simpledandism123 🍉 Profile picture
Apr 13, 2023 122 tweets 17 min read Read on X
Assalamualykum,
Gak kerasa sudah malam jumat.
"TEBU MANTEN"
Part ke 10
Untuk yang baru baca bisa cek di profil atau KaryaKarsa.
Seperti biasa ijin tag ya Bang,

@IDN_Horor @bacahorror @karyakarsa_id @threadhororr @SpesialHoror #horror #malamjumat Image
Adis sudah terlelap seperti biasa setelah ritual suami istri, tanganku masih sibuk membelai  punggungnya. Semenjak menikah denganku, Adis selalu memintaku untuk melakukannya. Benar-benar manja, meski begitu aku justru menyukainya, artinya Adis sungguh bergantung padaku.
Wajahnya yang teduh terbias cahaya yang redup.

Aku begitu menyayangi wanita sederhana ini. Seumur hidup aku sendirian, tanpa tujuan. Tapi setelah bertemu dengan Adis, aku seolah lahir kembali. Mempunyai tujuan, mimpi dan juga harapan.
Jadi aku mencintainya bukan hanya karena wajahnya yang ayu tapi juga karena Adis menjadi tujuan hidupku. Tapi bagaimana jika kesimpulanku benar? Bahwa mereka mengincarku? Lalu bagaimana dengan Adis.
Tidak! Aku tak boleh kalah dan menyerah. Aku harus menyelesaikan semuanya di sini.

Aku harap malam ini bisa bertemu dengannya. Sosok Andra Jawa karena puluhan simpul misteri dalam kepalaku ini semakin rumit.
Kenapa mereka  memilihku? Kenapa harus aku yang menyelesaikannya? Dan kenapa mereka memanggilku RADEN!

Kantukku datang …

Benar saja! Aku kembali. Dia -Andra yang lain- masih berdiri, di tengah hamparan tebu yang luas setinggi ilalang.
Semuanya masih sama seperti saat terakhir aku meninggalkannya.

Memakai beskap dengan sebilah keris terselip dipunggungnya lalu blangkon dan jarik warna senada. Menyilangkan kedua tangannya di punggung berdiri tenang layaknya seorang bangsawan Jawa.
Tatapannya tenang dan sejuk, seperti seorang ayah, sahabat juga kakak sekaligus. Dia seperti Adis, membuatku tenang.

“Tumben merene?” Aku hanya tersenyum mendengar betapa miripnya suara kami, hanya saja dia fersiku yang berbahasa Jawa.
Selain mata kami yang berbeda juga kulitnya yang sedikit gelap, rupanya Andra di hadapanku ini juga lebih kurus.

Sambil duduk bersilang di hamparan tebu setinggi ilalang aku menghela nafas sepanjang mungkin, berharap jika semua beban dan pertanyaanku bisa terjawab disini.
Kami membisu sekian lamanya. Menatap awan yang berarak juga angin yang sibuk memainkan dedaunan tebu. Membuatnya menari membentuk gelombang yang saling menyusul di bawah sinar matahari yang hangat.
Berulang kali aku menghela nafas berharap jika bebanku sedikit lebih ringan. Pertanyaan bertumpuk menghimpit kepalaku.

“Durung ketemu?” Seketika ucapannya membuatku mengernyit dan mengangguk singkat meski sedikit sungkan karena pembawaannya yang sungguh berkharisma,
benar-benar seperti bangsawan.

“Semuanya selalu buntu. Mbah!” Mendengar aku menyebutnya begitu sontak Andra ini tertawa terpingkal-pingkal.

“Lah? Ojok nyeluk aku Mbah. Aku iki awakmu.” Ujarnya.

Aku akhirnya ikut tertawa. “Jadi kudu manggil siapa?”
“Asmaku! Raden Setya Raharjo.” (Namaku! Raden Setya Raharjo)

Mataku melotot, “Jadi Raden yang mereka panggil itu?”

Andra yang berdiri ini mengangguk. “Iyo le aku yang mereka panggil.”

“Kenapa?” Aku sungguh tak paham.
”Karena aku gagal untuk menahan Nyi Ireng. Seandainya saja dia ndak membuat perjanjian dengan iblis itu.”

“Iblis? Nyi Ireng …?”
“Namanya Roro Gendis Ayu, anak manusia yang menyukaiku, tapi alam kami bedo. Menungso dan makhluk koyo aku ndak bakalan biso jadi satu. Tapi perempuan itu justru nekat.” Pria disampingku menghela nafasnya yang sesak. Matanya meredup tertutup kabut penyesalan.
“Dia malah ngilmu kepingin mukso lan melu aku. Padahal iblis iku senenge menyesatkan menungso. Akhire Roro Gendis malah jadi seperti sekarang. Terjebak! Di antara alam nyata juga dimensi astral.”
Pria ini menghela nafasnya yang berat dan merunduk. Duduk tepat di sebelahku setelah sebelumnya menggeser keris dari punggung ke samping pinggangnya. Dia masih mengunci bibirnya rapat, menarik nafas sekencang mungkin melonggarkan dadanya yang berat
lalu mulai bicara sambil melihat padaku dengan tatapannya yang teduh.

