simpledandism123 🍉 Profile picture
Mar 2, 2023 182 tweets 23 min read Read on X
Sudah jam delapan, ayo kita mulai
Part 4 "TEBU MANTEN"
Bismillah, Ijin tag ya bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @threadhororr #malamjumat #horror #horor Image
Untuk yang belum baca part sebelumnya bisa ke KK dengan user yang sama atau ke profil twitter saya.
Suara gamelan terdengar mengayun lirih ...
Lambat laun aku mengenali irama kenongnya. Seperti pernah mendengarnya di suatu tempat, tapi di mana? Lagian siapa malam-malam begini memutar kaset gending beginian ...
Eh! Gending ini? Gending pengantin ... Ya aku ingat saat menikah dengan Adis, waktu acara temon manten. Memangnya ada acara pernikahan?
Dan suara gamelan masih terus mengalun, memanggilku. Setiap ketukannya seiring langkah kakiku menuju asal suara. Di depan pintu gudang, lagi-lagi tak ada seorang pun. Biasanya Pak Mamat dan yang lain pasti ngopi atau nongkrong sambil menunggu bongkaran barang.
Apa mungkin mereka sudah pulang?

Aku terus berjalan perlahan mendekat ke arah pabrik, di sana .... Puluhan orang berseragam berbaris di cane yard, mematung tepat di depan lubang cane cutter.
Aku pikir mereka adalah Pak Mamat dan yang lain, hingga aku menyadari bahwa puluhan orang di sini tak ada satupun yang aku kenal.
Mereka membisu dengan wajah pucat dan pandangan yang kosong.  Sekalipun aku baru bekerja, setidaknya aku pasti mengenali salah satu di antaranya.
Tapi wajah-wajah mereka benar-benar asing.
Seketika itu aku juga menyadari jika tempat ini juga berbeda, sekalipun serupa. Di sini langitnya tak sama. Tak ada bulan dan bintang juga berwarna merah mungkin seperti senja? Atau pagi? Saat matahari baru terbit, entahlah.
Udaranya juga singup, pengap, sesak, padahal sepi tapi seolah ramai dengan ribuan orang. Waktu pun berhenti dan perlahan semuanya menjadi samar tertutup kabut tipis seperti asap yang mengambang. Setiap aku bergerak maju, aku akan kembali ke tempat semula.
Semua kembali menjauh atau bisa juga aku yang ditarik kembali. Satu persatu puluhan sosok seperti raksasa hitam muncul dibalik puluhan pohon tinggi yang rimbun dan gelap di pinggir cane yard, mata mereka bersinar merah. Menunggu sesuatu!
Gamelan itu mengalun mistis, tiap alunan kenong, gendang dan kempulnya bertalu beriringan menjadi harmoni, menyihir siapapun yang mendengarnya.

Pabrik biru disampingku, dia seakan menggeram dan bernafas sesuai irama gamelan yang semakin mendayu.
Aku ketakutan! Apalagi para pekerja asing itu serempak menatap nanar padaku.
Gamelan itu terus mengalun semakin keras ... Gongnya seakan memecah gendang telingaku. Dadaku berdentang mengikuti alunan kenongnya yang semakin keras.
Padahal tak ada satu pun pemain karawitan yang terlihat. Jadi suara itu dari mana? Aku masih berdiri, bingung dan gamang. Para pekerja itu! Serentak mengangkat tangannya, menari memutariku. Apa ini?
Belum juga aku menemukan jawaban, seseorang menyentuhku punggungku. Pelan tapi pasti sebuah tangan wanita yang putih pucat bergerak perlahan dari bahu keatas wajahku.
Jari-jemari yang lentik itu meski terihat indah, kuku jarinya panjang dan tajam. Satu lagi rasanya dingin! Aku menyadari jika sosok ini yang mencakar punggungku saat pertama kali datang.
Aku tak bisa bergerak, kini dia mengusap pipi dan bibirku. Sambil berbisik lirih,

"... Telulas iringan, estri lan jaler ... Kulo Nyi Ireng ... Den bagus …"
Belum juga aku paham dengan ucapannya, wanita ini memelukku, tubuhnya dingin ... lebih dingin dari bongkahan es, membuatku semakin menggigil. Aku gemetar dan tak berdaya ... Hembusan nafasnya membelai tengkuk dan telingaku, dia mengikik lirih.
Suara gamelan semakin cepat, tarian mereka juga semakin tak beraturan dengan gerakan yang patah dan kaku. Saat wanita itu memutar tubuhku, Aku terbangun tanpa melihat wajahnya. 

Astaga! Mimpi apa itu?

Jam menunjukkan pukul 02.00 pagi.
“Telulas iringan, estri lan jaler, Nyi ireng?” Lirihku dan aku sadar suara wanita itu sama seperti yang menawariku kopi juga sosok yang menyerupai Mbak Ayu. Apa yang ingin dia sampaikan padaku sebenarnya? Den Bagus?
Dari semua kalimatnya hanya satu yang kumengerti Estri lan jaler. Itu sama seperti patung yang di katakan Adis. LORO BLONYO!
Tubuhku masih bergetar hebat saat keluar, lagi-lagi diluar ruangan masih ramai. Bahkan beberapa orang bernyanyi untuk menghilangkan suntuk. Sambil berseloroh mengatakan jika suara temannya lebih baik di simpan saja.
Akhirnya aku membuat kopi, mungkin karena sudah terbiasa minum buatan Adis, rasa kopi ini tak seenak biasanya.

Beberapa orang mengajakku bicara ngalor ngidul, kadang obrolan kami tersela beberapa orang yang minta tanda tangan padaku.
Selepas sholat subuh aku kembali berkumpul dengan para pekerja yang lain. Aku enggan sendirian di ruangan. Mimpi itu seperti nyata. Jemari dingin wanita itu masih terasa sampai sekarang. Kenong itu masih terus berdentang dalam kepalaku.
Dari jauh Mbak Ayu mendekat, lagi-lagi menempel padaku. Dengan jelas beberapa pekerja yang lain sungkan padanya, tapi jika aku tilik lagi, mereka bukan hanya segan tapi juga - takut. 

"Pak Andra habis mandi?"

"Tidak, cuma habis wudhu saja."

"Rajin ya?"
"Alhamdulillah Mbak, pesanan Istri." Ucapku bermaksud menegaskan jika aku sudah menikah. Tapi wajah wanita itu berubah ketus, dia cemburu?

"Pak Andra sayang ya? Sama Istrinya?"

"Tentu saja."
Mendengar jawabanku, wanita ini tersenyum. Sunggingan di sudut bibirnya sungguh mirip sosok yang menawarkanku kopi. Jangan-jangan mereka orang yang sama?

