Kejadian aneh dan seram tidak selalu menghantui tempat sepi atau terbengkalai. Hal aneh juga bisa terjadi di tempat yang ramai, bahkan cenderung selalu ada yang menghuni. Salah satunya di studio musik/band.
Dulu, ketika masih SMA saya suka nongkrong di studio musik. Bahkan sampai menginap. Beberapa kejadian aneh juga sering terjadi, yang saking seringnya jadi hal yang biasa saja. Salah satunya sering ditelpon dari pemilik rumah di lantai dua.
Kamar beliau tepat di atas studio, dan sering kali saya ditelpon. "Siapa yang main bass di studio?"
Padahal kami yang nongkrong justru sedang nonton tv sambil ngobrol. Kejadian² seperti itu sudah terlalu sering, sehingga jadi hal biasa.
Namun cerita malam ini berbeda.
"Saat Romantis"
Kisah ini sudah sangat² populer di kalangan teman² saya. Kejadiannya dialami langsung oleh Mas Rafi yang saat ini sudah berpulang mendahului kami semua.
Rafi berusia beberapa tahun lebih muda dari saya, ia adalah seorang pemain bass yang bisa dibilang mumpuni. Bahkan ketika masa sekolah, sering kali Rafi mendapat predikat 'The Best Bassist' di beberapa event musik sekolah.
Seperti halnya anak band kebanyakan, Rafi juga sering nongkrong di studio sambil santai. Sering kali Rafi yang diminta untuk menjaga studio, apalagi kalau ada penyewa. Karena pemilik sekaligus kawan kami memiliki pekerjaan lain. Saya juga pernah nongkrong di studio ini.
Studio ini berada di lantai 2. Lantai 1 gedung ini adalah kantor, di bagian belakang menuju tangga studio adalah kantin. Jadi siapa pun yang menuju studio harus lewat samping, menuju kantin lalu naik tangga di belakang.
Bagian belakang bangunan ini memang gelap, tidak dipasang lampu. Hal ini juga sering kali memberikan kesan seram. Apalagi kalau nongkrong/latihan malam hari.
Singkat saja.
Malam Minggu, biasanya studio agak sepi. Maklum, kala itu masih era²nya pacaran dan nongkrong di warung teman. Rafi yang kala itu tak punya pacar akhirnya memutuskan untuk jaga studio. Toh setelah malam Mingguan pasti kumpul.
Seperti biasa, Rafi santai sendirian sambil menggenjreng gitar sembari menonton tv tabung 14 inch di studio. Sesekali membalas twit atau chat.
Beruntung, ada satu band yang menyewa studio untuk latihan. Setidaknya ia tidak sendirian dan merasa sepi, karena ada suara dari studio.
Jam latihan selesai, Rafi kembali sendiri menunggu teman² lain datang selepas malam mingguan. Namanya sendiri, pasti bosan, lama² ada rasa kantuk.
Karena merasa matanya berat, akhirnya Rafi mengatur posisi untuk tidur. Kebetulan ia tidur di sebelah pintu studio yang tertutup.
Sebelah kiri Rafi adalah pagar pembatas tangga, kepalanya menghadap dinding pembatas studio. Sementara pintu studio ada di sebelah kanan kepalanya, dan tertutup.
Perlahan lelap, Rafi akhirnya tidur terlentang dengan handphone di atas dadanya. Tidak ada suara selain lirih volume tv yang dibiarkan menyala. Entah mengapa malam itu jalanan juga terasa sepi, tak ada bising suara knalpot kendaraan.
Belum satu jam Rafi terpejam, wajahnya terasa disentuh. Terasa geli dan gatal. Rafi sesekali menepuk dan menggaruk wajahnya. Ia merasa terganggu dengan nyamuk.
Semakin lama, wajahnya semakin gatal dan geli. Bahkan semakin intens.
Rafi terbangun, namun belum membuka kedua matanya. Ia curiga sedang diusilin, makanya masih pura² tidur. "Mungkin si Putra dah datang," dalam hati Rafi berucap.
Ia masih pura² tidur, sambil menunggu momen untuk mengagetkan Putra. Makin ia menahan diri sambil berpura² tidur, keusilan yang ia rasakan makin intens.
Mukanya semakin gatal, makin lama semakin tak bisa ditahan.
Ketika Rafi mau menangkap sesuatu yang dari tadi menggelitik wajahnya. Justru bukan tangan atau benda yang ditangkap oleh Rafi, seperti benang. Gumpalan benang.
Seketika Rafi membuka mata sambil mau berteriak "HAYO!!" pada Putra, tapi yang ada di depan wajahnya justru bukan temannya.
Kata yang ia pikirkan seketika menguap, mulutnya terkunci seketika. Pemandangan yang tak pernah ia pikirkan tersaji lengkap dan hadir begitu romantis.
