How to get URL link on X (Twitter) App
Siapa?
“Walah, mau mati saja banyak tingkah.” Cibirku pada Garwita sambil terus tertawa puas.Â
Selepas kepergian Pak Ade dan Mas Agung, aku masih terpekur sendiri sambil sesekali menyesap kopi dingin yang hambar. Memikirkan tetang sebelas ritual ini sambil menghembuskan asap dalam ruangan yang mulai redup. Aku kembali mengulangnya, tentang janji Wijaya.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Selintas pengelihatan yang aku dapatkan setelah menelan simpul kinanthi menuntunku kemari. Sambil bersandar di pintu toko yang tutup aku duduk begitu saja di atas lantai yang kotor, memperhatikan keramaian di depanku.
Pagi baru menjelang, cahaya mentari baru mulai menghangat. Di dalam ruang kerja, aku menuliskan semuanya pada halaman terakhir buku hitam peninggalan buyutku yang gila.
Setelah belasan pemeriksaan lanjutan, Aji dipindahkan ke ruang perawatan kelas satu di lantai atas.
“Siapkan mobil, saya pergi sekarang. Mas Bambang nanti langsung pulang ke lampung saja antar Pakde Bas.”
Aku tak bisa memastikan siapa sosok yang naik di atas pungungku ini tapi dari suaranya bisa di pastikan jika dia seorang perempuan. Auranya aneh, dingin dan suram persis seperti yang aku rasakan saat pertama kali masuk ke dalam hutan pinus ini.
“Apa Adis sudah gak sayang sama Mamas?” Sumpah hatiku ngilu luar biasa saat mengatakannya.
Aku mengusap wajahku kasar berulang kali. Sejak kapan wanita ini mengikutiku? Mau apa dia? Aku ini bukan cenayang atau ahli hantu penasaran, aku hanya seorang duda yang merana!
Sepanjang jalan, kami duduk di kursi tengah, membahas pekerjaan yang tak kunjung usai diiringi suara Jon Bon Jovi seperti biasa. Lagu “Born To Be My Baby” mengingatkan semangatku pada Adis saat awal-awal menikah.
Setiap tarikan napasku yang berat dan sesak seolah membawaku semakin dekat pada kematian. Tanpa sadar aku menghitung tiap detik, menit, dan jam yang berlalu seiring denyut jantung di dadaku.
Di tengah hamparan tebu yang setinggi ilalang, aku berdiri melihat ujung kaki langit yang mengharu biru dengan gumpalan awan putih yang berarak.
Belum juga aku pulih, batang besi itu berkilat dan kembali mendarat di tubuhku, Adis dengan kekutan terakhirnya berteriak, memohon pada manusia iblis ini untuk berhenti. Tangisannya yang parau seakan tak terdengar.
Suara gaduh dan bergemuruh di belakang semakin dekat, puluhan orang menyusul. Suara deru mobil bercampur umpatan dan makian. Lampu sorot dan suara anjing menyalak bersahutan semakin membuatku waspada. Mereka mengejarku seperti binatang buruan.
Aku terbangun dengan kepala yang berat, tangan yang nyeri juga nafas yang sesak. Kejadian semalam membuatku dadaku lebam persis seperti orang yang dipukul sekuat tenaga belum lagi punggungku yang sakit karena tidur di kursi kantor.
Adis sudah terlelap seperti biasa setelah ritual suami istri, tanganku masih sibuk membelai  punggungnya. Semenjak menikah denganku, Adis selalu memintaku untuk melakukannya. Benar-benar manja, meski begitu aku justru menyukainya, artinya Adis sungguh bergantung padaku.
Belum sempat aku menjawab rasa mual menyerangku, sontak aku bangun dan bergegas ke toilet. Derik ranjang bersahutan dengan suara pintu terbanting membangunkan Adis yang terlelap.Â
Suara rintihan korban yang tertimbun ratusan ton kapur semakin lemah. Di bawah sela tumbukan karung yang putih, mengalir cairan merah dan kental. Menit berikutnya forklift datang, satu persatu karung di tarik dari bagian atas dengan hati-hati.
Sedetik sebelum aku berbalik, seseorang memiting leher dan menahan kepalaku, menarik tubuhku kedalam bayangan semak. Aku mencengkram tangannya berusaha melepaskan diri namun cekikannya makin kuat. Sesak! Wajahku memanas dan leherku nyeri, tekanan di kepalaku semakin kuat.