Aku masih terus memikirkan mimpi semalam. Sampai ucapan Mbak Ayu membuatku sedikit tersinggung.
"Puas-puasin dulu lah sebelum pisah."

"Maksudnya?"

Bukannya menjawab, wanita itu berlalu dengan angkuh, Aneh!. Sedangkan pekerja yang lain segera mengalihkan pembicaraan, meredakan keteganganku dan Mbak Ayu. Apakah ucapan Pak Mamat itu benar?
Sampai di rumah, aku segera tidur. Adis hanya membangunkanku sekali, itupun untuk makan. Karena kantuk yang masih tersisa aku kembali tidur ditemani Adis. Sampai akhirnya kami terbangun jam dua siang dan segera sholat. Lebih baik telat dari pada tidak sholat kata Adis.
"Mamas mau ngopi?"

"Boleh. Inget?"

"Iyo ... Ndak make gula," sahutnya sambil tertawa lirih.

Sambil menemaniku ngopi, Adis bercerita jika semalam ia tidur seperti biasa meski mimpi sedikit aneh.
Dari ceritanya Adis melihat seorang pengantin wanita berdiri di tengah kebun tebu yang luas. 
"Pengantinnya cantik?"

Adis hanya menggeleng, "Adis ndak lihat mukanya, cuma kelihatan punggungnya saja. Trus ada suara kebo giro. Ndak lama Adis kebangun."
Aku mengernyit sambil menyesap kopi, "Kebo giro itu apa toh Dis?"

"Kui loh, Gending pengantin pas temon manten."

Tanpa jeda aku tersedak kopi yang panas, gending pengantin? Mengingatkanku tentang mimpi semalam.

"Pelan-pelan toh ngopinya." Adis menepuk punggungku lembut.
Tapi aku tak menggubris hidungku yang perih karena kopi pahit Adis. "Gending apa tadi..." Bicara sambil terbatuk.

"Gending kebo giro loh Mamas, pas temon manten. Waktu kita nikah kan pake iringan juga."

Apa ini kebetulan? 

"Adis Mamas mau tanya boleh?"

"Tanya apa?"
"Telulas sama den bagus itu apa?"

"Angka tiga belas Mamas, kalo den bagus artinya tu koyo panggilan bangsawan ngunu"

Artinya tiga belas iringan, iringan pengantin? Bangsawan? Kepalaku tiba-tiba penuh.
Sebelum berangkat kerja, anak kunci aku jejalkan dalam gembok di kamar sebelah. Aku sudah berjanji pada Adis untuk membersihkannya. Yang mengejutkan rupanya si loro estri sudah kembali di tempatnya lagi ... tersenyum ganjil ... kembali mengejekku.
Mata tak simetris itu seakan mengikuti kemanapun aku bergerak. Wajahnya boro-boro cantik.
Si loro estri ini semakin membuatku sedikit takut, padahal kamar ini sudah aku kunci. Jadi tak mungkin ada yang bisa masuk.
Aku menyerah memindahkannya ke dalam kardus atau pun menutupnya dengan selimut. Semakin lama tatapan si loro estri membuat udara dalam kamar menjadi pengap dan panas, anehnya punggungku justru merinding. Belum usai pertanyaanku tentang mimpiku dan Adis,
seolah tak cukup patung ini malah menambah beban pikiranku. Ah satu lagi jika ini patung estri, aku juga mulai membenarkan pendapat Adis, di mana si jaler?
"Loh! Mamas keluarin lagi patungnya?" Adis melongo dari pintu kamar membuatku terlonjak kaget.

"Iya, biarkan saja. Lagian kamar ini juga kan selalu Mamas kunci," ucapku sambil menahan deru dada.
Aku tak ingin Adis tahu jika aku juga takut, wanita itu hanya menjawab dengan membulatkan bibirnya membentuk huruf 'O'.

Jam delapan malam, aku kembali berangkat kerja. Adis begegas mengunci pintu setelah aku berangkat.
Di dalam mobil aku coba menanyakan hal yang mengganjal pada Mas Bambang, Mungkin saja pria ini punya petunjuk. Terutama Mbak Ayu,

"Mas kenal dengan Pak Mamat tidak?"

"Pak Mamat Palembang?"

"Iya, Mas."
"Kenal Pak. Soale Pak Mamat karyawan lama di sini."

"Oh begitu? Orangnya gimana Mas?"

"Pak Mamat tu baik kok Pak. Cuma kadang suka nge-gas kalo ngomong. Maklum orang palembang."

"Kalau Mbak Ayu?"
Mas Bambang terdiam saat aku menanyakan hal itu. Setidaknya aku ingin mendengar pendapat orang lain tentang Mbak Ayu bukan hanya dari Pak Mamat saja.

"Kalau Mbak Ayu saya kurang kenal Pak. Dia orangnya tertutup. Rumahnya kan di sebelah Pak Wiro."
"Oh? Saya gak pernah lihat Mas."

"Memang dia jarang keluar rumah. Denger-denger dia sudah menikah tapi ya itu ... Suaminya yang mana saja saya ndak pernah lihat Pak."
"Oh ...."

"Kalo kata orang-orang dia tu rodo piye gitu"

"Centil?"

"Ealah ... Saya ndak ngomong gitu loh Pak"

Aku hanya tertawa saja mendengar jawaban Mas Bambang.
Meskipun malam sudah gelap suasana di tempat kerja ini tak ada bedanya dengan siang hari. Tetap sibuk dan berisik, apalagi buka giling sebentar lagi. Aku baru saja kembali dari toilet saat seorang bawahanku menyampaikan bahwa Mbah Santo dan Pak Robert menungguku di dalam.
Saat mendekat tak sengaja aku mendengar perbincangan mereka.
"Gimana Mbah persiapannya?"

"Wes beres ndoro, sampeyan tenang saja. Si Jaler sebentar lagi datang."

"Trus si estri?"

"Enggih ndoro, tenang saja"
Wajah keduanya segera berubah saat aku datang. "Maaf Mbah, Pak Robert, saya baru dari toilet."

"Ndak apa. Cuma mau nengok kebutuhan sparepart buat buka giling." Pak Robert menjawab dengan suara medoknya. Wajah boleh import logatnya kearifan lokal.
"Semuanya sudah siap Pak, tinggal quick lime saja. Itu juga sebagian sudah datang," terangku cepat.

Mbah Santo hanya manggut-manggut. Saat itu Mbak Ayu - dengan tingkah centilnya - mendekat, membawakan kami bertiga kopi. Sebenarnya aku enggan untuk minum karena pasti manis.
Namun untuk menghormati kedua atasanku ini terpaksa aku menyeruputnya sedikit. Sudah kuduga, pakai gula. Rasanya, Kenapa aneh ya? Meskipun ini kopi tapi kenapa sedikit amis dan ....
"Enak gak Pak Andra?" Mbak Ayu bicara sembari melirik genit.

