Diosetta Profile picture
Jan 19, 2023 1266 tweets >60 min read Read on X
JSD- Dendam Patung Arwah
Part 1 - Misteri Patung Arwah

Sebuah mimpi menghantarkan Dirga ke sebuah tempat yang dipenuhi patung batu misterius..
Ada dendam yang terkubur ratusan tahun di sana..

@IDN_Horor @bacahorror_id @mwv_mystic @qwertyping @SimpleM81378523
#bacahorror #libur Image
Prolog

Sebuah mobil pickup terparkir di perbatasan sungai. Suara gemericik air menghantarkan dua manusia mendekat ke sebuah desa yang hampir termakan oleh alam.
Hanya tersisa bangunan-bangunan yang tidak utuh dan sudah dipenuhi lumut dan tanaman merambat.
Bahkan untuk berjalan saja mereka harus bersaing dengan rumput liar yang sudah tumbuh tinggi di sana.
“Desa ini yang muncul di mimpi kamu?” Tanya Jagad memperhatikan suasana di sekitar desa mati itu.
“Iya Mas, nggak salah lagi,” balas Dirga singkat.
Dirga menembus jalur yang tertutup rumput liar itu seolah sudah mengetahui jalan yang harus dia lewati. Mimpinya selama beberapa malam ini memaksanya untuk masuk ke dalam desa di hadapanya. Ada rasa cemas yang ia rasakan ketika mimpi itu terasa semakin nyata.
Saat masuk semakin dalam, Dirga mendadak pucat. Terdengar suara tawa cekikikan persis dari arah salah satu bangunan paling ujung di desa itu.
“Hati-hati, jangan lengah,” Jagadpun merasa ada sesuatu yang tidak biasa dari tempat itu.
Di hadapan mereka berdua berdiri sebuah bangunan yang cukup luas. Gapura bata merah yang sudah lapuk menyambut mereka masuk ke dalam. Bangunan itu sudah tidak utuh, tapi setidaknya ini adalah bagunan dengan kondisi yang paling baik di desa ini.
Bata merah yang membentuk dindingnya mengingatkan mereka akan bangunan jaman kerajaan jaman dulu.
Jagad dan Dirga mengeluarkan senter dan bersiap masuk ke dalam bangunan itu. Belum sempat mereka melangkah , mereka tercekat dengan keberadaan bayangan anak-anak di antara mereka.
“Itu patung?” tanya Jagad.
“Iya Mas..”
Mereka menemukan bangunan itu hampir dipenuhi patung anak anak dengan pakaian jaman dulu. Beberapa dari wajahnya terlihat seolah tidak wajar.
Ada yang tidak memiliki telinga, ada yang matanya lebih dari dua, hingga yang mulutnya memanjang hingga ke leher.
“Kalau ini seni, jelas ini terlalu menyeramkan,” ucap Dirga.
Jelas Jagad setuju dengan ucapan Dirga.
Namun saat mereka semakin masuk ke dalam, mereka dikagetkan kembali dengan suara cekikikan anak kecil.
“Hihihhihi….”
Jagad dan Dirga menoleh ke setiap arah di bangunan itu. Mereka mencari asal suara itu, namun tidak menemukan apapun.
Bahkan mata batin mereka tidak mendeteksi sosok di balik suara itu.
“Disini…hihihi…”
Tiba-tiba Dirga tersentak dengan suara yang berasal dari belakangnya. Ia sedikit menunduk dan melihat sebuah patung anak anak tanpa mata dan hidung menyeringai ke arahnya.
“Hwaaa…” Dirga kaget dan melangkah ke belakang.
Namun entah mengapa tiba-tiba Dirga menyenggol patung yang iya yakin sebelumnya tidak ada di belakangnya.
Prakkk!!!
Patung itupun terjatuh, itu adalah patung perempuan berambut panjang dengan kulit berbintil di wajahnya.
Seketika suasana di ruangan itupun berubah.
“Dirga?!” Jagad menghampiri Dirga.
“Sebelumnya patung itu nggak ada di belakang mas..” ucap Dirga.
Jagadpun memeriksa patung yang jatuh itu. ia merasa ada sesuatu yang janggal di sana.
Patung itu pecah dengan sesuatu yang keluar dari dalamnya.
“I—itu? Tulang? Dan itu cairan apa?” Dirga menyadari sesuatu yang diperiksa oleh mas Jagad.
“Darah…”
Darah itu berwarna hitam pekat seolah sudah berumur sangat lama. Namun bagaimana darah itu tidak membeku dan masih terus berada di dalam patung itu? hal itu mulai membuat Jagad dan Dirga merasakan hal yang berbahaya di tempat ini.
“Hihihihi.. Sutri mati…”
“Salah dia sendiri nakal …”
Suara anak-anak itu kembali terdengar. Berbagai suara anak kecil mulai ramai di telinga mereka. Kini mereka tahu dengan jelas asal suara itu.
“Siapa?! Siapa kalian!” Tanya Jagad.
Pertanyaan Jagad saat itu dibalas tawa oleh suara-suara anak itu.
“Mas-mas tua itu galak!”
“Padahal kita cuma becanda… Hhihihi…”
Dirga tidak merasakan bahaya dari suara di patung-patung itu. iapun mencoba mengatur perasaanya dan bertanya dengan baik-baik kepada mereka.
“Maaf, saya nggak sengaja nyenggol teman kalian. Sebenarnya kalian ini teh siapa?” Tanya Dirga.

Suara tawa itu terhenti sesaat.
“Yang kecil lebih baik, pantes aja wajahnya lebih ganteng..” suara anak perempuan terdengar lagi di antara mereka.
“Hatur nuhun, terima kasih. Tapi saya teh penasaran, kalian ini siapa?” Tanya Dirga lagi.
Pertanyaan Dirga hanya dibalas dengan suara kasak-kusuk yang berasal dari patung-patung itu. Sampai beberapa saat, akhirnya salah satu dari mereka mau menjawab.
“Siapa? Kami siapa? Kami juga tidak tahu..”
“Iya kami juga tidak tahu…”
Jagad dan Dirga bertatapan satu sama lain.
“Saya dibuang oleh keluarga karna cacat, Ki Luwang menolong saya dan membawa ke tempat ini.
tapi setelah itu saya tidak bisa bergerak hanya bisa melihat, mendengar , dan mencium bau saja,” ucap salah satu patung di belakang.
“I—iya! Hanya Kelik yang bisa mengingat. Kami semua tidak tahu kami siapa. Setelah kalian pergi, kami pasti akan lupa lagi,” balas patung lain.
Tangan Dirga mengepal dengan geram. Ia menyadari patung-patung ini sebelumnya adalah manusia yang rohnya di masukkan ke dalam patung untuk tujuan tertentu.
“Kalau gitu, saya bacakan doa supaya kalian bisa bebas apa kalian mau?” Tanya Jagad.
“Maksudnya? Kita bisa bergerak lagi? Tanya Patung kelik.
“Kita nggak gelap-gelapan di sini lagi?” tanya patung yang lain.
Dirga mengangguk. Ia membacakan doa pada patung wanita yang terjatuh di belakangnya mencoba menenangkan roh perempuan yang terjebak di dalamnya.
Samar-samar roh anak perempuan muncul di hadapan mereka.
“Rasanya.. tenang,” ucap Roh itu sembari tersenyum.
Senyum Dirgapun menyusul senyuman roh anak wanita itu untuk mengantar kepergianya.
“Aku mau!!”
“Aku juga!”
Suara mereka terdengar seperti suara anak-anak yang berebut meminta jajanan. Jagad dan Dirgapun mengambil posisi duduk di tempat itu dan membacakan ayat-ayat suci untuk menenangkan roh yang berada di patung itu.
“Maaf ya,” ini cuma sebentar kok.
Sementara mas Jagad melanjutkan doa-doanya. Dirga menghancurkan patung itu satu persatu dan mengeluarkan berbagai macam tulang, organ yang sudah mengering, dan darah yang berada di dalam patung.
Sekumpulan roh anak kecil mulai bersliweran di bangunan tua itu.
mereka semua tersenyum dan bersiap meninggalkan alam ini. tapi saat akan menghancurkan patung kelik, kelik menahan Dirga sesaat.
“Saya ingat sesuatu…”
Dirga terhenti dan mendengarkan ucapan kelik.
“Ada ruangan lain di dalam, ada patung-patung yang lebih menyeramkan di sana. Tugas kami adalah menjaga mereka sampai mereka sempurna di purnama ke seribu…”
Ucapan Kelik membuat Jagad menghentikan doanya sesaat dan mendekatinya.
“Patung lagi? Kelik tahu Untuk apa mereka dibuat?”
Tanya mas Jagad.
“Mereka dibuat untuk membalaskan dendam Ki Luwang. Mereka memakan jiwa manusia, dan membawa semua ilmu terlarang dari jaman kerajaan,” ucap patung kelik.
“Balas dendam? Balas dendam pada siapa?” Tanya Jagad.

“Keluarga Darmawijaya dan keturunanya...”

Ucapan patung kelik itu membuat Dirga kaget. Jagadpun segera menoleh ke arah Dirga dan memastikan ia tidak terguncang.
“Ada lagi yang mau kau sampaikan?” Tanya Dirga.
“Ada…” ucap patung kelik.
“Apa itu?”
Patung itu terdiam cukup lama seolah menelaah ruangan yang sudah mengurungnya selama bertahun-tahun itu.
“Terima kasih…”
Doa dari Jagad dan Dirga mengantarkan kepergian Kelik menyusul teman-temanya yang lain.
“Memang bukan di sini ujung dari mimpi saya mas,” ucap Dirga.
“Maksud kamu? Masih ada tempat lain?”
Dirga mengangguk dan mengarah ke ruangan yang lebih dalam. Ada ruangan cukup luas setelah ruang patung itu.
Cahaya matahari sudah tidak mampu menerangi sampai dalam hingga mereka berdua mengeluarkan senter untuk menerangi langkah mereka.
“Kalau tau cara jualnya barang-barang di sini bisa laku malah nih,” gurau Jagad.
“Iya mas, habis itu kita kena sial tujuh turunan,” balas Dirga sembari mengarahkan senternya ke benda-benda yang tergantung di dinding dan yang berserakan di ruangan itu.
Berbagai benda aneh mereka temukan di sana. Mulai dari tengkorak hewan buas, guci kuno, meja kayu tua, yang semuanya sudah tertimbun oleh debu.
Mimpi Dirga menuntun langkahnya menuju sebuah tangga ke bawah.
Ada lorong kecil yang cukup panjang menghantarkan mereka ke sebuah ruangan lagi.
Kali ini perasaan mengerikan semakin dirasakan oleh mereka. Merekapun mengikuti firasat yang terus menuntun mereka ke ruangan di ujung lorong itu.
Belum sempat Dirga memasukinya, tiba-tiba ia terjatuh lemas. Ada sesuatu yang menekan dirinya seolah ia ditolak dari ruangan itu.
“Dirga? Kenapa?” Jagad khawatir.
“Nggak mas, nggak papa.. masih bisa kutahan,” balasnya.
Jagad memahami apa yang terjadi pada Dirga. Iapun memutuskan untuk bertukar posisi untuk memasuki ruangan itu.
Sebuah ruangan yang lembab, berantakan, dan tidak terawat berada di tengah mereka. Bahan dan peralatan pembuat patung tergeletak berantakan di berbagai sisi.
Saat menerangi ruangan itu akhirnya Jagad tahu apa yang membuat Dirga tertekan.
Ada tengkorak dan tulang belulang manusia di sebuah kursi kayu di tengah-tengah ruangan itu. tengkorak itu seolah terus menatap ke arah masuk Jagad dan Dirga.
Dari posisinya tengkorak itu berasal dari manusia yang menghabiskan umurnya di kursi kayu itu.
“Ada kekuatan jahat yang meluap-luap dari tulang belulang itu,” jelas Jagad.
“Iya mas, hati-hati,” balas Dirga.
Jagad masuk ke dalam dan mendapati ruangan itu benar-benar seperti sarang setan yang mengerikan. Hampir di tiap dinding dan langit-langit merayap makhluk berwujud manusia kurus dengan rambut panjang.
di sudut-sudut ruangan berdiam sosok setan berlidah panjang yang tidak bergerak menatap kedatangan mereka.
“Gila, aku nggak melihat keberadaan mereka di mimpi mas,” Ucap Dirga yang bergidik ngeri melihat sosok-sosok itu.
“Wajar, mereka bukan bagian dari tempat ini. Kekuatan yang terus memancar dari tulang-belulang inilah yang memanggilnya,” jelas Jagad.
Jagad berusaha tidak menghiraukan setan-setan itu. namun beberapa dari mereka tetap mendekati Jagad.
Salah satu setan yang merayap menjatuhkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya ke samping wajah Jagad.
“teu aya hak pikeun jalma anu béda alam pikeun silih campur”
(Tidak ada haknya yang berbeda alam untuk saling mengganggu)
Dirga memberi peringatan kepada sosok yang mencoba mengganggu Jagad. Tidak hanya menggertak, Dirga juga sudah memagari dirinya dan Jagad dengan ayat-ayat suci yang segera ia bacakan.
Jagadpun segera melakukan sebuah ritual pemutihan.
Ia mengambil sebotol air dari tasnya dan membacakan doa yang cukup panjang. Sembari membaca doa itu, ia menuangkan air itu melingkar ke kursi di tempat tulang belulang itu berada.
“nyuwun panguwasaning Gusti kanggo ngresiki kekuwatan ala sing ana ing panggonan iki”
(Mohon kuasa Tuhan untuk membersihkan kekuatan jahat yang ada di tempat ini)
Kali ini berganti ayat-ayat suci dibacakan oleh Jagad untuk meruwat sisa-sisa jasad yang berada di hadapanya.
Tak lama energi hitam yang menyelimuti tulang belulang itupun hilang. Dan sesuai dugaan mereka, hilangnya kekuatan itu membuat sosok-sosok setan yang berada di dalam ruangan itu pergi satu persatu.
“Sudah aman, Dirga,” panggil Jagad.
Dirgapun mendekat, tepat setelah energi itu menghilang, perasaan yang menekan dirinyapun ikut lenyap. Walau begitu firasat akan bahayanya tempat itu masih belum hilang dari dalam dirinya.
“Sebenarnya dia ini siapa ya mas? Kenapa hanya aku yang terpengaruh oleh sisa residu kekuatanya,” Tanya Dirga.
Jagadpun mendorong tubuh Dirga untuk masuk lebih jauh. Ia menyorotkan cahaya senternya ke sebuah tembok yang ada di hadapanya.
Tidak begitu jelas, tapi masih dapat terlihat.
Ada tiga buah alas bekas patung terjejer di sana. Beberapa retakan seolah menandakan sebelumnya ada patung yang berdiri di sana.
Sayangnya retakan yang tidak berdebu itu seolah menandakan berpindahnya patung itu belum dalam jangka waktu yang lama.
Tapi bukan hanya itu yang ingin ditunjukkan oleh Jagad. Melainkan tulisan besar di dinding yang dipahat cukup dalam.
“Turunan ke tujuh, purnama ke seribu.. Sumpahku untuk menghabisi seluruh trah Darmawijaya dan semua keturunanya akan dimulai!
Ketiga anakku akan membalaskanya untukku..!
Nyawaku kupersembahkan untuk darah seluruh garis keturunan Darmawijaya!”

-Ki Luwang

***
PATUNG SINDEN

Suara deru mesin mobil bersahutan dengan suara radio yang menemani Jamal dan Rendi melalui jalur antar kota. Jalur pegunungan yang minim penerangan tak membuat Jamal ragu untuk memacu kendaraanya untuk kembali ke kampungnya di Jawa Tengah.
“Kenapa nggak lewat Pantura aja Mal? Biasa kan lewat sana?” Tanya Rendi.
Jamal menoleh ke arah Randi sebentar dan kembali berkonsentrasi pada jalan.
“Biasanya kan kita berangkat dari Jakarta, lebih cepet lewat utara. Lha sekarang kita kan mampir Bandung dulu. Kalau lewat Pantura ya muter,” balas Jamal.
Rendi hanya mengangguk sembari memikirikan topik pembicaraan untuk mengamankan Jamal dari kantuknya.
“Lagian kamu nggak ingat kejadian tahun lalu pas kita lewat alas roban?” Tanya Jamal.
Rendi mengingat sejenak. Ia menggali lagi memorinya saat terakhir kali kembali ke kampungnya melewati jalur alas roban. Saat itu ada kejadian aneh yang menimpa mereka.
Sepanjang perjalanan mereka diikuti oleh sebuah mobil yang terus menempelnya tak jauh dari belakang. Mereka sudah melambat ke jalur kiri untuk membiarkan mobil itu melewatinya, anehnya mobil itu malah ikut melambat dan terus berada di belakang mereka.
Merasakan kemungkinan bahaya, merekapun memutuskan menepi ke salah sebuah warung di jalur alas roban yang menurut mereka cukup ramai.
Merekapun turun dari mobil dan memperhatikan sosok mobil yang mengikuti mereka.
Mobil itupun melewati Jamal dan Rendi dengan perlahan seolah masih berharap mereka mau melanjutkan perjalanan lagi.
Tapi, saat mobil itu akan melewati mereka berdua, sontak perasaan ngeri menyelimuti Jamal dan Rendi.
Mobil itu adalah sebuah mobil box tua yang sudah penuh dengan karat. Beberapa bagian di mobilnya sudah penyok. Jika dilihat dari bentuknya seharusnya mobil itu sudah tidak mungkin beroperasi lagi.
Tapi bukan itu masalah utamanya…
Saat melintasi mereka berdua, mobil itu berjalan dengan perlahan. Jendela mobil itu terbuka dan terlihat seorang supir mengendarainya. Jamal dan Rendi yang penasaran berusaha mengintip sopir yang sedari tadi membuntuti mereka. Dan hal itu membuat mereka menyesal.
Mobil itu dikendarai seorang pria dengan tubuh penuh darah. Tanganya tetap menggenggam setir sembari menoleh menyeringai ke arah Jamal dan Rendi dengan wajahnya yang penuh darah.
Seketika wajah Jamal dan Rendi menjadi pucat.
Dan tepat saat akan melewati mereka, kepala sopir itu terjatuh di kursi sebelahnya..
Jamal dan Rendi tak mampu bereaksi melihat pemandangan itu sampai akhirnya mobil itu menghilang diantara kabut malam itu.
“Nggak mungkin aku lupa Mal, seumur-umur baru itu aku ngeliat setan,” balas Rendi mengkonfirmasi pertanyaan Jamal.
“Nah, pas ngitung-ngitung jam tadi kira-kira kita akan lewat alas roban di jam yang sama. Aku nggak mau ngambil resiko Ren,” balas Jamal.
Rendi mengangguk setuju, ia melamun mengingat kejadian mengerikan yang ternyata belum selesai itu.
Setelah mobil itu menghilang, Jamal dan Rendi ingin segera melegakan diri mereka dengan secangkir kopi di warung. Tapi kembali lagi hal aneh mengagetkan mereka.
Warung yang tadi terlihat ramai dengan adanya penerangan kini menghilang. Mereka merasa parkir tepat di depan warung, tapi saat menghampiri warung itu, yang terlihat hanya hutan-hutan tanpa ada tanda-tanda warung dan orang sekalipun.
Saat itu Jamal dan Rendi panik. Iapun segera kembali ke mobil dan melanjutkan perjalananya.

“Mudah-mudahan lewat selatan nggak ada kejadian begituan lagi deh Ren,” ucap Jamal.
“Iya, yang penting ni mobil kuat aja ngelewatin tanjakan-tanjakan pegunungan begini,” sahut Rendi.
“Tenang, ini bukan pertama kali aku lewat sini kok,” balas Jamal.
Rendipun tenang mendengar ucapan Jamal.
Mengenai keahlian menyetir, profesi Jamal sebagai driver di kantor mereka sudah membuat Rendi merasa aman. Walau begitu, tetap saja mobil Jamal yang cukup tua memberi rasa mengganjal untuk Rendi
Melewati jam dua belas malam mereka sempat melamun sebentar sembari menikmati perjalanan. Sedari tadi memang tidak ada kendaraan lain yang berjalan bersama mereka.
Di tengah lamunanya, tiba-tiba Rendi mengecilkan suara radio dan mencoba manajamkan telinganya.
“Mal, kamu denger ga?”
Wajah Rendi terlihat sedikit bingung. Kali ini ia mematikan radionya dan memastikan lagi kepada Jamal.
“Mal, kok aku denger suara orang nyinden ya?”
Rendi menunggu jawaban dari Jamal, tapi saat memperhatikan wajah Jamal yang ia temukan adalah wajah Jamal yang pucat dan tegang. Hal itu seolah memastikan sedang ada yang tidak beres.
Tidak ada perbincangan diantara mereka berdua setelah itu. Jamal hanya terus fokus pada jalan seolah berusaha tidak menghiraukan sesuatu. Sementara itu sayup-sayup Rendi masih mendengar suara sinden yang entah berasal dari mana.
Perjalanan itu mengantarkan mereka ke percabangan jalan. Rendi melihat plang bertuliskan nama kota mereka ke arah jalur yang kiri, tapi Jamal malah mengarahkan mobilnya ke arah kanan.
“Mal! Ke kiri Mal, ambil kiri..” ucap Rendi.
Tapi Jamal tidak menghiraukan dan terus mengambil jalur kanan untuk berbelok ke kanan. Rendi yang bingungpun memperhatikan percabangan di hadapanya dan mendapati pemandangan yang janggal.
Ada seorang perempuan berbaju sinden sedang berdiri tepat di tengah jalan jalur kiri.
Ia hanya berdiri dengan raut wajah pucat menatap ke arah Jamal. Mungkin hal itulah yang membuat Jamal memilih mengambil jalur kanan.
Wajah Jamal masih terlihat pucat, namun kali ini akhirnya ia mencoba menjelaskan kepada Rendi.
“Sinden itu Ren, dari tadi sinden itu ada di kursi belakang..” jelas Jamal dengan suara yang gemetar.
Rupanya sedari tadi wajah Jamal menjadi pucat karena melihat sosok sinden tengah duduk di kursi belakang.
Ia sengaja tidak menceritakan pada Rendi agar ia tidak menjadi lebih panik lagi.
Rendi yang mendengar cerita itupun menelan ludah tidak menyangka dengan apa yang terjadi.
Belum sempat ia bertanya lebih jauh tiba-tiba Jamal mengerem mendadak yang membuat kepala Rendi hampir beradu dengan kaca.
“Mal! Kenapa lagi?” tanya Rendi yang kaget dengan perilaku Jamal.
“Itu! I—itu Ren,” tunjuk Jamal.
Ada bayangan manusia di hadapan mereka. Sesosok bentuk menyerupai manusia menghadang mereka tepat di tengah jalan. tapi tidak ada sedikitpun pergerakan dari bayangan itu.
“Deketin aja Mal, pelan-pelan,” ucap Rendi.
Jamal mengikuti ucapan Rendi dan perlahan mendekat ke sesuatu yang menghadang mereka. Cahaya lampu mobilpun menunjukkan sosok yang ada di hadapan mereka.
Sebuah patung…
Patung itu terlihat sangat tua dan sudah berlumut dengan beberapa bagian yang sudah mengerak.
Wujudnya seorang perempuan bersanggul anggun namun wajahnya datar tanpa ada ukiran mata, hidung, dan mulut.
“Patung sinden..” gumam Jamal.
Rendi tidak mengerti bagaimana Jamal bisa menyimpulkan seperti itu, namun ucapanya memang sesuai dengan wujud patung itu.
Patung itu mengenakan kebaya layaknya seorang sinden, namun sebagian kebayanya sudah sobek seperti sudah sangat tua.
“Aku pinggirin dulu deh,” kata Rendi yang segera turun dari mobil untuk menggeser patung itu.
Rendi menatap sesaat patung itu dan merasakan perasaan yang aneh.
Iapun mencoba mengangkatnya, tapi tak sedikitpun patung itu bergeser dari tempatnya.
“Kenapa Ren?” Teriak Jamal dari dalam mobil.
“Nggak bisa, berat. Kayak jadi satu sama aspalnya..”
Jamalpun ikut turun dari mobil dan menghampiri Rendi dan patung itu.
“Lemah kamu Ren,” ledek Jamal.
“Yee, coba saja sendiri,” balas Rendi.
Jamal berdiri sejenak dihadapan patung itu.Tidak seperti Rendi, entah mengapa Jamal terkesima melihat benda seni yang ada di hadapanya itu.
“Kalau kita bawa pulang saja gimana Ren?” tanya Jamal.
“Heh! Maling itu namanya! Jangan aneh-aneh,” Tegur Rendi sembari menepuk bahu Jamal.
Jamalpun mengangkat patung itu, tapi anehnya patung itu terasa sangat ringan.
“Enteng kok Ren, gampang banget ngangkatnya” ucap Jamal sembari beberapa kali mengangkat patung itu.
Rendi heran, ia kembali mencoba mengangkat patung itu tapi gagal. Kali ini ia jelas merasa ada yang aneh.
“Lho.. lho! Kok dibawa ke mobil?” tanya Rendi.
“Nggak papa, biar taro di rumahku aja buat pajangan di deket pancuran,” ucap Jamal sambil melipat jok mobil tengah dan belakang untuk membawa patung itu.
“Jangan Mal, aku ngerasa ada yang nggak beres sama patung itu. aku ga bisa ngangkat sama sekali, tapi kamu bilang enteng?”
ucap Rendi berusaha menahan Jamal.
“Halah, kamu yang lemah yang disalahin patungnya. Udah cepet masuk,” balas Jamal yang segera kembali ke kursi pengemudinya.
Merekapun melanjutkan perjalanan malam itu. Rendi masih terus curiga dengan patung yang ia bawa.
Beberapa kali ia menoleh ke arah benda yang terbaring di belakangnya untuk mengawasinya. Beruntung akhirnya saat pagi datang mereka sudah sampai di kota tujuan.
Kampung Jamal dan Rendi cukup berdekatan. Hanya berjarak setengah jam perjalanan bila menggunakan mobil.
Jamalpun mengantar Rendi ke desanya sebelum pulang ke rumahnyya.
“Matur nuwun ya Mal, sebulan lagi tak samperin ke desamu,” ucap Rendi.
“Halah, santai.. aku samperin ke sini lagi juga nggak masalah,” balas Jamal.
Merekapun berpisah dengan Jamal masih membawa patung sinden itu di dalam mobilnya.

***
Wabah

Sudah lebih dari sepuluh hari sejak perpisahan Jamal dan Rendi. Setelah sampai di kampung masing-masing mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan anggota keluarga mereka.
Setelah Jamal mengabari ia sudah sampai di kampungnya, hampir tidak ada komunikasi diantara mereka berdua.
“Kamu ndak main ke kampungnya Jamal Mas?” tanya Sudarti istri Rendi.
“Nggak usah dek, dia juga pasti lagi sibuk sama keluarganya. Apalagi kelar proyek kemarin dia bawa duit banyak,” balas Rendi.
“Wah, enak banget. Lha kamu mana mas? Masa nggak bawa juga?” pandang Sudarti dengan mata sedikit sinis.
Saat itu juga Rendi menggandeng tangan istrinya dan menunjuk ke arah salah satu sawah.
“Itu lho, sawahnya Pak Carik udah mas bayar. Ada sisanya sedikit buat peganganmu pas mas berangkat lagi.” Jelas Rendi.
“Maksudnya, sawah Pak Carik sudah Mas beli?”tanya Sudarti memperjelas.
Rendi mengangguk,”Baru sepetak, mudah-mudahan tahun depan bisa nambah lagi terus mas bisa ngurus sawah dan nggak merantau lagi,”
Sudarti tersenyum mendengar penjelasan suaminya itu.
awalnya ia sedikit malu karena biasanya apabila ada warga pulang merantau pasti mengadakan syukuran yang mewah dan kadang berbagi rupiah untuk anak-anak warga desanya. Tapi kali ini tidak dilakukan oleh Rendi.
“Maaf ya, kita harus prihatin dulu,” ucap Rendi.
“Nggak papa mas,” balas Sudarti singkat sembari memeluk tangan Rendi memandang sepetak sawah yang baru saja mereka miliki.

Rendipun mulai menggarap sawah itu dengan bantuan warga desa.
setidaknya sawah sudah selesai ditanam saat Rendi berangkat dan ada warga yang membantu mengelolanya saat kepergian Rendi.
Di tengah kesibukan mereka tiba-tiba Sudarti menghampiri ke sawah dan memanggil Rendi dengan wajah yang cemas.
Rendipun meninggalkan pekerjaanya sejenak dan menghampiri istrinya.
“Istri Mas Jamal datang,” ucap Sudarti.
“Sama Jamal?” tanya Rendi.
Sudarti menggeleng menjawab pertanyaan Rendi. Mengetahui hal itu Rendi merasa ada hal yang serius yang inngin dibicarakan oleh istri Jamal.
Iapun berpamitan pada warga desa yang membantunya untuk segera kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, Rendi mendapati Wasmi istri Jamal tengah menunggu dengan wajah yang cemas. Saat mengetahui kedatangan Rendi ia segera berdiri menyambutnya.
“Masuk dulu Wasmi,” sambut Rendi sembari mempersilahkanya duduk.
Sementara Rendi membersihkan diri, terjadi perbincangan kecil antara Sudarti dan Wasmi. Perbincangan mengenai kegiatan sehari-hari dan kabar anak-anaknya.
Tapi mengenai tujuanya ke tempat ini seorang diri, Wasmi masih menunggu Rendi.
“Diminum dulu Wasmi, tumben kesini sendirian? Kemana Jamal?” Tanya Rendi yang baru saja bergabung dengan mereka.
Wajah Wasmi terlihat bingung, ia menatap Sudarti seolah ragu apa harus membicarakanya atau tidak.
“Anak saya Mas, Udin sakit mas. Sudah hampir seminggu..” Wasmi membuka maksud kedatanganya.
“Ya ampun, terus gimana? Sudah dibawa ke rumah sakit?” Tanya Sudarti.
“Sudah Mbak, sudah dapet obat. Tapi bukanya semakin membaik malah sebaliknya,” jelas Wasmi.
Rendi dan Istrinya beradu pandang memikirikan hal yang sama.
“Jamal gimana? Udah coba dibawa ke rumah sakit kota?” Tanya Rendi.
Wasmi sudah tahu pertanyaan itu pasti akan keluar dari mulut mereka berdua. Iapun menggenggam erat tanganya di pangkuanya seolah menguatkan diri untuk bercerita.
“Jamal semakin hari semakin aneh mas..” ucapnya.
“Aneh gimana maksudnya?” tanya Rendi.
“Mas juga tahu kan kalau Jamal pulang dengan membawa patung dengan pakaian sinden?”
Rendi mengangguk, sementara Sudarti mencoba mencerna arah perbincangan mereka.
“Jamal jadi aneh beberapa hari setelah pulang ke rumah, sepertinya karena patung itu..”
Jamal pulang seperti biasa disambut oleh istri dan anaknya. Tidak ada hal aneh saat itu. Jamal memberi kejutan pada Wasmi dengan memberikan gajinya pada istrinya. Udinpun turut senang setelah dijanjikan akan diberikan sepeda.
Tapi hal itu berubah ketika Jamal menurunkan patung sinden itu dan meletakkanya di gudang halaman belakang.
“Setiap hari Mas Jamal ngurusin patung itu terus Mas, makin lama makin nggak wajar,” ucap Wasmi.
“Maksudnya nggak wajar gimana?” tanya Rendi.
Wasmi bercerita, awalnya mas Jamal hanya membersihkan patung itu untuk dipajang di halaman belakang. Tapi saat malam tiba, Jamal meninggalkan kamar dan menghampiri patung itu di gudang. ia berada di sana sampai pagi hari.
Setelah kejadian itu, Jamal menjadi cuek dengan keluarganya. Ia melupakan janjinya pada udin dan malah membeli benda-benda aneh.
Patung itu dipakaikan kebaya yang mahal dan selendang yang mewah. Terkadang tercium bau kemenyan dari dalam gudang belakang.
Setiap saya mau melihat ke sana Jamal selalu marah.
Tak cukup sampai disitu, hampir setiap hari Jamal membeli ayam hidup. Awalnya Wasmi bingung, namun suatu malam ia memberanikan diri untuk mengintip ke gudang.
“Mas Jamal menyembelih ayam itu dan mengguyurkanya di patung sinden itu mas..”
Rendi hampir tidak percaya dengan cerita yang ia dengarkan dari Wasmi. Namun bila Wasmi sampai datang ke tempat ini seorang diri, pastilah itu hal yang serius.
Wasmi menjelaskan bersamaan dengan tingkah aneh Jamal, kesehatan udin mendadak memburuk dengan tiba-tiba. Tubuhnya melemah dan muncul koreng di tubuhnya. Wasmi meminta Jamal untuk membawa udin periksa, tapi Jamal seolah tidak peduli.
Udin sudah diberi obat, namun sakitnya malah semakin parah. Yang membuat Wasmi berpikir bahwa penyakit itu tidak wajar adalah ketika setiap malam saat Jamal memasuki gudang belakang, tak lama Udin berteriak kesakitan. Lukanya kembali bernanah tanpa sebab yang jelas.
Besoknya tak hanya udin, hampir semua anak-anak di desa itu terjangkit penyakit yang sama. anak-anak itu lemah tak mampu bangkit dari tempat tidurnya, tubuhnyapun muncul bintil dan luka persis seperti Udin.
Awalnya Wasmi ingin memberi tahu tentang Jamal ke warga desa dengan harapan ada yang mengerti sehingga bisa menangani wabah ini. Tapi Wasmi mengurungkan niatnya karena takut terjadi apa-apa pada Jamal bila ia dituduh sebagai penyebabnya.
“Ya sudah, kita samperin aja Jamal. Kalau benar seperti ceritamu biar aku tempeleng sendiri orangnya,” ucap Rendi.
Rendipun berpamitan pada istrinya dan mengikuti Wasmi menuju desanya.
Sebelum berangkat Rendi menghampiri Pak Carik terlebih dahulu untuk menitipkan sawah yang baru saja ia beli darinya. Sejak awal Pak Carik memang sudah berjanji akan membantu mengelola sawah tersebut sampai Rendi kembali menetap di desa.
“Kulo Nuwun,” Rendi menghampiri sejenak rumah Pak Carik yang tengah menerima tamu seorang bapak di sana.
“Eh monggo mas Rendi, maaf mohon tunggu sebentar ya.” Sambut Pak Carik.
“Wah lagi repot ya pak? Saya ijin pamit sebentar pak.
Mau nitip sawah saja, pupuk dan yang lainya sudah saya letakkan di depan.” Ucap Rendi.
“Lah mau kemana to mas Rendi? Bukanya katanya sebulan di sini?” Tanya Pak Carik.
“Iya pak, Cuma sebentar. Mau nyamperin temen di desa sebelah,” balas Rendi.
“Temenya sakit?” tanya Pak Carik.
“Bisa jadi pak, agak aneh juga. Makanya mau saya samperin,”
“Aneh gimana?” Pak Carik penasaran.
“Belum tau juga, tapi katanya sampai membawa wabah ke anak-anak di desanya,” jelas Rendi.
Mendengar ucapan seseorang yang bertamu seolah menatap penasaran ke arah Rendi.
Pak Carikpun tak mau menahan Rendi lebih lama dan mempersilahkanya untuk berangkat. Merekapun berjalan kaki ke jalan utama dan menaiki bus menuju rumah Jamal.
Menjelang maghrib mereka tiba di tempat tujuan. Tidak seperti di desa Rendi, desa Jamal terasa lebih sepi di waktu maghrib.
Wasmi mengajak Rendi ke rumah orang tuanya terlebih dahulu. di sanalah tempat ia menitipkan udin anaknya sembari membiarkan Rendi beristirahat.
Ia yakin bila Rendi dan Jamal bertemu pasti akan ada perbincangan panjang.
Rendipun menikmati segelas kopi dan makanan ringan yang disajikan oleh Wasmi. Saat itu ia mendengar suara rintihan dari salah satu kamar di rumah itu.
“Ibu… sakit ibu..”
Itu adalah suara udin. Benar seperti cerita Wasmi, udin merasa kesakitan saat hari mulai gelap. Iapun ikut masuk dan melihat keadaan Udin.
Ia mendapati Udin merintih kesakitan dengan luka bernanah di tubuhnya. Tubuhnya kurus dengan wajah yang pucat.
Terlebih setiap malam ia selalu meminta lampu kamarnya dimatikan karena merasa kesakitan bila berada di ruangan yang terang.
Suara rintihan itu juga terdengar di beberapa rumah lain di desa itu. Rendipun geram dan meminta ijin untuk langsung menemui Jamal.
Wasmi dan Rendipun sampai di rumah Jamal. Sesuai dugaan Wasmi, mereka tidak menemui keberadaan Jamal di rumah dan bergegas menuju gudang belakang.
Itu adalah gudang sederhana yang dibuat dengan kayu seadanya, namun cukup besar untuk menyimpan peralatan pertanian.
Dari celah kayu itu terlihat cahaya oranye menyala dari dalam ruangan. Dari bentuk cahayanya mereka menduga itu berasal dari nyala lilin atau lampu minyak dibanding nyala lampu.
Sebelum memutuskan untuk masuk, Rendi memilih untuk mengintip terlebih dahulu apa yang dilakukan oleh Jamal di dalam bangunan. Ia meminta Wasmi menjaga langkahnya agar tidak terdengar sementara Rendi mengintip dari celah bangunan itu.
Baru sebentar melihat dari celah lubang, tiba-tiba wajah Rendi berubah menjadi seram. Ia seolah menahan marah. Saat itu juga ia menendang pintu gudang itu hingga terbuka lebar.
“Heh Jamal! Kesurupan apa kamu! Gendeng kamu!
Bisa-bisanya melakukan tindakan menjijikkan itu!” Rendi marah sejadi jadinya.
Wasmi tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Patung sinden itu kini terlihat cantik dengan wajah yang sudah terlukis dengan darah yang pekat.
Bagian tubuh lainyapun masih terlihat darah segar dari ayam yang baru di sembelih oleh Jamal.
Tapi bukan itu bagian mengerikanya…
Mereka memergoki Jamal sedang memasukkan kemaluanya ke bagian kewanitaan dari patung sinden itu.
Dengan kebaya dan jarik yang setengah terbuka, patung itu terlihat dengan jelas memamerkan bagian kewanitaanya, dan Jamal terlihat bernafsu dengan itu.
“Mas! Eling mas! Eling!” ucap Wasmi sembari menangis.
“Rendi! Ngapain kamu di sini!!” Jamal terlihat sangat marah melihat kedatangan mereka berdua.
“Nggak usah banyak tanya! Pakai celanamu dan keluar!!” Rendi menarik Jamal dan memaksanya untuk keluar, tapi Jamal menolak.
“Kamu nggak usah ikut campur! Ini urusanku!!”
Merasa kesal, Rendipun mengayunkan lenganya dan meninju wajah Jamal. Jelas saja Jamal segera membalas pukulan itu hingga terjadi keributan di sana.
Aneh, Jamal terlihat berbeda sejak terakhir mereka bertemu. Wajahnya terlihat lebih segar dan tubuh yang lebih kekar.
Tenaganyapun jauh lebih kuat dari sebelumnya.
“Wasmi! Hancurkan patungnya!” Teriak Rendi.
Mendengar teriakan Rendi, Wasmi segera mengambil sebuah cangkul dan berlari menuju patung itu.
“Jangan berani-berani! Kubunuh kamu!” Teriak Jamal.
“Itu Istrimu bangsat!” Teriak Rendi sembari kembali memukul Jamal.
Warga desa yang mendengar keributan itupun mulai berdatangan dan mencari tahu tentang keributan mereka berdua.
“Mas ada apa to ini?” beberapa dari mereka mencoba memisahkan.
Wasmipun mengayunkan cangkulnya untuk menghancurkan patung sinden yang mengerikan itu, tapi berkali-kali ia memukul patung itu tidak hancur dengan mudah. Sebaliknya Wasmi merasakan adanya kejanggalan.
“I—ini siapa yang nyinden?” salah satu warga desa tersadar dengan suara yang tiba-tiba terdengar di antara mereka.
Sementara itu Wasmi terpaku menatap patung itu,”Patung ini hidup?”
Entah mengapa Wasmi merasa seperti itu, padahal patung itu tidak bergerak sama sekali.
Bersamaan dengan suara sinden itu, Jamalpun mulai bertingkah aneh. tenaganya semakin kuat dan melepaskan diri dari warga.
Warga mengira ia akan mengamuk, namun sebaliknya. Jamal malah menari sambil tersenyum menikmati suara sinden yang mengiringinya.
“Jamal! Sadar Jamal!” Teriak Rendi.
Jamal tidak peduli. Ia benar-benar menikmati tarianya bersama suara sinden misterius yang sayup-sayup terdengar olehnya.
Gerakan Jamal terlihat semakin cepat seolah mulai termakan emosi. Beberapa warga yang mencoba menahanyapun terpental.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara langkah kecil yang mendekat.
“Nak!! Mau kemana nak??” teriak seorang ibu yang berusaha menarik anaknya mendekat ke arah Jamal.
“Udin? Kenapa kamu kesini udin?” Wasmipun heran mengapa Udin juga ikut mendekat ke tempat ini.
Wargapun mulai tersadar dengan keadaan disekitarnya. Seluruh anak kecil yang tengah sakit di desa itu ternyata sedang mencoba mendekat ke arah Jamal. Wasmi dan warga lain mencoba menahan anak-anak yang semakin terlihat pucat itu. namun tenaga mereka jauh di luar nalar.
Anak yang lolos dari wargapun mendekat kepada Jamal dan ikut menari. Satu persatu dari merekapun ikut bergabung. Beberapa warga memeluk anaknya erat-erat agar tidak mendekat, tapi ia tetap berusaha menari dengan alunan suara sinden itu.
“Ini ada apa? Kenapa bisa begini?” ucap warga yang kebingungan.
“Patung itu Wasmi! Hancurkan! Minta bantuan warga!” teriak Rendi yang masih mencoba menahan Udin.
Dengan isyarat dari Rendi beberapa warga segera berlari membantu Wasmi untuk menghancurkan patung itu.
sayangnya sebelum mereka sampai ke sana, tiba-tiba Jamal menghentikan tarianya dan memuntahkan cairan hitam dari mulutnya.
Hal itu terjadi bersama tumbangnya anak-anak yang menari bersamanya.
Mereka terjatuh terbaring dengan mata yang masih terbuka namun dengan tubuh yang terbujur kaku.
“Udin! Sadar Udin!” teriak Rendi.
Mengetahui ada keanehan pada anaknya, Wasmipun melemparkan cangkulnya dan berlari ke arah udin.
“Nal! Kamu kenapa nak!” ibu yang lainpun mendekat ke arah anak-anak itu.
Sayangnya, malam itu menjadi malam yang kelam untuk desa itu. semua anak kecil di sana terbaring tak bernyawa setelah selesai menari bersama Jamal.
“Udin!! Jangan pergi Udin!” Wasmi menangis sejadi-jadinya mengetahui anak yang ia usahakan untuk diselamatkan menginggal dengan tidak wajar.
Rendi kembali mendekat kepada Jamal, namun Jamal juga terkapar di tanah.
Suara tangis memenuhi halaman belakang rumah Jamal di malam itu.
Patung sinden itu masih berdiri dengan posisi pakaian yang menggoda. Rendi melihatnya dengan kesal dan mengambil sebuah cangkul. Ia berniat menghancurkan patung itu.
Sayangnya, tiba-tiba seseorang memeganginya dari belakang dan menghalanginya.
“Jangan sentuh patung itu!” Jamal kembali sadar. Tapi kini suaranya berbeda dengan sebelumnya, suaranya menipis seolah bukan suara Jamal.
Warga yang melihat kejadian itupun menyusul Rendi dan berinisiatif menghancurkan patung itu. namun saat mereka mendaratkan pukulanya ke patung itu, tiba-tiba mereka terhenti.
Semua warga yang mencoba menghancurkan patung itu dengan alat apapun tiba-tiba bertingkah aneh.
matanya memerah seolah kerasukan sosok yang buas.
Merekapun berbalik ke arah warga dan Rendi dengan menggenggam berbagai peralatan berat di tanganya. Ada tiga warga yang mengalami nasib serupa. Mereka seolah mengincar Rendi dan warga desa untuk dihabisi.
“pak! Ja—jangan pak! Patungnya! Hancurkan patungnya!” Teriak Rendi.
Sayangya ketiga warga itu tidak peduli dan semakin cepat mendekat ke arah Rendi yang ditahan oleh Jamal.
“Lepasin Jamal! Lepasin!” Teriak Rendi.
Anehnya tenaga Jamal semakin besar.
Ia merasa kulit Jamal semakin segar dan tubuhnya semakin kuat.
Rendi bersiap menahan serangan dari ketiga warga yang kerasukan itu, tapi sebelum sebuah linggis mendarat di kepalanya tiba-tiba terdengar suara alunan doa yang mendekat kepada mereka.
Ada seseorang berjalan cukup cepat mendekat dari kejauhan. Seorang pria…
Rendi mencoba mengenali wajah orang yang terlihat tidak asing bagi Rendi. Dalam sekejap iapun mengingat bahwa ia adalah seorang bapak yang tadi berkunjung bertemu Carik Desanya.
Lantunan doa pria itu membuat warga yang kerasukanpun terhenti. Saat mencapai Rendi, ia memegang kepala warga yang kesurupan satu persatu dan membacakan doa. Perlahan satu persatu warga desapun pingsan dan kehilangan kesadaran. Jamalpun tak luput dari itu.
“Menjauh semua! Menjauh dari patung itu!” Teriak orang itu.
“Pak, bapak yang tadi ketemu di tempat Pak Carik itu kan?” tanya Rendi.
“Iya betul, nama saya Bimo. Maaf saya terlambat,” ucapnya sembari melihat jasad anak-anak kecil yang sebagian besar masih di pelukan ibunya.
“Pak Bimo tahu tentang semua ini?” Tanya Rendi.
“Sayangnya tidak mas, tapi setidaknya semoga saya bisa mencegah bertambahnya korban,” ucap Bimo.
Bimo mengambil sebotol air, membacakan doa, dan menyiramkanya ke sekeliling bangunan tempat patung itu berada.
Ia juga melemparkan garam kasar di sekitarnya sembari membacakan ayat-ayat suci.
Perlahan suara tembang sinden itupun sayup-sayup tidak terdengar lagi. Rasa mencekam yang dirasakan warga desapun perlahan mulai menghilang.
Setelah memastikan tidak ada warga yang kesurupan, wargapun berpencar mengurus permasalahan ini. sebagian mengurus jasad anak-anak yang meninggal, dan sebagian berkumpul di balai desa membahas permasalahan ini.
“Pak, anak saya pak..” tangis Wasmi meminta petunjuk mengenai kondisi Udin yang sudah tidak sadar.
Bimopun mengecek tubuh Udin dan menggeleng.
“Maaf Mbak, ikhlaskan anak ini ya. Biar saya bacakan doa untuk menghantarnya,” balas Bimo sembari menutup mata udin dan mendoakanya.
Wasmi terus menangis tanpa henti. Orang tuanyapun datang dan berusaha menenangkanya. Kini sebagian warga, Rendi, dan Bimopun berkumpul di balai desa.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Beberapa hari lalu desa ini masih tenang, kenapa tiba-tiba anak-anak bisa sakit dan berakhir seperti ini?” ucapan keras seorang warga membuka pembicaraan.
Warga di balai desapun memulai berbagai spekulasi, mulai dari wabah anak-anak, patung sinden, dan bahkan mulai membicarakan Jamal.
“Pak Bimo, mungking panjenengan bisa menjelaskan apa yang terjadi pada desa kami?” Tanya salah seorang warga.
Bimo menghela nafas dan menoleh pada Rendi.
“Mohon maaf bapak-bapak, saya sendiri baru datang dan belum mengerti. Tapi mungkin Mas Rendi tahu sedikit tentang masalah ini. Tapi tolong jangan menyalahkan siapapun atas kejadian ini.
karena satu hal yang saya tahu pasti , ini semua karena tipu daya setan..” ucap Bimo mempersilahkan Rendi.
Malam itu Rendi menceritakan semua hal yang ia tahu. Runtutan kejadian-kejadian itu sangat sulit dipercaya.
Mulai bertemunya mereka dengan sosok setan sinden di jalan hingga dihadang oleh patung. Kemampuan Jamal mengangkat patung itu saja juga sudah janggal , disitulah Bimo menjelaskan bahwa saat itu Jamal sudah dipengaruhi oleh setan itu.
Sesampainya di desa, Rendi tidak begitu khawatir hingga Wasmi datang ke rumahnya meminta tolong untuk berbicara dengan Jamal perihal sakit anaknya dan perbuatan anehnya setiap malam di gudang belakang.
Dan malam inilah Rendi tahu bahwa Jamal melakukan ritual menjijikkan dengan memenuhi semua nafsu patung itu.
“Anak-anak di desa ini adalah tumbal untuk patung sinden itu. Sosok dibalik patung itu sedang mencoba melakukan sesuatu yang mengerikan,” Jelas Bimo.
“Maksudnya anak-anak kami, anak di desa kami menjadi tumbal Jamal?” Tanya salah satu warga dengan penuh amarah.
“Bukan Jamal, dia juga korban.. patung sinden itu bisa mempengaruhi siapa saja.
Besok biar kita kuburkan anak-anak dengan layak agar rohnya tidak terikat sebagai tumbal patung itu..” jelas Bimo.
Warga berusaha menerima penjelasan Bimo, namun beberapa dari mereka masih memendam amarah pada Jamal.
Belum sempat melanjutkan perbincangan, tiba-tiba terdengar suara mesin mobil yang menyala. Suara itu berasal dari rumah Jamal.
“Pak! Jamal hilang!” teriak salah satu warga yang segera mengecek keberadaan Jamal setelah mendengar suara mesin mobil itu.
Seketika seluruh warga di balai desa berhamburan keluar memastikan mobil yang melintas tak jauh dari hadapan mereka.
“Itu mobil Jamal,” ucap Rendi.
Iapun berinisiatif berlari ke rumah Jamal memastikan keadaan di sana.
Wasmi masih berada di rumah orang tuanya dan tidak ada siapapun di rumah Jamal.
“Pak Bimo, patung sinden itu tidak ada..” Ucap Rendi yang segera kembali dengan terengah-engah menemui Bimo.
“Sialan! Bisa-bisanya Jamal!” umpat salah satu warga desa tersebut.
Bimo terlihat bingung, tanpa adanya patung itu ia tidak bisa menyelediki patung apakah itu dan mengapa patung itu sampai memiliki kekuatan yang bisa mengutuk satu desa.
Sebelum kembali ke desa Bimo mencoba memeriksa gudang di belakang rumah tempat patung itu sebelumnya berdiri. Ia menyalakan lampu minyak yang tergantung di gudang itu dan melihat sekitarnya.
Sebuah ruangan yang wangi dengan kembang dan kemenyan, padahal tanah di bawah tempat itu sudah tergenang darah ayam yang dikurbankan. Bimo mencari petunjuk apapun di tempat itu, namun yang tersisa hanya sisa ubo rampe ritual.
Rendi ikut mencoba mencari tahu apa yang sekiranya bisa membantu Bimo. Iapun menemukan sebuah benda yang dibungkus kantung plastik hitam. saat mengetahui isinya, ia segera memberikanya kepada Bimo.
“Pak Bimo, ini kebaya tua yang dikenakan patung itu saat kami temukan,” ucap Rendi.
Bimo membuka bungkusan itu dan melihat kebaya berwarna krem dengan selendang berwarna merah gelap. Benda itu sudah kotor dan memiliki robekan yang cukup banyak.
Tapi Bimo tahu, ada sesuatu yang mungkin bisa ia ketahui dari benda ini.
“Matur nuwun mas, saya bawa benda ini. semoga saja bisa memberi saya petunjuk.” Balas Bimo.
Kejadian di desa itu sama sekali tidak terduga oleh Bimo.
Entah mengapa ia merasa itu adalah awal dari tragedi yang jauh lebih besar. Paginya Bimo membantu warga untuk menguburkan anak-anak hingga benar-benar selesai.
Tangisan orangtua mereka hampir tidak pernah berhenti bahkan hingga makam mereka ditutup.
Bimopun jelas merasakan kesedihan mereka.
Tak lama terdengar suara dering telepon dari telepon genggam milik paklek. nama Danan terpampang di layarnya, iapun segera mengangkatnya.
“Paklek, maaf ganggu ada kabar penting paklek,” ucap Danan.
“Kabar apa Nan? Coba ceritain pelan-pelan,”
Melalui itu Danan bercerita tentang kejadian yang membuatnya bingung tentang adanya sebuah bagunan yang tak begitu jauh dari kantornya. Beberapa isu menceritakan bahwa bangunan itu digunakan oleh sekumpulan orang yang mencurigakan.
Orang-orang itu berkumpul setiap malam tertentu. Merekapun membawa barang-barang yang tidak biasa. Bahkan mereka pernah kepergok membawa seekor kambing hitam hidup-hidup masuk ke dalam gedung.
“Kamu sudah mencari tahu sendiri Nan?” Tanya paklek.
“Sudah Paklek, makanya sekarang saya bingung..”
“Memangnya apa yang kamu temukan?”
Danan bercerita kalau dia sempat menggunakan ilmu ragasukmanya untuk mengecek tempat itu. tapi saat masuk ke sana, danan melihat sukma orang-orang itu tidak lagi berwujud manusia.
Sukma mereka berwujud setengah binatang. Tapi saat semakin mendekat, sukma danan terpental dan kembali ke tubuhnya dengan paksaan.
“Ada kekuatan di sana yang mebuat kemampuan keris ragasukma tidak berdaya, paklek” jelas Danan.
“Apa itu Nan? Kamu sempat melihat sesuatu?”
“Iya paklek, ada sebuah patung di sana.
Sebuah patung berwujud kakek tua bungkuk dengan pakaian seperti pada jaman dulu. Tapi wajahnya lebih menyerupai seekor kambing.
Patung itu disembah oleh kelompok itu. ada banyak kurban yang diserahkan. Tapi ada satu yang mengganjal pikiranku paklek.
Ada seorang anak perempuan yang dikurung di kamar berbentuk penjara dan didandani secantik mungkin. Aku takut kalau ternyata mereka berniat mengurbankan anak wanita itu untuk berhala itu… “

***
(Bersambung Part 2 - Sekte berhala)
Pada part berikutnya Danan dipertemukan dengan sosok roh anak kecil yang sempat diculik oleh sekelompok orang misterius.. ada sebuah sosok patung dibalik orang-orang itu.

yang mau baca duluan atau sekedar mendukung bisa mampir ke @karyakarsa_id ya
karyakarsa.com/diosetta69/den…
Dendam Patung Arwah
Part 2 - Sekte Berhala

Roh anak itu terus menatap ke bangunan di ujung jalan buntu. ia mati di sana, dan teman-temanya masih berada di sana bersama sekelompok orang yang rohnya tak lagi berwujud manusia..

