Tatapan jin tersebut membuat Andi kelu, jangankan bergerak atau bicara, bernapas pun seakan sulit. Saat kaki yang hitam dan besar itu melangkah mendekat, saat itu juga tubuh Andi bergetar dengan hebat. Keringat? Tubuhnya seakan-akan tertimpa hujan deras.
"MAKAN!" teriak makhluk tersebut tepat di depan muka Andi yang sudah pucat pasi.
Andi pasrah, tak tahu dan tak bisa melakukan apa-apa saat ini. Indera penciumannya seakan mati karena berdekatan langsung dengan sumbernya, bahkan pandangannya mulai kabur.
"Andi, apa yang kamu ...." Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Bi Nur yang baru saja datang ke rumah, tak sadarkan diri melihat jin di hadapan Andi.
"B-Bi ... Nur?" ucapnya susah payah.
Jin tersebut mengendus tubuh Andi. "BUKAN! BUKAN!" Dia lantas berlalu mengabaikan Andi dan menuju Bi Nur yang tergeletak di lantai dan melakukan hal yang sama seperti tadi, tetapi malah makhluk tersebut ingin muntah setelah mengendus tubuh Bi Nur. "BANGKAI!" geramnya.
Suasana menjadi sunyi, terlalu sunyi hingga membuat Andi penasaran apa yang makhluk itu lakukan sekarang, atau dia sudah pergi?
Andi menutup matanya, lantas membaca doa dalam hati, kemudian dia mencoba menoleh ke arah belakang dan berhasil, tubuhnya berhasil dia kuasai kembali.
"K-kemana ... dia?" ucap Andi mendapati Jin tersebut sudah tak ada di dekat Bi Nur. "Sudah pergi?"
Andi melangkah ke arah kamar ibunya, memastikan makhluk tersebut benar-benar sudah menghilang, dan dia bisa bernapas lega setelah melihat tak ada apa-apa kecuali ibunya.
Setelah merasa semuanya aman, Andi mendekati Bi Nur, dan membangungkannya.
"A-Andi ...?"
"Ya, ini Andi, Bi."
"T-t-tadi, makhluk apa itu tadi?" Rasa takut terpampang jelas di wajahnya.
Andi menghela napas. "Andi juga tidak tahu, Bi, tetapi sepertinya dia dari golongan jin."
"Kenapa semuanya jadi begini? Siapa yang tega melakukan ini kepada Kak Sri?" tanyanya sambil menangis.
"Itu jadi tanda tanya besar buat Andi juga, Bi, karena Andi lahir dan besar selalu bersama Ibu, tak masuk akal jika ada yang membencinya."
Tangis Bi Nur semakin menjadi, dan Andi pun mencoba menenangkannya.
Azan Maghrib berkumandang, pergantian dari senja ke malam telah dimulai, beberapa jam lagi hari pun akan berganti, memendekkan waktu yang tersisa untuk ibunya, membuat Andi semakin gelisahl
"Di mana Pak Ustad? Kenapa belum ada kabar darinya?" gumam Andi yang tengah duduk menjaga ibunya.
"Andi, makan dulu, sejak kamu datang, bibi lihat belum ada menyentuh makanan, hanya minum air putih."
Bi Nur yang baru masuk ke dalam kamar langsung meletakkan sepiring nasi dan sambal ikan pari ke samping Andi.
Andi menoleh ke arah makanan yang dibawakan bibinya, nasi panas ditambah sayur kangkung dan sambal ikan pari yang terlihat merah merona.
Sambal ikan pari adalah makanan favoritnya, tetapi kini dia seperti kehilangan selera.
"Memang tak seenak masakan ibumu, tapi cobalah dulu, Bibi khawatir nanti kamu sakit, jika sudah begitu, bagaimana kamu mau jaga ibu?" bujuk Bi Nur lagi.
Perkataan Bi Nur yang terakhir membuat Andi luluh.
"Makasih, Bi, akan Andi makan," ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.
Baru saja hendak menyuap, terdengar pintu depan diketuk seseorang.
"Siapa Bi?"
"Biar Bibi yang akan melihat, kamu lanjutkan saja makannya," ucap Bi Nur.
Ketukan di pintu depan terdengar lagi.
Bi Nur bergegas menuju pintu depan.
Andi yang penasaran, kehilangan napsu makannya, dan meletakkan piring di lantai lalu beranjak menyusul ke depan.
Setibanya di ruang tamu, Andi melihat pintu sudah terbuka, tak ada siapapun kecuali Bi Nur yang berdiri terdiam di bawah palang pintu.
"Siapa Bi? Orangnya mana?"
Angin malam berembus masuk dari arah luar rumah, membawa hawa dingin dan juga aroma busuk bersamanya, membuat Andi refleks menutup hidung.
"Percuma mengharapkan Si Ustad," ucap Bi Nur tiba-tiba.
Mata Andi terbelalak mendengarnya.
"A-apa maksudnya, Bi?" tanyanya pelan, berharap dugaannya salah kali ini.
Bi Nur tertawa pelan, tawa aneh seperti tawa ibunya waktu itu.