“Le! Jenenge bondo iki orak di gowo mati, nangging urip kudu ngenggo bondo.” Pria ini terdiam sesaat lalu mengartikan ucapannya, “Namanya harta itu tidak di bawa mati, tapi hidup tetap butuh harta benda.”
Petuahnya kembali terucap, padahal yang kemarin saja aku belum mengerti maknanya. Aku sudah membuka mulut hendak bertanya, lagi-lagi Raden Setya sambil menoleh meneruskan ucapannya.
“Bondo iku koyo geni, nak setitik mowo dadi konco. Tapi nak keokehan iso kobong ora karuan. Le! Harta itu seperti api, sedikit bara bisa jadi teman, tapi jika terlalu banyak bisa kebakaran.” Kali ini dia – Raden Setya- langsung mengartikannya.
Meski di-traslate begitu aku tetap tak mengerti hubungan antara petuahnya dengan Nyi Ireng.

“Kakekmu buyutmu yang serakah ndak cukup dengan keberadaanku, selalu kurang, baik harta ataupun kekuatan juga kekuasaan. Padahal aku sudah mewanti-wanti kalau Nyi Ireng itu buruk.”
Seketika aku mengerti hubungan ketiganya.

Penyesalan semakin jelas tercetak diwajahnya yang pucat. Benik matanya menatap jauh ke arah horison. Aku tak ingin menyelanya untuk saat ini dan hanya membisu menatap titik yang sama.
“Tapi buyutmu ndak peduli dan nekat. Nyi Ireng yang selalu mengekorku kemana pun bertemu dengan buyutmu. Memberi iming-iming dunia, padahal …” Raden di sebelahku menghentikan ucapannya sesaat.
“Padahal kekuatannya Nyi Ireng bukan dari gusti pangeran tapi dari setan, ritual edan yang butuh nyawa.” Pria bangsawan disebelahku ini melanjutkan ucapannya.
“TEBU MANTEN, telulas iringan istri lan jaler. Tiga belas nyawa mengiringi pengantin Loro Blonyo untuk kesuburan dan hasil panen yang melimpah.” Pria ini menggelengkan kepalanya berulang kali.

“Semua itu dusta. Setan hanya memperdaya manusia supaya banyak buat dosa le..”
“EH!?” Aku tergagap namun seketika mulutku terkunci. Andra Jawa ini menatapku tajam, tak ada lagi keramahan di sana. Hanya ada kecewa juga kepedihan sedikit bara amarah juga memercik. Namun dihelaan nafas berikutnya pandangan itu kembali sayup dan tenang.
“Kamu ke sini untuk tanya itu toh?” Lalu pria ini kembali membentuk senyuman diwajahnya yang tirus membuatku mengangguk tanpa bisa membantah.
“Iya aku memang mau bertanya, tapi meski sudah dikasih tahu begitu, tetap saja aku masih belum mengerti maksudnya. Kenapa angka-angka aneh selalu dia sebutkan. Seperti Siji , telu juga kemarin papat. Lalu di mana limo dan loro?”
Aku melirik dan mendapati jika wajahnya kembali mengeras, menahan amarah. Matanya menyalak penuh kebencian. Entah kepada siapa.
“Siji iku makdursarpin, telu iku mayongseto lan papat kui rohilapi sedangkan limo iku wakudiyat. Podo koyo sedulur papat limo pancer kanggo dadi siji lan ngawal seng loro, kui Loro ….”
(Satu melambangkan itu udara, tiga itu tanah dan keempat itu api sedangkan yang kelima air. Sama seperti sedulur papat limo pancer untuk jadi satu dan mengawal yang dua, itu loro ...)
“Blonyo!” Kami mengucapkannya bersamaan, kesimpulanku tepat.

“Tapi kenapa? Buat apa?” Aku sungguh tak mengerti makna semuanya.
“Sedulur papat limo pancer itu empat unsur yang membimbing manusia dari dalam rahim sampai mati dan bayi lahir karena pernikahan sepasang manusia, loro blonyo le.” Terangnya lagi.

“Lalu kenapa Nyi Ireng bisa di sini?”
“Setelah buyutmu meninggal aku tetep ndampingi keturunannya. Menunggu wadah yang pas lahir. Sedangkan Nyi Ireng dia terombang ambing karena perjanjian yang dibuat buyutmu aku putus. Jadi mungkin dia ikut orang lain. ”

“Wadah?”
“Titisanku, awakmu le!” Aku hanya menggaruk kepalaku yang penuh. Aku pikir mendengar arti telulas iringan sudah cukup. Rupanya masih berlanjut.
“Kue karo aku iki ibarat banyu karo gelas. Ndak bisa kebesaran dan ndak bisa kekecilan. Harus sesuai dan pas. Kalau kebesaran wadahnya aku yang kalah, kalau kebanyakan airnya kamu yang gila.
Wadah Nyi Ireng pasti ndak kuat menahan setan itu. Bisa dipastikan kalau dia orang yang ndak waras.”

