simpledandism123 🍉 Profile picture
Mar 9, 2023 163 tweets 21 min read Read on X
Assalamualikum.
Malam jumat waktunya saya up!.
Part 5 "TEBU MANTEN"
Untuk yang belum baca part sebelumnya bisa cek akun profil saya atau ke watpad aatau ke Karyakarsa.

Ijin Tag ya Bang,
@IDN_Horor @karyakarsa_id @SpesialHoror @bacahorror_id #malamjumat #horror #horor Image
Segelas air di atas meja tandas berhasil membuatku kembali sadar sepenuhnya. Rupanya aku masih di dalam ruangan, tertidur di atas meja kerja. Jam di dinding menunjukan pukul 02.00 WIB. Kapan aku kemari? Bukannya tadi aku sedang menghitung di sudut gudang?
Sekali lagi bisikan itu kembali,

"... Telulas irigan, estri lan jaler, RADEN ... "

Jam 02.00 WIB.

Lagi-lagi jam yang sama dan sudah kesekian kalinya aku mimpi buruk. Jantungku belum juga tenang saat ...
Sekelebat bayangan lewat dari belakang punggungku secepat kilat menuju pintu keluar yang terbanting keras. Jantungku kembali memompa darah sampai ke kepala. Hempasan angin menjatuhkan sesuatu dari atas lemari di sebelah meja kerjaku. Sebuah amplop coklat kusam dan berdebu.
Aku mengernyit, Takut! Tentu saja! Tapi rasa penasaranku lebih besar, aku merunduk dan memungutnya. Amplop kotor tertutup rapat dari bentuknya yang sedikit menggelembung, sepertinya berisi sesuatu benda kecil dan terbuat dari logam.
Tergesa aku membukanya, sebuah anak kunci berkarat dengan ukiran bunga melati dan kantil di tiap sisinya. 
Aku masih melamun saat ketukan di pintu menyadarkanku. Refleks tanpa pikir panjang aku memasukkannya dalam laci, Mbak Ayu masuk membawa secangkir kopi.
Aku hanya menghela nafas. Mau apa dia kemari?
"Pak, mau kopi?" wanita itu berjalan mendekat dan meletakkan cangkir di atas meja.

Aku hanya menghela nafas, "Nanti saja Mbak." 

"Tapi saya sudah buat untuk Pak Andra loh!"
Perempuan ini tidak mengenal penolakan ya? Membuat mood ku bertambah buruk.

"Ya, nanti saja Mbak." Tegasku lagi.
Memang sifat dasar perempuan itu keras kepala, Mbak Ayu terus mendesakku untuk minum kopi buatannya. Baiklah aku mengalah. Semoga saja dengan begini wanita ini akan berhenti dan segera pergi. Sudah kuduga, manis dan lagi-lagi sedikit amis ...
"Enak?!" Wanita ini bicara sambil mendesah. Membuat kudukku meremang, Aku hanya tersenyum gamang menjawabnya dan sesuai prediksiku wanita ini berlalu setelah aku meminum kopinya yang aneh.
Tapi ternyata kopi manis enak juga ya? Mbak Ayu … Jika dilihat lebih lama lumayan cantik sih. Ah! Pinggulnya ramping, dadanya juga besar, pasti lembut dan ...
TUNGGU! Aku memikirkan apa sih? Dasar MESUM GILA! Secepat kilat aku menghantamkan kepala ke atas meja. Rasa sakit di jidatku yang bengkak seketika membuatku waras.
Kesialanku belum usai, beberapa menit sebelum pulang aku malah mandi air hujan, memeriksa jumlah pipa di tempat sebelumnya, dekat pos satpam yang terbengkalai. Alhasil pakaianku sampai kering di badan. Padahal saat itu sudah jadwalku untuk pulang.
Di perjalanan, badanku panas dingin tak karuan, mungkin karena mimpi seram itu atau karena aku yang memaksakan diri pergi ke belakang gudang atau karena kopi Mbak Ayu yang aneh. Entahlah! Aku tak bisa memastikan.
Hempasan angin dari kabin mobil semakin membuatku menggigil. Mas Bambang berulang kali memintaku untuk membuka baju, tapi aku menolak. Bukannya tak mau, tapi risih. Semua orang bisa melihat bekas lukaku yang hampir menutupi separuh punggung dan tangan kiriku.
Meskipun sudah ku tutup dengan tatto tetap saja aku minder. Barut luka itu sungguh tak enak di lihat. Kendati aku cacat begitu Adis menerimaku apa adanya. Itu salah satu alasan betapa aku mencintainya. Ah iya dia masih marah.
Kira-kira semalam Adis bisa tidur tidak ya? Atau dia masih ketakutan.

Mobil masuk ke halaman rumah, pintu dan jendela masih tertutup rapat. Apa Adis belum bangun? 

Selepas Mas Bambang pergi aku mengetuk pintu ruang tamu, tak ada jawaban.
Mungkin saja Adis belum bangun atau dia enggan membuka pintu untukku?
"Adis?" Tetap sepi, akhirnya aku memutar ke belakang, pintu dapur terbuka. Ah rupanya dia sedang memasak. Biasanya Adis akan menyambutku saat pulang, sambil tersenyum kemayu, sekarang?
Dia hanya melirik dan mengabaikanku. 
 
"Masak apa?" Tanyaku lembut seperti biasa.

Lagi-lagi, dia hanya diam. Ini sungguh tak nyaman. Kami seperti orang lain. 

"Mandi disek, adem." Akhirnya Adis bicara, ketus!
Tak apalah setidaknya dia sudah mau membuka mulutnya yang terkunci dari kemarin. Aku bergegas mandi, sambil melamun dan menggigil, merasakan air yang mengguyur sedingin es. Demamku semakin menjadi.
Adis hanya menyiapkan sarapan untukku dan meninggalkanku sendirian di meja makan. Wanita itu berlalu, aku hanya menatap punggungnya yang masuk ke dalam kamar, lagi-lagi pintu dibanting dan tedengar suara anak kunci diputar.
Aku makan dengan hampa, mulutku terasa pahit, bersamaan dengan mataku yang memanas karena sikapnya. Adis, mengertilah sedikit saja.
Aku memilih tidur di sofa ruang tamu di temani suara tv, saat ketukan di depan pintu membangunkanku. Aji, pria cepak berkacamata itu berkunjung.
"Siang! Gue ganggu gak?" 