"Eh ... Ya enak kok," dustaku.

Wanita itu senyum-senyum saat keluar ruangan. Pak Robert kembali bicara menanyakan tentang stock kebutuhan yang lain. Sedangkan Mbah Santo keluar menyusul Mbak Ayu.
Keduanya bicara sesekali melirik padaku. Kata-kata keduanya lambat-lambat terdengar, tapi aku tak bisa mendengar lebih jelas. Suara mereka tenggelam karena Pak Robert terus mengajakku bicara.
Sudah larut malam, saat Pak Robert dan Mbah Santo keluar dari ruangan. Aku pikir mereka cuma bertanya masalah stock saja. Rupanya Pak Robert sampai mengecek sendiri jumlah barang di gudang.

Terpaksa aku menuju areal belakang tempat pembuangan 'scrap' bekas las besi.
Mengecek jumlah pipa berukuran besar milik Divisi Boiler yang di letakkan di sini. Sesuai permintaan Pak Robert. Aku baru pertama kali ke ujung bangunan ini, sudah malam, sepi, dan sendirian. Pas sekali!
Di antara rumput ilalang yang menjulang dan semak belukar, samar-samar terlihat bangunan lain berwarna putih yang terbengkalai, terlihat jelas dari dindingnya yang mengelupas di beberapa bagian. Dari ukuran dan bentuknya bangunan itu mirip seperti pos satpam tanpa jendela.
Hanya ada sebuah pintu besi berkarat dengan pagar lapuk mengelilinginya. Beberapa riuk jelantir sulur merambat sampai ke atas atap, menambah kesan singup. Membuatku kudukku meremang dan memaksaku menghitung cepat semua pipa yang ada.
Selesai mencatat jumlah hitunganku, radio-ku bergemerisik dan suara Adis terdengar memanggil berulang kali di sela gemerisik sinyal yang putus-putus.

"... Mamas ... Mamas ... Ini Adis"

"Adis?"

"Mamas ... ini Adis ...."
lalu teputus, dari suaranya, Adis menangis. Tanpa menunggu waktu aku berlari secepat kilat. Sampai di gudang aku kalang kabut mencari Mas Bambang. Sayangnya pria itu tak kunjung ku temukan.

"Mas Bambang caknyo pergi dengan Mbak Ayu, Ndra." Pak Mamat segera menghampiriku
"Aduh gimana ya Pak?"

"Ngapo?"

Belum sempat aku menjelaskan Mas Bambang sudah kembali, Mobil belum juga berhenti saat aku menggedor kaca samping jendela sopir, membuat pria itu kaget setengah mati. Tanpa menunggu lagi aku segera memintanya mengantarku pulang.
"Ayo Mas, BURUAN!"

"Eng-Enggih Pak!"

Mobil dipacu dengan kecepatan yang lumayan, meninggalkan jejak debu sepanjang jalan. Guncangan dalam mobil tak lagi kami pedulikan.
Saat memasuki kompleks rumah sekelebat bayangan melintas membuat Mas Bambang menginjak rem sekuat mungkin. Tubuhku terjungkal kedepan.

"Astaghfirullah opo kui?"

"Sudah Mas gak usah di pedulikan. Cepat!"

"Enggih Pak"
Belum lagi mobil maju, di atas atap seseorang seperti melompat-lompat. Anj***! gak tahu apa lagi genting.

"Pak Andra opo kui?"

"Sudah Mas baca Bismillah saja. Maju lagi"
Mas Bambang kembali menginjak pedal gasnya namun sepertinya sesuatu tak mengijinkanku untuk sampai di rumah secepatnya. Kali ini mobil malah mati tanpa sebab. Suasana jadi semakin mencekam suara di atas kap mobil semakin ramai, dalam gelap kami saling berpandangan.
Suara di atas atap semakin kencang.

"Walah Pak, kok aneh gini?"

"Sudah Mas saya jalan saja sudah dekat."

"Pak! Kulo ojok di tinggal!"
Aku tak menggubris rengekan Mas Bambang dan bergegas keluar. Waktu aku keluar, suara di atas atap langsung berhenti juga kosong! Tak ada apapun.

Tak membuang waktu aku segera berlari, jalan paving blok beradu dengan sepatuku, bunyinya bergema di tengah malam yang sunyi.
Ketakutanku tenggelam oleh rasa khawatir, bahkan tak terasa air mataku menetes. Cepatlah! Adis menunggu! Aku sampai di barisan tiga rumah terakhir, di sana di bawah lampu jalan, tepat di depan rumahku sesosok pria asing berdiri seolah menungguku.
Aku berlari mendekat, saat gemeresak suara di salah satu pohon mengalihkanku. Sesuatu bergerak di balik rimbun daun. Karena gelap aku tak bisa memastikan apa yang ada di sana. Ketika aku kembali menatap lurus, pria itu sudah hilang.
Aku bergegas masuk ke halaman, pintu rumah masih tertutup rapat, aku mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam. Lampu ruang tamu juga masih padam. "Adis?"
Aku kembali memanggilnya berulang kali, namun dia tak kunjung membuka pintu rumah. Dari sela hordeng yang sedikit terbuka, aku mencoba mengintip ke dalam, samar-samar perabotan di ruang tamu terlihat, aku memicingkan mata dan menempelkan wajahku sedekat mungkin.
Mencoba melihat dengan jelas saat seraut wajah dengan mata melotot tiba-tiba yang muncul di hadapanku, rambutnya bergerai menutupi separuh wajahnya yang pucat.
Setengah mati aku kaget dan menarik diriku, belum juga jantungku tenang, sekelebat bayangan dari belakang punggungku berlari menuju samping rumah. Membuatku kembali terlonjak kaget. Siluet laki-laki, yang seakan menuntuku.
Lagi-lagi terdengar isak tangis suara dari arah rumah Pak Wiro. Namun kali ini bukan di teras, tapi di halaman belakang.

Karena kompleks ini milik perusahaan, tiap rumah tak memiliki pagar tinggi.
Hanya sekat pembatas dari tanaman perdu yang di buat menjadi pagar setinggi satu meter. Di sinilah aku meringkuk melihat ke sumber suara.
Di sana tepat di halaman belakang yang redup, Bu Wiro menangis sambil bicara pada udara kosong.
Wanita itu duduk bersimpuh, menangkupkan kedua tangannya seperti sungkem pada seseorang. Padahal tak ada siapapun.

"Maaf Kang ... Aku gak bisa. Apalagi buat kasih tahu mereka. Aku takut Kang."
Eh?

"Iyo Kang, tapi aku takut sama Wiro. Dia nekat Kang. Bisa-bisa Aku sama Ari yang di habisi"

"Hei You?"

