Saya punya pengalaman mengikuti praktik ruqyah (pengusiran setan). Secara bahasa ruqyah berarti mengangkat, atau dapat diartikan mengangkat penyakit, yang umumnya berawal dari pandangan mata yang jahat atau yang dikenal dengan 'ain.
Di sisi lain saya jg pernah bergaul dengan praktisi sihir, baik secara langsung maupun berkawan dekat dengan anak atau kerabat. Untuk itu sy membuat sebuah karangan yang diangkat dari pengalaman tersebut. Ini adalah fiksi. Nama, lokasi, dan apa pun hanya untuk kepentingan narasi.
(1)
Sewaktu kuliah di Bandung, Amara menyewa kamar kos tidak jauh dari stasiun yang akan memudahkannya berangkat dan kembali dari Jakarta. Sayangnya ia malah mengalami peristiwa demi peristiwa yang mengusik hidupnya.
Sesudah tamat SMA, tujuan Amara berikutnya ialah masuk perguruan tinggi. Ia berhasil lulus sekolah tetapi gagal menembus PTN. Dengan itu kampus swasta pun tak jadi soal. Amara mantap dengan kota pilihannya, Bandung.
Sementara di rumahnya terdapat dua pelatuk yang siap meletup kapan saja; Mama dan papa, yang begitu telaten merawat pertengkaran. Keduanya selalu menemukan alasan untuk berkelahi, dan sudah demikian dari dulu.
Karenanya Amara sengaja menyingkir agak jauh, mumpung-mumpung punya alasan bagus. Tentunya tidak gampang meyakinkan para peseteru, utamanya mama.
Mamanya, Marissa bahkan hendak ikut Amara ke Bandung. Yang betul saja. Tetapi itu bukan kelucuan, melainkan kewajaran pada sebagian suami-istri yang bingung menyelesaikan masalahnya satu sama lain.
Akan tetapi Amara berhasil lolos akhirnya, dengan janji akan sering-sering pulang. "Harus setiap Sabtu pulang," tekan mamanya, "Kalau tidak, kamu takkan lama melihat mama lagi."
Amara belum lagi menjadi dewasa seutuhnya, dan ia mulai terbayang betapa menyeramkan orang-orang dewasa itu. Amara awas betul bahwa mamanya tak sekadar main ancam. Sungguh ia sedang berjudi dengan keinginannya.
Gadis itu belum lupa peristiwa setahun sebelumnya, tatkala Marissa nyaris bernasib fatal berkat puluhan butir triazolam yang ditelannya dengan lahap. Ia menyimpan setoples penuh berisi obat sedatif, mungkin dikiranya semacam permen marbel.
Obat penenang dan etanol adalah dua pokok yang saling bertentangan. Namun, Marissa menyatukan keduanya dalam berteguk-teguk. Hampir habis cerita wanita itu kalau bukan nasib baik yang masih berpihak.
Pendek cerita, Amara pindah ke Bandung untuk empat tahun ke depan. Cari indekos sana-sini hingga ia merasa mantap pada sebuah rumah dekat stasiun. Marissa yang menaksir rumah itu. Katanya bagus, tenang, hanya dihuni wanita, dan yang terpenting mudah dikunjungi.
Di mata Amara, sebaliknya, indekos itu menjengkelkan, sebab berdekatan sangat dengan jalur kereta. Kamarnya di tingkat dua, paling pojok. Terdapat dua jendela, yang satu berhadapan lorong, satunya lagi mengarah ke rel kereta.
Dari jendela luar itu Amara dapat melihat-lihat kereta, walau itu hanya membuatnya tambah jengkel. Raung lokomotif tak kenal ampun, lebih-lebih mulai malam sampai pagi. Kalau gerbong-gerbong itu lewat, seketika terjadi gempa kecil yang mustahil dicegah.
Awal-awal Amara kerap tidak bisa tidur nyenyak. Ia keluhkan persoalannya pada mamanya, yang intinya ia ingin cepat-cepat pindah. Akan tetapi Marissa hanya mengatakan kalau kebisingan lebih baik daripada kesunyian yang menghinggapi rumahnya sekarang.
"Kalau kamu susah tidur apalagi stres, minum saja obat," saran Marissa.
Pelan tapi pasti Amara terbiasa dengan bising. Kupingnya seolah menebal. Juga ia jadi senang bicara lantang.
"Namanya juga tinggal dekat rel," komentar Marissa sewaktu berkunjung.
