kepada jalan turunan yang semakin tajam.
Berkali-kali sopir itu menginjak rem untuk menghentikan mobilnya, namun gagal. Sebuah tebing besar menyambut mobil tua yang meluncur dengan kecepatan penuh dan akhirnya menghancurkanya.
Ibu itu tersadar dan mendapati tubuhnya penuh dengan luka. Ia merayap ke bagian mobil yang telah hancur itu dan mencari keberadaan anaknya. Namun sebuah luka menggores hatinya dengan kejam.
Sang ibu menemukan anaknya penuh luka dan tidak merasakan nafas dari tubuh anaknya itu. Berkali-kali ia mencoba memanggil nama anaknya, namun tidak ada tanda-tanda anak itu akan membuka matanya.
“Nak.. jangan tinggalin ibu nak, biar ibu saja yang mati, jangan kamu nak…” tangis ibu itu memecah keheningan malam di jalur yang tak jauh dari tepian jurang itu.
Ibu itu berteriak berkali-kali meminta pertolongan, namun jalur malam tempat mereka berada saat ini hampir tidak terlihat satupun kendaraan yang melintas. Ia hampir putus asa dan menangis sejadi-jadinya.
“Tolong.. siapa saja, tolong anak saya. Apa saja akan saya lakukan, tapi tolong anak saya..” isak ibu itu.
Hanya gelapnya malam dan suara serangga dari hutan sekitar mereka yang menyahut isak tangis ibu itu.
Di tengah keputus asaanya, samar-samar akhirnya ibu itu melihat ada seseorang yang melintas di jalan itu seorang diri. Orang itu menembus kegelapan dan berjalan dengan kaki telanjang.
Ibu itupun mencoba memperhatikan sosok itu dan menemukan seorang kakek berjanggut yang menghampirinya.

Kakek itu mendekati jasad anak yang sudah tidak bernyawa itu. Ia hanya menunduk memperhatikan wajahnya sementara ibu itu masih heran dengan gerak-gerik kakek itu.
Tapi setelahnya, tiba-tiba kakek itu menyeringai dan perlahan menoleh ke arah sang ibu.
“Mungkin saya bisa menolong anak ibu…” ucapnya dengan memamerkan senyumnya yang sedikit terlihat mencurigakan

***
Part 1 - Langkah di Tengah Malam

Pesantren Langgarjiwo, 1989

“Kita sudah Madrasah Sanawiah! Udah nggak jamanya lagi kita takut sama kakak kelas. Pokoknya kita jangan mau kalah” Rizal berdiri menatap temanya Ahmad dan Fariz yang tidak jauh berada di dekatnya.
Baru satu minggu mereka melalui pendidikan di pesantren dan cukup banyak kakak kelas yang menunjukkan sikap tegasnya pada mereka. Tidak ingin bernasib seperti awal-awal mereka di Madrasah Ibtida,
merekapun mulai mengambil sikap untuk menghadapi senioritas yang terkenal di pesantren ini.
“Bener Jal! Jangan mau ditindas. Kita lulus MI dengan gagah jangan mau di pelonco lagi, ya nggak Fariz?” balas Ahmad.
“Fariz?” Rizal mamanggil Fariz yang tidak menyahut ucapan Ahmad.
“Eh.. i—iya apa? Nggak dengerin aku, sarungku copot terus” sahut Fariz yang masih repot dengan sarungnya sendiri.
“Ealah Fariz, makanya pake sarung yang bagusan, Cap Gajah Bengkak biar nggak melorot terus” ledek Rizal.

“Gajah Bengkak kepalamu, ini teh sarung warisan buyutku jangan main-main kamu,” balas Fariz Kesal.
Mendengar suara kasak-kusuk mereka dari salah satu lorong kelas, tiba-tiba seseorang mendekat ke arah mereka untuk memeriksa.
….
“Astagfirullahhladzim… ngapain kalian masih di sini?” Tegur Ridho, kakak kelas anggota himpunan santri yang sedang mendapat tugas keliling.
“Eh, Kang Ridho.. kami habis Sholat Asar.” Rizal berusaha mencari alasan.
“Terus kok masih di sini? Kalian bolos ngaji?” tanya Ridho lagi.
Sontak merekapun menatap jam yang terpasang di dinding bangunan. Mereka sudah terlambat setengah jam dari waktu yang ditentukan.
“Eh, Ma—maaf khilaf Kang!” teriak Fariz sembari segera menarik tangan Ahmad untuk menyusul teman-temanya mengaji.

“Jangan sering-sering keliling pesantren ini, kalian nggak tahu kan ada makhluk apa di dalam ruangan dekat kalian ngobrol tadi..”
ucap Ridho dengan memasang wajah misterius kepada Rizal.

“E—emangnya, ada apa Kang Ridho?” Tanya Rizal.

Rizal menatap sebentar pintu gudang tua yang jarang dibuka di sebelahnya.
Rizal baru menyadari bahwa sedari tadi mereka bersembunyi dari pandangan kakak kelas di dekat ruangan gudang tua itu.
“Sss… Ada Mak Lampir,” ucap Ridho sembari menakut-nakuti Rizal.
Wajah rizal terlihat pucat ketakutan, iapun segera pergi menyusul Fariz dan meninggalkan Ridho.
Dari belakang, Ridho memperhatikan mereka sembari tertawa puas.
Rizal, Fariz, dan Ahmadpun memasuki ruangan mengaji walau sudah terlambat beberapa saat. Ustad Yahya yang sudah memulai kelasnya hanya menggeleng melihat tingkah ketiga anak itu.
“Assalamualaikum Ustad, Maaf terlambat,” salam Rizal diikuti kedua temanya.
Tak mau kedatangan mereka mengganggu santri lainya, Ustad Yahyapun menyuruh ketiga anak itu untuk segera mengambil tempat untuk menyusul yang lain.
“Katanya jangan takut sama kakak kelas, disamperin Kang Ridho langsung kabur..” Ledek Rizal.
“Lha kan kita yang salah, wajar kalau takut,” balas Ahmad mencari alasan.
Belum sempat Fariz menimpali perkataan mereka, sebatang kapur melayang tepat ke kepala Ahmad yang membuat mereka terdiam.

Suara adzan maghrib berkumandang memanggil santri-santri berkumpul untuk sholat berjamaah.
Seperti biasa Rizal menunggu kedua temanya untuk mengisi kesibukan sebelum waktu makan malam.

“Barang begituan nggak pantes buat kamu!”

“Jangan kang, ini dibawain sama ibu. nggak boleh dikasi ke siapa-siapa,”
Terdengar perbincangan beberapa orang dari salah satu sudut lorong dekat Rizal berada.

“Ssst.. ada orang,” ucap Rizal memperingatkan kedua temanya.

Merekapun berjalan dengan hati-hati dan mengintip ke arah asal suara itu.
Ada tiga orang kakak kelas yang sedang mengerubungi salah seorang santri.
“Itu Fadil kan? Yang tiga orang itu Kang Sodar, sama temen-temenya?” Bisik Fariz.
“iya, mau dikerjain kayaknya,” balas Ahmad.

Rizal memperhatikan kejadian di hadapanya. Ketiga kakak kelas itu memegang sebuah kalung bertali hitam dan sebuah buku yang cukup tua. Sepertinya ia merebut itu dari Fadil.
“Sekarang saya tanya, ngapain kamu bawa barang-barang beginian? Mau ngilmu kamu? Biar apa?” ucap Sodar.

“Biasa Dar, dibawain begituan biar bisa ngelawan seniornya! Udah disita aja,” tambah teman Sodar yang mendorong Fadli menjauh.
“Ja—jangan Kang, jangan…” Fadil mencoba merebut barangnya itu, namun tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di perutnya.
Fadilpun jatuh terduduk menahan rasa sakitnya yang dibalas tawa oleh ketiga kakak kelas itu.
Merasa keadaan sudah tidak kondusif, Rizalpun merasa harus berbuat sesuatu.
“Assalamualaikum Ustad Yahya!” Teriak Rizal tiba-tiba.
Fariz dan Ahmad merasa bingung mencari keberadaan Ustad Yahya yang tidak ada di sana,
tapi saat itu Rizal segera menyikut Ahmad dan Fariz mencoba memberi isyarat pada mereka.

“Eh.. e.. Ass—Asssalamualaikum Ustad Yahya!!” teriak Fariz dan Ahmad menyusul ucapan Rizal.
Mendengar teriakan mereka bertiga, sontak Sodar dan teman-temanya panik dan pergi meninggalkan Fadil.

Mengetahui keadaan telah aman, Rizalpun mengintip kembali dan menemukan Fadil tengah sendirian menahan sakitnya.

“Kita ke sana Jal?” tanya Fariz.
“Eh, Ja—jangan.. tar kalau ketahuan kita bisa diincer juga sama Kang Sodar dan temen-temenya,” balas Rizal.

Iapun memerintahkan kedua teman-temanya untuk pergi meninggalkan Fadil.

“Yah, paling nggak Kang Sodar teh udah pergi..” ucap Ahmad.
Rizal dan Ahmad mengangguk, satu sisi mereka merasa tenang. Tapi di sisi lain ia penasaran dengan benda apa yang direbut Sodar dari Fadil.

Namun dibanding dengan permasalahan Fadil, Rizal lebih tertarik dengan gudang tua yang digadang-gadang Ridho sebagai tempat yang angker.
Rasa tidak ingin disepelekan oleh senior-seniornya membuat mereka ingin membuktikan sendiri bahwa tidak ada yang menyeramkan di gudang tua itu.
“Bukan Mak Lampir, katanya teh sebelum tempat ini jadi pesantren ada nenek-nenek yang nggak dirawat sama anggota keluarganya, dia kabur dari rumah dan ngumpet di gudang itu.
Pas ditemuin, ternyata nenek itu sudah jadi mayat.
Itu teh persi Kang Imam pas nakut-nakutin aku,” Cerita Fariz.

“Persi Kang Ujang bedan lagi, katanya kalau malam jumat dari bangunan itu bakal ada suara nenek-nenek yang minta tolong.
terus kalau dibuka, katanya nanti kita ditarik ke dalem,” Cerita Ahmad.

“Memangnya kalau kita ditarik ke dalem kenapa Mad?” Rizal Penasaran.

“Katanya nanti kita diisep ubun-ubunya,” balas Ahmad.
Mendengar ucapan itu sontak Fariz dan Rizal menarik sarungnya dan melemparkanya ke arah Ahmad.

“Buset, masih percaya aja kamu ada setan yang ngisep ubun-ubun,” ucap Fariz.

“Iya, kayak bocah aja..” tambah Rizal.
Ahmadpun memungut sarung-sarung itu dan melempar balik ke arah mereka berdua.

“Lah, aing teh cuma cerita. Emang begitu yang diceritain Kang Ujang,” Balas Ahmad tidak terima.
Merasa tidak mau diledek kedua temanya, Ahmadpun merasa tertantang.
“Ya udah, lanjutin rencana kita aja. Kita buktiin kalau omongan Akang-akang itu ga ada yang bener,” ucap Ahmad.

“Nah bener tuh! Pas kan nih malem Jumat, bisa buktiin cerita Kang Ujang tuh,” Sahut Rizal.
Ahmad dan Farizpun mengangguk setuju.
Merekapun mengatur rencana untuk keluar mendatangi gudang tua itu saat tengah malam.

Ada sepuluh santri yang tidur sekamar dengan Rizal dan kedua temanya. Mereka tidur di kasur-kasur busa yang harus mereka tumpuk kembali ketika terbangun besok pagi.
Beberapa anggota Histan atau Himpunan Santri bertugas berkeliling untuk mengingatkan semua santri untuk tidur pada jam yang telah ditentukan dan memastikan tidak ada yang keluar dari kamar di atas jam sembilan malam.

“Heh, jangan ketiduran” bisik Rizal.
“Ssst… jangan berisik, Kang Imam masih di depan,” peringat Ahmad sembari menyikut Rizal.

Merekapun berpura-pura memejamkan matanya dan menunggu hingga keadaan benar-benar aman.
Beberapa santri lain juga terlihat kasak-kusuk saat tidak ada lagi yang berjaga di depan kamar, namun setelahnya mereka segera tertidur tidak seperti Rizal dan kawan-kawanya.

Kedua jarum jam bertemu menunjukkan tepat di angka dua belas.
Tengah malam telah terlewati, Rizal, Ahmad, dan Farizpun bangun dari kasur busanya dan mengendap-ngendap mengintip keluar kamar.

“Aman Jal?” Tanya Fariz.

Rizal mengangguk dan memberi kode kepada kedua temanya untuk mengikutinya keluar kamar.
Lorong-lorong kamar begitu gelap, ada cahaya lampu namun tidak cukup untuk menerangi seluruh lorong. Dari jauh mereka melihat sebuah obor menyala yang dibawa oleh salah seorang Ustad.

“Masih ada yang bangung,” ucap Rizal.

“Terus gimana?” sahut Fariz.
“Sabar dulu aja, paling sebentar lagi sudah masuk,” balas Ahmad.

Benar yang dikatakan Ahmad, tak lama Ustad itupun mematikan obornya dan masuk ke salah satu ruangan.

Mengetahui keadaan semakin kondusif, merekapun melanjutkan rencana mereka dan mendekat ke gudang tua itu.
“Jal, hati-hati,” ucap Fariz.

“Iya Riz, kok suasananya beda banget ya sama tadi siang,” Balas Rizal yang seketika mendapatkan perasaan aneh meliputinya.

Tak butuh waktu lama hingga mereka tiba di gudang tua. Berbeda dengan siang hari, malam ini bangunan itu terasa mengerikan.
Kayu-kayu keropos di pintu yang dianggap bobrok itu kini terlihat berumur dan mengerikan.

“Masuk?” tanya Ahmad.

“I—iya” Rizal yang ragu tetap memberanikan diri untuk membuka tuas pintu itu.

Tapi.. pintu gudang itu tidak terbuka.

“Dikunci..” ucap Rizal.
Fariz dan Ahmad saling menatap, salah satu bagian di pikiranya merasa lega dengan hal itu.

“Udah nih? Kita balik?” Tanya Rizal.

“Ngintip dikit nggak ada salahnya kan?” Balas Fariz.
Seolah tidak puas dengan hasil itu, merekapun memutuskan untuk mengintip melalui ventilasi ruangan itu.

“Udah, kamu naik pundakku aja.. nanti gantian,” ucap Ahmad yang meminta Fariz menaiki pundaknya.

“Gelap kan? Pasti nggak keliatan apa-apa” balas Fariz.
“Tenang, nih pake senter..” ucap Rizal yang mengeluarkan senter dari balik sarungnya.

“Lah, ini ada senter? Kok nggak dikeluarin dari tadi?” Protes Ahmad.

“Kamu ini blo’on apa gimana mad? Kalau dinyalain dari tadi ya jelas kita langsung ketahuan” balas Rizal.
“Iya juga ya…”

Tak mau berdebat terlalu lama, merekapun melanjutkan rencana mereka. Dengan bantuan Rizal, Fariz menaiki pundak ahmad dengan berpegangan pada dinding gudang itu.

Dengan berhati-hati, Ahmad mencoba berdiri hingga wajah ahmad mencapai ventilasi ruangan gudang.
“Keliatan Ri?” tanya Rizal.

“Gelap, bentar coba aku senterin..” balas Fariz.

Fariz mengintip melalui sela-sela ventilasi dengan berhati-hati. Matanya menyisir sepetak demi sepetak bagian dari gudang itu.
“Cuma ada meja sama kursi rusak..” ucapnya.
“Itu aja?” Ahmad penasaran.

Fariz kembali mengarahkan senternya ke dalam, namun tanpa sengaja ia melihat sesuatu yang bergerak.

Entah mengapa saat itu perasaan Fariz menjadi aneh. Iapun mengarahkan lagi senternya ke tempat itu.
Dan tepat saat memindah posisi senternya, tiba-tiba cahaya senter itu terpantulkan oleh wajah nenek tua yang memergoki Fariz dari balik ventilasi.

Anehnya.. wajah itu menatap dan menyeringai seolah sedang merayap di atas dinding.
“Se—setan!!!” teriak Fariz yang seketika terjatuh dari punggung Ahmad.

Beruntung Rizal mampu menahan tubuh Fariz sehingga tidak terjadi cidera.

“Ca—cabut! Ada yang nggak beres di ruangan itu!” Teriak Fariz.

“Nggak beres? Maksud kamu apa?” Tanya Ahmad.
“Ada nenek-nenek! Ayo cepetan!”

Belum sempat memaksa teman-temanya pergi, tiba-tiba pintu gudang tua itu terbuka dengan sendirinya. Ruangan yang gelap dan penuh debu itu kini menantang mereka untuk masuk.

“Kebuka Zal! Gimana?” tanya Ahmad.
“Udah, kalian jangan gila.. aku liat sendiri ada nenek-nenek serem dari ventilasi,”

Melihat raut wajah takut Fariz merekapun memutuskan untuk tidak masuk ke dalam. Tapi… saat berbalik untuk kembali ke kamar,
mereka melihat seorang nenek pincang membawa tongkat menatap mereka dari lapangan tepat di seberang gudang tua itu.

“I—itu! nenek itu yang ada di dalem tadi,” ucap Fariz.
Senyuman nenek tua itu membuat bulu kuduk mereka berdiri. Rambut acak-acakan dan isi mulut yang memerah memastikan sosok di hadapan mereka bukanlah manusia.

“Lari.. cepet lari!” ucap Rizal.

Merekapun berlari secepat mungkin meninggalkan tempat itu.
Saat akan berbelok ke arah kamar terdengar suara pintu yang dibanting seolah mengancam mereka.

Brakkk!!

“I—itu suara pintu gudang Zal” ucap Fariz.

“Sabodo teuing! Balik ke kamar!!” teriak Rizal.
Mereka terus berlari, namun samar-samar ia masih mendengar suara langkah di seret dan suara ketukan tongkat di tanah dari sosok yang mengikuti mereka.
Dengan nafas yang tengah menderu akhirnya merekapun berhasil kembali ke kamar dan segera menempati tempat tidur mereka masing-masing. Merekapun bersembunyi di balik sarungnya masing-masing mengambil posisi yang mereka rasa aman.
Suara nafas mereka saling beradu berusaha untuk lebih tenang. Namun rasa khawatir mereka tetap masih menghantui pikiran mereka.

Tok…Srrrt… tok….srrtr…

Dan benar saja..
Jauh dari arah kamar mereka terdengar suara langkah yang diseret bersautan dengan suara tongkat yang beradu dengan lantai. Suara itu terdengar semakin keras menandakan sosok itu semakin dekat dengan kamar.
Rizal dan teman-temanya berharap suara itu melangkah melewati kamar dan tidak menyadari keberadaan mereka. Sayangnya mereka salah, langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu kamar mereka.

“Si—sial, dia berhenti,” gumam Rizal.
“Ja—jangan ngomong Zal, diemm..” tegur Ahmad.
Merekapun membaca dalam hati doa-doa yang mereka bisa berharap sosok itu meninggalkan mereka, namun sebaliknya rasa merinding semakin menyelimuti mereka.

“Di dieu..” (Di Sini)

Terdengar suara parau seorang nenek tepat dari arah balik pintu kamar.
“Di—dia kesini” bisik rizal dengan tubuh yang gemetaran.

“Ssstt…” Balas Fariz yang tak kalah takut.

Suara langkah itu kembali bergerak seolah mendekat ke arah pintu. Bersamaan setelahnya terdengar suara pintu yang terbuka secara perlahan.
Jantung Rizal berdebar begitu cepat, ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya atas perbuatan mereka.

Mereka menunggu begitu lama dengan keheningan dan suara angin yang masuk melalui pintu kamar. Mereka tahu, nenek itu saat ini ada di dalam kamar mereka.
Sekuat tenaga mereka menahan suara dan menenangkan nafas mereka, namun itu tidak cukup untuk menghalau rasa takut mereka.
Tapi… detik berganti menit dan waktu terus berjalan.
Entah mengapa tidak ada yang terjadi dengan mereka yang masih menyembunyikan wajah mereka dibalik sarung.
Rizal ingin membuka sarungnya dan mencari tahu apa yang terjadi, namun rasa takut masih menguasainya.
Saat itu Rizal tidak mendengar suara Fariz dan Ahmad. Seketika ia menjadi khawatir dan spontan membuka sarung yang menutupi wajahnya.
“Se—setan!!!”
Tiba-tiba Rizal berteriak saat mendapati sesosok wajah berada tepat di hadapanya.
Tapi tak berapa lama Rizal tersadar, yang dihadapanya bukanlah sosok nenek tua itu melainkan Fadil.
“Fa—Fadil? Ngapain kamu?”
“Kamu yang ngapain Zal? Daritadi gemeteran, aku kira kamu kenapa-kenapa” balas Fadil.
Mendengar suara itu Fariz dan Ahmad membuka tutup sarungnya dan tidak mendapati sosok nenek tua di kamar mereka.
“Eh.. nggak, nggak papa Dil. Cuma kedinginan,” balas Rizal mencari alasan.
“Oo..”
Fadilpun meninggalkan kasur Rizal dan kembali ke tempatnya. Rizal dan teman-temanya heran saat mengetahui pintu masih tertutup. Namun saat mengetahui keadaan sudah kondusif merekapun memutuskan berusaha untuk tidur.
Rizal, Ahmad, dan Fariz tertidur dengan lelap. Namun ada seorang santri yang masih terjaga di malam itu. Fadil..
Ia menatap pada satu sudut langit-langit kamar, ada yang berbeda di sana dibanding sebelumnya. sudut yang gelap itu benar-benar menarik perhatian Fadil.
Di langit-langit yang sudah lapuk itu merayap sesosok nenek tua yang memainkan tongkatnya sembari tertawa. Ia terlihat begitu senang seolah merayakan tempat yang akan menjadi kediaman barunya.

***
Menjelang subuh, suara ayam berkokok tidak cukup untuk membangunkan Rizal dan kedua temanya. Beberapa santri sekamar sampai harus membangunkan mereka untuk mengejar Sholat subuh.

“Zal, liat tuh,” panggil Ahmad sembari mengarahkan kepalanya ke arah ruangan gudang tua.
Rizal dan Fariz menatap ke pintu tua bangunan itu dan pintu itu sudah tertutup. Merasa panasaran, Rizalpun berpura-pura melewati depan pintu itu dan mencoba membukanya, namun gagal.

“Kekunci?” Tanya Fariz.
Rizal mengangguk. Mereka cukup tenang dan segera menyusul santri yang lain untuk melaksanakan sholat subuh.

Semenjak kejadian kemunculan nenek itu, Rizal dan kedua temanya berusaha menjaga sikap selama beberapa hari. Setidaknya mereka berusaha untuk tidak berbuat mencurigakan.
Saat itu sedang ramai-ramainya pertandingan sepak bola di televisi. Sesekali mereka bertiga meminta ijin pada Ustad untuk pergi ke warung saat jam kosong.

Saat itulah mereka menyempatkan waktu menonton pertandingan sepak bola di warung saat menjelang akhir babak.
“Eh, itu Kang Sodar kan?” ucap Ahmad yang tersadar dengan keberadaan Sodar yang melintasi desa.

Spontan merekapun bersembunyi di dalam warung sambil mengintip memastikan Sodar menjauh dari mereka.

“Kok bukan arah ke pondok? Itu arah hutan kan?” tanya Rizal.
“Iya, ngapain Kang Sodar ke hutan? Emang pondok butuh sesuatu dari sana?” Tambah Fariz.

Awalnya rasa penasaran mereka merayu mereka untuk mengikuti Sodar. Namun sebelum itu terjadi tiba-tiba terdengar suara keramaian dari arah pasar.

“Pasar ini wilayaku! Mau cari masalah?”
“Nggak ada yang namanya wilayah! Saya mau narik untung dari sini itu urusan saya!”

Terlihat beberapa orang saling meluapkan emosi di pasar.

“Saya tau, Mamat.. si Kuter preman sang preman pasar sudah lama di sini. Tapi bukan berarti kamu bisa menguasari semuanya sen…”

Bukk!!!
Belum sempat menyelesaikan ucapanya tiba-tiba sebuah tinju sudah melayang ke arah salah satu dari mereka. Sontak beberapa orang mencoba membalas orang itu, namun ia juga tidak sendiri.

Ini pertama kalinya mereka bertiga melihat kerusuhan secara langsung.
Apalagi sosok yang dipanggil dengan nama Mamat itu terlihat tidak punya belas kasihan dan menghajar preman pendatang itu sampai babak belur.

“Heh, kalian cepet balik ke pondok. Jangan sampai ikut keseret masalah pasar,” perintah pemilik warung.
Rizal dan yang lainyapun menurut dan segera kembali ke pondok.

Sepanjang perjalanan mereka membicarakan sosok preman-preman pasar yang sok jagoan dan mencari keuntungan dari pedagang-pedagang kecil di desa itu.
“Aku mau jadi polisi aja Jal, nanti aku ringkus preman-preman kaya gitu,” ucap Fariz.

“Gaya kamu, disuruh lari satu lapangan aja selesai-selesai udah kayak orang mau mati. ini lagi mau jadi polisi,” ledek Ahmad.
”Ya udah, kalau niat baik didukung aja. Harusnya memang ada polisi yang ngurusin masalah begituan.” Balas Rizal.