Aku segera menunduk. Lagi-lagi Pak Wiro keluar dari dalam rumah sambil marah-marah seperti kemarin.
"I already told you. Stop! Masuk!" (Saya kan sudah bilang, berhenti! Masuk!)

Apa lagi ini?

"But Mister?"

"Anggun? Stop! Masuk ke dalam!"
Aku hanya bisa mendengarkan tanpa bisa melihat apa yang terjadi. Bahkan beberapa kali aku mendengar jika pria gempal itu memukul istrinya. Wanita itu merintih.

Samar-samar aku mendengar suara geraman, seorang pria. Penuh kemarahan dan kesedihan sekaligus.
Pintu kembali di banting. Lagi-lagi aku melihat hal yang ganjil. Masa sih mereka bicara sama hantu.

Aku menunduk sambil terus berfikir. Memang jika di urut, semenjak tiba di sini kejadian mistis terus datang silih berganti. Memperingati mereka? mereka itu siapa?
Aku kembali teringat Adis. Dari samping dinding kamar, aku mengetuk jendela dan memanggilnya berulang kali.

"Adis ... Mamas pulang." Tapi tak ada sedikitpun suara dari dalam. Masa Adis masih tidur jika begitu siapa yang mengirimkan pesan?

"Adis ... Ini Mamas loh," ucapku lagi
"Mamas ... Ini beneran Mamas Andra kan?" Akhirnya Adis menyahut samar dari dalam kamar.

"Ya Iyalah ... Memang siapa lagi?"

Suara decit ranjang berderak di susul langkah kaki dan bantingan pintu. Aku bergegas kedepan.
Setelah pintu terbuka Adis seketika memelukku dan menangis histeris. Rupanya benar, firasatku tak pernah meleset. Adis ketakutan.

"Mamas Andra!"

"Iya-iya ayo masuk dulu"

Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Adis masih terisak bahkan sampai serak. Aku memberikan segelas air dan terus bertanya tapi wanita itu menggeleng berulang kali menolak bicara. Adis terus menempel padaku. Trauma!.
Dari jendela ruang tamu, cahaya lampu mobil menyorot ke dalam. Mas Bambang sudah datang. Karena Adis tak ingin di tinggal sendiri, aku memutuskan mengajakknya ke kantor. Urusan dengan pak Wiro atau yang lain aku pikirkan nanti saja.
"Adis gak mau sendirian?" Adis hanya mengangguk lemas, menjawabku.

"Ya sudah sekarang ganti baju ya? Ikut Mamas saja."

Netra basah Adis seketika membesar, tanpa menunggu waktu kami berbenah, berbekal selimut dan bantal.
Adis bisa tidur di sofa tamu yang ada di ruanganku. Di dalam mobil, wanita itu memintaku untuk menemaninya duduk di kursi tengah. Sembari meringkuk di atas pangkuanku.
"Mas, kita balik lagi ke kantor."

"Enggih Pak!"

Mas bambang segera memacu mobil menuju pabrik.

"Pak Andra tadi waktu sampeyan lari-"

"Nanti saja Mas di kantor" cegahku. Aku tahu pasti sesuatu yang tak menyenangkan yang akan di katakan Mas Bambang.
"Eh Enggih Pak." Mas Bambang sedikit kaku.
Adis menekuk kakinya di sofa tamu dalam ruangan kerjaku. Belum juga lima menit dia merebahkan kepalanya, Adis langsung nyenyak meskipun posisinya meringkuk tak nyaman.
Setelah yakin Adis terlelap, aku berjingkat keluar ruangan sambil menutup pintu sepelan mungkin. Untungnya beberapa karyawan lain juga maklum.

Disisi ruangan yang lain, Mas Bambang duduk di salah satu meja. Tatapan matanya seolah memberikan isyarat padaku untuk mendekat.
"Piye Pak Andara, Nopo bu Adis sudah tenang?"

"Sudah Mas. Saya kaget betul waktu dia keluar sambil jejeritan."

"Memangnya ono opo toh pak?" Mas Bambang juga terlihat cemas. Pria jawa itu benar-benar loyal padaku.
"Gak tahu, Adis belum cerita, Mas tadi mau bilang apa?"

"Anu iku Pak. Pas sampeyan keluar sambil lari, opo Pak Andra gak ngerasa ada yang ngikutin tah?"
"Ngak ada tapi memang ada bunyi gresek-geresek di pohon sepanjang jalan. Tapi gimana Mas, saya cuma kepikiran Adis. Memangnya Mas Bambang liat apa?"
Pria di hadapanku sedikit sungkan. "Pak, sampeyan yakin ndak ada yang ngikutin?" Sesekali Mas Bambang mengusap tengkuknya dan melihat ke arah kanan dan kiri.

"Gak ada Mas beneran. Memang kenapa?"

"Saya takut mau bilangnya."

"Ya sudah kalau takut gak usah ngomong."
"Pak Andra ... " Mas Bambang menelan ludahnya, lalu lanjut bicara "Pak, tadi saya liat ada yang ngikutin Bapak. Pengantin perempuan jawa, kepalanya buntung! dia melayang di belakang sempeyan!" Mas Bambang meringis ketakutan.

"Yang lebih ngilani, dia jinjing kepalanya sendiri."
Aku mengernyit, Mas Bambang melanjutkan ucapannya sambil menaikkan bahunya. "Saya sembunyi ke bawah setir, soalnya dia nengok pak, ngeliat saya." Lagi-lagi pria berkumis didepanku ini begidik ngeri.

"Ah mungkin Mas Bambang salah lihat," kilahku.
"Ndak Pak, bener saya yakin." Mas Bambang bicara sungguh-sungguh.

"Mas Bambang liat mukanya?" 

"Ndak berani Pak. Saya takut setengah mati soale tiba-tiba bau wangi, trus bau bangkai pak ... ganti-ganti."
"Oalah, Ya sudah Pak biarkan saja. Tapi jangan cerita sama Adis ya? nanti dia tambah takut."

"Enggih Pak Andra"

Belum juga dapat jawaban tentang mimpiku, pak Wiro dan Istrinya yang kerap bicara sendiri. Dan sekarang hantu pengantin, tanpa kepala!
Sisa jam itu aku kerja seperti biasa. Hari sudah beranjak subuh, waktunya untuk membangunkan Adis mengajaknya untuk sholat, wanita itu terbangun dengan mata yang bengkak. Selesai berjamaah, masih di atas sajadah. Aku kembali bertanya sebenarnya apa yang membuatnya ketakutan.
Menurut penuturan Adis, awalnya semua tak ada yang mencurigakan, dari pertama aku mulai berangkat hingga selesai menonton sinetron faforitnya. Adis berhenti bicara.

