Karena Adis tak suka tidur dalam suasana yang gelap sedangkan aku tak bisa tidur jika lampu menyala. Jalan tengahnya pintu kamar kami biarkan terbuka jadi masih ada cahaya untuk Adis dan tak terlalu silau. Aku sudah hampir terlelap, namun bisikan lirih mencegahku.
"Mas, amben-nya berisik ya?"
"Iya ... Gak apa-apa." Aku yang sudah letih pun bicara tanpa berniat membuka mata. Lelah!
Memang sedikit saja kami bergerak, suara 'krit-krit' langsung bernyanyi. Apalagi suasana di rumah ini benar-benar senyap.
"Mas?"
"Hmm"
"Udah tidur?"
"Belum, kenapa?"
"Kerjaan Mas di sini apa?"
"Belum tahu, tapi waktu tanda tangan kontrak katanya jadi pengawas gitu"
"Pengawas tebu?"
"Belum tahu."
"Mas ngantuk ya?" suaranya semakin lirih dan menjauh.
"Ya."
"Mas ...." Bisiknya lagi.
"Apa dis?"
"... Mas?" Semakin lirih.
"Iya?"
"... Mas ...." Semakin menjauh.
"Iya!"
"MAS ANDRA!"
Dia berteriak sekencang mungkin tepat di depan wajahku. Terang saja aku tersentak dan menegur Adis, namun detik itu juga aku mengurungkannya. Dia sudah mendengkur. Lalu siapa yang mengajakku bicara?
Aku melihat ke arah pintu yang terbuka. Semakin lama suasana jadi tak nyaman, seolah ada yang mengintipku dari sana, aku segera menutupnya dan kembali berbaring. Tak lama kantukku datang.
Sedetik lagi aku terlelap namun lagi-lagi aku terjaga karena derap langkah kaki seseorang. Dahiku mengernyit dan memperhatikan dari bawah pintu, bayangan seseorang hilir mudik sepanjang lorong. Maling?
Aku bangun setenang mungkin, memang dasar ranjang tua, suara berdenyit membuat bayangan itu berhenti tepat di depan pintu. Sepertinya ia menyadari jika aku terbangun. Sambil berjingkat-jingat aku mendekat, bayangan itu masih berdiri di sana. Baru saja beberapa jam di rumah ini
masa sudah di satroni maling? Aku kan belum gajian.
Dia masih berdiri di depan pintu, secepat kilat aku membukanya. Dan kosong! Benar-benar tak ada siapapun. Padahal aku yakin sekali dia masih berdiri di sana. Lalu siapa?
Kampretlah! Aku yang kesal kembali menutup pintu dan tertidur.
"Adis, Mamas berangkat ya?"
"Ho'oh, Mamas mengko balek'e jam piro?" Adis mencium punggung tanganku. Aku terdiam cukup lama, mencoba memahami ucapan Adis. Oh!
"Belum tahu, Adis di rumah saja, nonton TV atau putar lagu Ratih Purwasih, Mamas sudah siapin tinggal pencet, bisa kan?"
"Iyo iso lah, ndak usah khawatir. Mamas ati-ati ngeh, Alon-alon asal kelakon."
Aku mengangguk dan mencium keningnya mirip adegan sinetron. Wanita berdaster itu berdiri di depan pintu, melepasku yang berangkat kerja. Kira-kira dia berani tidak ya? Apalagi semalam ...
Ah sudah! gak usah mikir aneh-aneh, aku hanya lelah.
Di pinggir jalan Mas Bambang sudah datang menjemputku dengan mobil semalam.
"Monggo Pak." Pria Jawa yang sedikit lebih tua dariku itu sudah siap di balik kemudinya.
"Ya Mas, ayo berangkat," ucapku sambil menutup pintu mobil. Dari kaca spion aku memperhatikan Adis berbalik masuk ke dalam rumah. Semoga saja dia betah, toh semua ini demi masa depan kami juga.
Memang dasarnya Mas Bambang ini ramah, sepanjang jalan kami berbincang ringan.
"Piye Pak Andra semalam tidurnya?"
"Yah gitu Mas, karena tempat baru gak langsung nyenyak. Tapi jangan panggil Pak, saya agak sungkan dengarnya"
"Lho yo jangan toh Pak. Sampeyan kan sudah jadi atasan saya."
