NuugroAgung Profile picture
Feb 16, 2023 267 tweets >60 min read Read on X
"Kamarnya luas, bersih, harganya juga murah. Awalnya gak ada apa-apa di kamar itu, setelah seminggu tinggal, hal-hal aneh terjadi. Sampai akhirnya...." mulutnya terhenti, Tari terdiam lama.

-A Thread-

Ruang Tabu

@IDN_Horor @bacahorror_id #bacahorror Image
Halo semuanya, semoga diberikan kebaikan dalam menjalani hidup. Bertemu dengan taman lama, kala tiba di tempat saya menempuh pendidikan saat kuliah dulu, membuat kami bercerita banyak hal, sampai akhirnya teman saya ini menceritakan satu cerita yg tak masuk akal, pernah ia alami.
Sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan saat kali pertama menempati sebuah kamar kost, kamar yang membuatnya sampai terbujur kaku, hampir saja ia masuk dan mengisi sudut gelap itu.
Ini adalah pengalamannya, yang coba saya sampaikan pada teman-teman semua, semoga bisa mengambil pelajaran dari cerita ini, buang segala keburukan yang ada di dalamnya.
Dan semoga teman-teman semua selalu diberikan perlindungan di segala aktifitas yang sedang dilakukan, selalu diberikan kelancaran. Silakan yg mau meninggalkan like, RT dan QRT, silakan yang mau komen juga. Terima kasih kerena sudah membaca cerita saya. Coba sini absen satu-satu.
Okey, sudah waktunya untuk memulai.
(Semua nama disamarkan) Sebut saja teman saya ini Tari , ini adalah kali pertama ia datang ke kota besar, tujuannya untuk kuliah, ia tahu ini bukanlah tujuan yang mudah.
Tari sendiri dibesarkan oleh keluarga yang serba kekurangan, tapi itu tidak membuatnya menyerah dalam hal akademi. Tari diberkahi otak yang cerdas, ia sering sekali menjadi juara di kelasnya, beberapa lomba akademis juga sering ia menangkan.
Kuliahnya tak lepas dari buah pikirannya, ia diterima di sebuah Universitas dari jalur beasiswa unggulan. Ragu untuk meninggalkan keluarganya, namun Tari melangkah keluar pergi jauh dari tempatnya berasal.
Kini ia sudah tiba di tempatnya menuntut ilmu, dengan biaya terbatas ia harus menekan biaya hidupnya, kost murah, makan murah, dan tentunya mencari teman yang bisa diajaknya prihatin, bukan teman yang mengajaknya berfoya-foya,
karena tujuannya sekarang adalah belajar dan lulus dengan cepat. Beruntungnya Tari tidak sendiri saat berada di tempatnya merantau menuntut ilmu, Resti salah satu teman sekolahnya juga masuk Universitas yang sama, tapi bukan melalui jalur beasiswa, melainkan jalur reguler.
Singkat cerita Tari akhirnya bisa mendapatkan tempat untuk tidur dan berteduh, dengan bantuan Resti, akhirnya Tari bisa mendapatkan kos yang murah, kos itu terdiri dari enam kamar, dari luar nampak seperti rumah biasa, tapi setelah masuk,
ternyata di belakang rumah itu ada beberapa kamar yang memang dipersiapkan untuk kost khusus putri, bangunan kosnya sendiri bergabung dengan rumah pemilik kos. Tari masuk dari pintu samping yang berupa lorong panjang dan langsung menuju ke belakang rumah pemilik kos. Image
Bangunan kos itu berbentuk leter U, di tengahnya ada tanah kosong, berisikan pot tanaman dan satu sumur. Banguan sumur itu tepat berada di depan kamar Tari. Ruangan yang luas, lingkungan yang asri, harga sewa yang murah,
membuat Tari tak berpikir dua kali untuk segera mengambilnya, “Ruangan ini lebih bagus dari pada kamarku di rumah, aku pasti betah di sini...” ucap Tari dalam batin. Sebelum menempati kamar itu pemilik Kos yaitu Pak Tanto sudah menceritakan,
bahwa kamar yang ditempati Tari ini sudah lama kosong, harga murah memang sengaja untuk memancing agar kamar itu terisi semua, karena menurut Pak Tanto, hanya tinggal kamar itu saja yang belum terisi, entah karena apa,
Pak Tanto juga tidak menceritakannya pada Tari. Tapi cepat atau lambat, semuanya akan segera terjawab sendiri, akan diketahui oleh Tari.
Seminggu sudah Tari berada di kota itu, ia merasa betah dengan keadaannya saat ini, Tari kini akrab dengan teman satu kosannya, Mita. Kebetulan Mita juga kuliah di kampus yang sama namun dia lebih dulu masuk, dua tahun di atas Tari.
Malam itu ada hal yang tidak di sadari oleh Tari, hari Kamis, malam Jumat Kliwon, saat hujan turun dengan deras, membuat Tari sendirian di kamarnya, teman-teman satu kosnya belum juga tiba, terhalang hujan yang turun mengguyur wilayah tempat Tari tinggal.
Adzan magrib berkumandang, sayup-sayup suaranya masuk, Tari yang mendengar, langsung keluar dari kamarnya, berniat mengambil air wudhu di tempat cuci baju yang bersebelahan dengan kamar mandi umum.
Kala itu suasana rumah kos sangat sepi, terlihat tak ada orang sama sekali, bahkan lampu di lorong belum ada yang menyalakannya. Tari bergegas menutup pintu kamarnya, melangkah menuju tempat cuci baju, sembari menyalakan lampu saat ia melintas,
“Suwun..” (“Terima kasih...”) terdengar suara dari arah belakang Tari,

“Nggeh Mbak, sami-sami, baru pulang kampus Mbak?” (“Iya Mbak, sama-sama, baru pulang dari kampus Mbak?”) tanya Tari, yang di balas hening, Tari terdiam beberapa saat,
sampai akhirnya ia membalikkan badan ke belakang, tak ada satu orang pun di hadapannya saat ini, kini Tari hanya terdiam, suara yang tadi ia dengar benar-benar mirip suara Mita.
Tak mau tenggelam terlalu lama, Tari segera berbalik badan, melangkahkan kakinya bergegas untuk mengambil air wudhu.
Doa setelahnya ia panjatkan, segera ia kembali berjalan ke kamarnya, masih dengan keadaan santai, Tari tak begitu memikirkan kejadian barusan, baginya mungkin hanya halusinasi.
Setelahnya ia segera memakai rukuhnya, melaksanakan Sholat Magrib dengan khusyuk, hingga di rakaat akhir ia mengucap salam, menolehkan kepalanya ke sebelah kiri “ Astagfirullah...” ucapnya, lalu segera membalikkan wajahnya ke sebelah kanan.
Ia terdiam, menutup matanya. “Tok-tok-tok...” suara pintu terdengar diketuk dari luar, Tari masih terdiam, ia tidak berani memalingkan wajahnya, rasa takut seakan menghantui pikirannya, ada sesuatu yang mengganggu saat ia menoleh ke sebelah kiri,
arah jendela dengan tirai terbuka. “Tok-tok-tok...” suara pintu diketuk kembali terdengar, Tari masih belum punya nyali memalingkan wajahnya.
“Si...siapa di luar?” tanya Tari dengan suara setengah ketakutan.

“Tar...ini Mita, kamu udah makan belum, aku bawakan nasi goreng...” jawab Mita yang ternyata sudah tiba, kini ia berdiri di depan pintu kamar Tari.
Mendengar hal itu, ia segera merapikan rukuhnya, melipat kembali sajadahnya, lalu keluar menemui temannya.
“Oalah Mita, tak kira siapa..., maaf lama, habis magriban tadi...” ucap Tari

“Nopo Ri, koe wedi yo dewean?” (“Kenapa Ri, kami takut ya sendirian?”) tanya Mita kembali dengan nada datar.

“Wedi opo, gak ono opo-opo kok Mit...” (“takut apa, gak ada apa-apa kok Mit..”)
“Eh, makasih loh udah bawain nasi goreng, pas banget, udah ambil sendok sama piring belum?” Tanya Tari yang dibalas Mita dengan gelengan kepala.

“Yowes, aku ambilkan dulu piring sama sendok, masuk Mit, makan di kamarku aja...” Ucap tari yang segera berlalu ke arah dapur.
Tari berjalan mengitari sumur yang ada di tengah kosannya, tak mau membuat Mita menunggu lama di dalam kamarnya, sesegera mungkin Tari mengambil peralatan yang dibutuhkan untuk makan.
Sesampainya di dapur, Tari langsung mengambil apa yang sendok dan piring, tak lupa ia juga mengisi botol air minum yang sudah kosong. Setelah selesai dengan kegiatannya itu, Tari bergegas kembali ke kamarnya.
Langkahnya ia percepat, perutnya lumayan lapar, sampai akhirnya dari arah lorong menuju pintu keluar ia dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba melintas di depannya.
“Astaghfirullah, kaget aku Mit, ngapain kamu di sini...?” tanya Tari penasaran.

