Dari semula-mulanya Gayatri telah gundah sepanjang hari. Dia tanyakan dirinya dengan keras, haruskah hari itu ia tetap pergi atau membatalkan janji.
Sebenarnya tidak ada keperluan yang mendesaknya untuk berangkat ke Majalengka dan bermalam di sana kecuali ingin bersilaturahmi dengan salah satu sanak tertua dari keluarga abahnya.
Yang membikin bimbang hatinya sungguh Amelia, sebab keadaan anak itu belum lagi membaik menurut penglihatannya. Ia sempat terjaga beberapa saat lalu kembali hilang kesadaran.
Sejak itu pula Amelia hanya terpejam di kasur seperti koma. Gayatri telah berusaha membangunkan Amelia, tetapi anak itu betul-betul tidak bereaksi.
Siang tadi Gayatri mengutarakan pikirannya pada Hamdan, juga mempertimbangkan kalau mungkin saja ia tak perlu berangkat. Rupanya hal itu membuat Hamdan jadi tidak enak hati. Sehingga ia berusaha meyakinkan Amelia akan baik-baik saja.
"Saya sudah membuat ibu jadi repot-repot. Mudah-mudahan nggak akan terjadi apa-apa pada Amel. Insya Allah saya bisa menjaganya."
Gayatri tidak terlalu percaya diri meninggalkan anak itu, namun ujung-ujungnya tetap berangkat sesuai rencana. Sebelum pergi ia tinggalkan pesan kepada Hamdan agar selalu mengabari kondisi anaknya.
"Ingat, Hamdan, kamu jangan pernah meninggalkan Amel. Selama ibu di luar usahakan kamu bacakan Quran dan berzikir di dekatnya. Kalau ada perlu apa pun minta tolong saja sama Asep atau Sulis."
Hamdan mengingat pesan tersebut yang diucapkan Gayatri sebelum menaiki sedannya.
Situasinya tidak berubah sampai malam hari. Amelia masih terpejam sementara Hamdan tidak pernah berhenti mendampinginya.
Sekitar pukul delapan malam lewat Amara menelepon untuk mengabari kejadian luar biasa yang menimpa temannya. Hamdan selekasnya menghubungi Gayatri dan menanyakan pendapatnya tentang itu.
"Dia makan makanan pemberian Amara?" ujar Gayatri mencari kepastian.
"Katanya begitu."
"Ya sudah, tunggu apa lagi, cepat beritahu dia supaya anak itu dibawa ke rumah malam ini juga."
"Tapi ibu sendiri gimana?" Hamdan masih tidak enak hati.
"Itu soal gampang, Hamdan, bukan urusan kamu. Ibu bisa pulang. Mungkin tengah malam sudah sampai."
Setelah memastikan hal itu Hamdan menghubungi Amara.
"Kalau bisa dibawa sekarang itu lebih baik," ujar Hamdan. "Masalahnya nggak ada orang yang bisa menjemput. Asep sudah dipesankan ibu supaya nggak pergi ke mana-mana."
Tanpa berpikir dua kali Amara berkata, "Saya yang akan mengantar dia ke sana."
Hamdan sempat ragu akan hal itu, kecuali setelah ia mendengar Amara sangat bersungguh-sungguh, maka ia tidak bisa lagi mencegahnya.
Sebagaimana Gayatri berpesan, Hamdan terus mendampingi putrinya dengan membaca kitab suci juga doa-doa. Harapan pria itu tak muluk-muluk, yakni supaya kondisi Amelia bisa kembali seperti semula.
Dia pun percaya bahwa kitab itu adalah obat meski hanya sedikit yang dipahaminya. Oleh karenanya ia tak berhenti membaca, meskipun rahangnya sudah terasa akas lantaran terlalu lama membaca.
Namun, pada pukul sembilan Hamdan mendengar suara Asep dari dekat memanggil-manggil namanya. Barangkali Asep membutuhkan bantuannya, begitu pikir Hamdan, sehingga ia pun keluar kamar untuk menemuinya.
Anehnya Asep tidak tampak di luar. Hamdan lantas mencari pria itu di kamarnya yang berada di pekarangan belakang.