"Gak. Masuk aja." Kebetulan aku butuh teman bicara. Aku membuka pintu lebar tapi Aji menggeleng.

"Ngobrol di teras aja boleh?" Aku hanya meng'iya'kan pendek.
"Ngopi?" Tawarku.

"Bolehlah."

"Manis?" 

"Pahit aja."

Rupanya selera kami sama. "Oke!" Aku masuk bersamaan dengan aji yang duduk di teras. Tubuh tegapnya bersandar di dinding rumah.
Mungkin karena beberapa hari yang lalu aku tak mengamati dengan benar, rupanya pria di depanku ini memiliki warna mata yang berbeda dari orang kebanyakan. Sepertiku biru. "Loe udah lama kerja di sini?" Pria itu membuka bungkus rokok dan menawarkan padaku, seketika aku menolaknya
"Baru beberapa hari."

"Masuk lewat jalur mana?"

"Lewat koran, kalo Mas Aji?"

"Sama, loe betah gak di sini?" Tanya pria itu sambil menyesap kopinya yang mengepul.

"Belum tahu. Masih mencoba."

"Kalo bisa cepet pindah."
Pria di depanku ini memang ramah dan cepat akrab, tapi sepertinya keterlaluan jika dia menyuruhku begitu.

"Kenapa?" Tentu saja aku bertanya.

"Loe gak ngerasa aneh ndra?" Dan entah sejak kapan dia merubah namaku menjadi 'ndra', seperti Pak Mamat.
"Aneh? Ya kadang sih."

"Gue baru dua hari, tapi setiap malam ada orang yang hilir mudik di sebelah jendela kamar." Tanpa basa basi Aji mengatakannya padaku.

"Perasaanmu aja kali Mas." sanggahku langsung.

"Bisa juga, tapi setiap malam?"
Aku hanya menaikkan bahu menjawabnya sambil menyesap kopi. Rasanya beda, hambar. Mungkin hanya perasaanku saja atau karena opi buatan Mbak Ayu lebih enak?

"Loe tahu gak cerita di sini?"
"Memang ada cerita apa Mas?" Terang saja aku kaget, padahal kami orang baru, si Aji ini sok tahu juga. Pikirku sampai aku mendengar ia kembali bicara.
"Banyak orang yang dilaporkan hilang di sini, juga banyak kecelakaan kerja." Aku pikir Aji bercanda, tapi sorot mata dan wajahnya berbeda. Ia tak main-main.
"Masa sih Mas?"

"Tereserah loe mau percaya apa kagak?"

"Bukannya polisi pasti tahu ya?"

"Nah itu yang buat di sini semakin aneh."

"Memang Mas Aji tahu dari mana?"
Pria itu sudah membuka mulut untuk bicara tapi dia seketika berhenti, saat di depan kami melintas Pak Wiro yang terengah-engah dengan perut buncitnya yang berguncang,  bersama Ari putranya yang lebih pantas jadi cucunya saja. Mereka lari pagi rupanya.
Pria tengah baya itu melambaikan tangannya pada kami berdua, aku membalas dan berbasa-basi saat dia lewat. Saat aku melirik Aji, wajahnya Aji membesi dan lamat-lamat aku mendengar ia berkata 'benar'.

"Benar apanya Mas Aji?"
Pria itu langsung gelagapan, "Gak apa-apa kok. Eh tadi nanya apa?" 

"Benar apanya?" Aku kembali mengulanginya.

"Bukan yang itu, yang sebelumnya loe tanya?"

"Mas Aji tahu dari mana, soal orang hilang."

"Sebelum masuk kerja di sini gue sempat cari tahu."
"Udah tahu begitu kenapa tetap di terima?" Tanyaku lagi.

"Gue juga harus meminta
penjelasan dari seseorang."

Aji selain ramah dan supel, ternyata misterius juga. Dan satu hal lagi, dia menawarkanku rokok tapi dia sendiri tak memakainya. Pria cepak yang aneh.
Aji pulang tepat sesaat sebelum waktu sholat dhuhur tiba. Ada satu hal lagi yang menggangguku semenjak tiba di sini. Kompleks perumahan 'direksi' ini tak ada masjid ataupun mushola. Jika tiba waktu sholat Jum'at,
aku harus pergi sedikit jauh ke perumahan di dekat kompleks sekolah. Jika masih ada Mas Bambang, aku akan minta dia untuk mengantarku, kendati pria itu tak pernah ikut masuk. Jika aku mengajaknya, pria berkumis itu selalu berkilah, nanti atau di rumah saja.
Yah, itu pilihan masing-masing sih.

Hari sudah beranjak sore, aku terbangun karena bau masakan Adis. Meskipun ngambek dia tetap melayaniku seperti biasa. Bedanya tak ada lagi senyum kemayu dan sikap manjanya.
Punggung itu masih berdiri sambil membasuh piring di westafel. Aku yang tak tahan dengan sikapnya, segera memeluk dari belakang. Tentu saja Adis memberontak, sekalipun dia menolak, aku memaksa memeluknya semakin erat.
"Lepas!" Suara lembut itu kini ketus dan dingin.

"Adis, gak bisa tah ngalah kali ini aja?" bisikku tepat di telinganya.

"Mamas! Adis lagi ndak mau ngomong sama sampeyan. Jadi lepas!"
Adis segera membasuh tangannya dan mendorongku untuk menjauh sambil berpaling, matanya kembali berair.