"Gimana?" Aku sedikit tak mengerti ucapannya.
"Semalam Mbah Santo lupa bilang sama sampeyan, kalau saya sopir Pak Andra mulai hari ini. Jadi kalo Bapak mau pergi urusan dinas atau urusan pribadi bisa sama saya."
"Oh begitu. Ya sudah terima kasih ya Mas. Mohon bantuannya."
"Enjeh Pak."
Wah aku tak menyangka jika langsung dapat fasilitas mobil dinas lengkap dengan sopirnya.
"Mas, rumahnya di sini banyak ya?" Tanganku menunjuk barisan rumah yang agak jauh, jumlahnya lebih banyak dengan ukuran lebih kecil. Susunannya rapi dan seragam.
"Enggih Pak, di sini ada macem-macem bloknya, sesuai sama jabatan masing-masing. Nah Pak Andra kan bos, jadi tinggal di komplek jajaran direksi," terang Mas Bambang.
"Oh ... Gitu ya Mas."
"Enggih Pak."
Dari hitungan cepatku jumlah rumah di sini sekitar hampir dua ratusan. Atap-atap asbes berkilau tertimpah matahari pagi. Sepanjang jalan mobil berpapasan dengan para pekerja yang lalu lalang, mereka juga mulai berangkat ke kantor masing-masing.
Beruntung semalam habis hujan, jadi jalan masih basah dan tak berdebu.
"Karyawan di sini berapa banyak Mas?"
"Kalo ndak salah sekitar 1.000 orang Pak."
"Wah! Banyak ya?"
"Iyo banyak Pak. Tapi rata-rata mereka ngelaju dari kampung, tempat yang kita lewati semalam."
"Perkampungan pribumi itu?"
"Iyo Pak, itu kelihatannya saja sepi, padahal kalo masuk ke dalam penduduknya juga banyak."
"Tapi itu kan jauh pak? Kita saja semalam naik mobil satu jam lebih baru sampai portal."
"Ada jalan tembusan Pak, lewat sungai. Perusahaan juga sudah bangun jembatan buat akses mereka. Kalo dari sini sekitar 15 menit naik mobil."
Aku manggut-manggut mendengarnya. Selama perjalanan sejauh mata hanya terlihat tebu yang tumbuh dalam kotak areal yang seragam, karena medan yang tak rata dan sedikit berbukit di sana sini, membuat perkebunan tebu ini mirip perkebunan teh di Puncak.
Cahaya matahari yang mulai menghangat juga udara di sini sungguh bersih ditambah langit biru dengan awan yang beriringan seperti kapas, pemandangan yang gak bakalan ada di kota.
Jika di urut maka pabrik ini berada paling depan tepat sebelah portal masuk, bersebelahan dengan kompleks perkantoran divisi lain, Plantation, General Affair, dan Harvesting.
Lalu di lanjut perumahan pertama yang berjumlah ratusan dan terakhir kompleks direksi yang berada di ujung, tempat aku tinggal bersama Adis. Semuanya dikelilingi areal tebu. Lagi-lagi tebu.
"Nah Pak Andra, kita sampai di pabrik." Di hadapan kami, sebuah tembok biru menjulang setinggi hampir tiga meter, memanjang dari ujung kiri ke sebelah kanan, mengelilingi sebuah bangunan lain, yang nampak atapnya saja.
Mobil mengarah ke dalam gerbang besar yang terbuka, dua orang berpakaian security mendekat. Salah satu yang paling garang dan gemuk mengetuk kaca jendela.
"Selamat pagi Pak!" Pria itu memberi hormat padaku. "Dengan Bapak siapa dan mau ke mana?" Ucapnya lagi.
"Anu ... Beliau Pak Andra, bos baru yang kerja di sini."
Baru saja aku akan menjawab Mas Bambang sudah menyela. Pria gemuk itu segera menyadari jika aku adalah karyawan baru. Wajah garangnya berubah ramah dan membuka jalan padaku sambil bilang 'monggo-monggo'.
"Di sini orang jawa semua ya Mas?"
"Rata-rata memang orang jawa Pak, tapi ada juga yang dari Palembang, Medan, Sunda. Macem-macem."