"Terus?" Tanyaku.
Adis membisu dari sorot matanya, aku tahu dia enggan mengingat kejadian yang membuatnya ketakutan setengah mati. Tubuhnya kembali menggigil hebat, matanya kembali berair.
"Sudah gak apa-apa kalo Adis belum mau cerita, Mamas gak maksa. Sini-sini ...." Aku memeluknya, ketakutan yang tersisa membuat tubuhnya masih bergetar hebat. Perlahan ia bicara sambil terisak.
"Adis mimpi, Mamas pergi ninggalin Adis. Waktu Adis tanya 'mau pergi ke mana?' Mamas cuma bilang 'Jauh' trus Adis langsung bangun."
Adis masih terisak-isak dan melanjutkan ucapannya. "Waktu itu ada suara ketukan gitu pelan ... Adis mulai takut. Terus ada suarane Mamas di pintu depan ...."

Adis sesenggukan menghapus ingusnya. "Sudah-sudah kalo ngak sanggup gak usah di terusin" hiburku lagi.
Tapi wanita itu tetap melanjutkan ucapannya. "Adis kira Mamas yang pulang, tapi waktu Adis buka pintu." Adis terisak dan menarik nafasnya. "Ada pengantin perempuan pakai baju dodotan, dia berdiri di depan teras Mas."
Adis menangkup wajahnya. "Wajahe kui ajur, terus endase ngelinding Mas. Getihe ngalir kemana-mana koyo banyu." (Wajahnya itu hancur terus kepalanya menggelinding Mas. Darahnya mengalir kemana-mana seperti air)
"Adis jerit sekuatnya ... Terus kebangun ... Adis kirain juga mimpi sampe ... Penganten itu berdiri di depan pintu kamar. Sambil terus bilang 'Lungo, Ojo' de kene' ngunu." (Pergi, Jangan di sini, gitu)

"Adis mimpi kali?" Aku berusaha menenangkannya
"Ndak mungkin. Soalnya waktu Adis nutupin muka pakai selimut. Dia naik ke atas kasur, PELUK ADIS MAS! Sambil terus bilang 'Lungo ... lungo ...' Adis takut setengah mati, untung Adis inget radio yang Mamas kasih. Hantu itu tetep peluk Adis sampe Mamas dateng ...."
Pantas saja begitu aku datang, Adis histeris gak karuan. Tapi bisa saja itu cuma mimpi seperti yang aku alami atau halusinasi Adis saja kan?

"Mamas Andra ... Kita pulang aja ya? Adis takut."
Wanita itu terus mengulangi permintaannya, semenjak pulang dari kantor. Entah ini sudah yang keberapa kali.
"Lah? Baru juga kerja seminggu. Masa mau langsung resign. Sabar ya? Pasti itu cuma perasaan Adis. Namanya saja kita baru di sini. Mungkin mereka cuma mau kenalan saja. Apalagi sama perempuan secantik Adis."
Meskipun semua ini semakin aneh, tapi mungkin saja karena kami masih belum terbiasa tinggal di pedalaman. Kejadian yang kami alami mungkin hanya mimpi atau halusinasi Adis saja.
Aku yang lelah mencoba untuk membujuknya. Biasanya Adis bakalan tertawa mendengar selorohku namun kali ini dia membisu. Bahkan sarapan yang ku buat tak di sentuhnya sama sekali.
"Adis?" Aku menatap matanya yang jernih. Pandangan kami hanya beradu sekian detik, sebelum Wanita itu kembali menundukan kepalanya.
Adis memang ngeyel dan suka merajuk. Tapi kami jarang bertengkar. Bahkan tak layak jika di sebut pertengkaran karena aku dan Adis saling mengerti satu sama lain. Tapi entah mengapa kali ini aku tak ingin mundur barang selangkah pun. Mungkin karena harga diriku sebagai laki-laki?
"Dadi sampeyan tego ndelok aku keweden tiap wengi?" (Jadi kamu tega melihat aku ketakutan setiap malam)

Suara Adis mulai meninggi. Selama kami menikah dia tak pernah melakukannya. Seketika harga diriku terusik. "Adis?"
"Jadi Mamas tega?!" Tegasnya lagi.

"Sudahlah ... Mamas sudah ijin sama Pak Wiro, Adis bisa ikut ke kantor kalau Mamas shift malam." jelasku sembari menahan nada suaraku agar tak ikut naik.
"Bukan itu masalahnya! Wanita pengantin itu! Dia nyuruh kita pergi Mas! Dia ndak suka kita tinggal di sini."

Adis yang kekeh membuatku semakin penat dan menghela nafas. Kalau sudah begini aku harus bagaimana?
"Mamas, ono seng elek neng kene. Mung Adis ora iso mastike lan ngomonge karo sampeyan. Sing pasti makin cepet awak'e dewe lungo makin apik. Jadi ayok muleh"
(Mamas, ada yang buruk di sini. Hanya saja Adis gak bisa memastikan dan tak tahu cara bilangnya sama kamu. Yang pasti semakin cepat kita pergi semakin baik. Jadi ayok pulang)
Aku hanya diam dan tak menjawab apapun. Kedua tanganku mengurut kepalaku yang semakin penuh. Amarahku mulai bergolak. Masalahnya tidak sesederhana itu. Aku ini laki-laki yang dengan 'harga dirinya' memintamu dari Bapak dan Ibu, keluar dari rumah.
Apa jadinya jika aku kembali dengan tangan hampa. Apalagi Ibu sedari awal tak menyukaiku. Bahkan saat tahu aku seorang yatim piatu ibu semakin menentang. Walaupun akhirnya wanita itu menerima lamaranku.
"MAMAS?"

Teriakan Adis menyadarkanku dan terus mendesak. Sebagai seorang suami, aku tak mau jika suara Adis lebih tinggi, sorot mataku penuh amarah, wajahku pun membesi.
Hanya dengan lirikan mata biruku cukup membuat wanita ini terperanjat, seolah tahu jika aku takkan mengabulkan permintaannya kali ini.

Wajah Adis tertekuk, netranya kembali berair. Wanita itu bergegas pergi meninggalkan meja makan dan sarapannya.
Bantingan pintu kamar bukti amarah dan kecewanya padaku. Tak lama suara tangisan terdengar lirih membuat kepalaku semakin berdenyut. Ah, aku harus bagaimana? mengalah lagi?
Sepanjang hari ini aku tidur di ruang tamu, menyetel televisi meskipun aku tak menontonnya. Ini kali pertama wanita itu merajuk seharian, juga melewatkan makan siang. Meskipun aku terus membujuknya, wanita keras kepala itu tak peduli sedikitpun.
Dia hanya keluar untuk wudhu dan sholat sambil mengacuhkanku. Ah ternyata seperti ini rasanya bertengkar. Aku menyesal membuatnya marah tapi seandainya saja Adis mengalah. Kali ini saja!
Matahari mulai condong ke barat. Semburat cahaya menerpa jendela dapur yang transparan memperlihatkan senja yang merah dan memantulkan warna jingga di dinding. Aku semakin kalut, Adis belum juga bicara, meskipun aku terus membujukknya.
"Adis? Adis?" Panggilku. Senyap, tak ada jawaban. Tak putus asa aku terus bicara.