Kata-kata Raden Setya yang mirip denganku ini bisa ku tebak. Hanya dia orang yang paling sinting di sini. Tapi seolah tahu isi kepalaku Raden Setya kembali bicara,
“Hati-hati le, setan banyak tipu dayanya.”

Membuat kesimpulanku memudar, mungkin bukan Mba Ayu, masalahnya Pak Wiro juga tak kalah sinting! Atau bisa juga Pak Robert atau Mbah Santo! Entahlah. Aku menggaruk kepalaku yang sesak.
Jika saja kepalaku ini sebuah baskom berisi air sudah pasti isinya meluap kemana-mana. Saking banyaknya!

“Artinya mereka menginginkan aku, si Jaler?”

“Bukan kamu!” Seketika aku tersentak. Jadi kesimpulanku salah lagi?

“Terus?”
“Inget seng pertama Ndra, Menungso kui kudu okeh dungo karo gusti pangeran, ojo keakean sambat ojo keminter lan ojo ngeroso luweh hebat teko menungso liyane.”

“Lalu bagaimana caranya menghentikan mereka?”
“Kamu akan tahu sendiri.” Satu kata terucap dengan wajahnya yang teduh. Lagi-lagi aku terbangun di tengah malam dengan satu pertanyaan baru.
Pintu terbuka kasar, pemuda cepak dengan kacamata bergegas menutup pintunya. Tanpa basa basi aku langsung memberitahu Aji mengenai pertemuanku dengan sosok Raden Setya semalam. Tentang arti dari telulas Juga siapa sosok Nyi Ireng yang sebenarnya.
“SERIUS LOE?” Suara Aji menggema memenuhi ruanganku, seketika aku memberikan isyarat, medekatkan telunjukku ke bibir, DIAM!

“Yang bener loe Ndra?” Aji kembali bicara kali ini suaranya lirih, aku hanya mengangguk menjawab ucapan Aji.
“Jadi istri Mas Bambang dan suami Bu Wiro …?” Aku segera meng’iya’kan pendek.

Aji terbelalak sekali lagi, informasi ini benar-benar mengejutkannya. “Artinya Tebu Manten yang Pak Sigit bilang itu ritual membunuh lima belas orang setiap tahun? SINTING!”
Mimik wajah aji seperti akan muntah! Aku hanya mengangguk mantap.

“Iya aku tahu, tapi yang semakin aneh loro estri hilang. Patung pengantin itu …” Aku mendecis sebal Ini semakin rumit. “Ji Patung jaler, apa ada di rumah Teh Asih?” Tanyaku lagi.
Aji menggeleng mantap! Mengatakan jika loro jaler tak ada di rumah Teh Asih. Meskipun aku terus mendesaknya, namun si pitak tetap kekeh. “Ngak ada di sana Ndra. Gue sudah cek semua sampai kamarnya juga.”
“Gak mungkin, kalau begitu dia ada di mana?”

Aji hanya mendengus sambil menghempaskan punggungnya di senderan kursi dan mengangkat wajahnya menatap langit-langit ruangan. Kami sudah sedekat ini masih saja mental!
Artinya memang benar seperti ucapan Raden Setya, mereka tidak menginginkanku dan rencana umpan Aji gagal total! Targetnya saja berubah. “Terus informasi Pak Asep gimana? Masalah Bu Yun?” Ujarku lagi.
Aji menurunkan kepalanya dan berbisik, ”Gue dapet informasi bagus.” Aji menunduk dan memberikan isyarat untuk mendekat.

“Perusahaan ini, Pak Robert, dia bukan pemilik yang sah!” Aji sungguh berhati-hati saat mengatakannya.

“Maksudnya?”
Aji sesaat menarik nafasnya lalu kembali bicara, 

“Menurut informasi Pak Sigit, sekitar 26 tahun yang lalu terjadi perubahan management dari Jakarta. Begitu Pak Sigit mencari informasi ke notaris dan pengacara, kedua orang itu juga menghilang.”
“Lalu hubungannya dengan Nyi Ireng dan semua kejanggalan ini?”

“Gua juga belum tahu. Tapi setidaknya pasti ada kaitannya karena Mbah Santo orang kepercayaan Bu Yun kan? Artinya ini informasi yang cukup berharga. Perusahaan ini benar-benar gila!” Aji kembali menegakkan tubuhnya.
Mendengar penuturan Aji membuatku mendengus sebal. “Aji! Masalah telulas saja belum selesai, jaler juga belum ketemu, sekarang malah ditambah masalah pemilik.” Protesku, “Jadi yang mana dulu?” tanyaku lagi.

Aji hanya menaikkan bahunya. Kepala kami kembali berasap!
Sialan! Masalah tak habis-habis mau mengumpat juga percuma. Tapi yang pasti kami harus kembali memeriksa bangunan terbengkalai di belakang gudang.