Sesampainya di pondok merekapun melakukan kegiatan seperti biasa hingga waktunya untuk tidur.
Saat ingin masuk ke kamar, tiba-tiba fariz menghentikan kakinya. Ia merasakan ada yang aneh saat akan masuk ke kamar.

“Kenapa Riz?” Tanya Rizal.

Fariz menoleh ke bagian-bagian sekitar kamar dan menatap ke dalam kamar.
Ia benar-benar merasa tidak nyaman, namun entah mengapa ia tidak bisa mendefinisikan apa yang ia rasakan.

“Nggak, nggak papa,” balas Fariz yang bingung harus menjawab apa.
Malam itu, Rizal dan Ahmad bisa tertidur dengan pulas. Fariz menatap ke arah santri lainya yang ternyata juga sudah tertidur. Tapi tidak dengan Fariz.

Ia menghabiskan malam itu dengan perasaan aneh yang membuatnya terus terjaga.
Terlebih ia merasakan ada yang memperhatikan dirinya dari salah satu sisi di langit-langit kamar. Beberapa kali ia mencoba menoleh ke arah itu, namun tidak ada apapun yang ia temukan di sana.
Menjelang tengah malam Fariz masih berusaha untuk bisa tertidur, namun tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah luar.

“Ustad! Tolong Ustad!!!”
Terdengar teriakan dari arah salah satu kamar santri senior.
Mendengar teriakan itu seketika seluruh santri di kamarpun ikut terbangun dan mengikuti asal suara itu.

“Kenapa Ujang?” Tanya Ridho yang lebih dulu sampai ke tempat itu.

“I—itu, Sodar.. Sodar kesurupan!!” Teriak Ujang.
Sontak seluruh santri yang berniat menyaksikan menjadi ketakutan dan menjauh. Fariz yang merasakan ada hal aneh sejak tadi memilih untuk mendekat dan melihat keadaan Sodar.

“Riz, ngapain?” tanya Rizal.

“Aku penasaran Jal, dari tadi aku udah ngerasa nggak enak,” balas Fariz.
Iapun segera mengikuti Ridho masuk ke kamar tempat Sodar berada.

Benar yang diceritakan Ujang, Sodar bertingkah aneh. ia berjalan merangkak dengan kaki yang mengangkang sembari menggeram.

“Khi..khi..khi…”
Ekspresi wajah Sodar terlihat aneh. ia seperti tertawa meremehkan semua orang yang ada di tempat ini.

Ridhopun membacakan doa pada segelas air dan meminta Ujang meminumkanya pada Sodar.

“Minumin ini ke Sodar, yang lain bantu pegangin,” perintah Ridho.
Santri santri yang berada di sana segera mengikut perintah Ridho. Mereka memegang Sodar dengan erat sembari Ujang meminumkan air itu pada Sodar.

“Bismillahirrahmanirrahim…” Ucap Ujang sembari meminumkan air itu pada Sodar.
Tidak ada perlawanan dari Sodar, sebaliknya ia meminum air itu sambil tersenyum. Ridho curiga, ia merasa ada yang salah dengan hal itu.

Benar saja, tidak hanya meminum…

Ridho mengambil gelas itu dan menggigitnya hingga terpecah.
ia menggenggam gelas di tanganya hingga pecah dan mengunyah pecahan kaca itu.

“Dar.. jangan dar! Mulut kamu luka Dar!” Tahan Ujang yang berusah memegangi tanganya, namun tenaga Ujang sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding Sodar saat ini.
Sodar tersenyum ke hadapan Ridho memamerkan isi mulutnya dan telapak tanganya yang berdarah-darah.

“Setan kurang ajar!” Teriak Ridho.
Ridhopun berusaha menggenggam dahi Sodar dan membacakan ayat kursi,
namun sebelum ia memulai tiba-tiba Sodar memberontak dan merangkak dengan cepat menerobos santri yang ada di ruangan itu dan pergi keluar.

Tepat ketika Sodar meninggalkan ruangan, hujan mulai turun perlahan.
Ridho dan beberapa santri mengejar sodar yang melesat dengan cepat seolah sudah mengincar suatu tempat.

“Gimana? Ikut kejar ga?” Tanya Rizal pada Fariz.

“Ikut aja, takutnya ada hubunganya sama kita kemaren-kemaren,” balas Fariz.
“Aku coba nyari Ustad y
ang masih ada di sini deh,” ucap Ahmad.

Merekapun memutuskan untuk berpencar untuk mengawasi dan mencoba meminta bantuan.

“Emang Kang Ridho bisa rukiyah Riz?” Tanya Rizal.
“Katanya diantara santri senior dia yang paling bisa ngerukiyah.
Tapi kalau kaya begini nggak tau deh, biar gimanapun itunganya Kang Ridho masih belajar juga” balas Fariz.

Secepat mungkin mereka berdua mengikuti kerumunan yang mengejar Sodar. Tapi saat sampai, santri-santri itu terlihat kebingungan.
Ia tidak menemukan sosok Sodar di sekitar mereka.

“Sodar!!!” teriak Ujang.

“Kang Sodarr!!”

Seketika suasana pesantren yang sebelumnya tenang menjadi ramai dengan suara santri yang memanggil-manggil Sodar.
Di tengah hujan, obor tidak ada yang bisa menyala. Hanya beberapa senter kecil yang menjadi perbelakan mereka mencari Sodar.

Rizal dan Fariz ikut membantu mengelilingi bangunan, masjid, hingga mencari ke sekitar gudang tua, tapi tidak ada petunjuk keberadaan Sodar di sana.
“Apa mungkin…” Fariz menggumam.
“Mungkin apa Riz?” Rizal penasaran dengan reaksi Fariz.

“Nggak, kayaknya nggak” balas Fariz.

Rizal bingung dengan apa yang dipikirkan oleh Fariz. Ia merasa kalau Fariz mempunyai petunjuk.
“Omongin aja Riz, siapa tau masuk akal,” ucap Rizal sembari masih memperhatikan sudut-sudut pepohonan di sekitar pondok.

“Kita sempet lihat Kang Sodar mau masuk ke hutan kan?” ucap Fariz.
Sontak Rizal menghentikan langkahnya. Ia menoleh pada Fariz seolah setuju dengan perkataan Fariz.

“Maksudmu kang Sodar lari ke hutan?” tanya Rizal.
Fariz mengangguk.
Rizal berpikir sebentar, ia merasa harus memberi tahu dugaan mereka pada kakak kelas atau ustad bila sudah datang. Tapi bagaimana bila dugaan itu salah?

Belum sempat memutuskan, tiba-tiba Rizal mendengar suara dari salah arah yang tidak begitu jauh dari Madrasah.
Rizalpun menoleh dan menemukan pergerakan yang mencurigakan dari sana.

“Siapa di sana?” Teriak Rizal.
Tidak ada satupun yang menjawab.

“Jal, bukanya di situ dekat kandang ayam?” tanya Fariz.

“ia Riz, coba ke sana..” balas Rizal.
Merekapun melindungi kepala mereka dari hujan dengan sarung dan menerobos ke tempat dimana suara itu berasal.

Sekitar beberapa puluh meter dari madrasah tempat mereka belajar terdapat kandang ayam yang cukup besar.
Beberapa santri juga dijadwalkan memberi makan dan membersihkan kandang ayam disana sebagai pembelajaran untuk beternak.

“Bener Jal, ada orang di situ..” ucap Fariz.

Rizal sudah merasakan perasaan yang tidak tenang.
Bagaimana tidak, di tengah rintikan hujan ini ada seseorang yang berada di depan kandang ayam tanpa mempedulikan sekitarnya.

Dan Firasat Rizal benar..
Sodar..
Dia meringkuk dihadapan kandang ayam itu dengan tangan kiri menggenggam kepala ayam dan tangan kanan menggenggam kakinya. Mulutnya penuh dengan darah yang ia dapatkan dengan memakan ayam itu hidup-hidup.

“Kang.. sudah kang! Jangan!” Ucap Rizal yang ketakutan.
Sementara Rizal terus memperhatikan Sodar. Fariz berteriak memberi isyarat kepada para santri yang mencari di sekitar pondok.

“Di sini!! Kang Sodar di sini!!” Teriak Fariz.

Tak lama Ridho dan Ujang sampai menemui mereka.
Beberapa kakak kelas juga ikut namun saat melihat terlalu banyak santri yang mendekat mereka memilih untuk mendampingi santri-santri itu kembali ke kamarnya.

“Dho.. gimana nih?” Tanya Ujang bingung.
Mereka tidak habis pikir dengan apa yang ada di depanya. Temanya sesama santri yang seangkatan sedang kerasukan dan memakan ayam hidup-hidup di hadapan mereka.

“Pegangin Jang, aku coba rukiah lagi,” ucap Ridho.

“Ayo bantuin Riz, Jal…” perintah Ujang.
“Iya Kang..”
Sekuat tenaga Rizal, Fariz, dan Ujang memegangi Sodar. Entah mengapa tenaganya begitu kuat, jauh melebihi tenaga Sodar pada saat normal.

“Bismillahirrahmanirrahim…”

Ridho menarik nafas panjang, memegang dahi Sodar dan mulai membaca doa.
“Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum,

Mendengar bacaan doa itu bukanya ketakutan Sodar malah tersenyum memamerkan mulutnya yang penuh dengan darah.
“la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh, mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih, “
Ridho melanjutkan Doanya namun tiba tiba terdengar suara dari mulut Sobar
“la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh, mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih, khekehkehke…”
Sosok di tubuh Sodar mengulangi setiap doa yang dibacakan Ridho sambil tertawa.
Ia seolah meremehkan doa-doa yang dibacakan oleh Ridho.

“Di—dia bisa ngulangin ayat kursi..” Rizal kebingungan melihat fenomena itu.

Ridhopun panik, setiap kalimat doa yang ia ucapkan diulangi oleh sodar sembari tertawa. Kini tubuh Ridho gemetar.
“Ka—kalau doa-doa tidak berguna untuk mengusir setan ini, kita harus gimana?” tanya Fariz yang panik.

“Khe…khe..khe… wa laa yauudlu Huu hifdzuhumaa, wa Huwal ‘aliyyul ‘adziiim”
Makhluk itu benar-benar menyelesaikan ayat kursi dengan sempurna.
sontak merekapun kebingungan. Namun tak lama terdengar suara langkah kaki mendekat menepuk pundak Ridho.

“Kenapa takut?” tanya orang itu.

“U—ustad Sobirin?” ucap ridho yang segera mengenali sosok ustad itu.
“Dengerin, kalau cuma menghafalkan dan mengulangi ayat kursi jangankan setan, burung beo mungkin juga bisa,” ucap Ustad Sobirin.

Iapun mendekat ke arah Sodar. Ahmad menyusul di belakangnya sembari mengatur nafas.
Tidak seperti terhadap Ridho tadi, kini Sodar terlihat ketakutan seolah terancam dengan keberadaan Ustad Sobirin.

“Dalam doa itu tidak hanya terdapat kata-kata yang kamu ucapkan..
Ada kebersihan hatimu, niat dari doamu, dan bahkan keadaan tubuh fisik kalian apa sudah pantas untuk meminta kepada Alllah,” ucap Ustad Sobirin.

Iapun membacakan ayat kursi di hadapan Sodar sembari memegang dahinya. Seketika itu juga Sodar meronta-ronta kesakitan.
“Panas! Panas!” teriak Sodar dengan suara yang parau.

Ustad Sobirin tidak mempedulikan dan terus menyelesaikan doanya. Sodar yang kesakitan berusaha meronta, namun tenaganya masih dapat ditahan olah Ujang, Rizal, Fariz dan Ahmad yang ikut membantu.
Tak cukup dengan ayat kursi, Ustad Sobirin berpindah ke belakang tubuh Sodar dan menekan beberapa jarinya di tulang punggung Sodar hingga naik ke leher. Lantunan ayat suci dibacakan saat melakukan ritual itu.
Tak lama kemudian, tepat ketika jari Ustad Sobirin menyentuh leher Sodar. Sodarpun muntah. Ia memuntahkan darah dan sesuatu seperti asap yang menghilang begitu saja.

“Dar.. Sodar..” Ujang mencoba memastikan kondisi sodar tak lama setelah ia berhenti muntah.
Sodar tidak menjawab, ia hanya memberi isyarat tangan pada ujang untuk menjauh dikarenakan rasanya ia masih ingin memuntahkan sesuatu.

Wajah Sodar terlihat pucat, ia tidak mampu banyak bicara.
Terlebih lagi mulut dan tanganya sedang terluka oleh pecahan kaca dari gelas sebelumnya.

“Bawa ke UKS, obatin dulu di sana,” perintah ustad sobirin.

Ujangpun membantu Sodar berdiri untuk meninggalkan tempat itu.
“Jal, itu.. yang di kantong Kang Sodar” Ahmad menunjuk ke sebuah buku yang terlipat di saku Sodar.

Rizal mengangguk dan menghampiri Sodar sebelum ia pergi.

“Kang, Buku yang di saku kang sodar…” ucap Rizal memberanikan diri.
Sodar berhenti sejenak dan menatap Rizal, ia masih belum bisa berbicara. Namun ia menengok buku di sakunya seolah teringat sesuatu.

Ustad Sobirin mengernyitkan dahinya saat melihat Rizal menghadang Sodar. Sodarpun mengambil buku itu dari sakunya dan menyerahkan kepada Rizal.
“Ustad, Kang Ridho…” Rizal mengantarkan buku itu menyerahkanya pada Ustad Sobirin.

Ustad mengecek buku itu sebentar dan menggelengkan kepalanya. Reaksi ustad Sobirin seolah memvalidasi Rizal dan Fariz bahwa buku itu adalah sumber masalahnya.
“Memangnya itu teh buku apa Kang Ridho?” Tanya Fariz.

“Kalian tau dari mana Sodar dapet buku ini?” Ridho bertanya balik.

Rizal dan Fariz saling bertatapan, setelah masalah sebesar ini sepertinya ia tidak bisa berbohong. Merekapun mengangguk.
“Ya sudah, kita berteduh dulu. Kalian ganti baju dulu dan jelaskan pada saya di mushola” perintah ustad sobirin.

“Baik Ustad, Assalamualaikum..” Pamit Rizal
“Walaikumsalam…”

Rizal, Ahmad, dan Fariz secepat mungkin kembali ke kamarnya dan berganti dengan pakaian yang kering.
“Ini beneran nggak papa kita cerita ke Ustad Sobirin?” Bisik Fariz sembari menengok ke arah Fadil yang tengah tertidur.

“Nggak ada pilihan Riz, jangan sampai ada kejadian serupa lagi,” balas Rizal.
Setelah berganti pakaian merekapun segera menuju ke Mushola menemui Ustad Sobirin dan Ridho yang telah sampai di tempat itu terlebih dahulu.
Rizalpun menceritakan kejadian dimana Sodar merebut buku itu dari Fadil.
Dari perbincangan mereka Rizal menceritakan bahwa Fadil dibawakan buku itu oleh keluarganya dari rumah.

“Kalian tahu ini buku apa?” Ta

“Ini kitab lelaku untuk mendapatkan sebuah ilmu..” ucap Ustad Sobirin
Mereka bertiga dan Ridhopun kaget mendengar ucapan Ustad Sobirin.
“Maksudnya Sodar teh ngilmu? Belajar dari kitab itu?” tanya Ridho.

Ustad sobirin menghela nafas, ”Entah, mungkin saja.. kita tidak tahu ilmu apa yang dipelajari sama Sodar”

“Ustad, waktu kami ijin ke warung kita sempat melihat Kang Sodar berjalan ke arah hutan.”
Ahmad mencoba menyampaikan segala petunjuk yang ia tahu.

“Kami sebenernya penasaran pengen coba ngikutin, tapi takut terlambat kembali ke pondok,” timbal Rizal.

Ustad Sobirinpun menatap kitab itu dan membaca istigfar beberapa kali.
“Astagfirullahalazim.. Astagfirullahalazim.. Astagfirullahalazim..”

Iapun membungkus kitab itu dengan sebuah kain dan menyimpanya.

“Ilmu tanpa guru itu berbahaya, terlepas apapun jenis ilmu itu” Jelas Ustad Sobirin.
Mereka berempat mengangguk mengerti dengan maksud Ustad sobirin.

“Ridho, kamu awasi Sodar dan cari tahu tentang hal ini dari para santri ya. Saya takut masalah ini belum selesai sepenuhnya,” ucap Ustad Sobirin.

“Baik Ustad..”
“Kalian sekarang istirahat, kalau ada petunjuk atau hal-hal aneh bisa beri tahu ustad atau kang Ridho. Tidak usah takut..

Jangan takut dihukum kalau itu bisa menyelamatkan seseorang dari celaka” Perintah Ustad Sobirin.
Rizal, Fariz, dan Ahmad saling menatap dan tersadar dengan ucapan Ustad Sobirin itu.

“Baik Ustad, kami ijin pamit dulu.. Selamat malam, Assalamulaikum..”

Mereka bertigapun salim berpamitan dan kembali ke kamar mereka.

“Walaikumsalam…”
Perlahan hujan di malam itu mulai berhenti. Mereka bertiga tidak menyangka dengan kejadian yang mereka alami akhir-akhir ini. Rasa lelah merekapun menuntun mereka untuk segera berbaring di kamar.

“Sebenernya aku masih ngerasa ada sesuatu yang mengganjal Mad,” ucap Rizal.
Fariz dan Ahmad berhenti sejenak sebelum masuk ke keamar.

“Apa lagi Jal?” tanya Ahmad.

“Kalung bertali hitam, kalau nggak salah Sodar juga mengambil kalung hitam dari Fadil..” ucap Rizal.

***

(Bersambung Part 2)
Cuplikan Part 2 - Tarian di Hutan Jati

Seorang santri wanita dikabarkan menghilang, bersamaan dengan itu Rizal mengikuti Fadil hingga ke hutan jati.

Rizal menemukan seorang perempuan tengah terdiam di tengah makam.
Ada darah menetes dari sela-sela kakinya.
Sosok tak kasat mata muncul di sekitar wanita itu dan menjilati darahnya yang tak henti menetes di tanah.

Bukanya takut, wanita itu malah menari seolah menikmatinya...

buat yang mau baca duluan atau sekedar support bisa mampir @karyakarsa_id ya..
karyakarsa.com/diosetta69/san…
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir, mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

semoga dapat diambil positifnya saja.
JASAD HIDUP SANG SANTRI
Part 2 - Tarian di Hutan Jati

Kebakaran pernah terjadi di Hutan Jati dekat pondok, dimana memakan korban banyak pekerjaanya.
Seorang perempuan ditemukan menari diantara makam di hutan jati tersebut..

#bacahorror @IDN_Horor @gudangmistery @qwertyping Image
Part 2 - Tarian di hutan Jati

Beberapa karung beras kecil tengah tertumpuk di salah satu sudut tembok. Tidak terlalu besar, namun Rizal dan teman-temanya merasa lesu melihat tumpukan itu.
“Nah, ini semua dibawa ya. Hati-hati bawanya,” ucap Pak Hari salah satu donatur tetap pesantren sekaligus juragan beras di desa ini.

“I—iya Pak, hatur nuhun..” balas Rizal dengan senyum anehnya.
Ahmad dan Fariz hanya bisa tersenyum kecut melihat beberapa karung beras yang harus mereka bawa sampai ke pondok.

“Hasilnya kita dihukum juga ya?” tanya Fariz.

“Iya, berkat idenya Rizal yang ngajak ngaku soal gudang,” balas Ahmad dengan nada ketus.
Rizal hanya tertawa kecil. Memang dialah yang berinisiatif untuk mengaku dan menceritakan semua kejadian mulai dari saat melihat Sodar mengintimidasi Fadil, Mengintip gudang, hingga keluar pondok hanya untuk menonton bola.
“Sejak kemunculan nenek-nenek dari gudang itu, aku sering ngerasa ada yang mengganjal setiap mau tidur. Aku lebih milih ngambil resiko dihukum begini daripada harus ketemu nenek-nenek itu lagi,” jelas Riza.
“Kalau soal itu sih aku setuju Jal..” balas Fariz yang juga merasakan hal serupa.

“Kalau begitu ya udah…” ucap Riza.

“Ya udah apa?”

“Ya udah diangkat karungnya, jangan ngobrol doank,” Balas Rizal.
Senyum kecut Ahmad dan Farizpun kembali muncul. Namun Rizal mengambil satu karung duluan dan memanggulnya di punggung. Merekapun tidak punya alasan lagi untuk bermalas-malasan.

“Siap pak mandor, yang penting gajinya di transfer!” ledek Ahmad.
“Gayamu main transfer, celengan masih di sarung bantal aja sok-sokan transfer,” balas Rizal.

Merekapun memulai kloter pertamanya untuk mengangkut sumbangan beras ke pondok pesantren mereka. Sesekali mereka berhenti saat melihat hal menarik di desa.
Mulai dari siaran televisi di warung, jajanan sekolah, dan acara kampung yang jarang sekali mereka ikuti.

“Eh, di sebelah sana bukanya asrama putri ya?” Tanya Ahmad tiba-tiba.

“Iya, setahuku gitu..” balas Rizal.

“udah pernah ke sana?”
Kali ini Ahmad bertanya sembari sedikit tersenyum.

“Wah, aku ngebaca niatmu nih..” ucap Fariz sembari ikut tersenyum.

“Boro-boro mau ke sana, ini punggung bentar lagi bakal jadi kerupuk kalau kelamaan,” Ucap Rizal sembari menunjukkan punggungnya pada mereka.
“Ya nggak sekarang juga, tapi sesekali boleh lah liat-liat biar gak penasaran,” ucap Ahmad.

“Nah bener tuh, sesekali lah..” ucap Fariz.

Rizalpun menggeleng dan memilih mendahului mereka menuju pondok untuk meletakkan karung beras itu di tempat yang diperintahkan Ustad Sobirin.
Saat mencapai pondok, Ustad Sobirinpun tersenyum melihat kedatangan mereka.

“Tenang Ustad! Masih satu kali lagi. Pasti kita selesain,” ucap Rizal.

“Yakin?” Tanya Ustad Sobirin.

“Yakin donk, cowok nggak boleh lemah!” ucap Ahmad.
Sontak sebuah sarung melayang ke wajah Ahmad.

“Omonganmu itu lho, yang tadi shock lihat karung beras memangnya siapa..” ledek Fariz.

Ustad Sobirin tertawa melihat tingkah mereka.
“Ya udah nggak usah buru-buru, itu ada es teh.. minum dulu, baru lanjut lagi,” perintah Ustad Sobirin.

Mereka bertigapun saling bertatapan dan tersenyum.

“Beneran Ustad?”

Ustad Sobirin mengangguk.

“Alhamdulillah…”
Merekapun berlari menuju meja yang ditunjukkan Ustad Sobirin. Sudah ada tiga gelas es teh yang diletakkan di sana. Walau sudah sedikit mencair, namun mereka masih menikmati minuman itu dengan senang.

“Udah lama nggak minum es ya Jal!”
“Iya.. Nikmat mana lagi yang kau dustakan nak..”

“Halah, siap Ustad Rizal…”

Merekapun segera menghabiskan minuman itu dan segera berpamitan kembali dengan Ustad Sobirin.
Rizal dan teman-temanyapun kembali mengangkut sisa karung beras yang ada di lumbung Pak Hari. Namun ada sedikit kericuhan di sana yang membuat mereka cukup bingung.

“Itu Kang Mamat kan? Preman yang di pasar kemaren?” Tanya Fariz.
“Pak Hari sampe nunduk-nunduk begitu, pasti lagi minta jatah preman,” ucap Ahmad.

Benar saja, tak lama kemudian Pak Haripun mengambil beberapa lembar uang dan memberikanya kepada orang yang bernama Mamat itu.
“Udah nggak usah diliatin, daripada ikut kena masalah..” balas Rizal.

Merekapun lebih memilih untuk meninggalkan tempat itu dan menyelesaikan tugas mereka.
Kali ini mereka tidak terlalu banyak berbincang selama perjalanan, tenaga mereka sudah cukup terkuras oleh karung-karung beras yang mereka bawa.

Sekali lagi mereka melewati jalur menuju asrama putri, disana tiba-tiba Rizal terhenti.

“Kenapa Jal?” Tanya Ahmad Bingung.
“Jangan bilang kamu mau mampir ke sana sekarang?” tambah Fariz.

Rizal tidak menjawab, namun ia malah berbelok menuju jalan ke asrama putri.

“Jal.. jangan aneh-aneh kamu..” tahan Fariz.
“Sssst…” Rizal memberi isyarat pada teman-temanya. Tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu yang janggal.

“Tuh.. kalian lihat?”

Rizal menunjuk ke salah satu sisi Asrama putri yang terlihat dari balik pagar. Fariz dan Ahmadpun menoleh ke arah dimana Rizal menunjuk.
“Perempuan?” tanya Fariz.

Rizal mengangguk.Mereka merasakan ada sesuatu yang janggal.

Perempuan itu berdiri seorang diri di tengah-tengah kebun. Ia menatap ke satu arah, dan wajahnya tersenyum dengan aneh.
Di satu sisi wajahnya terlihat pucat tidak seperti santri wanita yang lain.

“Di—dia ngapain?” tanya Ahmad.

“Lah, nggak tahu…” balas Rizal.