Belum satu bulan berpisah, Amara sudah didatangi mamanya tiga kali. Tiap Sabtu siang Marissa mengetuk kamarnya, menenteng bawaan macam-macam, entah makanan hingga cat kuku. Disangkanya anaknya senang dijenguk sering-sering.
"Lebih baik mama yang sering datang. Tidak usahlah kamu pulang. Sekali saat lebaran saja," ucap Marissa.
"Ma, berhentilah minum obat dan alkohol."
Marissa tak banyak bicara tiap kali anaknya mulai mengungkit hal itu.
Gadis itu agak kesulitan menyesuaikan diri dengan Bandung, terutama pergaulan dan bahasa. Tetapi ia mengerti, tiap pendatang pasti terbentur kesulitannya sendiri.
Suatu malam di akhir pekan, tanpa sebab yang pasti Amara terbayang mamanya. Sungguh pun ia jengkel pada Marissa, ia juga tak mengelak bahwa perempuan itu berada di posisi yang dirugikan.
Papanya main nakal dengan wanita lain. Sekali ketahuan telak oleh Marissa. Namun Amara tahu, ayahnya sudah lama selingkuh dengan wanita itu.
Sudah berpuluh kali Amara menegaskan mamanya agar cerai saja dari Sigit. Jika diukur kualitasnya benar juga.
Penampilan masih cemerlang, wajah sedap dipandang, body dan mesin masih layak jalan, umur baru empat puluhan, cari uang pun dia pintar. Punya tailor ramai pelanggan di Bendungan Hilir dan Cempaka Putih.
Seingat Amara, mamanya tak pernah bergantung uang pada suaminya. Bahkan suaminya itu membuka biro jasa kecil-kecilan yang pendapatannya hanya di level insya Allah, dengan kata lain asal kelihatan ada kerjaan.
"Kalau Amara jadi mama, sudah aku usir dari dulu pria macam itu. Mama bahkan berhak mengusir. Rumah ini sudah mama tempati sebelum kawin. Dengar-dengar harta yang didapat sebelum perkawinan itu bukan harta bersama. Mama juga mengerti, kan?"
Tiap kali menasihati mamanya, Amara jadi bosan sendiri. Setiap kali bosan, maka terngiang kisah mamanya. Dan kisah serupa diperdengarkan lagi kepadanya beberapa waktu lalu,
"Dari masih kecil mama sudah menderita karena perselingkuhan. Kakekmu yang nggak pernah kamu temui itu gatalnya bukan main. Dan kasar!...
...Papamu itu masih baik kalau ditanding dengan ayah mama. Seenggaknya seumur-umur perkawinan dia belum pernah main tangan.
....Kalau mama cerai juga, bagaimana kamu nanti. Jangan sampai saat kamu menikah suamimu melihat kamu adalah anak-cucu yang rumah tangganya rusak. Siapa bilang itu nggak berpengaruh. Manusia susah ditebak.
...Mama sudah mengadu pada Buya Hakim di Painan. Masih ingat Buya Hakim, kan? Dia yang mendoakanmu waktu kamu masih SD, supaya sembuh dari paru-paru basah, dan alhamdulillah dengan izin-Nya kamu sembuh.
....Kata Buya Hakim kemarin lusa, ada jeroan-perut babi dipendam di bawah rumah kita."
Amara terlonjak, "Buya bilang begitu, Ma? Siapa yang taruh?"
"Katanya nggak penting siapa yang menaruh. Syaratnya harus dikeluarkan dari situ. Memang repot juga. Buya cuma pesan, pokoknya ada di bawah rumah."
Setelah lamunannya buyar Amara baru tersadar kalau mamanya sudah satu bulan tidak menjenguk. Sekejapnya timbul macam-macam dugaan di benaknya. Apakah mama baik-baik saja? Sakitkah dia? Atau jangan-jangan syarat itu tidak berhasil dikerjakan?
Karuan cemas Amara jadinya. Ia telepon mamanya. Tidak terjawab. Berulang-ulang pun begitu. Terpaksa ia hubungi ayahnya. Langsung diangkat. Terdengar suara perempuan. Sesaat Amara hendak mengamuk, tetapi seketika luluh begitu ia mengenali suara tersebut.
"Mama lagi di Painan, Nak," ucap Marissa di pulau seberang.
Tangis gadis itu tak bisa ditahan meski ia berpura-pura tegar.
"Kamu kenapa, Nak?"