@bacahorror_id @IDN_Horor

#bacahorror #malamjumat Image
BANGUNAN DI UJUNG GANG

(Sudut pandang Danan)
Ribuan bangunan memadati pemandangan di Ibukota yang jauh dari kata tenang. Suara mesin dan klakson kendaraan bermotor tidak pernah lupa melengkapi pagi mereka yang berpacu dengan waktu.
“Koran-koran! Koran hangat.. reshuffle kabinet, penculikan anak jalanan, harga sembako meroket, berita hangat..”
Penjaja koran terlihat berkeliling bergantian dengan pedagang asongan yang lain.
Aku bersama Rizal sedang menikmati semangkuk mie ayam di pinggir jalan sembari menikmati waktu istirahat kami.
“Bang koran satu bang!” Rizal mengeluarkan satu lembar uang lima ribuan dan menyerahkanya ke pedagang koran yang lewat kembali di hadapan kami.
“Tumben beli koran, ada berita yang rame?” Tanyaku pada Rizal.
“Iya Danan, ini anak-anak jalanan yang hilang lokasinya nggak jauh dari tempat kita. Penasaran aja,” jawab Rizal sembari membuka lembaran koran yang baru saja dia beli.
Anak hilang? Penculikan? Kadang aku merasa bahwa makhluk halus, dedemit, atau apapun itu yang sering menakuti manusia tak semengerikan perbuatan manusia itu sendiri.
Setidaknya makhluk halus masih takut dengan Sang Pencipta dan akan takluk dengan ayat-ayat suci.
Sedangkan untuk beberapa manusia, keberadaan Tuhan sudah tidak lagi mereka anggap.
Akupun mengecek jam tanganku dan mengajak Rizal untuk kembali ke kantor. Rizalpun segera melipat koranya dan membawanya ke dalam.
“Makan dimana Nan? Nggak kelihatan di kantin?” Tanya Fira.
“Makan Mie ayam, sekali-kali cari suasana baru,” balasku.
“Lah nggak ngajak-ngajak,” protes Fira.
“Lah kan elu yang keluar duluan Fir, kebalik kali,” balas Rizal.
“Hehe.. iya juga ya,”
Perbincangan singkat itu ditutup dengan sebuah map yang diberikan oleh Dian kepada Fira, “Nih, Pak Bos minta kita kelarin hari ini. Semangat ya!”
Rupanya sudah ada pekerjaan menumpuk yang menanti kami di pertengahan hari ini.
Kamipun menyudahi perbincangan kami dan melanjutkan perkerjaan kami masing masing. Dari jumlah pekerjaanya, dapat dipastikan kami akan lembur malam ini.
“Rasanya terjebak di alam ghaib itu gimana Nan? Aku nggak pernah bisa ngebayangin seandainya terjebak di sana,”
Tanya iseng Rizal di akhir jam kerja kami.
“Nggak enak, di sana nggak ada nasi, mie ayam, setiap saat kita selalu merasa gelisah dan sangat mudah untuk kehilangan kewarasan,” balasku sedikit menggambarkan selama terjebak di Jagad Segoro Demit beberapa bulan lalu.
Rizal memperhatikan Danan baik-baik. Dia dan kawan-kawan yang lain sempat tidak yakin Danan akan kembali dengan selamat. Merekapun tidak menyangka Danan akan kembali lagi ke kantor setelah sekian lama.
“Gua sempet ngira lu nggak bakal balik ke kantor sini lagi Nan,” ucap Rizal.
“haha.. Aku yang ragu bakal diterima lagi setelah lama ngilang, untung bos pengertian,” balasku.
Akupun tidak menyangka bahwa mereka masih memberi tempat untukku untuk bekerja di kantor ini. wajarnya jika aku bekerja di perusahaan lain, mungkin aku sudah dipecat.
“Iya, bos tahu banget permasalahanya. Justru kalau lu nggak balik, kita yang diminta jemput lu lagi Nan,” jelas Rizal.
Aku tersenyum mendengar cerita Rizal. Sebuah keberuntungan aku bisa bekerja di tempat yang mau mengerti tentang permasalahan yang sering aku hadapi.
Waktupun menunjukkan pukul tujuh malam. Aku yang telah menyelesaikan pekerjaan segera membereskan barang dan bersiap untuk pulang. Rizal dan yang lain masih sedikit menyelesaikan pekerjaan mereka.
“Duluan ya, nongkrong dulu di pos Pak Sholeh,” pamitku.
“Ok Nan, bentar lagi kita juga kelar,” balas Fira mewakili yang lain.
Akupun turun ke bawah dengan menenteng tasku menuju pos Pak Sholeh. Aku tidak menemui Pak Sholeh di pos itu, sebaliknya ia sedang menatap sesuatu di luar gerbang.
“Dor!! Ngelamunin apa Pak Sholeh,” isengku mengagetkan beliau.
“Heh, Mas Danan iseng aja..” balasnya.
Akupun melongokan kepala mencari tahu apa yang dilihat oleh Pak Sholeh.
“Liat apaan sih Pak?” Tanyaku.
Pak Sholeh menatapku sebentar dan berfikir akan menceritakanya sesuatu. Akupun menyeduh kopi panas sembari mencari tempat duduk yang nyaman di pos.
“Mas Danan ini ngerti soal hal ghaib kan?” Tanya Pak Sholeh tiba-tiba.
“Memang kenapa pak? Orang terdekat Pak Sholeh ada masalah yang berhubungan sama hal ghaib?” Tanyaku.
Pak Sholeh menggeleng.
“Kemaren ada security kantor lain cerita, katanya dia sempat pulang kemaleman, dan ngeliat ada setan setinggi bangunan.
Katanya wujudnya mirip kakek-kakek,” cerita Pak Sholeh.
Aku mengernyitkan dahiku dan mencoba mendengarkan cerita Pak Sholeh keseluruhan.
“Di mana itu pak?”
“Lima ratus meter dari kantor kita, setelah lampu merah ada satu gang yang buntu. Gang itu jarang sekali dilewati.
Waktu itu teman saya nggak sengaja lewat tempat itu malam-malam.”
Pak Sholeh menceritakan bahwa temanya itu sebenarnya sudah curiga tentang sebuah bangunan yang terkadang masih beroperasi di sana. Katanya masih digunakan sebagai gudang.
Anehnya, kantor itu hanya pernah didapati beroperasi di malam hari, Itupun tidak rutin. Apalagi orang-orang yang masuk ke dalam kantor benar-benar beragam. Tidak seperti karyawan.
Ada ibu-ibu, anak muda, perempuan cantik, bapak tua.
Curiga sudah pasti, tapi saat ada kunjungan dari kelurahan sama sekali tidak ada keanehan di sana. Hanya berisi barang-barang stok gudang dari kantor utamanya.
Baru beberapa minggu ini ada hal-hal yang janggal di sana.
Mulai dari anak-anak jalanan yang dikabarkan hilang, suara keramaian dari bangunan itu pada malam hari. dan yang terakhir saat teman Pak Sholeh mau mengecek keramaian itu, ia dihadang makhluk besar setinggi bangunan itu.
“Waktu dia cerita nggak ada yang percaya mas. Tapi karna saya pernah ngalamin kejadian yang terjadi di kantor ini, akhirnya saya dengerin cerita dia sampai habis,” jelas Pak Sholeh.
Aku sedikit merenung mendengar cerita Pak Sholeh.
Kalau cerita itu benar, sudah pasti ada hal yang tidak wajar di bangunan itu.
“Polisi pernah meriksa tempat itu?” tanyaku.
Pak Sholeh menggeleng.
“Nggak mas, yang punya bangunan itu orang penting. Pada nggak berani macem-macem.” Balasnya.
Kalau polisi tidak berani memeriksa, apalagi aku yang hanya karyawan biasa. Tapi mungkin ada baiknya sesekali aku melewati bangunan itu untuk memastikan apakah ada hal yang aneh di sana.
“Ngomongin kantor gang buntu itu ya?” tanya Rizal yang mendadak sudah sampai pos.
“Iya Zal, kamu tahu?” tanyaku.
“Ya udah, nanti pulang kita lewat situ aja,” ajak Rizal.
Aku memperhatikan Rizal, rupanya Rizal masih dengan kebiasaanya mencari tahu tentang masalah hal ghaib sendirian.
“Jangan bilang kamu udah nyelidikin ke sana duluan? Tak laporin mbahmu lho,” ucapku memperingatkannya.
“Nggak Nan, tenang.. Cuma sebatas penasaran. Tar juga kamu tahu sendiri,” balasnya.
Mendengar ucapan Rizal akupun penasaran dan meminta Rizal mengantarkan aku ke bangunan itu. Pak Sholeh memperingatkan kami untuk berhati-hati. Terlebih ini bukanlah masalah yang berhubungan langsung dengan kami.
Akupun memacu sepeda motorku mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Rizal. Tidak terlalu jauh, tapi padatnya kendaraan membuat kami membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke tempat itu.
Sekilas tidak terlihat bangunan yang dimaksud oleh Pak Sholeh.
Kantor-kantor yang menghadap ke jalan terlihat megah menutupi jalan buntu yang menuju ke bangunan itu.
“Ini bangunanya Zal?” Tanyaku.
“Iya”
Akupun memperhatikan bangunan kantor tiga lantai itu dan tidak merasakan keanehan apapun.
“Kayaknya kalau secara ghaib nggak ada yang aneh,” balasku.
“Ya udah liatin dulu aja, habis itu ikutin aku,” ajak Rizal.
Aku belum mengerti maksud Rizal. Berkali-kali aku memeriksa bangunan ini memang tidak ada tanda-tanda mencurigakan.
Bahkan kantor kami lebih memiliki masalah per’demit’an yang lebih pelik dari kantor ini.
“Ya sudah, terus mau ngajak kemana lagi?” Tanyaku pada Rizal.
Rizal mengajakku berjalan ke sebrang memasuki salah satu gang yang berhadapan dengan gang buntu yang kami masuki ini.
“Dek, kamu masih di sini?” Tiba-tiba Rizal berteriak ke arah jalan yang sedikit sepi itu.
Aku berniat menanyakan niat Rizal, tapi akhirnya aku memilih mengurunkan niatku dan percaya dengan apa yang akan ditunjukkan oleh Rizal.
“Mas, kesini lagi?”
Tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang dari belakang. Kami cukup kaget, namun Rizal dengan segera bisa mengenali anak itu.
“Kan Mas udah bilang, mas bakal dateng lagi,” balas Rizal.
Itu adalah roh anak laki-laki yang mungkin masih berumur sepuluh tahun.
Ia mengenakan baju yang lusuh yang sepertinya baju yang ia kenakan saat kematianya.
“O.. ya sudah,” ucapnya yang segera meninggalkan kami dan duduk santai di pinggir jalan.
“Zal, anak itu siapa? Korban kecelakaan?” tanyaku.
Rizal menggeleng, “Masalahnya lebih pelik dari itu. Katanya sebelum mati dia melihat temanya dibawa ke bangunan itu. katanya sampai sekarang temanya masih ada di sana.”
Mendengar penjelasan Rizal akupun mendekat ke anak itu.
“Benar teman kamu masih di sana?” Tanyaku.
“Iya bang, abangnya bisa nolongin dia?” Tanya anak itu.
“Nolongin? Emangnya kamu tahu teman kamu diapain di sana?” tanyaku.
Bocah itu menggeleng, tapi dia menceritakan sesuatu yang membuatku benar-benar harus mengawasi bangunan itu.
Kejadianya beberapa bulan yang lalu. Saat itu dia dan beberapa anak perkampungan pinggir rel sedang mengamen di daerah itu. kali ini mereka berencana pulang cukup malam, mereka merasa berani karena mereka beramai-ramai.
Merasa cukup lelah selama mengamen seharian, merekapun berniat beristirahat sebentar dengan tidur di pinggir jalan tempat kami berada saat ini. tapi tanpa sadar mereka tidak terbangun sampai hingga tengah malam. Dan dimalam itulah hari kematian bocah itu.
“Mereka memakai topeng bang, mereka tidak membangunkan kami dan membopong kami masuk ke bangunan itu.” Jelasnya.
Dalam keadaan setengah sadar, anak itu melihat keadaan kantor itu seperti kantor biasa sampai ia tiba di salah satu tempat.
Dia dan anak yang lain dibawa ke sebuah tempat yang terdapat kolam. Entah bagaimana bisa tiba-tiba anak itu tersadar sementara teman-temanya masih tertidur pulas. Iapun merasa yang terjadi pada mereka bukanlah hal yang wajar.
“Baru saja saya mencoba membangunkan yang lain, tiba-tiba muncul kepala dari bawah lantai. Dia ngeliatin saya sambil ketawa bang…” ucapnya memperagakan kejadian itu.
Kejadian itu membuat anak itu ketakutan dan berlari meninggalkan ruangan itu.
sayangya makhluk itu masih mengejarnya. Dia ketakutan hingga saat sampai di salah satu lorong ia dihadang makhluk besar yang bahkan wajahnya tidak bisa ia lihat.
Tanpa ada pilihan lain, anak itupun memilih kabur lewat jendela yang ternyata saat ini ia ada di lantai atas.
Seketika ia terjatuh dengan luka yang parah.
Dengan sisa tenaganya iapun pergi ke jalan besar untuk meminta pertolongan. Sayangnya saat itu malam sudah terlalu larut. Iapun meregang nyawa di seberang jalan tempat kami menemuinya saat ini.
“Berarti teman-temanmu masih ada di bangunan itu?” tanyaku.
Bocah itu mengangguk, berarti sudah jelas bahwa itu alasanya belum bisa tenang. Tapi yang lebih membuatku khawatir adalah tentang isi bangunan itu. Bila apa yang dikatakan roh bocah itu benar adanya,
bisa jadi sosok di dalamnya benar-benar berbahaya hingga bisa menahan kekuatanya hingga tidak terdeteksi.
“Ya sudah, nanti saya cari tahu. Sabar ya..” ucapku pada anak itu.
Akupun memberi isyarat pada Rizal bahwa sudah mengerti akan apa yang ingin ia sampaikan.
Namun aku membutuhkan waktu untuk menyelidikinya.
Mungkin bila aku tidak bisa masuk ke tempat itu, aku harus meminjam kekuatan Keris Ragasukma untuk mengecek tempat itu dengan wujud sukma.

***
Patung Berhala
Dengan kekuatan Keris Ragasukma aku bisa memisahkan ragaku dengan sukmaku sesaat. Yang membedakan dengan ilmu Paklek,
ilmu ragasukma dari keris ini juga membekaliku dengan wujud roh dari keris ini sehingga aku tetap bisa membela diri ketika mendapat perlawanan dalam wujud sukma.
Sekali lagi aku menghampiri bangunan kantor yang kudatangi tadi.
Dari jauh aku masih melihat anak tadi menatap ke bangunan itu seolah masih menanti kedatangan teman-temanya.
Sungguh aku tidak merasakan ada yang mencurigakan dari bagunan ini. Tidak seperti bangunan terbengkalai atau rumah angker yang terdapat residu kekuatan ghaib,
bangunan ini benar-benar tidak memiliki keanehan yang mencolok.
Akupun masuk ke dalam bangunan yang difungsikan sebagai gudang itu dan memang menemukan banyak tumpukan kardus yang tersusun rapi dengan penomoran yang tertata.
Aku mencoba mencari seseorang yang menjaga bangunan ini, entah itu security atau karyawan yang bertugas untuk jaga malam, namun tidak kutemukan.
Cukup lama aku menjelajahi bangunan ini, namun sama sekali tidak ada petunjuk.
Aku mencoba mencari ruang rahasia, namun tidak dapat kutemukan.
Saat itu waktu menunjukkan pukul tiga pagi, aku bersiap untuk kembali meninggalkan bangunan ini. tapi tiba-tiba aku merasakan firasat yang janggal.
Suara langkah kaki tiba-tiba mendekat ke arahku.
Bukan hanya satu, tapi banyak. Sementara itu aku menoleh ke arah pintu masuk, tapi tidak ada tanda-tanda pintu itu pernah terbuka.
Nyala lampu lilin tiba-tiba menerangi ruangan itu. ada lebih dari sepuluh manusia yang tiba-tiba berada di ruangan.
Benar seperti cerita Pak Sholeh, mereka orang-orang yang sangat berbeda baik dari segi umur, maupun profesi.
“Darah ini menghantarkan kami kepadamu…”
Kalimat itu dimulai dengan satu orang yang meneteskan darahnya pada sebuah pola yang baru saja ia gambar di salah satu keramik lantai. Sisa orang berikutnya mengulang kalimat yang sama dan ikut meneteskan darahnya.
Aku memperhatikan dari jauh dengan berhati-hati.
Dan pemandangan yang tidak wajar terlihat di hadapanku.
Ada tangan besar dari dalam tanah yang mecengkram kaki-kaki manusia disana dan seolah menariknya masuk ke dalam tanah. Satu persatu dari merekapun menghilang dari penglihatanku.
Kali ini aku yakin, tempat ini menyembunyikan sesuatu yang besar.
Akupun mencoba mengikuti arah energi dari tangan itu berasal dan benar saja, energi itu membawaku ke sebuah tempat yang belum kuketahui.
Hutan? Bukan.. tempat ini lebih seperti sebuah pemakaman.
Tapi, tidak ada langit di tempat ini. apakah ini masih di dalam bangunan? Aku tidak dapat mengambil kesimpulan apapun dari apa yang kulihat.
“Lari!! Setanya datang!!”
Terdengar suara anak kecil yang berlarian sambil tertawa di tempat itu.
“Kena! Gantian kamu setanya!”
Ada lebih dari sepuluh anak kecil yang bermain kejar-kejaran di tempat itu. tapi ada satu yang mencolok. Seorang anak perempuan yang terlihat paling tua diantara mereka.
Saat terdengar derap langkah orang-orang yang mendekat kepada mereka, merekapun membubarkan diri.
dan anak perempuan yang paling tua itu masuk kedalam sebuah kurungan di salah satu sisi tempat itu.
“Teteh mainya berhenti sebentar ya, kita jampi berkah dulu,” ucap salah seorang ibu yang baru saja datang bersama yang lain.
Anak perempuan itu mengangguk. Aku tidak bisa menilai ekspresinya, apakah itu ekspresi menurut karna mengerti atau karena takut.
Salah seorang dari mereka juga membawa berbagai macam jajanan anak-anak dan membaginya ke anak kecil yang lain.
Dengan senang hati mereka menerimanya dan kembali ke sudut lain tempat itu. sepertinya ada tempat khusus bagi mereka di sana.
“Aku mau di sini terus saja, di sini nggak pernah kelaparan,” ucap salah seorang anak kecil.
“Kakak-kakak itu juga bawain mainan lagi lho!” balas yang lain.
Mereka menerima dengan senang pemberian orang-orang itu. Memang penampilan anak-anak itu saat ini tidak lagi seperti anak jalanan. Pakaianya lebih rapi, dan tubuhnya lebih terurus.
Setelah menyelesaikan urusanya dengan anak-anak itu. Orang-orang itupun mendekat ke sebuah altar di dekat kurungan anak perempuan tadi. Ada sebuah peti yang diletakkan berdiri di tempat itu. tingginya lebih dari dua meter dengan lebar yang melebihi bahu tiga orang.
Ada beberapa lilin yang dipasang di dekatnya dengan beberapa tampah atau nampan bambu yang dijejerkan di sana. Satu orang dari mereka mengatur menyalakan kemenyan dan mengatur posisi kembang di tampah.
Setelahnya, satu persatu dari mereka membuka benda yang mereka bawa dan meletakkanya di tampah itu.
Aku mencoba mendekat dan memastikan benda apa yang mereka gunakan sebagai sesaji. Dan itu adalah benda yang jauh dari kata wajar.
Kepala kambing diletakkan di sebelah kiri..
Kepala kerbau diletakkan di tengah..
Sementara di paling kanan diletakkan kepala anjing yang masih menunjukkan taringnya.
Merekapun menggumamkan beberapa kalimat yang tidak kumengerti apa artinya.
Bersamaan dengan itu dua orang yang berada di altar membuka peti itu dengan berhati-hati.
Tepat saat peti itu terbuka, keadaan di tempat ini menjadi berubah. Seketika tempat ini diselimuti kekuatan mengerikan yang bahkan aku tidak mampu menahanya.
Aku menajamkan mataku menyaksikan apa yang saat ini berada di atas altar.
Sebuah patung…
Patung seorang kakek tua besar yang bongkok dengan janggut yang panjang. aku seolah melihat dua tanduk pada kepalanya yang membuatnya terlihat lebih mirip dengan seekor kambing.
Saat aku hendak mendekat tiba-tiba wujud roh keris ragasukma menghilang dari genggamanku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dan tiba-tiba terpental dari tempat itu.
Singkat, namun aku sempat memperhatikan saat aku terpental.
Sukmaku kembali melalui bangunan gudang itu, namun suasananya berubah sangat drastis. Bangunan yang sebelumnya tidak kucurigai itupun kini berubah menjadi sarang setan yang berkeliaran di setiap sudut ruangan.
Sayangnya aku tidak berkutik, kekuatan keris ragasukma yang memisahkan sukmaku dari raga mendadak menghilang. Tanpa dapat kutahan, akupun segera kembali ke ragaku dengan paksa. Seketika itu juga aku memuntahkan darah dari mulutku.

***
PERBATASAN RUANG GHAIB

Cahaya matahari menyinari dengan terang dari jendela kamarku. Bagaimana mungkin? Seingatku aku tidak begitu lama dalam wujud sukma saat menjelajah bangunan itu.
Atau jangan-jangan tempat dimana patung itu berada bukan berada di alam ini?
Akupun segera membersihkan tubuhku dan menenenangkan diri. sudah ada beberapa telepon masuk dari Rizal dan teman kantor yang lain mempertanyakan keberadaanku.
Aku membalasnya dengan beralasan akan masuk terlambat karena tidak enak badan.
Segera aku memberi tahu Paklek tentang kejadian yang kualami semalam. Paklek juga cukup bingung karena kebetulan ia juga berurusan dengan sesosok patung misterius berwujud sinden.Entah berhubungan atau tidak, paklek akan mencoba mencari tahu tentang ini semua.
“Tumben telat nan, kalau masih nggak enak badan istirahat di rumah dulu saja,” ucap Rangga menyambutku yang masuk ke ruangan dengan mencolok.
“Haha, udah enakan kok. Kalau dibiarin besok kerjaan malah tambah numpuk,” balasku.
Baru duduk sebentar tiba-tiba Rizal sudah menghampiriku dengan meletakkan secangkir kopi panas yang baru saja ia buatkan untukku.
“Makasi Zal..” balasku.
“Jujur nan, kamu nyelidikin bangunan itu kan?” tanya Rizal yang sepertinya membaca kecemasan di wajahku.
“Iya Zal, nanti kita bahas berdua ya.. jangan ngelibatin mereka yang nggak ngerti,” balasku mencoba menahan niat Rizal mencari tahu.
Iyapun menepuk pundakku dan meninggalkanku, ”Jangan maksain diri, nggak semuanya harus kamu yang beresin.”
“Tenang Jal, aku nggak gegabah,” balasku.

Sepulang kerja aku kembali memutuskan menghabiskan waktuku di pos terlebih dahulu bersama Rizal. Kali ini Pak Pandilah yang kebagian berjaga malam. Sepertinya ia juga sudah mengetahui isu mengenai bangunan di gang buntu itu.
Aku menceritakan tentang apa yang kulihat kemarin pada Rizal. Barangkali Mbah Widjan yang merupakan Eyang Rizal mengetahui tentang apa yang aku temukan kemarin.
“Aku coba tanyakan ke Mbah, tapi sepertinya mereka yang hidup di desa tidak tahu mengenai hal seperti ini,” ucap Rizal.
“Jangan meremehkan mereka Zal, mereka saja lebih tahu lebih dulu tentang Setra Gandamayit daripada aku dan Paklek,” balasku.
Rizal mengerti, sebenarnya malam itu kami sepakat tidak melakukan tindakan apapun sampai dapat petunjuk dari Paklek ataupun Mbah Widjan.
Tepat saat kami menyelesaikan seruputan kopi terakhir kami. tiba-tiba ada seorang anak memperhatikan kami dari jauh.
Ia berdiri di depan pagar kantor kami dan hanya menatap kami dari jauh.
“Zal, itu..”
Aku mengenali bocah itu, dia adalah roh anak yang kemarin menunggu di depan jalan buntu itu.
“Namanya Maul, ngapain dia sampai ke sini?” Tanya Rizal.
Pak Pandi terlihat bingung dengan reaksi kami. Beliau tidak bisa melihat roh Maul yang ada di hadapan kami. Sementara itu Maul berjalan meninggalkan kantor seolah memberi isyarat untuk kami ikuti.
“Pak Pandi, kita pamit dulu ya…” ucapku yang segera meninggalkan pos bersama Rizal.
Maul sedang menunggu di ujung jalan saat kami mengeluarkan motor. Ia benar meminta kami untuk mengikutinya menuju bangunan di gang buntu itu.
“Makhluk besar itu muncul lagi.
Hari ini ada beberapa anak lagi yang dibawa masuk ke dalam,” ucap Maul.
Ia menunjukkan sebuah mobil box terparkir di ujung gang buntu itu. kami menyembunyikan kendaraan kami dan memantau dari jauh tentang apa yang sedang terjadi di sana.
“Itu, kantong mayat?” Tanya Rizal curiga denan sosok beberapa orang yang diam-diam membawa kantung mayat masuk ke dalam mobil box itu.
Aku membayangkan apa yang sedang terjadi di sana. Apa mungkin teman-teman Maul dalam keadaan bahaya?
“Zal, coba hubungi kantor polisi terdekat..” perintahku sembari mencoba mengendap-endap mendekat ke bangunan itu.
“Jangan nekad Nan, percuma juga lapor. Kan Pak Sholeh juga cerita sebelumnya sudah ada yang melapor tapi sama sekali tidak digubris,”
ucap Rizal yang juga perlahan mengikutiku.
Aku hanya menoleh sebentar pada Rizal dan mencari celah untuk masuk ke dalam bangunan itu.
“Ini bahaya Zal, nggak usah ikut..”
“Terus kamu ngapain?”
“Udah ada satu nyawa melayang, nggak mungkin aku nggak ngelakuin apa-apa,” balasku.
Rizal tetap ngotot untuk ikut denganku. Mungkin ia juga merasa khawatir dengan apa yang akan kulalkukan.
Kami memastikan tidak ada orang di luar dan mengendap masuk ke dalam bangunan.
Tidak ada penerangan yang dinyalakan saat itu tapi jelas kami merasakan keberadaan sosok yang tidak wajar di bangunan ini.
“Tinggal ini, setelah itu kalian bisa pergi,” ucap seseorang yang menyerahkan sebuah kantung mayat lagi kepada petugas yang membawa mobil box itu.
Kami bersembunyi di salah satu sudut tergelap dan menunggu hingga mobil itu pergi. Setelahnya orang-orang yang berada di dalam bangunan itu mengunci pintu itu dan kembali ke dalam.
“Berarti kita terkunci di sini?” Bisik Rizal.
“Kayaknya sih begitu..” balasku.
Setelah keadaan mulai aman, akupun meninggalkan ruangan itu dan mengarah ke tempat dimana orang-orang itu meneteskan darah untuk bisa masuk ke tempat patung itu berada.
Tapi belum sempat berjalan terlalu jauh, kami sudah melihat ruangan itu masih dipenuhi orang-orang yang masih riuh di sana. Ruangan itu hanya diterangi lilin-lilin yang menyala.
“Jangan takut.. setelah ini berarti kalian sudah sempurna,” ucap seorang bapak di tempat itu.
“Tapi apa tidak ada cara lain pak? Saya takut,” ada seorang perempuan yang menolak melakukan ritual yang dilakukan di sana.
Bapak itu malah tersenyum, ia menarik sebuah kursi di dekatnya dan meraih salah satu tali yang menggantung di dekatnya.
“Kalau kalian tidak yakin, biar saya terlebih dulu..” ucapnya.
Saat itu dihadapan kelompoknya, ia mengalungkan tali itu di lehernya. Tanpa ada rasa ragu ia menendang kursi yang ia naiki dan membiarkan dirinya tergantung hingga tak sadarkan diri.
Pengikut yang lain merasa miris melihat pemandangan itu. namun eskspresi mereka mulai berubah ketika sebuah tangan besar menarik jasad orang itu ke bawah meninggalkan sosok roh menyerupai orang yang mati tadi di tempat itu.
Jelas ini adalah sebuah ritual, roh itu bukan lagi berwujud manusia. Walaupun menyerupai, tapi bagian wajah dan tubuh roh itu seolah menyerupai wajah dan cakar seekor anjing. Walau berwujud roh, para pengikut yang lain masih bisa melihat wujud orang itu.
“Kalian masih ragu?” ucap sosok itu.
Melihat hal itu pengikut yang lain segera melakukan hal yang serupa. Ada yang menggenggam pisau di tanganya, ada yang ingin menggantung dirinya, hingga ada yang ingin meminum racun yang ia bawa sendiri.
Mengetahui hal tersebut dengan cepat melemparkan benda yang dapat kujangkau ke arah mereka. Sontak merekapun kaget dengan keberadaanku.
“Hentikan! Jangan bodoh!” Teriakku mencoba menghentikan mereka.
Merasa kaget dengan kedatanganku merekapun panik.
Beberapa dari mereka masih merasa takut, namun beberapa ingin mencoba melawanku.
“Si—siapa kau!” Teriak salah satu dari mereka.
“Saya bukan orang jahat, tapi kalian sedang dimanfaatkan oleh setan-setan itu,” jelasku.
Mendengar ucapanku, seseorang yang sudah berubah menjadi makhluk setengah anjing itupun mendekat ke arahku.
“Jangan menghasut mereka, kami adalah orang-orang terpilih yang pantas menerima berkah Ndoro Kasmolo,”
Ndoro Kasmolo? Apa itu sosok yang mereka sembah kemarin?
“Tidak ada! Tubuh kalian hanya dijadikan tumbal, dan roh kalian dikutuk olehnya untuk menjadi siluman.. kalian hanya akan menjadi abdi mereka!” Jelasku.
Mendengar ucapanku, makhluk setengah anjing itu segera melesat kearahku dan menghantamkan serangan yang begitu cepat.
Ia tanpa ragu mencoba menggigit wajahku namun dengan sigap aku menghindarinya.
“Kalian nilai sendiri, apakah ini kutukan atau berkah dari Ndoro..” ucap makhluk itu.
Terlihat sekali lagi tangan besar muncul dari bawah mengambil sebuah jasad dari orang bodoh yang menusukan pisaunya ke jantung. Kini rohnya tetap tinggal di sana dan berubah bersisik seperti ular.
“Aku tidak akan terpengaruh, setelah ini kita bisa menggunakan tubuh anak-anak itu,” ucap sosok setengah ular itu.
Gila.. ternyata itu rencana mereka.
Melihat orang kedua melakukan ritual yang sama merekapun tidak ragu lagi, namun sebelum itu terjadi aku membacakan sebuah ajian yang memanggil alunan udara yang mengalir ke bangungan ini. Gambuh rumekso..
Dengan serangan itu beberapa dari mereka tumbang, setidaknya itu bisa menggagalkan mereka untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
“Danan! Awas! Mundur!!!” Rizal menyadari sesuatu dan memintaku kembali.
Ternyata seranganku tadi memancing amarah sosok yang menguasai mereka.
Seketika tangan besar yang menarik tubuh orang orang itupu muncul mencengkeramku dan membantingku ke tanah. Rizal mencoba menangkapku namun kami terhentak ke tanah tanpa mampu melawan.
Saat itu penglihatanku kabur, aku mencoba mempertahankan kesadaranku namun perlahan semua menjadi gelap.

Saat kesadaranku mulai pulih, hanya pemandangan mengerikan yang tersisa di penglihatanku saat ini.
Tali-tali yang menggantung tadi kini sudah penuh diisi jasad manusia yang tersangkut di sana. Beberapa mayat juga sudah tergeletak di tempat itu baik dengan pisau yang menancap di tubuhnya maupun yang mati dengan menenggak racun.
Aku gagal menyelamatkan mereka…
Kini roh mereka tengah berdiri menantikan tubuh mereka diambil oleh sosok yang mereka sebut dengan nama Ndoro Kasmolo satu persatu untuk masuk ke tempat yang sempat kudatangi semalam.
“Danan.. Mbah berkomunikasi denganku saat kehilangan kesadaran tadi.”
Tiba-tiba Rizal tersadar dan berusaha untuk meraihku.
“Para pengikut Ndoro Kasmolo memang sudah tidak lagi dapat di selamatkan, Rohnya sudah menjadi abdinya sejak mereka mengikat perjanjian denganya.
Wujud binatang itu adalah perwujudan perbuatan biadab mereka untuk mendapatkan ilmu dari Ndoro Kasmolo itu..” jelas Rizal.
“Mbah Widjan sudah tahu sebanyak itu?” tanyaku.
“Ada kasus serupa yang mereka temui, dan semua berhubungan dengan sosok patung. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah mencegah mereka merebut tubuh anak-anak itu..” jelas Rizal.
Aku mulai mencerna petunjuk yang diberikan Mbah Widjan.
Kalau memang patung itu mengendalikan kejadian ini, maka yang harus kulakukan adalah menghancurkan patung itu.
“Rizal, jaga tempat ini dan coba cari bantuan..” perintahku yang segera memanggil keris ragasukma kedalam genggamanku.
“Jangan Nekad Nan! Ini bukan masalah sepele!” Teriak Rizal.
Aku tidak peduli. Tepat ketika tangan makhluk besar itu menarik jasad pengikutnya aku menghubuskan kerisku ke tanganya.
Suara raungan terdengar menggema ke seluruh ruangan.
Makhluk itu merasakan kesakitan dari serangan keris ragasukma. Saat itu batas antara ruang patung itu berada mulai terbuka. Aku melihat roh para pengikut makhluk itu sudah berada di sana sebagian. Dengan segera aku bersiap melompat ke tempat itu sekali lagi.
“Aku ikut!” Rizal bersiap mengikutiku namun dengan tegas aku mendepaknya menjauh.
“Tolong cari bantuan Zal! Aku belum tentu bisa menemukan jalan keluar dari tempat itu. Terlebih waktu di ruangan itu berbeda dengan alam kita..” jelasku.
“Tapi siapa? Siapa yang bisa?”
“Jagad Putra Sambara.. Cari nama itu, Mbah Widjan juga kenal dengan Mas Jagad,” ucapku yang segera pergi meninggalkan Rizal.
Aku teringat, kemarin aku bisa masuk ke tempat itu dengan wujud sukma.
Tapi bila masuk dengan tubuh fisik, entah bagaimana caraku untuk keluar dari tempat itu. Tapi Mas Jagad yang mempelajari arus dimensi ghaib, mungkin ia bisa membantuku.

***
MEMPELAI BERHALA
Tanah tanpa langit, hutan tanpa angin, dan berbagai macam tumbuhan mati tersusun di tempat ini. Altar berbentuk punden berundak kini menjadi pusat perhatianku di tempat itu.
Ndoro Kasmolo…
Itu adalah sosok patung yang mereka sembah. Sosok patung berwujud kakek bungkuk berkepala kambing yang tingginya lebih dari dua meter.
Aku sedikit menelan ludah melihat posisiku saat ini. Dihadapanku ada berbagai sosok roh manusia yang sudah menjelma sebagai siluman.
Mereka mengantri mendapatkan tubuh anak-anak yang selama ini mereka manjakan di tempat ini.
Di satu sisi ada seorang anak permpuan yang dikurung di dekat altar yang seolah dipersiapkan untuk sesuatu.
Sosok besar berwajah kambing itu muncul dari patung Ndoro Kasmolo.
Aku mengambil kesimpulan bahwa ini adalah wujud yang bisa ia gunakan saat ini.
Mengetahui keberadaanku, Ndoro Kasmolopun mendahului pengikutnya dan bersiap menghampiriku.
Akupun dengan sigap mempersiapkan keris Ragasukma di genggamanku dan seketika Ndoro Kasmolo terhenti melihat kerisku.
“Itu keris Raden Arya Darmawijaya..” ucapnya.
Aku semakin waspada saat mengetahui Ndoro Kasmolo mengetahui asal-usul keris ragasukma.
“Tapi kau bukan keturunan dari Darmawijaya! Tunjukkan pemilik keris itu yang sebenarnya!”
Tiba-tiba Ndoro Kasmolo terlihat geram. Ia seperti memiliki dengam kesumat dengan pemilik keris ini.
“Akulah pemilik keris ragasukma ini, tidak ada yang lain!” Jawabku singkat.
Ndoro Kasmolo menggeleng, ia sedikit menertawakanku.
“Keris itu adalah salah satu pusaka keluarga Darmawijaya, dan tugasku adalah menghabisi mereka semua!” Ucapnya.
Seketika ucapan Ndoro Kasmolo membuatku panik. Jika benar itu yang diincar olehnya,
mungkin Dirga dan Abah akan ada dalam bahaya.
“Sayangnya tidak ada lagi yang perlu kau cari, akulah pemilik sah pusaka ini,” ucapku sekali lagi.
“Aku ingin tahu, apa tulang belulang dan isi organ tubuhmu akan mengatakan hal yang sama..”
Saat itu sekali lagi tangan hitam Ndoro Kasmolo menghantam tubuhku. Aku berhasil menghindar dan bersiap menusukkan keris ragasukma ke tangan hitam itu lagi.
Aneh.. seketika keris ragasukma menghilang dan kembali ke sukmaku tanpa sebab.
Aku yang panik segera menjauh, tapi salah satu manusia yang sudah berubah jadi siluman anjing tadi sudah menungguku dan menghantamkan cakaran ke punggungku.
Seketika darah segar mengalir dari bekas luka yang ia buat.
Namun aku mencoba menangkap sosoknya dan membacakan sebuah doa untuk memurnikan rohnya kembali.
Ia mengerang kesakitan, setiap ayat suci yang kubacakan membuatnya meronta. Tapi terlambat, aku tidak lagi bisa memurnikan rohnya.
Ia terikat dengan Ndoro Kasmolo yang saat ini menjadi sesembahanya.
Sekali lagi aku memanggil Keris Ragasukma, namun gagal. Akupun teringat kejadian saat kemarin sukmaku terpental ketubuhku dari tempat ini.
“Jangan kau kira kekuatan leluhur Darmawijaya bisa kau gunakan di tempat ini..” Tawa Ndoro Kasmolo.
Ia merasa bisa menyingkirkanku dengan mudah. Namun aku terus menahan seranganya sebisa mungkin dengan sisa tenaga yang aku miliki.
Sekali saat tenaga besarnya meremas tubuhku, namun amalan api yang kumiliki membuat tanganya terbakar dan membantingku ke tanah. Tak ingin diam, akupun membacakan sebuah doa pada kepalan tanganku.
Kutitipkan ayat-ayat suci dan doa yang mampu memusnahkan niat jahat pada sebuah pukulan jarak jauh yang kuhantamkan tepat di tubuhnya. Ajian lebur saketi…
Makhluk itu terpental dan sekilas aku merasa tubuhnya sedikit menyusut.
“Bocah brengsek, aku tidak menyangka akan merasakan serangan seperti itu lagi di jaman ini..”
Ajian lebur saketi merupakan serangan pukulan jarak jauh yang sering digunakan pendekar pada jaman perang antar kerajaan.
Jika makhluk ini mengetahui tentang ajian ini, mungkin saja makhluk ini pernah hidup di jaman kerajaan.
“Lepaskan perjanjianmu dengan roh manusia itu, dan bebaskan anak-anak yang lain,” aku memperingatkan Ndoro Kasmolo.
“Bocah sombong, baru sedikit melukaiku sudah berani memerintahku?”
Bukanya jumawa, namun aku memikirkan sebuah rencana yang mungkin bisa menyelamatkanku di tempat ini.
“Memangnya apa yang bisa dilakukan makhluk yang dikutuk Tuhan, terhadap manusia makhluk yang paling mulia?” Ledekku memancing emosi Ndoro Kasmolo.
Berbagai serangan kuhindari sebisaku sehingga membuat tempat itu porak poranda.
Ada serangan yang membuatku sesekali terpental namun aku juga sudah bersiap memberikan sebuah balasan.
Tepat saat posisi yang kupersiapkan sekali lagi aku membacakan sebuah doa pada kepalan tanganku dan memukulkan sebuah pukulan jarak jauh.
Cahaya ajian lebur saketi menerjang ke arang Ndoro Kasmolo, namun ia tidak akan tertipu dua kali. Ia dengan sigap menghindari serangakanku dan berbalik menepuk tubuhku dengan tanganya yang besar hingga aku terpental.
Aku memuntahkan darah atas luka yang kudapat, tapi setidaknya rencanaku berhasil.
PRAAAKKK!!!
Ajian lebur saketi mendarat di patung Ndoro Kasmolo dan membuatnya terbelah menjadi dua. Seketika wujud rohnya tidak lagi stabil dan menyatu kembali dengan patung itu.
“Bocah sialan!!”
Ndoro Kasmolo menggunakan kekuatanya untuk menyatukan patung itu lagi. Namun saat ini ia tidak bisa lagi menggunakan tubuh rohnya.
Tak kehabisan akal,
tiba-tiba Ndoro Kasmolo menyibakkan bayangan hitam ke salah satu sudut ruangan itu dan perlahan terdengar suara anak-anak keluar dari sana.
“Dibuka! Kita bisa main!! Ayo keluar!!!”
Belasan anak keluar dari tempat yang tidak bisa kutebak.
Anak-anak itu bermain seolah tempat itu merupakan tempat yang nyaman untuk mereka. Dan satu hal yang kutebak, sepertinya mereka tidak menyadari keberadaan roh manusia yang sudah menjadi siluman itu di sana.
“Jangan! Jangan pergi ke sana!” Teriakku pada anak-anak itu.
Aku merasakan Ndoro Kasmolo memiliki rencana yang membahayakan mereka.
“Ini Titah dariku! Siapapun dari kalian yang bisa membunuh orang itu. akan segera kubangkitkan ke tubuh anak itu tanpa menunggu waktu yang dijanjikan…” Perintah Ndoro Kasmolo.
Seketika seluruh mata siluman-siluman itu tertuju kearahku. Mereka menyerangku bertubi-tubi hingga membuatku kewalahan. Tapi bukan itu yang kukhawatirkan, melainkan keselamatan anak-anak ini.
“Pergi dari tempat ini! Kalian akan dijadikan wadah siluman-siluman ini!”
Teriakku memperingatkan anak-anak itu.
“Siluman? Wadah?”
“Mas ini siapa? Mana orang-orang yang sering membawakan makanan enak untuk kita?”
Mereka saling bertanya satu sama lain, mereka benar-benar tidak sadar dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Tak ada pilihan lain, sekali lagi kubacakan doa yang sekiranya dapat membuat siluman-siluman ini menjauh dariku.
“Ayo kita pergi dari sini!” perintahku pada anak-anak itu.
“Pergi? Kemana? Di sini enak kok..” ucap salah satu anak itu.
Aku heran, apa anak-anak ini sedang dalam pengaruh setan itu? merekapun masih bermain dan berpencar di tempat mengerikan ini.
Saat ini Ndoro Kasmolo sedang dalam amarahnya, ia mencoba menangkap salah satu anak itu sembari memulihkan wujud patungnya.
Akupun mementalkan seranganya dan menjauhkanya dari anak-anak.
“Masnya itu lagi apa sih? Aneh?” ucap salah satu anak yang lain.
Aku bingung bagaimana harus menjelaskan kepada mereka.
Setidaknya saat ini aku harus mengumpulkan mereka di satu tempat dan membuat perlindungan hingga pertolongan datang.
Siluman itu berusaha menyerangku, sementara Ndoro Kasmolo berusaha menangkap salah satu dari anak itu.
mungkin ia bermaksud membangkitkan beberapa dari siluman itu untuk melawanku. Hal itu tidak boleh terjadi, tapi tubuhku sudah mencapai batasnya.