"Kang Asep..., Kang Asep ke mana?"
Bukannya menemukan Asep, Hamdan malah berjumpa dengan salah satu pembantu perempuan, yakni Sulis, yang terusik dengan suaranya.
"Nyari Asep, Mang?" nyaring Sulis dari kamar paviliun yang berseberangan.
"Iya. Kang Asep ke mana, ya?"
"Lagi ke kandang sapi. Baru saja jalan. Mau saya panggilkan?"
Pada saat itu Hamdan baru mengerti, tidak semestinya ia meninggalkan Amelia dengan alasan apa pun. Gayatri sudah berpesan, tetapi ia malah tidak amanah menjaga pesan tersebut.
Suara yang memanggil-manggil namanya sebelum itu mungkin saja hanya suara jin yang berusaha mengecohnya. Dan ia sangat yakin kali ini dirinya sudah tertipu.
"Tolong telepon Asep sekarang," gusar Hamdan seraya pergi dengan terburu. Rasa cemas seketika mengepung batinnya kecuali ia mendapatkan putrinya seperti semula.
Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ketika Hamdan tiba, Amelia mengalami kondisi semacam kejang yang begitu hebat. Tubuhnya berguncang sedemikian rupa.
Amelia juga berusaha menarik kedua tangannya ke belakang dengan kekuatan luar biasa sehingga dadanya membusung tidak wajar.
Tanpa banyak bicara Hamdan menyerbu ke dalam untuk menghentikan Amelia. Namun gadis itu memamerkan wajah tidak senang akan kehadirannya. Dia menggeram bagai anjing, juga menghardiknya dengan caci maki yang belum pernah diucapkan seumur hidupnya.
"Kau juga akan mampus, Hamdan! Agrgggghhh..."
Dalam sesaat Hamdan mampu meringkusnya. Namun ia terhenyak dengan kekuatan Amelia yang mendadak jadi berlipat-lipat.
Agaknya dia hanya bisa dihentikan oleh dua atau tiga pria. Bahkan perempuan itu sepertinya tidak akan sungkan mencelakai siapa pun.
Sadar diri bahwa tenaganya terbatas, Hamdan memutuskan kembali membacakan ayat-ayat suci. Bersicepat ia ambil mushaf lalu membacanya dengan lantang, diawali dengan kalimat, "Aku berlindung dari godaan setan yang terkutuk."
Beriringan dengan itu Amelia memalingkan pandangnya pada Hamdan. Dalam wajahnya terlihat pula kesumat yang tidak terbantahkan, seolah-olah ia tidak menghendaki yang lain kecuali kehancuran pada setiap insan.
Meski demikian lelaki itu tidak gentar menghadapi musuh pengecut yang bersembunyi di dalam jiwa dan raga anaknya. Dia terus melafalkan kalimatullah dengan keimanan setingginya.
Dan rupanya hal itu menyebabkan setan semakin murka terhadapnya. Hanya saja, setan adalah makhluk yang luar biasa sombong. Alih-alih menyerah, ia justru tertawa bahak-bahak.
"Kalau cuma begitu aku bahkan lebih pintar, Hamdan! Ha ha ha ha!"
Hamdan tak menggubris ocehannya, malah hatinya tidak membantah kalimat tersebut yang sebagiannya mungkin saja benar.
Lelaki itu telah berulang kali mendengar riwayat tentang betapa salehnya raja jin yang bernama iblis pada dahulu kala. Bukan cuma saleh, melainkan sangat cerdas.
Bahkan pabila semua manusia yang ada di muka bumi disejajarkan ibadahnya dengan iblis kala itu, niscaya kesalehan manusia hanya berupa sehelai rumput di antara padang ilalang yang luas.
Akan tetapi Hamdan mengerti betapa jin juga bisa memiliki sifat sombong yang luar biasa. Dan itulah yang dicontohkan iblis. Rajin beribadah, selalu bersujud pada Tuhan, sehingga ia anggap dirinya lebih mulia dari manusia yang diciptakan belakangan.