Adis bahkan tak sudi menatapku lagi. "Adis, kenapa gak mau ngalah? Sekali ini aja!" Niatku untuk membujuk tapi wanita ini justru semakin meradang.
"YA! ADIS MEMANG NDAK PERNAH BISA NGALAH, JADI NDAK USAH AJAK ADIS NGOMONG LAGI!"

lagi-lagi dia berteriak dan mengunci diri dalam kamar. Meskipun hati dan kepalaku penat, aku ingin semuanya cepat berakhir. Pertengkaran ini melelahkan.
Bahkan demamku yang semakin menjadi tak lagi kurasakan.
"Adis semua ini untuk kita. Tolong mengerti sedikit. Itu hanya mimpi dan khayalan Adis saja," ucapku dari balik pintu, wanita itu kembali menyahut.

"LEK NGUNU, OJO GETUN LEK KULO SUWI-SUWI DADI EDAN!"
Teriakan Adis seiring gebrakan di belakang pintu, wanita itu melampiaskan amarahnya.

"ADIS!"

"PERGI! ADIS BENCI SAMA MAMAS!" Adis semakin histeris. Kata-kata itu berhasil mengoyakku luar dalam, Aku duduk bersimpuh, bagaimana ini?
Bukannya usai, pertengkaran kami justru meruncing.

"Adis? Adis?"

Wanita itu kembali menangis terisak dan tak menyahut lagi kendati aku terus memanggilnya, bahkan sampai aku berangkat pun dia tetap tak mau bicara.
Sepanjang perjalanan kami bertiga membisu. Aku, Mas Bambang dan Aji. Sepertinya mereka berdua paham jika aku dan Adis bertengkar.

Di salah satu rak yang redup, aku memeriksa sparepart, permintaan dari divisi electrik saat seorang datang dari koridor yang redup.
Semenjak pertama kali bekerja, Aji selalu berkeliaran di gudang, mengurus permintaan dari divisi boiler tempatnya bertugas. Bahkan dia lebih sering berada di divisi warehouse dari pada di divisinya sendiri.
Sekalipun demamku tak kunjung membaik aku tetap bekerja seperti biasanya.

"Apes gue, pertama masuk malah shift malem." Aji mulai bicara dengan dengan gayanya yang khas.

"Iya, tapi enak gak ada bos," jujurku. Dan masih terus menghitung.
"Iya sih, apalagi Pak Robert bolak balik nanyain kerjaan boiler," tukasnya lagi.

"Tapi gue kaget banget waktu pertama ketemu Pak Robert. Gue kirain dia londo, gak tahunya medok berat." Aji terkekeh rupanya kesan kami berdua sama.
"Tapi waktu gue pertama kali masuk. Kaget banget," Aji ini tipe yang cukup banyak bicara juga. Meskipun kadang-kadang dia terlihat misterius.
"Kaget kenapa?" Aku bicara sambil menyambut uluran kertas dari Pak Mamat, yang tiba-tiba saja datang seperti hantu, lalu pria palembang itu langsung pergi - secepat ia datang - setelah menerima tanda tanganku.
"Pertama kali gue dateng di ciprat air kembang." Aji bicara sambil bergidik.

Aku hanya tertawa melihat reaksinya. "Oh! Kalau itu sama."

"Loe juga? Katanya sih biar unggah ungguh gitu. Gila ya mereka masih percaya begituan."
Aji terus bicara, sepertinya dia juga tipe yang bicara tanpa saringan.

"Namanya juga kepercayaan orang Mas."

"Ndra! Jangan panggil gue Mas, gue bukan logam mulia." Rupanya dia suka bercanda juga.
Aku terkekeh mendengar selorohnya. Apa kabarku yang setiap hari di panggil Mamas sama Adis.

Ah iya benar, Adis. Kapan dia akan menarik emosinya dan mengalah. Aku sungguh merindukan sikap manjanya.
Apalagi jika tahu aku sakit begini, Adis pasti sudah mengerikku dengan minyak angin, lalu berseloroh jika aku sudah sembuh karena keringat membanjiri keningku, padahal itu semua karena aku merasakan sakit yang menyiksa. Bisakah kami seperti dulu lagi?
"Ndra loe asalnya dari mana?" Suara Aji membuyarkan lamunanku. Tapi mendengar pertanyaan Aji membuat kesedihanku bertambah. Dari kecil aku alergi dengan pertanyaan, di mana rumahmu? Kau anak siapa? Dan lahir di mana?
Bahkan tanggal lahir di KTP-ku adalah saat pertama kali datang ke panti asuhan. Lucu juga, seandainya saja mereka bertanya terlebih dahulu, pasti aku akan menjawab tanggal 25 Desember saja. Setidaknya itu mudah untuk diingat.
"Ndra, gue nanya malah di cuekin." Aji menegurku yang tertegun.

"Aku … Juga tak tahu Ji."

"Hah?!" Pria itu mangap-mangap mendengar jawabanku. "Loe lahir dari batu?" Tukasnya cepat.

"Ngak bukan begitu Ji. Aku ... Yatim piatu."
Aji lagi-lagi tergagap, tapi tak lama dia justru tertawa keras. Sampai beberapa karyawan lain menoleh. Pria itu bahkan mengusap ujung matanya sambil membenahi kacamatanya yang melorot.
Seumur hidup baru kali ini aku bertemu orang yang terpingkal-pingkal setelah mendengar kata 'yatim'.

Membuatku bingung seperti orang bodoh, aku bahkan tak tahu harus bersikap marah atau ikut tertawa. Tapi gelak tawa si cepak yang mengesalkan membuatku menjitak kepalanya.
"Waduh sorry Ndra." Tapi dia tak juga berhenti terpingkal-pingkal. "Gue gak ada maksud mau ngetawain nasip loe, Tapi kalo boleh cerita kita ini sama," Ujarnya lagi.

Gantian aku yang melongo. "Maksudnya?"
"Gue juga anak pungut. Anjrit! Bisa ketemu sama orang yang bisa di ajak ngetawain nasip."

"Sialan!" Mau tak mau aku jadi ikut tertawa. Ini kali pertamaku sejak bertengkar dengan Adis.
"Ndra, denger-denger ada orang baru juga."

"Divisi mana?"

"Plantation. Cewek sunda. Cantik gila."

"Aku sudah nikah Ji."

"Lah! Gue cuma cerita doang ama loe. Gue naksir."
Aku hanya geleng-geleng mendengarnya. Tapi apa memang Aji ini mudah dekat sama orang baru ya?