“Kena, sekarang masnya jadi setanya..”
Terdengar suara anak kecil yang menyentuhku dari belakang. Suara itu tidak asing di telingaku.
Itu adalah Maul..
“Masnya jadi setan, kita ngumpet!!” Teriak Maul memberi isyarat pada anak-anak yang lain.
“Maul ikutan! Seru nih! Ayo lari!!” Teriak anak yang lain.
Pikiranku menerawang sesaat. Apa mungkin Maul bisa masuk ke tempat ini karena ia berwujud roh? Namun apa tujuanya sampai memaksakan diri di tempat ini?
“Aku tahu tempat ngumpet yang aman! Ikut aku!” Teriak Maul.
Aku mulai sedikit mengerti dengan maksud maul.
Ia berhasil menggiring teman-temanya menuju sebuah tempat yang ia temukan sendiri. Ada sebuah tempat tertutup pepohonan dan ada tumpukan batu menyerupai goa di sana. Maul membawa anak-anak itu untuk bersembunyi di sana.
“Sepertinya, aku harus mengikuti permainan mereka..” gumamku sambil tersenyum.
Saat itu juga aku menggunakan sisa tenagaku untuk membacakan ajian muksa pangreksa yang seharusnya bisa menghalau niat jahat siluman-siluman itu.
Dengan sekuat tenaga aku berlari dan memukul patung Ndoro Kasmolo hingga kembali terpisah. Namun aku tahu, itu tidak akan bertahan lama lagi.
“Kena! Kamu setanya!” teriakku sembari menyentuh sosok Ndoro Kasmolo.
Akupun segera berlari ke arah anak-anak itu sementara Ndoro Kasmolo masih tidak mengerti dengan apa yang aku rencanakan.
Saat itu aku mendekat ke tempat persembunyian anak-anak itu.
“Mas Ikut ngumpet donk! Dia yang jadi setanya!” Ucapku dengan gaya kekanak-kanakan.
Tidak seperti tadi, kini anak-anak itu membuka jalan untukku dan memberikanku tempat untuk bersembunyi.
“Sini.. sini mas!” ucap mereka.
Maul terlihat menertawakanku yang bertingkah seperti anak kecil. Namun aku sangat menghargai idenya saat itu.
Sebelum Ndoro Kasmolo dan pengikutnya mendekat, aku memasang posisi bermeditasi untuk memasang pagar ghaib di sekitar tempat persembunyian ini. Aku yakin, selama anak-anak ini tidak keluar, tempat ini akan aman dari serangan mereka.
Setidaknya sampai patung Ndoro Kasmolo pulih lagi.
Berbagai serangan dari pengikut Ndoro Kasmolo menghantam pagar ghaib yang kubuat. Namun mereka adalah siluman yang baru lahir, mereka seharusnya tidak memiliki kemampuan untuk menembus pagar ini.
“Itu suara apa? Kok serem?” Tanya salah satu anak-anak itu.
“Itu suara setan, kita jangan keluar dari tempat ini..” balas Maul mencoba menenangkan mereka.
Saat ini aku hanya bisa menunggu sampai ada pertolongan yang datang membantuku.
Bila waktu di tempat ini berjalan lebih cepat, mungkin saat ini Rizal sudah seharian mencari bantuan. Seharusnya ini tidak akan lama.
Aku terus membaca ayat-ayat suci dengan tenang untuk melindungi mereka. Sepertinya saat ini aku bisa cukup tenang.
“Ngapain di sana? Sini main sama teteh..”
Tiba-tiba terdengar suara anak perempuan memanggil anak-anak itu dari luar semak semak.
“Teteh! Itu suara teteh!” seketika anak-anak semakin riuh mengetahui keberadaan salah satu teman mereka.
Aku benar-benar terlupa bahwa masih ada seorang anak perempuan yang berada di kurungan di dekat altar.
“Jangan! Jangan mendekat ke dia!” ucap Maul menghadang mereka.
“Kenapa? Dia kan teteh? Dia yang jagain kita dan ngajak kita main,” balas yang lain.
“Bukan! Dia bukan bagian dari kita! dia jahat..!” balas Maul.
Kali ini mereka tidak percaya dengan ucapan Maul. Pergunjingan mereka membuat mereka berniat keluar dari perlindunganku.
Aku bingung harus berkata apa, tapi tiba-tiba Maul menghadang salah satu anak yang berlari dan anak itu menembus tubuh Maul.
Anak itupun terhenti dan menoleh ke arah Maul.
“Maul? Kok kamu nggak bisa dipegang?” ucap anak itu.
Maul hanya tersenyum tanpa mau menjawab. Seluruh anak itu kini menatap pada Maul dengan tatapan bingung.
“Maul, jawab.. apa yang terjadi saat kita terpisah kemarin,” ucap anak itu.
Kali ini air mata Maul menetes.
Ia sepertinya berusaha menahanya sejak menemukan teman-temanya itu.
“Makanya sekali ini saja kalian nurut. Jangan sampai kalian bernasib sama sepertiku..” ucap Maul.

“Jangan dengarkan anak jalanan itu, ayo main sama teteh,”
anak perempuan itu masih berusaha merayu anak-anak itu untuk keluar tapi kali ini anak-anak itu lebih penasaran dengan keadaan Maul.
“Maul, kamu masih hidup kan?” tanya salah satu dari mereka.
Sebagian dari mereka mencoba menyentuh Maul, namun gagal.
Sebaliknya Maul hanya menangis sambil menggelengkan kepalanya.
“Aku sudah mati..” jawab Maul singkat.
Saat itu juga air mata anak-anak itu menetes menangisi temanya itu.
“Makhluk itu mengejarku saat kita diculik, dia makhluk yang mendiami patung itu.
saat itu pilihanya adalah aku mati olehnya atau menyelamatkan diri melalui jendela.. dan akhirnya aku mati kehabisan darah setelah jatuh dari jendela,” jelas Maul kepada mereka.
“Kenapa Cuma Maul yang diserang? Kenapa kita dibiarkan hidup?” tanya mereka.
“Weton kalian sama dengan orang-orang yang menculik kalian, tubuh kalian akan digunakan sebagai wadah roh mereka yang sudah menjadi siluman,” jelasku sembari mengingat beberapa kantung mayat yang dibawa keluar saat kami menyelinatp tadi..
“Dan karena tidak ada weton mereka yang cocok dengan Maul, merekapun membuang Maul,”
Wajah merekapun berubah ketakutan. Akhirnya ceritaku bisa sampai di dalam pemikiran mereka. Entah karena ucapan Maul, atau karena pagar ghaib ini berhasil menetralisir pikiran mereka.
Tapi masalah masih belum selesai.
“Kalau tidak mau keluar, biar teteh yang menarik kalian keluar!” ucap anak perempuan itu.
Samar-samar aku merasakan wajah anak perempuan itu berubah seperti makhluk tua yang mengerikan. Namun itu hanya sesaat.
Entah apa yang harus aku perbuat, anak perempuan itu tengah berjalan menuju patung Ndoro Kasmolo dan mencium kakinya. Ia mendapat restu yang membuatnya diselimuti kabut hitam.
“Ini gawat..” gumamku.
Sekali lagi aku berusaha memanggil keris Ragasukmaku, namun gagal.
Padahal aku berharap bisa menggunakan mantra leluhur di saat seperti ini.
Tapi.. belum sempat anak perempuan itu mendekat, tiba-tiba seseorang terjatuh tak jauh dari atasku dan mengerang kesakitan.
“Aduh..! Kok bisa munculnya dari atas begini!” Ucap orang itu.
“Mas Jagad!” Seketika aku tersenyum menyaksikan kedatanganya.
Ia menatapku sejenak dan berusaha membaca situasi di sekitar tempat ini.
“Ini tempat apa Nan?”
“Udah , aku jelasin nanti.. bawa dulu anak-anak itu keluar,” perintahku.
Jagad mengerti maksudku, iapun meminta anak-anak itu saling berpegangan dan membawanya kembali ke alam manusia dengan kemampuanya.
Sembari menunggu Jagad kembali, aku menghadapi sosok teteh yang saat ini terlihat mengerikan itu.
“Kamu bukan anak kecil biasa?” ucapku.
Anak itu memiringkan kepalanya dan tersenyum aneh kepadaku.
“Dia adalah mempelai Ndoro Kasmolo,” jelas Maul.
Kini aku sedikit mengerti. Patung itu dan wanita ini adalah sebuah kesatuan. Jelas akan terjadi hal mengerikan bila mereka berhasil bersatu dan menjalankan rencananya.
Aku bersiap menerima serangan anak perempuan itu, tapi tiba-tiba ia sudah tidak ada di posisinya.
“Mati!”
Seketika teteh sudah berada di belakang memeluk kepalaku. Dalam sekejap ia bermaksud mematahkan kepalaku.
Tapi belum sempat itu terjadi, sebuah tepukan mendarat dibahuku dan memindahkanku ke sebuah tempat yang jauh berbeda.
“Danan! kamu nggak papa?” ucap Mas Jagad yang ternyata membawaku keluar dari tempat itu di saat yang tepat.
Aku berusaha menenangkan diri sementara Rizal mengantarkan sebotol air putih untukku.
“Minum dulu nan!” ucap Rizal.
Aku meminum air pemberian Rizal dan mendapati kami dan anak-anak tadi berada di atas atap kantorku dan Rizal.
Tak hanya Mas Jagad, Dirga juga tengah berada di sana merawat anak-anak yang masih menyesuaikan diri setelah kembali ke alam ini.
“Mas, bahaya mas… Dirga, dan abah mereka diincar…” ucapku.
Mendengar ucapanku itu raut wajah Jagad terlihat tidak terlalu heran.
Mungkin saja Mas Jagad sudah mengetahui hal ini terlebih dahulu.
“Mereka mengincar garis keturunan Darmawijaya Nan, tapi mereka masih mengumpulkan kekuatan untuk membalaskan dendamya itu,” jelas Mas Jagad.
Mas Jagadpun bercerita mengenai penemuan mereka berdasarkan mimpi Dirga.
Ia menceritakan tentang ketiga patung yang sengaja dibuat untuk membalas dendam ke keturunan Darmawijaya.
“Paklek sudah berhadapan dengan patung sinden, kamu dengan patung berhala, dan tidak satupun dari kita mampu mengalahkanya,” ucap Mas Jagad.
Tentu saja ucapan itu membuatku semakin khawatir. Tapi saat ini sepertinya keadaan anak-anak ini lebih penting untuk diperhatikan.
“Mas, Maul benar sudah meninggal?” Tanya salah satu dari anak itu.
Aku menangguk, tidak mungkin aku berbohong pada mereka.
Maul menatap mereka sambil duduk di pembatas bangunan di atap gedung kecil ini. ia terlihat tersenyum menatap teman-temanya.
“Maul, kami kira kamu nyelametin diri sendirian.. maaf ya,”
“Kami kira, kamu kabur. Aku udah ngeledekin kamu terus lho”
Anak-anak itu meluapkan apa yang ingin mereka ucapkan pada Maul dengan berlinang air mata.
Saat itu matahari subuh mulai terbit dari dari belakang tempat Maul duduk. Fajar yang menguning menunjukkan keberadaan Maul yang mulai samar di mata kami.
“Mana mungkin seorang Maul kabur melarikan diri! ingat walau anak jalanan, Maul tetap Maul!” ucapnya sombong.
Kini sesuatu yang membuat Maul tidak tenang sudah terpenuhi. Ia menemukan teman-temanya selamat dan berada di tangan yang aman.
Semoga saja ia benar-benar bisa pergi dengan tenang.
“Bang, titip mereka ya,” pamit Maul pada Rizal.
Rizalpun mengangguk sembari menahan air matanya.
Saat itu beberapa bait doa kami lantunkan untuk menghantar kepergian Maul.
Seorang anak jalanan yang telah tiada namun tetap berusaha bertanggung jawab untuk teman-temanya.
Bicara soal teman, sepertinya untuk masalah sebesar ini aku membutuhkan seorang teman yang bisa diandalkan.
Semoga saja dia masih berada di Klaten dan tidak kepikiran jadi tukang Topeng monyet keliling bersama kliwon.
Kalau memang benar, akan butuh ongkos lebih untukku mengejar keberadaanya. Akupun mengambil telepon genggamku dan mencari satu nama yang sudah lama tidak kuhubungi.. Cahyo.

***
Bersambung Part 3 - Prasasti Bertuah
Terima kasih sudah mengikuti Part ini hingga selesai. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Buat temen-temen yang mau baca duluan atau sekedar support bisa mampir k @karyakarsa_id ya..

karyakarsa.com/diosetta69/den…
Dendam Patung Arwah
Part 3 - Prasasti Bertuah

Mohon maaf atas keterlambatan uploadnya, yuk kita mulai part 3.. minta bantu Retweetnya yak.

@bacahorror_id @IDN_Horor
#bacahorror #MalamJumatKliwon Image
DESA PEDALAMAN
(Sudut pandang Cahyo)
Derasnya rintikan hujan beradu dengan kaca helm yang kugunakan untuk menerobos perjalanan malam ini.

“Mas, yakin mau lanjut? Deres banget nih!” Keluh Guntur yang sepertinya khawatir dengan kondisi perjalanan kami.
“Maunya ya berhenti Tur, tapi ini kanan kiri hutan semua.. nanti aja nunggu kalau udah ada pemukiman,” balasku.

Sejujurnya, tanganku juga sudah mulai gemetar karna menahan dinginnya air hujan yang menerpa jas hujanku.
Tapi bila berhenti di tengah jalanpun kami hanya bisa berteduh di bawah pohon tanpa ada penerangan sedikitpun.

“Itu mas! Di depan! Sudah mulai banyak warung!” Guntur menunjukkan keberadaan beberapa warung yang mulai terlihat di hadapan kami.
Ada beberapa truk yang terparkir di sana dan ada beberapa warung dengan penerangan seadanya seolah sudah siap menyambut kami.

“Ealah masnya, sampe hujan-hujanan begini..” sambut seorang pria muda yang sepertinya menjaga warung ini.
“Hihi, jiwa muda harus nekad mas,” balasku singkat.

Kamipun mengambil handuk kecil dari tas dan mengeringkan bagian tubuh kami yang tidak selamat dari terpaan hujan.

“Mas-masnya dibuatin apa? Kopi atau teh?” tanya penjaga warung itu.
“Satu kopi, satu teh mas.. kalau ada gorengan anget juga boleh” pesanku.
Tak berapa lama secangkir kopi dan secangkir tehpun diantarkan kepada kami. kami menikmati hangatnya minuman itu di tengah hujan yang tetesanya sesekali masih mencapai kami yang tengah berteduh ini.
“Sumpah mas, ueeenak.. tambah gorengan anget pasti joss tenan,” ucap Guntur menikmati tehnya.

“Tenan to, dibalik musibah pasti selalu ada hikmah,” balasku.

Suara berisik dari hujan deras itu tidak menyurutkan niat kami untuk membicarakan tujuan kami sebenarnya.
Tujuan kami adalah sebuah desa di pedalaman yang cukup jauh dari desa lainya.
“Aku nggak nyangka mas Cahyo nggak nolak waktu di suruh ke desa tempat tinggal Nyai Jambrong dulu. Padahal tempatnya sudah jelas nggak wajar,” ucap Guntur.
“Kamu pikir selama ini seorang Cahyo mainya kemana saja? Bisa ketemu listrik di desa yang aku datengin aja udah seneng,” balasku.
Aku sudah lupa berapa desa terpencil yang sudah kudatangi.
Yang tak aku sangka, ternyata masih ada warga yang mau tinggal di tempat-tempat yang jauh dari kata modernisasi. Walau begitu, terkadang aku iri dengan mereka yang selalu bersyukur dengan keadaan yang ada.
“Masih ada desa yang belum kemasukan listrik mas?” tanya Guntur bingung.
“Ada, bukan karena pemerintah tidak peduli. Tapi jalur untuk menarik kabel listrik hampir tidak mungkin” balasku.
Guntur mengernyitkan dahinya membayangkan sekelam apa desa itu.
“Desa yang mau kalian datangi juga tidak ada listrik, lebih baik malam ini menginap di sini saja,” tiba-tiba penjaga warung itu keluar dengan membawa beberapa tempe mendoan dan bakwan hangat ke hadapan kami.
Seketika mataku dan Guntur berbinar-binar mendapati dua piring gorengan hangat terhidang di hadapan kami.
“Lha, masnya kok tahu tujuan kami?” tanyaku pada penjaga warung itu.
“Ya jelas tahu, saya juga salah satu pendekar dari sana.
Dan tasbih yang digunakan masnya itu, jelas berasal dari desa saya. Desa Gandurejo.” Balasnya.
Aku memperhatikan tasbih yang digunakan di tangan Guntur. Aku menduga itu adalah pemberian Nyai Jambrong.
Penjaga warung itupun memperkenalkan diri dengan nama Darman, ia adalah salah satu pendekar dari perguruan di Desa Gandurejo. Kami memang sempat mendengar tentang desa ini dari Nyai Jambrong.
Tapi saat ini, hujan yang deras memperdengarkan kami secara lengkap tentang cerita desa itu dari mulut Mas Darman.
“Kalau kalian melewati hutan malam-malam menuju desa, kalian pasti akan melihat hal yang aneh-aneh,” buka Mas Darman.
Desa Gandurejo adalah desa pelatihan untuk para pendekar. Tempatnya yang terpencil, tak tersentuh aliran listrik, dan medan yang berat membuat tempat itu menjadi tempat yang baik untuk melatih seorang pendekar.
Beberapa perguruan menjadikan Desa Gandurejo sebagai destinasi pelatihan bagi para murid-muridnya. Tempat itu dipenuhi oleh orang-orang yang memang mencari ilmu. Namun menurut Mas Darman, desa itu juga memiliki sebuah misteri.
“Alas sewu lelembut, warga menyebutnya dengan nama itu,” ucap Mas Darman.
Sebutan Alas sewu lelembut, atau hutan seribu arwah disematkan warga desa setelah mereka selalu menemukan sosok tak kasat mata di hutan itu.
terkadang mereka melihat pasukan genderuwo, parade pocong, hingga makhluk yang tak bosan bergelantungan di atas pohon dengan wajah mengerikan.
Namun beruntung penampakan itu semua hanya terjadi di malam hari.
Keberadaan sosok itu disangkutpautkan dengan keberadaan sebuah prasasti peninggalan kerajaan jaman dulu.
“Prasasti mas?” Tanyaku.
“Iya mas, prasasti itu baru ditemukan beberapa tahun lalu.
Tapi yang terukir di prasasti itu begitu menakutkan, ada kutukan di sana” Jelas Mas Darman.
“Kutukan?” Guntur menanggapi kami dengan bingung.
Mas Darman menceritakan tentang kutukan di prasasti itu.
Kata-kata itu bertuliskan tentang apa yang akan diterima oleh siapapun yang memotong “Jati pitu” atau jati tujuh yang berada di sekitar prasasti itu.
Jati Pitu adalah tujuh pohon jati tua yang berdiri tegap hampir mengelilingi prasasti.
Siapapun yang melakukan hal itu akan mati dengan puluhan tusukan tombak, jasadnya dimakan hewan buas, tubuhnya terkoyak hingga organya berhamburan. Prasasti gelap inilah yang dipercaya warga mengundang sosok ghaib di sekitarnya.
“Tapi mas tenang saja, besok pagi biar saya antar sekalian pulang,” balas Mas Darman.
“Wah makasi lho Mas Darman, hampir saja aku pasrah tersesat dengan kendaraan antik di pinggir hutan,” balas Guntur.
Akupun segera mengambil sarungku dan menyabetkanya pada Guntur.
“Kendaraan antik opo? Tak bilangin simbah lho! Tar kamu nggak boleh naik?” balasku.
“Hehe.. becanda mas Cahyo, Si Mbah mah udah jadi idola,” canda Guntur.
Ternyata ucapan Mas Darman tidak basa-basi. Ia benar menyiapkan kursi bambu besar di dalam warung dengan beberapa kain yang bisa digunakan sebagai selimut.
“Kalau mau tidur bisa di sini ya mas, besok saya bangunin,” tawar Mas Darman.
Kami berterima kasih pada Mas Darman dan ijin untuk menutup mata sebentar setelah perjalanan yang cukup panjang.

***
SANG PRAJURIT
“Darman keluar kamu!!”

Belum sempat matahari menunjukkan cahayanya dengan penuh, tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berkumpul di luar warung. Aku mencari Mas Darman namun tidak ada tanda-tanda dia berada di tempat ini.
“Kalau tidak mau keluar kuhancurkan tempat ini!” Ancam orang yang menghampiri tempat ini.
Mendengar ucapan itu akupun meninggalkan kursi bambu yang kugunakan untuk tidur dan menghampiri ke arah pintu. Guntur yang tengah tertidur lelappun sampai terbangun dengan teriakan itu.
“Ngapunten, ada apa ya mas?” Tanyaku berusaha sopan dengan mereka.
“Mana Darman! Suruh dia keluar!!!” Teriak orang itu.
“Mas Darmanya lagi nggak di tempat mas, mau ditunggu saja apa gimana?” balasku.
Namun bukanya menjawab dengan baik, orang itu malah menggebrak pintu dan membentakku.
“Jangan bohong! Keluarkan dia atau saya hancurkan warung ini!” ancamnya.
“Nggak bohong mas, jangan.. kasihan Mas Darman,” balasku lagi dengan nada sedikit memelas.
Dari penampilanya dan tubuhnya sepertinya mereka bukan hanya sekedar preman biasa. Mereka seolah berasal dari perguruan bela diri. mungkin mereka juga berasal dari desa yang sama dengan Mas Darman.
Sayangnya bukanya bersikap sopan mereka malah menerobos masuk ke dalam dan mencoba menghancurkan barang-barang di warung. Dengan sigap aku menangkap tangan mereka dan mendorong mereka kembali menjauh.
“Kurang ajar! Ngelawan kamu?” ucap orang itu.
“Ya nggak mas, tapi jangan hancurin warung Mas Darman.. nanti dia makan apa,” balasku masih berusaha untuk bersabar.
Walau dengan memelas seperti itu mereka masih berusaha masuk untuk menghancurkan warung Mas Darman. Aku terus menahan mereka dan mendorong keluar dari pintu.
Merasa kesal merekapun mulai mencoba menyerangku..
Sebuah pukulan melesat tepat ke arah wajahku, namun aku menangkisnya dengan mudah dan mendorongnya menjauh. Rupanya perbuatanku itu semakin membuat mereka marah.
Merekapun kembali menyerangku, aku berusaha melindungi tubuhku dari berbagai macam serangan yang mereka daratkan ke arahku. Setidaknya kali ini serangan mereka mengarah kepadaku, bukan warung ini.
“Mas Cahyo! Mereka siapa?!” Guntur yang tersadar dengan keadaanku berusaha menyerang mereka, namun dengan cepat aku menahan seranganya dan menyuruhnya untuk mundur.
“Jangan ikut campur!” ucapku.
Guntur tidak mengerti, ia masih terus mencoba menolongku tapi aku menatapnya dengan tajam dan memintanya untuk mundur.
“Benar bocah! Jangan sampai kami harus memuatmu babak belur juga”
Aku melihat rasa geram Guntur, kepalan tanganya seperti sudah tidak tahan melihat kejadian ini. tapi aku memintanya untuk bersabar sebentar lagi.
Benar saja, setelah puas mendaratkan pukulan ke tubuhku merekapun berhenti.
Mungkin saat ini wajahku sudah penuh lebam dengan darah yang menetes di pinggir bibirku.
“Itu peringatan untuk Darman! Temui kami atau kami akan datang lagi!” ucap orang itu yang akhirnya pergi meninggalkan kami.
Tepat saat keadaan sudah aman, Guntur langsung menarikku dan mengambil peralatan obat-obatan yang kami bawa dan membantu mengobati lukaku.
“Kenapa nggak dilawan aja sih mas, harusnya kalau kita lawan berdua mereka bukan lawan yang sulit,” ucap Guntur kesal.
“Terus habis dilawan?”
“Ya mereka pasti bakal kabur..” balas Guntur.
“Terus setelah mereka kabur?” tanyaku lagi.
Guntur terdiam sesaat, ia baru sadar apa yang akan terjadi setelahnya.
“Mereka pasti bakal dateng dengan orang yang lebih banyak..” jawabnya.
“Kalau kita masih ada di sini mungkin masih aman, tapi kalau hanya tersisa Mas Darman di tempat ini.. keadaanya pasti lebih kacau,” balasku.
Guntur menghela nafas, ia sepertinya masih tidak terima dengan keputusanku. Wajar sajar, hal ini memang terlihat tidak adil.
Tapi suatu saat ia harus mengerti, bahwa pengorbanan kecil kadang diperlukan untuk melindungi sesuatu yang besar.
“Pokoknya aku masih kesel mas Cahyo sampai dipukulin begini,” balasnya sambil terus mengobatiku.
“Dengerin Tur, ingat ini baik-baik. Terkadang kita memang harus kalah dalam sebuah pertarungan untuk memenangkan sebuah pertempuran..” jelasku pada Guntur.
“Maksudnya apa mas?”
“Nanti kamu juga ngerti..” ucapku sembari mengusap kepala Guntur.
Tak berapa lama setelah kejadian itu terdengar suara seeorang masuk ke dalam warung.
“Mas Cahyo, Dek Guntur.. bangun, ada pepes ikan nih. Sarapan dulu,” ucap Mas Darman baru saja kembali ke warung.
“Wah! Mantab nih! Ayo sarapan dulu Tur,” ajakku.
Mas Darman memperhatikanku sesaat. Ia menemukan bekas luka dan beberapa perban yang menempel di wajahku.
“Mas? Masnya kenapa?” Tanya Mas Darman.
“Nggak, nggak papa.. ayo sarapan dulu,” balasku.
Mas Darman menghadangku, kini tatapan matanya semakin serius.
“Ada yang datang ke tempat ini mas?” tanya Mas Darman.
“Tenang saja mas, sudah beres. Nggak usah dipikirin,” balasku singkat.
“Pasti Jumarto!!”
Mas Darman meminta maaf padaku, tapi aku memaksanya untuk tidak memikirkan hal itu.
terlebih bila berbuat macam-macam, masalah yang lebih besar bisa saja menimpa Mas Darman.
Sebenarnya aku cukup penasaran dengan masalah yang membuat seseorang bernama Jumarto itu mengincar Mas Darman,
tapi aku memilih untuk tidak bertanya lebih jauh dan semoga saja mereka sudah cukup puas setelah menghajarku.

Sesuai janji, Mas Darman mengantarkan kami ke Desa Gandurejo setelah menutup warungnya. Aku kira lokasi desa tidak jauh dari warung Mas Darman, rumanya kami masih harus menempuh perjalanan satu jam lagi untuk memasuki Desa Gandurejo.
Pertama kali aku memasuki desa ini, yang terlintas dalam pikiranku adalah ‘Desa Alam’. Sebuah desa yang tak jauh dengan sungai dengan hamparan pepohonan mengelilinginya.
“Mas Darman, itu suara air terjun?” Tanya Guntur penasaran.
“Iya, nggak jauh dari sini ada air terjun. Tapi kalau musim panas suaranya nggak akan sederas ini,” Jawab Mas Darman.
Mas Darman menceritakan kalau kami harus berhati-hati dengan tempat ini, terutama dengan tempat yang bernama Alas Demit.
Tadi kami sempat melewati tempat itu, dan memang benar ada kekuatan besar yang menarik sosok-sosok tak kasat mata untuk berkumpul di tempat itu.
Semoga saja kami tidak harus berurusan dengan benda yang disebut dengan prasasti kutukan itu.
Mas Darmanpun menghantarkan kami ke rumah Kepala desa. Mbah Sarman namanya. Nyai Jambrong sudah memberi tahu tentang Mbah Sarman yang sudah menjaga desa ini selama puluhan tahun tanpa ada yang menggantikan.
“Kulo nuwun Mbah Sarman, Saya Cahyo dan ini adik saya Guntur,” aku dan Guntur memperkenalkan diri pada seseorang di hadapanku.
Walau sudah cukup berumur, Mbah Sarman memiliki tubuh yang tegap dan sehat. Sepertinya dia sama sekali tidak bisa diremehkan.
“Monggo-monggo, masuk mas. Kenalanya Mas Darman?” Tanya Mbah Sarman.
“Mboten Mbah, kebetulan saja ketemu di warung. Sekalian saja saya antarkan ke sini,” balas Mas Darman.
Mbah Sarman memperilahkan kami duduk dan menyuguhkan teh hangat bersama beberapa makanan kering.
“Mas-masnya ini ada apa sampai jauh-jauh datang ke tempat terpencil seperti ini? mau mencari guru? Atau belajar ilmu?” tanya Mbah Sarman.
Tidak heran beliau bertanya seperti itu,
pasalnya desa ini memang dipenuhi orang-orang yang sepertinya berniat untuk berlatih ilmu bela diri.
“Bukan Mbah, kami dimintai tolong seseorang untuk mengambil barang miliknya. Dulu dia sempat lama tinggal di tempat ini,” balasku.
“Oo.. biar saya bantu, dia tinggal di perguruan mana? Siapa namanya?” ucap Mbah Sarman.
“Yang minta tolong eyang saya mbah, perguruanya saya kurang tahu.. tapi kita kenalnya namanya Nyai Jambrong,” ucap Guntur.
Braakkk!!!
Tiba-tiba Mas Darman jatuh dari bangkunya, dan wajah Mbah Sarman terlihat kaget saat mendengar perkataan Guntur.
“Mas.. Mas Darman nggak papa?” ucap Guntur yang khawatir.
“Nggak—nggak papa.. tapi, benar kamu cucunya Nyai Jambrong?” tanya Darman dengan cara berbicara yang tiba-tiba berubah.
“Eh, bukan sih mas.. saya muridnya, tapi saya sahabatnya Arum cucu satu-satunya Nyai Jambrong,” balas Guntur polos.
Brakkk!!!
Sekali lagi terdengar suara yang kali ini berasal dari gebrakan meja. Sontak aku dan Gunturpun ikut kaget.
“Ternyata benar nenek peyot itu masih hidup…” ucap Mbah Sarman.
“Hehe.. iya Mbah, tapi… Mbah Sarman ini nggak musuhan sama Nyai Jambrong kan?”
Tanyaku dengan penuh hati-hati.
Kali ini Guntur memegangi lenganku seolah takut dengan raut wajah Mbah Sarman.
“Kalian lihat luka di leher samping saya ini?!! Ini adalah ulah nenek peyot itu!” Teriak Mbah Sarman.
Aku menelan ludah mendengar cerita itu. sepertinya aku harus mulai berhati-hati dengan Mbah Sarman. Aku hampir lupa bahwa sebelum kenal dengan kami Nyai Jambrong adalah sosok yang jahat dan tidak ragu untuk membunuh lawanya.
“Tapi bila kalian bertemu dengan anak saya, Nyai Jambronglah yang menolong dia waktu hanyut di sungai..” lanjut Mbah Sarman.
Saat itu raut wajah Mbah Sarman kembali melunak. Aku menarik nafas lega berharap kejadian itu tidak menjadikan Nyai Jambrong sebagai musuhnya.
“Mas Cahyo sama Guntur, nanti kalau ketemu orang jangan bilang kalau kenalanya Nyai Jambrong ya.. dia punya banyak musuh di desa ini,” Jelas Mas Darman.
“I—iya Mas,” balas Guntur dengan cepat.
Sial, walau orangnya nggak muncul ternyata Nyai Jambrong namanya saja bisa membuat banyak masalah.
“Ya sudah.. habis ini kita ke rumah nenek peyot itu. kalau kalian mau bersih-bersih. Kalian bisa tinggal di sana,” ucap Mbah Sarman.
“Tapi kalau cuma sebentar, menginap di rumah saya saja. Daripada repot-repot bersih-bersih. Apalagi rumah itu…” ucapan Mas Darman terputus.
“Rumah itu kenapa mas?” Guntur penasaran.
“Katanya di sana banyak pusaka yang bisa hidup sendiri..” ucap Mas Darman.
Aku saling bertatapan dengan Guntur. Setahu kami Nyai Jambrong bukan seorang penggemar pusaka. Tapi mungkin kita akan tahu setelah masuk ke rumahnya.
Terpisah dari pemukiman desa, ada sebuah rumah kayu besar yang tak terawat.
Tanaman menjalar sudah tumbuh di atapnya, tapi ada satu cirikhas tempat tinggal Nyai Jambrong yang aku ketahui.Ada sebuah pohon besar di dekatnya yang mengatapi rumah tersebut.
Aku mencoba membuka pintu rumah itu, namun terkunci dengan rapat.
“Untuk kunci rumah ini yang megang siapa Mbah?” tanyaku.
Mbah Sarman menggeleng, sepertinya ia memang tidak tahu siapa yang memegang kunci bangunan ini.
“Belum ada satupun orang yang bisa masuk ke rumah ini.
bila kalian disuruh oleh nenek peyot itu, harusnya kalian tahu cara masuk ke dalam,” ucap Mbah Sarman.
Aku bertatapan dengan Guntur dan sepertinya Nyai Jambrong memang tidak memberi petunjuk mengenai cara membuka rumah itu. Tapi sepertinya Guntur penasaran.
Ia mendekat ke pintu utama bangunan itu dan meletakkan tanganya di sana. Tak lama kemudian terdengar suara kunci selop kayu yang terbuka dari dalam dan pintu itu terbuka dengan mudah.
Guntur menatap bingung kepadaku, tapi aku hanya mengusap kepalanya.
Ini artinya Guntur memang sudah dianggap menjadi murid Nyai Jambrong.
“Terbuka Mbah,” ucap Mas Darman heran.
“Berarti benar, akhirnya rumah ini bisa terbuka juga,” ucap Mbah Sarman.
Ada hal mengenaskan di rumah ini.
salah satunya adalah alasan mengapa rumah ini tidak bisa terbuka. Ada satu sosok yang menjaga bangunan ini seorang diri dari dalam. Kini ia menatap kami jauh dari dalam rumah.
Dia adalah roh seorang prajurit berbaju kumuh…
Tepat saat Guntur memasuki rumah, roh itu mendekat dan berlutut di hadapan Guntur. Tidak ada satupun kata dari makhluk itu, namun yang aku tangkap ia menganggap Guntur sebagai tuanya seperti Nyai Jambrong.
Awalnya Guntur bingung, tapi mungkin ini juga salah satu maksud dari Nyai Jambrong meminta kami datang ketempat ini. Iapun menoleh ke arahku dan meminta persetujuanku.
Akupun mengangguk dan menepuk pundak Guntur.
“Sudah, tugasmu sudah selesai.. kamu sudah bebas,” ucap Guntur pada sosok itu.
Roh prajurit itu menatap pada Guntur dengan tatapan tidak percaya.
“Tuan yakin?” tanya roh itu.
Guntur mengangguk dan menunjukkan tasbih pemberian Nyai Jambrong.
“Perkataanku adalah kehendak Nyai Jambrong, pergilah..” ucap Guntur.
Seketika raut wajah roh prajurit itu berubah. Ada sedikit senyum haru di wajahnya yang akhirnya menghilang seperti kabut yang terbawa angin.
Kami menarik nafas lega melihat kejadian itu. sepertinya kami akan menemukan kejutan lain lagi di rumah ini.
“Ya sudah, silahkan habiskan waktu sepuasnya di sini. Kalau butuh apa-apa kalian bisa temui saya atau Mas Darman,” pamit Mbah Sarman.
“Jangan malu-malu ya mas, tapi sepertinya ada satu pesan lagi yang harus saya sampaikan,” ucap Mas Darman sembari menatap Mbah Sarman.
“Apa mas?” tanyaku.
“Kalau bisa nanti malam jangan keluar ke desa, akan ada perayaan Balung Rangit. Akan banyak pendekar adu ilmu di desa,”
ucap Mas Darman.
“Oh iya.. saya lupa bilang hal itu. sudah tiga hari ini perayaan berlangsung. Masih ada dua hari lagi. Pokoknya setelah jam tujuh malam lebih baik di dalam rumah saja,” jelas Mbah Sarman.
Kamipun menurut ucapan beliau, sepertinya memang tidak ada hal yang harus kami lakukan di larut malam kali ini. Semoga saja…

***
API PERTARUNGAN
Cukup aneh, harusnya rumah ini sudah tidak dimasuki selama puluhan tahun. Tapi dari dalam tempat ini seolah masih terawat. Memang benda dan perabotan di rumah ini sudah ditutup debu, tapi tidak ada tanda tanda kelapukan maupun bagian rumah yang bocor.
“Apa roh prajurit tadi yang menjaga tempat ini mas?” tanya Guntur.
“Aku pernah mendengar tentang ritual tumbal sebelum membangun sebuah bangunan, hal itu bisa membuat bangunan menjadi awet bahkan setelah beratus-ratus tahun..” ucapku.
Aku menduga mungkin saja di masa lalu Nyai Jambrong sempat melakukan hal serupa. Kalau memang benar mungkin aku bisa membaca maksud tujuan Nyai Jambrong meminta kami kemari.
Sesuai arahan Nyai Jambrong kamipun mengambil sebuah kotak berisi benda keramat yang disimpan oleh Nyai Jambrong. Selain kotak itu aku tidak merasa ada benda berharga lain di rumah ini.
memang ada beberapa benda antik yang terpajang di dinding, tapi itu tidak lebih dari sekedar pajangan.
Aku dan Guntur bersepakat untuk hanya membersihkan satu kamar untuk bermalam. Besok kami akan langsung pulang dan meninggalkan rumah ini.
Seperti ucapan Mas Darman, kami mendengar suara keramaian dari arah desa. namun karena tidak ingin terlibat masalah lagi, kami memilih untuk berdiam di kamar sembari mendoakan bangunan ini.

Drakkk!!
Di tengah tidurku, tiba-tiba terdengar suara dari arah jendela.
Aku segera bangun dan mencari tahu asal suara itu.
Jendela kamar tiba-tiba terbuka, ada seseorang menatapku dari jauh diluar jendela itu.
“Siapa kamu?!” teriakku.
Tapi orang itu tidak menjawab, ia malah berpaling dan berjalan seolah memintaku mengikutinya.
Aku menoleh pada Guntur sebentar memastikan apakah ia akan baik-baik saja saat kutinggal. Tapi firasatku seolah memaksaku untuk mengikuti sosok itu.
Dengan cepat aku berlari mengejarnya, tapi secepat apapun aku berlari sosok itu selalu ada jauh di hadapanku.
Anehnya aku sama sekali tidak merasa lelah.
Pengejaranku berhenti di sebuah tempat dengan tujuh buah pohon jati yang terpisah dari pohon lainya. Di tengah formasi itu ada sebuah prasasti yang bertuliskan aksara jawa.
Apa ini prasasti kutukan yang diceritakan Mas Darman?
Aku mencoba mendekat dan memastikan prasasti itu. bentuknya sebuah batu lempeng besar dengan ukiran kata-kata yang hampir utuh. Namun sayangnya banyak sosok-sosok mengerikan menatapku dari jauh seolah terkumpul oleh energi dari prasasti ini.
Setelah tersadar dari kekagumanku akan prasasti ini, aku kembali mencari sosok yang kukejar. Tiba-tiba ia berada dihadapanku. Sosok pria dengan baju kerajaan jaman dulu. Ia tidak berbicara apapun dan menghilang begitu saja.
Seketika aku seperti tertarik menjauh dari tempat itu dengan cepat. Entah apa yang terjadi tiba-tiba aku terbangun di tempatku tertidur sebelumnya.
“Mimpi?” gumamku.
Tapi semua terasa nyata. Apa sukmaku meninggalkan tubuhku?
Apa itu penglihatan? Kejadian tadi terasa begitu nyata.
Tanpa sadar terdengar suara ayam berkokok menandakan subuh telah datang. Aku yang masih gelisah mencoba keluar untuk menikmati udara pagi.
Ada cahaya dari ufuk timur yang menerangi pagi ini.
awalnya aku cukup heran mengapa matahari terbit sepagi ini sampai aku sadari itu bukanlah cahaya matahari.
Cahaya itu berkobar seperti nyala api yang terlihat dari arah desa.
“Guntur! Bangun Guntur!” ada yang tidak beres di desa.
Aku mencoba membangunkan Guntur yang masih terlelap. Bila memang ada masalah, aku tidak mungkin meninggalkan Guntur seorang diri.
“Ada apa to Mas Cahyo?” tanya Guntur bingung.
“Ada kebakaran di desa,” balasku.
Sontak Guntur melipat sarungnya dan bergegas mengenakan pakaianya untuk mengikutiku.
Benar.. ada kebakaran di desa. beberapa orang terlihat sibuk memadamkan rumah mereka sementara tak sedikit orang yang terkapar di tanah.
“Apa ini hasil perayaan semalam? Ini sama sekali tidak pantas,” ucapku.
“Mas, lihat diatas rumah-rumah itu!” ucap Guntur.
Akupun menoleh ke arah atap rumah-rumah yang terbakar.
Ada sosok hitam dengan kaki dan tangan yang panjang. lidahnya menjulur seolah bersiap melahap sesuatu.
“Setan itu menunggu apa?” ucapku.
“Nggak mungkin nungguin korban yang mati kan?” ucap Guntur.
Kali ini aku tidak mau tinggal diam.
Secepat mungkin aku memperhatikan semua rumah, beberapa rumah sudah hampir padam. Hanya ada satu rumah yang masih menyala.
Ada seseorang terkapar di depanya, itu Mas Darman.
“Mas! Mas Darman!” Tubuhnya penuh luka hingga tak sadarkan diri.
Aku menatap ke arah rumahnya, perlu waktu lama untuk memadamkanya tapi keberadaan makhluk itu membuatku curiga.
Tidak ada pilihan, mau tidak mau aku harus memastikan. Aku membasahi tubuhku dan menutupi tubuhku dengan sarung.
Ada sebuah ajian yang kugunakan untuk melindungi diri dari nyala api ini sementara waktu.
Dengan cepat aku menerobos rumah kayu sederhana itu dan mengecek ke kamar. Dan benar saja, seorang anak kecil sedang menangis di sudut kamar meratapi ibunya yang sudah kehilangan kesadaran.
“Ayo ikut sama mas!” ucapku yang segera membopong wanita yang tak sadarkan diri itu sembari berusaha meraih anak itu.
Anak itu ketakutan dan menggeleng, namun api terus menyala semakin besar,
“Mas Cahyo!!!” terdengar suara Guntur dari luar. Sepertinya keadaan sudah semakin parah.
Akupun terpaksa menarik tubuh anak itu dan menggendongnya. Kayu-kayu atap yang terbakar mulai berjatuhan aku harus berhati-hati menghindarinya.
Tapi sosok makhluk hitam tadi sudah menghadangku di ruang tengah.
Ia seperti tidak terima tumbal yang seharusnya bisa ia dapatkan malah kuselamatkan. Tapi tidak mungkin aku membiarkanya menghalangiku.
Grrrraaaaorrr!!!
Seketika suara raungan wanasura yang kesal memenuhi seluruh ruangan dan membuat makhluk itu menjauh. Dengan cepat akupun pergi dan membawa kedua tubuh itu keluar dari rumah.
Byurrr!!!
Tepat saat keluar dari rumah Guntur menyiram tubuhku untuk meredakan rasa panas yang kurasakan.
“Mas Cahyo nggak papa?” Mbah Sarman ternyata sudah sampai di tempat ini setelah membantu memadamkan rumah lain.
“Saya nggak papa pak, ibu , anak ini, dan Mas Darman.. mereka yang butuh pertolongan,” Ucapku.
Seketika Mbah Sarman memerintahkan perangkat desa lainya untuk membantu Mas Darman dan keluarganya.
Tapi masalah belum selesai, dengan selamatnya mereka makhluk-makhluk hitam itu menatapku dengan kesal. Mereka seperti mencoba untuk menyerangku.
“Ojo wani-wani” (Jangan berani-berani!)
Mbah Sarman menatap ke arah makhluk itu dengan tajam.
Entah bagaibamana bisa hanya dengan ucapan seperti itu, semua makhluk itu ketakutan dan menjauh.
“Mbah bisa melihat mereka juga?” tanyaku.
“Mereka ingon salah satu perguruan, seharusnya ia hanya memakan manusia yang ditumbalkan untuk mereka.” Jelas Mbah Sarman.
Gila, bahkan ada perguruan yang memelihara makhluk seperti ini. untuk apa? Segila apa ilmu yang dicari mereka sampai harus memelihara setan-setan ini?
Tepat saat matahari terbit apipun padam.
Warga mulai kembali ke rumah masing-masing sementara Mbah Sarman membantu merawat Mas Darman dan beberapa orang yang terkapar di balai desa.
“Apa selalu seperti ini mbah?” tanya Guntur.
“Luka dan babak belur itu sudah biasa, tapi ini sudah keterlaluan.
Sejak beberapa hari yang lalu aku merasa ada yang aneh dengan salah satu perguruan,” ucap Mbah Sarman.

