Sudah hampir dua jam, tetapi Bi Nur, orang yang Andi tunggu tak kunjung datang. Kegelisahan pun kian bertambah karena telepon darinya tidak diangkat juga oleh si bibi.
Tak lama, terdengar suara orang berbicara samar-samar dari dalam rumah, membuat Andi refleks masuk ke kamar ibunya, karena tak ada orang lain selain dia dan ibunya di sana.
Matanya melotot, napasnya memburu, melihat darah di tempat tidur, dan mendapati ibunya tak ada di dalam kamar, dengan alat infus yang sudah terlepas.
"Ibu? Ibu di mana?" ucap Andi gelisah sambil mencari di luar jendela dan di ruangan lainnya, tetapi tak dia dapati.
Aroma bunga melati tercium di hidungnya seketika, instingnya berkata dia harus mencari sumbernya, dan langkahnya pun mulai menyusuri.
Langkah demi langkah yang dia ambil menuntunnya ke arah halaman belakang rumah, dan tepat di tempat yang dia duga, pohon di mana dia menemukan tembuni berbungkus kafan bersama Ustad,
di sanalah ibunya berada, duduk dengan kaki menggelantung di percabangan pohon tersebut, aroma wangi yang dia ikuti dari tadi pun berubah menjadi bau bangkai.
"Ibu ... apa yang Ibu lakukan?"
Bu Sri hanya terdiam, menatap kosong ke arah rumahnya.
Andi yang menyadari kejanggalan yang terjadi, mulai memahami, ada sosok lain yang merasuki tubuh ibunya lagi.
"Kumohon turunlah ...," pinta Andi memelas. "Jika kalian terus seperti itu, waktu yang kalian tentukan tak ada guna," lanjutnya.
Ucapan Andi membuat makhluk yang merasuki Bu Sri menoleh. "Kau percaya dengan batas waktu yang diberikan?"
Andi menelan ludah. "Sesungguhnya aku tidak percaya, tetapi waktu tersebut memberi sedikit harapan untuk menyelamatkan Ibu."
Makhluk tersebut tertawa. "Manusia dari dulu tak pernah berubah," ucapnya.
"Sebenarnya ... apa salah Ibuku?" Andi yang merasa makhluk tersebut dapat diajak bicara, mencoba peruntungannya.
Wajahnya kembali datar setelah sebelumnya tertawa. "Kau pikir aku akan memberitahumu karena aku mau berbicara?"
Andi salah tingkah karena niatnya terbaca.
"Salah dan benar bagi kalian itu sangat samar, hal yang sebenarnya benar pun bisa jadi salah bagi orang yang tak senang, dan begitupun sebaliknya, dari celah itulah kami masuk dan menghasut," ucapnya.
"Jadi kesalahan Ibu sebenarnya tak ada?"
"Ada bagi dia yang mendengki kepada ibumu!" serunya dengan mata melotot.
Andi menutup wajah dengan kedua tangannya, memikirkan siapa kira-kira orang yang dibicarakan makhluk tersebut, tetapi masih tak terlintas di benaknya.
"S-s-siapa? Siapa dia yang kau maksud?"
Makhluk tersebut kembali tertawa. "Jika aku memberitahumu, apa yang akan kudapatkan?"
Andi tersentak. "K-k-kau ingin apa? Sesajen? Akan kusediakan kalau itu maumu!" seru Andi tanpa pikir panjang.
Makhluk tersebut terjun dari pohon, melayang ke bawah dengan perlahan, mendarat tepat di hadapan Andi.
"Kau bersedia menggadaikan keimananmu demi hal itu?" tanyanya.
***
Beberapa jam sebelumnya ....
"Apa yang kau lakukan? Kenapa ke sini lagi malam-malam begini?" geram Pak Ujang mendapati Bi Nur kembali ke rumahnya.
"Kau menahan Ustad Arifin di sini?" tanya Bi Nur tak kalah geram.
"Dari mana kau tahu?"
"Kau lepaskan dia! Andi mau ke sini karena mencarinya! Jika dia membawa warga dan menemukan Ustad di sini, kita akan tamat!"
Pak Ujang tertawa. "Lepaskan? Kau pikir Ustad akan kembali dan diam saja atas apa yang telah terjadi padanya?"