Iblis hanya mengakui kebenaran yang semata-mata sesuai dengan kehendaknya. Lebih dari itu ia tak ragu membangkang. Bukankah itu merupakan suatu kebodohan di tingkat yang paling rendah. Dengan demikian apa artinya yang dia sebut pintar padahal justru sangat bodoh?
Pria itu sungguh tak sudi berputus asa dengan keyakinannya. Kemarahan makhluk astral itu rupanya malah dipahami sebagai sinyal yang menegaskan kekuatan ayat suci.
Dalam hati Hamdan berkata, "Kalau setan sialan itu tidak terganggu, maka ia tidak akan memamerkan murkanya." Oleh karenanya ia tak berhenti membacakan ayat. Dari yang satu segera disambung dengan yang berikutnya.
Juga pada akhirnya tidak terlalu penting surat dan ayat apa yang mesti dibaca, sebab jika makhluk itu tidak menyukai sebagian isi Al quran, maka ia pun tidak akan menyukai seluruh isinya.
Tubuh gadis itu semakin berkecamuk. Dari mulutnya terdengar jeritan yang diselingi sumpah serapah serta caci maki. Tangannya berusaha menggapai apa saja di sekitarnya.
Sedang Hamdan juga tak mau berhenti dengan upayanya, hingga pada satu kesempatan, secara tidak terduga Amelia berhasil merampas mushaf darinya. Seketika pula Hamdan menyaksikan kitabnya dirobek-robek.
Amelia tampak begitu puas dengan perbuatannya. Ia kembali memperdengarkan tawa, kali ini dengan suara paling nyaring daripada yang sudah-sudah.
"Sudah kubilang aku lebih pintar, ha ha ha! Bukumu itu tidak berguna, goblok, goblok! Ha ha ha ha ha."
Hamdan bukanlah seorang penghapal Al quran, kecuali beberapa surat pendek untuk memenuhi sunnah salat.
Tetapi lelaki itu pantang menyerah, sebab ia pun pernah mendengar bahwasanya sejati-jatinya Al quran adalah Al Fatihah, induk dari segalanya yang termaktub dalam kitab tersebut.
Selain itu ia mengerti, sekurang-kurangnya membaca tiga surat terakhir sama dengan membaca seluruh surat. Maka dengan keyakinan yang sama ia tak berhenti memerangi jin jahat dalam tubuh anaknya.
"Aku juga hapal kalau cuma begitu!" Amelia kemudian meludahi Hamdan berulang kali, lalu mengumpat, bersumpah serapah, ketawa gelak-gelak, bahkan menghardik ayat-ayat itu dengan umpatan yang membangkitkan kesumat.
Adakah Hamdan terpengaruh dan putus asa setelah semua itu? Nyatanya tidak. Entah memang imannya terlalu kokoh atau dikarenakan tidak ada lagi manusia yang dapat dimintai pertolongan, yang jelas ia tak mundur barang selangkah.
Perjuangan bermodal asal yakin itu rupanya mulai mendatangkan hasil. Amelia yang tadinya sombong setinggi langit, lambat laun malah menampakkan kecemasan.
Murkanya kembali ditunjukkan, seiring dengan gerakan tubuhnya yang membabi buta. Semakin lama Hamdan menganggap kekuatan jin itu kian melemah.
Hanya saja, setiap tekad manusia pasti akan diuji, begitu pun Hamdan. Boleh-boleh saja dia meyakini khasiat ayat suci mampu mengusir gangguan jin, tetapi ia mungkin lalai kalau makhluk itu juga demikian cerdik.
Maka yang disaksikannya sesudah itu menjadi ujian bagi keyakinan maupun kecerdasannya. Dalam keadaan terjepit, Amelia sekali lagi menarik tangannya ke belakang, sehingga teganglah tulang-tulangnya.
Tampak semua urat-urat dari dalam kulitnya. Dan apabila hal itu tidak buru-buru dihentikan, bukan muskil ia akan mematahkan tulangnya dengan kekuatan supra. Bagaimana pula Hamdan tega membiarkan anak gadis itu kesakitan.