“Le! Keluar le!! Api!!!” tiba-tiba Mas Darman terbangun sambil mengigau.
“Anak saya! Anak saya masih di rumah terbakar api!” Mas Darman panik.
Akupun menahanya dan menolehkanya ke arah anak dan istrinya yang sedang terbaring dirawat.
“Mereka aman mas, tenang dulu ya. Untuk rumah Mas Darman, maaf kami terlambat,” ucapku.
Mas Darman menangis, ia lega saat mengetahui istri dan anaknya selamat.
Akupun memeluknya berusa meredam emosinya.
“Ini ulah siapa mas?” tanyaku sembari menahan kesal.
“Jumarto!! Dia memang sudah mengincar keluarga saya untuk menjadi makanan ingonya!”ucapnya sembari menangis.
“Saya gagal melindungi mereka..”
Aku berusaha mengerti perasaan Mas Darman. Ia menangis sejadi-jadinya merasakan apa yang terjadi pada dirinya. Terlebih aku mendengar cerita dari warga lain.
Seseorang bernama Jumarto itu tidak melakukan pertarungan seperti pendekar lainya.
Ia malah membawa segerombolan orang untuk mengeroyok orang-orang yang mereka incar.
Mengetahui hal itu, pendekar lain tidak ingin mencari masalah dan meninggalkan desa.
Sialnya, Jumarto tetap mengincar Darman dan beberapa orang hingga membuat mereka babak belur.
“Mereka mengincar anak dan istri Darman dan pendekar lain! Mereka ingin memberi makan ingon mereka!” Teriak salah seorang pendekar yang bernasib sama seperti Mas Darman.
Aku semakin geram mendengarnya.
Bila memang itu tujuanya, dia pasti akan kembali lagi untuk menyerang Darman.
“Guntur, jaga Mas Darman ya,” ucapku pada Guntur.
“Nggak! Aku ikut!” Bantah Guntur.
Aku menatap matanya, sepertinya ia juga sudah menahan rasa kesalnya.
Akupun tidak melarangnya dan menitipkan Mas Darman pada warga desa.
“Mbah, dimana orang bernama Jumarto ini tinggal?” Tanyaku.
“Mas! Mas jangan aneh-aneh,” ucap Mbah Sarman.
“Dimana?!” kali ini aku bertanya dengan sedikit nada ancaman.
Sepertinya Mbah Sarman mengetahui maksudku.
“Kalau begitu aku antarkan kalian!” Balas Mbah Sarman yang tahu tidak mungkin bisa menahan kami.
Mbah Sarman membawaku berjalan melalui jalur yang cukup jauh.
Ada sebuah bukit kecil yang kami lalui sebelum akhirnya tiba di sebuah bangunan kayu besar dengan panji merah di depanya.
“Di sini tempatnya?” Tanyaku.
Pintu bangunan itu tertutup, namun aku mendengar banyak suara dari dalamnya.
Dengan sekuat tenaga aku menendang pintu itu hingga terlepas dan terpental.
Ada belasan orang di dalam tempat yang berbentuk seperti aula itu. mereka serentak menatap ke arahku dengan mata kesal.
“Brengsek! Kau cari mati!” Teriak mereka.
Aku memandang seluruh ruangan itu dan menemukan seseorang yang menghajarku kemarin pagi. Dengan segera aku berjalan menghampirinya.
“Ngapain sampah pengecut berani dateng ke sini?” ucap Jumarto.
Di sisi lain beberapa orang yang ikut menghajarku kemarin juga membicarakanku.
“Dia yang kemarin kita hajar sampai babak belur, cari mati dia ke sini?” ucap mereka.
Aku tidak peduli dan terus mendekatinya. Iapun menghadangku dengan memasang wajah sombongnya.
“Jangan sok ka…”
Belum sempat Jumarto berbicara sebuah pukulanku sudah mendarat di wahajahnya dan membuatnya terkapar.
“Bangun!” teriakku.
Seketika wajah orang-orang diruangan itu berubah.
“Brengsek!!!” Jumarto berdiri dan mencoba menyerangku,
namun sebelum ia selesai mendaratkan pukulan sekali lagi ia terpental dengan pukulanku yang mendarat di wajahnya.
“Bangun!!!” Teriakku sekali lagi.
Wajah Jumarto sudah penuh dengan darah, tapi aku masih belum puas.
“Jangan kira kamu bisa seenaknya di tempat ini!”
Salah seorang pendekar berlari dan melontarkan sebuah tendangan ke arahku. Tapi sebelum itu terjadi ia terpental oleh sebuah tendangan yang dilontarkan oleh Guntur.
“Jangan ikut campur!” ucap Guntur.
Aku hanya menoleh sebentar ke arah Guntur dan kembali menatap Jumarto.
Aku yakin mereka bukan masalah besar untuk Guntur.
Sekali lagi Jumarto berdiri, ia mengambil sebuah tongkat kayu dan mencoba menyerangku. Dengan sebuah serangan aku mematahkan tongkat itu dan membalas seranganya lagi.
Tak mau perguruanya dilecehkan, semua orang yang ada ditempat itu mulai datang menyerang kami.
“Mbah Sarman tidak usah ikut campur,” ucapku.
Awalnya Mbah Sarman khawatir. Namun saat mengetahui kami berdua bisa mengimbangi semua serangan mereka Mbah Sarman hanya menggeleng.
“Dia.. dia orang yang kita hajar kemarin kan?” Tanya salah seorang dari mereka.
“Dia juga anak kecil yang di sana??”
Hampir semua serangan yang mereka lakukan tidak melukai kami. ada satu hal yang menarik perhatianku, Guntur bisa menangani mereka dengan lebih baik.
Sepertinya sebentar lagi ia bisa menyaingi ilmu beladiriku.
“Guntur dengarkan ini…” ucapku.
Guntur sedikit menoleh sembari bertarung dengan lawanya.
“Ada waktunya kita harus diam tanpa melawan, bahkan ada waktunya juga kita harus melarikan diri, tapi ada juga waktunya kita untuk berdiri melawan..
Itu adalah ketika orang yang baik kepadamu dan bertindak benar disakiti…” ucapku.
Dalam sekejap seluruh pendekar yang ada di ruangan itu terkapar tak mampu melawan. Jumarto berlari ke belakang dan berteriak memanggil seseorang.
“Guru! Tolong kami guru!!” teriak Jumarto menggedor pintu di ruangan belakang.
Tak lama kemudian seorang pria tua berambut panjang keluar dan melihat keadaan sekitar. Raut wajahnya seketika berubah melihat tempat itu.
Ada yang aneh, ada kekuatan hitam mengalir dari tubuhnya. Ingon yang tadi ada didesapun mengikuti di belakangnya seolah menjaganya.
“Baru saja kutinggal meditasi sebentar kalian sudah dipermalukan sama bocah kampung ini?” teriak orang itu.
“Maaf guru! Mereka menggunakan siasat busuk. Kalau tidak kami tidak mungkin kalah” ucap Jumarto.
“Minggir!” ucap pria tua itu.
“Rasakan! Yang kalian lawan adalah pendekar rowo geni, Raden Sunjoro. Mati kalian!” Ucap Jumarto.
Dengan cepat Pria bernama Raden Sunjoro itu melesat kehadapanku dan menyerangku. Dengan sigap akupun menghindar dan menjauh.
“Jangan buru-buru, bukan aku yang jadi lawanmu!”balasku.
Aku menoleh ke arah Guntur dan menyuruhnya maju.
“Aku mas? Yang bener aja?” tanya Guntur.
“Berisik! Cepet! Jangan malu-maluin Masmu!” balasku.
Guntur terlihat ragu, tapi ia terus berjalan dan memasang kuda-kuda menghadapi Raden Sunjoro.
“Mas.. jangan main-main, sampai kapan kalian mau mempermalukan mereka?” Ucap Mbah Sarman.
“Sampai mereka tidak punya muka lagi untuk membuka perguruan!” balasku.
“Tapi Guntur masih anak kecil?!” bantah Mbah Sarman.
“Mbah lupa dia murid siapa?” balasku.
Mendengar pertanyaan terakhirku Mbah Sarman segera terdiam. Sepertinya ia penasaran bagaimana cara murid seorang Nyai Jambrong bertarung.
“Bocah Brengsek! Jangan salahkan kalau anak ini mati di tanganku!” balas Raden Sunjoro.
Raden Sunjoro melancarkan sebuah jurus dalam sebuah pukulan ke wajah Guntur. Aku sempat mengira pukulan itu akan menggores wajahnya namun ternyata pukulan itu tidak mengenainya dan hanya sedikit bersisihan dengan kulit Guntur.
Hampir semua serangan Raden Sunjoro mengenai Guntur, tapi tak satupun serangan itu mengenainya. Guntur hanya melakukan sedikit gerakan tapi semua itu sangat tajam menghindari Raden Sunjoro.
“Hebat..” Mbah Sarman kagum melihat gerakan Guntur.
Akupun memegang dahuku memperhatikan setiap gerakanya. Guntur benar-benar berusaha keras.
Merasa kesal, Raden Sunjoro membacakan mantra dan menghantamkan kembali sebuah pukulan.
Sekali lagi pukulan itu dihindari oleh Guntur namun suara ledakan terdengar dari arah pukulan Raden Sunjoro.
Itu jurus pukulan jarak jauh, mirip jurus yang digunakan Danan.
Guntur kaget, namun ia masih menguasai pertarungan.
“Tubuhmu akan jadi sasaran empuk jurusku,” ancam Randen Sunjoro.
“Itu kalau kena kan?” Balas Guntur santai.
Benar saja, tak satupun serangan Raden Sunjoro mengenai Guntur. Ia mampu menepis setiap serangan itu dengan mudah.
Sebaliknya, walaupun awalnya serangan Guntur dapat ditahan oleh Raden Sunjoro lambat laun ia mulai merasa kesakitan hingga sebuah tendangan yang sangat kuat menerjang tepat di dada Raden Sunjoro.
“Haha! Aku tau gerakan itu!” ucap Mbah Sarman.
“Aku juga pernah dibuat terpental sama tendangan itu,” sahutku pada Mbah Sarman sembari mengingat bagaimana Nyai Jambrong mempecundangiku saat pertama bertarung denganya.
Jumarto kaget gurunya dapat dikalahkan oleh seorang anak kecil.
“Siapa kalu sebenarnya?!” Tanya Raden Sunjoro.
“Saya Guntur! Pewaris ilmu bela diri Nyai Jambrong!” ucap Guntur dengan gagahnya.
Seketika seluruh pendekar di tempat itu tidak percaya dengan apa yang mereka dengar. Aku melihat ketakutan dari wajah mereka.
“Nyai Jambrong? Tidak mungkin! Dia tidak pernah mau menerima murid,” bantah Raden Sunjoro.
“Kalau masih belum percaya, maju saja lagi!” Tantang Guntur.
Aku tersenyum melihat bertumbuhnya seorang pendekar.
Seorang bocah mengesalkan yang dulu cerewet kini berhadapan dengan pimpinan perguruan seorang diri. Dia hanyalah Guntur, seorang manusia biasa dengan tujuan hidup biasa tapi dengan kebesaran hati yang luar biasa.
“Kalau dia memang murid Nyai Jambrong, maka ia harus segera kita habisi! Serang!” Perintah Jumarto.
Belum sempat mereka menyerang Guntur, aku menjejakkan kaki di tanah yang menimbulkan dentuman besar hingga mereka terdiam.
“Kalian pasti tahu apa yang terjadi bila Nyai Jambrong tahu muridnya di keroyok,” ucapku.
Seketika merekapun ragu melangkahkan kakinya dan menahan diri. akupun tertawa, ternyata nama besar Nyai Jambrong mampu membuat mereka takut.
“Jangan sombong! Ada alasan mengapa aku memimpin perguruan ini,” ucap Raden Sunjoro.
Sebuah ritual ia lakukan dengan membuat sebuah gerakan. Ada mantra yang ia bacakan hingga sosok ingon yang tadi ada di desa kini mendekat ke arahnya.
Makhluk-makhluk hitam bertangan dan kaki panjang itu kini membantunya untuk menyerang Guntur.
“Ini baru masalah..” gumamku.
“Wanasuraaa!!”
Tak mau memperpanjang lagi, akhirnya aku memanggil kekuatan wanasura untuk menghadapi ingon hitam milik Raden Sunjoro.
“Guntur! Selesaikan ini dengan cepat! Firasatku tidak enak” jelasku.
Ingon-ingon yang mencoba menyerang Gunturpun terpental dengan seranganku. Guntur mengikatkan tasbihnya pada tanganya sembari membaca doa untuk menenangkan pikiranya.
Entah jurus apa yang ia punya, namun aku sama sekali tidak merasakan ada kekuatan batin dalam seranganya.
Dengan kekuatan Wanasura dan jurus Guntur kami mementalkan Raden Sunjoro bersama ingonya hingga mendobrak Tembok kayu di belakangnya.
Raden Sunjoro terkapar tak berdaya. Semua pendekar di ruangan itupun gentar dengan kami. namun sayangnya masalah besar baru dimulai.
Dibalik tembok kayu itu tersembunyi sebuah patung batu dengan pancaran hitam yang mengerikan.
Sialnya, ada beberapa jasad manusia yang tergantung di atasnya dengan darah yang menetes tepat di atas patung itu.
“Gila, apa lagi itu? Itu.. itu istri Sasto kan?” Mbah Sarman tidak menyangka akan melihat pemandangan keji seperti itu.
Tanpa menunggu lama aku segera melompat dan meraih jasad yang tergantung dan melepaskanya.
“Hentikan! Ritual belum selesai!!” Teriak Raden Sunjoro yang kembali mencoba menyerangku dan Guntur.
Kali ini serangan Raden Sunjoro tertahan.
Mbah Sarmanlah yang mengangkat tubuhnya dan seketika membantingnya ke tanah.
“Ini sudah keterlaluan! Apa rencana kalian!” ucap Mbah Sarman kesal.
Aku menoleh sebentar, ternyata benar Mbah Sarman bukan seorang pria tua biasa.
“Brengsek! Jangan ikut campur! Sebentar lagi ritual selesai!!” Teriak Raden Sunjoro tapi Mbah Sarman sekali lagi menghajarnya hingga terpental.
Aku mendekat ke patung itu dan mencoba menghancurkanya.
Itu adalah patung berwujud pendekar tanpa mata dan dengan tangan yang memanjang hingga ke tanah. Kekuatan yang terpancar dari benda itu jauh lebih mengerikan dari wujudnya.
Sebuah pukulan kudaratkan dengan kekuatan wanasura, namun tak sedikitpun kekuatanku menggores patung itu.
“Ini bukan patung biasa,”gumamku.
Guntur mencoba mengambil tongkat kayu dan mencoba memukulnya tapi hasilnya tetap sama.
“Percuma kalian tidak akan bisa melukai Raden Rogo Biryono.. dia yang akan memberikan kekuatan besar pada kami,” ucap Raden Sunjoro sembari tertawa.
Aku tidak menyerah, tidak mungkin aku membiarkan patung mengerikan ini berbuat sesuatu.
“Guntur, lindungi aku,” ucapku.
Guntur mengerti dan mengambil posisi di belakangku menghadap semua pendekar itu.
akupun membacakan doa yang cukup panjang dan berusaha mencoba memutihkan energi jahat patung itu.
Berhasil, perlahan kekuatan hitam dari patung itu mulai memudar. Raden Sunjoro terlihat kecewa namun aku merasa, ini tidak akan mudah.
“Menungso sampah! opo harus aku dewe sing nggolek getih kanggo kebangkitanku…”
(Manusia sampah! Apa harus aku sendiri yang mencari darah untuk kebangkitanku)
Tiba-tiba terdengar suara mengerikan dari patung itu. sontak Jumarto dan Raden Sunjoro ketakutan.
Aku menyaksikan ada makhluk jangkung berdiri dibalik patung itu.
“Wengi iki, menungso neng deso iki ora ono sing oleh urip! Wengi iki kudu banjir getih!”
(Malam ini, manusia di desa ini tidak ada yang boleh hidup! Malam ini harus banjir darah) Ucap makhluk itu.
Kini aku gentar, jelas makhluk itu bukanlah makhluk biasa. Bahkan tingginya lebih besar dari wanasura.
Arrrgghh!!! Jangannn!!!
Terdengar teriakan dari murid murid Raden Sunjoro. Satu persatu dari mereka kesurupan, tubuhnya membesar dengan otot-otot yang merobek kulitnya.
Mereka menyeringai buas seolah siap mengejar mangsanya.

“Guntur! Tutup pintunya! Jangan sampai mereka keluar!” Teriakku.

Guntur menoleh ke arahku dengan bingung.

“Gimana caranya mas? Kan daun pintunya sudah mental ditendang mas Cahyo?” Balas Guntur.
Benar juga, aku menggaruk kepalaku dan berlari ke arah pintu. Kami bertiga menjaga pintu itu agar tidak ada yang keluar dari bangunan.
Sayangnya mereka lebih pintar dari yang kami kira. Merekapun menerobos jendela dan atap bangunan dan meninggalkan tempat ini menuju ke desa.
***
TEROR DARI BALIK BUKIT
Senja mulai menghilang, dan gelap mulai datang. Tidak seperti biasananya kegelapan malam kali ini membawa rasa takut bagi warga Desa Gandurejo.

“Yang akan kalian lawan bukan sekedar pendekar, mereka dirasuki setan! Jangan lengah!”
Teriak Mbah Sarman memimpin pendekar yang masih tersisa di desa.

Seolah mengetahui akan adanya pertarungan besar. Sosok-sosok makhluk penunggu hutan menyaksikan kami dari kejauhan seolah menunggu ada darah yang terjatuh untuk mereka.
Walau sudah pergi terlebih dahulu, sepertinya Raden Rogo Biryono memilih menunggu malam untuk menyerang desa ini.

Ada satu orang berjalan mendekati kami. ia memasuki desa dengan menyeret langkahnya. Matanya putih, kesadaran sudah bukan lagi miliknya.
“Jumarto?! Itu Jumarto!” Teriak warga yang menyadari siapa orang yang mendekat itu.

Aku melintasi kerumunan dan bersiap menghadapi sosok Jumarto yang mendekat. Tapi bukanya menyerang, sosok itu malah terhenti.

“To…long”
Jumarto mencoba berbicara, namun sepertinya ia tidak dapat berbuat lebih dari itu. Setelah mengucapkan itu tiba-tiba ia memegang kepalanya dengan kedua tanganya.

Ada tawa jahat dari makhluk yang merasukinya.
seketika Jumarto menyeringai dan mengangkat sekuat tenaga kepalanya hingga terpisah dari badanya.

Darah bermuncratan dari leher Jumarto yang seketika terjatuh di tanah dengan kepala yang menggelinding.Seluruh warga desa gentar melihat kejadian itu.
“Ini yang akan terjadi pada kalian!” Ucap Raden Sunjoro yang tak lagi menguasai kesadaranya.

Seketika dari dalam kegelapan muncul pasukan pendekar yang dirasuki oleh pengikut Raden Rogo Biryono. Mereka menerjang ke arah kami dengan kesetanan.
Seseorang merangkak layaknya hewan buas menyerang warga desa yang berusaha membela diri. Di sisi lain ada yang memanjat pohon dan berusaha menarik warga desa untuk menggantungnya. Kekuatan mereka berkali-kali lipat dari biasanya.
Saat ini aku dan Guntur tengah berusaha menghadang sosok yang mereka panggil dengan nama Raden Rogo Biryono ini. Sementara Mbah Sarman mengumpulkan pendekar di desanya untuk menahan mereka.
“Hati-hati, dia bukan setan biasa,” peringatku.
“Aku juga tahu mas, niatnya sih mau kabur dari tadi. Sayangnya masih inget kalau aku cowo,” balas Guntur sepertinya mencoba mencairkan suasana.
“Nggak boleh begitu lah Tur, kalau sampai kamu kabur… ya ajak-ajak,” balasku.
Sayangnya perbincangan kami hanya terhenti sampai di situ. Bayangan pendekar jangkung itu segera mendekat dan mencekik aku dan Guntur secara bersamaan dengan tanganya yang panjang.
“Wanasuraaa!!”
Aku segera memanggil wanasura untuk melepaskan diri dari cengkeramanya.
Tidak ada lagi alasan untuk menahan diri saat ini.
Dengan sigap aku menarik kekuaran wanasura ke dalam lenganku dan melayangkan sebuah pukulan ke tubuh setan itu. anehnya tak sedikitpun seranganku mampu membuatnya terluka.
“Gila! Belum pernah aku menemui makhluk sekuat ini,” ucapku.
“Jangan gegabah mas Cahyo!” Teriak Guntur.
Ia bergantian denganku menyerang sosok itu. ada sebuah tasbih di genggamanya yang telah ia bacakan sebuah doa.
Aku tau seranganya bukanlah pukulan biasa, namun sekali lagi serangan Guntur tak mampu melukai Raden Rogo Biryono sama sekali.
Kami tak mau menyerah. Berkali-kali kami menghantamkan serangan kami ke tubuh bayangan milik makhluk itu. namun tetap sama saja.
Dengan sekuat tenaga kami menahan serangan makhluk itu sembari mencari celah untuk menyerang. Namun stamina kami ada batasnya.
Sedikit lengah, tangan panjang makhluk itu berhasil menyapu Guntur hingga terpental.
Tubuhnya menabrak pohon hingga memuntahkan darah dari benturan itu.
“Guntur!!” Teriakku yang segera mencoba menghampirinya, tapi setan itu tidak memberiku kesempatan.
Aku menangkis berbagai seranganya,
namun tanganya yang panjang mampu meraih mengangkatku dan membantingku ke tanah. Beruntung kekuatan Wanasura melindungiku, tapi tetap saja aku menerima luka yang cukup parah.
Setan itu tidak meremehkanku. Ia masih terus menyerangku tanpa ampun.
“Hati-hati mas! Lari!” Teriak Guntur menghkhawatirkanku sepertinya ia masih belum mampu memulihkan dirinya.
“Tolooonggg!!!”
Tiba-tiba, terdengar suara seorang perempuan dari arah desa, ia terseret dari dalam rumahnya tanpa mampu melawan.
“Ibuuu” Anak dari perempuan itu menangisi ibunya.
Keadaan di desa sudah semakin mencemaskan. Sepertinya sudah ada korban dari warga desa.
Aku melihat Mbah Sarman berusaha menolong wanita itu,
tapi di sisi lain sudah ada seorang perempuan yang tergantung di atas pohon setelah diseret dari rumahnya.
Rupanya seluruh warga sudah kewalahan. Sebagian warga sudah terkapar babak belur di tanah oleh serangan pendekar yang kesetanan itu.
“Guntur Tolong mereka!” Perintahku.
“Terus Mas Cahyo?”
“Aku akan cari cara buat ngalahin setan ini…”
Aku berpikir sekuat tenaga, namun yang bisa kulakukan sekarang hanya terus menghindari seranganya dan bertahan. Bila terus seperti ini akan ada lebih banyak korban jiwa.
Sebaliknya, bergabungnya Guntur dalam pertarungan mampu membuat keadaan berbalik. Satu persatu anak buah Raden Sunjoro yang kesetanan dibuat kewalahan oleh Guntur.
Tasbih pemberian Nyai Jambrong ternyata mampu menarik kekuatan batin Guntur dan membuat roh yang merasuki tubuh pendekar itu menjadi melemah.
“Hei murid Nyai Jambrong, apa nenek peyot itu tidak mengajarkan jurus lain padamu?” tanya Mbah Sarman.
“Eyang hanya mengajarkan ilmu bela diri untuk melindungi diri, bukan untuk melukai orang lain.. dia sudah bukan dukun jahat seperti dulu lagi,” Jelas Guntur.
“Sudah kuduga…” Mbah Sarmanpun mendekat ke arah Guntur dan mengambil posisi di depanya.
“Perhatikan ini baik-baiik…
Tidak semua ilmu harus berasal dari dalam diri. Segala sesuatu yang ada di alam merupakan bagian dari diri kita yang dapat kita gunakan sesuai kemampuan kita.
Energi tak kasat mata melayang-layang di sekitar kita dan kita bebas membentuknya sesuai kehendak.
Pikirkan apa hal terhebat yang bisa kau pikirkan…
Tarik sebanyak mungkin energi itu ke dalam tubuhmu, dan tumpuk semuanya dalam satu pukulan”
Seketika suara raungan harimau menggelegar dengan sebuah pukulan yang dihantamkan ke Raden Sunjoro.
“I—itu, itu seperti jurus Nyai Jambrong!!” Teriak Guntur sembari tertawa.
Akupun mengingat jurus itu saat Nyai Jambrong bertarung dengan raden Darwana saat tubuhnya hampir sekarat. Hanya saja saat itu serangan Nyai Jambrong lebih berwujud macan putih.
“Pahami itu, dan lindungi orang-orang yang kau sayangi,” ucap Mbah Sarman.
Aku melihat sesuatu mulai berubah dari Guntur. Ia sedikit terlihat lebih siap.
Berkali kali Guntur mengayunkan lenganya mencoba merasakan energi yang dimaksud oleh Mbah Sarman.
Iapun menutup matanya mencoba membayangkan hal yang paling bisa ia andalkan untuk melawan musuhnya kali ini.
Dan ini yang aku tunggu-tunggu.. sebuah kekuatan mengalir dari lengan Guntur.
Daarrrrr!!!!
Suara petir menyambar terdengar di penjuru desa.
Bukan dari langit, tapi serangan itu berasal dari lengan Guntur yang menghantam Raden Sunjoro. Kini ia benar-benar terkapar tak sadarkan diri.
“Gila, memang pantas menyandang gelar murid Nyai Jambrong!” ucap Mbah Sarman.
Aku tersenyum melihat hal itu. Guntur sudah menemukan jawaban atas permasalahanya, kini tinggal bagaimana caraku melawan makhluk mengesalkan ini.
Saat aku memperhatikan sekitar, tiba-tiba terlihat sosok manusia dari jauh yang terlihat tidak asing.
Wujudnya yang tembus pandang memastikan ia bukanlah manusia.
Itu adalah sosok yang muncul di mimpiku sebelumnya.
Seketika aku teringat akan prasasti terkutuk yang berada di tengah hutan. Sepertinya aku punya rencana.
“Setan buta! Kita selesaikan semua sekarang!”
Sekuat tenaga aku memukulkan kekuatan wanasura ke wajahnya. Kali ini ia menahanya hingga terseret, namun saat akan membalas seranganku aku berlari menjauh.
Ia mengejarku, tapi dengan kekuatan wanasura aku bisa melompat dengan cepat dan bersembunyi diantara pepohonan. Saat ia lengah, aku kembali mendaratkan sebuah pukulan sembari membacakan ayat suci untuk membuka pertahanan hitamnya.
“Bersembunyi dan menyerang diam-diam, itu yang kau maksud selesaikan semua?” ucap Raden Rogo.
Merasa kesal ia menyapukan lenganya dan menumbangkan beberapa pohon. Aku cukup gentar dengan seranganya, bahkan wanasura sekalipun tidak mempunyai kekuatan sebesar itu.
Akupun berlari menjauh, namun rasa kesal Raden Rogo membuatnya tidak mau melepaskanku. Sekali lagi ia menyapukan lenganya ke arahku dengan gelombang kekuatan yang mengerikan. Akupun menghindar, dan seranganya mengancurkan pohon jati yang ada di belakangku.
Rencanaku berhasil…
"Ngapunten nggih mas penunggu…” (Maaf ya mas penunggu) ucapku sembari mengarah kepada prasasti dan sosok makhluk penunggunya.
Beberapa pohon jati itu rusak. Salah satunya bahkan sampai terbelah. Sekarang tinggal kita buktikan, apakah kutukan prasasti itu benar adanya.
Raden Rogo tiba-tiba sudah ada di hadapanku dengan wajah kesalnya. Ia mencoba menyerang, namun tiba-tiba dari udara muncul benda seperti tombak yang menusuk tubuhnya.
“Brengsek! Apa ini? siapa kalian??” teriak Raden Rogo, namun tidak ada suara apapun.
Perlahan aku menjauh mundur dari Raden Rogo. Prasasti yang sebelumnya terlihat begitu tua kini samar-samar seperti bersinar.
“Siapapun yang merusak ‘Jati Pitu’ atau ketujuh pohon jati ini akan menerima kutukan seperti yang tertera di prasasti ini,” ucapku.
“Sialan! Kau menjebakku!” Teriak Raden Rogo.
Kekuatan kutukan prasasti itu benar-benar mengerikan. Dari sekitar Raden Rogo muncul bayangan bersama makhluk hitam yang mencabik—cabik tubuhnya dengan mengerikan.
“Selama tubuh patungku masih utuh, aku akan kembali… kau akan merasakan yang lebih mengerikan dari ini!” ancamnya.
Iapun merintih kesakitan, tapi dalam sekejap suaranya menghilang setelah hewan buas memakan kerongkonganya.
Raden Rogopun menghilang bersamaan dengan hilangnya cahaya di prasasti ini.
“Gila… ini benar-benar kutukan yang gila..” ucapku.
Samar samar aku merasakan ada seseorang di belakangku. Dan benar ada roh seseorang di sana. Dia adalah roh penjaga prasasti ini.
“Siapa kamu sebenarnya,” tanyaku.
“Bisa-bisanya kau memanfaatkan kutukan prasasti ini,” ucap sosok berpakaian kerajaan jaman dulu itu.
“Eh.. i—iya, ngapunten. Mohon maaf saya tidak kepikiran cara lain,” balasku meminta maaf.
Makhluk itu mengangkat tanganyanya seolah tidak ingin memusingkan hal itu. tapi sepertinya ia memiliki maksud lain.
“Sudah tidak masalah, toh tujuan dari makhluk itu juga menghancurkan keturunanku. Mungkin akulah yang seharusnya berterima kasih,” ucapnya.
Keturunan? Apa ini adalah permasalahan antara dua kubu?
“Keturunan? Maksud Masnya apa?” Tanyaku.
Makhluk itu menceritakan bahwa pendekar di keluarganya pernah memiliki perselisihan dengan sebuah kerajaan.
Demi melindungi rakyatnya ia terpaksa menyerang kerajaan itu dan menjadikanya medan pertempuran.
Mereka menang, namun beberapa orang sakti dari kerajaan itu ada yang masih bertahan dan ingin membalas dendam.
Salah satunya bernama Ki Luwang, pematung sakti yang konon meninggalkan sesuatu untuk membalas dendam.
“Patung itu sedang mengumpulkan kekuatan sebelum akhirnya akan membalas dendam kepada anak dan cucu kami..” ucap roh itu.
Itu adalah cerita yang singkat, namun aku merasa ada hal yang lebih pelik dari itu hingga seseorang bernama Ki Luwang ini menanamkan dendam hingga sedemikian rupa.
Bila Ki luwang dan peningggalanya masih mencoba mengumpulkan kekuatan,
berarti masih akan ada banyak korban yang berjatuhan menjadi tumbalnya.
“Maaf, memangnya masnya siapa? Dan siapa keturunan masnya?” Tanyaku.
Mungkin dengan mengetahuinya aku bisa mencari cara menghentikan dendam ki luwang.
“Saya adalah Raden Swarga Darmawijaya.. aku hanya menjaga prasasti ini,” jawabnya.
Tunggu Darmawijaya?
“Berarti anda leluhur Dirga? Dirga Darmawijaya? Dan ada hubungan darah denga Raden Arya Darmawijaya?” Tanyaku lagi.
Raden Swarga tersenyum mendengar ucapanku.
“Sepertinya memang sudah takdir kita dipertemukan..”
Ini gawat, berarti nyawa Dirga dan Abah dalam bahaya. Apalagi Darmawijaya merupakan Trah besar, berarti masih ada keturunan Darmawijaya yang akan diincar oleh mereka.
“Mas Raden Swarga, apa yang harus saya lakukan untuk melindungi Dirga?” Tanyaku.
Raden Swarga menggeleng.
“Saya tidak tahu, saat ini saya hanya menjaga prasasti ini. prasasti berisi kutukan yang saya buat untuk melindungi ‘Jati Pitu’” ucapnya.
“Mas Raden ini aneh-aneh aja lho, kenapa sampai bikin kutukan begini untuk pohon jati?” balasku.
Raden Swarga menghela nafas.
“Jati pitu adalah istilah, tujuh pohon jati ini hanya simbolnya… dia melambangkan tujuh pilar tanah jawa yang tidak boleh dirusak.
Ada tujuh prasasti juga yang melindunginya,” ucap Raden Swarga.
Aku menggaruk-garuk kepalaku. penjelasan Raden Swarga kali ini cukup membuatku bingung. Namun karena tidak ada lagi yang bisa kami bicarakan, akupun ijin untuk pamit membantu Guntur.
“Tunggu.. ada satu yang bisa kubantu,” ucap Raden Swarga.
Aku berhenti sebentar dan kembali menoleh.
“Raden Rogo akan bangkit lagi, saat itu terjadi prasastiku akan menyala dan bersinar ke langit. Itu adalah pertanda untuk kalian,” ucapnya.
“Memangnya butuh berapa lama Raden Rogo untuk mendapatkan tubuh itu lagi?” Tanyaku.
“Satu purnama…”
Akupun mengangguk mengerti dan berpaling meninggalkan prasasti itu.
Akupun berlari dan sampai di desa dengan banyak orang yang terkapar. Pemandangan ini begitu mengerikan.
Ada seorang perempuan mati tersangkut di pohon, ada seorang pendekar yang tubuhnya terbelah dua, dan banyak pendekar yang terkapar di tanah. Tapi pertarungan ini sudah selesai, seluruh anak buah Jumarto kini terbaring tak bernyawa.
“Mas Cahyo?! Raden Rogo?” tanya Guntur.
Aku hanya membalasnya dengan menggoreskan jariku di leher, “Khek!! Mati!”
Gunturpun menghela nafas lega.
“Bagaimana bisa?” Tanya Mbah Sarman.
“Saya memanfaatkan Prasasti kutukan itu, beruntung itu berhasil.” Balasku.
Mbah Sarman menggeleng mendengarkan rencanaku. Akupun segera menceritakan bahwa ini hanya sementara. Warga Desa Gandurejo harus mengungsi dan meninggalkan desa ini sebelum Raden Rogo bangkit lagi.
Mbah Sarman mengerti, iapun mulai membentuk kelompok untuk melakukan evakuasi.
Setelahnya akupun berpamitan pada Mbah Sarman dan Mas Darman. Aku harus mencari sinyal untuk memberi tahu tentang masalah ini pada Paklek dan Danan.
Aku berjanji akan mengunjungi mereka lagi. Masih ada yang harus kucari tahu tentang desa Nyai Jambrong dan prasasti kutukan itu.
semoga saja waktuku cukup panjang untuk mendapatkan cara mengalahkan Ki Luwang dan segala pengikutnya.

“Patung pendekar? Sing nggenah kowe jul?” (Patung pendekar? Yang bener kamu Jul) ucap Danan kaget,
tapi anehnya ia tidak begitu heran saat kuceritakan bahwa patung itu memiliki kekuatan yang begitu besar.
“Apa ada cerita serupa nan?” Tanyaku.
“Iya, Paklek nemu Patung Sinden, aku berhadapan sama Patung Kakek kepala kambing,
dan kamu patung pendekar.. sudah lengkap tiga,” jelas danan.
“Ada tiga yang seperti ini??” tanyaku kaget.
“Iya Jul, cepetan balik.. kita harus bahas ini sama Dirga dan Abah secepatnya,” balas Danan.
Akupun menyetujui ucapanya dan segera melesatkan motorku untuk kembali.
Sebelum kembali ke Klaten aku mampir ke desa Nyai Jambrong untuk memulangkan Guntur. Sebenarnya aku malas bertemu denganya, tapi takutnya mungkin saja nanti kami akan membutuhkan bantuan Nyai Jambrong lagi.
“Khekehkeke… lama sekali, Cuma mengambil ini saja ka,” ucap Nyai Jambrong menerima sebuah kota kayu dari Guntur.
“Ya ampun Eyang, demi ngambil itu aja kami hampir mati,” balas Guntur.
“Kalau sampai hampir mati berarti kamu masih kurang latihan! Besok bangun subuh!” Teriak Nyai Jambrong.
Sontak wajah Guntur berubah menjadi jelek setelah mendengar perintah gurunya itu.
“Udah nurut aja, besok aku juga ikut bangun subuh masakin sarapan,” tiba-tiba terdengar suara anak perempuan yang masuk ke rumah membawakan makanan kecil.
“Eh Arum.. kalio aku sih bangun subuh nggak masalah, sudah biasa,”
ucap Guntur yang seketika menjadi sumringah ketika melihat Arum.
Aku tertawa sendiri melihat kelakuan Guntur. Tapi yang lebih menarik perhatianku ketika Nyai Jambrong membuka isi kotak itu. ada sebuah kain Jarik dengan motif batik emas.
“Nah… kalau pake Jarik ini kan aku nggak kalah bagus sama si Sar,” ucap Nyai Jambrong.
Seketika teh yang baru saja diminum oleh Guntur muncrat dan wajahnya berubah merah.
“Jadi eyang nyuruh kami jauh-jauh ke sana, hujan-hujanan,
nginep di rumah tua, sampai ngelawan setan Cuma buat ngambil jarik untuk dipamerin ke Mbok Sar?” Teriak Guntur.
“Ssst… jangan teriak-teriak, Jarik yang bagus itu penting. Har..ga Di..ri.. kehkehkehe…” ucap Nyai Jambrong.
“Rum Eyangmu tuh Rum!” ucap Guntur kesal.
Sekali lagi aku tertawa melihat tingkah Guntur. Namun aku sadar tujuan sebenarnya dari perintah Nyai Jambrong.
Ada roh seorang prajurit yang harus ia bebaskan..
Ada bangunan yang dibangun dengan dosa yang harus dilepaskan pelindungnya agar bisa termakan umur.
Setidaknya aku melihat Nyai Jambrong ingin memperbaiki kesalahanya di masa lalu satu persatu.

***
Bersambung Part 4
Terima kasih sudah mengikuti part ini hingga akhir. Mohon maaf apabila ada kesalahan kata atau bagian cerita yang menyinggung.

Buat temen-temen yang mau baca duluan atau sekedar support bisa mampir ke @karyakarsa_id dengan link berikut :
karyakarsa.com/diosetta69/den…
Dendam Patung Arwah
Part 4 - Darmawijaya

Danan dan Cahyo berhasil mencapai rumah abah, tapi tanpa sengaja mereka terjebak oleh sebuah tragedi yang tersembunyi di pasar malam.

#bacahorror @bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht Image
Tanah Pasundan

(Sudut pandang Danan)
Suara mesin motor Cahyo menderu melintasi keramaian pasar desa. Sontak seketika tatapan mata pengunjung pasarpun tertuju kepada kami dengan kesal.
“Wis tak kandani nganggo montorku wae..” (Sudah aku bilangin, naik motorku saja) ucapku sembari menepuk pundak Cahyo.
“Lho, jangan… Si Mbah masih belum menjelajahi wilayah sini, pokoknya semua medan tanah Jawa harus dilewati Simbah,” balas Cahyo.
“Lha tapi ini kan daerah Sunda?” balasku.
“Tetep aja pulau Jawa Nan,”
Aku tidak mengerti dengan tujuan dan niat Cahyo. Memangnya bila Si Mbah berhasil mengelilingi pulau Jawa dia bakal dapat penghargaan dari presiden? Yang ada malah nambah jajan sparepart lagi..
“Yowis terserah, yang penting jangan mogok aja,” balasku lagi.
Aku melintas sebuah pabrik tahu yang pernah kudatangi bersama Mas Jagad beberapa tahun lalu. Ada sebuah pohon di sana,
pohon yang menjadi saksi atas kematian seorang wanita yang diperlakukan dengan biadab dan memilih untuk menggantungkan jasadnya di sana.
Namun kali ini pabrik itu sudah tidak menyeramkan seperti dulu. Tanpa adanya sosok yang memprovokasi,
mereka tidak lagi mengganggu karyawan yang berada di sana.
Tak jauh dari pabrik, ada sebuah sungai. Rumah Abah dan Dirga berada di pemukiman di seberang sungai. Aku ingat ada masjid besar tak jauh dari rumah Abah.
“Kulo nuwun!!” ucapku.
“Heh salah Nan!.. Punteeeen” Teriak Cahyo.
“Oh iya, salah..”
Kami mengetuk pintu salah satu rumah sederhana di desa itu. Sebuah rumah kecil dengan sedikit lahan di depanya yang cukup untuk menanam sedikit tanaman dan memarkir motor.
Suara langkah kakipun mendekat dengan terburu-buru dan terdengar suara kunci pintu yang di buka.
“Eh, Danan , Cahyo.. sudah sampai saja, mangga masuk” sambut abah membukakan pintu untuk kami.
“Hatur nuhun bah, abdi masuk ke dalem ya,”
Plakkk!!
Akupun memukul kepala Cahyo dengan jaketku melihatnya gaya-gayaan menggunakan bahasa Sunda.
“Nggak usah sok-sokan ngomong bahasa sunda, nggak cocok,” ucapku.
“Ya elah Nan.. usaha dikit Nan,”
Tak berapa lama Abah dan Emak sudah keluar dari dapur dengan membawakan kopi panas dan beberapa jajanan ringan khas tempat ini.
“Wah malah jadi ngerepotin Bah,” ucapku.
“Mana ada ngerepotin, kalian sudah jauh-jauh dari sini..” balas Abah.
“Iya mana ada ngerepotin Nan, mana enak-enak lagi, Hatur nuhun nggeh Bah,” balas Cahyo sembari mengunyah Cireng yang disediakan oleh Emak.
Sekali lagi aku memukul kepala Cahyo..
“Yang sopan, lagian mana bisa bahasa sunda dicampur jawa begitu..”
balasku sembari menggeser piring berisi Cireng ke arahku.
“Ya tapi, piringnya jangan diembat sendiri donk Nan,” Cahyo tidak terima.
Abah dan Emak hanya tertawa melihat tingkah kami. Sedari tadi aku mencari keberadaan Dirga tapi sepertinya ia sedang tidak di rumah.
“Abah, Dirga lagi keluar?” tanyaku.
“Iya Mas Danan, Dirga teh udah dua hari pergi sama Jagad. Harusnya hari ini sudah pulang. Ditunggu saja ya, sudah kami siapin kamar kok,” balas Abah.
Aku Yakin Mas Jagad dan Dirga pasti sedang menyelidiki sesuatu yang berhubungan dengan patung arwah yang mengincar Trah Darmawijaya. Tapi sebenarnya, aku penasaran apakah abah sudah tahu mengenai hal ini?
“Abah.. Apa Mas Jagad dan Dirga menceritakan sesuatu tentang….”
“Patung?” Tiba-tiba Abah memotong pertanyaanku.
“I—iya Bah,” balasku.
“Jagad sudah cerita semuanya, akhir-akhir ini bukan hanya Dirga. Saya juga mendapat banyak mimpi aneh.
Sekarang Mas Jagad dan Dirga sedang mencari salah satu petunjuk.
Ada juga yang mau saya tunjukkan, tapi menunggu paklek dan yang lain kumpul sekalian ya..” jelas Abah.
Aku lega Abah sudah mengetahui hal ini. Akan tidak enak bila harus aku yang menjelaskan permasalahan ini pada mereka.
Beruntung sepertinya Abah juga sudah mempersiapkan sesuatu.
“Abah.. kami jalan-jalan dulu ya! Tadi sempet liat banyak jajanan di lapangan,” ucap Cahyo.
“Oh iya, lagi ada pasar malam di lapangan.. tapi paling pedagangnya baru lengkap nanti malam.
Bilang saja tamunya abah, nanti nggak usah bayar tiket masuk,” balas abah.
“Yang bener Bah?” Tanya Cahyo.
“Iya, tenang aja.. panitianya teman-teman abah semua,” balas abah.
Cahyo terlihat senang dan semakin semangat menuju ke tempat itu.
Namun hari masih sore, mungkin tidak ada salahnya kami memutar sebentar untuk melihat-lihat sembari menunggu pasar malam buka.
“Kalau di Klaten, aku bilang ‘saya tamunya paklek’ kira kira dikasi masuk gratis nggak ya nan?” tanya Cahyo.
“Ngawur kamu, dikasi gratis.. tapi nggak ke pasar malam,”
“Terus kemana?”
“Pabrik Gula!” balasku sembari bergegas mengenakan jaketku.
“Lah nek mrono kuwi jenenge nyambut gawe, dudu jajan,” (Lah kalau ke sana itu mah namanya kerja, bukan jajan) balas Cahyo.
“Nah Itu tahu..”
Cahyo membalasku dengan raut wajah sepetnya.
"Wis, Jelas.. untuk masalah beginian, Paklek kalah sakti sama Abah,” lanjut Cahyo.
Waktu sore itupun kami habiskan dengan mengelilingi ujung desa yang ternyata tidak jauh dari sebuah bukit.
Beberapa papan nama memang menunjukkan ke beberapa gunung yang sebenarnya lebih mirip kumpulan bukit.
Kamipun menghentikan motor kami sejenak dan menikmati udara dingin yang akan menutup hari menyambut malam ini.
Rupanya senja di tempat ini juga mampu memanjakan mata kami dan membuat kami enggan untuk beranjak.
Aku merasa sempat tertidur sesaat. Udara dingin dan pemandangan hijau di tempat ini benar-benar berhasil memanjakanku.
“Cringg… Cringg..”
Di tengah lelapku tiba-tiba aku tersadar dengan suara benda seperti kerincing yang bersautan dengan suara seekor kucing.
Iya.. kucing…
Aku terbangun saat langit merah mulai menghitam.
Saat aku terduduk samar-samar terlihat bayangan seorang lelaki tua bergamis putih yang berjalan masuk ke dalam gelapnya hutan bersama seekor kucing hitam yang terus mengikutinya.
Itu bukan pemandangan yang biasa, namun saat aku hendak mencari tahu tiba-tiba sosok itu suudah menghilang di kegelapan hutan.
“Kenapa Nan?” tanya Cahyo yang juga baru saja terbangun.
“Eh, nggak.. tadi kebangun sama suara kucing,” balasku.
“Kucing? Di hutan?” Tanya Cahyo.
Mataku masih setengah ngantuk untuk memastikan apa yang kulihat merupakan mimpiku atau bukan. Akupun meminta Cahyo mengabaikanya dan melanjutkan rencana kami untuk mampir ke pasar malam.
Sekumpulan pedagang yang tadi siang kami lihat berjejer kini berkumpul semakin banyak. Berbagai permainan yang dihiasi lampu menyala-nyala membuat lapangan gersang ini menjadi terlihat sangat menyenangkan.
Aku sudah menggenggam sekantung plastik tahu sumedang yang sejak awal di pintu masuk sudah menggoda indra penciumanku. Aku sangat menikmatinya, tapi Cahyo masih mencari jajanan sembari memasang muka kusut.
“Kenapa to to Jul? pasar malemnya rame kok kamunya malah cemberut,” tanyaku sambil tertawa.
“Lha gimana nggak kesel? Aku lho udah siap-siap nyari loket tiketnya.. mau ngomong kalau tamunya Abah biar dikasi gratis.
Eh malah nggak ada loket tiket..
Ternyata Gratisss!,” Balasnya dengan memanyunkan wajahnya.

