Selagi fajar masih berselimut kabut, Amara memilih berangkat sepagi itu juga. Asep akan mengantarnya pulang agar ia bisa berkemas secukupnya. Jadwal penerbangan pertama ke Padang pukul delapan.
Tetapi Amara memesan tiket untuk keberangkatan pukul sepuluh. Dia juga telah mengabari amak eteknya mengenai rencana kepulangannya. Dan Yuni memberitahu bagaimana keadaan di sana.
Berdasarkan kesepakatan keluarga, Buya Hakim sedianya akan dikuburkan selepas salat zuhur. Dengan begitu Amara takkan sempat mengantarkan jenazah menuju liang peristirahatan terakhir.
Selain itu Yuni menginformasikan hal lain yang menurutnya perlu Amara ketahui. "Tentang penyebab kematian itu hendaknya kamu pura-pura indak tahu. Kami sudah setuju untuk merahasiakannya dari pihak lain."
Amara tidak keberatan dengan keputusan keluarga karena merekalah yang lebih mengerti. Kemudian ia bertanya tentang kondisi Marissa.
"Mama sudah sehat?
Namun kabar dari bibinya tidak menggembirakan. Marissa belum bisa dikatakan pulih, dan ia makin susah setelah mengetahui satu-satunya kakek yang tersisa meninggal tiba-tiba.
"Kata Mas Sigit, kakak masih sering mengigau yang buruk-buruk, atau mendadak histeris tanpa sebab. Sebenarnya kamu juga indak perlu menceritakan penyebab Buya Hakim meninggal kepada mamamu," ujar Yuni.
"Dia belum tahu juga?"
"Apa boleh buat, Amara. Kami indak mau membikin dia makin menderita. Pada akhirnya dia pasti akan diberitahu, atau jangan-jangan perasaannya sudah tahu."
Gadis itu tak bisa tenang dengan situasi keluarganya. Kakek buyutnya yang sangat alim dan saleh meninggal tidak wajar, sedangkan keadaan orang tuanya belum pula membaik. Siapa lagi yang dapat dipercaya membantu kesembuhan Marissa?
Apalagi Amara memaklumi, masalah ini berkaitan dengan aib keluarga, padahal seorang sakit tidaklah dapat berbohong kepada tabib. Dus, apabila mereka tidak mampu menemukan orang yang tepat, rahasia itu mungkin saja terbongkar. Akan tetapi Amara buru-buru mengoreksi pendapatnya.
Dia sadar bahwa tidak ada yang lebih mendesak daripada kesembuhan mamanya. Aib dan rahasia sebaiknya menjadi urusan belakangan. Andai orang-orang sekampung tahu kemudian bergunjing tentang itu, mereka takkan membahasnya sepanjang hayat.
"Sudah sampai, Teh. Mau diantar sekalian ke bandara?"
Suara Asep membuyarkan lamunan. Amara tidak sadar kalau lelaki itu sedari awal melesat bagai jet tempur.
"Saya bisa sendiri, Kang Asep," ucap Amara. Lalu ia turun tanpa lupa mengucapkan terima kasih.
Lantaran masih pagi Amara tak menjumpai seorang pun saat tiba dan itu lebih menguntungkan ketimbang kebalikannya.
Ia buru-buru naik ke kamar untuk berkemas. Hanya sedikit pakaian yang akan dibawanya, setidaknya cukup untuk tiga hari. Make up dan skincare tentunya tak boleh lupa, bahkan ia membawa semua kebutuhan wajahnya.
"Laptop!" desis Amara. Ah, ya, itu juga perlu agar bisa mengerjakan tugas perkuliahan dari jarak jauh.
Dalam setengah jam ia selesai berkemas. Setengah jam berikutnya dihabiskan untuk memoles muka. Terakhir ia memastikan dirinya sudah cantik di depan cermin.
Amara memamerkan senyumnya sendiri karena senang dengan polesan Charlotte Tilburry yang tak pernah membuatnya kecewa. Buat mahasiswi itu, meskipun ini perjalanan belasungkawa, tampil pantas dan menawan tetaplah harus.
Beberapa waktu kemudian taksi yang dipesan tiba. Bersamaan dengan itu ia segera turun. Namun tidak dijumpainya seorang pun penghuni kos. Untung saja hal itu tidak terjadi, sehingga ia tidak perlu tertahan lebih lama.