Refleks Bi Nur menampar wajah Pak Ujang. "Itu urusanmu! Kesalahanmu karena menyekapnya! Tak bisakah kau pura-pura tidak tahu dan membiarkannya pergi?"
Pak Ujang tertawa. "Kau menamparku? Kau sungguh-sungguh berani menamparku?"
"Kenapa? Memangnya kau bisa apa kepadaku? Aku tahu kau menyukaiku, dan tak akan berani menyakitiku!" tantang Bi Nur.
Pak Ujang terdiam, memang benar apa yang wanita itu katakan, alasan itu juga yang membuatnya ingin membantu, tetapi harga dirinya telah diinjak-injak begitu saja.
"Baiklah, akan segera kubereskan masalahnya," ucapnya lemah.
"Bagus! Aku tak ingin kita ketahuan sebelum pekerjaanmu tuntas!"
"Mau ke mana?" tanya Pak Ujang saat Bi Nur menuju motornya.
"Ke rumah Kak Sri, aku tak ingin Andi curiga jika aku tak kembali secepatnya!"
"Tunggu sebentar, ada sesuatu yang harus kuberikan kepadamu," ucap Pak Ujang.
Bi Nur menatapnya curiga. "Apa?"
"Masuklah dulu, akan kusiapkan dengan cepat."
"Aku ingin tahu dulu apa itu?"
Pak Ujang tersenyum, memang tak mudah untuk menjerat orang yang pemikirannya sama licik dengannya.
"Aku ingin memberikanmu penawar agar tak diganggu makhluk yang kukirim, saat berdekatan dengan Sri."
Bi Nur yang memang jengah dengan hal itu, menyetujui dan kembali masuk ke dalam rumah Pak Ujang tanpa banyak kata.
"Cepatlah!"
Pak Ujang tersenyum. "Aku tahu," balasnya singkat lantas menutup pintu rumah saat Bi Nur sudah masuk. "Tetapi kau tak akan tahu apa yang akan kulakukan padamu," gumamnya pelan.
***
Andi membopong ibunya kembali ke dalam kamar, meletakkannya kembali ke atas tempat tidur.
"Sudah hampir tengah malam, apa dia mau ke sini menjaga Ibu?" gumamnya dengan ponsel tergenggam di tangan. "Sebaiknya kucoba."
Andi menghubungi orang yang mungkin bisa dia harapkan sekarang.
"Halo, Dian? Saya anaknya Bu Sri."
"Oh, ya, kenapa? Ada apa dengan Bu Sri?" tanyanya dengan nada khawatir.
"I-ibu ... baik-baik saja, tetapi saya butuh bantuan kamu, ini mendesak," ucap Andi.
"Bantuan apa?"
"Eh, saya ada urusan penting, tetapi Ibu saya tidak ada yang jaga, bisakah kamu menjaga Ibu sebentar selama saya pergi? Nanti saya beri uang terima kasih."
"Baik, saya sebentar lagi ke sana, tetapi tidak perlu memberi saya uang, saya hanya mau membantu," jawab Dian membuat Andi malu.
Andi merasa lega karena ada orang lain yang bisa diandalkan menjaga ibunya, sekarang yang dia perlu pikirkan bagaimana menghadapi si dukun dan mencari Pak Ustad, juga bagaimana cara mengakhiri semua ini, apakah cukup meminta si pembuat perjanjian membatalkan janjinya?
"Pantas saja makhluk itu seperti ingin muntah saat mengendusnya, mungkin dia mencium bau yang sama menyengat dengan dirinya," gumam Andi. "Apa yang membuatmu melakukannya, Bi Nur? Apa ...?"
Rasa tak percaya dan emosi campur aduk di hati Andi, satu-satunya keluarga yang diharapkan, ternyata sumber segala masalah yang terjadi.
Suara ketukan pintu rumah Pak Ujang di siang bolong membuat Ustad terbangun. Entah berapa lama lagi dia tertawan di sana, keputusannya untuk pergi sendiri dan tanpa persiapan adalah sebuah kesalahan.
Tatapan jin tersebut membuat Andi kelu, jangankan bergerak atau bicara, bernapas pun seakan sulit. Saat kaki yang hitam dan besar itu melangkah mendekat, saat itu juga tubuh Andi bergetar dengan hebat. Keringat? Tubuhnya seakan-akan tertimpa hujan deras.