Aku semakin tertawa menyaksikan raut wajah Cahyo memperagakan perkataanya itu. Aku juga tidak menyangka, ternyata abah juga bisa bercanda.
“Ya udah.. kan masuknya sama-sama gratis. Nggak ada bedanya,” ucapku.
“Ndak lah, pokoknya beda!” balas Cahyo masih dengan wajah kesalnya.
Suara tawa anak-anak, alunan musik permainan benar-benar membuatku rindu suasana pasar malam saat masih kecil.
Dulu masih mainan kayu dan bambu yang dijajakan di pasar malam. Namun sekarang mainan modern seperti robot-robotan dan boneka yang ditangisi anak-anak untuk minta dibelikan.
Yah.. jaman memang sudah banyak berubah. Tapi menurutku satu hal yang tidak berubah.
Pasar malam selalu bisa menjadi alasan seorang anak atau orang tua untuk menikmati kebersamaan dalam kesederhanaan.
Entah sudah berapa lama kami menikmati suasana pasar malam itu, tanpa sadar tangan kami sudah dipenuhi cemilan pasar malam.
“Pergi!!! Jangan masuk ke tempat ini!!”
Di tengah riuhnya suara pasar malam tiba-tiba terdengar suara keramaian dari salah satu sisi pasar.
“Kek, jangan begitu.. kami rugi kalau nggak ada yang masuk ke sini,” terdengar suara pemuda yang berusaha menenangkan kakek itu.
Kakek itu bersikeras menghalangi sebuah wahana yang berada di belakangnya. Wahana rumah hantu..
Beberapa orang berusaha menenangkan kakek itu baik baik, namun tetap tidak ada tanda-tanda kakek itu mau menyingkir.
Para petugas penjaga rumah hantu itupun kebingungan menghadapinya.
“Coba kita samperin Nan,” ajak Cahyo.
Akupun mengikuti Cahyo dan menerobos kerumunan disekitar kakek itu.
Terlihat seorang kakek berambut putih panjang acak-acakan dengan baju compang camping berdiri menahan siapapun orang yang mencoba masuk ke dalam.
“Jangan masuk! Ada setan di dalam!” Teriak kakek itu.
Mendengar teriakan itu para pengunjungpun tertawa.
“Wahana rumah hantu teh pasti ada setanya, kalo nggak ya nggak laku,”
“Mungkin kakeknya ketakutan sama setan-setanan buatan di dalam,”
Ucap beberapa warga yang heran dengan kelakuan kakek itu.
Aku dan Cahyo mencoba mendekat dan sedikit mengintip ke dalam. suara hantu buatan hingga suara latar yang seram sudah siap menakuti pengunjung yang masuk ke dalam.
Awalnya aku ingin bertanya maksud kakek itu melakukan hal ini.
Namun samar-samar Cahyo tersadar dengan sosok pria tanpa kepala yang jelas kami yakin bukanlah manusia.
“Kek, kami mau masuk!” ucapku.
“Tidak boleh! Berbahaya! Ada setan di dalam..” balasnya dengan wajah khawatir.
“Percuma mas, kami sudah merayunya dari tadi.. kalau sebentar lagi kakek ini tidak mau menyingkir. Mungkin kami akan lebih tegas,” balas petugas.
“Kakek juga ngelihat lelaki tanpa kepala itu?” tanya Cahyo.
Seketika kakek yang terlihat panik itu menjadi tenang dan menatap Cahyo. Dia mengangguk mengiyakan pertanyaan Cahyo.
“Kalau gitu biar kami yang tangani, kakek yang tenang ya di sini,” balasku.
Kali ini kakek itu membiarkan kami masuk ke dalam.
sebelum masuk, seorang petugas ingin mengikuti kami namun kakek itu menghalangi.
“Mereka berdua boleh masuk.. tapi kalian tidak bisa,” ucap kakek itu.
Seketika petugas dan pengunjung pasar malam itupun bingung menatap kami berdua.
Mungkin mereka heran mengapa kakek itu memperlakukan kami berbeda.
“.. Kalian berdua!!” panggil kakek itu.
Kami berhenti sebentar dan menoleh ke arahnya.
“Sepuluh hari yang lalu ada seorang perempuan yang masuk ke tempat ini dan tidak keluar, tolong cari dia..” ucap Kakek itu.
“Tidak mungkin kek! Tiap hari rumah hantu ini dirapikan dan tiap ruangan ada hantu-hantuan yang jaga.. tidak mungkin ada orang yang terjebak di dalam,” bantah petugas.
Kakek itupun tidak menghiraukan bantahan petugas itu dan terus memandang ke arah kami.
Kamipun mengangguk dan melanjutkan perjalanan kami.
Wahana ini memang dibuat semenyeramkan mungkin dengan dekorasi darah dan boneka manekin hantu. Yah.. menyeramkan. Bahkan mungkin lebih menyeramkan dari wujud alam ghaib yang sebenarnya itu sendiri.
Kami menemui beberapa petugas yang menyamar menjadi hantu. Mereka mengetahui masalah di depan, dan kamipun meminta mereka untuk menunggu di luar.
“Memang benar ada hantu beneran mas?” tanya mereka.
“Ya nggak tahu, tapi kalau memang nggak ada paling nggak kakek itu bisa tenang,” balasku pada mereka.
“Ya sudah, kita keluar dulu deh cari yang seger-seger.. bosen juga di dalam,” balas mereka.
Merekapun setuju dengan pendapatku dan pergi keluar. Kini kami merasa lebih tenang dalam mencari sosok yang kami rasakan tadi.
Beberapa ruangan telah kami susuri. Benar ucapan petugas, memang tidak ada orang lain selain petugas di rumah hantu ini.
namun aku curiga dengan akar pohon yang menjadi satu dengan sebuah tembok bangunan tua yang menjadi pondasi bangunan semi permanen ini.
“Di sini ya Nan?” Tanya Cahyo yang juga merasakan hal yang sama.
Aku mengangguk dan mencoba menerawang beberapa bagian dari akar pohon tua itu. Dan benar saja, sama seperti di bangunan gang buntu sebelumnya ada sesuatu yang menarik kami ke sebuah tempat yang tidak wajar.
“Sepertinya lawan kita sekarang juga menguasai kekuatan lintas alam seperti Mas Jagad,” ucapku.
“Tidak mengherankan mereka sangat sulit dilacak,” balas Cahyo.
Kami sampai pada sebuah hutan gundul yang sangat aneh.
Semua yang terlihat di tempat ini seperti berwarna hitam dan putih. Terlebih ada kabut yang samar-samar menyelimuti hutan ini.
Ada suara keramaian dari salah satu sisi hutan. Tak ada tujuan lain, kamipun segera menghampir suara yang memberikan firasat tidak baik pada kami.
“Suara pertarungan Nan!” ucap Cahyo.

Benar, ada suara keris beradu, kilatan api hingga suara raungan. Ini bukan pertarungan biasa.
Saat mengikuti suara itu sekali lagi pemandangan mengerikan terpampang di hadapan kami.
Ada belasan kepala tergantung di atas pohon. Mirip seperti ritual penumbalan, namun kepala yang tergantung di tempat ini seperti telah disiksa dengan mengerikan.
Ada beberapa kepala yang masih meneteskan darah dan ada beberapa kepala yang sudah berwujud setengah tengkorak.
Dibanding sebagai tumbal, aku lebih melihatnya seperti pelampiasan balas dendam.
“Keris itu!?”
Aku melihat sebuah keris melayang beradu daengan makhluk hitam yang terbang dan menjadi batu tepat saat bertabrakan dengan keris itu. Itu adalah keris Dasasukma.
“Dirga?! Dirga yang bertarung di sana!” Teriak Cahyo.
Kami segera bergegas menuju tempat itu dan menemukan sebuah parang yang melayang terlihat sedang mengincar Dirga.
Trangg!!!
Suara parang itupun beradu dengan keris ragasukmaku dan terpental.
“Mas Danan??” Dirga terlihat sedikit lega.
Wajahnya terlihat pucat penuh dengan keringat. Namun lebih dari itu ada amarah dan rasa sedih yang terpancar dari wajahnya.
“Mas Jagad kemana?” tanya Cahyo.
“Mas Jagad masih mencari seorang perempuan, dia masih saudara jauhku,” balasnya.
Belum sempat berbicara lebih panjang. Sekali lagi ada burung gagak terbang meluncur ke arah kami dengan cepat.
Saat Cahyo akan menahanya, tiba-tiba wujudnya berubah menjadi ular yang siap mematuk Cahyo.
“Jangan lengah!” Dirga melontarkan salah satu wujud kerisnya pada ular itu dan memenggalnya.
Anehnya sekali lagi makhluk itu berubah menjadi patung batu dan pecah.
“lawan kita siapa?” tanyaku.
“Orang yang dendam dengan leluhurku..” balas Dirga.
Awalnya aku menganggap itu hanyalah pertarungan biasa. Namun saat mendengar ucapan Dirga dan melihat raut wajahnya, akupun kembali menoleh ke arah sosok kepala yang tergantung di pepohonan itu.
“Ja—jangan bilang, semua kepala yang menggantung di pepohonan itu bagian dari…”
Dirga tidak menjawab, namun raut wajahnya sudah memberi kami kesimpulan.
Cahyopun mulai tidak bisa menahan amarahnya saat mengetahui kepala-kepala itu adalah milik jasad Trah Darmawijaya yang memiliki hubungan darah dengan Dirga. Wajahnya dipenuhi emosi yang meluap.
“Wanasuraaa!!!”
Cahyo mengamuk, dengan kekuatan Wanasura ia memukul tanah dihadapanya dan melemparkan sebuah gelondongan kayu besar di dekatnya hingga menghantam ke arah makhluk yang mengirimkan serangan ke arah Dirga.
“Keluar!!”
Suara Cahyo bersahutan dengan suara wanasura yang menggeram ke seluruh penjuru hutan.
“Jul! Tenang Jul..” ucapku.
Cahyo tidak peduli dan kali ini melemparkan batu besar ke arah yang sama. Seketika ada sesuatu yang keluar dari balik kabut menuju ke arah kami.
“Aku tidak ada urusan dengan kalian makhluk-makhluk bodoh!”
Itu suara seorang kakek…
Ia melayang hanya dengan setengah bagian tubuhnya.
“Tidak ada urusan?”, Cahyo segera menerjang sosok itu dan mencoba menyerangnya dengan membabi buta.
Namun sosok itu terus saja menghindar menjauhi serangan Cahyo.
“Setelah yang kau lakukan pada mereka, kau masi merasa tidak punya urusan?” Teriak Cahyo lagi.
“Aku tidak mau membuang kekuatan yang seharusnya kugunakan untuk menghabisi Trah Darmawijaya dan keturunanya!
Tapi kalau kalian mencoba menghalangi… kepala kalian juga akan tergantung di sana bersama mereka,” Teriak kakek itu.
“Coba saja!” Tantang Cahyo.
Namun bukanya membalas, kakek itu malah menghilang dan muncul di belakang kami.
Ia menghampiri sebuah patung perempuan yang menggendong bayi tanpa kepala yang tiba-tiba ada tak jauh dari kami. Ada Asap hitam melahap kami yang berasal dari patung itu.
Entah apa yang terjadi, seketika semua terasa semakin gelap.
“Mas Danan? Mas Cahyo..” Terdengar suara Dirga yang masih tersadar mencoba menolong kami.
Namun sayangnya kesadaran kami mulai menghilang perlahan.

***
DENDAM MASA LALU
Mimpi? Atau sebuah penglihatan?
Aku tidak bisa membedakan keduanya saat ini. yang pasti seketika aku seperti menyaksikan sebuah kejadian yang jauh dari jamanku sekarang.
Suara tangis bayi terus terdengar di bangunan kayu reyot ini. Ada beberapa patung kayu batu yang belum jadi terpampang di dalam bangunan ini bersama dengan perlengkapan pembuat patungnya.
“Dek Sasma? Bagaimana keadaan keadaan Gumindar bayi kita?”
Tiba-tiba terlihat seorang pria buru-buru memasuki rumah. Di luar terdengar derap suara kuda dan prajurit yang mulai ramai.
“Nangis terus, tapi nggak papa mas…,” balas seorang perempuan yang tengah menggendong bayi itu dengan nada cemas.
“Ki Luwang, Nyi Sasma!! Prajurit Darmawijaya sudah dekat!” Salah seorang teman itu berteriak memperingatkan pria yang dipanggil dengan nama Ki Luwang itu.
“Cepet mas!! Cepet pergi! Mas harus selamat,” ucap Nyi Sasma.
“Tapi saya tidak bisa meninggalkanmu dan anak kita?” Ki Luwang terlihat ragu.
Nyi Sasma segera mendorong Ki Luwang ke arah pintu rumah.
“Tenang mas, prajurit Darmawijaya tidak pernah membunuh perempuan dan anak-anak. Kami pasti selamat,” jelasnya
Mendengar keyakinan dari istrinya. Ki Luwangpun pergi dengan ragu untuk meninggalkan rumah dan kerajaanya yang tengah bergelut dalam pertarungan.
Benar saja, tak berapa lama beberapa prajurit menemukan rumah itu dan dengan beringas menerobos menggeledah rumah.
“Ampun tuan!! Ampunn..” perempuan itu menangis sembari terus memeluk anaknya yang menangis.
“Dimana suamimu? Siapa lagi penghuni bangunan ini?” tanya prajurit itu sembari mengacungkan tombaknya.
“Ampun tuan, suami saya hanya seorang pematung. Dia sudah pergi menyelamatkan diri,” ucap Nyi Sasma.
Prajurit lain masih sibuk menggeledah rumah, dan salah satu dari mereka menemukan sesuatu.
“Dia bukan pematung biasa,” Ucap prajurit itu.
Ia menggeser sebuah patung dan memecahkanya. Tak disangka tibalik patung itu ada tubuh seorang manusia yang sudah tidak utuh.
“I—itu? Itu prajurit kerajaan kita kan?” Tanya prajurit lainya.
“Jadi rupanya ini cara kalian menyembunyikan jasad teman-teman kami??” ucap prajurit yang tengah mengancam Nyi Sasma.
Nyi Sasma terlihat kaget, sepertinya ia juga tidak menyangka bahwa suaminya melakukan hal seperti itu.
“Tidak mungkin, suami saya tidak mungkin melakukan hal seperti itu,” belanya.
Namun apa yang terlihat tidak dapat dihindari. Beberapa patung juga berisi hal yang serupa. Tak hanya itu , ada kalimat berisi mantra-mantra yang terukir di balik patung berisi jasad itu.
“Kalian memang tidak pantas hidup!” Salah seorang prajurit yang kesal menarik pedangnya dan hendak memenggal perempuan itu, namun belum sempat pedang itu menyentuhnya seorang prajurit lainya menghentikanya.
“Jangan gegabah! Mereka hanya perempuan dan bayi..” tahan prajurit itu.
Mendengar ucapan itu, prajurit itupun menahan niatnya dan menangkap perempuan dan bayi itu sebagai sandra.
Ada sebuah gerobak besar yang ditarik oleh kuda.
Gerobak itu berisi sandra perang mulai dari anak-anak, perempuan, dan orang yang sudah berumur. Nyi Sasma sedikit bernafas lega saat mengetahui dirinya selamat dari maut.
Saat ini ia hanya bisa berharap saat perang usai ia bisa bertemu lagi dengan kekasihnya itu.
Saat perjalanan ke istana mereka berhenti di sebuah camp prajurit. Mereka dikurung di camp tahanan sebelum besok kembali melanjutkan perjalanan.
Sebagai seorang tahanan, mereka seringkali mendapatkan perlakuan kasar hingga jatah makan yang tidak pantas.
Namun itu bukanlah hal yang paling mengerikan.
Saat lewat tengah malam, sebelum menjelang pagi, tiba-tiba ada prajurit yang datang menghampiri mereka.
Tanpa sebab yang jelas, ia menarik Nyi Sasma dan anaknya keluar dari kurungan kayu itu.
“A—ampun tuan,” ucapnya.
“Bayi ini adalah keturunan orang itu, akan berbahaya bila membiarkanya hidup,” ucap salah satu prajurit itu.
“Aku tidak peduli dengan bayi itu, aku hanya tertarik dengan perempuan ini…” balas prajurit lainya.
Merekapun merebut Gumindar dari Nyi Sasma dan membawa Nyi Sasma masuk ke dalam sebuah kemah.
“Jangan tuan! Jangan sakiti anak saya!!” teriak Nyi Sasma.
Nyi Sasma Terus melawan, hingga akhirnya sebuah tamparan mendarat tepat di wajah Nyi Sasma.
“Kalau kau tidak melawan, mungkin anakmu masih bisa selamat!” Ancam prajurit itu.
Mendengar ancaman itu Nyi Sasma hanya bisa menangis. Ia takut akan terjadi sesuatu pada anaknya jika terus melawan.
Malam itu adalah malam paling terkutuk yang ia rasakan.
Prajurit itu merobek dan melucuti pakaian Nyi Sasmi dengan bengis.
Bentuk tubuh Nyi Sasma terlihat begitu menggoda dengan disinari cahaya api lampu minyak yang menerangi kemah itu. Ia terus berusaha menutupi bagian tubuhnya dengan kedua tanganya.
Tak mau menyia-nyiakan apa yang terlihat dihadapanya. Prajurit itupun menjambak rambut Nyi Sasma dan melumat bibirnya dengan penuh nafsu.
Air mata terus menetes dari matanya tanpa mampu melawan.
Ia hanya mampu menangis dan memohon ampun saat tangan kasar prajurit itu meraba bagian sucinya yang selama ini hanya pernah disentuh oleh Ki Luwang suaminya.
Prajurit itu sama sekali tidak berbelas kasihan.
Ia memperkosa Nyi Sasma diiringi suara tangis bayi yang mencari keberadaan ibunya.
Setelah puas, prajurit itupun keluar dan berganti dengan seorang prajurit lainya yang datang bersamanya.
“Sial aku jadi harus dapet bekasnya” Keluh prajurit itu.
Walau kecewa, prajurit itu masih terus melampiaskan nafsunya pada Nyi Sasma tanpa ragu. Ia menikmati sejengkal demi sejengkal tubuh Nyi Sasma tanpa terlewat.
“Ikat wanita itu!”
Tiba-tiba prajurit sebelumnya masuk lagi ke dalam kemah dan memberikan sebuah tambang.
“Brengsek kau, aku belum selesai,” tolak prajurit yang masih menikmati tubuh Nyi Sasma.
“Lanjutkan saja, aku ada tontonan menarik” tawa prajurit yang wajahnya sudah terlihat seperti iblis itu.
“Apa yang mau kalian lakukan? Apa yang mau kalian lakukan???” Nyi Sasma semakin terlihat takut.
Ini jauh lebih mengerikan dari sekedar mimpi buruk. Nyi Sasma tengah diperkosa oleh seorang prajurit tanpa belas kasihan di sebuah kemah.
Ia dipaksa menatap ke seorang prajurit lainya yang membawa bayinya Gumindar.
Di saat yang bersamaan, Nyi Sasma melihat bayinya dipenggal tanpa peri kemanusiaan oleh prajurit itu.
Tubuhnya yang diikat tidak mampu melawan sementara seorang prajurit lainya semakin semangat menikmati tubuh Nyi Sasma yang menangis kejar kehilangan anaknya.
“Bunuh! Bunuh saja saya!!” Teriak Nyi Sasma yang terus menangis.
Sementara itu, kedua prajurit itu tertawa menikmati kegilaan yang terjadi di malam itu. iya tidak henti-hentinya menyiksa Nyi Sasma hingga tak mampu menahan kesadaranya.

Dari luar kemah terdengar suara derap kuda yang disusul dengan suara pedang yang saling beradu.
“Mereka datang,” bisik prajurit itu yang segera mengenakan kembali pakaianya.
Merekapun meninggalkan Nyi Sasma terkulai sekarat tak berdaya bersama jasad bayi dengan kepala yang sudah terpisah.
Suara peperangan terdengar di tempat itu. tak berapa lama apipun menyala membakar sekeliling wilayah di sekitarnya. terjadi peperangan yang sengit di sana yang tak sedikit menimbulkan korban jiwa.
“Dik!! Dik Sasma!!” terdengar suara Ki Luwang membangunkan istrinya yang tengah sekarat itu.
“Gumindar Mas.. gumindar…” hanya tangis yang bisa ia lakukan saat mengetahui suaminya tengah datang menjemputnya.
Ia menunjuk pada jasad bayi tanpa kepala. Seketika tangis Ki Luwang pecah mengetahui kematian anaknya. Ia mencari bagian kepala anaknya itu namun tidak menemukanya.
“Siapa??? Siapa pelakunya???” ucap Ki Luwang dengan dendam.
Nyi Sasmapun menceritakan semua yang terjadi dengan terbata-bata. Ia menceritakan bagaimana perlakuan prajurit kerajaan Darmawijaya memperkosa dirinya sembari membunuh bayi Gumindar di depan matanya.
Rasa dendam Ki Luwang akan kerajaan Darmawijayapun semakin pekat.
Wajahnya dipenuhi dengan amarah.
“Ayo kita pergi! Kita balaskan dendam ini,” ajak Ki Luwang.
Tepat saat akan membantu Nyi Sasma, Ki Luwang tersadar. Kedua kaki Nyi Sasma patah dan tubuhnya penuh dengan luka. Nyi Sasma benar-benar tidak berdaya.
“Biadab! Mereka benar-benar biadab!!” Teriak Ki Luwang.
“Pergi Mas.. pergi! Selamatkan dirimu!” pinta Nyi Sasma.
“Tidak, kali ini aku tidak akan pergi lagi tanpamu,” bantah Ki Luwang.
Sayangnya perasaan Nyi Sasma sudah campuraduk.
Ia tidak lagi bisa hidup dengan dirinya yang sudah seperti itu.
Iapun diam-diam mengambil sebuah pisau yang ada di pinggang Ki Luwang.
“Pergi pak! Balaskan dendam ini!” Ucap Nyi Sasma sembari mengerahkan pisau itu ke jantungnya.
“Jangan!! Tolong Jangan!!”
Air mata menetes ke bilah pisau yang menancap tajam ke jantung Nyi Sasma. Tusukan itu merenggut nyawanya, ia tahu pasti bahwa rasa sakitnya tidak akan sesakit apa yang terjadi dengan dirinya sebelumnya.
“Dik!! Jangan.. jangan tinggalin Mas!!” tangis Ki Luwang menghantar kepergian Nyi Sasma yang mati dalam penderitaan.

***
KEPERCAYAAN
“Seluruh keturunan Darmawijaya harus menanggung atas apa yang terjadi pada Istri dan anakku,”
Kali ini Aku dan Cahyo kembali tersadar dihadapan patung seorang perempuan yang menggendong jasad bayi tanpa kepala.
Aku dan Cahyo menelan ludah mengetahui apa penyebab dendam kesumat seseorang bernama Ki Luwang ini.
“Apa yang ia tunjukkan itu benar?” Tanyaku pada Dirga.
“Mana saya tahu Mas, aku masih 15 tahun. Itu beratus-ratus tahun sebelum aku lahir,” balas Dirga dengan polosnya.
Mendengar jawaban Dirga, sekali lagi sebuah parang yang melayang mengarah ke lehernya. Ia menghindar, namun dari jauh ada sesosok patung berwujut manusia kurus berjalan ke arahnya. Aku yakin patung itu bukan makhluk biasa.
“Ki! Dirga tidak salah! Ia bahkan belum lahir di masa itu..” aku mencoba membela Dirga.
Angin berhembus dari arah Ki Luwang seolah menandai kekesalanya.
“Begitu juga Gumindar! Ia juga tidak bersalah tapi tetap mati!!!” Teriaknya.
Di gelapnya hutan itu tiba-tiba dari dalam tanah muncul patung berbentuk tangan, kepala, yang merangkak ke atas permukaan. Mereka berjalan, merangkak, melata menuju ke arah kami.
Cahyo berusaha menghindari mereka dan menghancurkan patung itu dengan kekuatanya.
Namun yang terjadi benar-benar mencengangkanku.
Bagian patung yang pecah itu menunjukkan keberadaan wajah manusia yang sudah menjadi tengkorak di dalamnya.
“Mengerikan.. patung ini adalah tubuh manusia,” ucapku.
Kamipun bekerjasama menghadapi patung-patung itu.
tapi salah satu patung utuh berwujud manusia kurus dengan rambut yang panjang benar benar tidak goyah dengan serangan kami bertiga.
“Kalian akan menjadi salah satu dari mereka..” Terdengar suara Ki Luwang menggema di hutan ini.
Bersamaan dengan itu asap hitam yang berasal dari patung Nyi Sasma dan gumindar itu kembali muncul. Kini asap itu mengelilingi kami.
Ada yang aneh, saat asap itu mencapai kami, tiba-tiba kami mulai sulit menggerakkan tubuh kami.
asap itu memiliki kekuatan misterius yang membuat kami tidak bisa bergerak.
Cahyo yang menyadari ini akan menjadi masalah besar, segera menggunakan kekuatan Wanasura untuk mengangkat kami berdua untuk menjauh.
Kami pergi kembali melintasi hutan-hutan yang berisi kepala yang menggantung. Namun dari jauh asap itu semakin meluas seolah besiap menelan hutan ini.
“Kesini!!”
Tiba-tiba terlihat kemunculan seseorang dari sebuah retakan udara.
Ia membopong seorang anak perempuan seperti yang diceritakan Dirga tadi.
“Mas Jagad?” Aku cukup tenang melihat kedatanganya.
Mas Jagadpun segera membaca keadaan dan membaca sebuah ajian hingga muncul sekumpulan kabut putih di dekatnya.
“Kita keluar! Cepat masuk ke kabut ini!”
Perintah Mas Jagad.
Kami segera berlari sekuat tenaga, asap hitam itu semakin pekat melahap hutan ini dan mulai mencapai kami.
“Tidak sempat mas! Pergi duluan! Selamatkan perempuan itu” Teriak Dirga.
“Sial rupanya sejak awal kita memang dijebak untuk ini,” keluh Mas Jagad.
Benar ucapan Dirga, asap itu sudah menghadang kami. Cahyopun terlihat kebingungan mencari arah yang bisa membawa kami menuju gerbang yang dibuat Jagad.
Sepertinya tidak ada pilihan lain…
“Setelah aba-abaku, kalian segera lari ke kabut itu!” Perintahku.
Akupun mulai membacakan sebuah ajian layaknya sebuah puisi yang mengalun. Kini pusaran angin mendekatiku dan mengusir niat jahat dari semua benda yang mendekat ke arah kami.
Ajian Gambuh rumekso..
Dengan ini asap yang mendekat ke arah kamipun tertahan.
“Sekarang!!”
Jalur menuju Mas Jagadpun terbuka, Dirga dan Cahyo segera melesat ke sana. Namun sebelum sampai, Cahyo menghentikan langkahnya.
“Danan! Ayo!!” teriak Cahyo.
“Duluan! Habis ini aku nyusul” Balasku yang setengah mati menahan asap hitam itu dengan angin yang kubuat.
Cahyo menyadari niatku, ia bersiap mendekat menjemputku.
“Gak bisa!” Ucap Cahyo.
“Jangan Goblok!! Kalau kau ikut tertahan nggak ada lagi yang bisa diperbuat,” balasku.
Cahyo berhenti, iyapun ragu.
“Nggak! Nggak bisa… kamu pasti mati kalau terkena asap itu!”
ucap Cahyo yang bingung dengan mata berkaca-kaca.
Aku tersenyum tipis berusaha meyakinkanya.
“Kata siapa? Seorang Dananjaya Sambara tidak akan selemah itu,” balasku.
Kini Cahyo mendapati keris ragasukma berada di genggaman tanganku.
Dengan ini semoga ia yakin kalau aku masih punya rencana agar selamat.

“Aku pasti kembali! Aku pasti nolongin kamu!” Teriak Cahyo yang akhirnya percaya denganku.
“Pastikan Dirga, Jagad, dan anak perempuan itu selamat” balasku.
Cahyo mengangguk dan segera melompat dengan kekuatan wanasura menuju Dirga dan jagad.
Benar saja, tepat setelah ajianku selesai asap hitam itu melesat dengan sangat cepat menutupi hutan ini dan membuatku tak mampu bergerak.
Aku sudah membaca amalan pelindung untuk melindungi diri, tapi setiap nafas yang kuhisap tetap merubah diriku perlahan menjadi sebuah patung.
Hanya satu harapanku yang masih tersisa. Kekuatan Keris Ragasukma. Dengan ini setidaknya aku masih bisa menyelamatkan sukmaku.

***
JEJAK DARMAWIJAYA

(Sudut pandang Cahyo)
Ajian yang digunakan Jagad berhasil membawa kami keluar dari alam yang mengerikan itu.
Danan…
Aku tahu kalau tidak ada waktu untuk gelisah mengkhawatirkan Danan.
Tapi aku juga tahu berada di alam itu tanpa mampu berbuat apapun pasti sangat menyiksa.
Setidaknya dari sorot mata Danan aku yakin, itu bukan sorotan mata orang yang berniat menyerah dan mati. Dia pasti punya sebuah rencana lain.
Aku, Dirga, Mas Jagad dan seorang perempuan yang dibawa Mas Jagad menyusuri wahana rumah hantu itu dan kembali keluar.
Para petugas penjaga dan beberapa pengunjung yang masih menunggu semenjak pagi kaget melihat kedatangan kami.
“Selamat.. perempuan itu selamat!” Kakek yang dianggap gila tadi terlihat tersenyum mengetahui kedatangan kami.
“Bukanya tadi kalian berdua? Siapa mereka? Dan temanmu?” tanya petugas kepadaku.
“Omongan kakek ini benar, tempat ini berbahaya. Sebaiknya ditutup dulu..” Balasku.
Aku tak ingin menjelaskan mengenai Danan kepada mereka. Mas Jagad sudah memastikan, gerbang itu tidak akan terbuka lagi di wahana rumah hantu ini. tapi untuk jaga-jaga sebaiknya tidak ada lagi pengunjung yang masuk
“Berarti tugasku selesai…” Tiba-tiba kakek itu meninggalkan tempatnya dan menjauh dari kerumunan.
Seketika gelagatnya tidak lagi seperti kakek tua aneh. Ia berjalan begitu saja dan pergi meninggalkan tempat ini.
Aku sedikit menaruh curiga, namun sepertinya ia bukan orang jahat. Akhirnya kami memilih untuk segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat abah untuk membicarakan semuanya.
“Astagfirullah… Mas Danan terjebak di alam persembunyian Ki Luwang?” Abah terlihat panik mendengar ceritaku.
“Dirga! Tolong air panas lagi!” terdengar suara emak yang tengah repot merawat perempuan yang diselamatkan oleh Mas Jagad tadi.
Kericuhan terjadi sesaat setelah kami datang. Saat mendengar cerita dariku abah memasuki kamarnya dan mencari sesuatu. Aku menunggu sembari menenangkan diri dengan segelas kopi yang dibuatkan Mas Jagad. Dan ketika keadaan mulai kondusif, Abah mengajak kami untuk berkumpul.
“Sepertinya harus abah sampaikan sekarang, Abah juga takut terjadi sesuatu dengan paklek,” ucapnya.
Benar juga, seharusnya paklek juga sudah sampai di sini. Keterlambatanya bisa jadi juga merupakan sesuatu yang berhubungan dengan masalah ini.
“Trah Darmawijaya bukanlah Trah yang istimewa. Leluhur kami sudah terpecah dan menyebar ke seluruh penjuru negeri..” Abah mengeluarkan sebuah buku yang bertuliskan begitu banyak nama.
Dirga sepertinya tidak heran melihat buku itu, sepertinya ia juga sudah pernah melihatnya.
“Beberapa dari keturunan Darmawijaya juga banyak yang sudah mengganti namanya dan tidak menggunakan nama leluhur. Hanya beberapa dari kami yang mencoba menjaga warisan mereka untuk menghadapi hal seperti ini,” tambah abah.
Aku mulai mengerti yang ingin dijelaskan oleh abah. Keturunan Darmawijaya hampir sudah tidak terdeteksi secara kasat mata secara keseluruhan. Namun entah bagaimana cara Ki Luwang mengenali keturunan Darmawijaya ini.
“Kalau seandainya Ki Luwang bisa mengenali keturunan Trah Darmawijaya, berarti bisa sampai ratusan orang yang akan diincar Bah?” Tanyaku.
“Ribuan mas Cahyo..” Balas Abah.
Aku dan Mas Jagad saring berpandangan. Apakah ucapan abah itu benar?
“Leluhur kami dulunya bangsawan, namun sebagian besar keturunanya memilih untuk berbaur dengan rakyat dan melepas kebangsawananya. Alhasil Trah Darmawijayapun menyebar ke berbagai wilayah.” Jelas Dirga.
“Walau begitu, seharusnya kita bisa menerka ke mana Ki Luwang akan mengincar kan Bah?” Tanya dirga.
Abah mengangguk dan mengeluarkan beberapa buah benda berwujut perhiasan kuningan dan bekas senjata kerajaan.
“Ini adalah peninggalan leluhur kita, kalau mengikuti jenis senjata dan ukiranya seharusnya benda ini berasal dari salah satu keraton di Jawa Tengah. Di situlah letak Kerajaan Darmawijaya dulu pernah ada,” Jelas Abah.
“Maksudnya? Ki Luwang mungkin akan menyerang ke sana?” Tanya Mas Jagad.
Abah mengangguk. Ia menunjukkan sebuah kota yang tak kusangka memiliki peninggalan dari keraton yang sudah menghilang.
“Kalau ada keturunan Darmawijaya yang masih banyak dan menyimpan pusaka, hanya di sinilah tempatnya,” Jelas Abah.
Itu adalah kota di jawa tengah yang hampir berbatasan dengan Jawa Barat. Mungkin butuh waktu setengah hari perjalanan untuk bisa mengejar ke tempat itu.
“Setelah perempuan itu tersadar, kita segera berangkat ke sana,” ucap abah.
Aku mengangguk setuju, tapi tidak dengan Mas Jagad yang sedari tadi memperhatikan depan rumah.
“Nggak, kita harus segera pergi dari sini..” ucap Jagad dengan wajah khawatir.
Ada yang aneh.. aku merasakan kekuatan aneh dari luar di posisi yang dilihat oleh Jagad. Akupun menatap keluar dan memastikanya.
Seorang perempuan? Patung? Bukan.. itu seorang perempuan.
Entah mengapa mataku tidak bisa membedakan sesuatu yang harusnya terlihat jelas.
Yang pasti, itu adalah sosok sinden..
Ia mengenakan selendang dengan warna merah darah dengan kebaya merah tua. Ia menatap rumah Abah sembari tersenyum seolah menanti kami.
“Sinden? Jangan-jangan itu sosok patung sinden yang sempat diceritakan Paklek?,” ucapku pada Jagad.
“Jika benar maka ini bahaya, sebelumnya Paklek bercerita patung itu belum mampu bergerak. Ia memanfaatkan seseorang untuk mencarikan tumbal untuknya,” ucap jagad.
Jagadpun terus mengawasi sosok itu.
Makhluk itu enggan menerobos ke dalam rumah seolah rumah ini sudah dilindungi oleh sesuatu. Tapi dari senyumnya aku mengira ini tidak bertahan akan lama.
“Kita pergi sekarang, emak dan perempuan tadi biar di depan sama Mas Jagad,” pintaku pada abah.
Abah menghela nafas, ia tidak menyangka akan mendapat serangan secepat ini.
“Berarti perburuan sudah di mulai ya?” Keluh Abah.
Perburuan? Benar.. mungkin itu adalah ucapat yang tepat saat ini.
Ki Luwang menggunakan patung-patungnya untuk memburu Trah Darmawilaya dan keturunanya.
“Abah, kita harus ke kota itu secepatnya bah.. bahaya kalau mereka diserang lebih dulu,” ucap Dirga.
Abah mengangguk setuju, iapun segera menghampiri emak dan menjelaskan kondisi yang terjadi. Tanpa menunggu waktu lama, kamipun sudah bersiap untuk meninggalkan rumah abah.
Mas Jagad sudah bersiap dengan mobil bak terbuka miliknya.
Emak dan perempuan tadi duduk di sebelah Mas Jagad di dalam mobil.
“Kalian naik dulu,” perintahku sembari mengawasi sosok sinden yang terus memantau kami dari kejauhan.
Tapi bukanya naik, abah malah menghampiriku dan menepuk pundakku.
Sebuah kujang.. Abah mengeluarkan sebuah kujang dengan ukiran aksara di bilahnya. Ia meletakkan kujang itu di dahinya sembari membacakan sesuatu.
Saat itu, senyum di wajah sinden itupun menghilang.
“Masihan kakuatan pikeun nutup jalan pikeun jalma anu niat jahat” (berilah kekuatan untuk menutup jalan bagi mereka yang berniat jahat)
Sekilas aku melihat kilatan cahaya dari Kujang itu dan abah kembali menarungkan kujangnya.
Aneh.. sosok sinden itu kini tidak terlihat lagi di dekat kami.
“Ayo.. kita berangkat!” perintah abah.
Aku mengangguk dan membantu abah menaiki bak terbuka dari mobil milik Mas Jagad.
“Abah, tadi ilmu apa bah? Kenapa sinden itu tiba-tiba menghilang?” Tanyaku yang penasaran dengan apa yang dilakukan abah tadi.
Abahpun mengerti rasa penasaranku dan mengeluarkan kujang itu lagi.
“Ini adalah pusaka yang kutemukan di salah satu bukit di dekat desa. kekuatanya bisa mengalihkan sosok yang memiliki niat jahat. Kujang Bumi Kalangkang…” Cerita abah.
“Naha eta ngarana teh aneh Bah?” (Kenapa namanya aneh Bah?) Tanya Dirga.
“Iya, abah teh bingung ngasi nama.. Ieu kujang teh teu hayang ngabejaan ngaranna.” (Kujang ini nggak mau memberi tahu namanya) balas abah.
Aku sedikit menggaruk kepala mendengar perbincangan abah dan Dirga.
Tapi aku bisa mengambil kesimpulan bahwa itu adalah pusaka yang ditemukan abah sendiri, dan salah satu kemampuanya adalah mengalihkan sosok yang ingin mencelakai.
“Dia.. dia disini,”
Tiba-tiba perempuan yang diselamatkan oleh Mas Jagad tadi setengah tersadar dan menggumam.
Jagad sedikit menoleh ke arahnya mencari tahu apa maksud ucapan perempuan itu.
“Dia… dia yang ingin membunuh kita! Dia sudah ada disini!” ucapnya ketakutan.
“Teh.. tenang teh, kita aman disini.. teteh nggak sendirian,” Emak mencoba menghibur perempuan itu.
Dari kaca belakang Jagad menatap kearahku memberi isyarat. Sepertinya akan ada sesuatu yang berbahaya. Dan ucapan itu terbukti tepat saat Mas Jagad menginjak Remnya secara mendadak.
Akupun berdiri dan menatap ke arah depan.
Sinden yang tadi menanti kami di dekat rumah kini tengah berdiri menghadang mobil kami. kini aku melihatnya dengan jelas saat diterangi cahaya lampu mobil Mas Jagad. Sinden itu berwajah putih dengan sekitar matanya yang hitam.
Ia tersenyum dengan memamerkan darah yang ada di dalam mulutnya..
“Mas Cahyo di sana…!”
Dirga menepuk pundakku dan menunjukkan sesuatu yang melayang beberapa meter dari belakang mobil.
Makhluk itu melayang-layang bebas mengincar kami sambil tertawa.
Itu adalah sosok yang sama dengan yang menghadang kami di depan.
Sosok sang sinden…
Aku memperhatikanya lagi dan sosok mereka memang sama persis. Entah mereka memang ada dua atau itu adalah ilmu dari makhluk itu.
Suara tembang berbahasa jawa kuno tiba-tiba terdengar di sekitar kami. suaranya begitu menyeramkan dengan nada yang naik turun yang membuatku pusing mendengarnya.
Sosok makhluk yang melayang itupun menari mengikuti alunan tembang.
Ia mengitari kami sembari melayang layang mengincar kami.
Tidak indah, gerakanya sangat tidak indah. Gerakanya begitu menyeramkan seolah ia hampir mematahkan tubuhnya sendiri. Walau begitu makhluk itu melakukanya sembari tertawa.
Hoeek!!!
Tiba-tiba Dirga tertunduk dan memuntahkan darah dari mulutnya.
“Dirga??!!” Abah panik melihat anaknya yang hampir kehilangan kesadaran.
Tapi tidak hanya Dirga. Suara tembang sinden itu dan membuat kepalaku perlahan merasakan perasaan yang mengerikan seolah ingin meledak.
Sepertinya hal yang sama juga dirasakan oleh Abah, Mas Jagad dan yang lain..
“Arrrghhh Sial!!!”
Wanasura yang merasakan keanehan ini meraung sekuat kuatnya hingga suara tembang itu tergantikan dengan raungan wanasura.
Saat itu, kesadaranku pulih sesaat.
Aku menggunakan kesempatan itu untuk melompat ke depan mobil Mas Jagad dan menggunakan kekuatan wanasura untuk menyerang sosok sinden yang menghadang kami.
“Minggir setan cempreng!!” Teriakku.
Aku menghantamkan pukulanku sekuat tenaga.
Namun pukulanku hanya menghantam aspal dan membuatnya sedikit retak.
Sinden itu?
Aku melihat ke keadaan sekitar, rupanya Sinden itu melayang secepat mungkin saat pukulanku hendak mendarat di tubuhnya.
“Jagad! Jalan!!!” Perintah abah yang kembali mengeluarkan kujangnya.
Aku mengikuti isyarat abah dan kembali menaiki mobil. Jagad menginjak gas secepatnya dan berjalan melintasi sinden yang menghadang kami tadi.
“Kowe kabeh ora iso lungo, kowe kabeh kudu tak pateni ning kene,” (Kalian semua tidak bisa pergi, kalian semua harus dibunuh di sini)
Suara Sinden itu terdengar sumbang di telinga kami. namun sebelum tembang sinden itu kembali terdengan. Abah membaca lagi ajianya dengan kujang yang ia angkat sejajar dengan dahinya.
Sekali lagi aku merasakan ada cahaya sesaat bersinar di dekat kami.
Rasanya seperti melihat kilat sesaat.. dan sekali lagi kedua sinden yang melayang itu tak lagi terlihat di hadapan kami.

“Abah, itu ajian yang tadi Bah? Hebat..” tanyaku pada abah sementara Jagad masih terus secepat mungkin meninggalkan jalur bukit yang kami lalui.
“Itu hanya ajian untuk menghalihkan perhatian mereka. Setiap orang yang memiliki niat jahat akan dialihkan, kita tidak dapat melihat mereka begitu juga sebaliknya. Tapi melihat tingginya ilmu makhluk itu, sepertinya ajian ini tidak akan bertahan lama.. “ Jelas Abah.
Rasa ngeri memang masih kami rasakan di perjalanan ini. jalur bukit yang meliuk liuk dengan hutan-hutan di sekitar kami membuat kami semakin waspada.
Sesekali kami merasakan kehadiran sosok ghaib dari balik hutan yang mengincar kami.
tapi dengan pagar ghaib yang kubuat dan dengan alunan doa dari abah sepanjang perjalanan kami bisa selamat dari gangguan itu.
Dirga berusaha memulihkan dirinya dari luka yang ia dapat tadi. Walaupun ilmunya mulai meningkat, tapi tubuhnya yang masih anak-anak masih sangat rentan bila mendapat serangan ghaib.
Hanya beberapa jam saja kami bisa tenang dari serangan-serangan. Saat melewati pertiga malam.
Kamipun memasuki jalan yang sudah dipenuhi dengan kabut.
Di sini aku merasakan dengan jelas ada yang mengikuti kami di balik kabut.
Benar saja, saat aku menoleh ke sisi-sisi kabut,
terlihat bayangan sinden itu melayang mengejar kami dari sisi kanan dan kiri mobil dengan sangat cepat.
Bayangan itu terus mengejar mobil kami, sementara Mas Jagad saat ini tidak mampu menyetir dengan kecepatan penuh terhalang oleh kabut yang mulai pekat..
Perjalanan kami masih panjang…
Sekali lagi mobil kami terhenti dengan patung sinden yang menghadang Mas Jagad tepat di hadapanya mobilnya. Suara tawa cekikikan yang membuat bulu kudukku berdiri menyambut kami dari balik kabut.
Jelas suara itu berasal dari sosok sinden yang melayang-layang.
Mas Jagadpun keluar dari mobil. Aku dan abah bersiap menghadapi sosok yang akan muncul dari balik kabut.
Tapi sekilas aku merasa ada yang aneh dari Mas Jagad.
“Mas menjauh!! Jangan gegabah!” Teriakku mencoba memberi peringatan pada Mas Jagad yang ingin mendekati patung itu.
Mas Jagad tidak peduli. Ia terus mendekat ke arah patung itu selangkah dengan selangkah.
Ada rasa keraguan, tapi sepertinya rasa penasaran atau rasa lain yang ia rasakan lebih memaksanya untuk mendekat.
“Cahyo, patung itu… cantik..” Ucap Mas Jagad dengan wajah yang datar.

***
(Bersambung Part 5 - Perang Terjanji)
Terima kasih sudah membaca part ini hingga selesai. Mohon maaf apabila ada keslahan kta atau bagian cerita yang menyinggung.

Buat temen-temen yang mau baca duluan atau sekedar support bisa mampir ke link berikut ya :

karyakarsa.com/diosetta69/den…
Dendam Patung Arwah
Part 5 - Perang Terjanji

Kita masuk part 5 ya, tolong bantu retweet biar nggak pada ketinggalan

@bacahorror_id @IDN_Horor @ceritaht @mwv_mystic @rabumisteri
#bacahorror #malamjumat Image
(Sudut pandang Cahyo)
Malam semakin menunjukkan pesonanya dengan sinar rembulan yang menyinari sesosok patung sinden yang menghadang jalan kami.
Mas Jagad yang sedari tadi sudah waspada dengan apa yang akan menghadang kami,
kini malah terkesima dengan sosok patung yang pakaianya tersibak menunjukkan keindahan tubuhnya.
“Mas Jagad! Jangan terpengaruh!”
Aku berusaha memperingatkan Mas Jagad agar tidak termakan oleh pengaruh mengerikan dari patung Sinden itu.
“Mas ngganteng, nyedhak mrene…” (Mas ganterng, mendekat ke sini)
Terdengar suara perempuan yang menggema dari patung itu. Saat itu aku memastikan Mas Jagad benar sedang dalam pengaruh sihir patung sinden itu.
“Dirga, susul Jagad.. biar Abah sama mas Cahyo yang menahan roh sinden ini,” perintah Abah.
Dirga mengerti dan kamipun segera turun dari mobil dan mengambil posisi.
“Mas Jagad! Sadar mas!!” Teriak Dirga sembari berlari dan mengeluarkan kerisnya,
namun Mas Jagad tetap saja masih dalam pengaruh patung itu.
Dirga sadar akan sumber masalahnya, iapun berusaha menggunakan kekuatan keris dasasukma untuk melayangkanya ke patung itu.
Tapi… Keris itu malah terjatuh.
Ia mencoba menyatukan keris itu dengan sukmanya dan mencoba menggandakanya. Tapi gagal.
“Keris Dasasukma?” Dirga Bingung, sementara itu Mas Jagad masih terus melangkah mendekat ke patung itu.
“Kata Danan, kekuatan pusaka Darmawijaya tidak bisa digunakan dihadapan patung-patung itu Dirga!” Ucapku mengingat cerita dari Danan.
“Te—terus? Ini gimana?” Dirga Bingung.
Di tengah kebingungan Dirga,
suara tembang kembali muncul mendekat bersama dua roh sinden yang mendekat kearah kami.
“Abah bisa menahan kutukan tembang itu, apa Mas Cahyo bisa menghadapi mereka,” tanya Abah?
“Selama tidak ada yang mengganggu, seharusnya bukan perkara sulit.
Tapi kuncinya tetap di patung itu,” balasku sembari menoleh ke arah Dirga.
Abah kembali mengeluarkan pusaka berwujud Kujang miliknya. Ia mengangkatnya di dahi dan membentuk sebuah gerakan tangan.
Ia mencoba mengikuti alur kekuatan kujang itu sebelum akhirnya menyatu dengan ajian yang ia bacakan.
Setelah gerakan itu Kutukan tembang itu masih terdengar, namun suaranya tidak lagi menyakitkan dan mengaburkan pikiranku.
“Sekarang Mas Cahyo..” ucap Abah.
Aku menurut, dengan kekuatan Wanasura aku bisa melompat lebih tinggi dan berusaha menarik selendang sinden itu dan menjatuhkanya ke tanah. Sekarang aku bisa menjangkaunya dan mendaratkan pukulanku, sayangnya mereka lincah dan membuatku beberapa kali memukul angin.
Aku tidak menyerah, sembari mendaratkan pukulan aku membacakan ayat-ayat suci yang sekiranya mampu mengikat sosok itu agar semakin melemah.
Di satu sisi, Dirga masih kesulitan menahan Mas Jagad. Beberapa kali Dirga berteriak,
memukulnya hingga menyeretnya namun Mas Jagad tidak berhenti.
“Patungnya Dirga! Patungnya!” Teriakku.
“Tapi kerisku… kekuatan kerisku tidak bisa digunakan,” keluh Dirga.
“Sejak kapan kamu bergantung pada pusaka?” Teriak Abah.
Sontak Dirga tercekat, ucapan Abah seolah mengingatkanya sesuatu.
“Danan pernah bilang, kalau ia tidak berdaya tanpa keris ragasukmanya, maka berarti ia memang belum pantas menggunakan keris itu,” ucapku.
Dirga yang tersadar akan kesalahanya segera berpaling dari Jagad dan berlari ke arah patung yang berdiri di tengah jalan itu.
“Kamu tidak harus menghancurkan patung itu, yang penting Mas Jagad bisa tersadar,” tambah Abah.
“Iya mas, Dirga sudah ngerti..” balasnya dengan raut wajah yang sudah berubah.
Iapun mendekat ke sosok patung yang memang terlihat cantik itu. bukan karena ukiranya, namun karena sesuatu yang ditanam di tubuh patung itu.
“Tunggu sebentar Abah..” ucap Dirga yang melewati patung itu dan mengambil posisi di belakangnya.
Dirga mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Bukan keris, tapi sebuah tasbih yang dengan segera ia bacakan doa sambil meletakkan tanganya di kepala patung itu.
Abah terlihat tersenyum, terlebih ada sebuah emas kecil yang terjatuh dari bagian tubuh patung itu.
“Susuk?” Tanyaku.
Abah mengangguk, rupanya ada ratusan susuk yang tertanam di tubuh patung itu yang bisa memikat manusia untuk berbuat tidak wajar.
Melihat apa yang dilakukan oleh Dirga, akupun memutuskan untuk berkonsentrasi menghadapi kedua roh sinden itu.
“Jangan kau sentuh tubuhku!” Teriak roh sinden itu yang menyadari perbuatan Dirga.
Ia bersiap melayang ke arah Dirga, namun sekali lagi aku melompat meraihnya dan membantingnya kembali ke tanah.
“Urusan kita di sini!” balasku.
“Serangan kalian tidak akan bisa melukai kami,” gertak sinden itu.
“Aku hanya perlu menahan kalian,” balasku.
Bersamaan dengan itu sudah beberapa butir benda seperti butiran emas, berlian terjatuh dari tubuh patung itu. perlahan aku melihat Mas Jagad mulai terhenti sejenak, ia seperti mulai mendapati kesadaranya.
“Jagad…. Sadar Jagaddd…” Teriak emak dari dalam mobil.
Saat itu jagad benar-benar terhenti dan terduduk. ia menoleh ke arah emak yang berada di dalam mobil dan membaca situasinya.
“Sialaan…” Teriak Jagad kesal.
Ia melihat Dirga sedang merukiyah patung itu dan kami yang sedang melawan roh sinden itu.
“Dirga, lanjutkan sampai susuk patung itu habis..” perintah Mas Jagad sementara ia berlari ke arah kami.
“Mas mending bantu Dirga,” ucapku.
“Aku punya rencana,” balasnya.
Aku masih belum mengerti, tapi Mas Jagad ikut bertarung denganku seolah menanti sesuatu.
Sama sepertiku, serangan-serangan Mas Jagad sulit untuk mengenail roh sinden itu.
“Bawa mereka mendekat mas…” pinta Mas Jagad.
Aku belum mengerti, tapi sesuai permintaanya aku menarik salah satu arwah sinden itu dan kembali mencoba menyerangnya.
Namun seperti sebelumnya, seranganku sulit untuk mendarat.
Tapi tidak dengan Mas Jagad, saat makhluk itu menghindar dari seranganku. Ia sudah menunggu di belakang dan menarik sosok makhluk itu ke dalam sebuah kabut yang sepertinya merupakan ilmunya.
Mereka berduapun menghilang ke dalam kabut, namun dari belakangku tiba-tiba Mas Jagad muncul dari kabut lain.
“Satu lagi..” ucapnya.
Kini aku mulai mengerti, bila tidak dapat mengalahkanya. Mungkin kami hanya perlu menjauhkanya.
“Kamu bawa ke mana mas?” Tanyaku.
“Aku ajak kencan sebentar,” balasnya santai.
Melihat kejadian itu, satu satunya roh sinden yang tersisa mencoba melarikan diri namun ada keraguan di dirinya. Ia masih melihat Dirga merukiyah tubuh patungnya.
“Tadi godain, sekarang mau diajak kencan kok kabur?” Ucapku yang tiba-tiba melompat dan muncul di belakang roh sinden itu.
“Manusia sialan!!!” Teriaknya.
Akupun kembali menariknya ke bawah, dan sudah ada kabut putih yang disiapkan Mas Jagad.
Iapun menerima tubuh roh sinden itu dan membawanya ke dalam kabut itu.
Seperti sebelumnya, Jagad kembali dengan cepat dari sisi lain.
“Aman?” Tanyaku.
Jagad menggeleng, “Hanya sementara, dalam hitungan menit mereka pasti bisa kembali keluar.”
Kami bertiga menyusul Dirga, sudah banyak benda yang berserakan di bawah patung itu. Aku mengambil salah satu susuk emas yang jatuh dan memeriksanya.
Ada aliran kekuatan hitam dari susuk itu yang masih terikat dengan patung itu.
“Nggak, ini nggak bisa… walaupun kita bersihkan semua, benda ini akan kembali masuk ke dalam tubuh patung itu,” ucapku.
Kami bertiga saling bertatapan dan memutuskan untuk menghentikan Dirga.
“Cukup Dirga, kita pergi sekarang sebelum patung ini pulih lagi dan roh sinden itu menemukan jalan kembali,” perintah Mas Jagad.
Dirgapun menutup doanya dan kembali memasukkan tasbihnya. Terlihat wajahnya penuh keringat yang menunjukkan keras usahanya.
Baru beberapa melangkah, kamipun melihat butiran susuk itu mulai bergerak perlahan satu persatu menuju patung itu kembali.
“Cepat!!” Teriak Mas Jagad.
Kamipun segera mengambil posisi kami masing-masing di mobil dan melanjutkan perjalanan melewati patung yang sebentar lagi akan berhadapan dengan kami lagi.