Dari gerbang masuk tiga buah gudang biru berjejer satu sama lain, puluhan orang dengan seragam cream dan celana hijau seperti Mas Bambang lalu lalang sibuk mulai bekerja. Aku segera menyadari yang di maksud kata 'bos' oleh Pria disebelahku ini.
Warna seragamku memang berbeda dari mereka. Wah! Perusahaan ini menganut sistem hirearaki ekstrem, dari rumah dan pakaian bahkan fasilitas yang lain semua di bedakan.
Mobil masih terus maju perlahan, beberapa orang melambai pada Mas Bambang dan saling menyapa. Hingga mobil berhenti, di samping kiriku sebuah tanah lapang berlantai beton dengan beberapa genangan air hujan, perkiraanku luasnya lebih dari 50 hektar.
Mereka menyebutnya cane yard, tempat tebu-tebu dikumpulkan sebelum masuk ke penggilingan.
Sedangkan di sisi kanan sebuah pabrik besar berwarna biru cerah berlantai lima berdiri gagah. Tepat di depan mobil berhenti, berdiri bangunan lain berlantai dua bercat putih, bertuliskan Divisi Factory.
Di bagian belakang pabrik, dua buah cerobong asap raksasa berdiri tegak menantang langit dengan kode huruf SL besar tertulis berwarna merah dan biru. Ya! Logo PT. Segoro Legi tempatku mengadu nasip bersama Adis.
Tapi sepertinya pabrik ini belum beroprasi karena tak ada satupun suara bising khas yang memekakkan telinga, Kalo kata Adis bindeng. Mas Bambang menuntunku masuk ke dalam bangunan kantor dan naik ke lantai dua.
Beberapa orang melihatku dengan tatapan yang aneh seolah aku ini spesies langka.
Jujur saja aku sudah sering dikasihani orang, maksudku jadi yatim piatu sejak kecil dan kadang ngamen untuk cari tambahan uang sekolah meski kerap di marahi pengurus panti.
Dan di remehkan karena penampilanku yang gondrong dan juga tatto-an. Aku sudah mengalami hal seperti itu dan tak peduli.
Tapi kali ini berbeda, tatapan mereka ada di antaranya, seperti iba tapi juga meremehkan dan benci sekaligus. Aku mengusap belakang leher dan mengecek kepalaku. Siapa tahu gelungan rambutku lepas atau salah pakai ikat rambut milik Adis yang berwarna pink.
Tidak juga, semuanya biasa saja dan pakaianku juga rapi. Di salah satu jendela kantor aku melirik pantulan wajahku. Aku ganteng seperti biasa kok. Terus mereka kenapa?
Di dalam sebuah ruangan yang besar, tiga orang sudah menunggu di dalam, salah satunya Mbah Santo yang langsung menyambutku. "Mas Andra selamat datang, perkenalkan ini Pak Robert."
Pria pirang keturunan bule itu mendekat, aku sudah bersiap untuk mengeluarkan kosa kata bahasa asingku namun seketika aku terperanjat.
"Mas Andra, Saya Pak robert." Lah?! Medok juga rupanya. Aku yang terkaget-kaget menyambut uluran tangannya.
"Pak Robert ini owner PT SL beliau generasi ketiga yang sudah menjalankan perusahaan ini" terang Mbah Santo. Padahal jika di tilik, usianya tak jauh denganku. Wah kaya dari lahir itu memang beda ya!
"Dan yang ini Pak Wiro." Mbah Santo menunjuk Pria gemuk di sebelahnya.
Sambil tersenyum ramah, Pria paruh baya itu mengulurkan tangannya padaku, meski tak terlihat bule tapi pria ini justru bicara bahasa asing yang campur-campur mirip ketoprak. "Hei Andra, You bisa panggil saya Wiro," ucapnya.
"Yes Sir."
"Saya baru balik dari Aussie. It's complicated bicara bahasa, Tapi You understand kan?"
"Iya Pak, saya paham." Aku cengengesan. Wah sombong juga dia.
Setelah tanda tangan kontrak - lagi - Pak Wiro yang ternyata adalah atasanku, mengajakku berkeliling dan berkenalan dengan beberapa rekan kerja yang lain.