"Nggak apa-apa, Ma." Gadis itu secepatnya menguasai emosi. "Mama dari kapan di kampung?"
"Hampir tiga minggu. Kamu kangen, ya?"
"Mama...." lirihnya.
Suara Marissa mengecil seperti sedang menjauh sebentar. "Rumah sudah dibongkar," desisnya pelan.
"Terus bagaimana, Ma?"
"Ternyata bukan cuma perut babi, tapi juga kelelawar. Supaya nggak busuk dia simpan dengan arak di dalam plastik tebal, terus plastik itu dimasukkan dalam boks plastik."
"Ya Allah, Ma, ngeri banget! Gimana caranya mama tahu tempat dia kubur benda-benda itu?"
"Mama ingat-ingat lagi, papa kamu berubah sejak kebun belakang direnovasi."
"Di halaman rumputnya, Ma?"
"Bukan, ketemunya justru di bawah saung."
"Di bawah kolam ikan?"
"Karena digali tanah nggak ketemu juga, akhirnya kolam juga dibongkar. Alhamdulillah ketemu!"
Marissa terus bercerita panjang lebar, terdengar seperti perempuan yang sedang merasa paling beruntung di muka bumi. Dia juga menaruh firasat tentang siapa biang kerok masalahnya,
yaitu seorang tukang pemborong halaman belakang rumahnya. Namanya Jali, yang rupanya pernah kawin dengan Mardina, wanita yang berusaha terus-terusan mengobrak-abrik rumah tangganya.
"Mama sampai cari tukang dari Demak, Jawa Tengah, ya? Tukangnya itu santri-santri. Katanya nggak sembarang tukang kuat mengerjakan itu."
"Syukurlah, Ma. Papa nggak tahu, kan?"
"Nggak dong. Mbak Ning dan Prapti saja nggak tahu karena mama pulangkan dulu untuk sebulan."
"Sekarang kondisi papa bagaimana?"
"Ya, biasa saja. Tapi tadi sore dia diam sendirian di teras rumah. Waktu mama dekati tiba-tiba saja papamu mengajak supaya lebih lama lagi di Painan."
Sejak malam itu Amara merasa seperti semen di dalam otaknya mengelupas. Hari demi hari telah berubah. Ia menjadi lebih gembira dalam banyak hal. Satu persatu kawan bermunculan.
Rupanya tepat ucapan Marissa untuk Amara. Keharmonisan orang tua saja berpengaruh dalam berteman, apalagi soal pasangan hidup.
Namun pada satu malam, dua bulan sesudah mendengar kabar baik itu, Amara menangkap isak tangis bersayup-sayup dari balik tembok kamar.
Di luar hanya rel kereta yang gelap sunyi namun bising sewaktu-waktu. Di seberangnya lagi adalah tembok rumah-rumah penduduk. Sekali dengar saja ia langsung bergidik, tapi juga bercampur penasaran. Hanya saja, suara itu lenyap tak lama kemudian.
Malam berikutnya sayup-sayup serupa terulang di telinga. Masih dari arah yang sama. Amara memberanikan nyali menengok lewat jendela. Di luar gelap dan sunyi. Angin malam lebih berisik dari apa pun. Pandang Amara mengedar ke sana kemari.
Tidak seorang pun terlihat. Namun tangis itu masih bersambung. Kemudian lewatlah serangkaian panjang lokomotif beserta gerbong-gerbong penumpang, mengular lesat dalam lipatan malam. Tangis wanita itu lekas terbungkam raung kereta.
Kereta akhirnya sirna. Masih berkibas rambut Amara tertiup angin. Sejenak ia bertahan di jendela, menanti kelanjutan si tangis malam. Namun tidak lagi terdengar. Hening. Hanya angin. Maka ia menurunkan kepala seraya menutup jendela.
Siang di akhir pekan, Amara menyengajakan diri melihat-lihat pemandangan di belakang kamarnya. Rupanya rel kereta sama saja siang atau malam. Sama sekali sepi. Hanya cahaya yang membuatnya tampak berbeda.
Sorenya gadis itu didatangi temannya yang sudah berjanji akan pergi bersama ke Dago atas. Dia menyapa temannya dengan panggilan Teteh karena dianggap lebih tua, meski cuma tua wajah. Teteh menunggu di kamar sambil memutar musik, sementara Amara bersiap-siap.
Amara sedang mengguyur badan ketika kawannya bersorak nyaring, "Amara, ada kiriman!"