“Patung itu benar-benar tidak bisa dihancurkan?” Tanyaku pada Abah dan Dirga.
Abah menggeleng masih sambil menenangkan anaknya itu.
“Ki Luwang.. begitu ia bisa dikalahkan, semua patung itu hanya akan menjadi petung batu biasa,” balas Abah.
“Seandainya bisa dihancurkan, kekuatan Ki Luwang akan menyusun dan menyatukan patung batu itu lagi..” tambah Dirga.
Aku mengerti, mungkin itu yang menyebabkan aku tidak bisa menghancurkan patung pendekar yang berada di desa Gandurejo.
Beruntung saat itu aku terselamatkan dengan prasasti bertuah yang ada di hutan.
Sedari tadi aku mencoba menghubungi Paklek, entah mengapa sama sekali tidak ada jawaban darinya.
Kali ini aku benar-benar khawatir akan apa yang terjadi pada Paklek. Semoga saja tidak terjadi hal yang buruk denganya.

***
PERTARUNGAN TIGA HARI TIGA MALAM

Akhirnya setelah melalui perjalanan malam yang tidak wajar kamipun sampai di kota tujuan kami. Sebuah kota di perbatasan yang penuh dengan peninggalan bangunan bersejarah.
Kota ini terlihat sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas di jam sampainya kami saat ini. Seharusnya wajar karena kami sampai setelah lewat tengah malam, tapi entah mengapa firasatku merasakan sesuatu yang sangat tidak enak.
“Ada Wisma di timur kota tidak jauh dari bekas keraton, tujuan kita ke sana Mas Jagad,” jelas Abah.
Mas Jagad mengerti dan mengarahkan kendaraanya menuju tempat itu. di tengah perjalanan tiba-tiba perempuan yang diselamatkan Mas Jagad dan Dirgapun terbangun.
“Ja—jangan! Jangan kesana!” ucapnya dengan panik.
“Neng… tenang neng, neng sudah aman di sini,” ucap emah berusaha menenangkan.
Perempuan itu berusaha mengenali situasinya dan menenangkan diri.
“Mas, lebih baik berhenti dulu biar nengnya menenangkan diri dulu,” pinta emak.
Mas Jagad Setuju, tidak hanya perempuan itu. kami yang berada di bak belakangpun sudah beberapa kali menggigil kedinginan dengan dinginya cuaca malam ini. beruntung selama perjalanan tidak terjadi hujan.
Kami meregangkan tubuh di sebuah warung kopi pinggir jalan bersama beberapa truk dan bus malam yang singgah sebentar untuk sekedar mengisi kopi hitam di termosnya. Ada beberapa gorengan seadanya yang kami nikmati untuk menghangankan tubuh sebelum melanjutkan perjalanan.
“Teh Siti gimana? Sudah sehat? Kemarin sempat demam lho,” tanya Dirga pada perempuan bernama Siti itu.
“Sudah Dirga, sudah sehat. Makasi juga ya emak,” balasnya yang sepertinya sempat sadar sesaat saat dirawat oleh emak.
Dirga memang sempat berbicara bahwa perempuan itu salah satu keluarga jauhnya. Namun aku penasaran sejauh apa hubungan mereka.
“Teh Siti ini masih saudara sama Dirga dan Abah?” Tanyaku.
“Iya mas, saudara jauh. Saya sendiri baru setahun tinggal di desanya Abah.
Baru-baru aja kami tahu kalau ternyata kami satu trah,” balasnya.
Akupun memperkenalkan diriku dan menjelaskan maksud kedatanganya hingga tiba di tempat ini.
Teh Siti bercerita bahwa dirinya mengejar sosok Ki Luwang dan mendapati bahwa kepala Ayahnya telah tergantung di hutan ghaib tempat Dirga dan Mas Jagad menyelamatkanya. Ia terpancing untuk menjadi korban selanjutnya, namun sebelum itu terjadi, Mas Jagad menyelamatkanya.
“Sebelum bapak mati oleh Ki Luwang, bapak sempat melarangku untuk pergi ke tempat ini. ia menyuruhku pergi sejauh mungkin untuk menyelamatkan diri,” jelasnya.
Tunggu, dengan keadaan yang diceritakan Siti, apa artinya kita datang ke tempat yang berbahaya?
“Memangnya apa yang terjadi di tempat ini Teh?” Tanya Dirga

Teh Siti terdiam sejenak seolah mengingat apa yang diucapkan oleh ayahnya.
“Perang… tempat yang akan kita datangi adalah medan perang. Bapak menyuruhku untuk menjauh,” jelasnya.
Mungkin ayah Teh Siti mirip seperti Abah yang mendapat penglihatan dan petunjuk. Tapi, bila memang akan terjadi perang disana berarti mereka benar-benar butuh bantuan.
“Kalau memang ada perang, kok tidak kedengeran sampai sini ya?” Tanya Dirga dengan polosnya.
“Mungkin belum terjadi, tidak terjadi, atau malah sudah selesai,” balas Abah.
Ucapan Abah itu seketika membuat kami gelisah. Tanpa banyak kata kamipun kembali ke mobil dan bergegas menuju sebuah wisma tempat dimana peninggalan Trah Darmawijaya masih tersisa.
Kami sampai di sebuah bangunan yang dikelilingi tembok putih yang cukup tinggi. Beberapa bagian sisi tembok menggunakan pagar hingga terlihat ada satu bangunan besar di tengah bersama beberapa bangunan pendampingnya.
Bangunan ini megah, layaknya bangunan mirik juragan jaman dulu dengan ornamen dekorasi kayu yang antik.
Tapi… bangunan ini begitu sepi.
Kami berhenti di hadapan pintu kayu besar yang menjadi gerbang masuk wisma ini.
“Dikunci?” Tanyaku.
“Iya Mas..” Balas Dirga yang masih mencoba mengutak-atik gembok besar yang menahan pintu itu dari dalam.
Ada lubang di dekat bagian kunci agar orang bisa membuka gembok yang posisinya ada di dalam pindu itu.
Aku ingin mencoba memeriksa namun Abah mendahuluiku sembari merogoh tas kainya.
“Coba ini..” ucapnya.
Ada sebuah kunci perunggu berukuran besar dikeluarkan dari Abah dari tasnya.
Aku melihat kunci itu sudah berkarat dan memiliki warna yang sama dengan gembok yang mengunci pintu kayu.
Klekk!
Gembok itu terbuka dengan mudah.
“Bisa Bah!” Ucap Dirga.
Kamipun berhasil masuk dan kembali menutup pintu besar itu.
“Itu kunci dari mana Bah?” Tanya Mas Jagad.
“Kunci itu teh ditinggalkan orang tua Abah, saat melihat gembok besar itu Abah langsung kepikiran kunci ini..” balasnya.
Mendengar cerita Abah, aku merasa seolah leluhur Abah juga sudah mengetahui kejadian ini akan terjadi.
Tapi apakah mereka juga sudah mempersiapkan bagaimana cara menghentikan semua ini?
Kampipun berjalan ke dalam bangunan melewati pepohonan besar yang tumbuh terawat di sana. Aku yakin sebelumnya bangunan ini tidak sesepi ini, pasti sedang terjadi sesuatu.
Semakin kami mendekat, terdengar suara aneh dari dalam. Seperti suara orang menggumam atau membaca mantra.
Cahaya api mulai terlihat dari taman yang dikelilingi bangunan. Samar-samar mulai terlihat beberapa orang di sana.
Dan benar, Puluhan orang tengah mengenakan baju kebaya sedang duduk bersila membantuk sebuah formasi sembari bersemedi.
“Paklek! Itu Paklek!!” Aku berteriak bersiap menghampiri Paklek yang juga melakukan hal yang sama, tapi Abah menahanku.
“Tahan dulu!!” ucap Abah sembari menunjuk kepada seseorang yang sudah terbaring dengan kaki masih bersila.
Dari mulutnya keluar darah hitam yang tidak berhenti mengalir.
“Khhoooeekekkk”
Terdengar lagi seseorang yang tengah mencoba menahan sesuatu hingga mengeluarkan darah dari mulutnya.
“Mereka sedang bertarung…” ucap Abah.
Seketika kami semua menatap Abah meminta penjelasanya.
“Ilmu rogosukmo, mereka semua sedang melepaskan sukmanya dan bertarung. Kalian tunggu sebentar…” ucap Abah.
Abahpun mengambil posisi duduk bersila di dekat mereka dan membacakan sebuah mantra. Tak berapa lama aku melihat sukma Abah melesat meninggalkan tubuhnya.
“Di—Dirga? Abah juga bisa ilmu Ragasukma seperti Paklek?” Tanyaku.
“Dirga nggak tahu mas, ini pertama kalinya Dirga ngeliat Abah seperti ini,” balasnya.
Gila, ilmu Ragasukma merupakan ilmu tingkat tinggi yang hanya bisa digunakan bila
seseorang sudah mencapai tingkatan spiritual tertentu. Banyak resiko yang akan terjadi di alam roh apabila seseorang belum menguasai tingkatan sebelumnya.
“Terus kita gimana? Cuma menunggu? Tanya Dirga.
Aku dan Jagad memperhatikan kondisi sekitar dengan seksama.
“Cari mereka yang terluka dan masih hidup, kita bacakan doa dan ayat suci untuk memperkuat sukma mereka di alam sana,” perintahku.
“Emak, Siti… jangan jauh-jauh dari kita ya,” ucap Mas Jagad.
“I—iya… emak takut,” ucap emak yang masih terus berusaha menenangkan Siti.
Gila, tepat sesaat memasuki formasi ini aku merasakan aliran kekuatan yang luar biasa. Kekuatan itu beradu berlomba untuk mencapai tubuh ini dan sebaliknya. Tapi di sini aku mendapat petunjuk.
Tidak semua orang-orang ini mampu menggunakan ilmu Rogosukmo,
Keberadaan Paklek di tengah formasi ini seolah membagi kekuatanya untuk digunakan oleh mereka.
“Rupanya Paklek sudah memulai pertarungan ini lebih dulu..” ucap Mas Jagad.
Akupun tidak mau ketinggalan.
Yang bisa kami lakukan saat ini adalah mengurangi resiko kematian mereka yang terluka sembari menunggu kabar dari Abah.
“Khhooeekek!!” Sekali lagi terdengar suara seseorang yang memuntahkan darah.
“Dirga, bantu bapak yang di sana..” Perintahku.
Dirga segera menuju tempat orang itu dan membantunya duduk. Ia menenangkan tubuh orang yang hampir kehilangan kesadaran itu sembari membacakan amalan yang mampu memulihkan kondisi sukmanya.
Tak tinggal diam, Emak dan Siti menghampiri orang yang terluka dan membantu membersihkan luka yang terjadi di pertarungan yang tak kasat mata ini.
Baru kali ini aku merasa bingung. Aku tidak menguasai ilmu Rogosukmo seperti Paklek dan Danan.
Aku takut kali ini tidak dapat berbuat banyak.
Angin malam berhembus semakin kencang. Tetesan keringat mulai menetes deras dari pelipis semua orang yang ada di tempat ini.
“Panjul!!!” Tiba-tiba Paklek tersadar.
“Dirga!” Abah juga tersadar dari ilmunya, tapi mereka terlihat panik.
Kamipun segera berkumpul untuk mendengarkan apa yang ingin mereka sampaikan.
“Roh sinden membawa kutukan, roh pendekar membawa pasukan yang mengerikan,
dan roh makhluk berwujud kakek tua berkepala kambing menyediakan tumbal bagi mereka… semua begitu mengerikan,” Jelas Abah.
“Apa Ki Luwang ada di sana?” Tanyaku.
Abah mengangguk namun ia seperti masih bingung.
“Paklek juga tidak pernah menyangka akan semengerikan ini.
Tanpa adanya tanda-tanda dan peringatan, tiba-tiba nyawa mereka ditarik dengan paksa dari tubuhnya,” Jelas Paklek.
Firasat yang ditunjukkan oleh Keris Sukmageni membawa Paklek datang ke tempat ini. saat itu tengah terjadi hal yang mengerikan di tempat itu.
Ada seorang sesepuh benrana Raden Topo Darmawijaya yang menjaga Pusaka di Wisma ini yang sudah memperingatkan bencana ini. Seluruh keturunan Darmawijaya yang masih dapat dihubungipun berkumpul untuk mencari cara menghadapi apa yang akan dilakukan oleh Ki Luwang.
Seharusnya mereka bisa bertahan dengan keberadaan orang-orang yang menguasai ilmu kanuragan. Tapi sayangnya tidak semudah itu.
Dua hari yang lalu tiba-tiba istri Raden Topo meninggal dengan mendadak tanpa ada bekas luka.
Nyawanya menghilang begitu saja dan tubuhnya membusuk dengan cepat. Setelahnya terjadi hal yang sama terhadap beberapa anggota trah yang lain, namun beruntung Raden Topo segera memberi petunjuk anggota trah yang lain cara untuk menolongnya sebelum bernasib sama seperti istrinya.
Sayangnya, walau begitu mereka yang kena serangan menjadi gila dan berkelakuan aneh.
“Sukma mereka disandra oleh Ki Luwang. Saat Raden Topo mencoba menolongnya, sudah ada sepasukan makhluk yang dibawa oleh ketiga patung terkutuk itu untuk menghabisi kami,” jelas Paklek.
“Terus kami harus gimana Paklek? Apa aku harus membawa tubuh Cahyo dan Dirga ke alam itu?”Tanya Mas Jagad.
“Jangan… patung-patung itu masih ada di alam ini, mereka akan kemari,” tahan Abah.
Paklek mengangguk setuju dengan Abah.
“Kami akan menghadapi Ki Luwang di alam sana, dan kalian bersiap untuk menghadapi mereka,” Jelas Paklek.
“Biar kubantu Paklek!” ucap Jagad.
“Tidak! Kalian bantu Cahyo dan jaga Dirga.. ingat Keris Dasasukma tidak bisa digunakan dihadapan patung Ki Luwang,” ucap Abah.
“Ada gudang pusaka di belakang, keluarkan dan gunakan semua kemampuanmu untuk melawan mereka.. tidak mungkin mereka tidak terkalahkan,” ucap Paklek.
Abahpun memerintahkan Emak dan Siti untuk mencari dan membawakan semua pusaka yang ada di gudang pusaka.
Aku teringat ilmu penghancur pusaka jagad yang memiliki kekuatan yang mengerikan. Mungkin bila itu digunakan, kami bisa menghancurkan patung batu itu agar wujud rohnya yang bertarung dengan Paklek dan Abah bisa sirna.
Khoeeek!! Aarrhrhrrggg…!
Telihat beberapa orang yang melengkapi formasi itu kewalahan dan hampir kehilangan kesadaran. Paklek dan Abahpun semakin khawatir.
“Kami titipkan tubuh kami,” ucap Paklek.
Aku dan Jagad mengangguk.
Kami sama-sama bersiap menghadapi firasat mengerikan yang mendekat ke arah kami.
Sebelum kembali, Paklek membacakan sebuah doa dan mengatur gerakan tanganya. Perlahan muncul api yang membara di tanganya.
Ia mengusapkan itu pada beberapa orang yang terluka dan meninggalkanya melayang di tengah-tengah kami begitu saja.
“Gunakan seperlunya..” ucap Paklek.
Geni Baraloka, itu adalah ilmu terkuat milik Paklek.
Tanpa kekuatan penyembuh keris sukmageni, Paklek pasti sudah benar-benar menguras tenaganya.
Dalam beberapa hela nafas, Paklek dan Abah yang duduk berhadapan mulai kehilangan kesadaranya dengan sukmanya yang melesat entah kemana.

***
TIGA PATUNG ARWAH
Tembok yang mengelilingi wisma ini tingginya lebih dari dua kali tubuh manusia. Coba bayangkan apa yang kami lihat.
Ada sosok bayangan makhluk besar berkepala kambing yang menatap kami dari atas tembok gerbang.
Tak cukup sampai di situ, seketika aku menjadi gelisah ketika suara tembang aneh mulai terdengar dan mengganggu ketenanganku.
Ndoro Kasmolo… itu adalah sebutan untuk Patung berhala berwujud kakek berkepala kambing.
Namun dengan tumbal yang ia dapatkan ia bisa mendapatkan wujud roh sebesar itu.
Raden Rogo Biryono… Patung pendekar mengerikan tanpa mata dengan tangan yang memanjang hingga ke tanah. Itu adalah patung yang sama sekali tidak dapat kuhancurkan bahkan dengan kekuatan Wanasura.
Dewi Lawung Mayit… Sebutan untuk patung sinden menawan yang menampung ratusan susuk untuk menghasut calon tumbalnya.
Kini ketiga patung arwah yang tidak dapat dikalahkan oleh aku, Danan, dan Paklekpun muncul dihadapanku, Dirga, dan Mas Jagad.
Tiga lawan tiga, tapi dari hasil pertarungan sebelumnya, bahkan dengan bantuan dari yang lain kami sangat sulit untuk mengimbanginya. Saat ini kami hanya bisa berpegang pada takdir yang telah ditentukan oleh Yang Maha Pencipta.
Aku yakin, pasti ada jalan untuk menghadapi tragedi ini.
“Mas…” Tiba-tiba Dirga maju mendahului kami.
“Ndoro Kasmolo, dukun berhala dengan wujud raksasa itu biar aku yang menghadapinya..” ucap Dirga.
Bukan Keris Dasasukma yang digenggam oleh Dirga, melainkan sebuah tasbih dan keyakinan yang kuat untuk mengalahkan sosok besar yang bahkan membuat Danan kewalahan.
“Jangan nekat Dirga! Kita pikirin strategi dulu..”
Balasku walau tak tahu rencana terbaik apa yang bisa kami lakukan.
“Kalau tidak bisa menghadapinya tanpa pusaka, berarti aku belum mempercayakan hidupku sepenuhnya pada Penciptaku..” Ucapnya dengan mata yang tajam.
Jagad memperhatikan Dirga sebentar dan menyusulnya.
“Dewi Lawung Mayit.. sinden itu biar aku yang melawan,” ucap Jagad Tiba-tiba.
“Mas Jangan ikutan nekat! Ini bahaya!” Tahanku.
“Haha.. tenang Cahyo, jangan sekhawatir itu.. Ingat! Bahwa sebelum bertemu kalian,
aku dan Dirga sudah melakukan perjalanan berdua dan selalu mampu menemukan jalan untuk menyelesaikan masalah kami temui…” Jelas Jagad.
“Iya Mas… aku harus bisa mengalahkan keraguanku..” Tambah Dirga.
“Aku juga harus bisa mengalahkan nafsuku agar tidak terpengaruh seperti tadi lagi,” Ucap Mas Jagad.
Sepertinya aku tidak bisa menahan mereka. Semoga saja mereka menemukan cara untuk mengalahkan Ndoro Kasmolo dan Dewi Lawung itu.
“Wanasura!!!” Panggilku pada sahabat tak kasat mataku dan mulai membakar emosinya.
“Kita berhadapan lagi dengan pendekar jelek itu! kali ini kita harus menang!” Ucapku.
Suara geraman nafas Wanasura mulai menyesuaikan dengan jantungku.
Bersamaan dengan itu muncul cahaya dari beberapa tempat yang menyorot ke langit tepat di atas kami.
Seketika aku mengingat tentang prasasti bertuah yang pernah kumanfaatkan.
“Ini adalah perang penentuan… semua akan berakhir disini,” jelasku.
Braaaaakkk!!!
Suara gerbang yang ambruk terdengar dari keberadaan sosok ketiga makhluk mengerikan yang menerobos masuk ke dalam wilayah wisma.
Aku sudah mengira, keberadaan mereka diikuti sosok demit-demit alas dan berbagai sosok arwah gentayangan yang menyerbu ke dalam.
Aku sudah muak dengan semua itu dan membiarkan Wanasura menandai wilayahnya.
GGGGRrrrrrroarrrrrr!!!!
Kali ini Wanasura sudah dibakar amarah. Suara raunganya berkali kali lebih kuat membuat tidak ada roh pengganggu yang berani mendekat ke wilayah kami.
Saat ini kami hanya harus fokus pada lawan kami masing-masing.
Baru bersiap menyerang, tiba-tiba suara tembang Dewi lawung timbul dan hilang dengan aneh. Aku memperhatikan Mas Jagad sedang bertarung di dalam kabut putih yang menghubungkanya dengan alam lain.
Dirga tidak henti-hentinya melantunkan doa dan mendekat ke sosok bayangan raksasa besar Ndoro Kasmolo. Makhluk besar itu tidak menyerang, ia malah mengirimkan makhluk-makhluk pengikutnya dengan wujud manusia berkepala hewan.
“Roh siluman? Tidak berani melawan sendiri. Sudah kuduga kau lemah!” Ucap Dirga.
“Katakan itu kalau kau sudah jadi mayat!” balas Ndoro Kasmolo.”
Aku belum pernah melihat Dirga bertarung seperti ini. Ia hanya menghindar sembari tak putus membaca doa.
Tanganya berusaha membalas siluman-siluman jelmaan manusia itu dan menangkap kepalanya.
Perlahan tapi pasti, ia merukiyah roh yang terkena tipu daya Ndoro Kasmolo untuk kembali menjadi roh manusia.
“Dirga, Ucapanmu benar. Dia Lemah… Aku dan Paklek gagal menghancurkan patung sinden dan pendekar. Tapi Danan sempat memecahkan patung itu hingga terbelah sebelum menyatu kembali..” ucapku melewatinya dan menghadapi Raden Rogo.
Blarrrr!!!!
Terdengar dentuman suara pukulanku yang diperkuat pukulan Wanasura, namun seranganku sama sekali tidak menggores sosok makhluk yang wujudnya persis seperti patung yang kulihat kemarin-kemarin.
Secara kasat mata, ketiga patung itu tidak bergerak dan hanya berdiam di satu tempat. Namun tubuh roh yang mereka miliki menyerang kami dengan kemampuanya masing-masing.
Hampir saja aku lengah, tangan Raden Rogo yang panjang hampir saja menangkap kepalaku namun aku berhasil menjauh dan kembali menyerang. Ada sesuatu yang ingin kucoba lakukan.
Dari balik sarung, aku mengeluarkan sebuah pusaka batu berbentuk pisau.
Ini adalah pusaka tanpa nama milik Mas Linus yang belum sempat kukembalikan.
Aku mengambil ancang-ancang, dan melemparkan pusaka itu sekuat tenaga kearah Raden Rogo. Ia menghindar hinga pusaka itu melesat dan menabrak tubuh aslinya.
Praakkkk!!
Tunggu… Ia menghindar? tapi serangan itu mendarat di tubuh patung Raden Rogo dan dari suara itu aku memastikan ada retakan di sana.
“Bocah brengsek!!” Umpat Raden Rogo.
Aku tersenyum, ternyata batu pusaka pisau ini lebih kuat dari batu yang digunakan untuk patung Raden Rogo.
“Hahaha… Berhasil! Ternyata batu pusaka itu lebih hebat darimu!” Ledekku.
Raden Rogo Terlihat kesal, ia mencoba menyerangku namun aku bergerak dengan lincah dan mengambil kembali pusaka itu.
“Tentu saja! Umurku sudah ribuan tahun sebelum menjadi pusaka.. jangan bandingkan aku dengan batu remeh sepertinya,”
Tiba-tiba aku berbicara sendiri saat kembali menggenggam pusaka itu.
“Mas? Mas Cahyo kerasukan?” Tanya Dirga yang khawatir saat melihat keanehan pada suaraku.
“Eh.. eng—enggak, tapi..” Aku bingung.
“Ini aku! Pusaka batu yang kau genggam, tenagaku sudah mulai pulih. Akan kubantu kalian mengalahkan makhluk ini,” Ucap sosok pusaka pisau batu itu melalui tubuhku.
Aku merasakan keselarasan antara tanganku dengan Pusaka ini. Saat Raden Rogo tiba-tiba berada di dekatku, aku melempar pisau batu ini ke tubuhnya dan membuatnya terpental. Berbeda dengan sebelumnya, pisau batu itupun terpental kembali ke arahku.
Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, akupun kembali melemparkan pisau batu ke Raden Rogo, dan Pisau batu ini kembali ke tanganku.
“Hebat! Mirip seperti kerisnya Dirga yang bisa kembali sendiri,” ucapku.
Sebenarnya tidak seperti keris Dirga.
Batu ini kembali dengan terpental seolah seranganku sengaja menentukan sudut yang tepat untuk melompat kembali.
Titik bagian tubuh Raden Rogo yang kuserangpun mulai menghitam dan terluka. Sayangnya itu tidak cukup.
Saat mengetahui seranganku mampu melukainya, Raden Rogo menghadapiku dengan lebih berhati-hati.
Tanganya yang panjang dan besar bisa tiba-tiba berada di dekatku dan membuatku terpental walau sudah menangkisnya.
Tapi setiap itu terjadi, aku kembali menyerang dengan pusaka batu ini.

“Sahabat panglima kera, percepat pertarungan ini.. teman-teman kalian sudah kewalahan.” Ucap pusaka pisau batu itu lagi melalui tubuhku.
Aku memperhatikan Paklek, Abah dan mereka yang sedang bertarung di alam lain. Mereka terlihat gelisah dan menahan luka yang mereka rasakan.
Pranggg!!
Terdengar suara benda yang berjatuhan di depan pelataran bersama kedatangan Teh Siti dan Emak.
Puluhan pusaka terlihat terjatuh dari satu peti yang mereka bawa berdua.
“Mas… apa benar ini?” Teriak Teh Siti.
Mas Jagad menoleh sebentar dan berlari kearahnya.
“Bisa! Ini bisa digunakan,” ucap Mas Jagad.
Keris, Belati, perhiasan kuningan,
mata tombak, hingga benda peninggalan kerajaan jaman dulu berada dalam satu peti lagi.
“Siti! Mau ke mana?” Tanya emak yang melihat Siti yang hendak pergi lagi.
“Cermin.. masih ada cermin di sana, ada seseorang yang ingin berbicara dengan Siti dari balik cermin itu,” ucapnya.
“Hati-hati! Kamu bisa terpengaruh..” ucap Emak.
“Bukan Emak, dia leluhur Siti…”
Mendengar ucapan Siti, emak ikut menemaninya lagi untuk memastikan sosok yang ingin berbicara dengan Siti itu.
Jagad mengambil sebuah keris dan kembali ke medan pertempuran.
“Saat sudah siap, dekatkan patung-patung itu ke arahku,” ucap Mas Jagad.
Iapun membaca sebuah ajian yang membuat keris itu bisa menyala. Aku tahu, itu adalah ajian watu geni yang ia salurkan ke keris di tanganya.
Kekuatan keris dan ajian itu melebur jadi satu membentuk kekuatan yang mengerikan.
“Sudah mas.. jangan sakiti aku lagi,”
Sosok roh sinden cantik tiba-tiba berada di belakang Mas Jagad. Ia memeluknya dari belakang seolah berusaha mempengaruhinya.
Mas Jagad terdiam, tatapanya kosong bersama kabut hitam yang perlahan mengelilingi tubuhnya.
“Mas Jagad! Sadar!!” Teriakku, tapi sepertinya teriakanku tak mampu mencapai kesadaranya.
Aku ingin menghampirinya namun sebuah pukulan membuatku terpental.
Tangan roh sinden itu mulai menggerayangi tubuh Mas Jagad perlahan hingga mencapai kepalanya. Dari gerakan tanganya aku menduga ia akan mematahkan kepala Mas Jagad yang sedang dalam pengaruhnya.
Namun sebelum itu terjadi tiba-tiba Mas Jagad menghilang bersama sosok itu.
Sisa kabut yang menggantikan posisi mereka menandakan itu adalah ilmu Mas Jagad.
Tak berapa lama, Mas Jagad kembali dalam keadaan basah kuyup.
“Mas? Kamu nggak papa?” Tanya Dirga yang mulai kewalahan menghadapi makhluk besar yang kini langsung menghadapi Dirga.
“Nggak, cuma aku ajak kencan ke danau di alam sana. Eha, gitu aja dia udah kapok,” Balas Jagad Santai.
Kini ia segera berlari menuju patung Sinden itu dan melemparkan kerisnya yang masih menyala ke patung itu.
Blaarrrr!!!
Serangan dari pusaka yang Jagad korbankan itu berhasil membuat patung sinden itu pecah. Ia segera mengambil pusaka lain, kali ini mata anak panah. Ada tiga pusaka di tanganya dan ia bersiap melemparkanya lagi dengan jurusnya.
“Sudah mas… sudah,” sosok sinden itu kembali muncul di hadapanya dengan wajah memelas.
“Berisik! Aku sudah melihat apa yang kau lakukan pada tumbalmu!” Ucap Jagad.
Iapun melemparkan mata panah itu menembus wujud sinden itu dan kembali menghancurkan patung berwujud sinden itu.
Tepat saat patung itu terpecah, sosok sinden yang cantik itu berubah menjadi hitam dengan wajah yang mengerikan
“Tolong ya Mas Jagad,” ucap Dirga.
Mas Jagad mengangguk dan memilih sebuah pusaka perunggu berbentuk cakram. Ia berganti posisi dengan Dirga dan sekali lagi menggunakan ajian watu geni dengan perantara cakram perunggu itu.
Prakkkk!!!
Tepat saat patung Ndoro Kasmolo pecah, sosok raksasa itu berubah menjadi kakek tua renta yang bahkan tidak dapat mengangkat tubuhnya sendiri.
Kini giliranku…
Mas Jagad kembali untuk memilih sebuah pusaka lagi. Namun sepertinya itu tidak perlu.
Dengan pusaka pisau batu ini aku berkali-kali mengarahkan seranganku ke patung Raden Rogo hingga tubuh patungnya terkikis.
“Kalian akan menanggung dosa Darmawijaya!” Ancam Raden Rogo yang sabetanya semakin menguan hingga menumbangkan beberapa pohon di tempat ini.
Aku tidak akan terpancing oleh amarahnya.
“Jangan dilempar lagi…” pisau batu itu berkata lagi padaku, dan sepertinya aku mengerti maksudnya.
Ajian penguat raga dan kekuatan Wanasura.
Aku mempersiapkan semua yang aku miliki dan berlari secepatnya ke arah patung Raden Rogo lagi.
“Kita lihat siapa yang akan mati!” Ucap Raden Rogo yang mempersiapkan cakarnya untuk menghabisiku.
Kali ini aku tidak gentar. Aku jelas merasakan patung raden rogo tidak sekuat sebelumnya saat kuhadapi di desa Gandurejo. Aku rasa ia belum pulih sepenuhnya dari kutukan Prasasti bertuah itu.
Aku menendang pergelangan tangan raden rogo yang panjang dan menghindari lengan satunya dengan mengikuti pergerakan niat dari seranganya.
Itu adalah gerakan yang sering digunakan oleh guntur saat bertarung.
Sepertinya aku harus membiasakan cara bertarung seperti mereka untuk lebih bisa menyimpan tenaga.
Dengan cara itu aku bisa menghindari raden rogo dengan mudah dan mencapai ke tubuh patungnya.
Dengan sekali lompatan, aku menancapkan pusaka pisau batu yang kugenggam ke ubun-ubun patung raden rogo.
“Ki Luwang!!!! Pulihkan kami!! Akan kami balaskan ini semua!!!” Teriak Raden Rogo.
Prakkk!!!!
Kini ketiga patung itu telah hancur. Mas Jagad tidak jadi menghancurkan satu pusaka lagi.
“Jangan biarkan orang itu menggunakan ilmunya padaku,” terdengar suara pusaka batu itu membicarakan Mas Jagad dari dalam tubuhku.
Rupanya pusaka batu ribuat tahunpun takut dengan ilmu yang dimiliki Mas Jagad.
Kami memutuskan untuk mengawasi pecahan patung batu itu dan meruwatnya agar tidak ada kekutan hitam yang membuatnya kembali pulih.
Tapi itu tak lama… seketika kami merasakan ada sosok yang melayang layang diatas bagunan ini dengan energi yang besar.
Aku mulai waspada, namun tak berapa lama dari dalam bangunan Paklek dan Abah yang telah kembali ke tubuhnya berlari menghampiri kami.
“Bahaya!! Asap itu yang merubah Danan menjadi patung!” Teriakku.
Seketika seluruh abdi panik, akupun masih belum mengetahui cara menghadapi serangan itu.
“Raden! Jangan nekad!!” Raden Tobo berusaha menahan temanya yang mencoba menghentikan Ki Luwang, sayangnya dalam sekejap ia tidak bisa bergerak dan perlahan berubah menjadi patung batu.
Merekapun memutuskan untuk mundur ke pelataran, tapi sebentar lagi asap itu mencapai Paklek.
“Aarrrh!!” Aku tidak dapat berpikir.
Jangan sampai setelah Danan, kini Paklek juga berubah menjadi patung. Setidaknya aku bisa menolong Paklek untuk menjauh.
“Tunggggu!!!”
Belum sempat aku bergerak, tiba-tiba terdengar suara Teh Siti yang keluar dari dalam dengan membawa sebuah cermin besar yang ia bawa bersama emak.
“Tolong lihat ini!!!” Teriak Teh Siti.
“Itu cermin pusaka Darmawijaya, peninggalan istana Prabu Arya,” ucap Raden Topo.
Iapun segera membantu Siti membawa cermin itu kehadapan kami.
“Dirga, Mas Cahyo.. “ Teh Siti memanggil dan mengisyaratkan kami untuk menatap cermin itu.
Ada bayangan yang berbeda dari dalam cermin itu. sebuah bayangan tempat mengerikan yang tidak dapat kulupakan.
Bayangan dari Jagad Segoro demit.
“Apa maksudnya ini?”Tanyaku.
Belum sempat Siti menjawab, tiba-tiba ada sosok pria yang muncul dari cermin itu.
“Eyang Prabu Arya?” Tanya Dirga.
Sosok dibalik cermin itu mengangguk tersenyum.
“Aku sempat terjebak di Jagad segoro Demit, sebuah alam yang tidak terbatas ruang dan waktu. Aku sudah menemui banyak keturunanku, dan sudah melihat bencana-bencana yang mereka alami.” Ucap Prabu Arya.
“Maksud eyang?” tanya Dirga Bingung.
“Ikatan Cahyo dengan alam Jagad segoro demit, dan ikatan Dirga dengan Prabu Arya memungkinkan cermin ini menunjukkan masa dimana Prabu Arya masih hidup dan terjebak di alam itu” ucap Raden Topo.
“Biar saya tunjukkan hal yang sebenarnya yang terjadi pada Ki Luwang musuh kalian,” ucap Prabu Arya.
Sekarang aku mulai mengerti. Rupanya Prabu Arya yang sempat terjebak di Jagad Segoro Demit
sempat bekeliling melintasi ruang dan waktu untuk menemui keturunanya dan memwasiatkan apa yang ia miliki. Dia sangat bijak dibanding aku Cahyo dan Paklek yang hanya berfokus untuk mencari jalan pulang dari alam itu.
“Ki Luwang! Hentikan! Ada yang ingin menemuimu!” Teriak Abah sembari menunjukkan cermin itu.
Pantulan wujud Prabu Arya membuat Ki Luwang geram. Iapun melepaskan Paklek dan menatap cermin itu.
“Kau sudah mati!!! Siapa kau!!”
Prabu Arya hanya menggeleng kasihan melihat sosok Ki Luwang. Iapun megnghilang dan menunjukkan sebuah kejadian dari dalam cermin itu.

“Junjung tinggi etika perang! Walaupun kita menang dengan menyakiti mereka yang lemah itu hanya akan merubah kalian menjadi monster,”
terdengar suara pidato prabu arya di hadapan prajuritnya.
“Membunuh perempuan, anak-anak , dan warga sipil yang sudah menyerah. Itu adalah kejahatan besar,” lanjutnya.
Seluruh prajurit kerajaan Darmawijaya memegang teguh keyakinan itu dan berperang dengan terus menjaga harga dirinya.
Suatu ketika terjadi perang antara kerajaan Darmawijaya dengan kerajaan tempat Ki Luwang tinggal, Kerajaan Pakujagar.
Mereka diam-diam membunuh prajurit perbatasan dan meminta beberapa pematung termasuk Ki Luwang untuk menyembunyikan jasadnya dalam patung batu buatan mereka.
Prajurit Darmawijaya sudah memastikan apa yang terjadi,
Tapi mereka masih belum mengaku dan terus menyerang kerajaan darmawijaya secara diam-diam.
Peduli dengan keselamatan prajuritnya. Prabu Aryapun melakukan serangan ke kerajaan di mana tempat Ki Luwang tinggal itu. ia menghancurkan satu desa yang berisi pematung dan meratakanya.
Walau begitu, beberapa pematung termasuk Ki Luwang berhasil lolos. Prajurit Prabu Arya hanya menyandra perempuan, anak kecil, dan orang tua yang sudah menyerah.
Sampai terjadi suatu tragedi..
Ternyata penyerangan itu adalah umpan dari kerajaan Pakujagar.
Mereka sengaja mengorbankan desa Ki Luwang untuk menghabiskan energi pasukan Darmawijaya untuk melakukan penyerangan di camp prajurit saat mereka lengah.
Ki Luwang dan warga desa yang bersembunyi diajak untuk membalas dendam atas hancurinya desa mereka sementara mata-mata prajurit Pakujagar sudah mempersiapkan serangan dari dalam.
Ada prajurit mata-mata yang sudah mengincar kecantikan Nyi Sasma.
Mereka jugalah yang meyakinkan Nyi Sasma bahwa prajurit darmawijaya tidak akan melukai wanita dan anak anak. Hal itu membuat Nyi Sasma tenang dan ikut bersembunyi dengan Ki Luwang.
Rencana mereka berhasil,
merekapun mendapati Nyi Sasma ditahan di camp prajurit sebelum dibawa ke kerajaan.
Malam itu prajurit Pakujagar yang menyamar sebagai mata-mata melampiaskan nafsunya pada Nyi Sasma dengan leluasa.
Tak hanya itu, Ki Luwang sendiri ternyata sudah menjadi incaran prajurit-prajurit kerajaanya sendiri.
Mereka sadar, Ki Luwang adalah keturunan trah keramat yang bernama Warnuguni. Trah keturunan orang-orang yang memiliki ilmu memberikan kehidupan pada benda seperti patung.
Leluhurnya pernah memberontak pada kerajaan, namun berhasil di redam. Sayangnya itu hanya tipu muslihat. Kerajaan Pakujagar diam-diam mengeksekusi trah Warnuguni karena ketakutan dengan kemampuanya.
Kiluang Warnuguni, dan anaknya Gumindar Warnuguni juga tidak luput dari incaran mereka. Oleh karena itu, prajurit itu bisa membunuh bayi itu tanpa belas kasihan.

“Mengenaskan, selama ini kau terkena tipu muslihat kerajaanmu sendiri?”
Ucapku pada sosok yang kini terlihat terpaku itu.
Bagaimana tidak, setelah beratus-ratus tahun baru ia sadar bahwa yang menghabisi anak dan istirinya adalah orang-orang yang ia bela.
“Tidak… tidak mungkin!” Ki Luwang masih tidak bisa termia dengan kenyataan ini.
“Ini kenyataanya, kau sendirilah yang paling tahu tentang sejarah leluhurmu,” ucap sosok Prabu Arya Darmawijaya dari dalam cermin itu.
Ki Luwang mengamuk. Ia berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Kami khawatir akan apa yang akan dia lakukan setelah ini.
“Tugasku selesai sampai disini, aku masih harus mengejar sosok penari terkutuk yang memecah belah kerajaan Darmawijaya..” ucap Prabu Arya.
Seketika penglihatan dari pusaka cermit itupun menghilang.
Bersamaan dengan itu cermin itu pecah dengan sendirinya, sepertinya cermin pusaka itu juga sudah menyelesaikan tugasnya.
Kini kami hanya bisa menunggu apa yang akan dilakukan oleh Ki Luwang.
“Sudah Ki… semua sudah jelas.
Kami bisa membantu agar Ki Luwang bisa pergi dengan tenang. Seluruh dosa yang ada adalah urusanmu dengan Yang Maha Pengampun,” Ucap Abah.
Sayangnya Ki Luwang Kini dibakar api amarah. Ia menatap kami semua dengan penuh dendam tanpa mau menerima kenyataan yang ada.
“Dendam harus dibalaskan, bila bukan Trah Darmawijaya berarti semua orang harus menerima dendamku!” ucapnya.
Ki Luwang kini menyerang ke arah kami dengan asap hitam yang menyelimutinya. Kamipun bersiap menerima seranganya sembari berusaha menghindari asap hitam itu.
Tapi tepat sebelum Ki Luwang mencapai kami, sebuah keris melesat dari atas langit dan menahan Ki Luwang.
“Itu.. Keris Ragasukma??” ucapku.
Aku segera menoleh ke sekeliling bangunan ini dan menemukan sosok roh yang mendekat ke arah kami.
“Mas Danan!!!” teriak Dirga.
Aku tersenyum dan segera menghampiri sosok itu.
“Wis tak kiro! Kowe musti teko nganggo ilmumu!” (Sudah kuduka! Kamu pasti datang menggunakan ilmumu) ucapku menyambutnya.
Sebelum berubah menjadi patung batu, Danan menggenggam keris ragasukma.
Aku yakin, pasti ia menyelamatkan sukmanya dengan menggunakan ilmu ragasukma sebelum menjadi batu.
“Iya, tapi ada kendala. Kalau aku mendekat ke Ki Luwang atau patung-patung itu, kekuatan keris ragasukma akan hilang,” ucap Danan.
“Terus kenapa sekarang bisa?” Tanya Dirga.
Danan menjelaskan bahwa Pusaka Darmawijaya tidak dapat menggunakan kekuatanya bukan karena takluk pada Ki Luwang atau patung ciptaanya.
Dosa Darmawijaya terhadap Ki Luwang yang membuat Pusaka Darmawijaya tidak pantas menyakitinya lebih lagi.
Tapi saat kebenaranya terungkap, Mereka pusaka-pusaka Darmawijaya tidak lagi punya alasan untuk menahan diri.
“Berarti keris dasasukma?” Tanya Dirga.
Danan mengangguk, Dirgapun memanggil kerisnya dan Paklek mulai mengeluarkan keris sukmageninya bersiap untuk bertarung.
“Keluarkan semua pusaka kalian! Aku habisi kalian semua tanpa tersisa!” Teriak Ki Luwang.
Kali ini seluruh asap hitam itu mengumpul ke semua pecahan patung sinden, prajurit, dan dukun itu. mereka menyatu dengan patung Nyai Sasma dengan Ki Luwang yang merasukinya.
Seketika petir menyambar menunjukkan sosok bayangan yang sangat besar dari patung yang akan terbentuk itu. asap hitam terus mengelilinginya seolah besiap merubah siapa saja menjadi batu.
“Mengerikan! Satu desa bisa hancur oleh makhluk itu!!” ucap Danan.
Mas Jagad sepertinya mendapat sebuah pusaka menarik dari peti pusaka Darmawijaya.
“Kalau gitu kita selesaikan di alamnya!” ucap Mas Jagad.
Dengan pusaka yang berbentuk gelang kuningan, Jagad meletakkan telapak tanganya di tanah dan membaca beberapa baris mantra.
Seketika aku merasakan perubahan rasa di tempatku berpijak dan dalam hitungan detik kami sudah berpindah di sebuah tempat yang mirip sebuah pantai.
“Kita selesaikan di sini…” ucap Mas Jagad.
Aku memperhatikan sekitar..
Hanya, aku ,Dirga, Paklek, Abah, Raden Topo, dan Roh Danan yang dibawa ke alam ini oleh Mas Jagad.
“Kalau terjadi sesuatu, pusaka ini bisa menguncinya di alam ini dengan kita sebagai korbanya,” ucap Mas Jagad.
Kami semua menatap Mas Jagad, ini keputusan penting yang dia ambil tanpa meminta persetujuan kami. Tapi beruntung tidak ada yang protes karena ini adalah satu-satunya cara untuk mengamankan desa.
Besar… sosok itu begitu besar seperti batu karang.
Sosoknya seperti raksasa buto sakti yang bersiap melumat apapun. Wajah dan tubuhnya terlihat kurus tapi kekuatan besar memancar dari wujud mengerikan Ki Luwang itu.
“Dendam ini harus dibalaskan!!!” teriak Ki Luwang.
Danan, Dirga, Paklek, dan Abah sudah bersiap dengan pusakanya masing-masing. Akupun bersiap dengan kekuatan Wanasura untuk menyerang namun tiba-tiba aku berbicara sendiri.
“Jangan mau kalah dengan mereka, Biar kutunjukkan kekuatan sebenarnya panglima kera Alas Wanamarta,”
sosok kesadaran pusaka pisau batu itu kembali berbicara.
“Jul? Ngomong sendiri?” Tanya Danan Bingung.
Akupun menunjukkan pusaka pisau batu itu dan segera dimengerti oleh Danan.
“Memangnya apalagi yang bisa ia lakukan?” Tanyaku.
Aku merasakan kekuatan dari pusaka batu itu seolah melepaskan sesuatu dari Jiwa Wanasura. Perasaan Wanasura menjadi tenang.
Sesuatu yang berkecamuk dengan batinya mulai menghilang seolah membuka sesuatu yang baru yang pernah ia lupakan.
“Ini alam roh, kau bisa melepaskan Wanasura di alam ini,” ucapnya lagi.
Benar, mungkin dengan ini kami bisa bertarung lebih leluasa.
Ini adalaha alasan mengapa panglima kembar alas wanamarta bisa menghancurkan kerajaan lawanya seorang diri.