Amelia tak berhenti melakukan itu. Matanya dipicingkan ke arah Hamdan sembari terkekeh-kekeh. Dan kenyataannya itu berhasil membuatnya terkecoh.
Rasa iba Hamdan terhadap Amelia ternyata lebih besar daripada keinginannya menumpas kejahatan. Tak lama kemudian ia mendengar bunyi "grutukkk," yang diyakininya berasal dari tulang belikat Amelia. Pada saat itu juga Hamdan menghentikan semuanya.
Sebentar sesudahnya datanglah Asep. Dengan gopoh ia masuki kamar tersebut.
"Amel kesambet lagi, Mang?"
Hamdan cepat mengangguk, lalu meminta bantuan untuk menahan anak itu agar tidak lagi mengamuk.
Dikarenakan apa-apa yang serba terbatas, Asep segera mengambil tali tambang untuk mengikat gadis itu. Hamdan tak punya pilihan lain, menurutnya itu lebih baik daripada membiarkan setan mencelakai tubuh anaknya.
Tenaga dua pria rupanya mampu menjinakkan kekuatan wanita itu. Ia hanya meronta sedemikian rupa ketika pergelangan tangannya diikatkan satu sama lain, kemudian begitu pula kaki dan tubuhnya. Hamdan hanya berharap Gayatri secepatnya tiba.
Antara sebentar kedengaran bunyi mesin mobil di luar.
"Ibu sudah sampai?" tanya Hamdan.
"Sepertinya orang lain. Itu lain suaranya."
Hamdan segera tahu siapa yang datang. Ia pun minta tolong pada Asep agar membukakan pintu untuk mereka.
Dan lelaki itu langsung memberitahu perkara yang barusan terjadi. Karuan saja Amara mendadak cemas. Ia bertanya, "Bu Gayatri sudah pulang?"
"Belum. Katanya baru akan pulang jam sebelas dari Majalengka."
Amara memasuki rumah Gayatri diikuti Atun yang membopong Shizuka sendirian. Asep sempat menawarkan bantuan, tetapi perempuan itu tampaknya tidak bermasalah dengan beban seberat itu.
Diam-diam pria itu juga heran, apa gerangan yang melanda Shizuka. Tubuhnya kaku juga bengkok, sementara matanya membelalak seperti orang yang sedang melintasi sakaratul maut.
Namun ia sungkan bertanya, dan ia yakin perempuan itu pasti masih hidup. Yang dapat dilakukannya tentu hanya menerka-nerka; Gadis itu mungkin kerasukan jin sebagaimana yang menimpa Amelia.
Lain Asep lain pula Hamdan. Ia tak mampu menyembunyikan keheranannya begitu melihat Shizuka dengan pose keterlaluan aneh.
"Ya Allah, sampai begini rupanya!" komentar Hamdan ngeri.
Sementara itu Asep dengan sigapnya telah menyiapkan kasur untuk Shizuka. Lantas ia diletakkan di situ.
"Alhamdulillah, untung saja masih bernapas," komentar Hamdan selanjutnya.
"Masih, Om, jangan khawatir. Kalau soal pernapasan, yang saya tahu anak ini memang kuat," seloroh Atun. "Begini-begini dia jago tinju dan mantan juara renang, Om."
Hamdan melirik Atun sembari menyunggingkan senyum. Secepatnya ia paham, jenis wanita seperti apa yang sedang dihadapinya. Jadi, ia berusaha mengimbanginya dengan santai pula.
"Anak saya juga mengalami hal serupa," ucap Hamdan.
"Serius, Om!?" sambar Atun dengan ekspresif.
Hamdan membuka pintu kamar untuk memperlihatkan kondisi Amelia.
"Sampai harus dipasung?" Atun seolah tak percaya dengan yang ia saksikan.
"Bukan dipasung. Cuma diikat sebentar sampai Bu Gayatri pulang."
Ada banyak hal yang sukar dipahami oleh Atun. Namun ia amat bersemangat mencari tahu asal muasal peristiwa itu. Pertanyaannya jadi semakin banyak dan tidak berurutan,
walau pada akhirnya ia mulai mengerti. Berkat Hamdan, jadi lebih mudah bagi Atun mencerna urutan kejadiannya. Hamdan tidak sungkan menerangkan banyak hal, termasuk beberapa soal tentang masa lalu juga persambungannya dengan Gayatri dan Amelia.