"Kiriman?" balasnya tak kalah nyaring.
"Ya. Paket kiriman."
"Ooo."
"Tulisannya rendang!" suara Teteh lebih nyaring.
Pintu kamar mandi terbuka sedikit. Muncul sedikit kepala Amara dengan rambut berbusa putih.
"Paling-paling itu dari mamaku. Banyak?"
Teteh mengangkat bungkusan hitam seraya menebak, "Sebanyak ini. Mungkin satu kilo daging."
"Oh, oke."
Pintu ditutup lagi. Tapi baru sebentar kepala Amara kembali nongol.
"Kamu suka rendang?"
"Sukalah."
"Ya sudah, buka saja."
Teteh bersorak senyaringnya seolah-olah baru memenangkan undian masuk surga. Kiriman milik Amara dibuka. Dibongkar isinya yang ternyata memang rendang.
Hitam berkilau wujudnya, padat, diselingi kentang indil-indil. Bukan main sedap dan kaya aroma rendang tersebut, sehingga wanita itu tak bersuara lagi kecuali lidahnya kecap-kecap.
Selesai Amara mandi dan ia menjumpai kawannya sedang lupa diri menggasak rendang kiriman.
"Enak, Teh?"
"Top! Ya Allah, kok bisa seenak ini."
Amara mengulum senyum. "Nanti kamu bungkus saja sebagian."
"Serius, Amara! Ya ampun, kamu baik banget. Pokoknya mulai sekarang kita jadi saudara."
Tergelak saja tawa Amara. Dan Teteh berkata lagi, "Oh, aku lupa, ada ini juga. Sampahnya kubuang di situ, ya."
Secarik amplop. Lumayan tebal isinya. Amara terima amplop tersebut lalu merobek sampingnya.
"Uang jajan tambahan, ya?"
Amara menghitung sepintas lembaran uang kertas di dalam amplop. Sekurangnya mungkin ada 2 juta. Oleh karenanya ia segera menelepon Marissa. Namun ia urungkan mengingat baterai ponselnya tersisa hanya 1 persen.
***
Lanjutannya jam 9.
(2)
Terhentak Amara dari alam mimpi. Keningnya berkeringat. Khayal buruk yang hinggap ke sekian kali. Ia kemudian duduk. Diulurkan tangannya mengambil botol air minum, lalu ia meneguknya seperti kehausan.
"Mimpi itu lagi," keluhnya. Terkilas kembali semua yang melintasinya dalam tidur. Kakek, nenek, dan paman dari jalur papanya, yang semua itu sudah meninggal bertahun-tahun lalu.
Sebelum mimpi tersebut Amara bahkan tak pernah mengenang kakeknya kecuali lewat album foto keluarga, sebab ia wafat ketika cucunya masih dalam bedongan.
Adapun wajah nenek masih membekas di ingatan. Neneknya masih hidup hingga Amara sekolah SMP kelas dua sebelum tewas dalam suatu kecelakaan mobil bersama pamannya.
Ketiganya datang bersamaan dalam lelap sejak dua pekan lalu. Dalam mimpi yang terbaru mereka tergambar mendatangi kamar kos hanya untuk bersila mengelilingi Amara, dan tidak mengatakan apa pun melainkan menatapnya belaka.
Pukul 23.45. Kedengaran rintik gerimis. Jendela belum lagi ditutup. Maka gadis itu beranjak menarik kaca tersebut lalu segera kembali berselimut.
Esok hari Amara tiba di kampus agak siang. Setelah menyelesaikan kelas pengantar perencanaan sumber daya alam dan lingkungan ia mengajak Teteh mencari buku di luar kampus.
"Analisis kota & ekonomi wilayah?" heran Teteh.
Ujar Amara, "Ya. Kita akan belajar itu juga, kan?"
"Tapi kita masih semester satu. Dua mata kuliah itu masih nanti."
"Nggak masalah. Yuk, temani aku. Kamu juga nggak ada jadwal lagi, bukan?"
"Hadeuuh, enak-enak di kampus, malah keluar."
"Masalahnya aku belum hapal kota ini."
"Kamu mau ke mana?"
"Katanya yang lengkap di Palasari."
"Ih, nggak usah ke sana. Capek!"
"Ayolah, sebentar saja. Lagipula kita anak planologi, jadi kita perlu tahu penataan wilayah kepustakaan."
"Alasan aja kamu," cibir Teteh.