Pria gempal itu juga menunjukkan bagian-bagian pabrik. Dari arah kantor kami berdua berjalan menuju cane yard. Beberapa grip loader dan traktor terparkir di bagian depan lapangan. Dua kata langsung terpatri, Silau dan terik.
Wajar sih, sudah hampir tengah hari soalnya. Sang matahari pun dengan angkuh memanggang kami berdua.
Di pinggir ujung lapangan dekat pabrik, sebuah lubang raksasa selebar tiga mobil truk menganga lebar, aku melongo, di dalamnya ada conveyor pengangkut. Di sepanjang jalurnya terpasang puluhan silinder dengan pisau besar.
Bertugas mencincang tebu menjadi ukuran kecil sebelum masuk ke dalam pabrik.
“This is cane cutter, Andra jangan dekat-dekat. You bisa mati kalau masuk ke sini.”
"Yes tentu saja. Pisaunya saja besar Pak," jawabku ketularan Pak Wiro.
"You pernah lihat orang di cincang?"
"Eh? Sorry Sir?"
"Never mind, itu cuma bercanda." Pria gempal di depanku tertawa, tapi itu gak lucu. Kata-katanya sungguh ganjil. Apa maksudnya? Kalau daging sapi cincang sih pernah.
Seolah tak peduli dengan ucapannya yang merisaukaku. Pak Wiro kembali berjalan dan menerangkan seluruh bagian pabrik hingga ke gudang gula sebagai akhir proses produksi.
Seolah tak peduli dengan ucapannya yang merisaukaku. Pak Wiro kembali berjalan dan mengenalkan seluruh bagian pabrik. Termasuk gudang gula sebagai akhir proses produksi
Setelah berputar-putar dan mengenal semua orang. Pak Wiro membawaku ke dalam gudang spare part tempatku bertugas. Pria gempal itu masuk ke dalam kantor yang berada di awal pintu masuk gudang yang pertama, ini ruanganku katanya.
Sebuah meja kerja besar dan lemari file berdiri bersebelahan. Di sisi lain ada satu set sofa tamu, Pak Wiro menuntunku duduk di situ.
"Andra, This is your Standar Oprasional Prosedur, pahami baik-baik and Handy talkie buat komunikasi. You sudah pernah pakai?"
Pak wiro menyerahkan sebuah buku tebal dan radio komunikasi yang sering di sebut HT. Saat benda itu di hidupkan suara 'kresek-kresek' berisik dan suara orang bicara terdengar silih berganti.
"Ya Pak, sudah pernah pakai."
"Well ... Selamat bergabung di sini. Kalau You bingung bisa tanya sama Miss Ayu, oke?"
"Yes Sir."
Pak Wiro beranjak meninggalkanku bersama seorang wanita yang bernama Ayu, seniorku di sini. Aku hendak mengantarnya namun pria paruh baya itu mencegahku sambil berlalu. Setelah pria gemuk itu keluar, aku langsung sibuk membaca buku SOP yang tebalnya gak karuan.
"Pak Andra biasanya minum apa? Biar disiapkan." Mbak Ayu rupanya masih di sini.
"Kopi pahit Mbak, tapi kalau pagi saya pasti ngopi di rumah." Aku masih sibuk membaca.
"Pak Andra buat sendiri?"
"Tidak, Istri saya yang bikin."
"Loh? Sudah menikah ya Pak?"
"Iya."
"Sudah lama?"
"Sudah setahun lebih."
"Cantik Pak?"
"Cantik dong."
"Lebih cantik istri Bapak atau saya?"
"Eh...?"
Aku yang masih sibuk membaca segera mengangkat wajah dan-
... Mbak Ayu sudah gak ada. Terus aku bicara sama siapa?
Perasaanku jadi aneh. Dari semalam kejadian ini terus terulang. Aku bicara sendiri. Apa hanya berhalusinasiku saja? Aku menggeleng. Gak mungkin, sudah dua kali soalnya.
Suara gemeresek radio menyadarkanku untuk berhenti pikiran macam-macam dan kembali membaca buku tebal. Hari sudah mulai sore,
Di depan gudang, Mas Bambang sudah menjemputku di dalam mobil. Hari pertamaku lancar, meski ada hal-hal janggal tapi aku abaikan.