Belum sempat menyimpulkan apapun, perlahan mereka menyadari bahwa perempuan itu menoleh perlahan ke arah mereka.
“Cabut-cabut!” perintah Rizal.
“Kalau ketahuan bahaya..”
Merekapun segera berlari meninggalkan tempat itu, namun sekali saat Fariz menengok ke santri wanita itu. Ia melihat wanita itu menyeringai dengan mata yang melotot. Itu tidak seperti tatapan seorang manusia normal.
“Jal…”
“Kenapa Riz?”

Fariz berniat membicarakan itu pada mereka, namun karena tidak yakin iapun membatalkan niatnya.
“Nggak, nggak papa.. cepet, keburu maghrib,” ucapnya.
Hari ini memang cukup melelahkan untuk mereka bertiga, namun kesempatan untuk bisa melihat kehidupan sehari-hari di luar pesantren juga merupakan hiburan buat mereka.
Setelah selesai menunaikan sholat isya, merekapun melanjutkan dengan mengaji di salah satu pendopo kayu yang tak jauh asrama mereka. Kali ini Ustad Sobirinlah yang mengajar mereka dan santri-santri yang lain.
“Fariz, ngeliatin apa?” tegur Rizal yang menyadari temanya tidak fokus dalam mengaji.

“Eh, eng—enggak..” balas Fariz yang segera kembali melanjutkan bacaanya.

Rizal menatap ke arah Fariz menengok tadi. Ada seseorang yang memang menjadi perhatian Rizal juga selama ini.
“Fadil ya?” Tanya Rizal.
Fariz yang merasa pikiranya tertebakpun menengok ke arah Rizal.

“Iya Jal, coba perhatiin. Dia nggak kayak lagi ngaji, gerakan mulutnya sama yang kita baca beda..” jelas Fariz.
Rizal sekali lagi memperhatikan Fadil. Dan Benar saja, gerakan bibir Fadil terasa berbeda dengan ayat-ayat Al’quran yang mereka baca. Walau begitu Rizal tetap mengingatkan Fariz untuk fokus agar mereka tidak mendapat masalah lagi.
Tepat setelah selesai mengaji, Rizal dan Fariz masih berdiam di pendopo sembari menunggu teman-temanya bubar. Ahmad tidak tahu rencana merekapun terpaksa ikut menunggu.

“Assalamualaikum Ustad…” salam Rizal.
“Walaikumsalam, ada apa Rizal?”
“Eh, enggak Ustad… kalau ada waktu pengen ngobrol sedikit,” Jawab Rizal.
Ustad Sobirinpun mengajak mereka bertiga untuk duduk lagi di pendopo untuk berbicara.
“I—itu, saya bingung juga ngomongnya takut salah..” jelas Rizal.
Fariz menyenggol Rizal seolah memastikan Rizal untuk membicarakan mengenai Fadil.

“Kenapa? Pas di desa tadi kalian melihat yang aneh-aneh?” tanya Ustad Sobirin.

Ahmad yang merasa teman-temanya belum berani berbicarapun berinisiatif mengulur waktu.
“Iya Ustad, tadi kita ngelihat Pak Hari dipalak preman. Kalau nggak salah namanya Mamat..” ucap Ahmad tiba-tiba.

Ustad Sobirinpun menghela nafas.

“Kalian diapain sama Kang Mamat?” tanya Ustad Sobirin.
“Nggak diapa-apain sih, tapi kami sudah beberapa kali ngeliat Kang Mamat bikin keributan di pasar. Memang dia nggak bisa dilaporin polisi aja ya?” Balas Ahmad.
“Yang dilakukan Mamat memang hal buruk, tidak pantas untuk ditiru. Tapi cukup benci perbuatanya saja, jangan orangnya” Ustad Sobirin mencoba menasihati mereka.

“Nggak bisa lah Ustad, udah pasti kita benci sama preman pasar macam itu,” balas Rizal.
Dahi Ustad Sobirin berkerut mendengar jawaban Rizal. Iapun menatap ke mereka bertiga.

“Ya sudah, pagi ini kalian bangun jam setengah empat pagi. Kalian Sholat subuh di masjid desa ya…” perintah Ustad Sobirin.

Mendadak mereka bertiga saling bertatapan.
“Kita dihukum lagi Ustad?” Protes Fariz.
“Dihukum atau tidak, kalian akan mengerti nanti..” balas Ustad Sobirin.
Saat itu Rizal seketika menyikut lengan Ahmad seolah menyalahkan dirinya. Namun karena tahu tujua Ahmad adalah menolong mereka, Rizalpun menerimanya dengan ikhlas.
“Oh iya, satu lagi Ustad..” tiba-tiba Fariz memberanikan diri untuk berbicara.
Ustad Sobirin memandangnya dan memperhatikan.
“Tadi saya ngerasa ada yang aneh sama Fadil, kok kayaknya dia nggak ikut mengaji seperti yang lain. Mulutnya seolah mengucap kata-kata yang aneh… saya sampai merinding,” jelas Fariz.
Ustad Sobirin terlihat heran, namun ia tidak mau mengambil kesimpulan seorang diri mengenai itu.
“Kalian yakin?”

“Yakin Ustad, saya lihat sendiri. Tapi kami tidak mau menuduh, makanya kami ceritanya hati-hati ke Ustad,” Jawab Rizal.
“Kami merasa harus ngomong karena takutnya ada kaitanya dengan kitab yang diambil Kang Sodar dari Fadil..” tambah Ahmad.
Ustad Sobirinpun mengerti. Ia mengatakan akan memantau Fadil lebih ketat. Setelah itu Ustad Sobirin meminta ketiga anak itu untuk kembali menyusul teman-temanya ke kamar untuk istirahat.

***
Seorang pria berjaga tak jauh dari pintu keluar asrama, Kang Aang namanya. Ia yang bertugas menjaga keamanan pondok dan mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan.
“Kang, kami disuruh Ustad Sobirin buat sholat subuh di masjid desa,” Rizal meminta ijin Kang Aang untuk dibukakan gerbang.
“Iya, Ustad sudah bilang. Hati-hati, jam segini masih banya jurig ,” ledeng Kang Aang.
“Yeee.. Kang Aang, Santri masa takut sama Jurig,” balas Fariz sombong.
“Lah, sombong dia.. nggak nyadar daritadi ada nenek-nenek yang ngikutin kalian,” balas Kang Aang.
Mendengar ucapan itu sontak mereka bertigapun melesat menempel ke Kang Aang.
“Kang! yang bener kang?” tanya Fariz yang raut wajahnya mulai berubah.

“Iya kang, yang bener?” tambah Ahmad.

Ucapan Kang Aang mengingatkan mereka pada sosok nenek-nenek penunggu gudang tua.
“Ya nggak lah, Kang Aang teh becanda.. sudah sana Sholat! Kalau niatnya baik Inshaallah nggak akan diganggu,” ucapnya…
Mereka bertigapun memasang senyum kecut dan meninggalkan Kang Aang. Di satu sisi, setelah kepergian mereka, Kang Aang menatap ke arah kamar di asrama mereka.
Ia menyadari ada sosok nenek yang tertawa dengan aneh memantau mereka bertiga dari arah kamar mereka sebelumnya tidur.
Sebuah masjid terletak di ujung turunan desa. bukan masjid yang besar, namun itupun jarang penuh dengan kepala keluarga yang seharusnya bisa dua kali lipat dari kapasitas masjid ini.

“Nggak rame ya Jal?” Tanya Ahmad.
“Iya, mungkin ini maksud Ustad Sobirin. Kalau kita nggak membiasakan sholat subuh dari sekarang, mungkin saat kita besar masjid-masjid hanya menjadi bangunan simbolis saja,” jawab Rizal.
Merekapun segera mengambil wudhu dan masuk kedalam. Sebelum masuk ke dalam shaf mereka terpaku pada sosok yang tidak mereka sangka akan berada di sana.
“Itu Kang Mamat?” tanya Fariz kaget.
“Iya, itu Kang Mamat. Kayaknya udah di sini duluan dari tadi,” balas Ahmad.
Suara kasak-kusuk mereka di dengar oleh seseorang. Pak Hari, ia menepuk Fariz dan mengingatkan mereka untuk mulai sholat subuh. Merekapun mengerti dan mulai menjaga sikap.

“Kok tumben kalian sholat di masjid desa?” Tanya Pak Hari menyapa mereka bertiga.
“Disuruh Ustad Sobirin Pak..” jawab Rizal.
“Pak Hari, itu bener Kang Mamat kan? dia juga sering sholat subuh?” tanya Fariz penasaran.
Pak Hari mengangguk, “Iya, nggak pernah bolong.”
Mereka bertigapun saling bertatapan.
“Warga nggak ngerasa gimana gitu, orang sejahat Mamat ikutan sholat,” Ahmad penasaran.
Pak Hari mengajak kami duduk di salah satu sisi teras masjid. Ia berniat meluruskan tentang pemikiran mereka bertiga.
“Sholat itu kewajiban, seberapapun dosa kalian. Jangan pernah tinggalkan sholat,” Ucap Pak Hari.
“Kok Pak Hari bisa ngomong begitu, kan Kang Mamat habis jahat ke Pak Hari?” tanya Rizal.
“Dosanya Mamat biar Allah yang balas, dan ibadahnya juga urusanya dengan Allah..” Jelas Pak Hari.
Rizal, Ahmad, dan Fariz saling bertatapan. Mereka mencoba mencerna cerita Pak Hari. Namun perlahanpun mereka mulai mengerti. Mungkin ini yang ingin disampaikan Ustad Sobirin.
“Ya gampangnya, sebagian dari kami di sini merasa malu. Orang seperti Mamat saja rajin sholat, masa kita mau bolong-bolong?”
Mereka bertigapun paham, ia kembali menatap Kang Mamat yang tengah meninggalkan masjid.
Mereka membayangkan apa yang akan dilakukan Kang Mamat setelah ini. Apa benar orang yang tidak pernah lupa akan Tuhanya itu akan menindas orang lagi? Ataukah ada hal lain yang Mamat lakukan yang tidak mereka ketahui…
“Udah jangan bengong, ayo balik.. bentar lagi terang bisa telat sekolah kita,” ucap Ahmad.
Merekapun pamit pada Pak Hari dan kembali pulang ke pondok.
Sebelum sampai ke pondok tiba-tiba mereka melihat kericuhan dari arah asrama santri wanita.
Rasa penasaranpun membuat mereka memberanikan diri mendekat ke sana.
“Teh, rame banget. Lagi pada ngapain?” tanya Rizal dari balik pagar.
“Heh, kalian ngapain di sini?” jawab santriwati yang ditegur oleh Rizal.
“Kami habis sholat subuh di desa, disuruh Ustad Sobirin.. terus ngedenger ada rame2 di sini, kami penasaran,” Jawab Rizal.
Santriwati tadipun menoleh ke belakang dengan sedikit cemas.
“Ada Santriwati yang hilang, Hanifah namanya. Kami belum sempet ngasi tau Umi.
Masih belum pada dateng. Kalau di luar atau di asrama putra kalian ngeliat, kasi tau Ustad ya” jelasnya.
“I—iya teh, tapi ada petunjuk lain ga? Hilangnya karena apa gitu?” tanya Fariz.
Santriwati itu berpikir sebentar.
“Kemarin dia pamit, katanya mau ngejar ada santri yang masuk ke pekarangan asrama putri.. habis itu nggak kelihatan lagi,” jelasnya.
Mereka bertigapun mengernyitkan dahi.
“Santri masuk ke pekarangan asrama putri? Mana bisa?” ucap Ahmad.
“Sudah ya! Takut ketahuan. Kalau ada petunjuk kabarin saya atau Ustad” ucapnya.
“Lha teteh sendiri siapa? Kalau ditanya Ustad saya dapat cerita dari siapa?” tanya Rizal.
“Siti.. bilang aja diceritain Teh Siti, nanti saya juga cerita ke Umi..” balasnya.
Iapun bergegas meninggalkan pagar dan kami segera kembali ke arah pondok. Tak jauh dari arah pondok, tiba-tiba mereka bertiga melihat sesosok santri seumuran mereka juga sedang berjalan ke arah pondok.
“Itu.. Fadil kan?” tanya Fariz.
“Baju sama badanya mirip, tapi bukanya dia nggak bisa keluar?” Tanya Rizal.
Merasa penasaran, merekapun mempercepat langkah mereka dan menyusul orang itu. tapi anehnya sebelum sempat mendekat, tiba-tiba sosok menyerupai Fadil itu sudah menghilang dari pandangan mereka.
“Kang, selain kami bertiga ada santri lain nggak yang keluar pondok?” Rizal bertanya ke Kang Aang memastikan rasa penasaranya.
“Kalau yang seangkatan kalian nggak ada. Paling Santri senior yang kebagian tugas belanja,” Jelasnya.
“Yakin Kang?” Ahmad memperjelas.
“Yakin, setiap keluar masuk pasti Kang Aang catet kok. Memang kenapa?” balas Kang Aang.
“Nggak.. nggak papa Kang, hatur nuhun Kang,” balas Rizal sembari berpamitan.
Pagi itu waktu mereka tinggal sedikit untuk mengejar bel masuk sekolah.
Merekapun mengirit waktu dengan menggunakan satu kamar mandi bertiga daripada antri lebih lama dengan teman-teman lainya. Beruntung mereka bisa selesai dengan cepat dan masuk kelas tepat waktu.
“Mungkin nggak sih kalau santriwati yang hilang itu, yang kemarin kita lihat?” gumam Rizal di tengah mata pelajaran mereka.
“Aku juga mikir gitu, tapi belum tentu juga dia yang namanya Hanifah,” balas Fariz.
“Sudah jangan nebak-nebak, kalau kita liat kita kabarin kalau nggak ya udah.. jangan dibikin pusing,” ucap Ahmad.
“Bener.. bener juga,” ucap Rizal.
Ucapan itupun menutup kebingungan mereka atas kabarnya santriwati tadi. Kali ini mereka tidak ingin mencari masalah lagi.
Sempat beberapa kali mereka menoleh ke arah Fadil. Keberadaanya di kelas membuktikan bahwa santri yang mereka lihat tadi pagi bukanlah Fadil.
Di sekolah mereka sempat bertemu dengan Teh Siti yang ternyata kakak kelas mereka, namun keberadaan hanifah masih belum diketahui.
Berita itupun sudah sampai ke para Ustad dan menghimbau para santri untuk berhati-hati.

Hari sudah larut malam, Ada seorang nenek yang berjalan di tengah kamar dengan menyeret kakinya. Sosok itu nyaman berada dikamar tanpa disadari satupun santri yang terlelap di kamar itu.
Rizal tertegun melihat sosok itu. Tanpa sadar, tiba-tiba wajah nenek itu sudah berada di hadapanya.
“Pe—pergi!!” Rizal berteriak dan itu membuatnya tersadar.
Mimpi… sekali lagi nenek itu muncul di mimpi Rizal. Fariz yang mendengar teriakan Rizal terbangun dan memastikan keadaan Rizal.
“Kenapa Jal?”
“Nggak, mimpi Riz..”
Rizal termenung sesaat mengumpulkan kesadaranya.
Tapi, sebelum ia memutuskan untuk kembali tidur ia tersadar bahwa Fadil tidak ada di kasurnya.
“Fariz.. “
“Kenapa Jal?”
“Fadil.. dia nggak ada,”
Farizpun menoleh ke arah kasur Fadil dan memang tidak ada Fadil di sana.
“Paling ke kamar mandi,” ucap Fariz.
Rizal mencoba menerima dugaan Fariz, tapi setelah menunggu beberapa lama tidak ada tanda-tanda Fadil akan kembali.
“Perasaanku nggak enak Jal, apa coba kita cari?” ucap Fariz tiba-tiba.
“Iya, aku penasaran. Ahmad gimana?”
“Bangunin deh..”
Dengan berhati-hati Rizal dan Fariz membangunkan Ahmad yang tengah tertidur. Secara singkat mereka menceritakan tentang keberadaan Fadil yang tidak kembali setelah beberapa lama.
Ahmad yang juga penasaran dengan sosok Fadilpun setuju untuk mencari jejaknya.
Saat mereka keluar mereka menyadari bahwa sudah melewati tengah malam. Jam yang terpasang di dinding sekolah menunjukan telah melewati jam 12 malam.
Baru saja keluar tiba-tiba mereka melihat seorang santri berjalan ke arah belakang asrama.
Sontak mereka berinisiatif mengikutinya.
Ada sebuah lubang tembok yang tertutup semak-semak. Santri itu menyibakkan semak itu dan keluar.
“Bener ternyata..” ucap Ahmad.
“Bener apa Mad?”
“Ada gosip-gosip beredar katanya ada lobang di tembok pesantren yang sering dijadiin tempat keluar masuk sama santri senior,” jelas Ahmad.
Merekapun tidak berpikir lebih panjang dan mengikuti santri itu keluar.
“Itu ke arah hutan Jal!” peringat Fariz.
“Arah yang sama saat kita ngeliat Kang Sodar dulu.. “ tambah Rizal.
“Terus gimana? Nggak mungkin kita masuk ke sana..” tanya Ahmad.
Mereka tidak memiliki waktu banyak untuk berfikir.
Tapi saat mereka mulai memasuki hutan jati tiba-tiba terdengar seperti ada suara alat musik hajatan dari dalam hutan.
“Ini pasti ada yang nggak beres, aku merinding Riz!” ucap Rizal.
“Tapi kalau nggak kesana kita nggak bakal tahu soal Fadil” Balas Fariz.
Perdebatan mereka saat itu memutuskan mereka untuk mengambil resiko lagi.
“Kalau itu Fadil, kita selamat.. tapi kalau ternyata bukan, kita pasti dihukum lagi..” jelas Fariz.
“Kalian tahu kan aku pasti bakal milih bertindak apa? Toh kita lihat sendiri ada santri yang meninggalkan pondok dan masuk ke hutan!” balas Rizal.
“Kalau sepakat, aku panggil Ustad Sobirin?” ucap Ahmad.
Merekapun sepakat untuk berpencar. Sementara Fariz dan Rizal mengejar Fadil. Ahmad memanggil Ustad untuk meminta pertolongan.
Hanya senter kecil Rizal yang menerangi jalur hutan saat itu. ia mengikuti arah santri itu ke dalam hutan jati yang jauh dari jalur cahaya.
Suara alunan musik gamelanpun terdengar semakin jelas di hutan itu, namun suaranya mengalun lambat dan terdengar mengerikan.
Rizal dan Fariz berusaha untuk memberanikan dirinya menembus hutan itu,
namun mereka terhenti saat menemukan seseorang berdiri seorang diri di tengah hutan itu.
“Itu Fadil?” Tanya Rizal.
“Bu—bukan, itu perempuan…” Fariz bisa melihatnya lebih jelas setelah menyadari rambut panjang sosok itu.
Perempuan itu berjalan tertatih dengan sesuatu yang menetes dari tubuhnya. Ia terus tertawa sembari menyeret kakinya menuju atu tempat yang cukup luas.
“Jangan-jangan, dia santri perempuan yang hilang Jal, Hanifah” tebak Fariz.
Fariz bersiap mengejar perempuan itu, tapi tiba-tiba Rizal menariknya. Fariz yang bingungpun mencoba melepas genggaman Rizal dan menoleh ke arahnya, tapi Rizal malah menggenggamnya dengan lebih erat.
“Jal.. kenapa sih?” tanya Fariz.
Wajah Rizal pucat, ia tidak menatap perempuan itu. Rizal menatap ke atas pepohonan dengan wajah yang pucat dan keringat yang mengucur.
“Astagfirullahalazim…”
Berkali-kali Rizal mengucap istigfar menatap apa yang ada di hadapan matanya saat ini. Mengetahui ketakutan Rizal, Farizpun menatap ke arah yang dilihat oleh Rizal.
“Po—pocong?” tiba-tiba Fariz tersadar dengan keberadaan pocong yang muncul diantara pohon-pohon di sekitar mereka.
“Kenapa kita nggak sadar ada kuburan di sini??” Fariz semakin panik.
“Baca doa Riz.. baca doa” peringat Rizal.
“Lari aja Jal.. lari!” ucap Fariz, tapi Rizal enggan mengikutinya.
“Nggak! Itu pastri santriwati yang hilang tadi, Hanifah. kalau kita kabur, dia bisa kenapa-kenapa,” balas Rizal.
Walaupun takut setengah mati, tapi ia lebih khawatir dengan sosok santriwati yang telah berhenti di tengah-tengah kuburan.
“Terus kita harus gimana?”
“Aku pernah denger cerita kalau hutan jati ini pernah kebakaran,” ucap Rizal tiba-tiba.
“Maksud kamu?”
Rizal ingat, ia pernah ditakut-takuti oleh Kang Aang untuk tidak memasuki hutan jati dengan sebuah cerita.
“Hutan ini pernah kebakaran sebelumnya..” ucap Rizal.
Ia menceritakan bahwa kebakaran hutan itu seolah disengaja oleh beberapa pihak. Masalahnya, kebakaran itu tengah terjadi saat sedang ada proyek penebangan di tengah hutan.
“Banyak pekerja yang mati terbakar di hutan ini Riz..” ucap Rizal.
“Maksud kamu mereka ini hantu-hantu dari pekerja itu?” Tanya Fariz.
“Entahlah.. tapi saat kejadian itu Ustad-Ustad di pondok dimintai untuk Menyolatkan jenazah-jenasah itu, dan menguburnya dengan layak,” jelas Rizal.
Belum sempat Rizal berbicara lagi, tiba-tiba santri wanita yang masih jauh berada di hadapan mereka menaikan tanganya.
Perlahan ia mengayunkan badanya mengikuti suara musik yang tidak jelas berasal dari mana itu.
seketika seluruh sosok mengerikan yang ada di tempat itupun menoleh ke arah Hanifah seolah tertarik denganya.
Pocong-pocong itu mengeluarkan tangan dan kakinya nya dari kain kafan. Mereka merayap mendekati Hanifah.
Dari sisi gelap hutanpun terlihat lagi makhluk mengerikan dengan kulit yang dipenuhi luka bakar mendekat ke arah Hanifah.
“ Darah! Hanifah netesin darah!”
Fariz tersadar dengan cairan yang diteteskan dari tubuh Hanfah.
Setan-setan itu mendekat menjilati tanah dimana terdapat tetesan darah Hanifah di sana. Sementara itu Hanifah terus menari sambil tertawa dengan wajah pucat.
“Itu darah menstruasi?”
“Firasatku lebih dari itu…”
Di bawah cahaya bulan dan di tengah-tengah kuburan alas jati Hanifah menari sambil tertawa kesetanan.
Walau begitu Fariz dan Rizal sadar, air mata Hanifah menetes seolah ada sesuatu yang menyiksa dirinya.
Setiap tetesan darah Hanifah tak luput dari jilatan setan-setan itu. Tapi mereka sama sekali tidak puas..
Beberapa dari mereka sudah mengincar hanifah dan mulai menjliati darah yang ada di kaki hanifah.
“Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum, la Huu maa fis samawaati wa maa fil ardh..
Rizal mengumpulkan keberanianya dan berlari ke arah Hanifah sembari membaca ayat kursi sekeras-kerasnya.
“Rizal! Jangan Nekat!!” Fariz mencoba menahanya namun Rizal Tidak peduli.
Rasa khawatir Rizal membuatnya menerjang sosok-sosok mengerikan itu hingga meraih tangah Hanifah.
“mann dzalladzii yasyfa’u ‘inda Huu, illa bi idznih, ya’lamu maa bayna aidiihim wa maa kholfahum, wa laa yuhiituuna bisyayim min ‘ilmi Hii illaa bi maa syaa’…”
Tak henti-hentinya ia melanjutkan ayat kursi yang ia harapkan dapat mengusir setan-setan itu dan menolong Hanifah.
Sayangnya itu saja tidak cukup..
Hanifah masih memaksa untuk terus menari namun Rizal menahanya. Fariz yang melihat keberanian Rizalpun ikut menyusulnya.
Kini mereka menahan Hanifah untuk tidak kembali menari sembari terus melantunkan ayat kursi.
“Nggak ada doa lain Jal?” Tanya Fariz.
“Aku hafalnya cuma ayat kursi, itu aja baru hafal habis kejadian Kang Sodar,” balas Rizal.
“Ya sudah, baca terus.. kalau ada kesempatan kabur, kita kabur..” lanjut Fariz.
Sayangnya harapan mereka tidak terjadi. Setan-setan itu masih terus tertarik dengan darah yang menetes di kaki-kaki Hanifah.
Saat setan-setan itu semakin mendekat, tiba-tiba terdengar lantunan ayat-ayat suci dari jauh.
Tidak hanya satu orang, ada beberapa orang yang membacakan itu sembari mendekat ke arah mereka.
“Rizal! Fariz!!”
Terdengar suara Ahmad dari jauh mendekat ke arah mereka.
“Mad!! Di sini Mad!!! Tolongg!!” Sahut Rizal.
Ayat-ayat suci yang dibacakan mereka berhasil membuat setan-setan itu tidak nyaman. Mereka menggeram seolah mulai merasa kesakitan.
“Astagfirullahaladzim…”
Wajah kaget Ustad Sobirin terpampang bersama cahaya obor yang mereka bawa.
“Ustad.. tolong Ustad!! “ Teriak Fariz.
Ustad Yahya membawa sebuah kendi kecil yang berisi air. ia membacakan doa-doa pada kendi itu dan menyiramkan air itu ke sosok-sosok yang masih bertahan dari doa-doa mereka.
Seketika suara teriakan kesakitar terdengar di tengah hutan itu.
suara itu terus menggema sampai akhirnya menghilang dan berganti suara serangga hutan.
“Kaliang nggak papa?” tanya Ustad Sobirin
“Nggak papa Ustad, ini.. tolong Hanifah Ustad,” ucap Rizal menunjukkan kondisi hanifah.
Wajahnya terlihat pucat namun terus menyeringai. Ia menatap Ustad Sobirin dengan mata yang mengerikan.
Saat itu juga Ustad Sobirin memegang kepala Hanifah dan membacakan sebuah doa hingga ia kehilangan kesadaran.
Tapi entah wajah cemas Ustad Sobirin sama sekali tidak menghilang.
“Ustad Yahya! Tolong bantu saya…”
Ustad Yahya menghampiri Ustad Sobirin dan melihat keadaan Hanifah yang mengenaskan.
“Astagfirullahaladzim… Anak ini keguguran?”
Mendengar ucapan Ustad Yahya, seketika Rizal dan yang lainya kaget.
“Keguguran? Hanifah kan umurnya nggak jauh dari kami, bagaimana bisa hamil?” ucap Fariz.
Ustad Sobirin dan Ustad Yahya tidak menjawab.
Sepertinya ada sesuatu yang mereka ketahui tentang Hanifah. Fariz dan Rizalpun menyadari batasan mereka dan tidak lagi bertanya pada mereka.
Saat perjalanan kembali ke pondok, ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Rizal.
“Kalau keguguran berarti pasti janinya masih ada di hutan kan?” bisik Ahmad.
“Kita nggak usah ikut-ikutan lagi Mad, masalah ini udah diluar kapasitas kita. Kalau ditanya, baru kita jawab” Balas Rizal.
“Tapi kita kan jadi menduga yang aneh-aneh..” tambah Fariz.
“Sama, tapi kita harus liat kondisi..”
Sesampainya di pondok sudah ada Ustadzah yang penanggung jawab asrama putri yang menunggu di sana. Ia terlihat khawatir dengan keadaan Hanifah.
“Ustad, biar saya rawat dulu Hanifah ya.. kita bicarakan masalahnya besok pagi,” ucapnya yang segera mendapat persetujuan dari Ustad Sobirin.
Rizal dan Farizpun ijin mencuci wajah dan muka sebelum menjelaskan apa yang terjadi ke kedua Ustad yang menjemput mereka.
Disitulah Rizal menyempatkan diri untuk menengok kamar tidurnya. Dan anehnya, Fadil tengah tertidur dengan lelap di kasurnya seolah tidak pernah meninggalkan tempatnya.
Iapun menghela nafas seolah pasrah dengan apa yang terjadi.
“Seharusnya kalian melapor pada orang dewasa, bukan bertindak seperti ini,” ucap Ustad Yahya.
“Maaf Ustad, kami salah..” sahut mereka bertiga.
“Jumlah korban yang sebelumnya hanya satu bisa bertambah menjadi tiga bila terlambat sedikit saja..” tambah Ustad Yahya.
Untuk soal itu Rizal dan Fariz sangat sadar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka bila Ustad Sobirin dan Ustad yahya terlambat menyelamatkan mereka.
“Ini hukuman kalian, ada ayat-ayat dan doa yang harus kalian hafalkan. Besok sepulang sekolah harus bisa mengulanginya di depan saya..” perintah Ustad yahya.
“Baik Ustad,”
Ustad Yahyapun meninggalkan mereka di mushola, namun sebelum Ustad yahya pergi ia terhenti sejenak.
“Hafalkan, pahami artinya, dan terima dengan Ikhlas. Itu titipan Ustad Sobirin. Mungkin saja bacaan-bacaan itu bisa menyelamatkan kalian kelak,” ucap Ustad Yahya sebelum akhirnya meninggalkan mereka.
Mereka bertigapun menyalin ayat-ayat itu dan kembali ke kamar untuk beristirahat. Rizal sesekali membuka salinan ayat-ayat itu.
“Mad, aku ngerasa ini bukan sekedar hukuman,” ucap Rizal sebelum tertidur.
“Terus?”
“Ustad Sobirin pasti punya maksud tertentu dengan memberikan kita hafalan ini, seperti saat kita diminta sholat subuh di desa,” ucap Rizal.
Tidak ada jawaban dari Ahmad maupun Fariz.
Ucapan Rizal saat itu hanya dibalas dengan suara dengkuran Ahmad dan Fariz yang memang sudah sangat kelelahan dengan kejadian tadi.
Sebelum tidur sekali lagi Rizal menoleh ke arah Fadil. Ia semakin merasa ada yang misterius dengan temanya itu.