"Ya kalau naksir pepet saja, nanti keduluan orang."

"Masa baru ketemu langsung bilang suka." Aji mendengus kesal dengan ucapanku.
"Emang apa salahnya? Aku pertama kali ketemu Adis langsung ngajak nikah tuh!"

Aji melongo mendengar jawabanku. "Edan Lo?"

"Adis juga bilang gitu."

Aji kembali tertawa, "Tapi loe orang lagi berantem ya?" Aku hanya melirik
Tapi Aji kembali meneruskan ucapannya. "Cewek kalo ngambek memang serem kaya demit." Si Aji malah bicara sembarangan. Saat aku menegurnya dia malah cengengesan.
Semenjak mimpiku yang terakhir, aku bertekad tak akan tidur di kantor dan selalu menyibukkan diri dengan mengecek mris atau membaca ulang standart prosedur. Menganalisa kalau-kalau ada yang belum sesuai prosedur.
Mataku sekuat mungkin menahan kantuk yang menyiksa saat pintu ruangan terbuka, Mbak Ayu datang dan membawakanku kopi.

Mendekat padaku yang duduk di meja. Aku hanya meliriknya sekilas dan terus membaca coretan di buku agenda.
Sambil tersenyum-senyum wanita itu meletakkan cangkir di atas meja. "Kopi Pak?" 

"Bolehlah Mbak. Kebetulan saya ngantuk."
Entah sejak terakhir aku meminumnya, kopi buatan Mbak Ayu lebih manis, semanis senyumnya sekarang dan entah sejak kapan, wanita ini terlihat semakin cantik atau hanya perasaanku saja. Mataku terpaku pada wajahnya, ternyata Mbak Ayu tidak hanya manis ... Dia juga mengairahkan!
Wanita itu masih terus menatapku yang menyesap kopi sampai habis dalam sekali minum, saat gelas itu tandas. Sedikit demi sedikit ia menunduk, bibirnya yang merah mendekat dan menciumku penuh nafsu.
Entah karena aku yang lama tak melakukannya atau karena memang aku sudah gila, bibir wanita ini manis sekali. Dia bahkan berani duduk di pangkuanku. Meraba punggung dan leherku, membuatku terhanyut. Dia sungguh mahir.
Hampir saja aku membuka kancing seragam Mbak Ayu, sampai tepat di belakang punggungnya pengantin wanita tanpa kepala berdiri di sudut ruangan.

Sesuatu menggelinding melewati kolong meja dan berhenti tepat di sebelah kakiku.
Itu kepalanya, dengan rambut yang ikal dan lengket menutupi separuh wajahnya yang hancur, ia meringis, liur hitamnya mengalir menjijikkan di sela giginya. Kedua bola matanya hilang!
Aku sontak bangkit sambil mendorong tubuh Mbak Ayu sejauh mungkin dan tersadar jika yang aku lakukan adalah kesalahan besar.

"BANGSAT!"

Satu kata dan pengantin itu telah menghilang. Sedangkan Mbak Ayu yang kecewa menarikku untuk kembali duduk.
"Mas kamu mau kan? Kenapa berhenti?"

Aku segera menyadari perubahan dalam diriku. Tapi lagi-lagi senyum Mbak Ayu memaksaku untuk menurutinya. Perasaan aneh itu bangkit lagi. Nafsuku ditunggangi sesuatu. Tanpa jeda aku bergegas keluar sebelum kehilangan kesadaranku lagi.
Tepat saat itu Mbak Ayu berkata penuh amarah,

"TAK PATENI BOJOMU!"

Aku tak menggubrisnya . Hampir saja dasar sinting!
Aku buru-buru keluar ruangan, mengusap wajahku berulangkali. Barusan itu benar-benar menjijikkan, aku hampir saja menggauli wanita lain dan menjadi sampah!
Langkah kakiku bergegas menuju toilet, mengguyur kepala dengan air keran, mengembalikan kewarasanku secepatnya. Ini sungguh tak masuk akal, bagaimana bisa aku menyukai wanita selain Adis. Apalagi dengan perempuan seperti Mbak Ayu,
bagaiman jika sampai Adis tahu. Membayangkannya saja hatiku sudah sakit. 

Mbak Ayu? Dia ... Cantik?! Gila! Ini tak benar! Apa yang sudah dia lakukan padaku?
Otak dan hatiku tak sejalan. Aku mulai tak waras. Adis! Ya ini pasti karena aku sudah lama tak menyentuhnya. Aku tak mungkin menghianati istriku. Peringatan Pak Mamat benar.
Ayu? Dia bukan wanita baik-baik.

Tapi belum juga aku keluar dari toilet, suara besi yang mengahantam lantai dan beberapa barang lain berdentang keras mengagetkan semua orang. Di susul suara ribut-ribut saling bersahutan.
Dari logatnya aku bisa memastikan jika salah satu dari mereka adalah Pak Mamat. 

Benar saja, pria itu bersitegang dengan Mbak Ayu. Seakan tak peduli menjadi tontonan orang banyak. Mereka saling menyalak, beradu pendapat.
"Oi.. Dak bisa mak ikak lah!" (Hoi ... Gak bisa begini lah!)

"Terserah, saya mau semuanya. Kalau tidak ...."

Wanita gila itu berlalu sambil menghentak kaki, meninggalkan Pak Mamat yang meradang. rahang kerasnya membesi.
Sambil berlalu sempat-sempatnya wanita gila itu melirik penuh makna padaku dan detik yang sama suara wanita- yang sangat aku kenal - berbisik lirih.