Seperti Pak Mamat, padahal dia bawahanku tapi tatap mata dan gaya bicaranya berbeda, aku bisa pastikan pria itu tak menyukaiku.
Di dalam mobil Mas Bambang kembali bicara ngalor-ngidul. Membuatku teringat sesuatu.
"Mas Bambang, kalau boleh tahu rumah yang sekarang sebelumnya siapa yang tinggal di sana?"
Pria di sampingku langsung terdiam, wajahnya berubah. "Kenapa Pak?"
"Ah! Itu ada patung pengantin, kata istri saya harusnya ada pasangannya. Mungkin punya penghuni sebelumnya ya?"
"Ndak tahu saya Pak kalau yang itu." Mas Bambang bicara gelagapan.
"Oh gitu."
"Pak ... sebenernya ...." Mas Bambang sudah ingin mengatakan sesuatu tapi dia segera mengurungkannya.
"Apa Mas?"
"Ah itu, kalau mau beli sayuran di sini rada jauh. Saya bisa kok anterin Bu Adis." Mas Bambang akhirnya bicara.
Pikirku dia mau bicara apa, masalah belanja toh. Aku hanya mengangguk cepat.
Sepanjang perjalanan entah kenapa pria di sampingku membisu, raut wajahnya juga berubah. Aku yang tak mau ambil pusing hanya diam selama perjalanan pulang. Kejadian aneh itu terus mengusikku.
Sebenarnya aku tipe orang yang tidak terlalu percaya dengan hantu, demit dan semacamnya. Tapi sampai dua kali mendengar suara tanpa wujud. Aku mengurut keningku, Apakah keputusanku untuk bekerja di sini sudah benar?
Selesai mandi dan sholat maghrib, Adis duduk di kursi tamu sambil menonton sinetron. Sedangkan aku sibuk membaca SOP sialan yang tebalnya luar biasa. Untung saja aku sudah mengerti sebagian. Sistem dokumen mereka rinci sekali. Belum lagi sistem penanaman tebu mereka juga.
Di sini pakai sistem single row. Wajar jika tebu yang di areal ukurannya besar-besar.
"Mamas, Adis mau ngomong boleh ndak?"
Aku hanya mendehem menjawabnya. Tapi kali ini aku melirik, takut lawan bicaraku hilang lagi seperti tadi.
"Mamas, Adis kan rodo serem sama patung yang di kamar, jadi Adis masukin kardus. Kira-kira de' ngambek ndak ya?"
"Siapa yang ngambek?"
"Loro estri?"
"Ya ngak lah. Sudah gak usah mikirin yang aneh-aneh. Dia cuma patung," Jawabku sambil terus menulis dan membaca buku bergantian.
"Mamas ket mau sibuk ae, nulis opo sih?" Adis melirik buku agenda yang penuh dengan coretanku di atas meja.
"Biasalah kerjaan, Mamas kan harus tahu dulu alurnya."
"Ndak sesok ae ...."
"Tinggal sedikit lagi."
Wanita itu masih terus melihat tulisanku di atas meja dan membacanya perlahan. Kadang logat medoknya terdengar aneh saat membaca beberapa kata berbahasa asing. Aku hanya menyengir mendengarnya.
"Adis?"
Mata jernih itu menatapku, "Opo?"
"Adis, betah gak?"
"Ya ... Adis belum tahu, tapi ada enaknya juga. Soale ndak perlu nimba air lagi" jawabnya polos. "Kenapa kok Mamas tanya?"
"Kalau kita tinggal di sini, gimana?"
"Lho kan memang udah di sini?" Adis sedikit bingung.
"Bukan itu, maksud Mamas kalau kita menetap di sini, menurut Adis gimana?"
"Adis nurut Mamas saja."
Tengah malam, aku merasakan Adis bangun dan melewatiku. Ah mungkin dia mau ke kamar mandi. Pikirku begitu sampai wanita itu membangunkanku dengan terburu-buru.
"MAMAS?! BANGUN! ...."
"Apa sih dis?" ucapku serak.
"Cepetan! tangi disek!" (Cepetan, bangun dulu)
Adis mengguncangkan tubuhku sekuat mungkin. Sebenarnya malas, tapi perintah nyonya rumah wajib dituruti hukumnya. Dari pada Adis ngomel lebih lama.
"Ada apa?" Dahiku mengernyit.