“Ji! Malam ini jadi?”
“Harus! Jangan di tunda lagi. Tenang gue udah bawa alat untuk bongkar kunci.” Aji menaikan alisnya berulang-ulang sambil menunjukan sebuah alat yang lebih mirip pisau lipat. Namun saat aku mengeluarkan kunci kantil dan kenanga. Wajah isengnya hilang.
“Sialan kenapa gak bilang!”

“Aku juga baru inget kemarin habis sholat maghrib.” Ujarku sambil cengengesan mambuat Aji semakin kesal. Gantian lah Ji!
Tepat tengah malam di antara denging nyamuk dan juga rintik hujan yang baru turun, dua orang pria dewasa mengendap-endap seperti maling. Samar cahaya membuatku sedikit kesulitan memasukkan anak kunci kedalam lubang engsel, membuat Aji terus menerus berdecak.
“Bisa ngak sih?” Bisiknya tak sabar.

“Sedikit lagi ini gak kelihatan Ji!” Aku masih terus berusaha.

“Bukannya kalau sudah nikah pinter ya?!”

“KAMPRET! Gak ada hubungannya!”
Kesal! Padahal situasi genting begini, Aji sempat-sempatnya mikir ke sana. Si cepak sudah  membuka mulutnya untuk melanjutkan ucapannya namun suara ‘klek’ membungkamnya seketika.

Bunyi derak pintu besi berdecit nyaring, membuatku berhenti seketika,
namun si cepak malah terus mendorong tanganku. Kami secepatnya masuk kedalam ruangan gelap dan menutup pintunya. Gila! Rasanya benar-benar menegangkan. Kalau sampai ketangkap basah kami berdua pasti jadi tumbal!
Bau pengap segera menyerang hidungku. Sedikit bau busuk seperti sampah basah bercampur anyir! Juga bau menyan. Lagi-lagi suasana singup membuat nafasku sesak. Sungguh gelap bahkan aku tak bisa melihat apapun di sini. Hanya terdengar dengus nafas kami yang bersahutan.
Saat mataku masih beradaptasi dengan kegelapan. Aku meloncat kaget setengah mati saat sinar terang menyorot wajah Aji di bawah dagunya, juga dengan senyum usilnya.

Anjrit! Kalau saja tak ada tulang rusuk di dadaku ini. Jantungku sudah pasti melompat keluar. Aji sompral!
Sempat-sempatnya bercanda. Padahal dadaku sudah berat terhimpit anyepnya suasana di dalam pos ini.

“AJI! SERIUS?” Aku semakin geram sebab si cepak malah cengengesan seperti tak punya rasa takut.
Sinar senter mulai diarahkan keseluruh ruangan, di ujung bangunan sebuah tangga mengarah turun ke bawah tanah. Seketika senyuman Aji menghilang.

Seperti memberi isyarat dengan matanya, Aji bergegas mendahuluiku turun ke bawah, udara berat seolah keluar dari dalam tanah.
Bunyi tetesan air menggema dikejauhan, kami berhati-hati menginjak anak tangga satu persatu, di ujung lorong sebuah cahaya redup berpendar. Di bawah ini rupanya sebuah ruangan cukup lebar.
Cahaya bohlam lampu kuning yang redup membiaskan sebuah lemari kayu tua tegak dengan setumpuk map yang usang.

Tanpa menunggu waktu kami segera mendekat. Belasan map berisi lembaran seperti data pribadi lengkap dengan foto nama tanggal lahir hitungan neptu dan weton,
bahkan nama orang tua masing-masing. Aji tersenyum puas! Kami menemukannya. Tumpukan map ini cukup banyak, mungkin puluhan tidak menurut hitunganku sekitar ratusan orang yang MATI!

Satu persatu aku melihat dan tepat sebuah map lain berisi data dengan foto istri Mas Bambang,
di sebelahnya seorang pria yang kerap muncul di rumah Aji dengan nama dan neptu yang dihitung. Mas Bambang! Apa yang akan dia rasakan jika aku menunjukkan ini padanya?

Hatiku ngilu, pria itu pasti sedih luar biasa.
Rupanya orang-orang jahat ini, mereka telah menentukan target dari awal. “Anjrit! Ketemu juga tapi gak mungkin di bawa semua. Bisa ketahuan!” Aji bicara sendiri!

“Jadi?” Sahutku, “Ambil yang ini aja yang paling bawah untuk aku bawa ke kantor pusat.”
Aji segera membuka kancing baju dan menyelipkan salah satu map dalam pakaiannya. Namun sebuah amplop usang yang lain menarik atensiku, tanpa pikir panjang aku juga membawanya.

“Ji bukannya mereka menyekap orang di sini?” Kecurigaanku masih belum usai.
“Kalau dari omongan mereka begitu sih tapi di sini cuma ada satu ruangan kan?”