"... Siji ..."
Jantungku berdesir, bisikannya begitu dekat, sampai hembusan nafasnya pun membelai telinga. Secepat itu juga ketakutanku kembali, di detik yang sama aku berpaling ke belakang, tak ada apapun. Siji itu artinya satu kan? Maksudnya?
Pak Mamat berpaling meninggalkan kantor penuh amarah. Sedangkan semua orang yang melihat kejadian saling berbisik. Esok paginya, suasana kantor heboh dengan kejadian semalam. Pikirku mereka hanya berselisih paham.
Rupanya Pak Mamat bahkan sampai di pecat. Tak ada yang bisa memastikan penyebab sebenarnya alasan perselisihan keduanya. Pak Wiro bahkan tak mengijinkanku pulang untuk ikut rapat tentang perselisihan mereka.
Rapat besar dilaksanakan di balai utama divisi general affair. Seluruh pemimpin besar hadir. Ruangan rapat masih kosong saat aku datang. Tak berselang lama Pak Sigit, Pimpinan Divisi  Plantation datang bersama Pak Wiro, Pimpinan Divisi Factory.
Sedangkan Pak Asep yang mewakili General Affair datang terakhir disusul dengan Pak Robert dan Mbah Santo.

Selama rapat suasana panas dan tegang, aku pikir ini hanya karena kesalahan Pak Mamat bertengkar dengan rekan kerja.
Rupanya mereka membahas jika Pak Mamat melakukan pelecehan pada Mbak Ayu. Terang saja aku meolak mentah-mentah. 

Pak Mamat sungguh membenci perempuan itu. Jadi alasan itu sungguh konyol. Apalagi dengan kejadian semalam, Aku yakin wanita itu juga melakukan hal yang sama padanya.
Meskipun aku berusaha meyakinkan para pimpinan, usahaku bagaikan air yang menghempas karang. Keputusan rapat telah bulat Pak Mamat di pecat tidak hormat.
Membuatku semakin yakin jika Mbak Ayu ini memang bukan orang baik-baik dan kedudukannya di perusahaan ini bukan sekedar Asistenku sebagai Pemimpin Warehouse.
Surat pemecatan sudah ditandatangani, notulen rapat juga sudah dicetak. Aku tak bisa lagi menentang keputusan direksi. "Andra, please! Mr. Mamat tidak bisa dimaafkan. Okey!" Pak Wiro menepuk punggungku.
"Yes Sir, tapi ini sungguh ganjil."

"Ganjil atau tidak, turuti saja. Keputusan Pak Robert mutlak, You know!" Pak Wiro berlalu bersama pimpinan yang lain, mereka saling berbisik sambil melirik padaku. Akhirnya aku kehilangan salah satu karyawan terbaik, sekalipun dia pemarah.
Di luar ruang rapat, Mbak Ayu - yang tak tahu malu - bicara dengan Mbah Santo dan Pak Robert membuatku muak. Lagi-lagi dia melirik genit membuatku bergegas pergi namun lagi-lagi bisikan wanita itu terdengar lirih. "... Siji ..."

Lama-lama aku bisa sinting!
Mas Bambang memaksaku pergi ke medical, salah satu divisi yang mengurus kesehatan karyawan. Demamku semakin menjadi, bahkan menurut Mas Bambang wajahku sangat pucat. Aku hanya pasrah saat pria berkumis itu membelokkan mobil tepat di depan UGD.
Dalam plastik putih belasan tablet berhasil ku bawa pulang. Sebenarnya aku tak membutuhkan semua ini. Seandainya saja Adis kembali bicara  aku pasti sembuh seketika. Tapi sayang, sampai di rumah wanita itu masih diam seribu bahasa.
Adis meninggalkanku - lagi - di meja makan. Sikapnya membuat nyeri di kepalaku jadi lebih hebat, ditambah mataku yang berkabut.

Akhirnya setelah minum obat aku memilih tidur di kamar loro estri, sesuai dugaanku posisinya berubah lagi.
Tapi kepalaku yang berdenyut memaksaku mengabaikannya. Baru saja beberapa detik aku berbaring pengaruh obat memudahkanku terlelap hanya sekian detik saja.
Lamat-lamat isak tangis terdengar bersahutan dengan gemericik air. Samar wajah yang kurindukan menatapku penuh kesedihan. Handuk hangat yang menempel di dahi meringankan nyeri kepalaku meskipun linu di tiap sendi ini tak kunjung membaik.
Adis masih menangis, matanya bengkak, wajahnya sembab. 

"Adis maaf ya? Mamas selalu buat kamu sedih," lirihku. Bukannya menjawab, tangisan Adis semakin menjadi dan memelukku yang berbaring lemah.
"Adis jangan dekat-dekat, nanti ketularan." Tapi wanita ini tak juga menarik dirinya, malah pelukannya semakin erat. Kepalanya menggeleng berulangkali di atas dadaku. Airmatanya hangat, membasahi bajuku. "Sudah jangan nangis lagi," hiburku.
"Sampurane yo Mamas, Adis ndak bisa jadi istri yang baik." Adis bicara di sela tangisannya. "Adis ngerti kalo Mamas juga berjuang buat kita." Isakannya berlanjut, kadang terdengar Adis menarik ingusnya.
“Adis ndak tahu kalau Mamas menahan semua perlakuan Ibu selama di Jawa. Tapi … Adis ndak bisa milih--”

“Adis?” Aku segera menyelanya. Aku tak ingin dia semakin terluka.
“Mamas minta maaf ya? Seharusnya Mamas menahan diri, bukannya malah marah dan bentak-bentak Adis seperti kemarin."

Kepala itu mengadah, dengan kelopak mata yang bengkak. Aku bangkit dengan susah payah, sedang Adis menarik diri dan membantuku yang kepayahan.
"Jadi gimana?" Aku berhati-hati, agar Adis tak salah paham lagi.

Tapi wanita itu malah terdiam dan kembali menunduk. "Adis masih takut?" tanyaku lagi dan dia masih membisu.
Aku hanya bisa menghela nafas, hatiku benar-benar lelah dengan pertengkaran ini, juga isak tangis Adis setiap malam. Belum lagi mimpi aneh yang terus menggangguku juga masalah di kantor. Setidaknya salah satu harus selesai.
Sambil menyentuh bahu Adis, Aku menatapnya penuh kesungguhan. "Adis, gimana kalau coba sebulan dulu. Kalau Adis memang gak betah. Mamas anterin Adis pulang, tapi Mamas balik kerja ke sini untuk kerja beberapa bulan. Gimana?"
Senyuman mengembang di wajahnya yang sembab. sungguh kontras. Wanita itu mengangguk cepat. "Matur suwon yo Mamas," ucapnya. Aku hanya mengangguk cepat.