Jemari Rafi bertaut dengan helai² hitam panjang. Sesuatu yang ia kira benang tadi merupakan helai² rambut hitam kasar.
Di depan matanya yang terbuka, terlihat sebuah wajah dari arah terbalik. Sama seperti adegan Peter Parker dan Mary Jane. Kepala seorang perempuan berwajah pucat dengan tulang pipi yang menonjol.
Bibirnya pucat kebiruan yang tersenyum lebar sembari kedua bola matanya yang semuanya hitam memandang lekat pada Rafi. Basah dan bau anyir dari liur yang menetes terasa di hidung dan pipi Rafi.
"Gak mungkin Putra!"
Dalam benaknya seketika terlintas, tidak mungkin kepala mereka bisa sejajar dalam posisi berlawanan.
Nalar Rafi seketika mengambil alih, ia mendongakkan wajahnya. Pucuk kepalanya masih menyentuh dinding pembatas studio, yang artinya sosok di hadapannya ini hanyalah kepala yang keluar dari dinding.
Seketika Rafi berusaha keras untuk menggerakkan tangan dan kakinya. Ketika ia berhasil, Rafi langsung meninju wajah yang ada di hadapannya, namun terasa tembus. Hanya ada hawa dingin.
Ia bangun, meraih handphone dan segera berlari menuruni tangga dengan tergesa. Dalam prosesnya menuruni tangga, suara tawa seketika terdengar lirih di telinganya
Tawa bahagia seorang perempuan yang saking senangnya sampai terkikik karena berhasil menggoda si pemuda.
Dengan nafas tersengal, Rafi menyipitkan matanya sambil meraba gelapnya belakang bangunan. Ia masih bisa mendengar tawa bahagia si sosok perempuan yang kepalanya menembus dinding.
Tanpa alas kaki, akhirnya Rafi bisa sampai di teras kantor. Mau tak mau ia harus menunggu di luar sendirian karena kunci motornya tertinggal. Ia tak berani kembali. karena ketika ia menoleh ke belakang, sosok perempuan tadi justru sudah duduk di atas kompor kantin.
Selang setengah jam, akhirnya Putra datang. Rafi langsung bercerita, kronoligi kejadian yang baru saja ia alami.
~===•••===~
Sekian cerita pendek malam ini. Selamat membaca, selamat beristirahat, dan selamat bermalam Jum'at.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sedari pergi dari peginapan, Akbar seperti memikirkan sesuatu. Bahkan ketika mereka pergi untuk makan siang dan nongkrong pun ia terlihat gelisah. Beberapa kali ia ingin berbicara tentang sesuatu namun tidak dilakukannya.
Angkringan itu terlihat sederhana namun cukup nyaman, bukan tempat yang terkesan fancy seperti café atau pun coffee shop. Piring makannya juga menggunakan anyaman rotan yang dilapisi kertas coklat untuk bungkus.
Kemal menempuh perjalanan menuju bandara diantar seorang driver ojek online yang kebetulan adalah temannya sendiri. Sayang rasanya jika ia harus naik taksi atau diantar orang lain.
Lebih baik uangnya diberikan untuk
teman sebagai tambahan modal jasa antar makanan.
Kemal menunggu sambil memijit pelan kedua kaki si mbok. Eyangnya sudah cukup tua, meskipun masih berumur 60 tahun. Gula darah dan penyakit jantung menggerogori tubuh tuanya yang kesehariannya bertani dan berladang di sawah milik tetangga.
Tidak banyak yang keluarga itu miliki di kampung. Hanya rumah sangat sederhana yang terbuat dari gedek, tiang dari bambu dan langsung beratap genteng dan berlantai tanah. Sehari-hari mereka minum dari kendi tanah liat yang membuat air menjadi sejuk.
Suasana laut malam ini terasa tenang, meskipun kadang terasa sedikit berombak. Penumpang tidur di ruangan yang dijadikan kamar bersama tumpukan barang masing-masing
Begitu pula Harti, Husin dan Rosi yang harus ikut tidur beralaskan matras tipis. Mereka ikut tidur berjejer seperti pindang di dalam ruangan yang mungkin saja di dalamnya ada copet dan pembunuh, mungkin saja.
Sesuai janji, malam ini akan dibuat thread 1 lagi. Thread berikut melompati beberapa chapter dari cerita utuhnya yang ada di @karyakarsa_id. Mungkin akan membingungkan bagi yang hanya membaca thread. Silakan disimak, silakan dikunjungi akun KaryaKarsa untuk membaca cerita utuh.
Sanaksara, Kalimantan – Desa Lapengan, Jatim, 1993
“Ron, aku intuk telegram teko njowo, jarene Mbok loro. Dadine aku arep
muleh, nak iso kowe ra usah turu kene dewean. Soale ngarep omah nek
bengi onok mbah-mbah sing ngguyu cekikikan,