“Yee, makane Tar, ndelok-ndelok nek lagi mlaku, ngopo tah kesusu?” (“Yee, makanya Tar, liat-liat kalau lagi jalan, kenapa sih buru-buru?”) ucap Mita yang keheranan melihat tingkah temannya.
“Loh kok malah tanya, yo aku ambil sendok sama piring ini loh buat makan nasi goreng...” ucap Tari dengan wajah bingung.

“Oalah udah beli makanan to, padahal tak beliin bakso ini, kan enak hujan-hujan gini makan Bakso...” terang Mita.
“Sek Mit, gak lucu ini, kamu itu tadi yang beli nasi goreng loh, kok bisa-bisanya malah beli bakso lagi?” cecar Tari pada temannya.
“Loh, aku gak beli nasi goreng, aku tuh baru pulang dan bawa bakso buat makan kita kok, opo to Tar? Kok gak jelas gini e...?” ucap Mita yang mulai kebingungan dengan situasi saat ini, mendengar penjelasan dari Mita,
tiba-tiba tubuh Tari ambruk, ia terduduk di lantai, wajahnya penuh ketakutan, ia tak tahu lagi harus berbicara apa pada temannya ini.

“Kenopo to Tar? Kamu kenapa kok malah duduk dilantai, malah nangis gini, ada apa Tar?” ucap Mita yang kaget dengan sikap Tari
“Mit, ini bener kamu kan Mit? Bener kan?” ucap Tari sesenggukan.

“Iya ini aku Tar, opo to Tar, jangan bikin aku takut loh... “ ucap Mita dengan wajah penuh pertanyaan.
“Kalau ini benar kamu, lalu yang di kamarku itu siapa Mit....?” pertanyaan dari Tari semakin membuat Mita kebingungan dengan apa yang ingin disampaikan oleh temannya. Ia pun meminta Tari untuk lebih tenang terlebih dahulu, agar apa yang disampaikannya bisa ia mengerti.
“Ayok, melu nang kamarku...” ucap Tari singkat, kemudian ia membawa Mita ke kamarnya, terlihat tak ada orang lain di dalamnya, hanya kasur dan beberapa perkakas milik Tari yg terdapat di dalamnya. Tiba-tiba angin bertiup kencang dari luar, dinginnya seperti menampar kulit mereka.
“Kosong Tar, ada apa sih, kamu kenapa sebenarnya?” Mita masih belum juga mengerti dengan kondisi saat ini, dengan apa yang sebenarnya dialami oleh Tari.
“Kamu itu tadi udah datang ke kamar, bawa nasi goreng, makanya aku ke dapur ambil piring sama sendok, terus aku papasan sama kamu di depan lorong pintu keluar, kalau sekarang yang di depanku ini Mita, lalu yang tadi datang sebelum kamu itu siapa Mit? “ ucap Tari yang -
-kini tengah duduk di atas kasurnya, terdiam sambil terus memegangi bantal, tatapannya kosong, tampak jelas ketakutan di raut wajahnya, Mita hanya bisa terpaku sesaat setelah mendengar apa yang barusan dialami temannya, bulu kuduk Mita seakan berdiri,
ia yang kini duduk di depan Tari, menoleh ke belakang, Mita merasakan seperti ada orang yang sedang mengawasinya, tapi saat melihat ke arah pintu, tak ada seorang pun yang berada di sana, hanya pintu yang sedikit terbuka,
dengan pemandangan malam dan kilatan cahaya petir di saat hujan mulai mereda. Mereka berdua akhirnya makan bersama, mencoba untuk bersikap biasa saja dengan apa yang barusan di alami oleh Tari, tawa di wajah Tari mulai muncul,
Mita terus berusaha menghibur temannya untuk tidak terus larut dalam kesedihan. Namun satu hal yang belum disadari oleh Tari, malam itu dan seterusnya akan menjadi sesuatu yang berbeda darinya.
Setelah merasa lebih baik, akhirnya Tari mencoba untuk memberanikan diri, berfikir mungkin apa yang dialaminya ini hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Akhirnya Mita bisa kembali ke kamarnya untuk beristirahat, sedangkan Tari yang kini sudah lebih tenang,
sudah bisa ditinggal oleh temannya. Suasana kos saat itu mendadak ramai, banyak dari yang lainnya sudah pulang dari tempat mereka berkegiatan. Suasana kos yg tadi sepi kini berubah jadi lebih hangat dengan kedatangan menghuni lainnya. Tari merasa segalanya sudah membaik saat ini.
Malam semakin larut, bunyi binatang malam terdengar jelas di sekitaran kos. Tari sudah membersihkan diri, sudah bersiap untuk menuju alam mimpi.
Ia tak lagi memikirkan kejadian sebelumnya, bercerita dan bercanda dengan penghuni kos lain, membuat Tari dengan mudah melupakan kejadian ganjil kala magrib tadi.
Detak jam terdengar jelas, Tari sudah terlelap di balik selimut, alarm di jam tangan Tari berbunyi, tanda waktu sudah berada di pertengahan malam, kos begitu hening, penghuninya sudah terlelap tidur, tanpa terkecuali.
Namun ada sesuatu yang ganjil di sini, sayup-sayup Tari seperti mendengar ada bunyi dari arah sudut kamarnya, tepat di sekitaran lemari. Bunyi itu awalnya terdengar lirih, hingga akhirnya bunyi itu semakin kencang mengagetkan Tari.
Ia bangun dengan mata terbelalak, lalu Tari melihat ke segala arah, tak ada apa-apa yang terjadi saat ini, tak ada suara yang ia dengar lagi, keheningan dan kesunyian menemaninya saat ini.
“Ya Allah, apa aku hanya mimpi ya tadi?” ucapnya dalam hati, hingga tiba-tiba pintu lemari terbuka sedikit, deritnya terdengar jelas di keheningan malam, membuat Tari mengarahkan pandangannya ke arah lemari, tiba-tiba saja, "kreeeeeaaakk..." dari sela pintu yang sedikit terbuka,
Tari bisa melihat dengan jelas, ada sesuatu yang keluar dari dalam lemari, perlahan menunjukkan wujudnya. Satu tangan dengan kuku hitam keluar, ia seperti berjalan layaknya laba-laba dengan jari-jarinya, perlahan ke arah tari,
tangan itu seakan memanjang lalu memegang salah satu kaki Tari. Tari yang melihat hal gila ini tak bisa berkutik, ia hanya diam, membeku seakan dibekap dinginnya malam, wajahnya kaku,
matanya terus melihat ke arah lemari tempat tangan itu keluar, lambat laun air keluar dari kedua mata Tari, ia hanya menangis meringis tanpa suara.
“NDUUUUK, RENE KANCANI AKU...” (“NDUUUKK, SINI TEMANI AKU...”) suara itu terdengar jelas di telinga Tari, ia kini seperti tersudut, menggelengkan kepalanya berkali-kali.
“GELEM YO NDUK NGANCANI AKU...?” (“MAU YA NDUK MENEMANI AKU...?”) ucap makhluk itu tepat di sebelah telinga kiri Tari, tak kuat lagi dengan hal ganjil yang terjadi saat ini, Tari teriak sekuat tenaga, meronta meminta bantuan sebisanya.
“TARI KAMU KENAPA TAR? TARI BUKA PINTUNYA!!!” ucap salah seorang dari luar sambil mengetuk pintu kamarnya, beberapa saat kemudian. Mendengar suara itu, Tari membuka matanya perlahan, ia tak temukan apapun di sekitarnya. Pintu terus diketuk,
Tari segera beranjak dari tempatnya terdiam, segera ia membuka pintu, di depan kamarnya kini berdiri Mita dan dua orang lainnya.
“Kenapa sih Tar kamu teriak-teriak malam-malam gini, kamu kenapa?” tanya Mita dengan wajah penuh keheranan.

“Anu Mbak, maaf, tapi...” jawab Tari yang kebingungan harus dari mana ia bercerita tentang kejadian aneh yang baru saja ia alami.
“Iya kenapa to? Ada apa, kamu lagi banyak tugas dan pikiran atau gimana sampai teriak-teriak malam-malam, bikin kaget loh Tar...” pungkas salah satu teman yang datang bersama Mita.
“Yang bener dong Tar, kita kan yang lagi istirahat terganggu, jangan gitu lagilah, yo wes sudah malam, ngantuk tau, besok aku kuliah pagi...” ucap teman yang lainnya. Dua orang di samping Mita segera bergegas pergi ke kamarnya,
Tari juga melihat ada beberapa teman yang mengintip dari sela pintu yang sedikit terbuka, mencari tau apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Sedangkan Mita masih berdiri menatap heran keadaan temannya yang saat ini masih terdiam dan tak bisa menjawab pertanyaannya dengan jelas.
“Kamu kenapa Tar, ngomong yang jelas, barangkali aku bisa bantu...” ucap Mita dengan lebih lembut dan terus mencoba menenangkan Tari.