"Iku loh Mas ...?"
"Apaan?" Aku menutup mataku, lampu kamar menyala silau.
"Wes melok ae pokok'e."
"Iya! Sebentar, ini sarungnya melorot."
Adis tak peduli dan menyeretku untuk bangun, mengikutinya ke kamar sebelah. Bahkan aku hampir terjungkal saat turun dari ranjang karena kakiku terbelit kain.
"Mamas ngeh? seng ngalih patunge ting mriki?"
"Mulai lah!" Protesku karena tak paham. Tapi begitu Adis menunjuk, tanpa di translate-pun aku sudah tau maksudnya. Di atas meja, patung itu menatap dingin, seolah mengejekku.
"Mamas gak pindahin kok," sanggahku langsung. Kantukku langsung menghilang.
"Ngapusi ... Nak duduk sampeyan trus sopo, Nang omah iki mung kur awak'e dewe" (Bohong ... kalau bukan kamu trus siapa, di rumah ini cuma ada kita)
Adis mengucapkannya dengan cepat, tentu saja aku tak mengerti. "Adis?"
"Kalau bukan Mamas, terus siapa?" Suara Adis mulai bergetar, sambil menggigit jarinya. Adis memang penakut dan manja.
Benar juga. Lagi pula kalau-pun Adis semalam bangun aku pasti tahu, karena selain ranjang yang berisik, Adis tidur di pojok ranjang sebelah dinding, jadi dia pasti melewatiku jika keluar kamar.
Aku garuk-garuk bingung, sedangkan wanita di sebelahku semakin ketakutan. Saat aku masih menatap patung di atas meja. mata tak simetris itu seoalah bergerak menatapku.
"Terus sopo Mas?" Suara Adis mulai parau.
"Sudah-sudah gak usah takut, mungkin Mamas yang keluarin tapi lupa," hiburku.
"Tenan Mas?"
"Iya, sudah gak usah pikir macam-macam. Mamas simpen lagi saja si loro estri ya biar Adis gak takut."
Aku bergegas memindahkan patung itu kembali ke dalam kardus. Sedikit merunduk dan mendorongnya ke bawah ranjang.
Saat itu aku yakin 100% ekor mataku menangkap siluet seorang wanita pengantin jawa berdiri di belakang Adis. Tapi saat aku menoleh untuk melihat lebih jelas tak ada siapapun. Salah lihat! Dengan segera aku menenangkan diri dan meyakinkan jika hanya perasaanku saja.
Belum hilang penasaranku, ranjang berdenyit seperti seseorang duduk di atas kasur tepat dibelakangku.
BAHKAN SESUATU MENYENTUH PUNGGUNGKU!
Dingin! Seperti ... telapak tangan orang mati ... Bulu kudukku meremang, dia bahkan menggaruk dengan ujung kukunya yang tajam.
Secepat kilat aku menoleh. Tentu saja tak ada siapapun. Padahal aku masih merasakan kuku tajam itu semakin keras mencakar punggungku. Apa ini?
Bergegas aku bangkit dan menuntun Adis keluar kamar.
"Tidur lagi yuk?"
"Tapi Mas?"
"Sudah gak usah di pikirin," hiburku.
Padahal jantungku sudah seperti lompat keluar. Seumur hidup, baru kali ini aku mengalami hal aneh. Aku langsung menyadari kata-kata Mbah Santo mengenai unggah-ungguh di sini.
Dan keyakinanku tentang demit dan setan hanyalah omong kosong memudar seketika. Jangan-jangan mereka memang ada.
Aku membimbing Adis keluar dan menutup pintu kamar, sambil menatap loro istri yang tersenyum padaku ... Dan sekarang punggungku terasa perih!
Rutinitas pagiku di awali dengan celoteh Adis tentang pindahnya si loro istri dari dalam kardus. Wanita itu terus menerus menanyakan kapan aku melakukannya. Sepertinya dia tahu jika aku berbohong firasat perempuan memang tajam.
Kengeyelan Adis bahkan membuat nasi goreng yang ada di piringku terasa hambar.
"Sampeyan beneran kan yang pindahin?"
"Iya Adis, Mamas yang pindahin. Sudah gak usah ngeyel lagi, Mas Bambang sudah di depan."