“Tapi pasti ada ruangan lain?” Sambil menyipitkan mata aku melihat dengan seksama. Ketemu! Sebuah pintu besi di arah kami masuk. “Ji pintu lain!” tanganku menunjukkan arahnya.
“Ya! tapi kita gak bisa lama-lama. Kalau sampai ketahuan bisa mampus Ndra!”

Benar juga, Aji segera mengingatkanku untuk bergegas, bisa gawat kalau mereka kembali kemari. Kami keluar dengan terburu-buru. Sekali lagi ternyata petunjuk mereka benar.
Kami menemukan semuanya, meski hanya sepintas membacanya, semua tepat seperti firasatku. Sihir selalu membutuhkan media dan mereka memakai tanggal lahir juga foto korban.
Di luar gerimis sudah berubah menjadi hujan yang cukup deras, cuaca semakin dingin tapi bulir keringat sebesar jagung membasahi dahi dan punggungku. Secepat kilat kami bergegas pergi menjauh.
Di depan pintu gudang bagian chemical kami berhenti sesaat mengatur nafas. Lalu berjalan setenang dan sesantai mungkin saling bicara seolah tak terjadi apapun, padahal jantungku sudah dag-dig-dug tak karuan.
Aji cengengesan dengan tawa khasnya, beberapa orang karyawan yang berpapasan dengan kami pun menegur seperti biasa.

Setibanya dalam ruangan, dengkulku lemas tak bertulang. Sedangkan si pitak? Dia malah meledekku.
Saat aku bertanya kenapa dia tak merasa takut atau gugup, Aji hanya bilang sudah biasa. Wah! Mentalnya benar-benar aku acungi jempol.

Aji menyerahkan semua barang bukti dan memintaku untuk menyimpannya.
Dia hanya berujar tempat yang paling berbahaya adalah tempat yang paling aman. Sepertinya aku paham maksudnya.

“Sedikit lagi Ndra!” Bara dendam kembali berkilat dalam mata biru si cepak.
Sesampainya di rumah aku segera menyimpan dokumen Aji di dalam kamar sebelah, tepat di bawah kasur, selembar foto jatuh dari dalam map usang yang kubawa. Sebuah foto yang sama seperti milik Aji.
Rupanya dia benar, orang tuanya di bunuh, namun aku benar-benar tak menyangka jika di balik foto itu tertulis sebuah nama yang mengguncangku, ‘Salim Antoni and family.’
Foto yang sama, pria bermata biru dengan pakaian safari, anak-anak yang sama bahkan wanita berkebaya itu juga. Tanganku bergetar hebat. Tunggu!
Salim Dharmaji, si cepak juga mengatakannya ‘kan? Mungkinkah dia saudaraku seperti yang di sebutkan Raden Setya saat pertemuan pertama kami? Tidak! Jangan terburu-buru menyimpulkan.

Selembar foto dan sebuah nama, itu bukan bukti yang kuat. Aku butuh sesuatu lagi.
Setidaknya petunjuk. Sebentar, bukankah Aji sempat mengatakan kebakaran juga? Dan luka di tubuhku ....

Kalau begitu kemungkinan besar Aji adalah ....
Saking bingungnya, aku sampai tak tahu apakah harus bahagia atau justru bersedih. Jika kesimpulanku ini benar, betapa beruntungnya aku menemukan satu-satunya saudara sedarahku.

Tapi bagaimana jika itu semua salah?
Seakan menjawab pertanyaanku, di dalam amplop tak hanya tersimpan selembar foto tapi juga sepotong artikel koran dengan ejaan lama. Sebaris kalimat mengguncangku begitu dahsyat.
‘Terdjadi kebakaran jang menewaskan satoe keloearga taipan, Salim Antoni dan Istri tewas, beroentoeng anak-anak mereka, Salim Tjandra dan Salim Dharmadji bisa selamat. Kebakaran di doega karena listrik dari dapoer ....’
Aku sudah tak sanggup membaca kelanjutannya karena tahun yang tercetak di lembaran koran itu sesuai dengan tanggal lahirku saat aku datang ke panti asuhan, 1972.
Tubuhku lunglai seperti tak bertulang. Ini sungguhan artinya Wiro membunuh ayah dan ibuku. Ini bohong ‘kan? Aku menggeleng berulang kali. 

Pantas saja warna mata kami sama. Pantas saja aku mudah akrab dengannya, darah itu memang lebih kental dari air. Aji! Dia adalah kakakku.
Air mata mengalir deras dari netraku ini, rasanya sungguh lega, aku tak sendiri.  Aku tak pernah sendiri. Aku punya saudara. Aku punya kakang. Aku tak sebatang kara. Kenapa baru sekarang, kenapa aku tak berusaha lebih keras mencari masa laluku.
Setitik penyesalan merambat membuat hatiku semakin sakit tapi juga lega. Jadi seperti ini rasanya punya saudara. 