“Mamas kangen sama Adis.” Wanita itu tersenyum kemayu mendengarnya. “Maaf ya?” tanyaku lagi.
“Ho’oh.” Satu kata yang membuat hatiku lega meski badanku masih remuk redam dan sakit kepalaku yang hebat, memaksaku kembali berbaring.

Mungkin saja karena Adis merawatku atau bisa juga karena pertengkaran kami yang sudah berakhir.
Tubuhku membaik, bahkan sore ini kami sudah makan bersama.

"Adis, selama Mamas shift malem kemarin, Adis gak takut sendirian?" 

"Endak, Mamas tenang aja, Adis berani." Wanita itu mengucapkannya dengan tenang, meski ketakutan masih terbaca dari gesture tubuhnya.
"Adis? Jujur sama Mamas." Aku sangat mengenalnya.

"Hantu Pengantin itu masih gangguin Adis?" Tanyaku lagi.

Wanita itu mengangguk, "Tapi Mamas tahu ndak, sebenarnya dia ndak berniat jahat sama Adis?"
Kata-kata adis membuatku semakin bingung. "Ngak niat jahat maksud Adis gimana?"

"Dia cuma duduk saja di atas lemari, ndak ngomong apa-apa lagi, cuma kadang-kadang nangis. kayanya sedih banget Mas.”

Ini karena aku yang baru sembuh atau Adis yang ngelantur?
Tapi bukannya kemaren juga Hantu wanita itu juga yang menyadarkanku dari pengaruh Mbak Ayu. Membuatku berfikir apa alasan wanita pengantin itu terus menerorku dan Adis.
Juga sosok wanita yang menganggu di kantor, apakah mereka dua sosok yang berbeda? Apa hubungannya? Kalau begitu aku harus mulai dari mana?
Semenjak demamku membaik, terjadi perubahan dalam diriku, meski tak yakin namun aku menyimpulkan jika firasat dan pengelihatanku ada mereka menjadi lebih tajam.

Terkadang penampakan mereka akan terlihat jelas namun juga beberapa dari mereka akan terlihat seperti bayangan.
Yang lebih mengherankan saat berhadapan dengan mereka tak ada sedikitpun rasa takut, namun beberapa detik setelah mereka menghilang, ketakutanku datang terlambat. Lalu tubuhku akan merasakan sensasi panas yang membuatku lemas.
Seolah energiku terkuras, jika sudah begitu aku akan langsung merasa lapar. Seperti sekarang, Adis sudah kesekian kalinya membawa kudapan dari dapur untukku dan juga Aji yang sedang bicara sambil ngopi di teras.
"Jadi orang Palembang yang galak itu di PHK?" Aji bicara sambil mengunyah tempe mendoan buatan Adis. Sepertinya mulai hari ini si kaca mata menjadikan teras rumahku sebagai tempat nongkrong barunya.
Aku mendehem, "Iya, padahal aku sudah bilang gak mungkin Pak Mamat berbuat asusila seperti itu. Soalnya-"

Aku segera berhenti hampir saja kelepasan, bisa gawat kalau sampai Adis dengar,
karena saat ini dia ada dihadapanku bicara dengan Teh Asih - mojang bandung - wanita yang di taksir Aji.

"Kenapa?" Aji masih terus bicara. Aku segera memberi kode, menunjuk Adis dengan daguku. Tapi dasar si cepak tak peka malah tetap meneruskannya. "Kenapa memangnya?"
"Sini!" Aku memanggil Aji untuk mendekat dan berkata lirih, "Mbak Ayu itu centilnya bukan main."

"YANG BENER LOE...!"

Keributan Aji menarik atensi Adis dan Teh Asih yang serempak memutar tubuhnya pada kami, Aji segera memasang wajah tak bersalah.
Sedangkan tanganku langsung gatal ingin menjitak kepalanya yang cepak. Bisa mampus kalo sampai Adis tahu aku sekantor dengan wanita centil seperti Mbak Ayu.
Semenjak kejadian ‘gila’ itu, sebisa mungkin aku menghindarinya. Jika wanita itu mendekat aku akan segera pergi menjauh atau ngobrol bersama karyawan lain. Pokoknya jangan sampai kami berduaan saja karena desiran aneh itu masih ada.
Kami masih lanjut bicara saat mataku menangkap hal janggal dibalik jendela rumah Aji yang terbuka, sosok laki-laki berdiri mematung. Dari penampilannya aku bisa pastikan jika dia bukan manusia.
Pakaiannya berlumur darah dengan wajahnya pucat, aku masih terus mengamatinya sampai dia menghilang begitu saja seperti asap yang tertiup angin. Lagi-lagi aku melihatnya.
Kami masih terus ngobrol sambil bercanda saat wajah si kacamata berubah dingin. "Ndra? Loe percaya hantu gak?" Mata sipitnya melirik padaku. Aku hanya mengangkat bahu sambil menyuap mendoan hangat.
"Loe masih ingat waktu gue bilang ada orang yang mondar-mandir di luar jendela kamar?" Aji masih terus bercerita.

"Memangnya kenapa?" Sebenarnya aku tahu jika sosok laki-laki itu yang menganggu Aji. Namun aku enggan mengatakannya.
"Akhir-akhir ini dia gak cuma di luar tapi juga di dalam rumah."

"Mungkin cuma halusinasimu aja Ji."

Pria itu hanya menaikkan bahunya dan kembali mengunyah tempe mendoan, sedangkan aku melirik kearah rumah aji sambil menyesap kopi panas.
Kesibukanku beberapa hari ini membuatku lupa tentang loro istri di kamar sebelah sampai Adis mengingatkanku untuk membersihkan kamarnya. Padahal aku sudah memohon jika menyapu besok pagi saja sebelum berangkat kerja.
Namun Adis dengan tegas menolak. Apalagi perintah Adis seperti sebuah sabda raja, jadi menurut sajalah. Aku tak ingin lagi Adis marah seperti kemarin.
Kunci gembok ku buka perlahan dari celah pintu aku mengintip ke dalam. Lagi-lagi firasatku tepat ... Loro estri sudah berubah lagi, jika kemarin dia berdiri memunggungiku. Maka kali ini dia kembali pada posisinya semula.
Aku merunduk membersihkan kolong ranjang, samar-samar telingaku menangkap rintihan wanita yang kerap kali menjerit padaku. Dengan suara yang parau.