"Tapi Adis takut. Kalo dia balik lagi piye?"
"Ya tinggal di masukin kardus lagi."
"Ish ... Sampeyan iki ... Ngerti ndak sih sama omongan Adis?"
Aku hanya menarik nafas berat, ya tentu saja aku paham. Tapi kalau aku jujur, yakin pasti Adis semakin takut dan gak mau di tinggal sendirian. Gak mungkin kalau aku harus mengajak Adis ke kantor. Apa kata pak Robert dan pak Wiro. Andra baru kerja tapi sudah tak profesional
Jujur saja aku sudah kepincut kerja di sini. Walaupun harus jauh dari peradaban. Ya gimana? gaji dan tunjangannya lumayan, tinggal adaptasi sedikit. Membiasakan diri dengan rutinitas monoton dan suasana yang sepi.
Meskipun kejadian semalam memang di luar logika, aku mengabaikannya. Apalagi alasanku menerima pekerjaan ini bukan hanya karena aku menganggur, tapi juga karena mertua perempuanku. Mengingatnya saja membuat hatiku sakit. Aku tak bisa marah atau membencinya,
Adis akhirnya mengantarkanku berangkat kerja dengan wajah manyunnya. Dari dalam mobil, di salah satu teras rumah aku berpapasan dengan Pak Wiro bersama seorang wanita, usianya jauh lebih muda dan juga seorang anak laki-laki berseragam merah putih yang naik ke dalam mobil.
Kalau kata orang, laki-laki itu tahu perempuan penggoda dan perempuan yang polos. Sepertinya sekarang aku mengerti maksudnya.
Asistenku -Mbak Ayu- gimana ya ngomongnya? dari awal bertemu perasaanku sedikit risih. Meskipun dia cantik dan menor tapi dia bukan seleraku.
Cara bicaranya mendayu-dayu buat merinding. Tapi kalau mau jauh-jauh gak bisa juga. Kemana aku pergi dia mengekor seperti anak kucing. Kalau Adis sampai lihat seorang wanita menempel padaku seperti ini, bisa-bisa dia cemburu berat, aku pasti dibantai sampai runyam.
"Pak Andra sudah paham belum MRIS yang ini?"
Mbak Ayu menyodorkanku tumpukan dokumen bukti barang keluar - mereka menyebutnya MRIS, Material Issuing - yang harus aku tanda tangani.
"Sudah, laporan stock perhari ini mana ya Mbak? Saya cek dulu"
"Ini Pak, sekalian sama MRR-nya juga ya?"
Setumpuk dokumen lain - bukti penerimaan spare part MRR , Material Receiving Report - yang tak kalah banyak di serahkan juga padaku. Sudah setumpuk lembaran kertas yang harus aku periksa dan selesai pagi ini juga.
"Ya Mbak terima kasih." Aku mulai sibuk menghitung dan mengecek pakai kalkulator, kadang sambil melirik buku SOP. Memastikan jika barang dan kodenya sesuai.
Tiba-tiba Mbak Ayu nyeletuk, "Pak Andra ganteng ya?"
"Hah?!" Terang saja aku gelagapan.
"Iya, mirip penyanyi rock," ucapnya lagi.
Aku tersenyum geli lebih ke arah bingung dan ya ampun! Perempuan ini blak-blakkan sekali.
"Masa Mbak?" Tanyaku lagi sambil sibuk membolak-balik kertas yang bertumpang tindih tak karuan.
"Iya, mungkin karena Pak Andra gondrong juga tatoan, keren gitu!."
"Keren dari mananya Mbak?" Aku cuek saja sambil terus tanda tangan.
"Soalnya baru kali ini saya ketemu laki-laki seperti Pak Andra."
Perempuan ini sedang merayu ya? Baru kali ini ada yang bilang aku keren. Tampang seperti preman begini.
"Pak Andra biasanya minum apa? Biar disiapkan." Mbak Ayu bertanya lagi.
"Kopi pahit Mbak, tapi kalau pagi saya pasti ngopi di rumah." Aku masih sibuk membaca.
"Pak Andra buat sendiri?"
"Tidak. Istri saya yang bikin."
"Loh? Sudah menikah ya Pak?"
"Iya."
"Sudah lama?"
"Sudah setahun lebih."