“Tadi Mit, ada yang....”
belum juga dari menjelaskan kejadian sebenarnya, matanya menangkap sesuatu seperti muncul dari dalam sumur yang ada di depan kamarnya, sosoknya hanya terlihat setengah kepala, hanya terlihat rambut bagian atas,
ia seperti ingin menampakkan diri. Hal ini membuat Tari langsung tak bisa melanjutkan perkataannya, sekali lagi ia merasa kaku, lalu perlahan tangan kanannya ia angkat sejajar dada, menunjuk ke arah belakang Mita.
Mita yang melihat tingkah aneh Tari, langsung menoleh ke belakang, tak ada apapun yang ditemui Mita, hanya sumur tua yang ditutup, atasnya terdapat pot yang berisi tanaman hias.
“Weh Tar, ngopo to koe? Ono opo sebenere Tar?” (Weh Tar, ngapain sih kamu? Sebenarnya ada apa sih Tar?”) ucap Mita yang merasa kebingungan dengan sikap aneh Tari,
tiba-tiba Tari menangis, ia langsung memeluk Mita, tangisnya pecah, ia mencoba menahan suaranya agar tidak mengganggu yang lainnya.
“Mit, aku wedi, ono sing nganggu Mit, ono demit neng kamarku...” (Mit, aku takut, ada yang ganggu Mit, ada hantu di kamarku...”) ucap Tari yang sambil terus memeluk Mita.
“Yowes, aku tak turu kamarmu, tak kancani ya...?” ucap Mita sambil terus menenangkan Tari. Setelahnya Mita masuk ke kamar Tari, menemaninya, Tari nampak lebih tenang dari sebelumnya.
Jam terlihat pukul satu dini hari, sudah selarut ini, namun kejadian barusan masih membekas di ingatan Tari, dengan paksa Tari terus mencoba memejamkan mata, sebisanya.
Tari terbangun, ia duduk di kasurnya, menyibak rambutnya, lalu segera bangkit dari tempatnya tertidur. Mita tak ada di kamar, mungkin ia sudah pergi ke kamarnya atau berkumpul di meja makan bersama yang lainnya.
Tari lekas keluar setelah selesai merapikan tempat tidur, kemudian ia langsung bergabung dengan teman satu kosan yang masih membicarakan Tari.

“Pagi semua...” Sapa Tari pelan
“Pagi Tar, sini duduk sek... kita semua di sini penasaran kenapa kamu semalam teriak-teriak...” ucap Rani salah satu dari penghuni kos. Tari bergegas duduk setelah mengambil satu gelas air putih, lalu meminumnya perlahan.
“Semalam, aku yakin itu nyata bukan mimpi, kamar itu, di lemari ada orang, tangannya panjang sampai megang kakiku...” ucap Tari lalu menceritakan semua yang ia ligat malam itu, semuanya yang ada di situ terdiam, heran dengan apa yang telah dialami oleh Tari.
“Aku gak kaget, dulu pernah kaya gitu...” Ucap Rani sambil terus mengunyah biskuit yang ada didepannya. Semuanya makin terdiam.

“Maksudnya gimana Mbak?” tanya Mita
“Aku udah lama ngekos di sini, tau alasannya kamarnya Tari harga sewanya murah?” ucap Rani yang dibalas dengan gelengan semua penghuni kos yang ada di meja makan.
“Orang yang tinggal di kamar itu selama seminggu, pasti dapet kejadian aneh, dulu pernah ada yang begitu, sampai akhirnya kamar itu kosong lama...” ucap Rani melanjutkan ceritanya.
“La kenapa bisa seperti itu Mbak?” tanya Tari penasaran.

“La gak tau kok tanya sy, gak paham aku Tar, banyakin doa aja, lumayan kalau bs bertahan di kmr itu, pengeluaran sewa tmpt jadi lebih murah..” jawab Rani sambil cengengesan, lalu memakan biskuit yg ada di hadapannya lagi
“Anu mbak, saya juga mau tanya?” ucap Sinta, penghuni Kos yang kamarnya tepat di sebelah Tari.

“Tanya apa Sin?” ucap Tari
“Mbak, kamu suka nyanyiin lagu jawa ya, lagu jawa lama? Aku sering dengar dari ruanganmu soalnya mbak, biasanya pas tengah malam mbak...” pungkas Sinta yang dibalas dengan kerutan di dahi Tari.
“Aku aja gak hafal lagu jawa macam campursari Sin, apalagi lagu jawa kuno, yang bener ah kamu...?” jawab Tari.
“Tenan mbak, beneran, aku sering dengar ada suara orang nyanyi malam-malam dari kamarmu, kecuali semalam, itu kamu teriak-teriak...“ Jawab Sinta membuat semua yang berada di meja makan hening.
Tak ingin terus pembicaraan tersebut Tari pun pergi ke tempat cuci pakaian, ia berniat membilas pakaiannya yang sudah ia rendam semalaman. Saat ia mengangkat celana panjang nampak jelas ada luka lebam berwarna keunguan di kakinya.
“Tar kakimu kenapa? Kamu habis jatuh?” ucap Mita yang terkejut melihat kaki Tari

“Ya Allah kenapa ini kakiku?” seru Tari yang kemudian jongkong memeriksa kakinya.

“Sakit Tar, kok sampai ungu gitu sih? Serem banget...” ucap Rani
“Gak sakit, tapi kenapa ya kok ungu gini...?” ucap Tari sambil terus mengingat-ingat apakah dirinya pernah terjatuh tapi tak sadar, sampai akhirnya Tari mengingat sesuatu, ia mengingat peristiwa semalam.
Tari tak memikirkan apa yang terjadi pada kakinya, ia segera melakukan kegiatan seperti biasanya. Tak ada sakit yang ia rasakan, pikirnya lukanya akan hilang dengan sendirinya. Hari berlalu begitu cepat, tiga hati setelah kejadian ada hal aneh yang dirasakan oleh Tari berlanjut,
kini luka lebam di kakinya seakan menyebar perlahan, bercak ungu seperti menjalar di sekitar luka, membuat Tari khawatir akan hal ini. Sampai akhirnya ia jatuh sakit, tak bisa bergerak dari tempatnya tidur.
***
“Res, tolong aku, aku gak bisa kemana-mana, aku sakit Res...“ tulis Tari di layar handphonenya, mengabarkan pada teman SMA-nya tentang kondisi tubuh Tari saat ini.
Resti yang menerima pesan dari Tari segera bergegas pergi ke tempat kosnya, kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh, masih di sekitaran kampus. Setelah tiba di kamar Tari, Resti segera memeriksa kondisi tubuh temannya, yang ternyata sangat panas saat ia memegang kening Tari.
“Bawa ke dokter ya? Bandamu panas banget ini Tar... “ ucap Resti setelah sampai kamar Tari.

“Res, apa gara-gara ini?“ Tari menyibak selimut, dan kini dengan jelas bercak berwarna ungu ini sudah menyebar dari semula di atas mata kaki, menjalar ke atas hampir sampai ke lutut .
“Kenapa ini Tar? Kok kakimu banyak ungu-ungu gini, kamu infeksi atau keracunan tah? “ tanya Resti panik melihat kondisi kaki temannya.
“Gak tau, habis dipegang sama yang keluar dari lemari, jadi kaya gini... “ Jawab Tari datar sambil mengarahkan pandangannya ke lemari yang terletak di salah satu sudut kamarnya.

“Opo to, yang di lemari? Maksudmu opo? “
“Demit Res, beberapa hari yang lalu, aku diganggu sama demit, aku yakin itu gak mimpi, nyata banget...“ Jawaban Tari membuat Resti melongo,
ia setengah tak percaya dengan perkataan temannya, Resti adalah tipikal orang yang tak percaya hal semacam itu, baginya segala hal yang berkaitan dengan mistis itu hanya halusinasi saja.
“Wah udah parah sakitmu, ayolah aku bawa ke dokter, kebetulan aku bawa mobil sekarang...“ ajak Tari buru-buru. Mereka berdua akhirnya berjalan ke klinik terdekat, memeriksakan kondisi Tari.
Jauh dari orang tua di tanah rantau memang bukanlah hal mudah, mandiri, bertahan, dan mampu melewati semuanya sendiri menjadi hal yang harus ditanamkan oleh mahasiswa dan mahasiswi yang berkuliah jauh dari tanah kelahirannya.
Sesampainya di klinik, Tari diperiksa setelah mengantri menunggu giliran. Dokter yang memeriksa Tari hanya mengatakan, kondisi Tari saat ini lemas karena kelelahan, mungkin karena kegiatan awal di kampusnya.
Namun firasat Tari berkata lain, ia yakin kejadian sebelumnya erat kaitannya dengan sakit yang ia rasakan saat ini. Dokter juga tak berkomentar banyak soal bercak ungu yang ada di kakinya, ada dugaan Tari alergi makanan tertentu, tapi dalam batin,
Tari menolak itu, ia tidak ada riwayat alergi makanan tertentu, ada hal yang tidak biasa terjadi padanya.
Setelah selesai dari memeriksakan Tari, mereka berdua pulang ke rumah kos Tari, setelah sekian lama kali ini Tari bertemu dengan Bapak Kost yang sedang memeriksa tanaman hiasnya di halaman tengah yang berdekatan dengan sumur depan kamar Tari.
“Dari mana Mbak Tari? Kok rapet banget pakai jaketnya?” sapa Pak Tanto, pemilik Kos dengan senyum ramah di wajahnya.