" ...siji!"
Seketika aku bangkit, sialnya aku lupa jika masih merunduk di kolong ranjang. Tak ayal lagi kepalaku menghantam papan sekuatnya. Belum juga aku mencerna bisikannya, tiba-tiba aroma wangi tercium dari patung pengantin... wangi kantil ... yang benar-benar harum.
Sambil mengusap benjol dibelakang kepala, aku mengingat jika sosok di kantor juga mengucapkan hal yang sama. Siji? Satu? Sebentar apakah ini ada hubungannya dengan telulas iringan?

"Mamas? Wes durung?"
Astaga! Aku melompat sambil menjerit saat kepala Adis tiba-tiba muncul di balik pintu. Wanita ini apa dia berniat jadi janda ya?
"Mamas ini! Malah kaget begitu, memangnya Adis demit?" Dia justru menyalak padahal aku yang kaget setengah mati, sudah kepala benjol ditambah jantung maraton tak karuan.

"Adis, kalau begini terus umur Mamas bisa kena diskon loh!"
"Ish ... Mamas ki ngomong sembarangan." Wanita itu manyun dan berlalu meninggalkanku yang mengelus dada. Untung sayang! Keluhku.
Adis sudah mendengkur sedari dari tadi, entah kenapa kantukku tak juga datang. Mungkin tubuhku masih menyesuaikan diri setelah shift malam beberapa waktu yang lalu.
Akhirnya aku memilih keluar kamar, memutuskan untuk mendengarkan lagu, hal yang sering kulakukan jika tak bisa tidur. Tapi udara yang dingin merayuku untuk membuat kopi. Malam yang senyap membuat dentingan sendok yang mengaduk cangkir menggema di ruang dapur.
Berbekal walkman, aku menikmati alunan 'Dust in The Wind' milik Kansas, petikan gitar selaras dengan suara sang vokalis yang lantang. Sedikit banyak aku  terhanyut dengan liriknya, jika akhirnya kita hanyalah debu yang akan hilang tertiup angin.
Memaksaku berfikir ulang tentang keputusanku pindah di sini.

Sambil menyesap kopi aku melamun menikmati ruang tamu yang gelap. Samar-samar cahaya teras membiaskan jam di dinding. Pukul 01.30 WIB. Kopi dalam cangkirku mulai dingin, padahal isi-nya masih separuh.
Semenjak minum kopi amis buatan Mbak Ayu lidahku berubah tapi aku mengabaikannya. 

Pikiranku teralihkan saat derik ranjang berbunyi dari kamar, Adis bangun?
Dari sofa tamu aku melongo ke arah lorong, tapi wanita itu tak kunjung keluar. Lalu bunyi tadi? Oh, mungkin saja Adis bergerak, kesimpulanku mantap.
Tapi suara itu terdengar kembali, kali ini lebih keras dan berasal dari kamar patung. Sepertinya itu si loro estri, mungkin karena sudah terbiasa atau karena aku tak mau ambil pusing. Aku cuek saja meski firasatku mengatakan untuk waspada.
Belum cukup puas menggangguku dengan suara derik ranjang, kali ini dari jendela rumah, lagi-lagi bayangan seorang pria melintas di teras membuatku terkejut. Aku hanya diam sampai bayangan itu kembali dan berhenti di depan jendela yang lain.
Seakan menatapku dari balik tirai. Aku masih terdiam, menunggu kira-kira apa yang akan dia lakukan. Mungkin karena sudah berulang kali melihat mereka jadi rasa takutku berkurang. Pikirku bergitu sampai ... Siluet pria itu KEPALANYA JATUH! Sedangkan tubuhnya masih tegak.
Mampus! Buru-buru aku kembali ke kamar. Baru juga masuk di detik yang sama sosok lain duduk di atas lemari, dengan kaki yang menjuntai. Pengantin Wanita yang menunduk dengan rambut yang terurai menutupi seluruh wajahnya.
Pelahan-lahan kepala itu menengok ke arahku dengan gerakan yang sangaaat lambat. Image
Cahaya redup di kamar menunjukkan wajahnya yang hancur! Mulutnya terbuka dengan cairan hitam kental menjijikkan yang terus mengalir! Matanya hilang!.
Kakiku sontak mundur beberapa langkah ke belakang hingga tembok yang dingin menghentikanku. Seolah tak cukup. Pengantin itu berbisik lirih dengan suaranya yang parau

"... Siji ..." Dia kembali menyebutkannya.
Sosok itu melayang turun perlahan, mendekatiku dan terus mengulangi ucapannya, sejengkal demi sejengkal ia mendekat, semakin dekat ... dan menggedekkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, semakin cepat hingga ... kepala itu LEPAS! Bersamaan dengan darah segar memercik ke wajahku.
Membuatku seketika menjerit dan terbangun!

ANJ***! Umpatku. Lagi-lagi mimpi gila! Aku bahkan masih duduk di kursi tamu bersama sisa kopiku yang dingin. Juga lagu yang masih berputar di telingaku. Jam menunjukkan pukul 02.00 WIB.
Kesal dan takut, aku melepaskan headsead dengan kasar dan mengusap wajahku berulangkali. Jantungku berdetak kencang. Wajah busuk pengantin wanita itu masih jelas terbayang. Juga bagaimana kepalanya yang lepas tepat di depan mataku.
Belum juga jantungku tenang, sekelebat bayangan kembali melintas di teras.