Ini scrolling thread kalau udah agak panjang (lebih 50 twit) suka gak nongol twit terakhir. Diclose dulu juga gak langsung nongol. Apa harus ganti hp Samsung Galaxy Spica ya?
"Wah, wah, jadi Amelia ini sebenarnya anak dari adiknya Om Hamdan?"
"Ya."
Lantaran terkilas kejadian malam sebelumnya, Amara langsung menimpali dengan lirih, "Seingat saya, Bu Gayatri menyebut nama ayah kandung Amelia juga Hamdan."
"Memang nama adik saya dengan saya itu sama pada akhirnya."
"Bagaimana mungkin?" Atun bersuara.
"Hanya karena dia sakit-sakitan. Tradisi yang umum dulu, kalau anak terlalu sering sakit biasanya diganti nama. Sebaliknya, sewaktu kecil saya sangat sehat dan lincah."
"Unik juga," seloroh Atun tanpa menjelaskan di mana letak keunikannya.
"Nama belakang kami sama. Adik saya awalnya Rahmat. Karena sakit lalu diubah jadi Rahman. Rupanya masih sakit-sakitan, diubah lagi jadi Marwan, lalu Ramdani,
...sebenarnya masih ada lagi, hingga akhirnya nama saya dipakaikan untuk almarhum. Namun, dulu dia lebih sering dipanggil Sani, yang artinya kedua, ibaratnya bahasa sekarang, Hamdan versi 2.0."
Percakapan yang lebih terbuka dengan sendirinya menghinggapi tiga orang itu. Tidak kecuali Amara, yang semula sungkan berterus terang. Pembawaan Atun yang akrab dan sedikit urakan belakangan membuat rahasianya jebol juga.
Puncaknya Atun berkata dengan serius, "Kalau begitu, kenapa kamu nggak temui orangnya langsung?"
"Maksud kamu siapa?"
"Mardina, memang siapa lagi?"
Amara menghela panjang. "Seandainya kasus semacam ini bisa dibuktikan tentu aku bakal mendampratnya habis-habisan."
"Justru menurutku nggak perlu bukti. Coba pikir baik-baik, apa yang membuat kamu ragu? Wanita itu menggoda papamu, itu saja sudah salah."
"Entahlah. Menurutku hal seperti ini nggak akan mudah."
"Kamu nggak harus memutuskan sekarang. Tapi kalau kamu perlu bantuan, aku akan senang hati menemani kamu mendamprat si bedebah itu."
Hamdan tanpa disangka-sangka ikut berpendapat sebagai berikut, "Menurut Om itu justru ide yang realistis. Kita bisa menekan wanita itu secara psikis. Jika tuduhan ini benar, mungkin saja dia akan merasa sangat tertekan, dan akhirnya menyudahi perbuatannya."
"Nah, itu yang diharapkan," timpal Atun.
"Bagaimana kalau yang terjadi malah sebaliknya?" Amara menguji pendapat kawannya.
"Artinya, dia malah menggila?"
"Bukankah itu juga kemungkinan yang harus dipikirkan?"
Alih-alih mempertahankan argumen, rupanya Hamdan lebih suka mengubah pendapatnya dalam sekejap.
Ujarnya, "Benar juga. Kita harus melihat ke sana. Orang yang mendatangi dukun teluh saja sebenarnya sudah nggak waras otaknya, jadi sangat mungkin dia malah semakin membabi buta bila kita bertindak sejauh itu."
Sesudah itu Amara melihat cara lain yang agaknya lebih realistis. Ia tak sungkan berpendapat, "Atau sebaiknya aku datangi saja dukunnya?"
"Itu benar!" sorak Atun tak tertahankan lagi. "Kamu tahu di mana tinggalnya dukun santet itu?"
"Aku tahu, tapi nggak terlalu yakin."
Hamdan langsung menimpal dengan bisik-bisik, "Sepertinya itu bisa dilakukan dengan mediasi."