“Iya Pak, lagi gak enak badan saya...” balas Tari dengan senyum tipis di wajahnya.

“Loh, sakit Mbak? Udah ke dokter belum?” tanya Pak Tanto kembali
“Iya Pak, gak enak badan..., anu Pak, mau tanya, kamar ini sudah kosong berapa lama ya? ucap Tari masih memegang gagang pintu kamarnya, Resti hanya terdiam memperhatikan mereka berdua berbicara.
“Udah lama Mbak, ada tiga tahunan, kenapa Mbak? Betah kan kan Mbak di sini?” tanya Pak Tanto dengan wajah yang penuh rasa penasaran.
“Be...tah Pak, mudah-mudahan betah Pak, ya sudah Pak, saya masuk dulu...” balas Tari, Pak Tanto hanya mengangguk pelan, Resti menangkap sesuatu dari ekspresi Pak Tanto, ia merasakan jika ada rasa heran dan bingung, terlihat jelas di wajah Pak Tanto.
“Res, aku mau minta tolong, gak apa-apa kan aku repotin?” ucap Tari memohon.

“Apa Tar, kalau ada yang bisa tak bantu bakal tak bantu...”
“Temenin aku di sini Res, tidur di sini, aku takut Res....” sekali lagi Tari memohon, membujuk Resti untuk menemaninya tidur malam ini.
Resti melihat wajah Tari begitu diselimuti ketakutan, rasanya seperti ada yang mengancam, Resti yang melihat itu, tidak bisa membiarkan temannya sendirian saat ini, akhirnya Resti mengiyakan permintaan Tari.
Matahari sudah tenggelam lama, sinarnya diganti gelap gulita yang menyelimuti malam. Resti dan Tari baru saja menyelesaikan makan malam, mereka berdua sudah bersiap untuk istirahat,
Tari tidur di tempatnya sebuah busa panjang yang dilapisi karpet agar tak langsung menempel dengan lantai, sedangkan Resti tidur di karpet tebal yang ada disampingnya, tempat tidur anak kos pada umumnya. Kost malam itu terasa sepi, penghuninya sudah mengunci kamar masing-masing,
beristirahat dan terlelap jeratan sang mimpi. Namun itu semua tak dirasakan Resti, ia merasakan hawa panas di sekitaran kamar Tari, kipas angin tak mempu menghilangkan rasa gerahnya, anehnya, Tari begitu nyenyak dalam tidurnya,
entah karena efek paracetamol atau memang ia sudah kelelahan dengan hari ini, namun panas kamar Tari sampai membuat Resti melempar selimut yang sebelumnya membalut tubuh. Ia merasa tak lagi membutuhkannya, kerana malah menambah panas tubuhnya.
Resti mencoba terus memejamkan matanya, ada yang bergerak di sekitaran kakinya, Resti benar-benar merasakan sentuhan itu. Ia terbangun, melihat sekitar, tak ada siap pun di sana, hanya temannya yang kini masih disampingnya,
tidur begitu nyenyak. Resti menyadari sesuatu, selimut yang tadinya ia buang ke samping, entah bagaimana caranya kini menutupi bagian bawah kakinya,
“Mungkin gak sengaja kena kakiku... tapi kok?” ucapnya dalam batin, tak mau terus memikirkan hal itu, Resti menyingkirkan kembali selimut di ke samping tempatnya tertidur.
Hawa panas masih dirasakan Resti, ia gelisah dalam tidurnya, bergonta-ganti posisi mencari yang pas dan nyaman menurutnya, dari menghadap kanan, tengkurap, ke kiri, dan kembali ke posisi semula.
Suara guntur menyambar tipis malam itu, terdengar di telinga Resti, rintik hujan perlahan turun ke bumi, suaranya berubah menjadi gemuruh di atas atap, hujan malam ini turun cukup deras.
Resti mulai merasakan nyaman dalam tidurnya, hawa dingin malam yang diguyur hujan ia rasakan, sejuk seperti menyelimuti tubuhnya, sampai akhirnya ia merasakan tetesan air mendarat di wajahnya.
“Duh Gusti, apalagi ini, bocor atapnya?” ucap Resti lirih sambil menghapus air yang jatuh di wajahnya. Selang beberapa lama ia tak merasakan lagi, Tari memiringkan badannya, mengambil guling yang ada di sampingnya lalu memeluknya, tetesan itu turun kembali mengenai telinganya,
Resti kesal ia membuka matanya, lalu menghadap ke arah langit-langit kamar, mencari dari mana air itu turun. Namun bukan itu yang ia temukan, tetesan itu kembali jatuh mengenai bagian atas matanya, membuatnya menutup mata sesaat,
sebelum akhirnya ia mengusap apa yang barusan jatuh mengenai wajahnya, ia bisa melihat jelas saat ini, apa yang ada di tangannya, warna merah, bau anyir darah, membuatnya terbangun.
Langit-langit itu terus meneteskan darah turun di sekitaran Resti, bukan air akibat atap yang bocor, matanya terbelalak melihat tangannya yang kini penuh dengan bekas darah berwarna merah, ia bangkit mencoba membangunkan temannya yang kini tertidur pulas.
“Tari, bangun Tar, ini ada darah, darah siapa Tar, Tari, bangun!!!” ucapnya buru-buru terus menggerakan tubuh Tari yang kaku tak bergarak.
Tari bangun, bukan lebih tepatnya, perlahan Resti melihat tubuh temannya melayang, ia mundur melihat kejadian aneh itu, matanya masih terbelalak melihat tubuh temannya melayang, masih dengan posisi yang sama saat ia tertidur.
“Koe sopo Nduuk? Arep opo neng panggonku?” (“Kamu siapa nak? Mau apa ditempatku?”) terdengar suara dari arah Tari yang masih melayang, perlahan Resti melihat tubuh Tari berubah posisi, dari tertidur menjadi berdiri.
Ketakutan begitu menyelimuti Resti, ini kali pertama ia melihat keganjilan tepat di hadapannya, membuat seluruh tubuhnya bergetar, Resti berusaha mengucap apapun, ingin berteriak meminta pertolongan,
berharap akan ada yang mendengarnya dan segera menolongnya, namun usahanya sia-sia, ia sama sekali tak bisa menggerakan bibirnya.
“Jane koe ki sopo Nduk? Ameh ngopo awakmu rene?” (“Sebenarnya kami ini siapa Nduk? Mau apa kamu ke sini?”) suara itu terdengar lagi, tepat berasal dari arah Tari. Kini Resti melihat Tari melayang dengan posisi badan setengah berdiri,
setelahnya ia melihat tubuh Tari layaknya dijatuhkan dari atas. “BUUUUGGG” suara itu terdengar jelas, Resti memundurkan tubuhnya kembali, di belakangnya tepat ada lemari yang tiba-tiba pintunya terbuka, “BRAAAAKKKK!!!” suaranya keras,
membuat Resti tersentak, ia menoleh ke belakang, hanya tumpukan baju yang masih tersusun rapi di lemari tua, yang berdiri kokoh di sudut ruangan. Pandangannya ia balikan lagi melihat temannya, yang kini terbujur tak berdaya di atas tempat tidur.
“Amit Mbah, kulo mboten bade ganggu...” ucap Resti dengan bibir bergetar, tiba-tiba suasana menjadi hening kembali, lalu tepat dari belakang tubuhnya, ia merasakan ada sesuatu yang bergerak mendekat.
Ujung matanya kini bisa melihat, sepasang tangan dengan kuku yang hitam, tepat mendarat di kedua bahunya, memegang erat tubuhnya. Resti hanya bisa terus mengatur nafasnya yang sesak, ia menangis, sekuat tenaga ia berteriak
“TOOO....” belum juga Resti berucap, tangan itu kini menutup mulutnya rapat, mati-matian Resti melepaskannya, seluruh tubuhnya ia gerakan, kakinya terus mengejang.
Kini matanya menangkap sesuatu dari arah depan, Tari terbangun, tiba-tiba ia seperti bersenandung, entah apa yang ia nyanyikan, terdengar seperti tembang jawa kuno yang bahasanya sulit dimengerti oleh Resti,
kini Tari terdiam setelah mengucapkan satu kalimat terakhir yang didengar oleh Resti “ Among ing Pati...” tiba-tiba Tari meloncat ke arah Resti, memegangi pundaknya,
“KOE MEH OPO NENG KENE NDUK??!!” (“KAMU MAU APA DI SINI NDUK??!!”) teriak Tari keras, tangan yang sedari tadi menutup mulut Resti hilang, Resti berteriak sekuat tenaga
“TARI JANGAN TAR, TOLONG, TOLONG, TOLONG!!!” teriak Resti sekuat tenaga, sebelum lehernya di cengkram oleh temannya yang kini entah dikendalikan oleh siapa, rambut Tari memutih, giginya menghitam, matanya terus tertutup,
ia berteriak-teriak. Tangan resti memukul-mukul lemari di belakangnya, menimbulkan suara gaduh di malam itu, membuat semua penghuni kost-nya keluar,
“DAAAKK, DAAAK,DAKKK!!!” bunyi keras terdengar dari arah pintu kamar Tari, lalu kemudian pintu itu terbuka didobrak paksa oleh pemilik kos.
“YA ALLAH TARI, TAR ISTIGHFAR TAR, TARI, TARI!!!” teriak Mita yang langsung masuk, bebarengan dengan itu, Pak Tanto mencoba memisahkan Tari yang terus menyerang Resti, yang kini tersudut di depan lemari.
Dengan semampunya, kini Pak Tanto seperti sedang membacakan sesuatu, kening Tari terus ia pegang, dengan tangan kirinya, Tangan kanannya ia angkat ke atas, lalu dengan cepat Pak Tanto usapkan ke wajah Tari,
kini Tari ambruk tak sadarkan diri, menyisakan pertanyaan pada anak kost yang berkumpul di depan kamarnya.
“Mbak, kenapa Mbak, kok sampai kayak gini?” ucap Mita langsung menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Resti.
“Mbuh Mbak, Tari kesurupan, aku gak tau kok bisa gini Mbak...” ucap Resti yang masih sesak mengatur nafasnya, sesekali ia terbatuk, di leher Resti nampak jelas bekas cekikan yang memerah, tanda Tari mencekik Resti sekuat tenaga. Pak Tanto masih membacakan sesuatu.
“LUNGO,LUNGO, SING WES MATI ORA GANGGU SING URIP!!!” (PERGI, PERGI, YANG SUDAH MATI TIDAK MENGGANGGU YANG MASIH HIDUP!!!) ucap Pak Tanto dengan nada keras, seperti sedang menangkal kekuatan jahat yang ada di dalam tubuh Tari.
“Mbak Mita, minta tolong ambilkan air di baskom, petik beberapa daun kelor yang ada di dekat sumur, minta tolong Mbak Mita...cepat!!!” ucap Pak Tanto.
Mita yang mendengar itu segera berlari ke arah sumur, tak peduli lagi dengan hujan yang turun, ia secepat mungkin mengambil daun kelor yang ada. Tiba-tiba telinganya menangkap sesuatu yang asing,
“Tulung Nduk, tulung aku...Nduk, tulongono aku...” (“tolong Nduk, tolong aku.. Nduk, tolong aku...”) suara itu terdengar persis dari arah dalam sumur.
Tak ingin menanggapi hal itu, Mita segera bergegas ke arah dapur, mengambil baskom dan mengisinya dengan air, lalu membawanya ke kamar Tari.
Suasana di kamar Tari begitu mencekam, Tari masih belum sadarkan diri, sedangkan Resti masih menangis yang terus ditenangkan oleh Sinta dan Dian, yang lainnya masih terus melihat kejadian aneh yang baru saja terjadi.
Mita langsung meletakkan baskom yang sudah diisi air, Pak Tanto memerintahkan Mita untuk segera memasukan daun kelor ke dalamnya, daun kelor dipercaya orang zaman dulu mampu mengusir sihir dan menangkal kiriman santet atau ilmu hitam.
Tidak hanya menangkal ilmu hitam, banyak juga yang percaya kalau daun kelor bisa melunturkan kesaktian orang jahat. Percikan air daun kelor konon juga bisa mengusir makhluk halus. Pak Tanto kemudian mengambil sapu tangan di tangannya, lalu m memasukkannya ke dalam baskom,
kemudian menyeka wajah, tangan, dan kaki Tari, mulutnya terus bergumam sesuatu yang tidak dimengerti oleh semuanya, sesaat kemudian Tari membuka kedua matanya.
“Nduk, sudah gak ada apa-apa Nduk, Ibu sepertinya sudah pergi...” ucap Pak Tanto membantu Tari bangkit dari tidurnya, dan terduduk melihat semuanya terkumpul.