Bangsat! Apa yang mereka mau dariku, ketakutanku sudah hilang berganti kebencian.
Demit-demit ini mempermainkanku, penuh amarah aku menyibak kain hordeng dan menyadari jika bayangan itu adalah seorang pria cepak berpakaian hitam berjalan mengendap-endap menuju samping rumah. Aji!?
Ketakutan dan amarahku lenyap, berganti rasa penasaran yang hebat. Aji bertingkah seperti maling. Aku segera menutup jendela saat dia melihat kiri dan kanan, mengawasinya dari sela hordeng.
Aji mengendap-endap menuju ke samping rumah, dengan menahan nafas aku membuka pintu sepelan dan setenang mungkin. Berjingkat keluar rumah mengikutinya, namun sayang di belakang semak pagar aku kehilangan jejak ...
Sedetik sebelum aku berbalik, seseorang memiting leher dan menahan kepalaku, menarik tubuhku kedalam bayangan semak. Aku mencengkram tangannya berusaha melepaskan diri namun cekikannya makin kuat. Sesak! Wajahku memanas dan leherku nyeri, tekanan di kepalaku semakin kuat.
Pria ini pasti seorang pembunuh ...
Nah cukup ya. nanti malam minggu kita sambung lagi. Kebetulan saya ada perlu sedikit.
Untuk teman-teman yang mau baca kelajutannya bisa ke KaryaKarsa mulai dari bab 16

karyakarsa.com/simpledandism1…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with simpledandism123 🍉

simpledandism123 🍉 Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @simpledandism

Sep 28, 2023
Asslamualykum, Yuk kita lanjut cerita sequel Tebu Manten.

Julung Kembang : Part 11

Ijin tag ya Bang.

@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @threadhororr #malamjumat Image
Siapa?
Siapa yang berani menjemput ajalanya?
Keturunan mana yang suka rela mengantarkan nyawanya? Menyerahkan kekuasaannya!
Jarak kami semakin pendek, kini di hadapanku berdiri seorang pria berbeskap hitam dengan blangkon warna senada dan ucapannya membuatku yakin jika di dalam pria itu sudah menunggu, pemilik ritual gambuh.
Read 93 tweets
Sep 21, 2023
Lanjut ke sini ya, Bang.

Julung Kembang : Part ke 10

@IDN_Horor @bacahorror @SpesialHoror @threadhororr @karyakarsa_id Image
“Walah, mau mati saja banyak tingkah.” Cibirku pada Garwita sambil terus tertawa puas. 

“KEPARAT! AKU ORA WEDI MATI!” Garwita masih terus memaki dengan pongahnya.

Kesal! Nyai Durganti menarik sulur yang membelitnya sekuat mungkin. Wanita itu menjerit parau sampai …
Semua anggota geraknya terpisah, tubuh itu tercerai berai. Darah menyembur dan terakhir kepala itu tercabut dari tubuhnya. 

Kematian itu pasti sangat menyakitkan karena kedua wanita yang tersisa mulai merengek memohon ampun seperti para tumbal.
Read 56 tweets
Sep 21, 2023
Assalamualaikum, apa kabar? Saya lanjut lagi ya. Bismillah.

Julung Kembang : Part 09

Ijin Tag Bang,

@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @karyakarsa_id @SpesialHoror @C_P_Mistis @ceritaht #horor Image
Selepas kepergian Pak Ade dan Mas Agung, aku masih terpekur sendiri sambil sesekali menyesap kopi dingin yang hambar. Memikirkan tetang sebelas ritual ini sambil menghembuskan asap dalam ruangan yang mulai redup. Aku kembali mengulangnya, tentang janji Wijaya.
Sebelas ritual miliknya yang menggambarkan perjalanan hidup manusia.

Aku sudah tahu hakikat syair macapat ini adalah keberadaanku tapi ada satu lubang besar yang masih mengganjal dalam pikiranku. Kenapa dari sebelas ritual ini,
Read 85 tweets
Sep 14, 2023
Assalamualaikum. Lanjut lagi ya cerita Mas Andra dan Mbak Adis.

Julung Kembang : Part 08

Ijin tag ya Bang.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id #malamjumat #horror #horor Image
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Selintas pengelihatan yang aku dapatkan setelah menelan simpul kinanthi menuntunku kemari. Sambil bersandar di pintu toko yang tutup aku duduk begitu saja di atas lantai yang kotor, memperhatikan keramaian di depanku.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Sudah lewat tengah malam, bukannya berkurang, bangunan di depanku ini justru semakin ramai oleh kerumunan pria hidung belang, penjudi dan wanita sundal yang keluar masuk.
Read 95 tweets
Sep 8, 2023
Bismillah, lanjut lagi ya. biar cepat selesai dan ngak penasaran.

Julung Kembang : Part 07

Ijin tag Bang.
@IDN_Horor @SpesialHoror @chow_mas @threadhororr @C_P_Mistis @karyakarsa_id #horror Image
Pagi baru menjelang, cahaya mentari baru mulai menghangat. Di dalam ruang kerja, aku menuliskan semuanya pada halaman terakhir buku hitam peninggalan buyutku yang gila.

Menorehkan tinta dengan tangan gemetar, menggenggam pena itu sekuat mungkin.
Menggigit bibirku hingga berdarah, rasa asin dan anyir itu menyebar dalam rongga mulutku pun kesedihan yang semakin meluap. Pesan terakhirku untuk Adis.
Read 93 tweets
Sep 6, 2023
Assalamualykum, nah sesuai janji saya lanjut lagi ya,

Julung Kembang : Part 06

Ijin tag Bang,

@IDN_Horor @IDN_Horor @SpesialHoror @karyakarsa_id @wattpad @threadhororr Image
Setelah belasan pemeriksaan lanjutan, Aji dipindahkan ke ruang perawatan kelas satu di lantai atas.

Kabel pendeteksi jantung menempel di dada kecilnya, tak ketinggalan selang oksigen dan selang makanan menjejali wajahnya yang kecil. Hatiku teriris-iris.
Jarum infus itu menancap di lengan Aji, menyakiti putraku yang malang.

Suara mesin denyut jantung berirama dengan tenang menggema keseluruh ruangan. Setiap detaknya seperti palu godam yang mengahantamku. Hasil ct-scan, lab, bahkan riwayat kesehatan Aji semuanya normal.
Read 95 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(