Amara belum menyerah, "Nanti aku traktir nonton, gimana?"
Teteh tetap enggan. Tetapi ia mengeluarkan ponselnya dan bertanya, "Dua buku itu aja?"
"Maksudnya?"
"Aku tanyakan dulu. Kalau stoknya ada nanti kamu titip di aku aja uangnya."
Amara mengerling.
"Ayah angkat aku jual buku di sana. Aku sudah bosan ke Palasari. Kapan-kapan akan kuajak kamu ke tempat itu sampai kapok."
Amara menyepakati tawaran tersebut. Gilirannya Teteh yang membawa dia ke satu kedai ayam goreng di luar kampus. Mereka pun makan bersama.
"Aku yang traktir, ya," ujar Teteh.
Selesai makan keduanya mengobrol. Belakangan Amara baru sadar kalau temannya hendak membahas sesuatu yang berkaitan dengan dirinya.
Teteh menceritakan apa yang diyakininya beberapa hari lalu, ketika ia menjemput Amara di akhir pekan lalu mengantarnya pulang dari Dago atas. Dirinya merasa diikuti seseorang yang tidak terlihat saat hendak turun sendirian dari lantai dua.
"Aku yakin banget dengar langkah itu. Bunyinya jelas. Itu terjadi sejak aku tutup pintu kamar kamu lalu berjalan ke bawah. Beberapa kali aku berhenti untuk menengok ke belakang. Nggak ada siapa-siapa, Amara!"
Teteh melanjutkan bahwa ia sempat tidak percaya pada pendengarannya, mengira itu barangkali bunyi tapak sandalnya sendiri. Dus, ia melepas alas kaki lalu berjalan injit-injit. Namun suara yang sama tidak hilang sama sekali.
Kata wanita itu kemudian, "Aku yakin itu fenomena paranormal. Kamu nggak mau pindah dari situ?"
Amara menyimak semua cerita itu tanpa berusaha meremehkan. Namun perkara itu sederhana baginya. Ia tidak merasa pernah diusik oleh kejadian semacam itu, kecuali mimpi aneh yang datang belakangan.
Tempat tinggalnya normal-normal saja, kecuali gempa-gempa kecil yang muncul sepanjang hari akibat kereta melintas. Itu pun sudah bisa ia maklumi seiring waktu.
Lantas berujar Amara, "Aku sendiri belum pernah mengalami yang seperti itu. Kamu gimana?"
"Aku justru sebaliknya, ya lumayan sering. Bahkan aku juga gampang histeris kalau di tempat-tempat asing." Teteh tampak mengingat-ingat pengalamannya lalu berkata lagi, "Seingatku dari kecil sudah tujuh puluh sembilan kali termasuk yang di tempat kamu."
Amara terkaget-kaget lalu memekik,
"Bagaimana kamu menghitungnya!"
"Aku punya buku catatan khusus tentang pengalaman paranormal."
Amara terkikik setelah temannya mengungkap sisi uniknya. Lalu ia kembali pada soal kos dengan berkata, "Tempat itu dipilih mamaku, Teh. Selain itu, sebenarnya lama-lama aku juga mulai merasa nyaman di sana."
"Kamu kenal anak kos lain?"
"Kenal. Kami beberapa kali mengobrol dan meminjam barang."
"Pernah dengar cerita-cerita begitu saat ngobrol?" Teteh belum menyerah.
Amara menggeleng, "Yang pernah kudengar mereka malah menggosipkan rumah di sebelah kiri. Kata mereka di sana angker."
"Yang pagar hijau itu?"
"Bukan. Agak ke sana lagi, berjarak lima rumah. Rumah tua."
Amara menggeleng, "Yang pernah kudengar mereka malah menggosipkan rumah di sebelah kiri. Kata mereka di sana angker."
"Yang pagar hijau itu?"
"Bukan. Agak ke sana lagi, berjarak lima rumah. Rumah tua."
Teteh jadi ragu memanjangkan ceritanya. Jadi ia hanya mengatakan, "Mungkin yang kuceritakan tadi itu hanya pikiranku."
"Jangan khawatir, kamu nggak sendiri. Aku juga percaya hal-hal yang sifatnya paranormal."
"Ah, kukira kamu skeptis tentang itu."
Amara mengulum senyum diselingi berkata, "Seenggakya koleksi cerita kamu bertambah. Tujuh puluh sembilan cerita? Wah, bukan main-main. Kamu bahkan seproduktif pengarang!"