“Wonten nopo niki pak?” (“Ada apa ini Pak?”) ucap Tari yang kebingungan.
“Apa yang kamu rasakan tadi? Badanmu sakit tidak?” Pak Tanto balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Tari.
“Pak, tadi saya mimpi Pak, saya lihat perempuan tua datang pada saya, ngajak saya masuk pintu, yang di dalamnya gelap, gelap banget, pintunya, mirip dengan pintu kamar ini...” Jawab Tari, Pak Tanto mengangguk, seakan mengerti dengan apa yang dikatakan Tari.
“Lalu apa yang kamu lihat lagi?” lanjut Pak Tanto bertanya.

“Ada perempuan, duduk di tengah ruangan itu, sepertinya seusia dengan saya...” Jawab Tari, sekali lagi, Pak Tanto mengangguk mendengar jawaban dari Tari.
“Ternyata njenengan masih di sini Bu, belum puas juga dengan apa yang dulu pernah njenengan lakukan pada kami...” Ucap Pak Tanto lirih, yang masih bisa bisa terdengar oleh orang yang berada di dekatnya.
Tari memuntahkan sesuatu, cairan kental berwarna hitam keluar dari mulutnya, kaki kirinya berubah warna, tak ada bercak lagi, tapi kini dari mata kaki sampai lutut kulitnya berubah hitam.
“Pak Tari kenapa Pak?” teriak Mita yang terus memandang Tari, sesaat tak ada jawaban keluar dari mulut Pak Tanto, ia juga ikut terpaku melihat kondisi Tari saat ini.
“Mba Tari, saya gak bisa menceritakannya sekarang, tapi sebelum terlambat, luka Mbak Tari harus segera diobati...” ucap Pak Tanto dengan nada bergetar.

“Ya sudah Pak, obati Tari sekarang, tolong teman saya Pak...” ucap Resti setengah teriak.
“Gak bisa di sini, ini bukan sakit biasa, Mbak Tari harus ikut saya, menemui seseorang, yang berada di ujung bagian selatan Pulau Jawa...” jawab Pak Tanto datar.

“Kenapa Pak? apa gak bisa dibawa ke dokter?” tanya Mita
“Gak bisa Mbak, ini bukan sakit biasa dan sekali lagi, saya tdk bisa menceritakannya sekarang, Mbak Tari, malam ini jg harus segera dibawa ke rumah beliau..” Jawab Pak Tanto, berdiri sembari menunggu jawaban dari Tari, yg masih lemas setelah mengeluarkan darah kental dr mulutnya.
“Bawa saya Pak, tolong sembuhkan saya, tolong Pak...” ucap Tari memohon. Malam itu juga, Tari dibawa oleh Pak Tanto, untuk menemani dalam perjalanan, Mita dan Resti ikut mengantar Tari.
Malam itu, di tengah hujan yang masih turun, Pak Tanto, Tari, Mita dan Resti berangkat, menggunakan mobil. Kilat petir sesekali keluar, seperti menyambut mereka semua, jalanan yang harus dilewati saat itu berbeda dengan saat ini, yang bisa ditempuh dengan jalan TOL.
Jalanan saat itu, melewati beberapa hutan, berkelok, dan berbukit, jalanan yang licin karena hujan, seakan sempurna menambah kengerian perjalanan malam itu.
“Pak ceritakan pada kami, sebenarnya ada apa? apa yang bapak rencanakan, saya sudah menghubungi orang tua Tari Pak, kalau Bapak macam-macam, Bapak gak akan selamat...” ucap Resti mengancam Pak Tanto, yang terus melihat jalan, yang berada di depannya.
“Saya gak ada maksud apa-apa, saya gak ada maksud untuk mencelakai Mbak Tari, gak ada niat itu sama sekali...” ucapnya pelan

“Lalu kenapa teman saya jadi seperti ini Pak, sekarat, sakit gak jelas seperti ini...?” ucap Resti lagi.
“Mbak saya konsentrasi nyetir dulu, Mbak percaya saya, saya gak akan mencelakai kalian bertiga, tolong percaya saya, demi kesembuhan Mbak Resti, ini harus cepat ditangani, kalau terlambat....” Pak Tanto menghentikan ucapannya, wajahnya terlihat memikirkan sesuatu.
“Kenapa Pak? kenapa kalau terlambat?” tanya Resti memburu.