"Adis, Mamas mau bilang sesuatu."
Tetap tak ada jawaban. Meskipun suara tangisan sudah usai sedari tadi, namun Adis tak kunjung keluar kamar. Padahal semua ini aku lakukan demi masa depan Adis dan calon anak-anak kami kelak. Suami mana yang mau lihat keluarganya sengsara?
"Adis, Mamas buat tempe mendoan kesukaan Adis loh. Keluar dulu ya?" Bujukku lagi.

"Mamas ndak sayang sama Adis!" Akhirnya wanita itu menyahut meskipun nada suaranya masih ngegas.

"Ya sayang lah ... Adis keluar dulu dong. Gak enak loh ngomong jauh-jauhan begini."
Wanita itu kembali terdiam, lagi-lagi terdengar isak tangisnya.

"Adis? Mamas harus gimana? Gak bisa tah Adis ngerti sedikit saja."
Lagi-lagi tak ada jawaban. Aku sudah mentok dan habis akal. Merayu sudah, mengetuk berulang kali sudah. Apa aku harus nangis juga. Ini seperti simalakama, aku tak ingin melepaskan pekerjaan ini sedangkan di sisi lain Adis juga berharga dalam hidupku.
Aku ingin keduanya. Mungkin terdengar tamak, tapi sekali lagi karena aku laki-laki.

"Adis ... Sudah gak mau ya sama Mamas?" Akhirnya aku mengatakan sesuatu yang ku tahan. Pandanganku jadi buram, genangan air di sudut mataku sudah tak tertahan lagi.
Suara derik ranjang terdengar, tak berselang lama pintu terbuka. Pertama kali yang terlihat adalah wajah Adis yang bengkak dan sembab, netranya merah dan berair. Aku makin sedih, tapi aku juga gak mungkin resign begitu saja.
"Tapi Adis takut," wanita itu masih terus mengatakannya.

"Dari awal kita di sini, Adis sudah ndak betah. Tapi waktu Mamas bilang kita tinggal di sini ... Adis tambah ragu buat bilang ke Mamas." Wanita itu kembali terisak. DIA MASIH TAK MAU MENGALAH.

"Terus gimana?"
"Ayok balek"

Aku hanya mengusap kepalaku kasar berulang kali. Terkadang aku juga membenci sifat ngeyel dan keras kepala Adis.

"Adismi, gak mungkin kalau Mamas resign sekarang." bujukku.

"Kenapa ndak bisa?" Wanita itu masih meninggi.
Aku tak pernah mengatakan hal yang aku suka atau aku benci. Aku selalu menerima apapun yang terjadi tapi kali ini saja Adis, Aku tak ingin ibumu mencibirku lagi.

"Adis, Mamas gak bisa," Aku sebisa mungkin menahan ego dan suaraku tapi tidak dengan Adis.
"KENAPA MAS!" Teriaknya yang menjebol pertahananku.

"KARENA IBU GAK PERNAH SUKA SAMA MAMAS!"

Mata itu terkejut, dengan isak tangisnya. Adis tak pernah menyangka jika aku akan membentaknya seperti ini. Namun emosiku belum padam. Seolah semua yang aku tahan tertumpah saat ini.
"IBUMU GAK PERNAH SUKA SAMA LAKI-LAKI YANG ADA DI DEPANMU ADISMI!"

Wajahku mengeras bersamaan dengan mataku yang berair.

"Ndak MAS! Ibu ndak pernah begitu sama sampeyan." Adis yang terisak meyakinkanku.
"BOHONG!" Kepalan tanganku menghantam dinding, tepat di samping Adis. Membuatnya semakin terkejut.

"MAMAS! Ibu ndak pernah begitu."

"ADISMI!" lagi-lagi netra itu terkejut.
"Jangan bohong, Mamas tahu apa yang Ibu bilang sewaktu kita masih di Jawa! Mamas dengar semuanya Dis, kalau Andra itu, cuma anak yatim yang gak bakalan bisa kasih apapun ke kamu. Juga … Kamu yang terus bela Mamas."
Adis menutup mulut dengan kedua tangannya. Dia sunggguh tak menyangka jika aku memendam semua itu, bagaimana penghinaan Ibu dan memaksa kami bercerai.
"Bahkan Ibumu dengan hebatnya sudah memilih calon laki-laki untukmu. Padahal Mamas ini masih jadi suamimu."

Jebol! Pertahananku sudah luruh semuanya. Untuk pertama kalinya, Andra menangis di depan orang lain.
"Jadi kalau Adis memang mau pulang, Mamas anterin kamu! Tapi ... Mamas gak bisa ikut. Kamu pasti tahu artinya kan?"

Suaraku tenggelam oleh isak tangis Adis yang hebat dan bantingan pintu kamar tepat di depan wajahku. Wanita itu sungguh keras kepala.
Penuh penyesalan aku berdiri di depan pintu. menghantamkan kepalaku berkali-kali, berharap jika sakit di dahiku bisa sedikit meringankan dadaku yang remuk redam.
Aku bersiap berangkat kerja dengan gamang, ini pertamakalinya kami bertengkar hebat. Aku yakin jika masih di Jawa. Ibu pasti sudah melantangkan kata 'pegat' di depan wajahku.
Sesaat sebelum berangkat aku terduduk dan menyenderkan kepalaku tepat di depan pintu. Memanggil Adis berulang-kali, namun wanita itu tetap membisu.
Hanya Isakan tangisnya yang membuat dadaku sesak. Aku sungguh menyesali semua ucapanku dan juga karena membentak Adis. Harga diri? sejak kapan aku punya hal semacam itu?

Brengsek!
Tatapanku  menerawang keluar jendela mobil, menatap siluet tebu dalam pekatnya malam, membisu. Celoteh Mas Bambang sepanjang perjalanan ke kantor tak berhasil mengusir kecemasanku. Aku hanya mendehem sekenanya saja.
Sebelum berangkat, aku sempat membuka kamar sebelah. Apa yang ada di dalam memaksaku terus berfikir mungkinkah jika si loro estri itu benar-benar hidup?
Terakhir aku meninggalkannya, posisi patung itu masih menghadap ke depan pintu, dengan senyumannya yang semakin terlihat menakutkan. Saat aku melihatnya lagi, posisinya sudah berubah. Dia memunggungiku.
Kudukku meremang, semakin hari patung itu semakin ganjil. Aku bahkan tak sudi untuk masuk ke dalam kamar dan segera mengunci pintunya rapat-rapat. Untung saja Adis tak ikut melihat.
Ah! Adis. Dia masih marah padaku. Bahkan saat aku berangkat pun, dia tak keluar kamar.