Selebihnya mereka berdua mengobrol tentang banyak hal, mata kuliah, dosen, lawan jenis yang sedap dipandang serta apa saja yang dianggap menarik diketengahkan. Tidak mereka sadari hari menjadi petang. Bahan obrolan sudah habis.
"Berapa harganya?" Amara mengungkit buku.
"Oh, ya, hampir aku lupa. Kata ayahku buku yang kamu cari ada, tapi di toko temannya. Harganya 110 ribu untuk dua buku."
Amara cepat memberikan uang titipan. Setelahnya kebersamaan mereka hari itu berakhir.
Tiba di kos langit belum gelap. Beberapa penghuni sedang santai-santai di bawah. Terdengar nyaring obrolan para gadis muda diimbangi cekakak-cekikik setiap ada kata-kata yang dianggap lucu.
Mereka pun hampir semuanya mahasiswi, kecuali sedikit di antaranya yang sudah lulus dan bekerja. Sebagai anak baru Amara merasa perlu bergabung sejenak. Di samping itu ia menganggap teman-teman kosnya baik dan menyenangkan.
Di tengah-tengah mereka terdapat Atun. Itu cuma nama julukan, tetapi semua orang sudah hampir lupa nama aslinya, lantaran yang bersangkutan gemuk, berambut panjang keriting, dan suka betul mengunyah makanan.
Amara menyapa mereka dan sebagian orang di ruang itu pun menyambut ramah. Setelah memerhatikan sepintas ternyata Atun sedang menjadi pusat perbincangan.
Dia punya kebiasaan misterius yang sukar dicerna nalar. Entah seperti apa mulanya Atun seringkali mematahkan gagang sapu. Puluhan kali itu terjadi.
Tentu gagang yang sudah patah perlu diganti, namun konyolnya umur sapu yang baru pun rupanya tidak pernah lama, sebab ia akan mematahkannya lagi beberapa hari kemudian. Sialnya, wanita itu adalah penghuni kos yang paling rajin.
Dan yang terjadi hari itu ialah, Atun telah mematahkan sapu milik Amara. Bukan cuma sapu, juga alat pel yang dipakainya untuk mengkilapkan ubin koridor.
Lantas kedatangan Amara membuat percakapan mereka meledak-ledak. Amara pun diberitahu agar menyembunyikan alat bersih-bersih miliknya sepanjang waktu. Kedengarannya peringatan itu bukan sekadar gurauan.
"Anak itu sebetulnya bukan manusia, tapi setan sapu," bisik salah seorang di telinga Amara.
"Gila! Setan sapu, aku suka istilah itu," balas Atun dengan gembira.
"Dasar pemakan sapu!" kelakar yang satu.
"Jangan-jangan selama ini semua orang salah menyebut mana yang sebenarnya ikan sapu-sapu," seloroh yang lain.
Tubuh Atun membal-membal di sofa lantaran hebatnya ia tertawa. Dan semuanya turut tertawa, tidak ketinggalan Amara yang baru saja tiba.
Lalu ujar seorang, "Minta maaf lo, Atun! Tuh, ada orangnya baru aja pulang."
Atun memalingkan pandangnya ke arah yang ditunjuk. Begitu matanya bertaut dengan mata Amara, ketika itulah raut kegembiraannya mendadak sirna.
Maka tiap-tiap gadis yang ada di situ mengikuti perubahan mimik Atun. Seorang bertanya, "Ada apa, Tun?"
Yang ditanya serta-merta menatap Amara. Kecemasan mengguris di wajah tembam itu, seolah ia tak mengharapkan Amara hadir.
"Kamu baru pulang, Amara?" Atun bertanya.
Amara mengangguk singkat.
"Nggak mungkin, bercanda kan?" ragu Atun.
Seorang penghuni langsung curiga sehingga bertanya, "Emang kamu lihat apa, Tun?"
"Aku pinjam sapu sama Amara dan dia jawab iya! Bahkan aku sudah minta maaf setelah mematahkan barang itu!"
"Kak?" Amara tidak mudah percaya ucapan Atun.
"Kamu betulan baru pulang?"
"Aku berangkat ke kampus jam 10," tegas Amara. "Ada apa sih, sebenarnya?"
Bangkitlah Atun dari duduknya yang nyaman sedari tadi. Matanya berkejap-kejap dan ia menarik-narik hidungnya yang terasa mampat.