Tanpa menunggu waktu, aku bergegas menyimpan semua barang bukti dan keluar mencari Aji namun seketika di depan pintu rumah kaki ku berhenti.
Sebuah pikiran terlintas, jika itu benar dan dia mau mengakui tapi bagaimana jika dia menolak. Lagi pula selama ini Aji mengira aku sudah mati bukan? Dia pasti mengatakan aku pembohong. bagaimana jika dia justru membenciku?
Tidak! Lebih baik begini saja. Lagi pula mengetahui jika dia adalah saudaraku itu sudah cukup. Ya! Aku memutuskannya.

“Mamas ngopo toh kok ngelamun di depan pintu? Minggir! Adis mau nyapu.” Suara Adis menyadarkan lamunanku.
“Iyo Adis, sabar.” Aku hanya tersenyum, lebih baik begini saja, ‘kan sudah ada Adis.

Andra jangan terlalu tamak! Tegasku.

“Mamas kok cengangas-cengenges kenapa toh? Hayo ngaku?” Adis seketika menyadari raut wajahku, memang saat ini aku benar-benar merasa lega dan bahagia.
“Gak kok,” tegasku namun mata Adis menyipit dengan tatapan menyelidik. “Kok mesam-mesem gitu. Mba Ayu ya?”

Ealah … Perempuan ini pikirannya malah kemana-mana!

“Enggaklah sembarangan aja!” 

“Terus itu kenapa? Senyum-senyum gitu,” curiganya tak habis juga.
“Seneng aja Adis sudah masak kesukaan Mamas. Pecel!” Sahutku sambil berlalu ke dapur untuk sarapan. Meninggalkan Adis yang  memicingkan matanya. Dasar wanita pencemburu!

Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi, di depan pintu Mas Bambang datang berkunjung dengan anaknya, Dewi.
Adis yang memang dasarnya senang dengan anak-anak langsung saja akrab. Melihat Dewi dan Mas Bambang membuat hatiku remuk seperti diremas. Bagaimana jika mereka tahu kenyataan bahwa wanita yang mereka sayangi telah meninggal.
Bukannya minggat melainkan di guna-guna lalu ditumbalkan.

Aku sungguh tak sampai hati mengatakannya. Apalagi saat Adis membuatkan Dewi pecel, gadis kecil itu tertawa dengan tulus. Ah pasti dia merindukan kasih sayang seorang ibu. Sayang sekali!
Dari seberang jalan pemuda cepak mendekat padaku dan Mas Bambang yang masih asik bicara. Rasanya aku ingin segera memeluknya tapi sekuat hati aku bertahan. Aku tak mau Aji menganggapku aneh dan membenciku.
Aku baru sadar ternyata bukan hanya mata kami yang biru, postur tubuh kami pun sama, hanya saja Aji lebih berisi. 

“Ndra, kopi dong sekalian sarapan,” lagi-lagi gaya bicaranya yang asal.
Kali ini aku tak kesal mendengarnya malah aku merasa benar-benar beruntung bisa bicara seperti ini. 

“Lah dia ketawa-tawa, Ndra!?” Panggilnya lagi.

“Iya sabar!” Jawabku sekenanya dan berlalu mencari Adis memintanya untuk membuatkan kopi juga pecel.
Setelah Mas Bambang pergi Aji kembali bicara, “Ndra, lo udah dapat informasi lagi?’

Aku hanya menggeleng. “Gue curiga, beberapa hari ini Bu Wiro sama Ari gak kelihatan, mungkin gak?”

Aku segera menggeleng mantap. ”Firasat itu belum datang ji.”
“Tapi semakin tenang air mengalir justru semakin dalam.”

Ucapan si cepak ah tidak ucapan Aji, abangku satu-satunya ini memang masuk akal. Aku memperhatikan dengan lekat jika ternyata Aji ini sepintas mirip ayahnya. Apakah wajahku ini mirip dengan ibu?
Wah! Memikirkannya saja hatiku menghangat. Begini ya rasanya tanpa sadar bibirku tersenyum.

“Ji, boleh nanya gak?”

“Tumben! Apaan?” Si cepak melirik sambil meminum kopi hitamnya.
“loe anak tunggal? Atau punya saudara?” Aku setenang mungkin mengatakannya.

Tiba-tiba Aji berhenti menyesap kopi dan memandangku lekat. Pemuda di sampingku ini terdiam sesaat sambil menarik nafasnya yang sesak.
“Gue punya adik, habis kebakaran kami terpisah. Dia luka parah jadi gak tahu masih hidup atau ... Sudah meninggal! Gue juga udah nyari kemana-mana. Tapi tetep gak ketemu. Bahkan batu nisannya sekalipun.” Terang Aji lirih, suaranya berubah sendu sambil menatapku lekat.
Aku hanya mendehem sambil mengangguk. Dugaanku benar, Aji pasti sudah mencariku kemana pun.

“Loe sendiri?” Aji membalikkan pertanyaanku.