“Nyawa Mbak Tari, gak akan ketolong Mbak...” jawab Pak Tanto, membuat hening semuanya yang berada di mobil.
Mendengar jawaban itu, Resti dan Mita hanya bisa menelan ludahnya, tak disangka nyawa temannya saat ini benar-benar dalam bahaya, Resti mencoba percaya dengan Pak Tanto, namun ia tetap waspada, karena ini kali pertama Resti pergi ke tempat asing, bersama orang asing.
Tari masih terbaring di kursi belakang, kepalanya masih dipegangi oleh Resti, Mita di depan dengan Pak Tanto, mereka semua terjaga satu sama lain, namun tatapan Tari tampak kosong, sedari tadi ia hanya terdiam, tak bersuara. Entah karena lemas, atau karena sesuatu yang lain.
Tanpa terasa setengah perjalanan sudah mereka tempuh. Gapura selamat datang menyambut mereka, tanda perjalanan sudah sampai di kota lain. Hujan rintik masih terus turun, Pak Tanto membawa mobilnya dengan sangat hati-hati, karena kondisi jalan yang masih naik turun dan licin.
“Saya gak mau, saya gak mau, tolong lepaskan saya....” ucap Tari mengigau, keringatnya keluar deras, suhu badannya meninggi. Resti masih terus mengusap wajah, tangan, dan kaki Tari, dengan air yang dicampur daun kelor.
“Sebentar lagi sampai, ditahan ya Mbak, saya usahakan secepatnya...” Jawab Pak Tanto, dari raut wajah Pak Tanto tampak rasa khawatir akan keadaan Tari, semua itu terlihat jelas di mata Mita, yang sedari tadi mengajak bicara Pak Tanto, agar dia tidak mengantuk saat perjalanan.
Tiba-tiba saja, jalanan menjadi terang, padahal sedari tadi gelap gulita, hanya lampu mobil yang menyorot jalan, satu-satunya cahaya yang menuntun mereka.
“Ini mobil di belakang pakai lampu jauh ya, terang banget bikin silau..” ucap Resti

“Iya Pak, agak minggir Pak, kayaknya dia mau lewat...” tambah Mita
“Enggak Mbak, yang mau lewat bukan mobil...” jawab Pak Tanto, membuat Mita dan Resti saling pandang, merasa ada yang aneh dari jawaban Pak Tanto.
“Jangan kaget sama yang mau lewat Mbak, di daerah ini, di sepanjang jalan lurus di tengah hutan jati ini, memang sering muncul kalau malam...” tambah Pak Tanto, seketika cahaya yang terang itu bergerak maju, perlahan mendahului mobil mereka.
Mita dan Resti terbelalak, melihat hal ganjil di hadapan mereka saat ini. Sebuah bola api, melaju mendahului mereka, cahaya merah, menerangi sekitaran, bola api itu terus terbang di depan mobil yang mereka kendarai, berjalan ke arah yang sama.
Halo semua, maafkan krn cerita ini tertunda beberapa hari. Ada hal yang harus saya selesaikan di luar sana, mari kita lanjut lagi ceritanya, siapkan apa yg perlu disiapkan, terima kasih untuk yg sudah membaca.

Ruang Tabu - Dilanjutkan

@IDN_Horor @bacahorror_id #ceritahoror
“Mbak, jangan panik , kalau panik dia bakal nyerang kita, sing tenang ya mbak, di tahan...” ucap Pak Tanto memperingatkan.

“Itu apa Pak?”tanya Mita dengan wajah penuh ketakutan
“Fokus, terus berdoa Mbak, nanti saya jawab...” Pak Tanto terus mengendarai mobil, kecepatannya perlahan ia kurangi, seperti mempersilahkan bola api itu berjalan dahulu.
Lambat laun, sosok itu menjauh, lalu melesat cepat ke depan, perlahan cahayanya menghilang, ditelan gelap malam yang pekat, kabut tebal tiba-tiba saja turun, mengganggu pandangan sesaat, kini mereka berjalan sendiri lagi, di tengah hutan jati yang sepi.
“Pak, wau niku nopo Pak?” (“Pak, tadi itu apa Pak?”) tanya Resti lirih

“Banaspati, salah satu sosok hantu penunggu hutan ini, bentuknya bola api, kalau kita teriak, takut, panik dia akan berbalik mengejar dan menyerang kita...” ucap Pak Tanto, menjawab pertanyaan Mita.
“Gusti, sebenarnya kita mau dibawa ke mana sih Pak? kok lewat tempat wingit kayak gini...?” ucap Resti, wajahnya tampak khawatir kali ini.
“Ke rumah paman saya, beliau yang bisa mengobati Mbak Tari, saya belum mampu kalau harus berurusan dengan hal ini...” jawab Pak Tanto tenang.
“Mbak percaya sama saya, saya gak akan mencelakai kalian, ini bentuk tanggung jawab saya pada penghuni kost, salah saya, yang membuka kamar itu dan menyewakannya...” ucapnya lagi.
Mobil terus melaju tenang, jalanan yang masih basah membuat lajunya lambat melewati sebuah jembatan yang berdiri kokoh, Pak Tanto beberapa kali membunyikan klakson sebelum melewatinya.
Malam semakin larut saja, dari balik pepohonan yang berjajar terasa seperti ada yang mengawasi kedatangan mereka. Resti menatap ke arah keluar, dari balik bayangan pepohonan yang berjajar rapi,
ia merasakan sesuatu, beberapa kali ia seperti melihat dua titik merah dari kejauhan, membuat ia bergidik ngeri. Mobil tiba-tiba melambat, sampai akhirnya berhenti,
“Pak,kenapa ini pak? kok berhenti? Mogok tah Pak?” tanya Mita, Pak Tanto hanya terdiam, pandangannya terus melihat ke arah depan, seperti ada sesuatu yang ia perhatikan.

“Pak, mogok tah mobilnya, duh gusti, Pak kok diam aja?” tanya Resti panik
“Diam mbak, kita berhenti sebentar...” ucap Pak Tanto setengah berbisik

“Kenapa to Pak? ayok jalan, biar semua cepat selesai...” timpal Mita
“Mbak, sebentar, ada yang mau lewat...” ucap Pak Tanto sambil mengarahkan pandangannya ke depan, yang diikuti oleh Mita dan Resti.
Sayup-sayup dari kejauhan terdengar sesuatu, seperti benda keras yang saling diadu, kabut putih tiba-tiba turun dari posisi hutan sebalah kanan, perlahan menuju jalan.
“Teeekkk, kreeteeeek, kreeteeekk, teeekk, teeekkk...” suara itu terdengar jelas, walaupun mereka semua masih berada di dalam mobil. Tak lama, sosok itu muncul dari dalam hutan, menyeberang secara bergerombol, melintas dari sisi kanan ke sisi kiri.
Mata mereka semua tertuju ke arah depan, melihat kejadian aneh yang terjadi di jalan, entah jumlahnya berapa, mereka semua bisa melihat dengan jelas, gerombolan tengkorang manusia berjalan beriringan, benar-benar berjalan berkelompok, bunyi tulang yang beradu terdengar jelas,
Mita tak kuat lagi melihat kejadian itu, ia segera menutup matanya sedangkan Resti dan Pak Tanto masih tak bergeming, hingga akhinya gerombolan tengkorak itu selesai menyeberang jalan.
“Niku nopo Pak? apa itu” tanya Resti sambil menoleh ke arah Pak Tanto. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Pak Tanto, ia segera memasukan persneling, gas dan kopling ia injak, mobil segera berjalan, menembus kabut putih yang hampir memudar.
“Pak, apa tadi pak?” tanya Resti kembali

“Ada yang bilang, mereka adalah korban, yang di cor hidup-hidup saat pembangunan jembatan, dijadikan tiang panjang sebagai syarat jembatan itu akan tetap kokoh berdiri...” jawab Pak Tanto.
“Pak ini kita ke tempat yang bener kan Pak? udah ngeri banget Pak, saya ga kuat...” keluh Mita.

“Iya, Paman saya memang tinggal di dekat hutan, ia melakukan lelaku, menghindar dari hiruk pikuk duniawi, setelah sebelumnya ia hampir celaka...” Pak Tanto terdiam tak melanjutkannya
“Celaka karena apa Pak?” tanya Mita penasaran

“Saya gak bisa menceritaknnya, kita fokus saja mbak, sebentar lagi sampai...” ucap Pak Tanto sambil terus fokus melihat ke depan. Mita dan Resti hanya bisa saling pandang, mereka mengangguk terpaksa untuk setuju.
Mobil kini membelok ke sebuah jalan kecil yang di depannya berdiri sebuah gapura batas desa. Jalannya masih berupa batu yang ditata rapi, mobil berjalan lambat. Selanjutnya mobil masuk ke pekarangan luas, di depannya ada sebuah rumah kayu berwarna coklat,
dengan sinar lampu kuning yang menyinarinya. Rumah itu tampak kesepian di tengah rimbun pohon jati di kiri dan kanannya. Pak Tanto turun dari mobil, berjalan ke arah pintu rumah tersebut,
Mita dan Resti bisa melihat, tak lama Pak Tanto mengetuk pintu, muncul sosok orang tua menggunakan baju surjan dengan motif lurik, rambutnya panjang, berwarna putih, dengan jenggot panjang yang warnanya tak jauh beda dengan rambutnya.
Dari kejauhan Resti dan Mita melihat mereka berdua saling berbicara, tak lama setelahnya, buru-buru Pak Tanto membalik badannya, berlari kecil ke arah mobil, setelahnya ia mengabarkan kepada Resti dan Mita, untuk keluar, membawa Tari juga.
“Endi bocahe To? Kok iso nganti kecolongan maneh?” (“Mana anaknya To? Kok bisa sampai kecolongan lagi?”) ucap Paman dari Pak Tanto, di ruang tamu sederhananya, yang dikenal dengan nama Pak De Roji.
“Niki Pak De, kaki kirinya sudah menghitam, apa masih bisa disembuhkan?” ucap Pak Tanto sambil menunjuk Tari yang masih terduduk lemas, dengan keringat yang terus mengucur di seluruh tubuhnya.