Suasana di dalam pabrik ramai, bahkan lebih sibuk karena buka giling tinggal beberapa minggu lagi. Pendaran cahaya las, bunyi dentang besi yang di pukul bertalu-talu.
Semua bersatu menjadi simfoni yang bergema di langit yang gelap. Mendung pekat menggantung, beberapa kilat merambat dalam kecepatan cahaya, di susul bunyi gemuruh yang terlambat. Angin berhembus kencang, hujan pasti turun sebentar lagi. Langit bahkan menggambarkan perasaanku!.
Aku berjalan cepat menuju gudang sparepart. Mobil Mas Bambang tak bisa masuk ke depan gudang karena barisan pipa menghalangi jalan. Sepertinya maintanace pipa boiler belum selesai. Sempat aku curi dengar dari beberapa orang, jika ini harus selesai dalam dua hari.
Artinya divisi warehouse tempatku mengawas kena imbasnya. Malam ini pasti sibuk sekali. Mau hujan mau panas, atasan hanya mengerti satu kata 'beres'.
Seperti aku, di atas meja, tumpukan dokumen sudah menunggu padahal hatiku sedang berantakan karena Adis yang belum juga bicara. Kerjaan memang gak lihat tempat dan situasi.
Suara petir bergemuruh di susul rinai hujan yang jatuh berderai. Atap asbes membuat gemuruh air dua kali lebih keras. Seakan ratusan derap kaki menghentak di saat yang bersamaan. Petir dan kilat setia mendampingi hujan. Ah iya, Adis! Dia takut petir.
Aku menggeleng berulang kali. Sudahlah! Dia pasti baik-baik saja. Masalah demit yang mirip pengantin? itu hanya halusinasi saja. Ketakutan itu harus dihadapi kan?
Beberapa orang bicara sedikit berteriak, menyelaraskan suara dengan deru air yang semakin lantang. Tak terkecuali Pak Mamat. Logatnya palembangnya semakin menjadi-jadi.
"Ndra, Ado permintaan baru dari boiler." Pria Sumatra itu mengulurkan lembaran kertas padaku, kode angka dan nama barang tertera. Mereka minta pipa lagi dan juga kawat las.
Seorang pria berkacamata mendekat. Sepertinya aku paham, rupanya Aji. Tetangga baru depan rumah yang datang tadi sore. Pria cepak berkacamata keturunan tionghoa. Kami sempat ngobrol sedikit saat aku menyapu teras, beberapa menit sebelum perdebatan hebatku dengan Adis.
Mungkin karena sama-sama orang baru atau karena Aji yang ramah dan supel. Kami langsung akrab seolah sudah saling mengenal satu sama lain. Kata-kata khas 'loe guenya' mengingatkanku saat masih di panti dan sedikit mengalihkan pikiranku dari Adis.
Dari jauh Mba Ayu datang - lagi- padahal wanita itu jadwal masuk kerja tadi pagi. Ah sudahlah terserah dia. Bagaimanapun dia senior di sini.
Sudah lewat dari tengah malam, permintaan dari divisi lain sudah selesai di proses, begitu juga dengan administrasinya. Aji sudah pergi bersama belasan kotak kawat las yang di minta.
Padatnya pekerjaan malam ini benar-benar membuat kami kewalahan. Aku bahkan harus membantu mencatat pengeluaran setiap barang di stock card yang menggantung di tiap rak. Mbak Ayu hanya datang tanpa memberikan bantuan sedikitpun. Aku heran sebenarnya dia niat bekerja atau tidak.
Jauh di sudut tergelap gudang spare part. Di bawah bayang-bayang, aku masih menghitung satu persatu baut sebesar bola sepak.

"Satu, dua - empat, lima." Sambil menghitung, aku juga menilik tiap kotak. Sparepart di sini serupa tapi tak sama. Jadi harus sedikit teliti.
"...Enam, tujuh ..." 

EH! Seseorang melanjutkan hitunganku.

Aku langsung diam, berkosentrasi juga menengok ke kiri kanan sambil menunduk, mengamati celah-celah rak. memasang pendengaran sebaik mungkin tapi bisikan itu menghilang.
Ah perasaanku saja dan ayolah sedikit lagi, hiburku.

Belum satu menit berlalu, aku kembali bekerja saat suara itu kembali. "...Delapan, sembilan?!"
Dan kali ini ia berbisik di telingaku. Lirih dengan hembusan nafasnya begitu dingin. Ketakutan merayap seperti sulur mengunci tiap sendi tubuhku dalam hitungan detik.
Sosok itu merengkuh, dari dalam kegelapan. Lagi-lagi sebuah tangan wanita yang sama. Tubuhnya yang dingin membuatku bergetar ketakutan. Dan di setiap sudut yang gelap, di langit-langit juga di kolong rak besi. Aku merasa puluhan pasang mata menatap.
Menikmati setiap detik ketakutanku. Seperti sebuah pertunjukkan.

Rinai hujan masih berirama di atas atap asbes yang berisik, namun suaranya perlahan tenggelam oleh ratusan tawa yang lirih - laki-laki, perempuan - mengejekku. Diiringi gending pengantin yang sama ...
Kilat petir disusul gemuruh membiaskan kegelapan. Tak Ada siapapun. Gelak tawa itu dari mana asalnya?

Belum juga terjawab, kali ini mereka terbahak-bahak, suasana yang sepi berubah menjadi ramai, seolah ratusan orang berkumpul dan menghimpitku.
Alunan kenong dan gong karawitan betalu-talu ... Sesak! Pengap! Panas! BERISIK!

Wanita itu, dia memelukku semakin erat. Membuatku kesulitan bernafas. Tawanya mengikik. Mereka bertambah ramai. Kepalaku berat seperti ditimpah balok baja. Ketakutan telah membuatku gila!
Aku tak berdaya menghadapi mereka.

Seolah tak puas, puluhan tangan pucat dan busuk menarikku jatuh ke dalam kegelapan. Apa ini? Bukannya aku masih di gudang? Ini di mana? Aku ingin berlari tapi tubuhku terbelenggu bahkan sepatah kata tak mampu aku ucapkan.
Gelap! Sesak! Bising! HENTIKAN! 