“Entahlah Ji, nama orang tua aja aku gak tahu.”
“Papi gue namanya Salim Antoni, Mami namanya Roro Palastri Ageng. Sedangkan adik gue laki-laki namanya Salim Chandra.” Aji bicara tenang dan kembali menyesap kopinya. Sedangkan aku menahan semua deru dadaku yang membuncah, dia benar-benar saudara kandungku.
“Tahu gak kenapa gue manggil loe ‘Ndra’? padahal nama loe kan Andra!” Aji bicara sambil terkekeh.

“Karena itu nama panggilan adik gue.” Lagi-lagi Aji tertawa meski bulir bening mengalir di ujung matanya.
Aku hanya tersenyum mengangguk ‘iya’. Kami menghabiskan kopi bersama dalam diam sibuk dengan isi narasi dalam hati masing-masing. Aku tak tahu apa yang Aji pikirkan, yang pasti begini saja aku sudah bersyukur.
“Loe boleh manggil gua kakak, abang atau brother, koko juga boleh.” Aji kembali bicara sambil terkekeh. Namun ucapannya sangat berarti untukku, “Oke Bang!” Ucapku mantap.

“Jangan dipanjangin jadi bangsat tapi ya?” ujarnya lagi membuat tawaku bergema.
Sedangkan Adis yang mendengar menyahut dari dalam. “Podo guyu ae? Ngopolah?” Teriaknya medok seperti biasa.

“Gak opo-opo,” tanpa komando kami berdua menjawab bersamaan dengan logat jawa yang kaku.
Wanita itu mendengus. “Ealah! Kalian berdua tuh kok koyo saudara ae, mirip kelakuannya!” Adis bicara sambil berlalu meninggalkan kami berdua yang tertawa semakin keras.

Ya tentu saja Adis. Kami memang bersaudara kok! Sorak batinku.
Seakan tak cukup memikirkan tentang Nyi ireng, aku masih harus tetap bekerja dengan segudang masalah lainnya. Untung saja maintanance sudah 90%, menurut perhitungan Aji dua minggu lagi semua akan selesai. Musim tebang dan giling akan di mulai, artinya ritual itu semakin dekat.
Di sudut gudang yang pengap, aku masih memeriksa satu persatu barang, persiapan STO tahunan. Menurut bapak-bapak pekerja, perusahaan rutin melakukannya setiap tahun untuk memeriksa inventory perusahaan. Padahal jenis barang di gudang ini mencapai ribuan jenis.
Dari yang sebesar mobil sampai yang sekecil lidi. Tapi tetap saja namanya kerjaan, mau banyak atau sedikit ya tetap harus kelar.

Aku masih menunduk di bawah rak memeriksa engine pump dan nomor seri saat langkah kaki terdengar mendekat dari belakang. “Masih sibuk?”
Aku menghela nafas sepanjang mungkin, bagaimana tidak kesal? Suara menyebalkan ini lagi. Tanpa menoleh-pun aku tahu, jika Mbak Ayu yang bicara.

“Pak Andra kok diam saja sih?” Aku hanya mendengus, malas.
“Mbak kalau gak ada kerjaan, pulang saja! Saya risih.” Ucapku tanpa menengok, kalau pun ini sosok yang menyerupai Mbak Ayu aku juga tak peduli. Aku membenci keduanya.

“Kalau saya pulang di rumah gak ada siapa-siapa. Tapi Kalau di sini kan ada Pak andra.”
Saking kesalnya aku sampai tak bisa menjawab. Demi kewarasanku yang tinggal setipis kertas akhirnya aku mengalah, pergi meninggalkan Mbak Ayu – tanpa menengoknya – bergegas ke kantor dan memeriksa barang reject yang di tolak tadi pagi. Lagi-lagi dia mengekor di belakangku.
Tuhan! Aku harap ada gempa bumi yang besar lalu merubuhkan salah satu rak ini dan membunuh wanita itu seketika. Tapi sayang doa jelekku itu tak terjadi. Karena semua baik-baik saja sampai aku masuk ke dalam ruangan dengan setumpuk dokumen di tangan
dan mulai tenggelam memeriksa dokumen yang bertumpuk. Wanita ini justru duduk dengan tenang, sambil terus menatapku. Terserah!

“Pak Andra mau ko–“

“Mbak?! Tolong berhenti! Saya ngak akan pernah bisa suka sama sampeyan!”
Tanpa memberikannya kesempatan bicara, aku menghardik wanita ini sekeras mungkin. Harapanku Mbak Ayu akan membenciku setengah mati eh tidak, kalau bisa sampai mati sekalian.

Namun respon yang aku terima justru terbalik.  Wanita di hadapanku ini justru terlihat tenang.
Terlalu tenang sampai tidak normal.

“Pak Andra, boleh kok membenci saya, tapi saya akan tetap suka sama sampeyan.”

Aku hanya mendengus dan mengabaikan ucapannya.  “Pak Andra mau tahu siapa yang ada di sini?”
Wes cukup, segini dulu ya,

Selamat berpuasa untuk yang menjalanakan.
seperti biasa kalau mau baca duluan bisa ke @karyakarsa_id
karyakarsa.com/simpledandism1…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with simpledandism123 🍉

simpledandism123 🍉 Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @simpledandism

Sep 28, 2023
Asslamualykum, Yuk kita lanjut cerita sequel Tebu Manten.