"Atun, jangan bercanda dong."
"Demi Tuhan Yesus aku nggak bohong, kalau bohong aku berani pindah agama!"
Para gadis membisu. Itu adalah sumpah khas yang selalu diperdengarkan Atun tentang sesuatu yang sangat serius. Jika sudah terucap kalimat itu maka teman-temannya langsung mengerti tentang situasi apa yang tengah terjadi.
Antara sejenak Atun bersuara, "Aku memang pinjam sapu dan pel itu sama Amara. Pintu kamarnya dibuka...., dan...," Atun mengusap-usap kuduknya, "Amara ada di kamar. Aku tahu persis itu Amara. Mata dan kupingku nggak mungkin salah. Ya Tuhan..., aku bahkan sempat bicara dengan dia."
Kegaduhan begitu mudah pecah. Dalam ingatan Amara segera terkilas perkataan Teteh beberapa jam sebelumnya. Benaknya mulai meragukan pendapatnya sendiri. "Jangan-jangan rumah ini memang angker?"
Amara tidak mau membiarkan penasarannya tidak terjawab, sehingga ia tanyakan perkara tersebut di depan semua yang hadir.
Salah seorang langsung menjawab, "Nggak pernah. Ini baru sekali."
"Pernah kok," bantah yang lain, seorang gadis berkacamata tebal. "Sebelum kalian masuk pernah kejadian sekali."
"Di mana? Kejadian apa?" sidik Amara.
"Di lantai dua. Di kamarku yang sekarang. Waktu itu kejadiannya pun sekitar sore."
"Bentuknya gimana?" sodok Atun.
"Mirip salah satu anak kos yang sudah keluar sebelumnya. Kebetulan aku yang pindah ke kamar dia."
"Ooo, hampir persis dengan yang barusan, dong," tukas Atun.
"Kira-kira begitu deh. Cuma ada satu yang bikin aku kepikiran."
"Apaan itu!?" sorak yang lain serempak.
"Ternyata orang itu meninggal dua hari sebelum aku lihat penampakan wujudnya di kamar."
Pelan namun pasti ketegangan itu berubah jadi santai. Para penghuni malah memanjangkannya dengan cerita-cerita misteri dari mana saja, termasuk dari daerah asal masing-masing. Amara tak menaruh minat pada keseruan itu. Jadi ia pamit sendiri menuju kamar.
Sebagian penghuni kos belum kembali dari aktivitasnya. Maka kamar-kamar tertutup rapat dan sepi. Begitu pula di lantai dua. Amara hanya mendapati dirinya seorang.
Kisah Atun dan Teteh serta merta berhamburan di pikirannya. Keheningan, bunyi napas dan tapak sepatu. "Ah, kenapa aku jadi takut begini. Itu bukan apa-apa," batin Amara berusaha tenang.
Sekilas pemandangan di depan segera mengubah perasaan itu. Di depan pintu kamarnya terlihat begitu banyak yang terserak. Amara memburu langkahnya, setengah berlari demi melacak kebenarannya.
Akhirnya semua yang ia cemaskan terbukti. Itu memang benda yang berserak-serak. Yang paling mengagetkan semua itu berasal dari dalam kamarnya. Pakaian, buku, limbah makanan hingga sampah kamar mandi, seakan-akan dilemparkan dari dalam.
Pintu kamar terkunci. Akan tetapi pada tiap ujung koridor lantai dua dipasang kamera pemantau. Karena itu ia bertekad mendeteksi kejadian sebenarnya melalui rekaman yang tersimpan.
Disantet berulang kali tak juga mempan, Edi Candra alias Pupung Sadili (54) dan Adi Pradana alias Dana (23) akhirnya diracun serta dianiaya hingga tewas. Mayatnya ditemukan hangus di dalam mobil di Cidahu, Sukabumi.
Pembunuhan ini diotaki oleh istri Pupung, yakni Aulia Kesuma (45). Aulia tidak tahan punya utang usaha sebesar Rp 10 miliar dengan cicilan Rp 200 juta tiap bulan. Karenanya ia membujuk Pupung agar mau menjual rumahnya untuk membayar utang.
Rumah Pupung sendiri terletak di Lebak Bulus, hanya berjejeran jalan dengan rumah Anies Baswedan. Dalam arti kata, kalau kalau rumah itu terjual sangat cukup untuk menutup utang.