“Ajian Triwikrama…”

***
(Bersambung Part Terakhir)
Terima kasih sudah mengikuti part hingga akhir. mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung.

mungkin part akhir akan dibagi 2 postnya, tapi di hari berdekatan

buat yg mau baca duluan atau sekedar support bisa mampir ke karyakarsa ya ^^
karyakarsa.com/diosetta69/den…
Dendam Patung Arwah
Part 6.1 - Triwikrama

Karena cukup panjang, part akhir ini kita bagi jadi 2 part ya hari ini sama besok.

Selamat membaca

@bacahorror_id @ceritaht #bacahorror Image
(Sudut pandang Cahyo)
A
Ku merasa aneh. Pusaka pisau batu ini benar-benar merepotkanku. Beberapa kali ia mengambil alih tubuhku untuk berkomunikasi.
“Mbah Pusaka, bisa ga kalo komunikasinya pake telepati atau apa gitu biar aku nggak kelihatan aneh,”
ucapku pada pisau batu yang masih kugenggam.
“Aneh piye Jul, lha biasane yo luwih aneh,” (Aneh gimana Jul? biasanya juga lebih aneh) Ledek Danan.
“Aseem kowe nan!” (Sialan kamu Nan) Balasku.
Aku memang sedikit mengingat tentang ikatan pusaka pisau batu ini dengan Wanasura. Ia adalah pusaka Mas Linus teman dari Mas Linggar yang sempat menutup alas wetan dari amukan Jogorawu.
Saat itu Wanasura dan Kliwon terpisah.
Wanasura harus bertahan sendirian di Alas Wetan melawan Jogorawu hingga tubuh fisiknya mati dan meninggalkan rohnya. Semetara Kliwon yang tubuh fisiknya sekarat, terbawa arus sungai dan bertemu aku dan Paklek.
Itulah pertama kalinya aku bertemu Wanasura yang tengah kehilangan kewarasanya, kami terbawa ke alam lain, meloloskan diri dan akhirnya bersama sampai sekarang.
“Triwikrama? Apa itu?” Tanyaku pada sosok pusaka itu.
Mendengar ucapanku itu, Danan seolah menoleh kearahku dengan wajah kaget.
“Triwikrama? Itu ilmu yang nggak main-main Jul.. di kisah pewayangan hanya yang punya hubungan dengan kedewaan atau mendapat berkat khusus yang bisa..” Jelas Danan.
“Haha.. itu bukan hal yang mustahil dilakukan oleh Panglima kera alas wanamarta,” ucapku seketika dengan kesadaran yang diambil alih oleh pusaka itu.
“Akan kutunjukkan syarat dan resiko yang harus kalian persiapkan,”
Saat itu juga seketika aku diperlihatkan hal yang mengerikan yang terjadi di sebuah kerajaan. Ada sesosok kera putih yang tengah memandang sebuah kerajaan dari balik awan, namun dari jauh juga terlihat sesosok raksasa yang mengincarnya dan menelan seluruh awan di sana.
Alhasil sang kerapun tertelan.
Ada sebuah ilmu yang digunakan oleh sang kera putih. sebuah ilmu yang sangat mengerikan dimana sosok kera itu membesar dan menjadi raksasa melebihi raksasa yang menelanya. Alhasil, raksasa yang menelannyapun mati dengan tubuh yang tercerai berai.
Pemandangan berganti dengan suatu kerajaan yang terbakar oleh ulah kera itu. Hal itu membuka sebuah pertarungan antara bangsa kesatria dan raksasa. Saat itu sang kera putih dengan gagah berani menggunakan ilmu serupa untuk menghadapi para raksasa itu.
Meningkatkan kekuatan, memanggil kekuatan kedewaan hingga berwujud melebihi raksasa.
Itulah ajian Triwikrama…
Ada satu syarat agar ilmu ini bisa digunakan. Sang pengguna harus dalam emosi yang memuncak.
Hal itu mengakibatkan beberapa pelaku Triwikrama kadang akan kehilangan kesadaranya dan mengamuk tanpa arah.
Setelahnya, pengguna ajian ini akan melemah hingga kehilangan hampir seluruh kekuatanya.
Penjelasan itu membuatku berpikir keras. Apakah aku harus mempertaruhkan hal itu untuk melawan Ki Luwang? Apakah memang tidak cukup dengan kekuatan kami semua yang ada di sini?
“Keberadaanmu mungkin bisa mempertahankan kewarasan Wanasura,
dan keberadaan Wanasudra saudara kembarnya, bisa menjaga sukma Wanasura agar tidak menghilang. Tapi kau yang menentukan” ucap pusaka itu lagi.
Aku kembali pada kesadaranku dan mendapati Ki Luwang tengah berwujud sosok yang tidak pernah kuduga.
Sejak awal dia memang bukan lagi manusia. Ia sama seperti Brakaraswana yang membawa niat jahat mencari kekuatan dari tumbal, seperti Andaka yang menjadi budak akan nafsunya, dan saat ini di hadapan kami ada Ki Luwang yang membawa dendam beratus-ratus tahun.
Rohnya tidak lagi berwujud manusia. Seluruh kekuatan dari patung yang selama ini ia manfaatkan membentuk tulang belulang seperti apa yang ia masukkan kedalam patung itu.
tumbal yang ia kumpulkan menyatu dengan Ki Luwang mengutuknya menjadi setan raksasa yang hanya berwujud tengkorak.
“Dirga, abah tidak salah lihat? Ki Luwang benar-benar berubah menjadi sosok mayat tengkorang raksasa,” tanya abah sembari mengusap matanya.
“I—iya Bah, Dirga nggak nyangka Ki Luwang semengerikan ini,” balas Dirga.

“Sebentar lagi, dia akan selesai dengan ritualnya.. kita harus putuskan apa yang harus kita lakukan” ucap Danan yang sudah khawatir akan kekuatan Ki Luwang. Image
Kami pernah melawan Batara Naga walaupun besarnya tidak sebesar makhluk ini. tapi saat itu kami dibantu oleh Buto Lireng yang sangat tangguh. Saat ini jelas kami bingung harus berbuat apa?
“Wanasura!”
Aku memanggil Wanasura meninggalkan tubuhku. Kini sosok kera raksasa tengah ada di hadapan kami. Di alam roh, Wanasura bisa leluasa menggunakan wujud ini, namun sosok kera raksasa Wanasurapun tidak lebih dari seperempat besar Ki Luwang.
“Aku tidak percaya kalau kekuatan Paklek, Abah, Dirga, dan kamu Mas Jagad tidak cukup untuk mengalahkan Ki Luwang… soal Ajian Triwikrama, akan kuputuskan di pertarungan ini,” balasku.
Paklek dan Danan mengangguk mengerti pertimbanganku.
Sebenarnya dengan keberadaan Paklek dan Dananpun aku sudah merasa tidak akan terkalahkan, apalagi dengan adanya Dirga, abah dan Jagad. Aku yakin Ki Luwang bisa kami tumbangkan.
Danan dalam wujud sukmanya melesat ke atas Ki Luwang mencari sesuatu yang mungkin adalah titik lemahnya. Aku Menaiki Wanasura dan mencoba menghantamkan sebuah pukulan pada tubuh tulang belulang Ki Luwang..
Praaakk!!!
Terdengar suara retakan tulang yang hancur. Tapi dalam waktu singkat retakan itu kembali pulih dan membalas serangan Wanasura dengan sebuah libasan yang membuat kami berdua terpental.
Sulit untuk menghindarinya, tangan Ki Luwang benar-benar sangat panjang dan besar.
Dari belakang lehernya, Danan melesat menusukkan Keris Ragasukmanya pada sendi di lehernya. Namun sekali lagi serangan itu gagal.
“Tidak bisa, kita tidak bisa mengalahkanya hanya dengan menghancurkan tubuhnya..” ucap Paklek yang masih menganalisa tentang Ki Luwang.
“Simpanan kutukanya terlalu banyak, ia sudah mengumpulkanya bertahun-tahun bahkan dengan berbagai tumbal” tambah Abah.
Saat itu Ki Luwang masih menderu menahan amarahnya. Namun sesaat iapun tersadar, amarahnya kembali terbakar.
Ia mengangkat tanganya dan melibaskannya ke segala arah meluapkan emosinya.
“Matii!!! Mati!! Kalian semua harus merasakan sakitku!!”
“Awaassss!!” Mas Jagad berteriak mendekat ke arah Paklek dan Abah.
Danan melayang menjauh, Aku melompat bersama Wanasura, dan Abah, Dirga , Raden Topo seketika berpindah menjauh bersama Jagad.
Wajah Jagad terlihat pucat…
Ia melihat tempat dimana Ki Luwang mengamuk. Hutan itu sudah menjadi rata dan hancur tak berbentuk.
“Terlambat sedikit saja kita bisa rata dengan tanah,” ucap Dirga.
Raden Topopun menelan ludah. Ia tidak pernah menyangka akan menghadapi situasi ini.
“Bagaimana? Bagaimana mungkin kita melawan makhluk seperti itu,” Raden Topo gemetar melihat kejadian tadi.
Paklek menatap Raden Topo sebentar dan melangkah mendahului mereka.
“Danan, Panjul.. !” Paklek memberi kami isyarat sembari mengeluarkan Keris Sukmageni dari sarungnya.
Benar, tak ada waktu lagi. Kami harus melumpuhkan makhluk itu. Akupun menjemput Paklek menaiki Wanasura.
Dengan secepat mungkin Wanasura berlari mendekat kepada Ki Luwang. Ajian Geni Baraloka membakar kami bertiga. Dengan ini kami tidak takut dengan kutukan yang mengitari Ki Luwang.
Danan membacakan ajian pada kerisnya..
Paklek juga membalik bilah Keris Sukmageni ke sisi hitamnya.
Danan mendarat di lengan kiri Wanasura, Paklek mendarat di lengan kanan Wanasura. Akupun membacakan ajian penguat raga untuk memperkuat tenaga Wanasura.
“Apa yang akan mereka lakukan abah?” Tanya Raden Topo khawatir.
Abah menggeleng menebak rencana kami.
“Aku pernah!! Aku pernah melihat serangan ini saat melawan Songgokolo!!” Teriak Dirga semangat.
Memang itu tujuan kami…
Setidaknya serangan beresiko itu bisa menyadarkan bahwa tidak mustahil mengalahkan Ki Luwang.
Dengan sekuat tenaga Wanasura melemparkan Danan dan Paklek kearah kedua mata Ki Luwang yang sangat besar.
Kilatan cahaya putih Keris Sukmageni menyelimuti tubuh Danan dan melesat dengan cepat. Di sisi Lainya Paklek melesat berselimutkan api hitam Keris Sukmageni berdampingan dengan Danan.
Blarrr!!!
Dengan mudah Danan menembus mata dan tengkorak Ki Luwang dan api hitam Paklek membelah kepalanya. Paklek mendapat tebing untuk mendarat. Iapun membacakan sebuah mantra yang membuat api hitam itu tak henti-hentinya membakar wajah Ki Luwang.
“Brengsek!!! Kalian serangga busuk!!” Ki Luwang mengamuk dan menghantamkan tanganya ke tanah hingga bergetar.
Dengan cepat aku menjemput Paklek dan melompat setinggi-tingginya bersama Wanasura.
Sebelum sempat memulihkan diri Danan bersiap menyerang Ki Luwang Kembali.
Namun Ki Luwang menyadari keberadaan Danan dan bersiap menyapunya dengan tanganya.
“Wanasura! Tahan!” Perintahku meminta Wanasura menghempaskan lengan Ki Luwang.
Walaupun tak mampu mementalkanya, setidaknya aku menahan seranganya mencapai Danan.
Tak menyiakan kesempatan Danan kembali meluncurkan seranganya dengan keris yang menyala dengan kilatan putih tepat di ubun-ubun Ki Luwang.
Kerisnya menancap di tengkorak kepala Ki Luwang yang mungkin sebesar rumah. Ki Luwang kesakitan, namun itu saja tidak cukup.
Aku segera membaca kembali ajian penguat raga pada Wanasura dan memintanya melompat setinggi-tingginya.
Dengan sekuat tenaga, Wanasurapun mendarat di kepala Ki Luwang yang tengah kesakitan dan membuatnya tersungkur di tanah.
Dananpun meninggalkan Ki Luwang dan bergabung dengan kami di tubuh Wanasura.
Paklek tidak mau ketinggalan, ia sekali lagi membacakan mantra yang membuat api hitam di mata Ki Luwang kian membara.
Kini sosok raksasa besar itupun tersungkur kesakitan di hadapan kami.
“Abah! Sebenarnya mereka itu siapa? Belum pernah aku lihat yang seperti itu…” ucap Raden Topo takjub.
Dirga dan Jagad tersenyum melihat ketakjuban Raden Topo.
“Mereka sahabat kami Raden, Tapi orang-orang dan makhluk jahat pasti takut mendengar julukan mereka… Tiga pendekar Jagad Segoro demit,” ucap Dirga.
Jagad menggaruk-garuk kepalanya ia merasa panas dengan apa yang kami lakukan. Iapun segera berlari menyusul Dirga.
“Dirga! Kita Jangan mau kalah!” Ajak Jagad.
Kali ini Jagad dan Dirga yang merasa panas melihat aksi kamipun ikut berlari ke arah Ki Luwang.
“Kalian!! Jangan Nekad!” Teriak Abah.
Sayangnya Dirga dan Jagad sudah terlalu jauh di depan.
Abah hanya bersiap menggeleng melihat kelakuan anaknya itu.
“Hancurkan tiap bagian tubuhnya yang terbuat dari patung! Jangan sampai ia bisa bangkit lagi!” Teriak Jagad yang mendahului posisi kami.
Ada beberapa pusaka kuningan tergenggam di tanganya.
Ia membacakan Ajian Watu Geni pada pusaka itu hingga menyala merah padam.
Di saat yang bersamaan aku menyaksikan Dirga berdiri di salah satu Batu besar mengendalikan keempat kerisnya yang melayang menyerang Ki Luwang.
“Sekarang Mas Jagad!” Teriak Dirga.
Keris Dirga mengalihkan perhatian Ki Luwang dan menyerang bagian Vital yang mampu dijangkau olehnya. Sementara itu sebuah benda menyala merah melayang ke arah sendi-sendi Ki Luwang yang terbuat dari batu patung-patung keramatnya.
Blarrrr!!!
Ledakan besar terjadi menimbulkan kobaran api besar yang menghancurkan lengan Ki Luwang hingga berkeping-keping. Tak berhenti sampai di situ, Mas Jagad juga sudah bersiap dengan pusaka laing di genggaman tanganya.
Sementara itu, Ki Luwang berhasil menemukan asal arah serangan itu dan mendapati Mas Jagad. Tapi sekali lagi serangan bertubi-tubi dari keris dasasukma Dirga menusuk berkali-kali dahi Ki Luwang hingga Mas Jagad kembali mendapatkan kesempatan melancarkan seranganya.
Suara ledakkan kembali terdengar dengan hancurnya lengan Ki Luwang.
“Cukup! Mundur!!” Perintahku memperingatkan Dirga dan Mas Jagad.
Kita tidak bisa berbuat lebih jauh dari ini. kami harus bersiap akan apa yang terjadi setelahnya.
“Anakmu menjadi pendekar yang hebat,” ucap Raden Topo pada Abah.
“Kelebihanya adalah tidak mau menyerah, semua masalah yang dia temukan membimbingnya hingga seperti sekarang ini..” Jelas Abah.
Raden Topo memainkan janggutnya sembari memandang bangga salah seorang anak dari Trahnya yang tengah bertarung di sana.
“Kita tidak boleh diam saja, firasatku mengatakan Ki Luwang masih belum menggunakan kekuatanya yang sebenarnya…” ucap Raden Topo.
Benar saja.. Ki Luwang kembali berdiri dengan serangan sekuat tenaga yang kami lakukan.
Tak hanya bangkit…
Suara tembang yang menyayat terlinga terdengar dari arahnya dengan suara menggema yang mengerikan.
Aku tahu ini adalah kekuatan dari salah satu patungnya , Dewi Lawung mayit.
Kami segera menjauh, namun suara itu tetap menjangkau kami hingga membuat kepala kami serasa ingin pecah.
Wanasura meraung-raung berusaha mengalahkan suara itu, namun suaranya tenggelam seketika.
Di saat yang sama, lengan besar Ki Luwang yang mulai pulih menyapu bersih pohon pohon di sekitarnya mencari keberadaan kami.
Itu kekuatan mengerikan yang dimiliki Patung Raden Rogo. Bila ia memiliki kekuatan itu, aku mulai takut bila dia juga memiliki kekuatan patung lainya.
Benar saja… Asap hitam mulai perlahan keluar dari tubuhnya. Sebuah kekuatan yang merubah tubuh Danan menjadi sosok patung.
Tak hanya itu..
Aku sudah melihat Mas Jagad menggunakan gelang pusaka dari peninggalan pusaka Darmawijaya tadi.
Ia segera mendekat dan meletakkan tanganya ke tanah.
“Sial! Ki Luwang mau keluar dari alam ini!!” teriak Mas Jagad.
Perlahan kami melihat kepala Ki Luwang tertutup kabut hitam dan menghilang.
Namun belum sempat menelan tubuhnya, kabut putih milik Mas Jagad menahan portal itu agar ia tidak keluar.
“Tidak sudi! Aku tidak sudi membiarkan ada seorangpun hidup di depan mataku!!” Teriak Ki Luwang yang tengah berusaha untuk pergi.
Mas Jagad berhasil menahanya keluar, Kepalanya kembali ke alam ini. Tapi… mulutnya sudah dipenuhi tubuh manusia yang meronta-ronta mencoba menyelamatkan diri darinya.
“Itu para pengikut-pengikut Ndoro kasmolo.. ia memakan pengikutnya sendiri,” ucap Danan.
“Aku hanya bisa menahanya sebentar, sedikit lagi gelang pusaka dua alam ini akan hancur!” Teriak Mas Jagad.
Di saat yang bersamaan, Asap hitam yang berasal dari tubuh Ki Luwang kini menebal dan bersiap menyerang kami.
Paklek membesarkan Geni Baralokanya, namun ia sendiri seperti tidak yakin apa ilmunya bisa mempertahankan kami agar tidak berubah menjadi batu?
Di posisi seperti ini, aku benar-benar merasa bingung.
Abah dan Raden Topo sedang bermeditasi, aku menduga mereka mencoba melindungi kami dari serangan kutukan itu.
Di keadaan seperti ini, biasanya Dananlah memiliki rencana untuk melepaskan kami dari situasi sulit ini.
Dan benar… ia menapakkan kakinya di tanah dan menggenggam Keris Ragasukma tepat di hadapan dadanya.

Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
Ia membacakan mantra itu, mantra yang hanya bacakan saat posisi kami diantara hidup dan mati.
Mendadak langit semakin gelap bersama hujan yang turun begitu deras. Bersama dengan itu muncul sesosok makhluk dari tetesan hujan.
Seorang wanita dengan kebaya indah mendekat ke arah kami.
Air dari hujan mulai mengikis asap hitam itu dan menghambatnya hingga mendekat ke arah kami. Keputusan Danan tepat, ia memanggil Nyi Sendang Rangu.
“Maaf Nyi, saya harus merepotkanmu lagi,” ucap Danan.
Nyi Sendang Rangu datang dengan menggendong tubuh manusia di tanganya.
Itu adalah tubuh Danan! tubuh Danan sudah tidak menjadi patung lagi?!
“Nyi! Nyi bisa mengembalikan tubuh Danan seperti semula?” Tanyaku.
Nyi Sendang Rangu menggeleng, “Saat aku menyadari Danan dalam bahaya, aku segera mendatangi tempat itu. Tapi saat sampai, tubuh Danan sudah pulih dan ada seorang pria tua bergamis putih di dekatnya.”

Danan terlihat berpikir saat mendengar cerita itu.
“Apa ada seekor kucing bersamanya Nyi?” tanya Danan dan Nyi Sendang Rangu mengangguk membenarkan.

Abah tiba-tiba berdiri mendengar pertanyaan Danan.

“Kucing?” tanya abah.
“Kamu kenal dia Danan?” tanya Nyi Sendang Rangu.

Danan hanya menggeleng, namun ia seolah mengingat sesuatu.

“Saya hanya sempat melihatnya sesaat saat beristirahat di pinggir sebuah hutan dekat bukit,” balas Danan.

Cring!!! Cringg!!
Tiba-tiba terdengar suara bunyi kerincing yang mendekat seolah berasal dari sebuah gelang kecil.

Suara gelang itu seolah menghapus semua kutukan dari suara tembang yang digaungkan oleh Ki Luwang.

“Be—benar! Ternyata sosok itu benar ada..” Ucap Abah.
Aku mencari asal suara itu, namun suara itu hanya mengelilingi hutan ini seolah memang tidak berniat menunjukkan wujudnya pada kami.

Abah menangkupkan tanganya di depan dahinya seolah berterima kasih pada sosok itu.

“Memangnya dia siapa Bah?” tanya Dirga.
Abah menghela nafas dan merangkul pundak Dirga.
“Tanah Pasundan dipenuhi oleh leluhur dan pertapa yang sudah mencapai tingkat kesaktian yang tidak masuk akal. Salah satunya adalah beliau.. Ki Langsamana,” cerita abah.
Akhir cerita abah merupakan akhir dari suara gemerincing yang mengitari kami. sepertinya sosok itu hanya hadir sebentar menumpang keberadaan Nyi Sendang Rangu dan kembali pergi.
“Ya sudah, sekarang tembang setan dan asap hitam itu sudah teratasi. Apa lagi yang harus kita lakukan, aku tidak bisa menahan makhluk itu tetap di alam ini lebih lama,” ucap Jagad dengan wajah kewalahan.
Mendengar ucapan Jagad, Paklek segera pergi menerjang Ki Luwang dan Danan yang sudah kembali ke tubuhnyapun bersama Nyi Sendang Rangu menyusulnya.

Tapi tidak dengan Dirga..

Raden Topo memanggilnya dan memintanya melakukan sesuatu.
Aku ingin mencari tahu, tapi saat ini keadaan semakin Genting.

Serangan bertubi-tubi mengenati tubuh Ki Luwang, namun serangan itu terlalu sulit untuk menjatuhkan tubuh besarnya lagi.
Geni Baraloka Paklek juga membakar tubuh Ki Luwang, namun apinya tidak cukup besar untuk membersihkan dendamnya.

Sebaliknya, sekali serangan Ki Luwang sudah mampu membuat mereka terpental.

“Aku harus menghabisi kalian terlebih dahulu!” ucap Ki Luwang.
Seketika Ki Luwang membatalkan niatnya untuk meninggalkan alam ini dan menyerang Danan dan Paklek bertubi-tubi.

Aku bersama Wanasura menyusul dan menahan serangan mereka, namun hanya sebatas menahan. Serangan balik dari kami tidak cukup kuat untuk mementalkanya lagi.
“Kalau dia terus pulih bagaimana cara kita mengalahkanya??!” tanyaku.

“Selama ia masih punya penyembah di alam manusia, ia akan terus mendapatkan kekuatan untuk memulihkan diri. nyawa penyembah berhala itulah yang akan menjadi tumbalnya,” jawab Nyi Sendang Rangu.
“Dasar manusia-manusia goblok!” umpatku kesal.
Kami mulai tidak bisa bertahan, gelang Mas Jagad sudah hampir terbelah. Serangan bertubi-tubi Ki Luwang sudah beberapa kali membuat kami terkapar dengan darah yang bermuncratan dari mulut kami.
Api Geni baraloka dan ilmu Nyi Sendang Rangu sudah beberapa kali memulihkan kami, tapi aku yakin dalam beberapa serangan berikutnya kami akan mati terlebih dulu sebelum bisa kembali pulih.

Mati… aku tidak siap melihat Danan dan yang lain kehilangan nyawanya di tempat ini.
Aku berpindah ke kepala Wanasura dan menyentuh dahinya.

“Wanasura, sepertinya kita harus mencoba itu…”
Aku menjauh dari Paklek, Danan dan lainya. Ada sebuah tempat lapang yang hancur akibat serangan Ki Luwang.
Sekali lagi aku mengeluarkan pusaka pisau itu dan memanggil kesadaranya.

“Kau sudah yakin?” Tanya sosok pusaka itu.
Aku mengangguk..
“Saat ini semua orang tengah mengerahkan kekuatanya sekuat tenaga bahkan mempertaruhkan nyawanya.. bukan waktunya bagiku untuk ketakutan,” balasku.
“Ingat.. ini adalah kekuatan yang bahkan mampu menghancurkan kerajaan” peringatnya lagi.
“Ya… sekali ini saja,” ucapku.
Pusaka pisau batu itupun melayang, ia menembus tubuh Wanasura dan berhenti entah di mana. Seperti melengkapi kepingan puzzle di sukmanya, sosok Wanasura seolah berubah menjadi lebih perkasa. Bulunya berubah seperti emas.
“Aku sudah menghubungkan sukmanya dengan Wanasudra, ia tidak akan mati. tapi jangan pernah tinggalkan Wanasura, hatinya terhubung denganmu.. kalau tidak teman-temanmu akan dalam bahaya,” kali ini suara itu tidak berasal dari tubuh itu lagi.
Suara itu berasal dari kesadaran Wanasura yang diambil alih oleh pusaka itu.

Asap hitam semakin mengepul dari tubuh Ki Luwang seolah beradu dengan hujan Nyi Sendang Rangu. Danan sama sekali tidak menyerah,
ia mendekat dan semakin mendekat menyibakkan asap itu dengan ajian Gambuh Rumekso dan terus mengincar titik Vital dari Ki Luwang.
Nyi Sendang Rangu juga tidak tinggal diam, ia mendekat dan menatap kedalam hati Ki Luwang.
Bagaikan cermin yang memantulkan dosa Ki Luwang, Nyi Sendang Rangu berubah menjadi sosok hitam besar dengan wajah yang mengerikan.
Sosok hitam Nyi Sendang Rangu berusaha menggenggam kepala Ki Luwang dan membawa mimpi buruk yang menyiksa ingatanya.
Sayangnya, amukan Ki Luwang yang tidak beraturan kembali mementalkan Danan. Paklek menangkap tubuhnya dan kembali memulihkanya, tapi sepertinya sebentar lagi tubuh Danan sudah mencapai batasnya.
Mengetahui, keberadaan Paklek dan Danan yang belum pulih saat itu Ki Luwang mengincar mereka dan membantingkan tubuhnya ke arah hutan tempat mereka bersembunyi.

Tidak… mereka tidak mungkin bisa lari!!

“Mingggirr!!!” “Grrraaarrrr!!!”
Suaraku berpadu dengan Wanasura menggema ke seluruh alam ini.
Ini pertama kalinya Ki Luwang terpental. Tubuhnya jatuh tak jauh dari Paklek dan Danan berada.
Saat ini aku berdiri di bahu sesosok kera raksasa.
Tidak… tidak hanya raksasa, ukuranya hampir lima kali lipat wujud Wanasura.
“Panjul!!! I—itu? Itu Wanasura?” Tanya Danan.
“Edan kowe Jul! Mbok kapakke Wanasura?” (Gila kamu Jul? Kamu apain Wanasura) Paklek kaget.
Aku mengelus bulu emas Wanasura yang berubah bersama dengan penggunaan ajian ini.
“Maaf Paklek, kalau ini berlanjut lebih lama. Keselamatan alam kita akan dipertaruhkan, Kita harus tuntaskan semua di alam ini” balasku.
Nyi Sendang Rangu mendekat ke arah Wanasura dan menyentuh dahinya.
“Triwikrama?” Wajah Nyi Sendang Rangu terlihat pucat, tapi setelahnya ia segera melayang dan berpindah ke sisi bahu Wanasura yang lain.
“Waktu kita tidak banyak, atau ajian ini akan menjadi ancaman yang lebih mengerikan,” ucap Nyi Sendang Rangu.
Kali ini aku benar-benar harus berhati-hati. Bahkan sosok roh sekuat Nyi Sendang Rangupun sampai ketakutan dengan ajian ini.
Tepat saat Ki Luwang mencoba berdiri, Wanasura mengamuk menghantam setiap tulang-belulang Ki Luwang hingga patah.
Ki Luwang melibas Wanasura dengan tanganya yang sangat panjang, namun Wanasura menangkapnya dan mematahkanya begitu saja.
Wanasura yang mengamuk melemparkan tangan Ki Luwang yang patah itu kembali kepadanya dan menerjangnya lagi.
Seperti hewan buas, Wanasura menerkam tubuh Ki Luwang dan menggigit setiap organ yang terbentuk di balik tulang rusuknya dan memakanya dengan tanpa belas kasihan.
Akupun panik! Aku tidak pernah melihat Wanasura segila ini sebelumnya.
“Jul—Panjul ! Apa benar ini tidak apa-apa?” Tanya Danan yang terlihat khawatir.
“Cukup, kita mundur!” Ucapku mencoba menahan nafsu Wanasura untuk menghabisi Ki Luwang.
Wanasura menahan tubuh Ki Luwang dan menarik satu lenganya lagi hingga patah, setelahnya iapun mundur mengikuti ucapnku.
Aku menelan ludah. setidaknya Wanasura masih mengikuti ucapanku.
Sayangnya walau sudah dihancurkan sedemikian rupa, Ki Luwang masih terus berusaha bangkit.
“Panjul sekali lagi!” Teriak Paklek.
Aku mengikuti arahan Paklek dan kembali meminta Wanasura menyerang Ki Luwang. Tubuh raksasa Wanasura kembali memuaskan emosinya dengan meremukkan tulang belulang Ki Luwang hingga tak berbentuk.
Paklek mendekat dan membacakan amalan api untuk membakar seluruh tulang belulang yang telah hancur dan tak lagi bersatu dengan sukma Ki Luwang. Mungkin dengan cara itu, bisa mencegahnya untuk bangkit lagi.
Sialnya, aku lengah dengan kemunculan sosok batu yang kembali membentuk seorang pria berpakaian kerajaan dengan tangan yang memanjang hingga ke tanah. Raden Rogo…
Ki Luwang yang mengetahui keberadaankupun memerintahkanya untuk menyelinap dan menyarangku.
Sebuah pukulan dari tangan batu yang begitu panjang menghantamku hingga terjatuh dari tubuh Wanasura. Tak hanya sekali, pukulan itu berusaha menghantamku berkali-kali. Aku menangkisnya, namun tanpa kekuatan Wanasura aku hanya menjadi samsak empuk dari pukulanya.
Aku terjatuh dengan darah yang bermuncratan dari mulutku. Danan yang menyadari itupun segera melemparkan Keris Ragasukmanya yang menyala dengan kilatan putih hingga menusuk Raden Rogo..
Tapi terlambat…
Luka yang kuterima cukup dalam. Aku mencoba mempertahankan kesadaranku, namun penglihatanku mulai kabur. Aku mendengar suara teriakan Paklek, tapi sebelum ia mendekat semua sudah menjadi gelap

***
Bersambung part 6.2 (tamat) - Besok 🙏🙏
Perasaan yang hangat seolah menyelimuti seluruh tubuhku. Aku mengenal perasaan ini, ini pasti api dari Keris Sukmageni milik Paklek.
Aku merasakan lukaku mulai menutup, tenagaku berangsur-angsur pulih.
Perlahan akupun mulai bisa membuka mata dan merasakan rintik-rintik hujan yang membasahi tubuhku.
Braak!!!
Terdengar suara seseorang yang terbanting ke pepohonan yang mulai tumbang. Tubuhnya terselimuti geni baraloka Paklek sehingga kembali bangkit.
Di sisi lain terlihat beberapa orang masih bertarung.
Ada sebuah pusaka digenggam oleh Mas Jagad. Ia tidak lagi menahan batas antar dimensi seperti tadi. Dengan ajian watugeni, ia menguatkan pusaka itu dan melemparkanya ke arah Ki Luwang.
Tu—tungu! Itu.. itu bukan Ki Luwang!
Mereka sedang bertarung melawan Wanasura!!
Aku memaksakan diriku untuk berdiri. Wanasura dengan tubuh yang lebih besar dan mengerikan dari Ki Luwang kini mengamuk tanpa arah dan semua sedang berusaha menghentikanya.
Bulunya yang emas mulai menghitam, ia termakan oleh amarahnya.
“Wa—Wanasura!!”
Aku berjalan tertatih mendekati sahabatku itu. Mengetahui aku telah tersadar, Danan segera menghampiriku dan menahanku.
“Jangan dulu Jul, dia masih tidak bisa mengenali siapapun?” ucap Danan.
“Kenapa bisa begini? A—apa yang terjadi?” Tanyaku.
Danan menceritakan saat Wanasura mengetahui aku tak sadarkan diri, ia mengamuk dan menghajar Ki Luwang habis-habisan. Tak ada sedikitpun kesempatan mereka untuk mengintrupsinya.
Makhluk yang sedari tadi menyusahkan dan hampir membunuh kami tak berkutik oleh serangan Wanasura. Sayangnya emosinya semakin memuncak dan menghancurkan apapun yang ada di sekitarnya.
mereka hanya bisa melindungi diri hingga akhirnya seluruh tubuh Ki Luwang hancur remuk.
Tapi.. Wanasura masih belum berhenti.
Ia mengamuk, membabi buta dan seranganya hampir mencelakai mereka semua. Kini mereka sedang mencari cara untuk menghentikan Wanasura dari amukanya itu.
“Tidak… aku harus ke sana,” ucapku.
Danan mencoba menahanku, tidak.. ia tahu bahwa ia tidak bisa menahanku. Raut wajahnya lebih seolah memastikanku apakah yakin dengan keputusanku.
“Aku tenang Nan, aku bukan ke sana dengan membawa emosi,” ucapku.
Dananpun mengerti, ia berpindah posisi dari yang sebelumnya di depan mencoba menghadangku, kini ia berada di sampingku.
“Ya sudah, Ayo!” ucap Danan.
Kami berdua berlari menghindari pepohonan yang beterbangan karena amukan Wanasura.
Saat di bahu Wanasura tadi aku merasa aman dan siap menghadapi siapa saja.
Tapi memandang Wanasura sebesar bukit sebagai lawan, benar benar membuatku tak bisa berhenti gemetar.
“Sukma Wanasura terhubung dengan Kliwon, jadi dia akan tetap selamat bila kekuatanya habis. Dan kesadaranya terhubung denganku, bila aku bisa menyatukanya kembali seharusnya ia bisa mengendalikan diri,” ucapku.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Danan.
“Pusaka Pisau Batu itu adalah salah satu kunci ajian Triwikrama. Ia menyatukan ayat aksara yang dimiliki oleh makhluk-makhluk yang memiliki hubungan dengan kedewaan..” jelasku.
“Itu belum menjawab Jul..” balas Danan.
“Mungkin ada dua cara, yang pertama.. melepas pisau batu itu dari Wanasura. Atau beri waktu aku untuk menyadarkanya..” balasku.
Aku berkata seperti itu, namun aku tidak tahu pasti apakah kami bisa berhasil.
“Aku punya ide! Kita gunakan cara kedua!” ucap Danan.
Danan mengajakku berlari menuju Paklek.
“Paklek! Titip ya!” Teriak Danan yang segera menggunakan kekuatan Keris Ragasukmanya untuk memisahkan sukmanya dari dirinya.
“Kowe arep opo to Nan?” (Kamu mau apa sih Nan) Tanyaku bingung.
“Mungkin cara ini bisa memberimu waktu..” ucap Danan.
Ia menceritakan rencananya dengan memanfaatkan wujud sukmanya.
Selama ini Wanasura adalah wujud roh yang menumpang tubuhku. Tapi sekarang, Wanasura mempunyai tubuh Triwikrama yang dibentuk oleh pusaka pisau batu itu.
“Kita pernah denger manusia kesurupan roh monyet kan? Nah, sekarang kamu bisa liat Monyet kesurupan manusia..” ucap Danan yang segera melayang mendekat ke arah Wanasura.
“Heh! Danan! Yang bener aja kamu!” Teriakku.
“Bilang kalau kamu sudah siap!” Teriak Danan dari atas langit yang tengah mengunci posisi ubun-ubun Wanasura.
Nyi Sendang Rangu mendekat ke Danan, sepertinya ia membaca maksud Danan dan memberikan kekuatan untuk menjaga kesadaranya.
“Wanasuraaaaa!!!!” Aku berteriak sekuat tenaga memancing perhatian Wanasura, tapi gagal.
Inderanya telah dimakan emosi dan amarah. Aku harus mendekat ke mata atau telinganya untuk meraihnya.
“Danan sekarang!!” Teriakku saat tangan Wanasura melintas di depanku menghancurkan sekitarnya.
Danan merasuk ke tubuh Triwikrama Wanasura. Seketika Wanasura terdiam tak bergerak.
“Cepat panjul!!” Teriakk Wanasura dengan suara menyerupai Danan.
Gila! Rencana gila Danan benar-benar berhasil.
Secepat mungkin aku melompat ke tangan Wanasura dan berlari menuju pundaknya.
Wanasura tiba-tiba mencoba bergerak lagi.
“Tenang Wanasura! ini aku Danan..” ucap Danan yang berusaha menenangkan sukma Wanasura yang tertutup amarah.
Aku yakin saat ini Wanasura sedang tersiksa. Ada tiga kesadaran di tubuhnya. Danan, Pusaka pisau batu, dan kesadaranya sendiri.
Aku mendekat ke telinganya dan berteriak.
“Wanasura! Kembali!!” ucapku.
Mata Wanasura sedikit berkedut. Sepertinya aku berhasil memancing kesadaranya, tapi itu tidak cukup.
“Mas Cahyo! Hati-hati!!” Teriak Dirga dari jauh.
Danan memang hebat, sepertinya ia benar-benar bisa menenangkan sukma Wanasura dari dalam.
Kini aku harus bisa memancing ingatanya agar bisa mengalahkan emosinya.
“Danan! cukup.. lepaskan sukma Wanasura sekarang,” pintaku.
“Kamu serius? Jangan Nekad!” Danan bingung.
“Iya! Pasti berhasil!” jawabku.
Dananpun terpental meninggalkan tubuh Wanasura. Sukmanya terlihat lemah, merasuki tubuh Triwikrama Wanasura benar-benar berbahaya. Terlambat sedikit saja, mungkin aku sudah membunuh Danan.
“Yang nekad itu kamu Nan!!!” Teriakku.
Akupun menaiki kepala Wanasura dan mendekat ke arah hidungnya. Wanasura kembali bangkit, tapi sebelum menjatuhkanku aku mengikat hidungnya dengan sarung pusaka kebanggaan milikku.
“Sadar!! Mau kelewatan pisang Mbok Darmi lagi??” Teriakku sembari membiarkan Wanasura merasakan keberadaanku dahulu.
Wanasura mendadak mencoba berdiri! Ia menatap sekitar dan mendapatiku ada di depan matanya.
Air mata Wanasura menetes. Aku merasakan apa yang ia rasakan saat itu.
Ia merasakan sebuah kesedihan saat melihatku dalam bahaya. Saat seharusnya ia seharusnya menolongku, ajian ini malah memilih mengajaknya untuk mengamuk membalaskan dendamnya.
Hasilnya, Wanasura malah melukai teman-temanku yang ada di sini.
“Sudah! Kita hentikan… kita tidak akan menggunakan ajian ini lagi,” ucapku sembari memegang dahi Wanasura.
Bulu hitam Wanasura kembali menghilang, cahaya emas di bulunya kembali bersinar.
Namun itu hanya sesaat.
“Maaf, hampir saja aku membunuh kalian..” terdengar suara pusaka pisau batu itu yang juga mendapatkan kesadaranya.
Tubuh Wanasura kembali perlahan ke ukuran semula. Tidak… ia semakin mengecil dan sukmanya mulai pudar.
“Wanasura? Ka—kamu?” akupun panik.
Energi Wanasura perlahan mulai menghilang. Aku melihat wujudnya yang semakin memudar seolah akan sirna.
“Apa ini? apa-apaan ini?” tanyaku pada sosok pisau batu yang baru saja tergeletak setelah terpisah dari Wanasura.
Tidak ada jawaban apapun, di hadapanku saat ini hanya bayangan Wanasura yang mulai memudar. Aku melihat Wanasura memaksakan senyumanya dan terus menatapku.
“Ja—jangan!” Aku tidak mampu berkata apa-apa saat itu. aku takut apa yang kupikirkan terjadi.
Tubuh Danan datang mendekat ke arahku dan mengambil pusaka pisau batu itu dari tanah.
“Dia tidak mati, sukmanya melemah hingga titik terendah. Tapi ada Wanasudra yang menjaganya, bukankah aku sudah menjelaskan resiko itu?”
ucap tubuh Danan yang ternyata dikendalikan oleh pusaka pisau batu itu.
Sukma Danan mendekat, ia menyaksikan perbincangan kami di situ.
“Berarti, Wanasura masih hidup?” Tanyaku.
Ia mengangguk, namun tak lama tiba-tiba ia terjatuh.
“Maafkan saya, seharusnya saya tidak membuka ilmu itu,” ucapnya.
“Bukan, itu semua keputusanku,” balasku.
“Sama seperti Wanasura, sukmakupun habis. Sampai kekuatanku kembali lagi, aku hanya akan menjadi batu tidak berguna seperti sebelumnya,” ucapnya.
“Istirahatlah yang tenang, tidak ada dari kami yang menyalahkanmu,” ucap Danan.
Sukma pusaka itupun kembali ke wujud pisau batunya dan tak lagi memunculkan energi sebuah pusaka.
Danan segera kembali ke tubuhnya. Ia menyerahkan pisau batu itu padaku untuk kusimpan.
“Apa sudah selesai?” Tanyaku yang mulai merasa tenang.
Danan ingin menjawab pertanyaanku, tapi saat kami melihat sekeliling kami, keadaanya tidak seindah itu.
Paklek, Abah, Raden Topo, Dirga, dan Mas Jagad sedang menatap ke satu arah.
Ki Luwang…
Ia masih hidup.

***
Tubuh raksasa Ki Luwang sudah hancur berantakan. Paklek sudah membakar sebagian dari puing tubuhnya. Tapi dendam Ki Luwang masih belum reda.
Pengikut Ndoro Kasmolo yang masih menyembahnya mengalirkan kekuatan hitam yang memakan umur pengikutnya.
Walau tak sebesar tadi, Ia masih berwujud makhluk yang mengerikan.
“Abah mengerti, Ki Luwang tidak akan bisa mati bila ia masih memiliki penyembahnya. Ia bisa bangkit dan terus bangkit,” Jelas Abah.
“Maksudnya, dia abadi?” Tanya Danan.
Abah menggeleng,”tidak, bila pengikutnya sudah tidak ada. Ia bisa dikalahkan.”
Aku berpikir, tidak mungkin kami kembali ke alam manusia dan mencari semua pengikutnya untuk mengalahkanya.
“Dendamnya begitu mengerikan. Bahkan ia mengumpulkan anak-anak cacat untuk dijadikan patung penjaga.” Ucap Dirga.
Raden Topo mengernyitkan dahinya dan menatap ke arah Dirga.
“Anak cacat? Ki Luwang mengumpulkan anak-anak cacat?” Tanya Raden Topo.
“Benar, sadis… dia membuat patung yang mirip anak itu, membunuhnya, dan memasukkan rohnya ke patung itu,” jelas Dirga.
Raden Topo berpikir sejenak, ia sempat mengingat sesuatu yang sepertinya masih samar.
“Mungkin kita bisa memanfaatkan ini..” ucap Raden Topo.
Raden Topo bercerita tentang kisah masa lalu tentang anak-anak cacat yang dibuang oleh orang tuanya. Mereka dibuang di hutan yang penuh dengan inatang buas.
Semua orang mengira mereka akan mati di hutan belantara.
Tapi siapa sangka, suatu ketika beberapa warga melihat anak itu masih hidup dan terawat.
Ada seseorang yang merawat anak-anak itu.
“Bagaimana kalau Ki Luwang tidak membunuhnya? Ia merawatnya sebagai pengganti anaknya,” tanya Raden Topo.
“Tidak mungkin, bagian tubuh mereka dimasukkan ke dalam patung dan rohnya diikat di sana,” bantah Dirga.
“Itu karena Ki Luwang tidak ingin kehilangan anak-anaknya lagi. Oleh karena itu, ia menggunakan cara gila..” jelas Raden Topo.
Aku sama sekali tidak mengerti maksud Raden Topo. Apa hubungan cerita itu dengan pertarungan ini.
“Kalau dugaanku benar, mungkin saja anak-anak itu bisa menenangkan Ki Luwang,” ucap Raden Topo.
“Tapi mereka sudah kami tenangkan, Raden!” Mas Jagad menjelaskan.
Raden Topo menghela nafasnya sejenak dan menatap ke keris dasasukma milik Dirga.
“Roh anak itu kalian tenangkan, tapi seharusnya mereka belum bisa kembali ke alam sana karena terikat dengan Ki Luwang,” jawabnya.
Setelahnya aku tidak mengerti perbincangan Dirga,Jaga,Abah,Paklek dan Raden Topo.
Aku dan Danan memilih untuk mengawasi Ki Luwang yang tengah memulihkan dirinya.
“Setelah ini akan kubunuh kalian satu-persatu,” ucap Ki Luwang menatap kami.
Aku dan Danan hendak melawanya, namun Nyi Sendang Rangu mengadang di depan kami.
“Cukup.. kalian sudah setengah mati,” ucap Nyi Sendang Rangu.
“Tidak Nyi, kami masih harus menghentikan Ki Luwang,” bantah Danan.
Nyi Sendang Rangu meniupkan angin dari belakang dan menjatuhkan kami.
“Cahyo tanpa kekuatan Wanasura dan kehabisan tenaga? Danan yang sudah kehabisan tenaga setelah merasuki Wanasura yang ber Triwikrama? Jangan ngawur!” Nyi Sendang Rangu memarahi kami.
“Tapi kita tidak bisa membiarkanya begitu saja,” Ucap Danan.
Nyi Sendang Rangu melemparkan pandanganya ke arah Dirga dan yang lain. Ia seolah memberi kami isyarat.
“Sekarang kalian hanya penonton, pertarungan penentuan ini milik mereka,” ucap Nyi Sendang Rangu.
Abah membacakan doa pada keris Dasasukma milik Dirga, setelahnya bergantian Raden Topo yang membacakan sebuah mantra. Sekilas aku melihat keris Dasasukma Dirga menyala seolah merespon mantra itu.
“Ada alasan mengapa keris ini diberi nama keris Dasasukma, apa kamu pikir ada manusia yang memiliki sepuluh sukma?” Tanya Raden Topo.
Dirga menggeleng.
“Karena sebenarnya, dia bisa menyatu dengan sukma lain selain pemiliknya.”Jelas Raden Topo.
Saat itu Dirga tengah duduk bersila, dan Raden Topo meletakkan keris dasasukma di kepala Dirga. Mantranya membuat keris dasasukma menyala berkali-kali.
“Ingat wujudnya, dan panggil mereka.. keris dasasukma akan menjemputnya,” ucap Raden Topo.
Aku menduga ritual itu akan lama. Sialnya, Ki Luwang sudah kembali mendapat wujud manusianya.
Ia berjalan mendekat dengan mata penuh dendam. Tubuhnya seperti seorang kakek yang terlatih pada umumnya,
tapi yang mengerikan kekuatan hitam yang menyelimuti tubuhnya seolah bisa membunuh siapa kapan saja.
“Sudah kubilang, aku akan terus bangkit untuk menghabisi kalian,” ucapnya.