Julung Kembang : Part 11

Ijin tag ya Bang.

@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @threadhororr #malamjumat Image
Siapa?
Siapa yang berani menjemput ajalanya?
Keturunan mana yang suka rela mengantarkan nyawanya? Menyerahkan kekuasaannya!
Jarak kami semakin pendek, kini di hadapanku berdiri seorang pria berbeskap hitam dengan blangkon warna senada dan ucapannya membuatku yakin jika di dalam pria itu sudah menunggu, pemilik ritual gambuh.
Read 93 tweets
Sep 21, 2023
Lanjut ke sini ya, Bang.

Julung Kembang : Part ke 10

@IDN_Horor @bacahorror @SpesialHoror @threadhororr @karyakarsa_id Image
“Walah, mau mati saja banyak tingkah.” Cibirku pada Garwita sambil terus tertawa puas. 

“KEPARAT! AKU ORA WEDI MATI!” Garwita masih terus memaki dengan pongahnya.

Kesal! Nyai Durganti menarik sulur yang membelitnya sekuat mungkin. Wanita itu menjerit parau sampai …
Semua anggota geraknya terpisah, tubuh itu tercerai berai. Darah menyembur dan terakhir kepala itu tercabut dari tubuhnya. 

Kematian itu pasti sangat menyakitkan karena kedua wanita yang tersisa mulai merengek memohon ampun seperti para tumbal.
Read 56 tweets
Sep 21, 2023
Assalamualaikum, apa kabar? Saya lanjut lagi ya. Bismillah.

Julung Kembang : Part 09

Ijin Tag Bang,

@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @karyakarsa_id @SpesialHoror @C_P_Mistis @ceritaht #horor Image
Selepas kepergian Pak Ade dan Mas Agung, aku masih terpekur sendiri sambil sesekali menyesap kopi dingin yang hambar. Memikirkan tetang sebelas ritual ini sambil menghembuskan asap dalam ruangan yang mulai redup. Aku kembali mengulangnya, tentang janji Wijaya.
Sebelas ritual miliknya yang menggambarkan perjalanan hidup manusia.

Aku sudah tahu hakikat syair macapat ini adalah keberadaanku tapi ada satu lubang besar yang masih mengganjal dalam pikiranku. Kenapa dari sebelas ritual ini,
Read 85 tweets
Sep 14, 2023
Assalamualaikum. Lanjut lagi ya cerita Mas Andra dan Mbak Adis.

Julung Kembang : Part 08

Ijin tag ya Bang.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id #malamjumat #horror #horor Image
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Selintas pengelihatan yang aku dapatkan setelah menelan simpul kinanthi menuntunku kemari. Sambil bersandar di pintu toko yang tutup aku duduk begitu saja di atas lantai yang kotor, memperhatikan keramaian di depanku.
@IDN_Horor @bacahorror @bacahorror_id @C_P_Mistis @ceritaht @karyakarsa_id Sudah lewat tengah malam, bukannya berkurang, bangunan di depanku ini justru semakin ramai oleh kerumunan pria hidung belang, penjudi dan wanita sundal yang keluar masuk.
Read 95 tweets
Sep 8, 2023
Bismillah, lanjut lagi ya. biar cepat selesai dan ngak penasaran.

Julung Kembang : Part 07

Ijin tag Bang.
@IDN_Horor @SpesialHoror @chow_mas @threadhororr @C_P_Mistis @karyakarsa_id #horror Image
Pagi baru menjelang, cahaya mentari baru mulai menghangat. Di dalam ruang kerja, aku menuliskan semuanya pada halaman terakhir buku hitam peninggalan buyutku yang gila.

Menorehkan tinta dengan tangan gemetar, menggenggam pena itu sekuat mungkin.
Menggigit bibirku hingga berdarah, rasa asin dan anyir itu menyebar dalam rongga mulutku pun kesedihan yang semakin meluap. Pesan terakhirku untuk Adis.
Read 93 tweets
Sep 6, 2023
Assalamualykum, nah sesuai janji saya lanjut lagi ya,

Julung Kembang : Part 06

Ijin tag Bang,

@IDN_Horor @IDN_Horor @SpesialHoror @karyakarsa_id @wattpad @threadhororr Image
Setelah belasan pemeriksaan lanjutan, Aji dipindahkan ke ruang perawatan kelas satu di lantai atas.

Kabel pendeteksi jantung menempel di dada kecilnya, tak ketinggalan selang oksigen dan selang makanan menjejali wajahnya yang kecil. Hatiku teriris-iris.
Jarum infus itu menancap di lengan Aji, menyakiti putraku yang malang.

Suara mesin denyut jantung berirama dengan tenang menggema keseluruh ruangan. Setiap detaknya seperti palu godam yang mengahantamku. Hasil ct-scan, lab, bahkan riwayat kesehatan Aji semuanya normal.
Read 95 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(