***
“Katanya kalian yang nemuin Hanifah ya? Hebat banget kalian,” tegur Teh Siti yang bertemu dengan mereka saat jam istirahat.
“Bukan hebat teh, musibah…” balas Rizal ketus.
Tidak ada yang dapat disombongkan dari kejadian semalam. Ada beberapa nyawa yang hampir melayang karena kenekatan Rizal dan kawan-kawanya.

“Nggak usah cemberut terus Jal, aku justru salut sama kamu berani nerobos setan-setan itu demi Hanifah,” ucap Fariz.
“Hah? Setan? Serius kamu??” Teh Siti kaget.

Tanpa sadar mereka sudah dikerumuni oleh teman-teman disekitarnya. Tapi alih-alih menceriakan tentang setan-setan itu, mereka lebih memilih untuk menceritakan bahayanya hutan jati dan kesalahan yang membuat mereka dihukum.
“Pokoknya jangan sampai ada di antara kalian yang masuk ke hutan itu. salah-salah kalian tersesat dan nggak bisa keluar,” tutup Rizal yang segera memutuskan meninggalkan kerumunan itu.
Saat akan kembali ke kelas, tiba-tiba Rizal, Fariz, dan Ahmad melihat pemandangan yang tidak asing.

“Itu Fadil?”

“Iya, dia diincer Kang Ajat kayaknya,”

Bukan hanya Fadil yang sedang dirundung. Mereka juga melihat Fadil menggenggam benda aneh di tanganya.
Bentuknya seperti kuningan seukuran kepalan tangan.

“Fadil! Dicariin Ustad.. udah masuk kelas!” Tiba-tiba Rizal berteriak mengagetkan mereka.

Sontak Fariz dan Ahmadpun menyikut Rizal karena takut menjadi masalah juga.
“Heh! Kalian jangan ikut campur!” teriak orang-orang yang merundung Fadil.

“Oh.. baik kang, saya bilang ke Ustad Fadilnya lagi ada urusan sama Kang Ajat,” balas Rizal dengan santai.

Sontak wajah Ajat dan teman-temanya panik, merekapun melepaskan Fadil dan segera pergi.
Sementara itu Rizal dengan santainya berjalan kembali ke kelas.

“Nekat kamu Jal,” ucap Fariz.

“Sama demit kemaren aja berani, masa Cuma kang ajat Rizal takut,” tambah Ahmad.

Rizal berhenti sejenak dan menahan teman-temanya.
“Ada yang lebih bikin aku penasaran…” ucap Rizal tiba-tiba.

“Apa Jal?”

“Tuh liat si Fadil.. “ Rizal menunjuk ke arah Fadil yang telah melewati mereka.

“Kenapa?” Fariz penasaran.
“Dia sama sekali nggak seneng kita tolongin, aku malah seudzon kalau dia memang sengaja mancing supaya diincer kakak kelas,” jelas Rizal.

“Lah? Bunuh diri? buat apaan?” Ahmad Bingung.

“Supaya benda ditanganya direbut sama Kang Ajat..” ucap Rizal.
Fariz dan Ahmadpun mengerti kecurigaan Rizal. Namun itu hanya sebuah dugaan. Mereka tidak mungkin menuduh Fadil akan hal yang tidak logis.

Kelanjutan mengenai kabar Hanifah tidak lagi terdengar oleh Rizal dan kawan-kawanya.
Saat mereka bertanya, jawaban yang mereka terima adalah Hanifah sudah dijemput oleh orang tuanya dan tidak lagi belajar di pondok.
Diluar jawaban itu, sebenarnya mereka mendengar desas-desus bahwa Hanifah sudah mulai pulih.
Namun masih ada yang aneh pada dirinya, ia sering mengamuk sendiri dan tertawa terbahak-bahak seperti orang yang sudah kehilangan kewarasanya.
Untuk itulah keluarganya membawanya pergi dari Pondok dan mencoba mengobati Hanifah di lembaga yang lebih mampu mengurus masalah psikologi Hanifah.
“Hamil, keguguran, dikejar setan… aku nggak heran kalau hanifah sampai setrauma itu,” ucap Fariz.
“Ya udah , kita kirim doa aja buat kesembuhan dia. Toh kita cuma anak kecil yang nggak bisa apa-apa,” tambah Ahmad.

Setelah tragedi Hanifah, hampir tidak ada keanehan yang dialami Rizal dan kawan-kawanya.
Semua berlalu begitu saja, namun mereka bertiga semakin dekat dengan Ustad Sobirin dan Ustad Yahka.
Kadang mereka menawarkan sendiri untuk membawakan beras dari lumbung Pak Hari walau tidak sedang dihukum.
Tapi… harapan mereka untuk belajar dengan tenang hingga lulus sekali lagi terkoyak.
Lagi-lagi Rizal melihat Fadil bertingkah aneh. kali ini Fadil bangun di kamarnya dengan ekspresi wajah yang mengerikan.
Ia seperti mengamuk, menggeram, matanya melotot hingga air liurnya terus menetes.
Rizal pura-pura tidur dan mengamatinya dengan hati-hati. Rasa takut dan merinding benar-benar menyelimuti tubuh Rizal. Ia sama sekali tidak berani menegur Fadil yang seperti kesurupan.
Sekali lagi Fadil pergi meninggalkan kamar tapi kali ini Rizal enggan untuk mengikutinya.
Rasa takut menemani Rizal saat menunggu apa yang terjadi saat Fadil kembali. Atau mungkin bisa saja Fadil tidak akan kembali?

***
(Bersambung Part 3 - Tumbal Janin )
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga selesai.

Mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung..

Buat temen-temen yang mau baca part 3 duluan atau sekedar support bisa mampir ke karyakarsa ya..

karyakarsa.com/diosetta69/san…
Jasad Hidup Sang Santri
Part 3 - Tumbal Janin

"Kuburkan janin di setiap malam yang ditentukan, Itu adalah syarat agar anakmu tetap hidup..."

@IDN_Horor @mwv_mystic @bacahorror_id @qwertyping
#bacahorror #malamjumat #diosetta Image
Part 3 - Tumbal Janin

“Kang Sodar! Jangan kang!” Rizal panik saat melihat seorang santri tengah memakan ayam hidup.
Lokasinya persis di tempat Kang Sodar kesurupan dan melakukan hal yang serupa. Tapi ternyata Rizal salah.
Seseorang yang tengah memakan ayam hidup itu bukanlah kang sodar.

Ia berbalik dan menoleh ke arah Rizal dengan wajah penuh darah.

“Fadil??”

Santri itu adalah Fadil. Ia tidak mempedulikan Rizal dan kembali memakan ayam hidup itu dengan darah yang terus berceceran di tanah.
“Fadil! Kamu udah gila?!”

Rizal berteriak dan berpaling untuk segera memanggil Ustad Sobirin. Namun tiba-tiba Rizal merasakan hal mengerikan berada tepat di belakangnya.

“Jangan berani-berani…”
Itu adalah suara Fadil, entah mengapa ia bisa berpindah secepat itu dari posisinya. Rizal jelas tahu itu adalah sebuah ancaman.

Dari sebelah mata Rizal terlihat Fadil mendekatkan wajahnya yang penuh dengan darah sembari menengok ke arah Rizal.

Jelas Rizal gemetar..
Ia tidak tahu harus berbuat apa saat itu. dalam hati ia hanya membaca doa-doa yang ia ingat dan berharap doanya itu bisa menjauhkanya dari sosok Fadil yang mengerikan itu.

“Jal Bangun! Sholat subuh!”
Suara Fariz membangunkan Rizal yang tengah terjebak dalam mimpi buruknya. Saat itu juga Rizal terduduk dengan keringat bercucuran dari pelipisnya.

Fariz dan Ahmad yang melihat keanehan pada Rizal saling bertatapan dan memperhatikan keadaan Rizal.
“Jal? Mimpi buruk?” Tanya Ahmad.

Rizal tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia malah menoleh ke arah ranjang Fadil dan tidak menemukanya di sana.

“Fadil kemana?” tanya Rizal bingung.

“Udah keluar sholat duluan lah, masak nyuruh dia nungguin kamu juga.” Balas Ahmad.
Fariz segera menyikut Ahmad, dia tahu mimpi buruk Ahmad pasti ada hubunganya dengan Fadil.
“Ya udah, wudhu dulu biar tenang. Tar ceritain pelan-pelan,” ucap Fariz.
Rizalpun menyelesaikan sholat subuhnya dan menceritakan mengenai mimpinya. Tapi menurut Ahmad dan Fariz, mimpi Rizal itu adalah perwujudan rasa takut Rizal atas kejadian yang menimpa Kang Sodar.
“Mungkin karena kemarin kita liat Fadil di rundung lagi, jadi nggak sadar kamu mimpiin kejadian Kang Sodar,” jelas Fariz.
“Ya bisa saja. Tapi yang pasti firasatku tentang Fadil benar-benar nggak enak,” jelas Rizal.
Hari itu Rizal benar-benar memperhatikan Fadil seharian. Tapi kali ini memang tidak ada yang mencurigakan dari gerak gerik Fadil. Barulah menjelang maghrib, Fadil terlihat berniat melakukan sesuatu.
Ia mengecek tembok bolong yang tertutup semak yang sering digunakan untuk keluar pondok. Tapi rupanya, setelah kejadian hanifah lubang itu sudah ditutup oleh pihak pesantren.
Tak kehilangan akal, iapun mendekat ke pos Kang Aang.
Saat itu pagar pesantren masih dibuka. Kang Aang berjaga di sana memastikan tidak ada yang keluar masuk tanpa pantauanya.
Fadil berjalan ke arah Kang Aang. Ia Memperhatikanya dari belakang. Saat itulah ia merasakan ada yang aneh pada Fadil.
Rizal melihat Fadil seolah membacakan sesuatu yang panjang sembari menatap Kang Aang. Entah kebetulan, atau memang karena bacaan Fadil. Saat itu tiba-tiba Kang Aang terlihat mengantuk dan tertidur di teras tanpa menutup pagar.
“Ngapain lagi sih Jal?” Fariz yang heran menepuk pundak Rizal.
“Tuh, Si Fadil kayak lagi bacain sesuatu ke Kang Aang. Tiba-tiba Kang Aang ngantuk dan tidur,” jelas Rizal.
Ahmad ikut memperhatikan Fadil yang ternyata berjalan dengan santai menuju keluar Pondok.
"Dia beneran keluar!” ucap Ahmad.
Mereka bertiga berjalan mendekat ke arah pagar, tapi mereka masih ragu untuk menyusul Fadil.
"Susul ga?" Tanya Fariz.
“Pasti aku kan yang disuruh manggil ustad?” Tebak Ahmad yang memang sudah tau rencana Rizal dan Fariz.
“Nggak deh, Nggak usah keluar.. kita lapor Ustad aja,” ucap Rizal.
Ahmad dan Farizpun terlihat lega. Tapi mereka masih penasaran dengan yang dilakukan Fadil di Luar.
Rizal mencoba mengintip keluar pagar dan mencari keberadaan Rizal, tapi tiba-tiba ia terjatuh dengan kedatangan seseorang yang datang dengan tiba-tiba di hadapanya.
“Minggir!” Teriak orang itu.
Rizal memastikan siapa orang yang mengusirnya dengan kasar itu.
“Jal, minggir Jal!” Seketika Fariz menarik Rizal mendekat ke arah mereka.
Saat itu barulah ia sadar, bahwa orang yang hampir menabraknya tadi adalah Si Kuter alias Mamat si preman pasar.
“Makin bobrok aja ni pesantren! Bukanya ngejaga gerbang malah tidur!” Teriak Mamat yang saat itu menarik baju Kang Aang.
Rizal, Ahmad, dan Farizpun menjauh. Mereka tidak mau mengambil resiko berurusan dengan Mamat.
Di satu sisi mereka tidak mau pergi karena penasaran dengan apa urusan Mamat ke tempat ini.
“Mamat??! Ngapain kamu di sini!” Teriak Kang Aang.
“Nggak usah berisik! Panggil Kang Sobirin!” Teriak Mamat.
“Urusan apa?” Tanya Kang Aang.
“Bukan urusanmu!” balasnya singkat.
Kang Aang sudah tau sekali reputasi Mamat. Tapi bukanya melawan ia malah seolah menurut dengan perintah Mamat.
“Heh! Mau mati juga lu bocah?” Ancam Mamat pada mereka bertiga.
Merasa keadaanya sudah tidak aman, merekapun segera pergi dari tempat itu.
Dari jauh mereka melihat Ustad Sobirin segera berjalan menemui Mamat.
“Itu preman ngapain sampe ke sini ya?” Ahmad menyampaikan rasa penasaranya.
“Kalau sampai minta jatah keamanan ke pondok sih, Kang Mamat udah keterlaluan,” balas Fariz.
“Sudah, bukan urusan kita. Aku lebih penasaran soal Fadil…” balas Rizal.
Merasa tidak bisa mencari tahu lebih jauh, merekapun segera kembali ke pondok untuk menunaikan sholat Ashar dan melanjutkan dengan pengajian dengan Ustad Yahya.
Tapi, Aneh…
Entah mengapa Fadil sudah berada di pendopo lebih dulu bersama santri lainya untuk pengajian.
“Itu Fadil Ja?” Ucap Fariz bingung.
Mereka bertiga tidak berkata apa-apa lagi saat itu. Rizal mengacak-acak rambutnya tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Fadil meninggalkan gerbang.
“Udah Jal, nggak usah ngikutin Fadil lagi. Kayaknya berdampak nggak baik buat kita,” kata Ahmad sembari menepuk bahu Rizal.
Rizalpun menghela nafas sambil berharap semua yang ia lihat bukan merupakan pertanda untuk hal buruk.
Setelah kejadian itu, Rizal dan teman-temanya berusaha tidak peduli dengan Fadil.
Terkadang mereka memang melihat tingkah mencurigakan Fadil namun lebih memilih untuk mengacuhkan saja.
“Itu Kang Mamat kenapa jadi sering dateng ke Pondok ya?” Fariz memperhatikan sosok Mamat yang beberapa hari ini sering datang ke pondok.
“Iya, langsung ketemu Ustad Sobirin juga. Masa minta jatah preman terus?” gumam Ahmad.
“Sekali-kali jangan mikir jelek terus, siapa tau Kang Mamat mau tobat,” Ceplos Rizal.
Merekapun memperhatikan perbincangan Ustad Sobirin dan Kang Mamat yang tidak dilakukan di dalam ruangan. Entah mengapa sejak datang mereka hanya berbicara sembari berdiri.
Terlihat beberapa kali Kang Mamat menunjukkan emosinya dengan memukul tembok atau sedikit membentak.
Tapi Ustad Sobirin tetap menanggapinya dengan tenang.