"Cantik Pak?"
"Cantik dong. Eh? Tunggu!"
Bukannya kami sudah pernah berbincang seperti ini kemarin. Aku segera menatap lawan bicara di depanku. Takut menghilang lagi tapi detik itu juga aku berharap sebaliknya.
Saat ini Mbak Ayu membeku seperti patung. Sunggingan di sudut bibirnya penuh makna, matanya dingin dan tajam membuat kudukku meremang. Seperti predator yang bertemu dengan mangsanya. Mbak Ayu berubah, tak ada lagi wajah centilnya. Suasana jadi hening, sungguh hening.
Waktu berhenti, tak ada sedikit pun suara yang terdengar, hanya ada deru napasku dan Mbak Ayu yang menatap nanar, seringainya tambah menyeramkan. Tatap matanya bukan milik manusia. Aku tahu karena perlahan bola matanya menghitam seperti malam.
Wah segini dulu ya, masih ada tugas feedback yang menunggu. Buat yang mau baca lanjutannya langsung ke kk aja.
Tenang ini gratis!
tapi kalau mau kasih saweran ya monggo, mayan buat bantu ganti lensa kaca mata hehehe
Selamat malam jum'at
Siapa?
Siapa yang berani menjemput ajalanya?
Keturunan mana yang suka rela mengantarkan nyawanya? Menyerahkan kekuasaannya!
Jarak kami semakin pendek, kini di hadapanku berdiri seorang pria berbeskap hitam dengan blangkon warna senada dan ucapannya membuatku yakin jika di dalam pria itu sudah menunggu, pemilik ritual gambuh.
Selepas kepergian Pak Ade dan Mas Agung, aku masih terpekur sendiri sambil sesekali menyesap kopi dingin yang hambar. Memikirkan tetang sebelas ritual ini sambil menghembuskan asap dalam ruangan yang mulai redup. Aku kembali mengulangnya, tentang janji Wijaya.
Sebelas ritual miliknya yang menggambarkan perjalanan hidup manusia.
Aku sudah tahu hakikat syair macapat ini adalah keberadaanku tapi ada satu lubang besar yang masih mengganjal dalam pikiranku. Kenapa dari sebelas ritual ini,
Assalamualaikum. Lanjut lagi ya cerita Mas Andra dan Mbak Adis.
Julung Kembang : Part 08
Ijin tag ya Bang.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id #malamjumat #horror #horor
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Selintas pengelihatan yang aku dapatkan setelah menelan simpul kinanthi menuntunku kemari. Sambil bersandar di pintu toko yang tutup aku duduk begitu saja di atas lantai yang kotor, memperhatikan keramaian di depanku.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Sudah lewat tengah malam, bukannya berkurang, bangunan di depanku ini justru semakin ramai oleh kerumunan pria hidung belang, penjudi dan wanita sundal yang keluar masuk.
Bismillah, lanjut lagi ya. biar cepat selesai dan ngak penasaran.
Julung Kembang : Part 07
Ijin tag Bang.
@IDN_Horor @SpesialHoror @chow_mas @threadhororr @C_P_Mistis @karyakarsa_id #horror
Pagi baru menjelang, cahaya mentari baru mulai menghangat. Di dalam ruang kerja, aku menuliskan semuanya pada halaman terakhir buku hitam peninggalan buyutku yang gila.
Menorehkan tinta dengan tangan gemetar, menggenggam pena itu sekuat mungkin.
Menggigit bibirku hingga berdarah, rasa asin dan anyir itu menyebar dalam rongga mulutku pun kesedihan yang semakin meluap. Pesan terakhirku untuk Adis.
Setelah belasan pemeriksaan lanjutan, Aji dipindahkan ke ruang perawatan kelas satu di lantai atas.
Kabel pendeteksi jantung menempel di dada kecilnya, tak ketinggalan selang oksigen dan selang makanan menjejali wajahnya yang kecil. Hatiku teriris-iris.
Jarum infus itu menancap di lengan Aji, menyakiti putraku yang malang.
Suara mesin denyut jantung berirama dengan tenang menggema keseluruh ruangan. Setiap detaknya seperti palu godam yang mengahantamku. Hasil ct-scan, lab, bahkan riwayat kesehatan Aji semuanya normal.