“Dia datang!” Peringatku.
Kami mencoba maju melewati Nyi Sendang Rangu yang masih menghadang kami, tapi Mas Jagad menarik baju kami dan meminta kami beristirahat.
“Kalian udah capek, Nonton kami saja..” ucap Mas Jagad.
Saat semakin mendekat, Ki Luwang mulai berlari dan menyerang kami.
tapi sebelum itu terjadi tiba-tiba sebuah keris melayang dan mendarat di hadapan Ki Luwang.
Itu keris Dirga…
Ki Luwang tidak gentar, namun terdengar suara yang menghentikanya.
“Bapak…”
Itu suara anak perempuan..
Ki Luwang berhenti dan mencari asal suara itu.
“Bapak.. ini benar bapak kan?”
Tiba-tiba keris dasasukma yang menancap di tanah itu memunculkan sosok sukma seorang anak perempuan.
“I—itu Sutri?” Jagad terlihat seolah mengenai sosok roh itu.
“Mas Jagad kenal sama roh itu?” tanyaku.
“Dia roh dari salah satu patung yang kutenangkan di persembunyian Ki Luwang dulu..” Jawab Mas Dirga.
Roh? Itu roh yang dimasukkan Ki Luwang ke dalam patung? Lantas apa maksud Dirga melakukan ini.
Satu keris lagi melayang dan menancap di tanah tak jauh dari Ki Luwang. Kali ini ada roh seorang anak laki-laki.
Tak berhenti sampai di situ, beberapa wujud keris dasasukma kembali melayang dan mendarat mengitari Ki Luwang.
“Satu.. dua.. empat… Sepuluh? Sepuluh keris??” Aku menoleh ke arah Danan, mempertanyakan darimana kesepuluh keris itu berasal.
“Sudah kuduga, ada alasan mengapa keris itu bernama keris Dasasukma..” gumam Danan.
“Maksudmu gimana to Nan?” Tanyaku penasaran.
“Pembuat keris dasasukma pasti sudah memperoleh ramalan tentang kejadian hari ini. Dasasukma dapat menjadi wadah roh yang memiliki keterikatan dengan Dirga..”jelas Danan.
Kesepuluh keris itu benar-benar mengitari Ki Luwang. Wajah Ki Luwang yang sebelumnya bengis kini berubah bingung.
“Tidak mungkin! Kalian seharusnya tidak ada di sini!” Teriak Ki Luwang.
Roh Sutri mendekat ke arah Ki Luwang dan memeluknya.
“Bapak.. kami kangen!” Ucap Roh Sutri.
Anak-anak lainpun menatap Ki Luwang dengan berkaca-kaca.
“Minggir! Aku harus menghabisi mereka terlebih dahulu,” Ki Luwang berusaha melepaskan Sutri dari tubuhnya.
“Jangan pak, bapak bukan orang jahat…” seorang anak lain mendekat dan memeluknya lagi.
Wajah Mas Jagad terlihat bingung, ia mendekat ke roh salah satu anak yang sepertinya juga mengenalnya.
“Kelik? Apa maksudnya ini? Bukankah Ki Luwang mengutuk kalian dan mengurung kalian menjadi patung penjaga?” Tanya Mas Jagad.
Roh kelik menoleh kearah kami semua dan tersenyum ke arah Dirga seolah memberikan salam. Sepertinya ada hal baik yang pernah terjadi diantara mereka.
“Aku ingat… kami semua adalah anak-anak yang dibuang oleh orang tua kami,” Jelas Kelik.
“Kami cacat, aib bagi keluarga kami, orang-orang di desapun jijik menatap kami,”
Kelik bercerita bahwa mereka semua dibuang di hutan dan dibiarkan mati oleh orang tua mereka sendiri.
Hal itu sudah lumrah terjadi di jaman itu untuk menghindari keturunan berikutnya bernasib sama.
Kelik sendiri dibuang di hutan karena lenganya cacat dan kecil sebelah. Ia dibuang di hutan setelah kakinya dipatahkan oleh orang-orang suruhan orang tuanya.
Ia ingat bagaimana ia ketakutan menangis saat malam datang di hutan itu tanpa ada siapapun yang datang menolong. Hawa dingin sangat menusuk dan rasa pedih akan perlakuan orang tuanya membuatnya lebih menderita.
Tapi di tengah keputus asaanya, Ki Luwang datang dan menemukan dirinya. Ia menggendong Kelik dan membawanya ke rumah tempat ia mengasingkan diri di dalam hutan.
Ternyata sudah ada beberapa anak lain di sana. Ki Luwang merawat mereka seperti anak mereka sendiri.
“Bapak pernah bercerita bahwa anaknya meninggal dengan cara yang keji, oleh karena itu ia tidak tega saat melihat keadaan kami.
Aku selalu mengingat setiap menjelang purnama bapak terduduk sendirian di belakang rumah bersama patung nyi sasma buatanya yang tengah menggendong patung anaknya yang tanpa kepala.
Saat itu kami pasti menyusul menemani bapak sambil bermain, bahkan sampai ketiduran di tanah.. tapi anehnya, besoknya kami sudah ada berada di dalam rumah di tikar kami masing-masing,” Cerita kelik.
Kelik melanjutkan ceritanya dimana seharusnya Ki Luwang sudah bisa menerima takdirnya dan ingin hidup seperti itu saja bersama mereka. Tapi takdir tidak berniat membiarkan hal itu..
Mengetahui keberadaan Ki Luwang, tiba-tiba ada segerombolan pasukan yang menyerang ke rumah.
Pasukan itu dipimpin oleh seorang panglima dan seorang dukun kerajaan.
Saat itu, Ki Luwang tengah mengangkut batu dari bukit untuk ia buat kembali menjadi sebuah patung.
Dan saat ia kembali, ia mendapati kelik dan anak-anak yang lain tengah terkapar disiksa oleh prajurit yang datang menyerang rumahnya.
Prajurit itu ditugaskan menghabisi Ki Luwang yang merupakan keturunan keramat yang akan membahayakan mereka.
Sayangnya, kebrutalan mereka berimbas pada anak-anak yang diselamatkan oleh Ki Luwang.
“Anak-anak itu lebih berguna bila menjadi tumbalku,” kelik mencontohkan ucapan seorang dukun yang menyerang rumah Ki Luwang.
Saat itu Ki Luwang yang tertangkap melihat dengan mata kepalanya sendiri anak-anak dihabisi oleh prajurit-prajurit itu. kepala anak-anak itu dibawa oleh prajurit itu untuk ditumbalkan.
Saat itu hanya kepala kelik yang tersisa dikarenakan ada cacat di wajahnya.
Ki Luwang begitu marah, saat itulah iya tahu bahwa ia memiliki kemampuan mematikan yang membuat orang-orang takut. Sebuah kemampuan dari garis keturunanya Trah Warnuguni.
Tanpa sengaja ia membangkitkan patung-patung yang ada di rumahnya dan melancarkan kutukan yang membuat tubuh para prajurit membatu dan kaku.
Semua prajurit itu mati, tapi ia menyisakan dukun itu dan panglima yang memimpin kelompok prajurit itu.
Ki Luwang yang sudah kehilangan akal sehatnya memenggal dukun itu dan membedah tubuhnya. Ia menjadikan organ dan tulang belulang tubuhnya menjadi bahan patung dan menciptakan patung berkepala kambing. Ndoro Kasmolo..
Sang panglima juga bernasib sama, ia menyatukan semua roh prajurit dan panglima itu menjadi sebuah patung agar rohnya saling bertarung menguasai tubuh patung itu. sebuah patung yang dinamai Raden Rogo Biryono…
Tak mampu menemukan kepala anak-anak yang sudah dibawa pergi, Ki Luwangpun khawatir bila roh anak-anak tersiksa dijadikan tumbal.
Iapun memutuskan menarik roh anak-anak itu, menggunakan bagian tubuhnya, dan menjadikanya patung agar tidak menjadi tumbal kerajaan.
Saat itu hanya keliklah yang tubuhnya masih memiliki kepala untuk mengingat semua kejadian ini.
Sejak saat itu, Ki Luwang menjadi sosok yang tidak berperasaan.
Ia memburu prajurit dan keturunan Darmawijaya yang masuk ke hutan dan membangun rencana untuk menghabisi seluruh keturunanya setelah ia mati.

Kisah dari Kelik benar-benar membuat aku dan Danan menahan nafas.
Sebelum menjadi setan mengerikan, ternyata Ki Luwang adalah korban kebuasan jaman saat itu.
Kelik yang matanya sudah berkaca-kacapun tak tahan untuk mengampiri sosok yang ia anggap sebagai bapak itu.
“Sudah pak, kita pergi… kita bisa sama-sama lagi,” ucap kelik.
“Kami sudah menunggu bapak sangat lama, kami kira bapak akan kembali…” tambah Sutri.
“Nggak ada yang nyanyiin kita lagi pak kalau malam… rumah di hutan itu sepi,”

Tatapan Ki Luwang berubah, dendamnya mulai memudar. Iapun berlutut di tanah dan memeluk anak-anak itu.
“Apa kalian sudah tenang?” Tanya Ki Luwang sembari menitikkan air mata.
Anak-anak itu menggeleng.
“Kami menunggu bapak..” balas Sutri.
“Kami bisa pergi, seandainya kami bisa yakin bahwa bapak akan baik-baik saja,” tambah Kelik.
Ki Luwangpun semakin menangis memeluk anak-anak yang tubuhnya tidak sempurna itu. ia menggeleng berkali-kali..
“Tidak.. tidak bisa,” ucapnya.
“Bapak tidak bisa tinggal di sini lagi tanpa kalian…”
Ki Luwangpun berdiri sambil tetap menggandeng anak-anaknya itu.
ia menatap ke arah Dirga, Abah , dan Raden Topo yang memunculkan roh anak-anak itu dengan keris Dasasukma.
“Biarkan aku ikut bersama mereka,” ucap Ki Luwang pada mereka bertiga.
“Ki Luwang sudah memaafkan kami?” Tanya Dirga dengan polosnya.
Sekali lagi Ki Luwang menggeleng, kali ini dengan tersenyum.
“Trah Darmawijaya tidak memiliki dosa terhadapku. Ucapan istriku benar, prajurit Darmawijaya memegang teguh harga dirinya.
Aku saja yang telah gelap mata dan tertutup oleh dendam.. Kalau ada yang mencela Trah Darmawijaya, aku yang menjamin bahwa itu salah,” Ucap Ki Luwang yang berubah seratus delapan puluh derajat.
Tapi Ki Luwang belum selesai dengan perkataanya.
“Saat ini aku bisa mengikhlaskan dendamku, tapi kalian juga harus berhati-hati. Mungkinsaja masih ada penerus kerajaan Pakujagar yang berniat jahat kepada kalian” ucapnya.
Raden Topo dan abah mendekat ke arah Ki Luwang.
“Kami pastikan saat mereka muncul, mereka tidak akan bisa berbuat seperti yang mereka lakukan padamu,” ucap Abah.
Ki Luwang terlihat menarik nafas lega dan menatap ke sepuluh roh yang diwadahi oleh keris dasasukma itu.
“Biarkan aku pergi ke tempat mereka,” ucap Ki Luwang.
Raden Topo mengangguk dan menghampiri mereka.
“Biar mereka yang mengantar kepergianmu,” ucap Raden Topo yang meletakkan tanganya di punggung Dirga.
Dirgapun merubah posisi tanganya, seketika roh anak-anak itupun tertarik ke dekat kesepuluh keris dasasukma itu.
Keris yang menancap di tanah itupun melayang, berputar dan menari di langit bersama kesepuluh sukma anak-anak itu.
Ki Luwang menatap mereka sambil tersenyum dan menyambut kedatanganya.
Bersama anak-anak itu, kesepuluh keris dasasukma bergantian menembus tubuh Ki Luwang memurnikan dirinya yang sudah berubah menjadi setan.
Tepat saat keris kesepuluh menembusnya, iapun menghilang bersama kesepuluh anak yang menganggapnya sebagai seorang ayah.
Aku tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Kebencian kami akan Ki Luwang seketika sirna ketika mengetahui masa lalunya. Semoga saja hal baik yang ia lakukan terhadap anak-anak itu bisa membantu mengurangi dosa-dosanya.
Prakkk!!!
Terdengar suara pusaka yang pecah dari tangan Mas Jagad.
Saat itu juga Mas Jagad membacakan sebuah ajian dan mengembalikan kami ke pelataran Wisma tempat kami berada sebelumnya.
Tempat yang sebelumnya kering ini seketika menjadi basah dengan hujan Nyi Sendang Rangu.
Seperti biasa, Danan terbaring di tanah menikmati rintikan hujan Nyi Sendang Rangu. akupun sama, sepertinya tidak ada salahnya menikmati hujan ini sebentar setelah pertarungan yang menguras perasaan tadi.
Sekilas aku melihat Paklek menghampiri Dirga yang tengah kehabisan tenaga. ia menggotong tubuhnya dan menghangatkan tubuhnya dengan api dari Keris Sukmageni.
Mas Jagad masih termenung meratapi banyaknya pusaka yang ia hancurkan.
Tapi saat itu Teh Siti menghampirinya dan mengajaknya untuk berteduh.
Nyi Sendang Rangu hendak pergi, tapi sepertinya ada suatu hal yang ingin disampaikan olehnya.
“Cahaya dari prasasti itu tidak berhenti bersinar,” ucap Nyi Sendang Rangu.
Benar juga, salah satu dari cahaya itu berasal dari Alas Sewu Lelembut yang berbatasan dengan desa Gandurejo.
“Apa itu ada pertanda khusus nyi?” tanya Danan penasaran.
“Prasasti itu menjaga sesuatu, ada hutan terlarang yang tertutup dimasuki oleh siapapun.
Tapi ketika ketujuh prasasti itu bersinar, itu menandakan ada yang berusaha membukan hutan ini..” jelas Nyi Sendang Rangu.
“Apa itu berbahaya?” tanyaku.
Nyi Sendang Rangu mengangguk. Sayangnya ia tidak bisa menceritakan lebih jauh.
Menurutnya, ia sendiri belum mengetahui apa yang terdapat di hutan tertutup itu.
“Bersiaplah akan sesuatu yang lebih besar lagi, mungkin saja kalian akan membutuhkan pihak lain…” jelas Nyi Sendang Rangu yang menghilang bersama rintikan hujan yang ia bawa.
Aku saling bertatapan dengan Danan. Baru saja kami selesai menghadapi pertarungan yang mengerikan, kini Nyi Sendang Rangu sudah meminta kami untuk bersiap akan sesuatu yang lebih besar.
Semoga saja kami masih memiliki waktu untuk melatih diri dan iman kami sebelum waktu bencana itu tiba.

***
Sudah beberapa hari setelah pertarungan itu berlalu, kamipun kembali ke rumah Abah tempat motorku masih di titipkan.
Kali ini tidak seperti sebelumnya. Aku, Danan dan Dirga benar-benar menikmati suasana pasar malam tanpa adanya gangguan.
Seperti kesurupan, Danan tak henti-hentinya berkeliling mencari jajanan yang bahkan sudah hampir tidak muat di mulutnya.
“Nan, sing nggenah kowe.. mangan opo kesetanan?” (Nan, yang bener kamu? Makan apa kesetanan) tanyaku.
“Ngeleh! Kowe lali aku puasa pirang dino pas dadi patung?” (Laper! Kamu lupa aku puasa berapa hari pas jadi patung?) ucap Danan.
Aku menggeleng melihat tingkahnya, untuk kali ini hobi rakusku kalah oleh Danan.
“Bilang aja mas Cahyo juga kepengen kan?” Ledek Dirga.
“Tau aja kamu Dirga, sini Nan aku pegangin batagornya!” ucapku pada Danan.
“Heh!! Pegangin mah pegangin aja, jangan dimakan!!” Protes Danan yang megejarku.
Aku berusaha menghabiskan batagor itu sebelum tertangkap oleh Danan.
tapi saat itu aku terhenti dengan sebuah pemandangan.
“Sini balikin!” teriak Danan sembari menarik kembali plastik batagor yang telah kosong.
Wajahnyapun menjadi cemberut dan segera membanting plastik kosong itu ke tong sampah di dekatnya.
“Bisa-bisanya kamu Jul!"
“SSsst..” Aku menyuruh Danan Diam dan melihat ke satu arah.
“Sini-sini,” ucapku memanggil Danan dan Dirga dan merekapun mendekat.
“Itu bukanya Mas Jagad?” Tanyaku pada mereka berdua.
Merekapun melihat ke arahku memandang dan menemui Mas Jagad yang tengah menaiki permainan bianglala pasar malam bersama seseorang.
“Itu Teh Siti kan?” Tanya Dirga.

“Iya nggak salah lagi…” Balas Danan.

Kami bertigapun saling bertatapan dan memasang senyum busuk.
Tepat saat permainan yang dimainkan oleh Mas Jagad selesai, iapun turun dengan melihat kami bertiga yang sudah menantinya dengan wajah siap meledek.

“Tadi ada yang pamit sama Dirga mau ke acara karang taruna mas..” Teriak Dirga ke arah Danan.
“Wah ternyata Karang tarunanya ada di pasar malam ya!!” Ledek Danan bersahutan dengan ucapan Dirga.

“iya, mungkin nama kegiatanya survey permainan bianglala pasar malam bersama perempuan cantik,” tambahku sembari menatap Mas Jagad dan Teh Siti yang wajahnya kian memerah.
“Kalian kenapa bisa ada di sini?” Tanya Mas Jagad.

“Kiliin kinipi bisi idi di sini?” Ledek Dirga.
Jagadpun meninggalkan Teh Siti dan bersiap mengejar Dirga.

“Yah Teh Siti ditinggal, awas nanti nyantol sama Danan lho..” ledekku.
Mas Jagadpun berhenti dan kembali, sementara Dirga masih berusaha meledek Mas Jagad.

Kami tertawa tanpa henti saat itu, sampai tiba-tiba terdengar suara teriakan yang ricuh dari rumah hantu di sana.

“Kesurupan! Ada yang kesurupan!!”
Kami mendengar teriakan itu dari dekat rumah hantu. Dengan segera kamipun berlari ke sana mencari tahu apa yang terjadi. Kami khawatir apa masih ada hal buruk yang tertinggal di tempat itu.
Saat kami mendekat dan mencoba untuk masuk, tiba-tiba kami tertahan dengan petugas yang berusaha menenangkan pengunjung.
“Sudah, sudah aman.. sudah ada yang membantu ngusir setanya,” ucap petugas.

“Yang benar mas?” tanya pengunjung.
“Iya, sudah aman. Tapi tempat ini ditutup dulu ya. Besok baru dibuka lagi,” ucap petugas itu.
Kamipun bernafas lega mengetahui kenyataan itu. tapi saat kembali, samar-samar aku dan Danan merasakan sesuatu yang aneh melintas di dekat kami.
“Nan?” tanyaku.
“Iya…” Rupanya Danan juga menyadarinya.

Kami mencari asal sesuatu yang menggugah firasat kami, tapi tidak ada apapun di sana. Yang terlihat hanya pengunjung biasa yang mengenakan seragam cokelat seperti seorang guru yang melintas di dekat kami.
Akhirnya kamipun kembali menikmati pasar malam itu hingga tutup.
Kami memutuskan untuk tinggal cukup lama di rumah abah. Masih banyak yang bisa kami pelajari di tempat ini.
Walau merupakan bagian dari Pulau Jawa, Tanah Pasundan ternyata memiliki banyak misteri yang jauh dari jangkauan kami.
Mungkin dengan lebih lama di tempat ini, kami bisa sedikit mempelajari peninggalan-peninggalan di tanah ini, dan ilmu yang bisa membuka mata kami lebih lebar untuk memandang dunia.
Apalagi… kami masih betah meledek Mas Jagad yang sedang mencoba mendekati Teh Siti.

-TAMAT-
Terima kasih sudah membaca kisah ini hingga Tamat. Semoga cerita ini bisa menghibur dan berkesan buat teman-teman pembaca.

Seperti biasa, minta tolong tinggalin komenya ya.
gantian setelah ini saya yang membaca komen-komen temen2.
mohon maaf apabila ada salah kata atau bagian yang menyinggung.

minggu depan mungkin akan dijeda dengan lanjutan kisah babad topeng ireng terlebih dulu sembari saya melakukan riset akan cerita besar yang akan banyak meminta tolong senior saya @qwertyping lagi.
oh iya di karyakarsa ada cerita yang belum di publish
1. Daryana Putra Sambara
Prequel Jagad Segoro demit mengenai kelanjutan kisah perjalanan sang putra dari Widarpa dayu sambara

karyakarsa.com/diosetta69/dar…
2. Radio tengah malam the series
tiap partnya berisi kisah horror pendek sekali tamat yang pernah berurusan dengan Radio Tengah Malam.
karyakarsa.com/diosetta69/ser…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Diosetta

Diosetta Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @diosetta

Oct 31
PERANG TANAH DANYANG
Part 5 - Ratusan Tahun Yang Lalu

Widarpa menghilang, Daryana mulai bergerak. Bencana dimulai dari zaman itu...

#bacahorror @bacahorror Image
Suara senjata beradu di tengah rumah terpencil di pinggir hutan. Bukan sebuah kekacauan, namun sebuah pemandangan unik dimana seorang pendekar bertarung melawan lebih dari lima anak- anak kecil.

“Eyang! Ini jurus kodok terbang dari bukit nestapa!”

Seorang anak melakukan sebuah gerakan lucu sambil mengayunkan tongkat kayunya yang panjang.

“Heh! Kertasukmo, mana ada kodok bisa terbang?!” Ucap pendekar itu sambil tertawa dan menghindarinya.

“Hahaha! Dia emang hobinya gitu, Eyang Daryana! Ngasi nama jurus aneh-aneh, tapi gerakannya nggak jelas!” Tawa Purbawengi yang masih mencari celah untuk menyerang Daryana dengan sebuah senjata pisau di tangannya.

“Biarin! Kata Bapak, ngasi nama jurus harus keren biar lawan gentar!” Balas Kertasukmo.

Brakk!! Brakk!! Brakk!!

Beberapa pukulan sekaligus menjatuhkan anak-anak yang mengepung Daryana.

“Aduh! Sakit, Eyang!” Keluh Wirabumi yang terjatuh merasakan pukulan paling keras diantara yang lainnya. Namun dengan segera Daryana mengulurkan tangannya.

“Maaf, Eyang sengaja. Karena kelak, kamulah yang akan menjadi pelindung mereka semua..” Ucap Daryana

Wirabumi tak lagi mengeluh. Ia berdiri dengan bangga mendengar ucapan Daryana, Eyang kebangganya itu.

Mereka pun berkumpul kembali ke pendopo untuk beristirahat sekaligus menghabiskan waktu di sana.

Itu adalah terakhir kalinya Daryana menemui cucu-cucunya. Perjalanan hidupnya membuatnya menemui wanita-wanita hebat yang mengaguminya.

Keempat istri Daryana terpencar di berbagai daerah dan dari mereka lahirlah orang tua dari Wirabumi, Kertasukmo, Purbawengi, dan keturunan Sambara yang lain.

Setelah menyempurnakan Ajian Pemutih Raga, Daryana melakukan perjalanan untuk mencari ayahnya Widarpa Dayu Sambara. Setidaknya di umur sehatnya ia ingin melakukan perjalanan, dan memastikan keadaan ayahnya yang telah lama menghilang dan tak lagi menemuinya.

Sama seperti Widarpa, walau keberadaanya menghilang dari keluarganya, ia telah meninggalkan serpihan-serpihan kesaktiannya yang mungkin bisa akan berguna bagi keturunannya kelak. Sebelum dirinya menua, Daryana berniat mengamalkan ilmunya serta menemukan ayahnya itu.

***
Read 15 tweets
Oct 24
PERANG TANAH DANYANG
Part 4 - Penduduk Masa Lalu

Cahyo kembali ke desa itu, tempat dimana ia telah berdosa pada penduduk yang tinggal di sana. Sebuah desa yang dihuni oleh Trah keluarga yang mengucilakna dirinya. Trah Rojobedes...

@bacahorror #bacahorror Image
Part Sebelumnya bisa dibaca di sini ya :
part 1 : x.com/diosetta/statu…
part 2 : x.com/diosetta/statu…
Part 3 : x.com/diosetta/statu…

Semoga teman-teman berkenan meninggalkan komen setelah membaca part ini..
Wabah di desa Darmo Kulon menewaskan lebih dari dua puluh nyawa. Anggoro sudah berusaha semaksimal mungkin, namun ia tak mampu berbuat banyak kepada mereka yang sudah sekarat.

Setidaknya, kedatangan Anggoro menghentikan jumlah korban yang terus bertambah.

“Ustad. Apa yang terjadi antara Mas Cahyo dan Raden Suto Benggolo di bukit? Mengapa Mas Cahyo tidak kembali ke sini?” Anggoro terlihat cemas saat mengetahui Ustad Imran kembali tanpa Cahyo.

“Tidak usah khawatir. Mas Cahyo baik-baik saja. Pasti kamu juga dengar suara khas knalpot vespanya saat melintas tadi, kan?”

Anggoro memang mengingat suara berisik yang melintasi desa setelah subuh. Ia baru sadar bahwa itu suara motor tua milik Cahyo.

“Lantas kenapa Mas Cahyo tidak kembali ke desa, Ustad?”

Ustad Imran menghela nafas menunjukkan wajahnya yang bingung menjelaskan apa yang terjadi.

“Apa yang ia hadapi jauh lebih besar dari bencana yang ada di desa ini, Mas Anggoro. Sesuatu yang benar-benar tak terbayangkan oleh manusia pada umumnya..”

Anggoro membaca raut muka Ustad Imran. Ia mencoba memahami kegelisahan dalam dirinya. Namun satu kabar dari Ustad Imran cukup membuat Anggoro dan warga desa lega.

Ustad Imran mengatakan bahwa tanah di desa Darmo Kulon sudah diruwat. Tak ada lagi kutukan yang mengikat desa tempat mereka tinggal. Jasad-jasad sudah bisa dimakamkan di tanah mereka.

Mendengar kabar itu, warga desa, terutama mereka yang ditinggalkan oleh keluarganya tak mampu menahan air mata.

Kini mereka benar-benar terlepas dari kutukan Raden Suto Benggolo. Namun Ustad Imran sendiri belum bisa tenang. Semua tidak ada artinya jika Cahyo gagal menangani sosok yang jauh lebih berkuasa dari Raden Suto Benggolo itu.

“Setidaknya saya ingin menyampaikan, jika suatu saat ia membutuhkan kemampuan medis saya, saya siap membantu Mas Cahyo kapan saja..” Anggoro membersihkan tangannya sambil menatap langit pagi hari di desanya. Ustad Imran mendekat dan berdiri di sebelahnya.

“Saya merasa, waktu itu akan tiba…”

***
Read 10 tweets
Oct 17
Di Balik Jejak Melati
- a horror thread –

Bau Melati yang semula menenangkan kini berubah menjadi isyarat kematian.

Sosok pendendam yang membawa ketakutan untuk warga desa. Ia tak akan tenang sebelum dendamnya terpuaskan.

#bacahorror @bacahorror Image
Namaku Arya, seorang jurnalis lepas yang terbiasa menggali cerita kriminal, misteri, hingga horor.

Adrenalin selalu terpacu saat menemukan kisah misteri yang belum terungkap, dan biasanya aku mendapatkan info dari kantor, narasumber, atau teman-teman.
Tapi kali ini, sumbernya berbeda.
Berulang kali aku bermimpi tentang sebuah desa. Desa yang selalu sunyi saat malam tiba, penduduknya dicekam ketakutan oleh sosok tak kasat mata yang meneror mereka.
Read 66 tweets
Oct 17
PERANG TANAH DANYANG
Part 3 - Jeritan Alam terkutuk

Part 1 : Sendang Mayat
x.com/diosetta/statu…
Part 2 : Ratu
x.com/diosetta/statu…

#bacahorror @bacahorror Image
Ada legenda yang mengatakan bahwa manusia, hanya menempati satu dari sekian ribu alam yang diciptakan oleh Yang Maha Pencipta.

Alam manusia, alam roh, alam mimpi, alam antara, akhirat, khayangan, atau berbagai macam nama yang sering tersebut di berbagai kepercayaan mungkin memiliki tempat tersendiri yang tak mudah dijangkau oleh manusia.

Tapi di balik itu, setiap alam memiliki ikatannya sendiri dan saling mempengaruhi dengan caranya sendiri.

Tapi satu alam pernah mati menyisakan kesadaran yang memaksa dirinya sebagai alam untuk mendapatkan energi hidup dari alam lain.

Alam itu sadar bahwa tak ada makhluk yang berhak memiliki keinginannya sendiri. Jika hanya ada satu kesadaran untuk semua makhluk di satu alam, maka alam itu akan bangkit menjadi alam yang terkuat.

Jagad Segoro demit. Hanya amarah dan nafsu yang diizinkan untuk ada di sana. Setiap makhluk perlahan akan melupakan dirinya dan menjadi satu kesadaran dengan alam itu.

Hanya kegilaan dan kekacauan yang terus ada mengorbankan darah dan nyawa untuk kembali lahirnya sebuah alam yang telah mati.
Akan ada waktunya alam ini merebut alam manusia untuk menjadi bagian darinya..

***
Dananjaya Sambara. Itu namaku, dan aku adalah seorang manusia. Iya! Aku benar-benar manusia. Namun saat ini aku terpaksa menjebak diriku di alam tempat bangsa setan, dan lelembut berasal. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika kami tidak menghentikannya.

Sebuah peperangan antara makhluk yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu akan terjadi dan mengoyak batas alam antara alam manusia dan Jagad Segoro Demit. Aku di sini untuk menghentikan itu semua.

Tapi, sepertinya keberadaanku tidak dibutuhkan.
Di hadapanku berdiri seorang sesepuh leluhur Trah Sambara yang telah mengurung dirinya di Jagad Segoro Demit Selama ratusan tahun. Seseorang yang menjaga kesakralan Trah Sambara dari alam terkutuk.

Eyang Wirabumi Dayu Sambara.

“Terlemah?” Gumamku saat Eyang Wirabumi mendakwaku sebagai trah sambara yang terlemah. Aku tak bisa membantahnya, mungkin ucapannya benar. Aku memang tidak memiliki ajian-ajian sesakti Paklek dan Jagad.

“Bagaimana bisa kalian membawa manusia seperti dia ke alam ini?! Apa tidak ada pilihan lain!!” Teriak Eyang Wirabumi pada Nyi Purbawengi dan Eyang Kertasukmo.

Mereka tak menjawab dan memilih mundur sambil tersenyum. Aku menoleh pada Nyi Sendang Rangu dan ia justru berpaling seolah tak ingin terlibat dengan permasalahan Trah Sambara.

“Arrrgggh!! Mengapa kalian jadi setolol ini! Jangan salahkan aku jika dia mati dalam pertempuran!” Teriaknya sambil berpaling membuang muka, namun baru melangkah sesaat ia kembali menoleh ke arahku dan menunjukkan jarinya ke wajahku.

“Dan kau! Jangan sampai kau menjadi batu sandungan untuk kami!” Ancam Eyang Wirabumi.
Aku berusaha untuk tidak merespon apapun. Selain tidak mengerti dengan keadaan di alam ini, Eyang pasti punya alasan untuk sebegitu selektifnya menilai aku dan yang lain.

“Dia hanya tidak ingin ada lagi yang mati..” Ucap Nyi Purbawengi.

“Percayalah, walau perangainya buruk dia salah satu leluhur kita yang paling baik,” Tambah Eyang Kertasukmo.

Aku hanya menghela nafas sambil berusaha tersenyum. Perangai emosinya itu memang sedikit mirip dengan Eyang Widarpa. Seandainya Eyang masih ada, mungkin akan seru jika mereka berdua bertemu.

“Kepala Ki Kundawayan itu, apa eyang yang menghabisinya?” Tanya Mas Jagad.

Tak hanya Mas Jagad, aku pun merasa penasaran bagaimana makhluk sekuat itu dan hampir membunuh kami bisa takluk begitu saja.
Eyang Wirabumi mencabut keris dari kepala itu. Ia melangkah menuju sebuah ruangan dimana terdapat sebuah cermin di sana.

“Aku melihat semua pertarungan kalian dari Koco Benggolo. Ledakkan kekuatan telur jagat membuatnya lemah, saat tiba di Jagad Segoro Demit, kami menggunakan kesempatan itu untuk menghabisinya..” Jelas Eyang Wirabumi.

“Kami?” Paklek bertanya.

Eyang Wirabumi memalingkan wajahnya dari cermin dan kembali menatap ke arah kami.

“Aku tidak seorang diri di sini, leluhur kalian yang lain terpencar di alam ini. Mereka menghimpun kekuatan dan memburu danyang yang bersekutu dengannya.”
Aku semakin penasaran dengan wujud dari leluhur-leluhurku. Hampir setiap dari mereka memiliki sifat yang berbeda, dan kehebatannya sendiri-sendiri. Setiap kemampuan itulah yang menurun kepada kami.

“Wirabumi, kau sudah mendapatkan pusaka itu?” Eyang Kertasukmo tiba-tiba membuka pembicaraan. Namun Eyang Wirabumi membalasnya dengan menggeleng dan menghela nafas.

“Aku hampir tidak percaya jika pusaka ratu ular itu memang ada di alam ini. Sudah ratusan tahun aku mencarinya, petunjuk yang kita miliki menuntun kami ke hasil yang kosong..”

Aku dan Paklek mempertanyakan apa yang dimaksud pusaka ratu ular itu? apa pusaka itu sepenting itu hingga leluhur kami mencari selama ratusan tahun.

“Eyang, apa pusaka ratu ular memang sepenting itu?” Tanyaku pada Nyi Purbawengi.

Nyi Purbawengi mengajak kami untuk duduk di ruangan itu. Koco benggolo terlihat menutup dengan sendirinya ketika kami menjauh. Sekilas aku melihat bayangan dua orang perempuan yang berjalan di sebuah desa tua. Tapi apa yang kulihat itu tidak untuk kubahas saat ini.

“Pusaka Ratu Ular merupakan penentu perang para danyang di zaman dulu. Kami semua hampir musnah oleh kekuatannya…” Jelas Nyi Purbawengi.

Ia menceritakan saat Danyang putih dan trah sambara berhasil menghentikan peperangan dengan menaklukkan danyang hitam, ada sosok danyang dari bukit pesisir yang berkhianat. Ia menggunakan pusaka ratu ular yang seketika memakan ratusan nyawa untuk membangkitkan kembali kekuatan danyang hitam.

“Pengkhianat?” Tanyaku.

Nyi Purbawengi mengangguk. Danyang itu menitiskan kekuatan dewi samudera, namun ia lahir dari tanah terkutuk.

“Siapa? Apa namanya dikenal di alam manusia?” Tanya Mas Jagad.

“Manusia memujanya untuk menanti berkah alam, namun ada yang menyembahnya untuk mendapatkan kekayaan. Di alam manusia ia merupakan sosok anggun yang dikenal dengan nama Dewi Naganingrum..” Eyang Kertasukmo mencoba menjelaskan.

Ia menambahkan bahwa nama dan sosok anggun itu hanyalah kedok. Wujud sebenarnya adalah seekor ular raksasa yang menguasai tanah bukit pesisir.

“Berarti saat ini dia ada di alam manusia?” Aku memastikan.

“Naganingrum hidup di dua alam. Ia mempunyai raga yang terkurung di alam ini, dan roh di alam manusia..” Jelas Nyi Purbawengi.

Braakk!!!
Pukulan keras Eyang Wirabumi menghantam lantai kayu bangunan itu.

“Kupastikan ia akan mati tak bersisa saat berhadapan denganku!!” Teriak Eyang Wirabumi.

Aku merasa ada permasalah pelik yang membuat Eyang Wirabumi begitu dendam dengan sosok Naganingrum itu.

Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba koco benggolo memantulkan cahaya api yang begitu pekat. Eyang Wirabumi meninggalkan tempatnya dan bergegas menghampiri cermin itu. Ia buru-buru mengambil kerisnya lagi dan hendak meninggalkan ruangan.

“Eyang?! Ada apa?!” Tanyaku.

Jagad menatap ke koco benggolo dan wajahnya seketika diliputi amarah.

“Brengsek! Mereka membakar satu bangunan yang menampung puluhan anak kecil! Apa yang mereka lakukan?!”

Aku menghampiri ke arah mas jagad, dan pemandangan mengerikan itu benar-benar terpampang di koco benggolo. Suara anak-anak yang berteriak ketakutan pun terdengar samar dari cermin itu.

Eyang Wiraguna berhenti sejenak dan memanggil kami.

“Kalian! Ikut denganku?!” teriaknya tertuju kepada kami bertiga.

Aku menoleh ke arah Eyang Kertasukmo, Nyi Purbawengi, dan Nyi Sendang Rangu. Mereka mengangguk memberi isyarat agar kami mengikuti eyang Wirabumi.

***
Read 12 tweets
Oct 10
PERANG TANAH DANYANG
Part 2 - Ratu

Cahyo mendapat kabar dari Danan di mimpinya yang aneh. Danan memperingatkan bahwa yang paling berbahaya dari Perang Para Danyang berasal dari alam manuisa

@bacahorror #bacahorror Image
Part sebelumnya bisa dibaca disini ya

Part 1 :
(Sudut Pandang Cahyo..)

Samar-samar suara gemeretak di kamar terdengar dari benda-benda yang berada di sekitarku. Tapi, aku masih terus tertidur dengan gelisah. Sebuah mimpi yang aneh tiba-tiba mengusik tidurku.

“Cahyo! Kami salah! Masalah terbesar ada di alam manusia!” Tiba-tiba aku melihat Danan di mimpi yang seolah begitu nyata.

Terlihat Danan, Paklek, Mas Jagad dan beberapa wujud yang tak dapat kulihat dengan jelas tengah berlari di alam yang penuh dengah kekacauan itu.

“Danan? Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa berbicara padaku dari sana?!” Aku masih tak bisa menilai apa yang terjadi. Namun kekuatan dalam mimpi itu bahkan kurasakan di sekitar tubuhku.

“Pusaka-pusaka sakti mandraguna berserakan di tempat ini. Aku menggunakan koco benggolo untuk menyampaikan ini padamu!

Dengar baik-baik, Jul! Perang Para Danyang terjadi karena pengkhianatan mereka yang diberkahi semesta! Hentikan mereka!”

Krakk!!!

Suara cermin yang pecah terdengar bersama hilangnya penglihatan di mimpiku. Aku terbangun bersama benda-benda yang berjatuhan di sekitarku. Samar-samar aku pun mendengar sisa suara raungan wanasura yang ikut merasakan kekuatan itu.

“Danan…? Paklek…?”
Read 15 tweets
Oct 3
PERANG TANAH DANYANG
Part 1 - Sendang Mayat

Danan dan Cahyo terpisah di alam yang berbeda. Garis keturunan Trah Sambara memiliki takdir untuk berdiri di tengah perseteruan makhluk-makhluk yang merasa menguasai bagian dari alam.

@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
SENDANG MAYAT

Suara mesin sepeda motor memecah keheningan di jalan setapak yang dikelilingi hutan-hutan menuju sebuah desa. Berkali-kali aku mengingatkan Mas Sapta yang menjemputku dengan motor tuanya untuk berhati-hati, namun rasa cemasnya akan keadaan keluarga dan warga desa tak bisa ditutupi.

Namaku Anggoro. Seorang dokter yang sedang menjalankan tugas di salah satu kota besar di Jawa Barat. Namun kemarin, bapak meneleponku dan memintaku untuk pulang.

“Pulang ya, Le… Bapak takut, mungkin saja hal buruk akan terjadi pada sama bapak. Setidaknya sebelum hal buruk itu terjadi, bapak pengen ketemu kamu..”
Kata-kata itu terus terngiang membuatku tak mungkin lagi menolak untuk pulang.

Bapak juga mengatakan bahwa seandainya aku bisa kembali, mungkin saja aku bisa membantu akan apa yang terjadi di desa. Sesuatu yang mengerikan terjadi di sana.

Belasan warga, mati…

Mas Sapta yang menjemputku di terminal pun menceritakan dengan tubuh yang gemetar dan lemas. Ia melihat sendiri bagaimana tetangga yang masih saudara jauh dengannya mati dengan tubuh yang menghitam dan bagian tubuhnya putus satu persatu. Dan saat ini, di rumah bapak masih terdapat beberapa warga yang bernasib serupa.

“Bangunan itu masih belum dibongkar?”

Aku bertanya pada Mas Sapta sambil menunjuk beberapa sisa rumah-rumah tua yang sudah hancur di salah satu sisi hutan. Hanya tersisa sebagian tembok-tembok saja yang sudah ditumbuhi tanaman merambat dan lumut.

Sisa dinding-dinding bangunan di sana sudah terkelupas dan menunjukkan tumpukan bata yang masih tebal. Ada sebuah sumur yang sepertinya juga sudah lama tidak digunakan.

“Nggak ada yang berani, Mas Anggoro. Katanya masih ada yang punya. Takut salah..”

Aku hanya menggeleng melihat sisa-sisa bangunan yang sudah ada sejak aku kecil. Entah kapan terakhir kali bangunan itu berbentuk rumah dan ditinggali, bapak pun tidak bisa menjawab.Gapura desa Darmo Kulon pun terlihat di hadapan kami, namun aku tak menyangka bahwa keadaan di desa begitu gelap.

Semua rumah mematikan lampu dan hanya ada beberapa obor yang dibuat menggunakan botol kaca yang menyala di beberapa sudut jalan.

“Gelap sekali, Mas? Mati listrik?” Tanyaku.

“Sengaja, Mas.. Kami semua mematikan listrik, mengunci semua pintu, tidur di lantai, supaya setan-setan yang mengutuk desa kami tidak masuk ke desa ini..”

“Masih percaya begituan?”

“Entah, Mas. Dari dulu desa kita percaya hal seperti itu setiap ada wabah..”

Aku memang mengingat beberapa kebiasaan-kebiasaan warga yang sekarang sudah kuanggap tidak masuk akal. Semenjak aku merantau dan mengenal dunia luar, beberapa hal di desaku terasa tidak relevan.

Brakkk!

“Sakiiit…. Sakit… hentikan!”

Tiba-tiba seorang perempuan menerobos keluar rumah. Ia berjalan dengan tangan dan kakinya yang kaku dengan sebagian kulitnya sudah terlihat bisul, bercak, hingga bagian yang menghitam. Matanya terus melotot tanpa bisa berkedip.

Mas Sapta pun mengerem motornya mendadak. Cahaya lampu menyinari sosok perempuan yang terlihat mengerikan di gelapnya malam. Aku pun turun dari motor untuk melihat lebih jelas, namun sosok itu lebih dahulu mengenaliku.

Bibirnya tiba-tiba tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan mencoba meraihku.

“Anggoro…” Senyumnya terlihat aneh dan membuatku bergidik ngeri. “To—long…”

Belum sempat mendekat ke arahku, tiba-tiba jari-jari wanita yang telah menghitam itu terpisah dari tubuhnya dan jatuh ke tanah. Wajahnya terus menatapku namun tak lagi bergerak. Satu tangannya masih berusaha meraihku, namun jari-jarinya jatuh satu persatu.

Aku mengenali perempuan itu.

“Mu—murni? Kamu Murni, kan?” Aku memastikan bahwa di hadapannya adalah teman masa kecilku. Namun sudah terlambat cukup lama. Tubuh murni tak lagi bertahan, tubuh itu pun terjatuh tak bernyawa setelah beberapa bagian tubuhnya terpisah. Satu lagi korban jiwa terjadi di desa Darmo kulon.

***
Kedatanganku yang disambut dengan kematian Murni, teman masa kecilku membuat diriku terpuruk. Aku pun kembali ke rumah ayahnya yang merupakan seorang mantri di desa itu dengan wajah yang kusut.

“Kulo nuwun. Bapak, ini Anggoro…” Ucapku sambil mengetuk pintu yang terkunci dari dalam. Terlihat seseorang berusaha berjalan dengan cepat dengan kakinya yang tertatih untuk membukakan pintu.

“Alhamdulillah, Le.. kamu datang juga..” Sambut bapak yang bernafas lega melihat kedatanganku.

Aku mencium tangan bapak dan segera memeluknya. Tubuhnya terlihat semakin kurus dan aku merasakan bahwa ia menanggung beban yang tak biasa.

“Pak Parmin, Tasnya Mas Anggoro izin saya masukkan ke dalam, ya..” ucap Mas Sapta.

“Iyo, Le. Matur nuwun yo..” (Iya, Nak. Terima kasih ya…) Balas Bapak yang bergegas mengajakku masuk ke dalam.

Baru beberapa langkah memasuki ruangan aku sudah mencium bau yang berbeda. Kadang tercium bau rempah-rempah obat, kadang tercium bau yang cukup busuk. Terdengar suara dengkuran dan rintihan dari dalam rumah.

“Nanti kamu tidur di rumah sapta saja ya, Le. Beberapa warga nggak punya keluarga, jadi bapak ngerawat mereka di rumah.” Jelas Bapak yang sepertinya menyadari gelagatku yang tidak nyaman.

“Ndak, Pak. Anggoro bantu bapak rawat mereka. Sekarang Anggoro sudah jadi dokter, jadi harusnya lebih mengerti, Pak…” Balasku.

Tidak mungkin aku meninggalkan bapak dalam keadaan seperti ini. Sejak kecil, bapak merawatku seorang diri setelah ibu meninggal di umurku yang masih lima tahun. Ia membiayai kebutuhanku dengan profesinya sebagai mantri yang pendapatanya tidak seberapa itu.

Walaupun rumah kami sederhana, uang kami tidak banyak, Bapak bercita-cita menyekolahkan aku hingga jadi dokter agar bisa lebih baik darinya dan bisa membantu lebih banyak orang. Sudah jelas gelar yang kumiliki saat ini adalah hasil keringatnya.

“Bapak tahu, kamu pasti lebih ngerti, Le. Tapi takutnya apa yang terjadi di desa ini belum tentu bisa ditangani oleh manusia biasa,” Balas bapak.

Aku hanya menggeleng mendengar jawaban bapak. Namun aku tak membalas pernyataan nya itu. Aku tak ingin menyinggungnya dengan tanggapanku mengenai hal-hal mistis.

Berbagai dugaan sudah berkecamuk di kepalaku. Malam itu juga aku membersihkan diri, mengenakan perlengkapanku, sarung tangan, dan masker untuk memeriksa warga desa.

Mereka semua memiliki gejala yang sama. tubuh yang kaku, bisul di telapak kaki, hingga kulit yang seperti luka bakar, hingga hitam membusuk. Saat itu aku mengurungkan niat untuk menyentuh mereka.

“Bapak..”

Aku mendekat ke arah bapak sambil mengamati beberapa bagian tubuhnya. Sepertinya belum ada gejala-gejala di tubuh bapak.

“Gimana, Le?” Mata bapak menaruh banyak harap kepadaku.

“Setelah ini kita pisahkan warga yang sehat dengan yang sakit. Besok akan saya panggil bantuan tim medis.” Aku menjelaskan pada bapak dengan serius mungkin. “Desa ini terkena wabah kusta..”

Mata bapak terbelalak mendengar pernyataanku. Sepertinya ia tidak menyangka penyakit itu akan menjangkit warga desa.

“Kamu yakin, Le? Ini bukan kutukan yang disebabkan karena itu…”

Aku menggeleng sambil melepas sarung tanganku dan menepuk pundak bapak.

“Yakin, Pak. Tidak usah khawatir tentang apa yang terjadi tujuh tahun lalu. Toh warga desa juga sudah sepakat mengambil keputusan ini…”

Bapak menghela nafas dan sedikit membuang muka. Sepertinya ia merasa tidak nyaman dengan tanggapanku.

“Kalau bukan kutukan, kenapa mereka teriak-teriak kesetanan tiap malam, Mas? Ada yang kelihatan ketakutan, ada juga yang seperti kesurupan..” Mas Sapta tidak ingin percaya begitu saja.

“Bisa jadi halusinasi. Tapi kalau memang ada faktor lain, kita harus cari tahu. Tenang saja, Itu juga kan tujuanku ke sini,” Balasku.

Aku menelpon kenalan-kenalan tenaga medis yang bisa menghubungkanku ke rumah sakit terdekat. Aku menjelaskan tentang wabah kusta yang terjadi di desaku dan meminta mereka membuat leprasorium darurat di desaku secepatnya.

Saat itu Mas Sapta menghampiri bapak dan terlihat tengah berbincang dengan raut wajah serius. Sepertinya ada yang ingin mereka sampaikan kepadaku.

“Mas Anggoro. Kalau bisa menyempatkan waktu sebentar lagi, saya dan bapak mau ngajak mas Anggoro ke suatu tempat,” Ajak Mas Sapta.

“Malam-malam gini?” Balasku.

Mas Sapta menoleh ke arah bapak, dan bapak mengangguk menyetujuinya.

“Di keadaan ini kita nggak tahu bahwa ada nyawa yang bisa melayang jika kita menunda beberapa detik saja. Jadi saya rasa Mas Anggoro harus mengetahui hal ini secepatnya..” Balas Mas Sapta.

“Bapak juga ikut, Le. Kita cuma bisa sampai kesana dengan berjalan kaki. Sambil ada yang mau bapak ceritakan juga..” Tambah Bapak.

Mendengar mereka berbicara seperti itu, sepertinya hal yang ingin mereka sampaikan adalah hal yang penting. Aku pun meminta waktu sebentar untuk bersiap-siap sementara mereka membuat obor yang akan kami gunakan untuk perjalanan kami.

***
Read 15 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(