Hari ini santri-santri mendapat kabar akan terjadi gerhana di malam hari. Merekapun mendapatkan pengumuman untuk melakukan Sholat Gerhana pada malam hari. Ini adalah yang pertama kalinya untuk Rizal dan kawan-kawan.
Tapi entah mengapa Rizal merasa malam ini ada yang lebih dari itu. Ia merasa cemas selama seharian tanpa alasan yang jelas.
Malam itu sholat gerhana dilakukan berjamaah. Namun ada yang aneh dari Fadil. Wajahnya terlihat cemas dan bercucuran keringat.
Matanya tidak tenang sembari sesekali melirik ke sekitarnya.
“Dil? Kamu sakit?” Rizal mencoba mencari tahu tentang keadaan Fadil saat itu.
“Iya, nggak enak badan. Habis ini mau langsung tidur,” balasnya singkat.
Sesuai ucapanya malam itu Fadil segera memasuki kamar dan tidur cepat dibanding yang lainya. Rizal mencoba mempercayai ucapanya dan ingin menutup malam itu dengan tidur yang nyenyak.
Hujan deras mengguyur seluruh pondok dan desa sekitarnya saat itu.
beberapa kali petir menyambar, namun para santri masih dapat dapat tidur dengan pulas.
Duk… Duk… Duk…
Suara tongkat yang mengetuk lantai kamar saat itu mengganggu ketenangan Rizal, Fariz dan Ahmad.
Bukan tanpa alasan, tapi mereka ingat betul suara pernah membuat mereka lari tunggang langgang.
“Sreeek…. Duk..”
Suara langkah kaki diseret bersama tongkat yang menyentuh tanah berhenti di dekat mereka bertiga.
“Bangun….”
Saat itu mereka berdua terduduk dan terbangung secara bersamaan. Seharusnya mereka takut, namun entah mengapa kali ini mereka merasa harus mengikuti ucapan itu.
Terlihat nenek mengerikan yang terus meneror mereka semenjak mengintip gudang.
Tapi kali ini, ia tidak berbuat apapun selain menoleh ke kasur tempat Fadil seharusnya berada.
Rizal yang masih berusaha mengumpulkan kesadaranya melihat Fadil tidak lagi berada di kasurnya. Sementara itu suara hujan deras terdengar dari pintu kamar yang terbuka.
“Jal.. nenek itu?” tanya Fariz bingung yang menyadari sosok nenek itu kembali menghilang.
“Hilang… Fadil juga nggak ada,” Ahmadpun merasakan ada yang janggal di malam itu.
Rizal segera berdiri untuk menutup pintu yang terbuka itu, ia masih tidak ingin berhubungan dengan masalah Fadil. Tapi saat sampai di depan pintu ia melihat Fadil sedang berjalan perlahan di ujung lapangan. Kang Aang tengah tertidur sementara pintu pagar sudah terbuka.
“Fadil..” gumam Rizal.
Mendengar perkataan itu, Ahmad dan Fariz segera menghampiri Rizal dan melihat apa yang mereka saksikan.
“Kita bilang ke ustad,” Kata Fariz.
“Malam-malam begini?” Tanya Ahmad.
Rizal berpikir sebentar, ia memilih untuk menahan diri dan melaporkan besok pagi.
Tapi… saat mereka bepaling kembali untuk tidur, tiba-tiba sosok nenek yang membangunkan mereka tengah berdiri di tengah-tengah kamar. Ia menatap mereka bertiga dengan wajah marah.
“Jal… nenek itu, benar di sini,” ucap Fariz.
Mereka bertigapun ketakutan dan tidak berani untuk kembali.
“Gimana nih Jal?” tanya Ahmad bingung.
Saat itu Rizal seolah merasakan maksud dari nenek itu. iapun segera menarik kedua temanya itu dan segera pergi ke kediaman Ustad Sobirin.
“Jal? Kita mau ngapain?” tanya Fariz.
“Ke tempat ustad!”
“Mau laporin keberadaan nenek itu? kalau tiba-tiba sosok itu hilang lagi gimana?” Ahmad Khawatir.
“Nggak, justru kayaknya Nenek itu mencoba ngasi tahu kita sesuatu,” ucap Rizal mencoba memberitahukan apa yang ada dipikiranya..
Sampai di kediaman Ustad Sobirin, merekapun mengetuk pintunya dengan cukup lama. Suara hujan menyamarkan suara mereka, tapi mereka tidak menyerah.
Merekapun mengumpulkan tenaga untuk berteriak memanggil Ustad Sobirin.
“Assalamualaikum!!” Teriak mereka.
Setelah cukup lama, akhirnya terdengar suara langkah kaki seseorang membukakan pintu.
“Walaikumsalam… kalian ngapain malam-malam ke sini?” tanya Ustad Sobirin.
Mereka bertigapun saling bertatapan.
“Fadil Ustad! dia pergi dari kamar dan keluar pondok,” Ucap Fariz.
Ustad Sobirin menatap wajah mereka bertiga dan memang melihat keseriusan di mata mereka.
“Ya sudah, kalian kembali ke kamar. Biar saya yang memastikan saat ia kembali,” Balas Ustad Sobirin.
Mendengar ucapan itu Rizalpun memberanikan diri untuk berbicara.
“Nggak bisa ustad, kami merasa ada yang tidak beres..” ucap Rizal.
Iapun mencertiakan tentang keberadaan sosok nenek yang membangunkan mereka. Rizal juga menceritakan bahwa ia menyadari sepertinya sosok nenek itu mencoba memberi petunjuk tentang Fadil.
“Astagfirullahaladzim… “ Ustad Sobirin membaca Istigfar mendengar cerita mereka bertiga.
“Nenek itu adalah sosok Jin, tidak seharusnya kalian mengikuti mau sosok itu,” jelas Ustad Sobirin.
“begitu juga dengan yang merasuki Fadil kan Ustad?” Rizal mencoba memberanikan diri.
“Maksud kamu?” Tanya Ustad Sobirin.
Rizal menceritakan tentang apa yang ia lihat sebelumnya, mengenai Fadil yang seolah memantrai Kang Aang. Juga tindak tanduk Fadil yang mencurigakan bahkan sejak kejadian di hutan jati.
Walau dengan semua cerita itu, Ustad Sobirin masih ragu dan enggan untuk bertindak. Tapi Rizal masih sangat merasa terganggu dengan kepergian Fadil kali ini.
“Saya tahu memang ada yang aneh dengan Fadil, tapi bukan berarti..”
Belum selesai Ustad Sobirin berbicara, Rizal sudah tidak mampu lagi menahan sabarnya. Iapun pergi meninggalkan Ustad Sobirin dan meninggalkan pondok menuju ke arah Fadil berlari.
“Rizal! Jangan nekad!” Teriak Ahmad.
Rizal tidak mempedulikan, sepertinya kali ini Rizal tidak dapat menahan firasat yang ia rasakan.
Ia menerobos hujan bermodalkan senter kecil yang ia punya. Ia tidak dapat melihat jarak jauh dengan gelap dan derasnya hujan, tapi jejak langkah Fadil masih terlihat.
Rizal sadar, jejak kaki itu mengarah ke hutan jati.
“Rizal!! Sudah! Kita kembali dulu!” Teriak Fariz.
Rizal tidak peduli, malam ini ia harus bisa membunuh perasaan yang selama ini menghantui dirinya.
Ustad Sobirin , Fariz, dan Ahmad mengikuti cahaya dari kejauhan yang berasal dari senter Rizal. Gelapnya hutan jati, dinginya air hujan, benar-benar membuat Ustad Sobirin tidak habis pikir dengan apa yang sedang dilakukan oleh santri-santrinya itu.
Cahaya senter Rizal terhenti beberapa puluh meter setelah melewati makam tempat Hanifah ditemukan.
Rizal terlihat terengah-engah. Dia berdiri dengan wajah terpaku dengan memandangi sesuatu.
“Jal.. sudah Jal..” ucap Fariz menepuk bahu Rizal.
Tapi niat menghentikan Rizal terhenti ketika secara perlahan Rizal mengarahkan senternya ke sosok yang tak jauh berada di hadapanya.
Suara dan gerak-gerik aneh terdengar dari arah Rizal megarahkan senternya.
“I—itu?? “
“Astagfirullahaladzim… “ Ustad Sobirin tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Ada seseorang dihadapanya tengah tersungkur di tanah dan memakan sesuatu yang sebelumnya terkubur di hadapanya.
Wajahnya penuh dengan darah, gerak-geriknya seperti seseorang yang kesetanan dan tertawa menikmati apa yang ia makan.
“Fadil?” Ustad Sobirin mencoba mendekat ke arah sosok itu.
Tapi Fadil hanya menoleh sekilas dan kembali menikmati benda penuh darah yang ada di tanganya.
Ia seperti tidak takut dengan apapun seolah sesuatu yang ia makan adalah puncak kenikmatanya.
Rizal ikut mendekat dan mencari tahu apa yang sedang dilakukan Fadil saat itu.
“I—itu? Janin?” tanya Rizal saat mengetahui benda apa yang dipegang oleh Fadil.
“Apa? Yang bener kamu Jal?” Fariz tidak percaya.
Namun saat memastikan dengan jelas, benar apa yang diucapkan Rizal.
Di tangan Fadil terdapat bagian tubuh bayi yang tidak sempurna yang sudah tercabik-cabik menjadi beberapa bagian.
Sementara itu Fadil tertawa kesetanan menikmati janin yang terlihat sangat mengenaskan itu.
“Astagfirullahaladzim… “
“Astagfirullahaladzim… “
“Astagfirullahaladzim… “
Mereka semua membaca istighfar sebelum akhirnya Ustad Sobirin mendekat ke arah Fadil dan membacakan doa untuknya.
Sontak Fadil memberontak mendengar setiap bait doa yang dibacakan Ustad Sobirin. Ia berteriak, mengerang kesakitan dan berusaha untuk memberontak.
Iapun melarikan diri ke dalam hutan yang lebih gelap.
“Kejar!!!” Teriak Rizal.
Merekapun mengejar Fadil secepat yang mereka bisa.
“Kalian! Kembali! Bahaya!” Teriak Ustad Sobirin yang juga menyusul.
Rizal tidak ingin kehilangan jejak Fadil.
“Ahmad! tunggu dari arah timur! Fariz kamu muter, aku coba arahin ke arahmu,” perintah Rizal.
Mengerti dengan yang dimaksud Rizal, merekapun berpencar teratur. Rizal terus mengejar Fadil yang terus berlari tanpa arah.
Fadil mencoba menghindari Rizal, tapi itu malah membawanya ke arah Fariz yang berhasil menggapai tubuhnya.
“Grrr… hrrrr… lepaskan! Lepaskan!!” Berontak Fadil.
Tenaga mereka berdua tidak cukup untuk menahan Fadil, ia masih bisa berlari walau berkali-kali terjatuh oleh tangkapan Fariz dan Rizal.
Tapi di depan Ahmad sudah menunggu. Ia memeluk Fadil dan menjatuhkanya di tanah.
Mereka menguncinya dan segera memanggil ustad.
“Ustad! Disini!!!”
Fadil memberontak, ia berkali-kali mengamuk.
“Aku tidak ada urusan dengan kalian! Aku bisa membunuh kalian!” teriak Fadil.
Wajahnya benar-benar marah, darah dari janin yang ia makan membuat wajah Fadil tidak lagi seperti sosok manusia.
Rizal mencoba membacakan ayat kursi sebisanya untuk menahan Fadil.
Entah itu berguna atau tidak, tapi saat itu mereka berhasil menahan Fadil untuk tidak melepaskan dirinya.
Ustad Sobirin datang dan segera mengikatkan tanganya dan tangan Fadil dengan Tazbih yang ia bawa.
“Tahan dia!” Perintah Ustad Sobirin.
“Baik ustad! Tapi kayaknya nggak bisa lama-lama. Tenaganya nggak kayak orang normal.” Ucap Fariz.
“Tahan semampu kalian”
Ustad Sobirinpun membacakan kembali doa-doa untuk merukyah Fadil saat itu juga.
Fadil terus memberontak, bahkan mereka mulai merasakan sosok-sosok tak kasat mata mencoba mendekat ke arah mereka. Tapi Ustad Sobirin tidak main-main, ia mengusir mereka semua sembari terus merukiyah Fadil.
“Keluar kamu jin Laknat!” Perintah Ustad Sobirin.
Sosok di tubuh Fadil kesakitan, seharusnya ia keluar setelah Ustad Sobirin menyelesaikan doanya.
Tapi, anehnya tiba-tiba Ustad Sobirin berhenti…
“Ustad! Kenapa? Kenapa berhenti?” Tanya Rizal bingung.
Wajah Ustad Sobirin terlihat panik. Itu tidak seperti biasanya.
Sebaliknya, Fadil tiba-tiba tertawa menertawakan ekspresi wajah Ustad Sobirin.
“Khekhekhe… Kenapa? Kau takut?” tantang sosok yang merasuki tubuh Fadil.
“Nggak! Nggak mungkin Ustad Sobirin takut!” Teriak Fariz.
Rizal mencoba berpikir sama, tapi Ustad Sobirin masih terlihat ragu.

“Kalau setan ini saya usir, Fadil akan mati…” ucap Ustad Sobirin.
“Ma—maksud ustad?!” Rizal bingung.
“Sejak awal Fadil sudah tidak ada, selama ini tubuh ini diisi oleh Jin biadab ini sehingga terus hidup..” Jelas Ustad Sobirin.
Rizal, Fariz, dan Ahmad kaget dengan ucapan itu. ia hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan Ustad Sobirin.
“Setan sialan! Berani-beraninya kamu ngambil tubuh Fadil!” bentak Rizal.
“Khekehke… ini permintaan mereka, dan aku mendapatkan bayaranya. kenapa kalian menyalahkan saya” ucapnya sambil tertawa menang.
Ustad Sobirin memalingkan wajahnya. Ia tidak menyangka ada orang yang mengikat perjanjian dengan jin agar Fadil bisa terus hidup.
Jelas saja, Ustad Sobirin tidak mungkin mau mengambil resiko dituduh membunuh seorang santri.
Walaupun kenyataanya, Fadil sudah mati dan tubuhnya diisi sosok lain.
“Kalian sudah membuat tuanku marah! Tuanku tidak akan diam!” ucap Fadil sembari terus tertawa menang.
Entah apa yang terjadi tiba-tiba Fadil kehilangan kesadaranya.
Iya terkulai begitu saja di sana tanpa ada perlawanan.
Tok…tok… tok… tok…
Samar-samar terdengar suara kentongan dari arah pondok. Suara kentongan itu terdengar dengan nada yang menunjukkan bahaya.
“Ustad! Suaranya dari pondok..” ucap Ahmad.
Ustad mencoba mengangkat Fadil, namun Rizal melarang.
“Fadil biar kami yang membawa kembali, Ustad pergi duluan. Ustad lebih dibutuhkan di sana,” ucap Rizal.
Ustad Sobirin mengerti, namun sebelum ia pergi ia memeriksa keadaan Fadil.
Iapun meninggalkan tasbihnya di tangan Fadil sebelum akhirnya meninggalkan Rizal dan yang lain.

***
Ustad Sobirin berlari sekuat tenaga menyusuri gelapnya malam di hutan jati itu. Rasa cemas terus menderu bersama dinginya hujan yang menusuk tubuhnya.
Seluruh cahaya lampu di semua ruangan pondok menyala dengan suara kericuhan yang terdengar,
bahkan dari luar kompleks pesantren.
Saat melewati gerbang, Ustad Sobirin dikagetkan dengan santri-santri yang bergelimpangan menyebar di sudut-sudut pesantren.
“Kang Aang? Mereka kenapa?!”
Ustad Sobirin menarik Kang Aang yang juga tengah memeriksa keadaan santri yang terbaring di dekatnya.
“Kesurupan ustad, nggak tahu kenapa mereka tiba-tiba begini…” Jelas Kang Aang panik.
Dengan segera Ustad Sobirin segera menyusul Ustad Yahya yang tengah merukiyah salah satu santri. Ia membantunya hingga santri itu tersadar dan meminta Ustad Yahya menjelaskan kondisinya.
“Tiba-tiba saja banyak santri yang keluar dari kamarnya dan berteriak-teriak seperti kesetanan. Mereka semua berperilaku aneh,” Jelas Ustad Yahya.
“Astagfirullahaladzim… apa mungkin ini ulah dia?” gumam Ustad Sobirin.
“Dia? Siapa ustad?” tanya Ustad Yahya.
“Nanti saya jelaskan, sekarang kita minta tolong santri yang masih sadar dan kumpulkan mereka di dua ruangan biar Ridho bantu Ustad Yahya!” Perintah Ustad Sobirin.
“Baik ustad..”
Seusai perintah Ustad Sobirin, semua santri yang masih tersadarpun bersusah payah mengumpulkan santri-santri itu ke dalam dua ruangan. Sementara itu, Ustad Sobirin menenangkan pikiranya dan membacakan doa-doa ke beberapa botol yang telah diisi dengan air.
Ustad Yahya dan yang lain bersusah payah menahan santri-santri yang kesurupan itu. Setidaknya mereka memastikan tidak ada satupun santri yang hilang.
“Rizal, Ahmad, Fariz, dan Fadil kemana?” Teriak Ustad Yahya mempertanyakan keberadaan mereka.
Kang Aang mencoba mencari namun tidak menemukan mereka.
“Mereka sedang dalam perjalanan kembali ke sini, tidak usah khawatir,” Jawab Ustad Sobirin yang telah selesai melakukan ritualnya.
Ia memberikan botol-botol air itu pada Ridho, dan Kang Aang.
“Percikan air doa ini sambil membaca istighfar pada mereka yang mengamuk, Saya dan Ustad Yahya akan merukiyah mereka satu persatu,” Perintah Ustad Sobirin.
Kang Aang dan Ridhopun mengerti. Mereka bersama beberapa santri menahan mereka yang mengamuk dengan membaca doa dan menggunakan air pemberian Ustad Sobirin.
Benar saja, Santri-santri yang kesurupan itu seketika gentar.
Mereka seolah ketakutan dengan air doa yang diberikan Ustad Sobirin.
Sayangnya setan-setan itu tidak berniat memudahkan usaha mereka.
“Harus ada nyawa yang dibayarkan malam ini…”
Suara parau itu terdengar dari sudut ruangan yang masih gelap.
Seorang santri berdiri di sana dengan terus menatap Ustad Sobirin.
“Astagfirullahaladzim.. bismillahirohanirohim…”
Kang Aang segera memercikan air itu ke sosok yang berada di sana. Santri itu adalah Sodar.
Berbeda dengan Santri lain yang sedang kesurupan. Wujud wajah Sodar sudah semakin jauh dari wajah seorang manusia.
Matanya menghitam sepenuhnya dengan kulitnya yang putih pucat. Urat-urat di wajahnya menonjol dan menghitam sama seperti lidah dan isi mulutnya.
“Sodar! Sadar… Istighfar!” Teriak Kang Aang.
Air doa Ustad Sobirin benar-benar tidak berarti terhadap Sodar. Kang Aang mencoba membacakan ayat kursi padanya namun ia hanya tersenyum menertawakan Kang Aang.
Sodarpun menjambak rambut Kang Aang, menariknya mendekat dan menggigit lehernya hingga berdarah. Kang Aang berusah melepaskan diri, namun gagal.
“Ustad! To—tolong!!!!” Teriak Kang Aang.
Ustad Sobirin yang menyadari hal itupun meninggalkan rukiyahnya dan menghampiri Sodar.
“Allohu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qoyyuum, laa ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum,…”
Ustad Sobirin membacakan Ayat Kursi dengan lantang. Sosok-sosok yang merasuki santri-santri di ruangan itupun gelisah dan kesakitan mendengarkan ayat-ayat itu.
Tapi.. tidak dengan Sodar.
“Cih… Doa-doamu tidak lagi mempan terhadapku,”
Ledek Sodar yang melanjutkan tindakan gilanya dengan merobek leher Kang Aang dengan giginya.
“Tolong! Tolong Ustad!”
Ustad Sobirin tidak gentar. Iapun mendekat ke arah Sodar dan berusaha melepaskan tanganya dari Kang Aang.
Tapi tidak semudah itu…
Saat melepas Kang Aang, Sodar bergerak ke belakang santri yang lain. Ia kembali menjadikan santri itu sandra untuk dihabisi.
“Titah sudah diterima.. Harus ada satu nyawa yang mati sebagai peringatan untuk kalian!” Ucap Sosok yang merasuki Sodar.
Sebuah pisau kecil dikeluarkan dari Kantung celana Sodar. Sebuah benda yang seharusnya terlarang untuk berada di lingkungan pesantren. Ia mengeluarkan pisau itu dan bersiap menusukkanya pada Santri yang ia sandra.
“Sodar! Jangan Sodar! “ Kang Aang berusaha menahanya namun tenaga sodar lebih besar.
Ia berhasil mengayunkan pisau itu namun dengan sigap Ustad Sobirin menahan tanganya meluakai santri itu..
Berkali-kali Sodar mencoba menusukkan pisau itu pada Ustad Sobirin, namun selalu gagal. Kang Aangpun takjub dengan gerakan-gerakan Ustad Sobirin yang selama ini tidak pernah ia lihat.

Walaupun membela diri, tapi stamina Ustad Sobirin ada batasnya.
Doa-doanya gagal mengusir sosok yang merasuki Sodar, iapun mulai kelelahan hingga beberapa serangan pisau sodar melukai bahunya.
“Makhluk seperti kalian tidak punya hak di alam ini,” teriak Ustad Sobirin.
Ia berusaha menendang Sodar menjauh dan menahan kepalanya. Sekali lagi ia membacakan sebuah doa untuk mengusir sosok dalam tubuh Sodar.

"Bismilaahir rahmanir rahim. Allaa ta’luu ‘alayya wa'tuunii muslimiin."
Kali ini Sodar terlihat gentar, ia kesakitan dan meronta sejadi-jadinya.

“Aku tidak akan keluar! Manusia ini milikku!!” Teriak sosok di dalam tubuh Sodar saat itu.

Sesuai perkataanya. Walaupun kesakitan sebegitunya, ia tetap tidak keluar dari tubuh Sodar.
Bahkan Ustad Sobirinpun heran, bagaimana bisa jin itu bisa bertahan sebegitu kuatnya di tubuh Sodar.

“Hahaha.. kalau itu memang maumu! Manusia ini ikut denganku!”
Setan itu meronta bersama dengan suara Sodar yang juga merasa kesakitan.
Samar-sama Ustad Sobirin merasakan Setan itu berkuasa atas Sodar dan menarik jiwanya meninggalkan tubuhnya.

“Setan terkutuk!!” Ustad Sobirin panik.
Kali ini ia benar-benar bingung dengan apa yang harus mereka perbuat.
Sekali lagi Ustad Sobirin dihadapkan di posisi antara hidup dan mati Santrinya.

Brakk!!!

Di tengah kebingungan Ustad Sobirin, Tiba-tiba suara pintu terbuka dengan keras. Terlihat Fariz dan Ahmad segera membaringkan Fadil tak jauh dari pintu ruangan.
“Ustad! Apa yang terjadi??” mereka bingung dengan apa yang tengah terjadi di ruangan itu.
Tapi tidak dengan Rizal, Sebelum masuk ke dalam ruangan ia mendengar teriakan setan itu dari luar dan mencoba membaca situasi ini.
samar-samar ia teringat kembali kejadian pertemuan Sodar dengan Fadil.

“Ustad! Kalung hitam! itu juga jimat milik Fadil!” Teriak Rizal mencoba memberi tahu apa yang ketahui.

Sontak Sodar menoleh ke arah Rizal dengan tatapan penuh amarah.
Ustad Sobirin memperhatikan tubuh Sodar dan memang menemukan kalung hitam yang dimaksud Rizal melingkar di lehernya. Saat itu juga ia menarik kalung itu hingga terputus.
“Bocah sialan! Kali ini kami melihatmu! Hidupmu tidak lama lagi” teriak sosok dalam tubuh sodar mengancam Rizal dengan wajah bengisnya.

Rizal gentar melihat sosok bermata hitam yang mengarahkan tanganya kepada Rizal.Ia mundur ketakutan menelan ludahnya, tapi itu hanya sebentar.
“Hidup dan matiku di tangan Allah, setan sepertimu tidak punya hak sedikitpun terhadap nyawa kami!” Teriak Rizal sembari mulai membacakan Ayat Kursi, satu-satunya doa untuk menghadapi perkara seperti ini yang ia hafal.
Ustad Sobirin tersenyum menatap Rizal. Iapun menemani doa Rizal untuk memaksa Setan itu keluar dari tubuh Sodar.

“Yang lebih besar akan datang! Sudah ada pengikut kami diantara kalian! Jangan sombong makhluk hina!”
Teriak sosok itu sebelum akhirnya meninggalkan tubuh Sodar yang terkulai lemah.

Ustad Sobirin segera mengecek denyut nadi Sodar. Dia bernafas lega saat mengetahui Sodar masih hidup. Hanya saja ia tahu, kerasukan makhluk semengerikan itu pasti benar-benar menguras tenaganya.
Tepat setelah setan itu meninggalkan Sodar, seluruh santri yang kesurupanpun tersadar. Setan, Jin, Roh yang merasuki mereka keluar begitu saja mengikuti makhluk yang sepertinya memimpin mereka untuk membuat perkara ini.

“Ujang!!” Teriak Ustad Sobirin.
Ujang yang satu angkatan dengan Sodar itupun datang menghampiri Ustad Sobirin.
“Iya Ustad?” Tanya Ujang.
“Tolong bantu bawa Sodar ke ruang UKS, bantu cari di barang-barangnya apakah ada benda seperti jimat dan sejenisnya lagi,” perintah Ustad Sobirin.
“Jimat?” Ujang bingung.
Ustad Sobirinpun menunjukkan kalung hitam yang dikenakan Sodar. Ada aksara-aksara aneh di lipatan hitam di bandulnya yang sepertinya bukan merupakan hal yang baik.
“Saya mengerti Ustad, akan saya periksa,” Jawab Ujang.
“Pastikan ke santri-santri yang lain juga..” tambah Ustad Sobirin.
Ujang meminta bantuan beberapa temanya untuk menggotong Sodar. Sementara itu Ustad Yahya yang telah selesai dengan para santri yang kesurupan menyusul Ustad Sobirin.
“Gimana di sana Ustad Yahya?” Tanya Ustad Sobirin.
“Semua mendadak tersadar, sepertinya sudah selesai..” jelas Ustad Yahya.
“Kita amankan dulu semua santri, setelah itu kita berkumpul di mushola untuk membahas semua masalah ini.” perintah Ustad Sobirin.
Satu persatu santri meninggalkan tempat itu dan kembali ke kamarnya.
Kang Aang yang melihat Rizal dan yang lain basah kuyup dan penuh dengan kotoran mengambilkan teh panas untuk mereka semua.
“Sebenarnya ada apa sih Jal? Si Fadil kenapa?” Bisik Kang Aang.
Rizal mengatur nafasnya sembari menyenderkan punggungnya ke salah satu tembok.
“Kang…”

Kang Aang mendekat ke arah Rizal.
“Nanti kami ceritakan semua ya, di sini Kang Aang juga korban..” ucap Rizal.

“Saya? Korban? Kok bisa?” tanya Kang Aang bingun.
“Iya, kalau Kang Aang nggak ketiduran ini nggak akan terjadi,” tambah Fariz.
Kang Aang menggaruk kepalanya merasa bersalah.
“Tapi tenang dulu Kang.. Ustad Sobirin bakal jelasin semua..” ucap Ahmad.
Kang Aang mengerti, ia juga melihat rasa lelah di wajah ketiga anak itu.
“Kang Aang, temenin mereka ganti baju dulu. Mereka bisa sakit kalau basah-basahan begitu,” perintah Ustad Sobirin.
“Baik Ustad..”
“Rizal, Ahmad, Fariz… kita ketemu lagi di mushola. Dan Ustad Yahya, besok anak-anak kita liburkan dulu.
Pastikan semua santri yang kesurupan tadi benar-benar pulih,” perintah Ustad Sobirin.
Ustad Yahya mengerti perintah itu dan segera berkeliling memeriksa kamar santri satu-persatu.
Sementara Rizal dan yang lain mengganti baju, Ustad Sobirin memeriksa keadaan Fadil dan mulai membacakan ayat-ayat suci di samping tubuhnya.

“Astagfirullahaladzim… “
Sebelum mencapai kamar Rizal, Kang Aang tiba-tiba tercekat.
Ia seolah kaget akan sesuatu yang ada di kamar kami.
“Nenek-nenek ya kang?” Tanya Rizal santai.
Kang Aang menoleh dengan kaget ke arah Rizal.
“Kalian bisa liat juga?” Tanya Kang Aang.
“Nggak Kang, tapi nenek itu yang ngebangunin kami seolah ingin meminta kami mengawasi Fadil,” jelas Rizal.
Kang Aang memang memiliki kemampuan. Ia terkadang bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata, namun itu hanya di saat-saat tertentu.
“Sudah, dia sudah pergi..” Jelas Kang Aang.
Fariz mendekat ke Kang Aang seolah penasaran akan sesuatu.
“Sebenernya nenek itu siapa sih kang? Kok bisa ada di Gudang lama?” Tanya Fariz.
Kang Aang menoleh ke arah Fariz.
“Kenapa kalian bisa tahu dia dari gudang lama?” tanya Kang Aang.
Sontak Ahmad menyikut Fariz menegur kecerobohanya. Tapi sepertinya Kang Aang tidak mau memusingkan itu kali ini.
“Ya sudah, jelasin nanti-nanti saja! Cepat ganti baju, keburu subuh..” Kang Aangpun segera menyuruh mereka bertiga untuk berganti dengan pakaian kering.
Satu hal yang Kang Aang sadari malam itu. Walaupun melihat keberadaan nenek itu di kamar Rizal.
Ia juga melihat santri-santri lain yang berada di sana.
Mereka semua kelelahan setelah hampir semalaman membantu Ustad dan santri-santri lain di kejadian tadi.
Kang Aang sadar, Tidak ada satupun santri di kamar Rizal yang dirasuki oleh makhluk-makhluk tadi.
Kang Aang menerka, apakah ini semua karena keberadaan sosok Nenek tua penghuni gudang lama ini?