Di Pati, jangankan pengusaha rental mobil, bayi tak berdosa berumur 3 bulan pun diberangus oleh bapaknya sendiri. Seperti yang ditunjukkan Muhammad Sholeh Ika Saputra (20) yang membunuh putrinya, Elnaura hanya karena gadis kecil itu nangis melulu.
Pada Senin sore (1/5/2023) Sholeh pergi dengan motor Honda Adv dari rumahnya di Pati Kidul menuju sebuah tempat. Biasanya ia motoran bersama dua anaknya, Rahma dan Elnaura, yang harus diangin-angini agar bisa bobo. Namun hari itu Sholeh tampak jalan-jalan sendiri.
Usai jalan-jalan dan pulang ke rumah, Sholeh mendapati si bungsu Elnaura tidak ada di kamar. Dengan panik ia pun segera melaporkan kejadian itu kepada istri dan kedua orang tuanya.
Mitos dari Gunungkidul ini konon telah bertahan dari abad ke abad. Bola api berekor bercahaya terang, melesat bagai komet melintasi langit dusun di malam hari. Mereka yang percaya mengatakan, tak lama lagi akan ada yang mati gantung diri.
Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta secara istiqomah menunjukkan angka bunuh diri yang stabil. Dengan rata-rata 30 korban jiwa per tahun setidaknya sejak 15 tahun terakhir, Gunungkidul menjadi salah satu daerah dengan persentase bunuh diri tertinggi se-Indonesia.
Tingginya bunuh diri di Gunungkidul tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan kultural terhadap pulung gantung. Secara harfiah, pulung dapat diartikan ilham, tanda, bisikan, yang secara turun temurun disikapi sebagai takdir Yang Mahakuasa.
–Tujuh bulan dicari keluarga, ternyata dibunuh suami–
Dibantu tiga orang temannya, Asep Saepulah (23) menggorok istrinya, Irma Nurmayanti atau Irma Novitasari di dalam rumahnya. Kasus ini kemudian terungkap setelah kakak korban menerima pesan anonim di Instagram.
Asep dan Irma menikah baru setahun. Perkawinan keduanya tidak harmonis. Asep kerap mengobral talak, berakal pendek, dan temperamen. Ada kabar menyebutkan bahwa Asep beberapa kali terjerat kasus narkoba namun selalu berakhir dengan tebusan.
Irma seorang penyanyi. Cantik, bisa cari uang. Ketika situasi rumah tangganya makin memburuk, ia tak ragu memutuskan pergi dari rumah yang ditinggalinya bersama Asep di Pacet, Kabupaten Bandung menuju Cimahi.
Itu yang diucapkan Muhamad Qo'dad Af'alul Kirom alias Affan (29) setelah ia membunuh AZ (9). Ia yakin perbuatan itu dilakukannya untuk menyelamatkan korban dari kehidupan dunia yang kacau supaya mati syahid.
📷 detik.com
Affan menikah dengan Devi Sulastri, perempuan yang dikenalnya di sebuah tempat hiburan di Surabaya. Devi bekerja sebagai pemandu lagu, sampingannya pemadat. Kemudian ia ketemu Affan yang sama-sama pemadat. Cocok.
Dari pernikahan tersebut lahir AZ, putri semata wayang. Anak ini segera tidak terurus. Affan dan Devi dilanda masalah ekonomi, selain perilaku mereka juga memang soak. Untuk menghidupi keluarga, Affan menjadi bakul narkoba. Akhirnya ia ditangkap dalam sebuah pesta madat.
–Jadian baru dua minggu, Kayla diperkosa dan dibunuh pacarnya–
Pada awal Januari 2024 Argyan Abhirama dilaporkan atas tuduhan perkosaan, tetapi Polres Depok tak kunjung menangkapnya. Dua pekan berselang, pemuda 20 tahun itu memerkosa dan membunuh Kayla, mahasiswi yang baru dipacarinya.
Argyan dan Kayla berkenalan September 2023 di aplikasi Line. Karena sering chat, singkat cerita, keduanya berpacaran di awal Januari. Sebenarnya hubungan mereka tidak begitu baik. Kayla pernah memblokir nomor handphone Argyan, tapi pemuda itu mendekatinya lagi dengan nomor baru.
Kayla dan Argyan belum pernah bertemu sekalipun. Dari pdkt sampai jadian dilakukan secara online. Kayla tentu tidak pernah tahu, saat ia jadian, pacar barunya baru dilaporkan ke Polres Depok atas tuduhan perkosaan.