“Kapan kejadiannya?” tanya Pak De Roji
“Tengah malam tadi Pak De...” Jawab Pak Tanto, ia lalu mengangguk seperti paham dengan situasi yang akan dihadapinya. Pak De Roji kemudian bergegas menuju belakang, mengambil beberapa barang yang memang dbutuhkannya.
Setelah dirasa cukup, ia kemudian keluar menemui Pak Tanto dan ketiga anak perempuan itu.
Hujan kembali turun dengan deras, malam kian larut, beberapa jam lagi pagi akan tiba, Tari kemudian di baringkan di sebuah amben, papan yang terbuat dari kayu, Pak De Roji sudah menyiapkan segalanya,
di dekat amben terlihat ada baskom yang berisi air yang sudah dicampur kembang setaman, di baskom satunya ada air yang sudah dicampur dengan daun kelor.
Pak De Roji kemudian mengikat tangan dan kaki Tari yang dikaitkan ke empat sudut amben tersebut. Tari kini meronta kesakitan, berusaha melawan, namun Pak Tanto dan Pak De Roji kini selesai mengikatnya.
“Pak, Tari mau diapain? Kok sampai kaya gini?” tanya Mita dengan tatapan penuh ngeri.

“Loh Pak ini namanya kekerasan, saya bisa laporin Bapak kalau caranya kaya gini...” ucap Resti yang begitu panik.
“Mbak Resti, Mbak Mita, maaf hanya cara ini yang bisa dilakukan, sebelum pagi tiba Mbak Tari harus disembuhkan, kalau tidak, nyawanya tidak tertolong lagi, sekali lagi saya mohon berikan saya waktu untuk menyembuhkan Mbak Tari, -
- saya janji setelah ini akan saya jelaskan semuanya...” ucap Pak Tanto, Mita dan Resti hanya terdiam, mereka berdua tak tahu lagi harus melakukan apa.
Pak De Roji mengeluarkan sebuah belati yang di bagian ujung gagangnya terlihat seperti ada patung kecil yang sedang berjongkok. Kemudian Pak Tanto menutup seluruh tubuh Tari dengan jarik, menyisakan kepalanya saja.
Bagian kaki yang terluka ia buka, memperlihatkan kaki kiri Tari sdh menghitam jika dibandingkan pertama kali dilihat Mita. Kemudian Pak De Roji mengangkat baskom berisi air yg dicampur dgn daun kelor, ia mencipratkan di sekitaran tubuh Tari, kini Tari meronta terlihat kesakitan.
“Perih Pak, perih...!” ucap Tari yang tak bisa apa-apa karena kedua tangan dan kakinya diikat mulutnya bergerak seperti sedang membacakan sesuatu, setelahnya ia ambil air itu di tangannya, diusapkan sebanyak tiga kali ke bagian wajah Tari.
Tari yang sedari tadi meronta, kini terdiam dengan mata tertutup, ia terlihat tenang. Pak De Roji kemudian mengambil baskom yang berisi air yang dicampur dengan bunga setaman, hal yang sama ia lakukan lagi, mencipratkan air itu ke seluruh badan Tari,
lalu mengusap wajahnya kembali sebanyak lima kali. Tiba-tiba saja, angin bertiup begitu kencang dari arah luar, membuat pintu rumah Pak De Roji terbanting keras mengagetkan semua yang ada di sana.
Tiba-tiba saja mata Tari terbuka, melotot menatap langit-langit rumah, senyum menyeringai nampak jelas di wajah Tari, ia meronta sekuat tenaga, sampai sesekali membuat amben sedikit terangkat ke atas, hingga akhirnya ia kembali terdiam.
“Tanto....Tanto... ini Ibu Le, kamu harus lepaskan Ibu...Tanto...” ucap Tari yang terus memanggil nama Pak Tanto, suaranya terdengar asing, seperti bukan suara Tari yang Mita dan Resti kenal.

“Tanto....”
“Bu, ini sudah bukan dunia Ibu, ini sudah bukan ranah Ibu, Ibu harus membayar karma yang sudah Ibu lakukan...” ucap Pak Tanto terus memandangi Tari.
“Bocah iki kudu melu aku To....aku butuh konco maneh!!!” (“Anak ini harus ikut aku To... aku butuh teman lagi!!!)” ucap Tari yang meracau tak jelas, membuat ngeri seisi rumah.
Kini Mita dan Resti tau, yang dilihat adalah Tari, tapi yang ada di dalamnya mereka tak tahu, hanya saling bertanya, kenapa Pak Tanto memanggilnya Ibu.
“Ampun, Ibu sampun mbekta kathah malapetaka, sampun kedahipun ibu nanggung karma...(“Jangan, Ibu sudah membawa banyak malapetaka, sudah seharusnya Ibu menanggung karma...”) ucap Pak Tanto sembari mengisyaratkan kpd Pak De Roji untuk segera menjalankan apa yg seharusnya dilakukan.
Pak De Roji memegang kaki kiri Tari, ia menempelkan pisau yang kini tengah ia genggam, tanpa menunggu lama ia langsung merobek bagian belakang kaki Tari yang membuatnya meronta kesakitan, memberontak.
Tari berteriak sekuat tenaga, sampai membuat amben yang ia tempati bergetar hebat. Darah kental berwarna hitam keluar dari kaki yang kini menganga akibat sobekan pisau Pak De Roji, darah itu jatuh tepat di sebuah wadah yang sudah dipersiapkan sebelumnya, mengucur deras ke bawah.
Perlahan warna kulit kaki Tari yang menghitam berubah, ia masih terus meronta sampai akhirnya suara teriakan dari Tari menghilang, seiring dengan darah hitam yang berganti merah, saat itu juga Pak De Roji menempelkan pisau belatinya di luka yang terus mengeluarkan darah.
“Tanto gak sayang Ibu ta?” ucap Tari pelan.

“Maaf Ibu, hanya ini yang bisa saya lakukan, saya tidak ingin ada lagi nyawa yang melayang...” ucap Pak Tanto sambil terus mengusap wajah Tari, ia kini tak sadarkan diri.
Pak De Roji menutup kaki dan wajah Tari dengan jarik, setelahnya ia mencipratkan sisa air bunga setaman dan juga air daun kelor ke seluruh tubuh Tari, mulai dari atas kepala hingga ujung kaki sampai habis.
“Pak Tari kenapa? Kenapa ditutup kain seperti rang mati Pak?” tanya Resti yang panik.

“Gak apa-apa, temanmu sudah selamat...” ucap Pak De Roji tenang.
Tak lama kemudian tubuh Tari tersentak hebat, hingga membuka sebagian kain jarik yang tadi menutupinya, nafasnya kembali, ia merasakan sesak yang begitu berat di dadanya.
Ia seperti orang yang terbangun dari tidurnya, setelah mimpi buruk yang menyerang. Tari kini duduk, melihat sekitar, ia seperti linglung, bingung dengan keadaannya saat ini.
“Res, Mbak Mita... kita ada dimana? Pak... Pak Tanto?” ucap Tari lemas.

“Alhamdulillah Mbak, kamu sudah kembali....” sambut Pak Tanto dengan senyum tipis di wajahnya.
“Tari ya Allah Tar, kamu kenapa kok sampai kaya gini...?” ucap Resti

“Yang penting sekarang Tari sudah sadar Res...” ucap Mita
“Sebenarnya ini kenapa to Pak? kami bingung dengan keadaan ini...” timpal Resti, mendengar pertanyaan Resti, Pak Tanto hanya terdiam, sembari ia berjalan menuju kursi kayu dekat jendela, ia nampak bingung untuk memulai ceritanya.
Kokok ayam terdengar jelas, suasana hening, semua menunggu Pak Tanto membuka mulutnya, menepati janjinya untuk menjelaskan semuanya.
“Ceritakan saja To, ceritakan saja tentang Ibumu, tentang adikku yang sudah salah jalan...” ucap Pak De Roji. Semua orang masih memandangi Pak Tanto yang terus memainkan jari-jemarinya, keraguan itu terlihat jelas.
Angin pagi berhembus, kedatangannya membawa bau tanah yang tersiram air hujan malam tadi, membuat suasana semakin sunyi, setelah kejadian janggal yang terjadi.
Pak De Roji membuka kain jarik yang menutupi Tari, luka di kakinya yang tadi terbuka, kini hilang tanpa bekas, semua yang melihatnya heran, Tari yang sedari tadi tidak sadarkan diri, tidak tahu kalau kakinya disayat dan mengeluarkan darah yang begitu banyak.
“Loh Pak Kok lukanya hilang?” tanya Mita dengan wajah bingungnya.

“Tadi bukan kulit Nak Tari yang saya iris, kulit yang sudah berwarna hitam itu, adalah kulit sosok yang masuk perlahan ke tubuh Nak Tari...” ucap Pak De Roji
Resti lalu mengajak Tari untk mengganti pakaian yg basah, stlh selesai, mereka berdua kemudian kembali lagi, duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu, mrk tampak penasaran dgn apa yg akn diceritakan oleh Pak Tanto. Setelah terdiam skp lama, Pak Tanto akhirnya membuka mulutnya.
“Kamar Mbak Tari, dulunya digunakan oleh Ibu sebagai tempat pemujaan, dulu kami adalah keluarga yang kaya dan terpandang, segalanya ada, segalanya didapat. -
-Ibu menukar jiwa dengan harta yang tak ada habisnya, hingga akhirnya Ibu pergi Mbak, mati dengan keadaan yang menjijikan di dalam kamar pemujaannya....” ucap Pak Tanto tenang.
“Maksudnya kamar itu bekas ritual pesugihan?” tanya Resti heran, Pak Tanto hanya bisa mengangguk, sebagai jawaban atas pertanyaan Resti.