Atun buru-buru menggugat, "Mediasi dengan siapa? Memangnya ini sengketa atau apa?"
"Maksudnya berkomunikasi dengan jin."
"Mengajak dia bicara?"
"Om akan meminta tolong Bu Gayatri untuk memaksanya bicara."
"Apakah dia bisa dipercaya?" giliran Amara bersuara.
"Tentu saja, insya Allah Bu Haji dapat dipercaya."
"Bukan beliau," kilah Amara, "tetapi jin atau setan itu, bagaimana kita bisa percaya?"
Hamdan langsung sepakat dengan ucapan Amara. Hal itu amat mungkin terjadi. Sebagaimana sifat-sifat manusia, demikian pula jin. Di antara mereka ada yang jujur dan patuh, tetapi yang lain boleh jadi pandai berdusta dan licik.
"Kamu benar, Nak Amara. Manusia yang tampak batang hidungnya saja susah dideteksi kejujurannya, apalagi mereka," ujar Hamdan masih dengan berbisik.
Lantas Atun berseloroh, "Maaf, Om, kenapa dari tadi Om selalu bisik-bisik? Apa jangan-jangan Om takut suaranya kedengaran setan?"
Hamdan tak ragu tersenyum lebar, bahkan akhirnya tertawa. Untuk hari-hari sulit belakangan ini, ia sudah lupa kapan terakhir kali perasannya terhibur.
Sementara dua gadis itu terus bicara, Hamdan beranjak untuk menengok Amelia. Anak itu kelihatannya tidur dengan pulas.
Bersambung ya. Ada 5 bab lagi.
Silakan yang mau duluan. Terima kasih untuk dukungan kalian.
Narsistik dan obsesif, tidak ada yang lebih tepat untuk melukiskan seperti apa Stephen Shaun Griffiths, dan bagaimana ia melakukan semua perbuatan kejinya dengan sangat senang juga percaya diri.
Griffiths lahir pada hari baik, yakni malam Natal 1969 di Dewsbury, West Yorkshire, Inggris. Ayah kandungnya, Stephen Griffiths (senior), ialah seorang veteran, sedang ibunya, Moira Dewhirst bekerja sebagai pelayan restoran.
Saya menulis kenangan tentang sejarah kelam ini sebagai anak yang kadang-kadang senang bermain di Central Plaza Klender. Tempat ini lebih populer dengan nama Yogya Plaza.
Ada banyak orang yang tidak pernah pulang ke rumah setelah peristiwa penjarahan dan kebakaran Mall Central Plaza Klender, 15 Mei 1998. 400 lebih korban tewas, tidak pernah pasti berapa, karena diyakini banyak yang jadi abu.
Amara tak sanggup membayangkan situasi yang lebih kacau ketimbang malam itu. Terlihat hampir semua penghuni kos berjejalan di lantai dua untuk melihat keadaan Shizuka, dan setelah mereka tahu, mereka justru cemas dan histeris.
Bagaimana tidak, yang dialami Shizuka memang sangat tidak masuk akal sekaligus mengerikan. Tubuh gadis itu benar-benar kaku, terlipat ke belakang, tidak tampak pula gerak-gerik yang menandakan bahwa dirinya masih bernyawa.
Salah satu kantor tempat gue pernah bekerja bisa dibilang creepy. Jinnya usil bukan main. Sesekali keusilannya lucu, tapi enggak jarang juga bikin karyawan enggak betah. Kalau gue betah, karena cari kerjaan susah.
Kantornya di Jakarta, bekas rumah, jadi bangunannya pun masih rumah. Lumayan luas. Maksimalnya pernah diisi 60-an karyawan.
Gue baru sampai rumah. Jam 11 malam lewat. Lumayan capek hari ini. Dari pagi berangkat ke kampus, 10 persen kuliah, selebihnya lupa ngapain aja. Tapi gue ingat gue baru nonton event blues beberapa jam sebelumnya.
Karena masih anget, gue putar lagi playlist blues di kamar. Eddie Harris. Eh, dia kan lebih jazzy? Masa bodo amat. Jazz atau soul biangnya sama.