***
Beberapa gelas teh panas tersaji dihadapan Ustad Sobirin, Ustad Yahya, Rizal dan teman-temanya saat itu.
Mereka tidak langsung memulai pembicaraan. Mereka menikmati waktu itu terlebih dahulu untuk menenangkan diri mereka dan menikmati rasa hangat dari teh panas itu.
“Nggak pernah aku ngerasain teh panas seenak ini,” ucap Fariz yang terus saja menggenggam gelas hangatnya di tangan.
“Iya ya, padahal sama saja dengan teh yang biasa kita minum,” timpal Ahmad.
Ustad Sobirin tersenyum mendengar perbincangan itu.
“Kenikmatan seperti itu adalah hadiah dari Allah untuk mereka yang mau lelah berjuang. Percaya atau tidak, kenikmatan itu tidak bisa dibeli bahkan dari minuman termahal sekalipun,” ucap Ustad Sobirin.
“Setuju ustad, sama kayak es teh yang kita minum habis ngangkut beras dari lumbung Pak Hari kan?” ucap Rizal.
Ustad Sobirin mengangguk.
Mereka meluangkan sejenak untuk perbincangan-perbincangan kecil sebelum masuk ke permasalahan utama mereka tentang tragedi malam ini.
“Ulah Fadil?”
Ustad Yahya mengernyitkan dahinya seolah tidak percaya dengan cerita dari Ustad Sobirin.
Rizal membantu menceritakan mulai dari saat mengetahui Kang Sodar merundung Fadil. Ia mendapatkan benda berupa buku dan sebuah kalung hitam yang ia rebut dari Fadil.
“Sepertinya Sodar memang ngilmu, dan Fadil menjebaknya dengan kitab dan Jimat yang ia miliki,” jelas Ustad Sobirin.
“Sepertinya Fadil juga mengincar kakak kelas yang lain yang memiliki niat yang sama.
Beberapa hari yang lalu saya juga melihat beberapa orang merundung Fadil, saat kami tolong ia malah tidak senang,” ucap Rizal.
Cerita Rizal membuat Ustad Sobirin dan Ustad Yahya cemas.
“Saya takutnya, santri-santri itulah yang dimaksud sebagai pengikut setan itu..” ucap Ustad Sobirin.
Ustad Yahya kaget saat mendengar cerita mengenai Fadil yang keluar gerbang dan memakan janin yang dikubur seseorang di hutan jati.
Itu Janin siapa? Siapa yang melakukan? Berbagai pertanyaan memenuhi isi kepala Ustad Yahya.
“Apa sosok yang merasuki Fadil sudah di usir?” tanya Ustad Yahya.
“Itu masalahnya…” wajah Ustad Sobirin terlihat cemas.
“Hanya jin itu yang mendiami tubuh Fadil, tidak ada kesadaran lain di tubuhnya. Kamu tahu apa artinya kan Yahya?”
Penjelasan Ustad Sobirin membuat Ustad Yahya dan Kang Aang semakin pusing.
Mereka memiliki ketakutan yang sama, bila sosok di dalam tubuh Fadil diusir maka Fadil akan mati.
“Siapa yang melakukan ini Ustad?” Tanya Kang Aang.
Ustad Sobirin menggeleng. Jelas saja ia tidak dapat menerka siapa yang tega melakukan ritual itu pada anak ini.
“Seseorang melakukan perjanjian dengan sosok ini dengan bayaran janin yang harus diberikan pada malam-malam tertentu untuk dirinya,” Jelas Ustad Sobirin.
Rizal, Ahmad, dan Fariz mengingat kembali kejadian dimana Fadil memakan janin yang masih berdarah-darah itu dengan begitu beringasnya.
“Ustad? Rizal?” ini dimana?”
Tiba-tiba Fadil siuman dari tempat ia dibaringkan. Sontak Rizal dan yang lainpun panik, Ustad Sobirin segera mendekat secepat mungkin ke arah Fadil.
“Ahmad? Fariz? Ini kenapa?” Fadil terlihat panik, ia sama sekali berbeda dengan saat berada di hutan tadi.
Tak ingin tertipu, Ustad Sobirin membacakan kembali doa untuk merukiyah Fadil, dan benar saja ia merintih kesakitan.
“Sudah ustad!! Hentikan! Panasss!!” Teriaknya.
Fadil benar-benar meronta kesakitan, namun ia tidak melawan dan tidak berbuat apapun selain mengeluh kesakitan.
Hal ini benar-benar membuat Ustad Sobirin dan Ustad Yahya bingung.
“Siapa kamu?” Tanya Ustad Sobirin.
“Fa—Fadil Ustad,” jawab Fadil terbata-bata.
“Dusta!” Teriak Ustad Sobirin.
Fadil terlihat ketakutan ia memandangi Ustad Sobirin dan Ustad Yahya seolah ia sedang diintimidasi oleh mereka.
“Jal.. tolong Jal, ini kenapa?” Fadil memohon ke pada Rizal, tapi Rizal yang melihat apa yang terjadi di hutan jati membuatnya berani untuk menahan diri.
“Kamu bukan Fadil,” ucap Rizal.
“Ini aku Jal! Fadil!! Kalian kenapa??” tanya Fadil dengan memasang wajah bingung.
Ustad Sobirin yang merasa tidak mendapatkan perlawananpun akhirnya memutuskan untuk membiarkan Fadil terlebih dahulu.
walau begitu ia masih meragukan apakah keputusanya benar atau salah.
“Ustad Yakin? Kita lihat sendiri lho bagaimana di hutan jati tadi,” tanya Rizal.
“Saya tidak yakin, tapi semoga ini keputusan terbijak. Besok akan saya hubungi orang tuanya,” ucap Ustad Sobirin.
Ustad Sobirinpun melarang Fadil untuk tidur bersama santri yang lain. Ia dirawat di UKS dengan dijaga Kang Aang serta Ustad Yahya yang sesekali memeriksanya.
Mereka berharap penilaian Ustad Sobirin salah.
Mereka berharap bahwa roh Fadil masih ada di tubuh itu dan bisa diselamatkan.
Tapi saat Rizal mencoba berharap untuk itu, tiba-tiba ia melihat Fadil menoleh ke arahnya. Ia tersenyum licik seolah menyembunyikan sesuatu yang mengerikan.
“U—ustad, Jangan lengah sama sekali dengan Fadil ya. Saya masih takut,” Rizal mencoba menyampaikan perasaanya.
Kali ini Ustad Sobirin tidak membantah. Ia mengangguk mengiyakan ucapan Rizal. Setelah melihat semua kejadian semalam, tidak mungkin mereka membantah ucapan ketiga santri ini.

***
Sebuah perbincangan panjang terjadi di telepon antara Ustad Sobirin dengan orang tua Fadil. Mereka tidak terima saat Ustad mengatakan bahwa tubuh Fadil diisi oleh Jin.
“Ustad jangan mengada-ada! Siapa yang terima anaknya dianggap setan!” Suara seorang ibu yang berteriak terdengar keras di telepon itu.
“Tenangkan dulu bu, tapi kejadian semalam benar-benar terjadi. Anak ibu benar-benar memakan Janin di Kuburan hutan jati.” Jelas Ustad Sobirin.
Penjelasan dari Ustad Sobirin seolah tidak dihiraukan oleh orang tua Fadil. Jelas saja, orang tua mana yang percaya anaknya sudah mati dan tubuhnya diisi oleh Jin.
“Kalau anak saya salah, silahkan dihukum! Tapi mengatakan hal seperti itu benar-benar melukai hati saya ustad,” kali ini suara tangis terdengar dari balik telepon.
Ustad Sobirin tetap berusaha untuk tegas, namun sebisa mungkin ia ingin memberikan penjelasan secara baik kepada orang tua Fadil.
“Kalau Ustad masih ngotot, katakan yang akan ustad lakukan saat ini?Membunuh anak saya?” kali ini suara ayah Fadil yang terdengar dari telepon itu.
Pertanyaan itu benar-benar tidak bisa dijawab dengan tegas oleh Ustad Sobirin. Di satu sisi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan jika Fadil mati. satu sisi tidak mungkin ia berbohong bisa menyelamat kan Fadil.
“Baiklah, kalau begitu satu lagi pertanyaan dari saya…” Ustad Sobirin mencoba menenangkan pikiranya.
“Apa kalian tahu siapa yang menanamkan janin manusia di hutan jati?”
Anehnya pertanyaan itu membuat kedua orang tua Fadil terdiam. Ibu Fadil sama sekali tidak ada niat untuk menjawab.
“Jelas kami tidak tahu ustad! Itu tidak ada hubunganya dengan kami,” jawab Ayah Fadil.
“Baiklah, kalau begitu sepertinya saya tahu apa yang harus saya perbuat,” ucap Ustad Sobirin sebelum akhirnya berpamitan menutup telepon itu.
Ustad Sobirin tidak mampu membuktikan bahwa sosok yang berada di tubuh Fadil bukanlah Fadil. Akhirnya Fadil dikembalikan ke kamar dan berbaur kembali dengan santri-santri lainya.
Tidak ada yang tahu tentang kejadian di hutan jati selain mereka yang berkumpul di mushola saat itu. semua santri masih memperlakukan Fadil seperti biasa.
Tapi bukan berarti Ustad Sobirin menyerah…
Ia mencoba menghitung tanggal dan weton mengenai waktu dimana Fadil memakan Janin sebelumnya.
Ustad Sobirin menandai beberapa tanggal di kalender dan selalu berjaga di tanggal-tanggal itu.
Kang Aang juga diminta untuk terjaga di setiap tanggal yang diberi tahu oleh Ustad Sobirin.

Beberapa bulan berlalu dan tidak terdapat keanehan lagi mengenai Fadil, tapi Ustad Sobirin tidak mau lengah.
Ia terus berjaga di tanggal-tanggal yang ia tandai.
Sampai di satu malam saat Ustad Sobirin sedang berjaga, ia menemukan Rizal di depan kantornya mencoba memberitahukan sesuatu.
“Assalamualaikum Ustad..” panggil Rizal.
“Waalaikumsalam Rizal, ada kejadian lagi?” Tanya Ustad Sobirin.
Rizal mengangguk, kali ini ia tidak sepanik sebelum-sebelumnya.
“Nenek itu muncul lagi?” Tebak Ustad Sobirin.
“Kok Ustad tahu?”
Ustad Sobirin mengelus kepala Rizal.
“Berarti benar malam ini,” gumam Ustad Sobirin.
“Maksud Ustad?”
“Kembali ke kamar ya, jaga teman-temanmu kalau terjadi apa-apa ajak mereka semua mengaji,” perintah Ustad Sobirin.
Rizal masih penasaran dengan maksud Ustad Sobirin. Tapi ia mengerti, pasti ada alasan mengapa Ustad tidak mau menceritakan itu kepadanya.
Malam itu terasa begitu sepi. Kang Aang berjaga dengan penuh konsentrasi seperti perintah Ustad Sobirin. Terlihat beberapa gelas kopi yang sudah habis berjejer di mejanya untuk menahan kantuk.
Ada seorang santri yang memperhatikan Kang Aang dari jauh.
Ia memastikan gerbang sudah terkunci, itu adalah Fadil. Kali ini ada dua kunci gerbang yang mengikat. Satu kunci lagi sengaja dipegang oleh Ustad Sobirin.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Fadil terlihat gelisah.
sepertinya ia harus segera keluar dan melakukan sesuatu untuk membunuh rasa gelisahnya.
Mengetahui ia tidak bisa memanfaatkan Kang Aang, iapun memutar dan mengelilingi kompleks pesantren yang cukup besar itu.
Ia terlihat menggebu-gebu seolah akan meledak bila tidak segera keluar, sampai akhirnya ia menyadari suara air dari kali yang mengalir di kompleks pesantren.
Kali itu melewati bawah tembok yang berarti ada lubang di bawah sana.
Fadil tidak peduli dengan arus dan dinginya air kali itu. ia merunduk memasuki celah itu dan berhasil tiba di sisi balik tembok pesantren.
Iapun bergegas melalui hutan yang dipenuhi pohon-pohon jati.
Tanpa petunjuk arah dan tanpa penerangan ia mampu melalui hutan itu tanpa kesulitan sedikitpun.
Tepat saat melewati makam Fadilpun segera menggali tanah tempat sebuah pasak hitam ditancapkan.
Nafasnya menderu seperti kesetanan mencari sesuatu dari balik tanah yang ia gali dengan tangan kosong.
Tapi… Fadil tidak menemukan apa yang ia cari di tempat ia menggali.
Janin itu tidak ada di tempatnya..
Ia bingung, namun saat menatap ke sekitar hutan itu seolah ada sosok tak kasat mata yang menceritakan sesuatu padanya.

“Ggrrrr… Bangsat!! Bangsat kalian!!!”
Fadil mengamuk sejadi jadinya saat itu.
tanganya mengepal dengan keras dan berkali-kali menghantamkanya ke tanah dan pepohonan di sana.
Sumpah serapah terucap tanpa henti melampiaskan kekesalanya.

Dari balik pohon jati tak jauh dari tempat Fadil berada , Ustad Sobirin bersembunyi menyaksikan amukan Fadil.
Sebelumnya ia sudah datang lebih dulu ke tempat itu dan menemukan ibu Fadil menguburkan Janin di tempat tak jauh dari tanah Fadil memakan janin sebelumnya.
Saat itu juga Ustad Sobirin menggali kembali Janin itu dan menguburkanya di tempat yang layak,
jauh dari tempat yang digali oleh Fadil.
Kini perjanjian itu sudah cacat apakah sosok Jin di tubuh Fadil akan meninggalkan tubuh itu? ataukah ada hal lain yang akan terjadi?
Pertanyaan itu muncul di kepala Ustad Sobirin atas perbuatanya. Ini satu-satunya cara yang ia pikirkan untuk mengakhiri perjanjian antara sosok yang berada di tubuh Fadil dengan Seseorang yang terikat denganya.
Sayangnya semua tidak sesederhana itu…
Fadil kembali dengan wajah penuh amarah. Sesekali Ia tertawa kesetanan dengan mata yang terus melotot.
“Kalian harus bertanggung jawab… harus ada darah yang menggantikanya…”
Ia berjalan bungkuk menyeret langkah kecewanya. Ada dendam yang mengerikan yang ia bawa langkah demi langkah menuju pesantren.

***
(Bersambung Part Terakhir)
Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Buat teman2 yang mau baca duluan part akhirnya atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id ya.. ☺️🙏

karyakarsa.com/diosetta69/tam…
JASAD HIDUP SANG SANTRI
Part IV - Sosok dibalik Jasad Santri (Tamat)

Saatnya part akhir, mulai saya uload ya.. nanti habis maghrib udah bisa dibaca. Minta tolong bantu share dan likenya ya..

@qwertyping @IDN_Horor @bacahorror_id

#bacahrorror Image
Part 4 - Sosok di Balik jasad Santri

Suara langkah kaki terdengar terdengar setapak-demi setapak menyibak dedaunan. Ia berjalan bungkuk menahan dendamnya. Dengan wajah penuh amarah ia menuju pesantren diantara tengah perbatasan malam.
Ustad Sobirin masih memantaunya sepanjang malam berharap Fadil akan kembali seperti biasa seperti sebelum-sebelumnya.

Tapi amarah itu tidak reda..

“Kembalikan tumbalku….”

Ia menggeram sembari menggumam meminta sesuatu yang menurutnya menjadi haknya.
“Yang kalian curi, harus kalian bayar dengan mahal…”
Nyatanya sosok yang mendiami tubuh Fadil kini sudah dipenuhi oleh amarah yang entah dimana ujungnya.
Ustad Sobirin tidak tahu resiko atas perbuatanya.
Namun ia mengambil keputusan itu karena tragedi ini harus diselesaikan, cepat atau lambat.

Kang Aang melihat kedatangan seseorang dari jauh. Kala itu matahari mulai menunjukkan sedikit cahayanya bersama kabut putih yang setia menyambutnya.
Seseorang berjalan bungkuk melangkah perlahan ke arah Kang Aang. Itu bukan cara berjalan manusia pada umumnya. Jelas saja Kang Aang waspada dan memperhatikan sosok itu.

“Siapa itu?!”

Sosok itu tidak menjawab dan terus berjalan perlahan menuju pesantren.
Ada firasat buruk di diri Kang Aang saat melihatnya, iapun keluar untuk menghampirinya.

“Fadil?”

Tanya Kang Aang bingung saat sosok itu mulai mendekat.
Tubuhnya basah, pakaianya penuh dengan kotoran tanah, wajahnya penuh dengan amarah tidak lagi seperti wajah seorang anak remaja.

“Fadil? Kamu ngapain di sana? Gimana kamu bisa keluar?” Tanya Kang Aang bingung.
Fadil tidak menjawab dan terus menyeret langkahnya menuju pondok. Perasaan Kang Aang berada diantara khawatir atau takut.

Kang Aangpun bersiap menghampiri Fadil, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba Ustad Sobirin muncul dan menghadang Fadil.
“Kamu tidak boleh masuk ke dalam..” Tahan Ustad Sobirin.

Melihat kedatangan Ustad Sobirin, Fadilpun menyeringai. Ia sedikit tertawa menatap raut wajah Ustad Sobirin.

“Aku tahu, ini ulahmu.. Janin itu adalah perjanjian mereka denganku,” kata sosok yang menghuni tubuh Fadil itu.
“Sekarang perjanjianmu sudah cacat, tidak akan ada lagi janin yang kau terima!” Ucap
Wajah Fadil berubah kesal, ia mengangkat lenganya menunjuk tepat ke wajah Ustad Sobirin.

“Terkutuk kau manusia! Kalian akan membayar ini semua!” ancam Fadil.
Ustad Sobirin terlihat tidak gentar, menurutnya ini adalah satu-satunya cara agar perjanjian antara sosok yang merasuki tubuh Fadil dengan orang tuanya berakhir.

Mulut Fadil terlihat seolah sedang membacakan sesuatu.
Suara desis dan ucapan menyerupai mantra terdengar di telinga Ustad Sobirin.

Ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Ustad saat mendengar kata-kata yang seolah tidak memiliki arti itu. Ustad Sobirin tahu dengan jelas bahwa itu adalah sihir.
Saat itu juga Ustad Sobirin mengambil tasbihnya dan membacakan ayat-ayat suci untuk melindungi dirinya dari mantra-mantra yang dibacakan oleh Fadil.

Tapi… Fadil malah tersenyum.
Senyuman Fadil membuat Ustad Sobirin waspada. Dan benar saja, di perbatasan pagi itu, tiba-tiba muncul sosok putih dari balik kabut melayang mendekat ke arah mereka.

“U—ustad! Itu! Itu pocong!!

Dari jauh Kang Aang menyadari ada sosok-sosok yang mendekat ke arah mereka.
Itu adalah pocong yang melayang terbang seolah ingin mengepung mereka.

Kang Aang menelan ludahnya dan meminta Ustad Sobirin untuk kembali, tapi Ustad Sobirin lebih memilih untuk tetap di sana.
“Mereka yang mati sudah tidak memiliki urusan lagi dengan alam ini, dan makhluk seperti kalian tidak punya kuasa atas kami!” ucap Ustad Sobirin.
Iapun membaca ayat kursi untuk mengusir semua sosok yang dipanggil oleh sosok di balik tubuh Fadil ini.
Beberapa dari sosok itu menghilang, tapi beberapa dari mereka masih melayang-layang menembus kabut seolah tidak takut dengan doa-doa yang dibacakan Ustad Sobirin.

Sekali lagi Fadil tersenyum…
Kali ini senyumanya hampir bersamaan dengan suara kentongan yang terdengar dari arah pondok.

Tok..tok…tok…tok..

Suara pukulan itu menandakan sedang terjadi sesuatu yang berbahaya di pondok. Tak lama setelahnya terdengar kericuhan dari arah asrama.
“Kang Aang! Ustad! Tolong!!”

Dari balik pagar terdengar Suara Rizal yang berlari menghampiri Kang Aang dan Ustad Sobirin. Sontak merekapun kaget saat menyaksikan keadaan Fadil dan berbagai sosok yang ada di sana.
“Kang? I—itu pocong??” Ahmad jatuh terduduk saat melihat sosok-sosok di sekitar Ustad Sobirin.

“Jangan Takut! Apa yang terjadi di dalam?” Tanya Ustad Sobirin.

Ahmad mengumpulkan keberanianya dan menceritakan pada Ustad.
“Mereka kesurupan lagi Ustad! Mereka mengamuk begitu saja. Ustad Yahya mencoba menahan mereka setengah mati, banyak dari mereka yang mencoba bunuh diri…” Jelas Ahmad.