“Di kamar itu adalah tempat pemujaan, sedangkan di sumur itu adalah tempat mereka yang sudah mati dibuang....” lanjur Pak Tanto
“Siapa yang ditumbalkan?” tanya Mita

“Orang-orang jalanan yang diangkat sebagai pembantu, jika waktunya tiba, Ibu akan menumbalkan mereka, tak ada yang mencurigai, -
- karena Ibu selalu bilang, pembantunya kabur entah kemana pada tetangga yang bertanya...” Pak Tanto menyalakan rokoknya, ia menyebulkan asapnya ke atas.
“Pak Tanto, apa ibu adalah perempuan muda yang ayu? Yang duduk di tengah ruangan gelap itu? Tanya Tari.
“Maksudmu apa tar? Perempuan ayu?” tanya Mita
“Iya, aku melihat dua perempuan, yang satu dengan rambut putih dan berwajah menyeramkan, sedangkan satunya duduk diam, masih muda...” ucap Tari
“Itu adik saya Mbak, dia juga akhirnya dikorbankan Ibu disaat beliau tidak bisa memberikan tumbal sesembahan untuk yang beliau sembah, keluarga saya penuh dosa Mbak...” tutup Pak Tanto dengan air mata yang kemudian keluar membasahi pipinya.
Suasana menjadi sunyi, kicau burung pagi itu terdengar jelas, perlahan cahaya sang mentari masuk mulai menyinari.
“Pak, saya sempat ajak adik Pak Tanto berbicara, saya ajak untuk keluar dari ruangan gelap itu saat pintu terbuka...” ucap Tari sambil meminum segelas teh hangat yang diambil oleh Pak De Roji.

“Lalu apa katanya mbak?”
“Dia menolak, dia bilang.... aku di sini saja, menemani Ibu yang kesepian...” Jawab Tari pelan, menutup kejadian gila yang berlangsung semalam suntuk. Pengalaman ini, membuat mereka bertiga tahu alasan knp kamar yang Tari tinggali tak pernah ada yang pernah sanggup untuk tinggal.
Pak Tanto juga menceritakan, sebelumnya kamar itu sudah “dibersihkan” oleh orang yang dianggap mampu, tujuannya agar bisa ditinggali, tapi ternyata hasilnya nihil. Tari bercerita, Pak Tanto tidak ada niat sedikitpun untuk mencelakai orang-orang yang tinggal di kost-nya,
ia hanya ingin memulai semuanya dari awal, harta yang ditinggalkan Ibunya sudah menghilang, seperti habis secara tak masuk akal, uang yang didapat dari hasil jual tanah warisan juga habis tak tersisa, seperti angin yang berlalu begitu cepat.
Rumah itu adalah yang tersisa, ia ingin menggunakannya sebagai mata pencaharian.
Kejadian ini membuat Tari dan yang lainnya tidak serta merta membenci Pak Tanto, ia kemudian pindah, Mita masih berada di kost itu saat Tari pergi.
Kamar yang dulunya dipakai Tari diratakan dengan tanah, sumur tua itu juga dihancurkan, membuat halaman kost tersebut menjadi lebih luas. Tak ada gangguan yang berarti di kost Pak Tanto sampai saat ini.
Hanya saja kadang ada yang pernah bercerita, melihat perempuan yang duduk sendiri di bangku taman bekas kamar Tari yang dihancurkan itu.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with NuugroAgung

NuugroAgung Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @nuugroagung

Feb 18
Pertama kali aku melihatnya duduk diatas sumur tua yang di dalamnya sdh ditimbun tanah. Entah apa, tapi perlahan dia seperti mulai mengikutiku. Mereka menyebutnya
MERAH PENUNGGU ASRAMA
tak kuat menanggung aib, dia mengakhiri hidupnya di sumur itu.
A Thread
#bacahorror @IDN_Horor
Image
Image
Panggil saja ia Rumi, teman yg kemudian membagikan ceritanya saat mondok di salah satu pesantren dulu. Dia mengalami hal ganjil saat kali pertama masuk.
Hai aku Rumi, panggil saya seperti itu. Aku adalah salah satu santriwati yang baru masuk asrama pesantren yang ada di suatu tempat. Aku tak bisa menyebutkannya karena takut ceritaku ini menyinggung banyak pihak.
Read 87 tweets
Jan 1
Ngerinya pelet, bikin korbannya tunduk. Sudah jadi boneka yang dimainkan oleh pelakunya. Orang-orang seperti ini memang fakir kepercayaan diri, inginnya memang serba instan, menghalalkan segala cara.

Jimat Rambut Pemikat
A Thread

#bacahorror #rambutpembawamaut
@IDN_Horor Image
Ini adalah cerita yang dialami oleh Wulan, bukan nama sebenarnya. Pikirannya dirasuki laki-laki yang tak diinginkannya. Hatinya menolak keras, tapi entah bagaimana caranya melawan laki-laki ini. Dia selalu hadir di setiap detik hidupnya, pikirannya, bahkan leluasa dalam mimpinya.
Halo, aku Wulan, panggil saja begitu. Aku akan menceritakan hidupku yang hampir dihancurkan oleh seorang laki-laki biadab yang tak bertanggung jawab. Dia membuatku jadi setengah gila, bahkan hampir saja aku menghabisi ibu yang telah melahirkanku. Image
Read 72 tweets
Dec 3, 2023
"Ada yg bilang, sumpah dari orang yang sakit hati, akan terus berjalan hingga mati..."

“RANDAPATI” lanjutnya. Aku terdiam, menatap bapak, yang akhirnya mau bercerita, sambil menunjukan ini.

-A Thread-
#bacahorror Image
Bapak membuka obrolan malam itu, setelah aku bertanya kembali, bagaimana kita semua akhirnya bisa diterima untuk tinggal dirumah itu. Rahasia yang selama ini disimpan,  akhirnya berani beliau ceritakan, terkait seorang perempuan.
Sebelumnya aku pernah membawakan cerita, saat menempati sebuah rumah, disewa dengan harga murah, diambil karena terpaksa. Ditambah ada kabar dari para tetangga yang menceritakan.
Read 116 tweets
Sep 12, 2023
Desa geger tengah malam, beberapa warga berjalan kencang, bunyi kentongan ditabuh, hampir semua warga desa keluar rumah, membawa obor, senter apapun alat yg bisa untk petunjuk gelap. Ada yg bilang, kepala Ki Rangan hilang.

PENGANUT ILMU SESAT
-a thread-
#terorpocong #bacahorror Image
Para warga yang sedari tadi berkumpul, mulai meninggalkan makam satu persatu. Esok harinya berita ini menjadi perbincangan banyak orang di pasar.
Kebetulan hari itu adalah Jumat Kliwon, dimana Pasar Kliwon akan ramai orang yang berbelanja dari berbagai desa. Ki Rangan memang sudah tiada, tapi ancamannya seperti masih membekas di ingatan para warga desa.
Read 100 tweets
Mar 30, 2023
Sosok Ketiga kini hadir ditengah-tengah rumah mereka, entah bermaksud apa, entah ingin menyampaikan apa. Namun kedatangannya hanya membawa kemalangan, memberikan ketakutan pada penghuninya.

-A Thread-

KUBUR RAGA
Sosok ketiga penghuni taman belakang

@bacahorror_id
#bacahorror Image
“Ini aib mas, berat sebenarnya untuk saya ceritakan, tapi jika tidak saya ceritakan, nantinya akan ada orang-orang yang mungkin mengalami nasib seperti keluarga saya” ucap Surya, seseorang yang saya temui beberapa bulan lalu.
Beliau menceritakan pada saya tentang kisahnya, yang menyeret salah satu anggota keluarganya ke dalam jurang kematian. Tepatnya 10 tahun yang lalu, peristiwa itu terjadi. Dendam itu membuat segala kebusukan menyeruak ke permukaan, membuka semua rahasia.
Read 203 tweets
Mar 26, 2023
Motor bebek melaju kencang, menembus gelap malam, melewati lampu jalan yg jarang. Nardi, perasaannya tak karuan saat perjalanan pulang kali ini. Rasanya seperti ada yg sedang mengikuti tpt di belakang.

-A Thread-

ALAM LAIN PABRIK KAIN

@IDN_Horor @bacahorror_id
#bacahorror Image
Hai, apa kabar semua? Semoga selalu rahayu ya? lancar melaksanakan ibadah puasanya bagi yang menjalankan. Lama juga saya tidak bercerita di sini, maaf kegiatan lagi banyak-banyaknya. Tapi saya mencoba untuk bisa meluangkan waktu, bercerita di rumah ini.
Beberapa waktu lalau dapat cerita dari seseorang, yang menceritakan pengalamannya saat mengalami kecelakaan, ada sesuatu yang ganjil dirasakan saat kejadian itu terjadi. hal tersebut nampak nyata. jika saja ia tak lolos sasat itu,
Read 127 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(