Mereka terus memanggilkku berulang kali sambil tertawa terpingal-pingkal. Kali ini bukan lagi ratusan orang melainkan ribuan suara gemuruh tumpang tindih dengan gending kebo giro. Aku buta, tak bisa melihat apapun! Telingaku berdenging.
Dalam gelap aku meraba mencari jalan keluar, tanganku menyentuh permukaan dinding yang kasar, aku menjadikannya penuntun dalam gelap dan pengap. Terus merayap dalam ketakutan dan kegelapan, belum lagi derai suara itu membuatku ingin menyerah,
saat sayup-sayup terdengar suara lain yang sangat aku kenal, Adis! Ya dia memanggilku di antara derai gelak tawa mereka yang memuakkan. Kelembutan suara Adis yang kontras perlahan menuntunku kembali!
Selarik cahaya terang menuntunku dan semakin terang hingga membutakanku dan kembali terbangun!.

Aku menarik nafas sekuat mungkin, seperti orang yang menyelam dan kembali kepermukaan, Peluh sebesar biji jagung membasahi dahi dan bajuku. Aku linglung, kesadaranku terpecah.
Apa ini? Aku mengurut kepalaku yang sakit. Telingaku bahkan masih berdenging. Gelak mereka masih membekas di sana. Alunan kenong juga masih tersisa.
Segelas air di atas meja tandas berhasil membuatku kembali sadar sepenuhnya. Rupanya aku masih di dalam ruangan, tertidur di atas meja kerja. Jam di dinding menunjukan pukul 02.00 WIB. Kapan aku kemari? Bukannya tadi aku sedang menghitung di sudut gudang?
Sekali lagi bisikan itu kembali,

"... Telulas irigan, estri lan jaler, RADEN ... "
Cukup ya?
Sudah satu jam setengah, lumayan juga. Untuk yang mau baca kelanjutannya monggo bisa ke KaryaKarsa saya.

Yang mau sunahan monggo, kalau saya tidur dulu. Terima kasih.

karyakarsa.com/simpledandism1…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with simpledandism123 🍉

simpledandism123 🍉 Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @simpledandism

Sep 28, 2023
Asslamualykum, Yuk kita lanjut cerita sequel Tebu Manten.

Julung Kembang : Part 11

Ijin tag ya Bang.

@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @threadhororr #malamjumat Image
Siapa?
Siapa yang berani menjemput ajalanya?
Keturunan mana yang suka rela mengantarkan nyawanya? Menyerahkan kekuasaannya!
Jarak kami semakin pendek, kini di hadapanku berdiri seorang pria berbeskap hitam dengan blangkon warna senada dan ucapannya membuatku yakin jika di dalam pria itu sudah menunggu, pemilik ritual gambuh.
Read 93 tweets
Sep 21, 2023
Lanjut ke sini ya, Bang.

Julung Kembang : Part ke 10

@IDN_Horor @bacahorror @SpesialHoror @threadhororr @karyakarsa_id Image
“Walah, mau mati saja banyak tingkah.” Cibirku pada Garwita sambil terus tertawa puas. 

“KEPARAT! AKU ORA WEDI MATI!” Garwita masih terus memaki dengan pongahnya.

Kesal! Nyai Durganti menarik sulur yang membelitnya sekuat mungkin. Wanita itu menjerit parau sampai …
Semua anggota geraknya terpisah, tubuh itu tercerai berai. Darah menyembur dan terakhir kepala itu tercabut dari tubuhnya. 

Kematian itu pasti sangat menyakitkan karena kedua wanita yang tersisa mulai merengek memohon ampun seperti para tumbal.
Read 56 tweets
Sep 21, 2023
Assalamualaikum, apa kabar? Saya lanjut lagi ya. Bismillah.

Julung Kembang : Part 09

Ijin Tag Bang,

@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @karyakarsa_id @SpesialHoror @C_P_Mistis @ceritaht #horor Image
Selepas kepergian Pak Ade dan Mas Agung, aku masih terpekur sendiri sambil sesekali menyesap kopi dingin yang hambar. Memikirkan tetang sebelas ritual ini sambil menghembuskan asap dalam ruangan yang mulai redup. Aku kembali mengulangnya, tentang janji Wijaya.
Sebelas ritual miliknya yang menggambarkan perjalanan hidup manusia.

Aku sudah tahu hakikat syair macapat ini adalah keberadaanku tapi ada satu lubang besar yang masih mengganjal dalam pikiranku. Kenapa dari sebelas ritual ini,
Read 85 tweets
Sep 14, 2023
Assalamualaikum. Lanjut lagi ya cerita Mas Andra dan Mbak Adis.

Julung Kembang : Part 08

Ijin tag ya Bang.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id #malamjumat #horror #horor Image
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Selintas pengelihatan yang aku dapatkan setelah menelan simpul kinanthi menuntunku kemari. Sambil bersandar di pintu toko yang tutup aku duduk begitu saja di atas lantai yang kotor, memperhatikan keramaian di depanku.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Sudah lewat tengah malam, bukannya berkurang, bangunan di depanku ini justru semakin ramai oleh kerumunan pria hidung belang, penjudi dan wanita sundal yang keluar masuk.
Read 95 tweets
Sep 8, 2023
Bismillah, lanjut lagi ya. biar cepat selesai dan ngak penasaran.

Julung Kembang : Part 07

Ijin tag Bang.
@IDN_Horor @SpesialHoror @chow_mas @threadhororr @C_P_Mistis @karyakarsa_id #horror Image
Pagi baru menjelang, cahaya mentari baru mulai menghangat. Di dalam ruang kerja, aku menuliskan semuanya pada halaman terakhir buku hitam peninggalan buyutku yang gila.

Menorehkan tinta dengan tangan gemetar, menggenggam pena itu sekuat mungkin.
Menggigit bibirku hingga berdarah, rasa asin dan anyir itu menyebar dalam rongga mulutku pun kesedihan yang semakin meluap. Pesan terakhirku untuk Adis.
Read 93 tweets
Sep 6, 2023
Assalamualykum, nah sesuai janji saya lanjut lagi ya,

Julung Kembang : Part 06

Ijin tag Bang,

@IDN_Horor @IDN_Horor @SpesialHoror @karyakarsa_id @wattpad @threadhororr Image
Setelah belasan pemeriksaan lanjutan, Aji dipindahkan ke ruang perawatan kelas satu di lantai atas.

Kabel pendeteksi jantung menempel di dada kecilnya, tak ketinggalan selang oksigen dan selang makanan menjejali wajahnya yang kecil. Hatiku teriris-iris.
Jarum infus itu menancap di lengan Aji, menyakiti putraku yang malang.

Suara mesin denyut jantung berirama dengan tenang menggema keseluruh ruangan. Setiap detaknya seperti palu godam yang mengahantamku. Hasil ct-scan, lab, bahkan riwayat kesehatan Aji semuanya normal.
Read 95 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(