“Bunuh diri??!” Ustad Sobirin tidak percaya mendengar kata-kata itu.
Tapi saat ia menoleh ke arah pondok. Ia melihat salah seorang santri tengah berdiri di atap bangunan seolah bersiap untuk menjatuhkan dirinya.
Santri yang kesurupan itu menoleh ke arah Ustad Sobirin, ia tertawa seolah meledeknya dan bersiap menjatuhkan dirinya dari atap asrama yang sudah lapuk itu.
Sontak Ustad Sobirin berlari ke arah Pondok. Kang Aang menoleh sebentar ke arah Fadil merasa tidak yakin harus meninggalkan Fadil dengan keadaan seperti itu, tapi ia tahu keadaan di dalam pesantren jauh lebih berbahaya.
Baru saja memasuki area pesantren, tiba-tiba santri yang berada di atas bangunan bersiap untuk menjatuhkan dirinya ke tanah. Ustad Sobirin bahkan belum mampu mencapai untuk menangkapnya.
Tapi saat akan mencapai langkah terakhirnya tiba-tiba langkah santri itu terhenti dengan terdengarnya suara Adzan subuh berkumandang.
“Rizal! Itu suara Rizal!” teriak Ahmad.
Entah mendapat ide dari mana, namun saat ini Rizal sedang mengumandangkan Adzan subuh dengan mengguakan pengeras suara. Sontak seluruh santri yang kesurupan tiba-tiba menutup telinganya.
“Ustad!! Ustad!! Kenapa saya ada di sini??” Teriak santri yang berdiri di atas atap, suara adzan itu mengembalikan kesadaranya sesaat sebelum ia gelisah dengan sosok yang masih berada di dalam tubuhnya.
Ustad Sobirin yang menyadari itu segera mengangkat tangga bambu di pinggir bangunan dan memasangnya.
“Tahan, jangan sampai kesadaranmu diambil alih lagi..” Teriak Ustad Sobirin sembari memandunya untuk turun.
Belum sempat mendarat dengan sempurna, tiba-tiba santri itu kembali dikuasai makhluk yang merasukinya. Ia mencoba kembali ke atas tapi Ustad Sobirin sekuat tenaga menahanya.
Iapun menarik santri itu dan merukiyahnya agar terlepas dari ikatan makhluk yang merasukinya.
Belum selesai dengan urusan santri itu, tiba-tiba tercium bau asap dari salah satu sisi pesantren. Ustad Sobirin menoleh ke arah asal bau itu dan menemukan nyala api mulai membesar dari sana.
“Api!!! Ada api!!!” Teriak Ahmad.
Ada seseorang yang tertawa di hadapan api yang menyala itu. Fadil dan beberapa santri yang membawa Jerigen tersenyum sembari menatap Ustad Sobirin. Kali ini mereka benar-benar ingin menghancurkan Ustad Sobirin.
Kang Aang meminta bantuan beberapa santri yang masih sadar untuk mengambil air. ia masih berharap api itu tidak akan menjalar ke bangunan lainya.
“Kalian! Kalian mengikuti perintah Fadil?” tanya Ahmad panik.
Santri-santri itu tidak menjawab. Mereka hanya menatap Ahmad dengan gerakan kepala yang aneh. Jelas mereka sedang dalam kendali Fadil.
Rizal keluar dari tempatnya membacakan Adzan yang hampir tersentuh api. “Siapa yang nyalain api?”
“Fadil Jal!! Kali ini bener-bener keterlaluan,” balas Ahmad.
Rizalpun molongo ketika melihat api yang mulai menjalar ke bangunan dapur umum. Sudah ada beberapa santri yang mencoba memadamkan, tapi api lebih capat menjalar.
Ada hal aneh yang dilihat oleh Rizal. Sodar terlihat sedang berjalan dengan langkah yang aneh menuju kobaran api. Matanya terlihat takut, tapi ia terus berjalan menuju kobaran api yang semakin besar itu.
“Kang Sodar! Bahaya!” teriak Rizal.
Sodar tidak menghiraukanya, ia malah terus berjalan ke arah nyala api itu.
“A—Aku nggak mau mati,” terdengar suara Kang Sodar bersama isak tangis yang terlihat dari wajahnya.
Air matanya menetes dengan wajah yang sangat ketakutan.
Tapi entah mengapa tubuhnya tidak selaras dengan ucapanya dan terus melangkah ke nyala api. Rizalpun mulai yakin bahwa itu bukan kehendak Sodar.
“Kang! Kembali kang! Bahaya!” Kali ini Rizal berusaha menarik tangan Sodar untuk menjauh dari nyala api itu.
Sayangnya tenaga Rizal tidak mampu menahan kang sodar.
“Jal! Tolong Jal… aku nggak mau mati,” Tengok Sodar dengan wajah ketakutan.
“Ya jangan ke sana Kang! Menjauh..!!!”
“Tubuhku bergerak sendiri, ada bisikan yang terus terdengar di dalam kepalaku!”
“Lawan kang!!”
Rizal susah payah menarik tubuh kang sodar, namun ia terus saja menyeret langkahnya kedalam kobaran api.
“Ahmad! Tolong!!” Panggil Rizal.
Ahmad yang tengah memadamkan api membawakan embernya dan menyiramkan ke api yang tak jauh dari hadapan Sodar. Tapi padamnya api itu tidak berlangsung lama.
Sadar akan hal itu, Ahmad ikut membantu Rizal untuk menahan Sodar.
Merekapun terjatuh, Ahmad dan Rizal menahan Sodar di tanah. Tapi walaupun begitu, Sodar terus berusaha merangkak menuju api itu.
Mereka pikir setidaknya tenaga mereka berdua seharusnya bisa menahan Sodar untuk sementara waktu.
Tapi tak jauh dari belakang mereka terdengar suara langkah seseorang yang berjalan perlahan.
“Ampun! Aku nggak mau mati!”
Sontak Rizal dan Ahmadpun menoleh.
Di belakangnya sudah terdapat beberapa santri seangkatan Sodar yang bersiap menyambut api di hadapanya dengan raut wajah ketakutan persis seperti Sodar.
“Astagfirullahaadzim…”
Rizal membaca Istighfar melihat ada santri lain yang senasib dengan Sodar.
“Tolong.. tolong kami Jal!!” Tangis Sodar.
“Tenang mas, sebentar lagi Ustad Sobirin pasti ke sini menolong kita,” Rizal berusaha menenangkan Sodar.
“Kami sudah tersesat, kami terjebak.. semua santri yang ngilmu di hutan jati mendengar perintah yang sama.
Di Kepala kami terngiang-ngiang perintah untuk masuk ke dalam nyala api itu,” jelas Sodar.
“Ngilmu? Hutan Jati?? Bagaimana bisa?” Ahmad Bingung.
“Fadil! Kitab yang kami rebut dari Fadil, pusaka, dan berbagai benda yang kami rebut dari dia mengarahkan kami ke sana..” tangis Sodar.
Rizal dan Ahmad seolah tidak percaya. Perundungan yang mereka lakukan pada sosok Fadil ternyata adalah sebuah jebakan.
Sesuai kecurigaan Rizal, selama ini Fadil memang sengaja memancing amarah kakak kelas agar mereka merebut benda-benda yang dimiliki Fadil. Mereka tidak menyangka bahwa benda-benda itu adalah pancingan untuk santri-santri agar melakukan tindakan musrik.
“Dia benar-benar setan…” ucap Rizal menoleh ke arah Fadil.
Ahmad dan Fadil menyaksikan wajah Fadil yang sudah sangat berbeda. Bukan wajah polos santri seangkatanya yang mudah untuk dikerjai. Atau mungkin, wajah Fadil terlihat saat ini adalah wajah Fadil yang sebenarnya?
Rizal mencari keberadaan Ustad Sobirin untuk menolongnya, namun ternyata keadaanya saat juga tak kalah genting.
Setiap Ustad Sobirin berhasil merukiyah satu santri, sosok lain sudah bersiap merasuki santri itu lagi.
“Ustad, ini mengerikan..” ucap Kang Aang memperhatikan seluruh keadaan pondok saat itu.
Diantara api yang mulai membesar, Kang Aang melihat sosok-sosok tak kasat mata mengerubungi pesantren.
“Tempat ini sudah dikepung..” Jelas Kang Aang.
“Maksud Kang Aang apa?” balas Ustad Sobirin yang mulai tak mampu menahan tetesan keringatnya.
“Pocong-pocong itu melayang mengitari pondok, sementara itu ada makhluk-makhluk yang tubuhnya hitam seperti terbakar tersebar di sekitar kita.
Mereka yang merasuki santri-santri itu,” Jelas Kang Aang.
Kali ini penglihatan ghaib Kang Aang menajam, iapun gentar melihat sosok-sosok yang saat ini berada di sekitarnya.
Di tengah kericuhan itu seorang santri berlari mendekat ke arah Ustad Sobirin.
“Ustad! Masukkan mereka ke kamar!”
Tiba-tiba Fariz berlari menghampiri Ustad Sobirin. Ia terengah-engah sembari membawa tasbih milik Ustad Yahya.
“Fariz!! Bantuin kami!! Tahan teman-teman kang Sodar!” Teriak Rizal yang kewalahan menahan teman kang sodar sementar Ahmad menahan kang sodar sampai terguling-guling di tanah.
Fariz segera menghampiri Rizal dan membantunya, namun ia tetap berusaha teriak ke Ustad Sobirin.
“Kamar kami aman ustad! tidak ada setan yang berani masuk lagi ke dalam! Ustad Yahya sedang merukiyah yang kesurupan di sana,” Fariz berteriak.
Ustad Sobirinpun menoleh ke arah Fadil. Ia melihat wajah kesal Fadil saat mengetahui ucapan Fariz.
Dari situ ia mengambil kesimpulan mungkin saja ucapan Fariz ada benarnya.
Mendengar ucapan Farizpun Kang Aang teringat akan sesuatu di kamar Fariz. Keberadaan makhluk berwujud nenek yang selama ini bertingkah misterius.
“Bangunan ini tidak ada artinya dibanding nyawa santri kita! Semuanya! Tarik paksa semua santri yang kesurupan ke kamar Fariz!!” Perintah Kang Aang.
“Kang! Kamu yakin??” tanya Ustad Sobirin.
Kang Aang hanya menarik nafas sejenak sembari menatap arah asrama, tepatnya arah kamar Fariz.
“Yakin kang, ada sesuatu yang berlawanan dengan niat Fadil di sana,” ucap Kang Aang.
Ustad Sobirin menoleh ke arah kamar itu dan samar-samar ia melihat sosok nenek dengan wajah yang mengerikan berdiri dengan mata yang tegas di sana.
“Bismillahirrahmanirrahim…”
Ustad Sobirin membaca bismilah berharap keputusanya bukanlah perbuatan yang buruk.
“Lanjutkan niatmu Kang! Biar saya yang menghadapi Fadil..”
Kang Aang mengangguk, iapun mengatur seluruh santri yang sadar untuk mengajak seluruh santri yang kesurupan ke dalam kamar Fariz.
Ujang yang mendengar komando dari Kang Aang segera membantu Rizal yang sudah hampir kewalahan.
“Kang Ujang, tahu siapa saja santri yang ikut Ngilmu sama Kang Sodar?” Tanya Rizal.
“Ngilmu? Maksud kamu apa Jal?” Ujang terlihat bingung.
Rizal menjelaskan bahwa santri yang kesurupan adalah santri-santri yang tengan mencari ilmu aneh yang didapat dari benda-benda Fadil.
Kang Ujang terdiam sembari terus membantu Rizal dan Ahmad.
“Sepertinya aku tahu sesuatu, tapi sebaiknya kita bawa mereka ke Ustad Yahya dulu,” balas Ujang.
Kamar asrama yang sebelumnya menjadi tempat tidur yang tenang untuk Rizal dan teman-temanya kini dipenuhi santri-santri yang sedang mengamuk.
Terdengar suara ayat-ayat suci tak berhenti mengalun dari mulut Ridho dan Ustad Yahya.
Benar ucapan Fariz, semua setan yang merasuki santri tidak kembali masuk setelah di rukiyah di kamar ini.
“Jadi benar, sosok nenek itu berniat baik?” Tanya Rizal pada Kang Aang.
Kang Aang menggeleng, “Nggak Tahu Jal, entah karena persaingan wilayah, atau memang maksud baik. Kita tidak bisa menebak niat dari makhluk seperti itu,”
Rizal mengangguk mengerti, sepertinya diantara merekapun tidak ada yang memiliki kemampuan memastikan niat dari sosok nenek yang awalnya menghuni gudang lama itu. Tapi kali ini sosok nenek itu tidak terlihat menyeramkan lagi bagi Rizal.
Ia berdiri di depan kamar dengan menggenggam tongkatnya. Ia menatap fadil dengan kesal.
“Setelah ini kita harus mengirimkan doa untuk nenek itu Kang, mungkin saja ia bisa tenang,” ucap Rizal.
Kang Aang menoleh ke arah nenek itu sejenak dan mengangguk menyetujuinya.
Ujang pergi sebentar ke kamarnya dan membawa sebuah lipatan benda yang sepertinya terbuat dari kulit binatang.
“Ini punya Sodar,” Ujang memberikan lipatan kertas itu pada Rizal.
Rizal membuka lipatan itu dan mendapati sebuah simbol yang terlihat tidak biasa. Di dalamnya terdapat beberapa nama yang sebagian nama itu sama dengan nama santri-santri di pondok ini.
“Apa benar ini?” Tanya Ujang.
“Cuma orangnya langsung yang bisa memastikan,” Jawab Rizal.
Rizalpun membawa benda itu ke arah Sodar yang masih meronta untuk dilepaskan dari ruangan itu. Ia masih menunggu mendapat giliran untuk dirukiyah oleh Ustad Yahya ataupun oleh Ridho.
“Apa ini nama-nama orang-orang yang ‘ngilmu’ di hutan jati?” Tanya Rizal.
Sodar seolah ingin menjawab, namun tiba-tiba raut wajah dan suaranya berubah.
“Bukan urusanmu.. khekehkehke” kali ini suaranya terdengar seperti kakek tua.
Walah begitu Sodar terlihat masih tersiksa, ia seperti ingin mengembalikan kesadaranya lagi.
“Bocah brengsek, sudah ada perjanjian diantara kita. Tubuhmu sudah menjadi bagianku juga,” ucap sosok di dalam tubuh sodar, sepertinya sodar juga melawan.
“Lawan terus kang sodar, kami tidak akan membiarkan setan itu menang,” balas Rizal.
Rizal membacakan ayat kursi di hadapan Kang Sodar. Ujangpun ikut membantunya sembari menahan tubuh Sodar. Perlahan tenaga sodarpun melemah ia benar-benar berusaha mendapatkan kesadaranya kembali.
“Bawa nama-nama itu kepada Ustad Yahya,” Sodar mulai tersadar.
“Kami memberikan potongan kuku dan rambut kami untuk diterima berlatih di sana. Yang kami terima bukan kesaktian, melainkan jin yang menyatu dengan tubuh kami.”
Di kalangan beberapa santri memang sedang trend mengenai ilmu kanuragan ataupun ilmu kesaktian lainya yang bisa membuat mereka menjadi terpandang.
Kisah mengenai santri pengembara dan menjaga diri dari perlakuan senior yang berniat tidak baik menjadi motivasi mereka mencari ilmu dengan cara instan.
“Ustad…”
Rizal mencoba mencari celah dalam ritual rukiyah Ustad Yahya dan menyerahkan benda bertuliskan nama-nama itu.
“Astagfirullahaladzim…”
Ustad Yahya kaget melihat benda itu berada di hadapanya. Ia memandang beberapa nama di sana, dan hampir semua santri yang kesurupan namanya tertulis di lipatan kulit hewan itu.
“Ridho , Aang tahan mereka sebentar!”
Ustad Yahya meninggalkan ruangan itu sebentar. Pintu kamar dikunci saat kepergian Ustad Yahya.
“Sodar, kamu sadar dengan apa yang kamu perbuat?” Ridho menghampiri Sodar yang tanganya kini diikat di tiang kamar oleh Ujang.
“Aku salah Dho! Aku salah… aku nggak tahu harus berbuat apa , aku nggak mau mati,” Sodar kali ini benar-benar menyesali perbuatanya.
“Kalau dia mati! Tubuh ini menjadi milikku khekheke…” mendadak kesadaran Sodar kembali diambil alih, tapi Ridho tidak gentar.
Ia memegang kepala Sodar dan membaca doa-doa yang ia pelajari dari Ustad Yahya. Berbeda dengan sebelumnya, kini Ridho lebih tenang. Ia lebih bisa menggunakan Kharomah miliknya untuk merukiyah teman-temanya.
“Ikatkan akar dan batang daun lontar ini di tangan santri yang namanya terdapat di benda itu, ikatkan pada mereka baik yang kesurupan maupun yang tidak. Kumpulkan mereka di tengah kamar,” Perintah Ustad Yahya saat kembali masuk ke dalam kamar.
Kali ini Ustad Yahya benar-benar mengerti dengan apa yang harus ia perbuat. Santri yang lainya mengikuti perintah Ustad Yahya dengan mengikatkan benda-benda itu.
Tiba-tiba teriakkan perlawanan terdengar diantara mereka, namun Ustad Yahya sudah bersiap akan itu semua.
Ia memerintahkan seluruh santri untuk membuat lingkaran mengelilingi mereka dan membacakan ayat-ayat suci dibawah pimpinan Ustad Yahya.
“Ikatan itu tidak mungkin sirna dalam waktu cepat, tapi saya yakin mereka masih bisa dibersihkan,” jelas Ustad Yahya pada Ridho.
Ridho seperti mengambil pelajaran dari perbuatan Ustad Yahya.
Belum ada setengah jam, santri-santri yang sebelumnya kesurupan mulai terkulai lemas dan kehilangan kesadaran. Merekapun menarik nafas lega.
“Ustad, kami ijin keluar. Kami khawatir dengan Ustad Sobirin,” Rizal, Ahmad, dan Fariz memberanikan diri untuk meminta ijin Pada Ustad Yahya.
“Kalian yakin?” tanya Ustad Yahya.
“Iya Ustad, sepertinya kami yang paling mengerti tentang permasalahan Fadil saat ini,” balas Rizal.
Ustad Yahyapun mengangguk mengerti dengan keputusan mereka bertiga.
“Sebaiknya Ustad Yahya juga ikut, mereka tidak akan cukup menghadapi masalah ini..”
Tiba-tiba Ridho menghentikan kajianya dan berkata pata Ustad Yahya.
“Mereka masih belum pulih, seandainya mereka kumat lagi semua akan sia-sia,” balas Ustad Yahya.
“Saya akan memimpin semua santri melanjutkan ini, Saya merasa yakin mereka tidak akan kumat lagi,” jelas Ridho.
“Saya akan mendampingi Ridho, sebaiknya Ustad membantu Ustad Sobirin. Perasaan saya tidak enak,” tambah Kang Aang.
Rizalpun menatap Ustad Yahya, matanya seolah mengatakan bahwa keadaan akan lebih baik bila Ustad Yahya ikut dengan mereka.
“Baik, Saya titip mereka… Assalamualaikum,” pamit Ustad Yahya.
“Walaikumsalam…”

Tepat saat pintu kamar terbuka cahaya terang terlihat dari hadapan mereka. Bukan cahaya matahari, melainkan suara dapur pesantren yang sudah terbakar separuhnya oleh api.
Beruntung bangunan itu terpisah dengan bangunan lainya, sehingga api itu belum menjalar ke bangunan lainya. Tapi bila ini terus berlanjut, dapat dipastikan seluruh pondok pesantren akan dilahap kobaran api.
Sayangnya, bukan itu saja yang membuat mereka tercengang. Di luar mereka menemukan Ustad Sobirin berdiri dengan terus membaca doa dengan tasbih di genggamanya. Sebagian tubuhnya sudah berlumuran darah.
Mereka mencari tahu bagaimana Ustad Sobirin bisa terluka seperti itu, dan mereka menemukan sosok Fadil sudah didampingi dua orang warga desa dengan wajah yang juga kesetanan.
“Tidak hanya nama-nama santri yang tertulis di lipatan itu, masih ada orang lain yang terjebak olehnya,” Jelas Ustad Yahya.
Merekapun segera menghampiri Ustad Sobirin. Dibanding raut wajah takut atau marah, Ustad Sobirin lebih terlihat kebingungan.
“Sudah Ustad, kita tangkap paksa Fadil dan kita amankan dulu,” ucap Ustad Yahya.
Sebelum Ustad Yahya menghampiri Fadil tiba-tiba Ustad Sobirin meraih tangan Ustad Yahya dan menggenggamnya dengan keras. Ia menahanya untuk melangkah lebih jauh.
“Ke—kenapa ustad?” Tanya Ustad Yahya bingung.
Rizalpun menyadari keanehan yang terlihat pada Fadil.
“Ustad Yahya! Lihat yang dipegang Fadil!” Teriak Rizal.
“Pisau?” Fariz memperjelas.
Fadil tertawa dan meletakkan ujung pisau itu tepat di lehernya.
“Melangkah lebih jauh, dan pisau ini akan membelah leher ini,” Ancam Fadil sembari tertawa puas.
Rupanya sedari tadi Ustad Sobirin tidak dapat berbuat banyak karena ancaman Fadil.
Jelas saja jika Fadil mati di tempat ini akan menjadi masalah besar tidak hanya untuk Ustad Sobirin, tapi juga seluruh pesantren.
Ustad Yahyapun menjadi gentar, ia bingung dengan apa yang harus mereka lakukan.
Sementara itu tiba-tiba ada batu yang melayang dan mendarat tepat di tubuh Ustad Sobirin. Lemparan batu itu tidak berhenti dan terus menyerang ke Ustad Yahya juga.
“Ini hukuman yang kalian berikan untuk pendosa kan? Dirajam sampai mati!” Tawa Fadil.
“Su—sudah! Hentikan!!” Teriak Rizal.
Ternyata darah dari tubuh Ustad Sobirin diakibatkan oleh lemparan batu Fadil dan pengikutnya. Ustad Yahya yang berusaha melindungi Rizal dan yang lain juga tak luput dari lemparan itu.
“Kalau kalian beranjak sedikit saja tubuh ini akan terbaring tanpa nyawa dengan darah yang membanjiri tanah ini,” Ancam Fadil sekali lagi.
Mereka hampir putus asa dengan keadaan itu. tapi tidak dengan Rizal, ia berusaha berpikir keras untuk mengakhiri situasi ini.
Rizal dengan berani berhati-hati maju ke arah Fadil sembari menghindari lemparan batu mereka.
“Rizal jangan nekad!” Perintah Ustad Sobirin.
“Nggak Ustad! Keadaanya sudah berbeda. Sekarang Ustad Sobirin tidak sendirian,” ucap Rizal.
“Bukan masalah jumlah! lebih rumit dari itu!” teriak Ustad Yahya.
Rizal mencoba menyampaikan apa yang ada dipikiranya.
“Kita Ikhlaskan Fadil!” ucap Rizal.
“Nggak semudah itu Rizal…” bantah Fariz.
“Tidak seperti tadi, bila terjadi apa-apa dengan Fadil, Ustad Sobirin akan menanggung semuanya. Tapi sekarang kita bisa menjadi saksi untuk melindunginya,” Jelas Rizal.
Fariz mulai mengerti maksud Rizal.
“Benar Ustad, seandainya Fadil gugurpun kami bisa menjadi saksi untuk membuktikan apa yang terjadi sebenarnya. Kami bisa menjelaskan kalau apa yang terjadi adalah pertimbangan terbaik,” Tambah Fariz.
Ustad Yahya mulai mengerti maksud Rizal. Iapun menatap Ustad Sobirin meminta keputusanya.
Butuh waktu sesaat untuk Ustad Sobirin menentukan keputusanya. Pada akhirnya iapun menghela nafas seolah merelakan harapanya akan kemungkinan terbaik.
“Baik, itu adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan saat ini. saya akan menanggung resikonya,” balas Ustad Sobirin.
Ustad Yahya menepuk punggung Ustad Sobirin dan memberinya semangat. “Warga desa itu biar saya dan Rizal yang menahanya.”
Mendengar perkataan itu Ustad Yahya, Rizal dan kedua temanya berlari menahan warga yang berada dalam pengaruh Fadil. Kini tinggal Fadil dan Ustad Sobirin yang berhadapan.
Keputusan itu membuat Fadil terlihat panik. Ia menggoreskan pisau itu di lehernya hingga darah mengucur namun Ustad Sobirin tidak gentar.
“Subhanallah, Subhanallah walhamdulillah walailaha illallah wallahu akbar …”
Butir demi butir tasbih bergeser dari jari-jarinya. Ia bersiap membacakan doa untuk menghentikan Fadil dari semua perbuatanya.
Kali ini wajah Fadil terlihat gentar.
“Bener kamu Jal, ternyata dia nggak akan berani bunuh diri. Kalau kehilangan tubuh Fadil , belum tentu dia akan mendapat tubuh lagi dengan mudah..” ucap Fariz.
Fadil menoleh ke arah Fariz, reaksinya seolah menyatakan bahwa ucapanya benar. Sementara saat ini Fadil sudah mulai merasa gelisah dengan doa-doa yang dibacakan oleh Ustad Sobirin. Tapi bukanya menyerah, Fadil malah tertawa.

“Kau yang memaksaku…”
Saat itu Fadly mengamuk, ia menyerang Ustad Sobirin dan mencekiknya. Ustad Sobirin yang tengah terlukapun kewalahan. Ia masih terus berusaha membaca doa untuk melemahkan Fadil.
Berbagai pukulan mendarat di tubuh Ustad Sobirin. Ia ingin membalas, tapi kali ini ia kembali ragu. Bagaimana mungkin seorang ustad menganiaya santrinya sendiri.
Ustad Sobirin hanya bertahan sembari terus membaca doanya.
Sayangnya, Ustad Sobirin tak mampu untuk terus bertahan.
Fadilpun mengambil pisaunya kembali, dan sekarang ia berusaha untuk membunuh Ustad Sobirin.
“Fadil Jangan!!” Teriak Rizal.
Tentu saja Fadil mengacuhkan teriakan itu. Sejak awal memang dia bukanlah Fadil.
Tidak mungkin ia mau mendengar ucapan mereka.
Belum sempat pisau itu mendarat ke tubuh Ustad Sobirin tiba-tiba sebuah batu besar terbang melayang ke lengan Fadil dan menghempaskanya.
Saat itu semua orang terpaku pada sosok yang melemparkan batu itu.
“Kalau kau terlalu takut mengotori tanganmu, biar aku saja!” terdengar suara seseorang yang masuk ke dalam pesantren.
Ia membawa beberapa orang yang segera berlari untuk memadamkan api di dapur umum.
“Mamat! Apa yang kau lakukan di sini!” Teriak Ustad Yahya, tapi Mamat tidak menghiraukan ucapan Ustad Yahya.
Ia segera berlari menarik baju Fadil dan menghajarnya habis-habisan.
“I—itu Mamat? Preman Pasar?” Tanya Ahmad.
“I—iya,” Rizal mengangguk bingung dengan apa yang terjadi di hadapanya.
Fadil tidak diam, ia mulai membacakan mantra mantra mengerikan dari mulutnya yang membuat Mamat mulai linglung. Mamat masih terus berusaha bertahan dan terus berusaha menghajar Fadil.
“Pergi Mamat! Jangan campuri urusan pesantren ini! kedatanganmu akan membawa lebih banyak masalah!” Teriak Ustad Yahya.
Ustar sobirinpun berusaha untuk berjalan dan menahan Ustad Yahya.
Ustad Yahyapun bingung dengan perbuatan Ustad Sobirin.
“Hentikan Mamat! Kalau dia mati hukumanmu tidak akan ringan!” Teriak Ustad Sobirin.
Mamat tidak peduli, ia masih terus menghajar Fadil. Tapi ada satu hal yang membuat Ustad Yahya, Rizal dan yang lain kaget.
Saat Fadil kembali membacakan mantranya, Mamat juga membaca sebuah doa. Doa yang sebelumnya dibacakan oleh Ustad Sobirin.
Mamat melanjutkan doa itu dengan fasih dan membuat Fadil benar-benar merasa kesakitan.
“Aku tidak peduli walaupun harus mendekam di tahanan lagi,” Ucap Mamat.
“Tidak mungkin aku akan diam bila ada yang berani mencari masalah dengan pondok!”
Mamat melempar Fadil yang hampir tak berdaya ke tanah.
Ia membacakan doa-doa untuk merukiyah Fadil, persis seperti yang Ustad Sobirin lakukan di hutan jati saat pertama kali memergoki Fadil.
“Kenapa? Kenapa Mamat bisa sepeduli itu dengan pesantren ini , ustad?” Tanya Rizal pada Ustad Yahya.
Ustad Yahya menggeleng, iapun tidak menyangka doa-doa Mamat didengarkan oleh Yang Maha Kuasa dan mampu menahan Fadil.
“Brengsek!! Manusia brengsek!!!” teriak Fadil kesakitan.
“Mamat, hentikan! Jika sosok di tubuh Fadil pergi anak itu akan mati!” Tahan Ustad Sobirin.
Mamat tidak berhenti, Ustad Sobirin ragu, tapi ia berniat menghentikan Mamat tapi ada seseorang yang mendekat.

“Sudah Ustad, sa—saya ikhlas..” suara seorang Ibu terdengar dari belakang mereka.
Ustad Sobirin menoleh ke belakang dan menemukan anak buah Mamat menghantarkan kedua orang tua Fadil. Ustad Sobirinpun kaget dibuatnya.
“Maafkan saya Ustad, saya sudah melakukan perbuatan yang dikutuk Allah,” Ibu Fadil tersungkur dihadapan Ustad Sobirin.
Fadil yang melihat kedua orangtuanya berusaha mencari celah untuk menyelamatkan diri.
“Buu, Ibuuu !!! Tolong Fadil Bu! Tolong! Sakitt!!” Teriak Fadil berusaha menjulurkan tanganya pada ibunya.
Ibu Fadil yang melihat anaknya kesakitan itu tergetar hatinya. Ia ingin sekali menyelamatkan anaknya, tapi kali ini tekadnya sudah bulat. Terlebih ia melihat kondisi pesantren akibat perbuatan anaknya itu.
“Alhamdullilah, tapi bagaimana bisa? Kenapa tiba-tiba kalian bisa mengikhlaskan ini?”
Ayah dan ibu Fadil belum ingin menjawab Ustad Sobirin. Sebaliknya ia menatap dengan anaknya yang tengah dirukiyah oleh Mamat.
Kini Mamat jungga menggenggam sebuah tasbih. Tasbih yang sama persis dengan milik Ustad Sobirin. Ustad Yahya berusaha mencerna semua kejadian ini, namun ia tidak dapat memahaminya.
Dari Jauh Ustad Sobirin juga menggenggam tasbihnya dan membaca doa-doa yang sama dengan Mamat. Doa itu mengalun bersama dengan merdu seolah mereka sudah mengulanginya ratusan kali bersama.