"Kamu pikir dengan Ustad mendatangi rumah Sang Dukun semua akan selesai?" ucapnya lagi, yang menegaskan bahwa dugaan Andi benar adanya.
"S-siapa ... kamu? A-a-apa makhluk yang sama dengan yang merasuki Ibu?"
"Oh ... yang kamu maksud 'dia'?"
"Dia?"
Kepala Bi Nur bergerak, mencoba menoleh ke arah Andi, dengan tubuh yang tetap mengarah ke depan rumah, kepalanya nyaris berputar 180 derajat.
"Astagfirullah ...," ucap Andi melihatnya.
Makhluk yang merasuki tubuh Bi Nur tersenyum.
"Aku dan dia jelas berbeda," ucapnya terdengar seperti berbisik, "tapi dari golongan yang sama, juga tujuannya."
Nalar Andi terguncang mendengar perkataan makhluk tersebut.
"Kenapa? Kenapa kalian mengincar Ibu? Apa salah Ibu?"
Makhluk tersebut tertawa. "Kami hanya melakukan tugas sesuai perjanjian, pertanyaanmu hanya bisa dijawab orang yang membuat perjanjian."
"Siapa? Siapa dia yang membuat perjanjian?" tanya Andi dengan menggebu-gebu.
Tubuh Bi Nur tiba-tiba berputar perlahan ke arah kepalanya menghadap.
"Kau sudah melihatnya, dia ada di dekatmu, bahkan ...." Dia menjeda ucapannya dan sedikit menoleh ke arah kamar Bu Sri berada. "Mengincarmu!" lanjutnya.
Kerutan di kening Andi timbul.
"Di dekatku? Sudah melihatnya? Siapa?"
Bukan jawaban yang didapat, hanya tawa yang terdengar.
"MAKAN! MAKAN!"
Suara jin yang sebelumnya terdengar lagi, dan kini dari arah kamar Bu Sri.
"Ibu?"
Andi mundur beberapa langkah, lantas meninggalkan makhluk di tubuh Bi Nur yang masih tertawa begitu saja.
Andi jatuh berlutut begitu berada di depan kamar, di hadapannya terpampang ibunya tengah memakan dengan lahap makanan yang disediakan Bi Nur tadi, tak masalah jika mulut ibunya normal, tetapi lidahnya masih bengkak, dan itu yang membuat mulutnya berdarah-darah sekarang.
"IBU!" teriak Andi tak berdaya.
***
"Ustad-Ustad, kamu pikir kamu siapa? Dengan lancangnya kamu datang ke rumahku sendiri!" seru Pak Ujang lantas tertawa.
Ustad yang awalnya datang dengan tubuh yang tegap ke rumahnya, terbaring tak berdaya di lantai, dekat dengan peralatan-peralatan serta sesajiannya.
"Kenapa ...?" tanya Ustad lemah.
"Kau masih saja bertanya? Arifin-Arifin, kau ini polos atau bodoh?" ejeknya. "Tentu saja karena itu pekerjaanku! Mana bisa kutolak! Apalagi bonusnya, menyesatkan manusia dari jalan yang benar ...," bisiknya.
"K-k-kamu ... bukan manusia lagi, Ujang, kamu ... sudah masuk ... ke golongan m-m-mereka," ucap Ustad susah payah.
Pak Ujang tertawa terpingkal-pingkal, lantas melompat-lompat kegirangan.
"Tujuanku memang itu! Menjadi golongan mereka, menjadi satu golongan dengan ... TUANKU!"
Suara tawa melengking di gubuk kecil itu, menembus hingga ke pepohonan dan kuburan yang sunyi, tetapi tak terdengar oleh manusia lain selain Ustad dan dirinya sendiri.
"AKU SEMAKIN DEKAT DENGAN TUANKU!"
-Bersambung-
Besok Insyaallah tayang seperti malam ini. Bantu RT dan love, ya! Saya akan menamatkannya di sini. Makasih. 😁🙏
Duh judul aja typo, mau edit buat benarkan enggak bisa. 😂
Suara ketukan pintu rumah Pak Ujang di siang bolong membuat Ustad terbangun. Entah berapa lama lagi dia tertawan di sana, keputusannya untuk pergi sendiri dan tanpa persiapan adalah sebuah kesalahan.
"Yang perlu kalian ingat adalah, jangan sampai benang kalian terputus! Jika sampai itu terjadi, salah satu di antara kalian yang masuk ke dalam Padang 12, tidak akan pernah kembali!"
Desa Setan dikit lagi sampai batas bab yang dibolehkan penerbit untuj di-share, setelah itu bagi yang penasaran dan ingin membaca hingga tamat, solusinya hanya 2:
1. Beli novel cetaknya 2. Ikut give away-nya (jika nanti diadakan 😂)
Jangan bersedih bagi yang tidak bisa membeli, kalian bisa bantu share promo novelnya nanti, dan sebagai gantinya, saya akan menulis banyak cerita horor hingga tamat di sini.
Di bawah saya spill cover novel online saya yang berserakan di mana-mana.
TUJU
Kisah tentang santet yang mengerikan dari daerah Kalimantan Barat.