Baru sebentar taksi meluncur Amara mendapat telepon dari Yuni.
"Halo, Tek. Amara sedang ke bandara."
Tetapi Yuni menelepon bukan sekadar ingin tahu kabarnya, melainkan mengumumkan kondisi Marissa yang mendadak mengalami kejang hebat. Kejadian itu bermula ketika ada salah seorang sanak yang melihatnya menangis sesenggukan di dapur,
yang ternyata makin lama tangisnya semakin kencang. Maka sanak itu menghampiri Marissa untuk menghiburnya dengan kata-kata yang pantas diucapkan oleh sesama yang berduka. Alih-alih menjadi tenang, Marissa malah mengumandangkan tawa yang sukar dimengerti.
Ia juga mulai bicara yang tidak-tidak, bahkan menuduh Buya Hakim adalah seorang yang tidak punya napsu kepada wanita sehingga dirinya tidak kawin seumur hidup.
Dengan semestinya situasi mendadak gaduh. Beberapa orang berupaya menenangkan Marissa, tetapi mereka tidak paham dengan siapa sebenarnya berhadapan. Sebab mereka kenal seperti apa seharusnya wanita itu, dan yang disaksikan hari itu sama sekali berbeda.
Kendati demikian mereka tetap berusaha membuatnya tenang, tetapi akhirnya sia-sia belaka. Marissa malah kian menjadi-jadi. Dia memaki karib kerabat, ninik mamak, juga para pelayat yang makin banyak berdatangan.
Mereka yang semestinya khidmat dalam duka rasa justru kacau balau dibuatnya. Kemudian orang-orang yang berada di ruangan lain berhamburan ke dapur guna mencari tahu gerangan apa yang terjadi. Lalu mereka menyaksikan wanita itu dengan terheran-heran sekaligus ngeri,
dan mulai percaya kalau itu disebabkan oleh antu.
Seorang berkata, "Inyo tasapo!" yang berarti dia dirasuki makhluk halus. Dan pernyataan itu tidak dibantah oleh siapa pun.
Lantas majulah seorang gaek yang dikenal namanya dengan Sidi Alam, yang statusnya adalah sumando dari kemenakan Buya Hakim, untuk menengok keadaan Marissa dari dekat. Setelah melihatnya Sidi Alam langsung mengamini hal itu.
Dipanggilnya satu orang yang paling dekat darinya untuk segera mencarikan daun jarak dan kunyit agar keduanya dihaluskan. Ia mencabut tasbih dari saku jas, menyimbangnya di depan mata Marissa yang sedang bersandar di tembok,
lalu merapal kalimat dan doa menurut keyakinannya. Setelahnya Sidi Alam berkata agak keras, "Satinggi-tinggi tabangnyo bangau, pulangnyo ka kubangan juo!"
Aneh bin ajaib, Marissa tiba-tiba terkulai. Ambruk tubuhnya di lantai beralas tanah. Orang-orang pun membawanya ke sebuah kamar yang kiranya bisa dipakai.
Sementara Sidi Alam menunggu daun jarak disiapkan, ia berujar pada semua orang bahwa yang demikian itu kadang-kadang menimpa wanita yang sedang meratap.
Yuni belum selesai berkisah ketika Amara bertanya, "Bukannya mama sedang di rumah?"
"Dia datang setelah salat subuh. Tadinya memang kelihatan sudah lebih sehat."
"Lalu bagaimana kabarnya kini?"
Yang berikutnya sangat penting diceritakan.
Diagnosis Sidi Alam ada benarnya. Marissa telah tasapo, dalam istilah setempat, yang berarti kesurupan jin arwah.
Pendek kata, datanglah seorang yang dimintai Sidi Alam untuk membawakan daun jarak dan kunyit yang telah dirajang, ada air hangat pula, yang nantinya digunakan untuk merendam campuran kedua bahan itu.
Sidi Alam mendatangi Marissa seorang diri. Anaknya yang kebetulan juga ada di sana menanyakan apakah ia perlu ditemani. Jawab Sidi Alam, itu tidak perlu. Ia pun masuk dengan langkah cukup percaya diri.