Di hadapanya ada seorang santri yang meronta kesakitan.”Ampun! Sudah hentikan..”
Butir-butri tasbih berganti bersamaan dengan butir-butir air mata orang tua Fadil yang tak kuat melihat apa yang terjadi pada anaknya. Tapi mereka berusaha menyaksikan sampai akhir bagaimana Mamat dan Ustad Sobirin berusaha mengakhiri dosa yang mereka mulai.
Cahaya matahari mengusir tabir embun yang menutupi pesonanya. Di bawah sinarnya, seorang santri telah kehilangan nafas dan degup jantungnya.
Kali ini kedua orang tuanya ada di sisinya mendampingi jasadnya yang kini tidak lagi dikuasai oleh makhluk yang dilaknat Allah.
“Kang Mamat yang nyamperin kedua orang tua Fadil, Ustad,” bisik salah seorang anak buah Mamat.
Ustad Sobirin memasang telinga mendengarkan penjelasan orang itu.
Mamat mengetahui Fadil adalah akar permasalahan di pesantren ini saat ia berbicara dengan orang tua Hanifah.
Kepergianya dari pesantren bukan semata-mata karena trauma, melainkan karena keberadaan Fadil yang mengincar Janinnya.
Tak cukup dengan tumbal yang diberikan ibunya. Fadil merayu hanifah, ia mengajaknya bergabung dengan perkumpulan di alas jati. Di situlah Hanifah dijebak.
Keberadaan hanifah disana disambut baik. Dengan mantra dari Fadil, Hanifah merayu semua yang ada di hutan jati dengan tarian hingga semua mereka kehilangan akal sehatnya. Merekapun menikmati tubuh Hanifah dan memperkosanya di tengah hutan.
Hanifah yang berada dalam pengaruh mantra Fadilpun menikmati perlakuan mereka hingga akhirnya iapun hamil.
Bukan untuk dilahirkan, Fadil membuat hanifah terus mengikuti ritual itu hingga akhirnya Hanifah keguguran. Tepat saat janin itu keluar, iapun terlepas dari mantra Fadil.
Hanifah yang masih mengingat semua apa yang terjadi pada dirinyapun mulai kehilangan akal sehatnya. Ia hanya bisa menangis sambil terus menari di hutan jati itu hingga Rizal menemukanya.
“Saat hanifah sadar ia menceritakan semuanya, Mamatpun mulai memperhatikan Fadil,” jelas anak buah Mamat.
Mamat sempat beberapa kali ke pondok mengingatkan Ustad. Namun ustad masih berusaha mencoba melindungi Fadil dan mencoba menangani masalah ini sendiri.
Akhirnya Mamatpun berusaha untuk menghampiri orang tua Fadil.
Saat itu kedatangan Mamat ditolak mentah-mentah, bahkan ia sampai diusir oleh kepala desa karena tampilanya yang seperti preman. Tapi Mamat tidak menyerah.
Mamat menjelaskan bahwa Fadil sudah tidak ada, ada sosok lain yang menghuni tubuh Fadil. Saat itu ayah Fadil terlihat kaget, ia tidak terima dengan ucapan Mamat. Tapi Mamat bisa membaca gelagat dari Ibu Fadil.

Ibu Fadil mengetahui semua ini..
Berkali-kali Mamat memohon agar mereka menghentikan perbuatanya. Namun mereka tidak mengaku dan beberapa kali Mamat berkelahi dengan keamanan desa. tapi Mamat tidak menyerah.
Ia menjelaskan pada orang tuanya tentang keadaan Fadil.
Menjelaskan dosa-dosa mereka, dan menjelaskan penderitaan Fadil yang sebenarnya bila mereka tetap bersikukuh.
“Bayangkan perasaan Fadil saat mengetahui Ibunya menimbun dosa demi dirinya,”
Ucapan itu sedikit mengetuk perasaan Ibu Fadil.
Iapun akhirnya jujur dan menceritakan pada keluarganya.
Malam saat mengantar Fadil ke pesantren mereka mengalami kecelakaan. Ibu Fadil sadar bahwa Fadil sudah tidak bernafas. Tapi ia masih tidak mau menerima kenyataan itu.
Rasa sedihnya membuatnya tidak bisa berfikir dengan akal sehat. Iapun bertemu dengan seorang kakek yang mengaku bisa menolong Fadil.
Kakek itu adalah seorang dukun ilmu hitam. Ia memberi syarat kepada ibu itu agar Fadil bisa selamat.
Syaratnya, setiap waktu-waktu yang ditentukan lewat perjanjian, sang ibu harus menguburkan Janin yang umurnya tidak lebih dari lima bulan di tempat yang ditentukan.
Ia harus menancapkan pasak hitam di tanah itu sebagai pertanda untuk Fadil.
Lewat tengah malam Fadil akan mendatangi tempat itu dan memakan janin itu. Hanya dengan cara itulah Fadil bisa terus hidup.
Ibu Fadil yang belum siap kehilangan anaknyapun menyetujui persyaratan itu.
iapun selalu mencari cara untuk mendapatkan Janin-janin itu dari berbagai tempat.
Klinik aborsi, mendekati perempuan yang hamil di luar nikah, dan membelinya dari dukun beranak..
Lambat laun Ibu Fadil semakin merasa bersalah.
Bahkan iapun semakin takut untuk menemui anaknya itu di pesantren
Sayangnya, Kenyataan itu tidak membuat mereka siap untuk kehilangan Fadil. Mereka masih terus memberikan tumbal janin tanpa sepengetahuan Mamat.
Ustad Sobirin memang pernah diperingati Mamat. Tapi informasi yang diberikan oleh Mamat sudah diketahui olehnya, iapun meminta Mamat untuk tidak bertindak seenaknya.
“Semalam teh saya melihat kepergian Ustad Sobirin ke hutan jati. Saat itu saya langsung menghubungi Kang Mamat.
Akhirnya Kang Mamat menelepon orang tua Fadil dan menghadangnya setelah menanamkan Janin itu,” Jelas anak buah mamat.
Dengan penjelasan anak buah Mamat semua semakin jelas.
“Saya bahkan tidak berpikir untuk berbuat sejauh itu,” ucap Ustad Yahya.
“Saya juga tidak menyangka, ia terus menjaga pesantren ini dari jauh,” Balas Ustad Sobirin.
Api di dapur umum sudah mulai padam, lebih dari setengah bangunan terbakar. Tapi mereka yakin bisa membangunya lagi setelah ini.
Anehnya, Mamat masih terus waspada. Seolah yang ia incar bukan mengenai masalah Fadil.

***
“Keluar kau setan busuk! Aku tahu kau ada di sini! Hadapi aku!” Teriak Mamat entah pada siapa.
Pagi itu hening, namun Mamat tetap terlihat waspada.
Mamat memberi isyarat pada anak buahnya. Mereka membawa bungkusan kain dan melemparkan isinya di tanah.
Bermacam-macam benda berserakan di tanah.
Jimat kuningan, kain kafan bertuliskan rajah, tanah kuburan, bagian tubuh hewan, benda-benda itu sudah pasti membawa merupakan ilmu hitam.
Rupanya selama ini Mamat menemukan benda itu di sekitar pesantren. Ia memberi tahu itu pada Ustad Sobirin dan melarangnya untuk memberitahu siapapun. Ia khawatir ada orang dalam pesantren yang bersekongkol.
“Ini kan hasil perbuatanmu? Ibu Fadil sudah memberitahukan persembunyianmu! Jika tidak keluar akan kubakar dan kuhabisi sendiri kau di sana!” Ancam Mamat.
Benar saja, dengan ancaman itu tiba-tiba salah satu pintu ruangan pesantren terbuka.
Seorang kakek berjalan bertelanjang kaki keluar dari sana.
Seorang kakek berjanggut dengan baju hitamnya tertawa mendekat ke arah Mamat.
“I—itu! Itu orangnya.. dia yang menghidupkan Fadil” Teriak Ibu Fadil.
Akhirnya Ustad Sobirinpun mengerti. Iapun mendekat dan berdiri di samping Mamat.
“Sudah Kang, biar Mamat yang ngeberesin,” Ucap Mamat.
Baru saja menghentikan ucapanya, tiba-tiba Mamat terjatuh dan memuntahkan darah hitam.
Tapi Ustad Sobirin tidak diam, ia segera membacakan doa sembari menahan punggung Mamat.
“Bismillaahilladzhii laa yadhurru maa ismihi shai-un fil ardhi wa laa fissamaa-i wa huwassamii'ul 'alim..”
Mamat kembali mendapatkan kesadaranya dan segera berdiri.
“Aku tidak akan punya wajah menemui abah bila membiarkanmu celaka bertarung sendirian,” ucap Ustad Sobirin.
Ucapan Ustad Sobirin itu seolah memperjelas sesuatu.
“Apa itu artinya Kang Mamat itu adiknya Ustad Sobirin?” Tanya Rizal.
Ustad Yahya menarik nafas dan sedikit tersenyum, “Sepertinya begitu, saya juga tidak menyangka bahwa orang sepreman Mamat adalah anak Kyai.”
“Jangan menilai orang dari luarnya Ustad Yahya, Kang Mamat itu nggak pernah melalaikan ibadahnya. Kami tahu kok,” ucap Ahmad sedikit sok tahu.
Ustad Yahyapun hanya tersenyum sembari mengelus kepala Ahmad. Iapun meminta jangan ada yang mendekat ke pertarungan mereka.
Ustad Yahya meminta semua orang berlindung di belakangnya sembari membaca doa. Ilmu Santet dukun itu bisa saja membahayakan mereka semua.
Ustad Sobirin menangkal semua santet yang telah dipasang oleh dukun itu. Ia tahu berbagai sosok tengah membantu dukun untuk menyerang Mamat.
Dengan bantuan Ustad Sobirin, Mamat dengan leluasa menghajar dukun itu. Dukun itu bisa memberikan perlawanan, namun tetap tidak sebanding dengan ilmu bela diri Mamat.
Pagi itu mereka melihat sesuatu yang sangat tidak biasa.
Nyala api tiba-tiba jatuh dari langit mencoba menyerang Mamat, tapi mendadak meledak dengan saat Ustad Sobirin menghalanginya.
Saat mamat akan mengakhiri dukun itu, tiba-tiba muncul seorang santri yang mendekat. Ia keluar dari ruangan yang sama dengan dukun itu.
“I—Imam? Kang Imam?” Fariz mengenali Santri itu.
Ia berjalan dengan tatapan yang aneh dan mendekat ke arah Mamat. Saat mendekat sebuah pisau ditikam olehnya ke tubuh Mamat.
“Imam! Kau sudah gila?!” teriak Ustad Yahya.
Imampun jatuh terduduk setelah menusukkan pisau itu ke tubuh Mamat.
“Hahaha… kau sudah menebak ada yang bersekongkol denganku, tapi tetap saja kau tidak bisa mencegahnya kan?” ledek dukun itu.
Rizal, Fariz dan teman-temanya segera mengejar Imam dan menahanya.
Imam terlihat ketakutan, sepertinya ia melakukan itu dengan sebuah ancaman.
“Ma—maaf!” ucap Imam.
Dukun itu tertawa keras, namun seketika tawa itu terhenti dengan pukulan hampir yang menghancurkan rahangnya.
Pisau yang ditusukkan imam terjatuh, entah mengapa pisau itu tidak menggores tubuh Mamat sama sekali.
“Aku pernah ingat bahwa Kyai kita pernah mengusir seorang santri karena melakukan sebuah lelaku. Sebuah ilmu yang menyimpang dari ajaran kita.. tapi aku tidak pernah menyangka bahwa yang ia usir adalah anaknya sendiri,” Ucap Ustad Yahya.
Dukun itu kaget tidak ada satupun benda tajam yang mampu melukai tubuh Mamat. Iapun mulai gentar ketika semua rencananya gagal.

“Kau!! Kau tidak lebih suci dariku! Kau pengguna ilmu yang lebih hitam dariku!! Kau pendosa!!” ucap dukun itu.
Mamat tidak peduli, ia kembali memukul dukun itu hingga terkapar.

“Dosaku akan kupertanggungjawabkan dengan Allah! Bukan denganmu!”

Mamat sudah siap menangkap dukun itu. ia menarik tubuhnya dan meminta anak buahnya untuk mengikatnya.
Tapi, dukun itu tidak berniat mengakhirinya secepat itu.

Ia mengambil pisau dari kantungnya dan berlari bersiap menusuk ustar sobirin. Mamat yang sadar akan itu mengejarnya dan menangkap pisaunya. Namun tiba-tiba darah mengalir diantara mereka berdua.
“Bukanya tadi katanya Kang Mamat tidak bisa terluka oleh benda tajam?” Ahmad bingung.
Tapi ternyata darah itu bukan berasal dari tubuh Mamat. Pisau itu menancap di tubuh dukun itu di genggaman Mamat.
“Aku tidak sudi membiarkanmu mendapatkan pengampunan.. dosamu bertambah lagi, dan aku akan tertawa melihatmu menikmati jeruji penjara,”
Dukun itu terus tertawa hingga nafasnya menghilang. Darah merah terus mengalir membasahi tubuh Mamat menambah lagi satu nyawa yang mati di tanganya.

***
Kematian Fadil dan dukun itu menjadi catatan kriminal Mamat dan membuatnya dipenjara. Semua orang di kejadian sudah bersaksi menceritakan hal yang sebenarnya, namun tidak merubah keputusan apapun.
“Ustad, ini nggak adil. Kang Mamat kan nolongin kita kenapa dia malah dipenjara,” Tanya Rizal pada Ustad Sobirin.
Ustad Sobirin mengelus kepala Rizal yang tengah melamun di pendopo bersamanya.
“Jangan khawatir, Tuhan itu Maha Adil. Ingat , hukum Allah itu lebih adil dari hukum manusia,” ucap Ustad Sobirin.
Ridho berjalan mendekati mereka berdua dengan sedikit ragu.
“Kenapa Ridho? Sini gabung. Ada kacang rebus nih,” Ajak Ustad Sobirin.
Ridhopun bergabung ke pendopo sembari menyaksikan santri-santri lain asik bermain bulu tangkis di lapangan.
“Ini ustad..”
Ridho menyerahkan lipatan benda yang terbuat dari kulit hewan. Di benda itulah terdapat nama-nama santri yang terjebak dalam ritual dukun itu.
“Ada apa dengan ini Dho?” Tanya Ustad Sobirin.
“Jafar Ahmadi… nama itu ada di situ Ustad,” ucap Ridho.
Rizal tidak mengerti, namun ia ikut memastikan bahwa nama itu memang ada di sana.
“Maksudmu apa Ridho?” tanya Ustad Sobirin lagi.
“Ustad, kalau su’udzon kan dosa ya? Tapi nama itu sama dengan nama polisi yang memimpin penyidikan kasus Kang Mamat,” Ridho menjawab dengan sangat hati-hati.
Mendengar ucapan itu raut wajah Ustad Sobirin berubah.
“Berarti, Polisi yang ngurusin Kang Mamat itu anak buah dukun itu?” tanya Rizal.
Sontak sebuah pukulan peci mendarat di kelapa Rizal.
“Dibilang jangan su’udzon,” ucap Ridho menepuk kepala Rizal.
“Yee Kang Ridho, kan maksud Kang Ridho emang itu kan?” Rizal memperjelas.
“Sudah-sudah, terima kasih Ridho biar nanti kita cari tahu ya..”
Informasi dari Ridho membuat Ustad Sobirin menemui babak baru untuk mencari keadilan untuk Mamat.
Tepat setelah satu bulan setelah tragedi di pesantren, Mamatpun meninggalkan Lapas dan kembali menghirup udara segar. Semua tuduhan atas kasusnyapun dibatalkan.
Di luar lapas Ustad Sobirin, Ustad Yahya, Rizal dan teman-temanya menyambut keluarnya Mamat dari lapas.
“Bagaimana bisa?” Tanya Mamat pada Ustad Sobirin kakaknya.
“Kau sudah melindungi pesantren, kini gantian kami yang melindungimu,” balas Ustad Sobirin.
Iapun menceritakan bahwa beberapa polisi yang terlibat di kasusnya merupakan anak buah dukun itu.
Hal itu membuat penyidikan tidak objektif. Selain itu beberapa bantuan dari luar juga sangat berpengaruh besar.

“Ada warga desa yang bertanya kang, preman yang rajin sholat subuh itu kemana?” Ucap Rizal.

Mamat mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Rizal.
“Dia khawatir, karna kang Mamat nggak pernah bolos sholat subuh sebelumnya. akhirnya kita ceritain deh semuanya… ternyata beliau adalah pengacara,” Tambah Fariz.
“Bantuan dari beliau, dan dukungan dari pesantren-pesantren lain membuat kasus ini akhirnya memutuskan hal yang adil,” sambung Ustad Yahya.

Mamatpun sedikit tersenyum. Kali ini senyumnya berbeda, bukan senyum seorang preman yang senang menerima jatahnya.
Tapi senyum tenang seseorang yang merasa masih bisa berguna untuk ‘rumah’ yang disayanginya.
“Kamu punya tempat di pesantren,” ucap Ustad Sobirin.
“Saya sudah diusir dari sana, Kang,” balas Mamat singkat.
“Kalau begitu saya mengundang lagi,” Ustad Sobirin tidak menyerah. Mungkin bisa saja keberadaan Mamat di pesantren bisa membantunya menebus dosanya di masa lalu.
Tapi Mamat menggeleng, ia punya pemikiranya sendiri.
“Selama pesantrenmu masih menerima uang dari santri, saya tidak akan kembali ke sana..” Ucap Mamat.
“Itu bukan bayaran, itu keikhlasan. Sejak dulu kita tidak pernah menentukan bayaran. Tanpa itupun mereka juga tidak dibedakan dengan santri yang lain,” balas Ustad Sobirin.
Walau berdebat ucapan mereka terdengar santai. Rizal dan yang lainpun mendengarkanya sembari tersenyum membayangkan seorang preman pasar tiba-tiba tinggal di pesantren.
“Tahu dari mana mereka ikhlas? Bisa jadi mereka memaksakan membayar dengan jumlah tertentu agar tidak merasa malu, padahal belum tentu mereka mampu” balas Mamat lagi.
Kali ini Ustad Sobirin yang berpikir. Ucapan Mamat terkadang ada benarnya.
“Saat pesantren bisa kembali seperti dulu, dimana kita beternak, bertani dan hasilnya membiayai semua santri hingga kita bisa menghidupkan desa , saat itu aku sendiri yang akan memohon untuk kembali ke pondok.”
Mamatpun mengangkat tasnya dan berpamitan dengan mereka. Keberadaan Mamat menyadarkan mereka bahwa seseorang mungkin bisa melakukan kesalahan. Tapi terkadang penyesalan atas kesalahan itu menjadi pemacu untuk seseorang hidup dengan lebih baik.

***
Sebuah perjalanan menghantarkan Ustad Sobirin, Rizal dan yang lain menuju sebuah rumah. Ini sudah kesekian kalinya mereka mampir ke rumah itu.
Ada sebuah rumah di pedesaan yang padat penduduk. Cukup besar diantara rumah rumah sekitarnya. Sayangnya rumah ini hanya dihuni oleh dua orang.
“Eh Ustad, Rizal? Ayo masuk…” sambut seorang ibu yang kaget dengan kedatangan mereka.
Ada sebuah foto di dinding rumah itu. foto seorang anak yang mereka kira kenal cukup lama. Itu adalah foto Fadil.
Setelah kepergian Fadil, Rizal dan yang lainya rutin berkunjung ke rumah orang tua Fadil.
Selain karena rasa khawatir, Rizal dan yang lain senang dengan suguhan dan keramahan orang tua Fadil. Apalagi kunjungan itu memberi waktu mereka saat jenuh di pondok.
“Wah pada dateng? Kok mendadak?” sambut ayah Fadil yang sudah berpakaian rapi.
“Wah mau keluar ya pakde? Kita habis mampir ke tempat Hanifah tadi, jadi sekalian,” balas Rizal.
“Iya tadi rencananya mau nengok kontraktor dulu, tapi nggak urgent kok. Kapan-kapan saja kesananya,” balas ayah Rizal.
“Kontraktor tuh apa?” Ahmad berbisik pada Rizal.
“Itu singkatan, singkatan dari Kontak Motor..” balas Rizal.
“Oooh..” Ahmad kembali menikmati kudapan yang di sediakan ibu Fadil, sementara Fariz menertawakan keluguan Ahmad.
“Wah, lagi bangun apa pak?” Tanya Ustad Sobirin.
Ayah dan ibu Rizalpun menceritakan, setelah kepergian Fadil mereka merasa kehilangan. Tapi rasa itu terobati saat melihat senyuman anak-anak lain di pesantren. Merekapun terpanggil untuk membangun sebuah panti asuhan yang akan dibantu dikelola oleh salah satu yayasan.
“Mungkin masa pensiun kami akan disibukkan dengan suara anak-anak di sana” ucap Ibu Fadil.
“Alhamdullilah…” Ustad Sobirin tersenyum mendengar keputusan itu.
Ustadpun berjanji akan mengirimkan tenaga santri untuk mengajarkan anak-anak panti asuhan itu mengaji saat panti asuhan itu sudah berdiri.
Saat langit mulai petang, merekapun berpamitan untuk pulang.
Rizal menyempatkan diri menengok makam Fadil yang terletak di belakang rumah itu.
Terkadang Rizal merasa bingung, apakah wajar jika ia kangen dengan keberadaan Fadil. Sementara Fadil yang ia kenal bukanlah Fadil yang sebenarnya.
Tapi satu hal yang ia tahu. Tragedi tentang Fadil ini memberinya banyak pelajaran hidup untuknya.

***
( Tamat )
Terima kasih sudah mengikuti kisah ini hingga akhir. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Sekali lagi apabila ada teman-teman yang sekiranya tahu tentang kejadian atau lokasi yang sudah saya samarkan mohon untuk disimpan sendiri saja.
Seperti biasa, di akhir cerita bila berkenan mohon tinggalkan komen ya.. gantian saya yang baca reply komentar dari kalian.

setelah ini minggu depan saya ijin nggak update dulu. mau nengok kehidupan nyata sebentar dan mulai sedikit olah raga biar fresh.
setelah off ada cerita Danan Cahyo, update Getih puputan, dan menjelang februari ada update Nandar dan Rani dari seri Radio tengah malam.

untuk karyakarsa ada 1 cerita exclusive di @karyakarsa_id danan cahyo, yang 1 chapter tamat.

KHODAM
karyakarsa.com/diosetta69/jsd…
atau ada cerita exclusive untuk donasi bisa mampir juga:

Inang Pusaka Mayit
karyakarsa.com/horrorcommunit…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Dec 19
PERANG TANAH DANYANG
Part 11 - Angkarasaka

Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..

#bacahorror Image
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.

"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.

"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."

"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.

Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.

"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.

"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."

Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.

"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.

"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."

Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.

"Mas Danan! Mas Cahyo!"

Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.

Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.

"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.

"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.

"Tolong, jangan ular!" potong Cahyo cepat.
"Tumben, kamu trauma sama ular?" sindir Danan.
"Bukan, Nan," jawab Cahyo sambil menunduk.
"Terus kenapa?"

"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.

"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.

"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.

Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.

"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.

"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.

Dharrr! Dharrr!

Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.

"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.

Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.

"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."

Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.

"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.

Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.

“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.

Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.

“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”

“Kami mengerti!” Danan seketika memotong penjelasan Abdi Jinten.

“Tidak kalian harus…”

“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”

Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.

“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”

“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.

Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.

Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.

Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.

"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.

"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."

Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.

Deg!

Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.

"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.

"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."

Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Read 16 tweets
Dec 12
PERANG TANAH DANYANG
Part 10 - Tanah Perjanjian

Sosok-sosok danyang misterius mulai bermunculan. Entah kawan atau lawan... Image
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.

“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.

“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”

“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.

Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.

“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”

“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.

Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.

“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”

Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.

Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.

Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.

“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.

“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.

Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.

***
Read 12 tweets
Dec 6
PERANG TANAH DANYANG
Part 9 - Roro Mayit

Dosa itu terjadi antara Dananjaya Sambara, dan sosok Danyang yang bermain-main dengan nyawa...

#bacahorror @IDN_Horor @bagihorror Image
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.

Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...

Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.

Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.

“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.

“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.

“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.

Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.

“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.

Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...

“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.

Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.

“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.

Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.

Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.

Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.

“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”

Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.

“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.

Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.

“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.

“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.

Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.

“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.

“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.

Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.

“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.

“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.

“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.

“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.

Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.

Yang ia tinggalkan hanyalah... rasa bersalah.

***
Read 10 tweets
Nov 28
PERANG TANAH DANYANG
Part 8 - Rayuan Kegelapan

Perang Tanah Para Danyang berakhir dengan tragis. Empat manusia yang berjuang untuk keseimbangan kini tidak lagi bernyawa...

#bacahorror Image
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.

Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.

Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.

“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.

Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.

Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.

“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”

Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.

Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”

Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”

Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.

Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.

Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.

Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.

“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.

***
Read 14 tweets
Nov 21
PERANG TANAH DANYANG
Part 7 - Perang Pertama

Tiga zaman bersatu dalam peperangan makhluk dari alam yang tak kasat mata. Nyawa Manusia adalah amunisisnya..

#bacahorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror Image
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.

"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.

"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.

Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.

"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.

Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.

Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.

Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.

Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."

Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."

Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.

"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.

Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.

Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.

"Tahan, Raksawira!"

Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.

"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.

Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.

Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.

Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.

Srratt!

Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.

Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.

“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.

Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Read 15 tweets
Nov 14
PERANG TANAH DANYANG
Part 6 - Tanah Para Danyang

Awal mula Perang Para Danyang di masa lalu terungkap. Takdir darah sambara terikat di masa itu

#bacahoror Image
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.

Dharrr!!!

Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.

"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.

"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.

"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.

Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.

"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.

Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.

"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.

"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.

"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.

Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.

"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.

“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.

Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.
Read 12 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(