Tasapo pada umumnya lebih kerap merundung anak-anak yang senang bermain menjelang maghrib. Itu bukan kejadian luar biasa, malah boleh dibilang sangat sering. Penanganannya pun cukup sepele, tidak perlu seorang inyiak atau buya yang punya karomah,
seorang haji biasa pun banyak yang mampu. Sebab jin arwah dalam kejadian tasapo kebanyakan hanya sekadar usil. Walau hal itu dapat menyebabkan panas demam sampai berhari-hari, tetapi tidak ada akibat lebih jauh yang perlu dikhawatirkan.
Jadi, semua pelayat dan handai tolan mengira Marissa akan pulih sesegera mungkin. Kemudian satu persatu manusia tidak lagi tertarik dan akhirnya menjauh dari situ.
Namun demikian, tak lama setelah itu orang-orang kembali terpanggil. Adalah jeritan Sidi Alam yang menyebabkan semuanya. Anak lelakinya itu dengan panik langsung menerobos ke dalam kamar.
"Sidi Alam tercekik, hampir saja dia mati," ungkap Yuni.
"Mama mencekiknya?"
Yuni membenarkan hal itu. Namun ia lebih mengkhawatirkan kondisi Marissa yang semakin menjadi-jadi. "Mamamu seperti orang stroke. Kaku...,"
ia agak kesulitan menggambarkan keadaan itu, kecuali dengan kata-kata yang acak dan alakadarnya. Hanya Amara cepat mengerti, sebab tanda-tanda yang ditemukan pada mamanya sama persis dengan yang dialami Amelia dan Shizuka.
"Cepat-cepatlah kau sampai, Amara. Etek indak tahu lagi harus berbuat apa."
Itu menjadi kalimat terakhir yang disampaikan Yuni, yang sedikit atau banyak melukiskan kecemasan dalam dirinya.
Ia seolah-olah menyampaikan kepada Amara, "Kau harus segera sampai. Barangkali saja ini adalah kesempatanmu yang terakhir berjumpa mamamu, sebab umur manusia tiada yang tahu."
Berdentum dada Amara sekerasnya membayangkan betapa mamanya sangat menderita karena perbuatan terkutuk itu. Dengan sadar gadis itu jadi sangat membenci Mardina melebihi hari-hari kemarin.
Dia pun mendesak dirinya agar melakukan sesuatu demi menghentikan perang yang dilancarkan Mardina. Namun sebelum itu, yang lebih penting ialah bagaimana caranya?
Cara terbaik menyudahi perang adalah ikut berperang. Hal itu segera merasuk dalam lubuk sanubari Amara sehingga menjadi keyakinan yang tidak tergoyahkan. Tanpa sebuah langkah yang paling radikal,
teror santet itu hanya akan berakhir dengan kerugian yang menyesakkan di pihaknya. Kakek buyutnya telah membaham tanah sebagai korban kekejian wanita itu, sedang ibunya mungkin saja sedang menuju saat-saat yang paling sekarat.
Maka dendam kesumat menjadi reaksi yang paling manusiawi untuk Amara. Jika tidak, bagaimana pula dia bisa memulai perlawanan sengit, kecuali itu menjadi upaya yang sia-sia belaka.
Marissa bahkan Sigit sejatinya tidak lebih mengenal Mardina dibanding Amara. Tepat pula sindiran Gayatri yang telah dialamatkan padanya. Sebab hanya dia seorang yang telah mencurigai keanehan perempuan itu sedari lama,
bahkan dari masa kecilnya, ketika Mardina masih tinggal di sebuah rumah tua yang teramat besar, yang terletak sangat dekat dari sekolahnya, bersama seorang pria tua yang sama-sama aneh.
Pria itu semata-mata kakeknya. Segelintir orang yang tinggal di sekitar tempat itu mengenal dia dengan panggilan Eyang Dul, sebagai kependekan dari nama panjangnya, Dulono.
Amara tidak kaget ketika nama Dulono disebut-sebut tadi malam. Namun ia baru menyadari kebiadabannya ternyata sudah terlalu jauh.
Sewaktu di sekolah dasar Amara sering melihat sebuah rumah tua di seberang sekolahnya kerap dikunjungi banyak orang. Tamu-tamu itu datang silih berganti, biasanya pagi hingga siang. Entah apa mau mereka, yang jelas mereka akan datang lagi di lain waktu.
Para pengunjung rumah itu juga aneh, sebab mereka bisa berubah dalam waktu singkat. Yang awalnya kelihatan miskin, beberapa bulan kemudian datang lagi dengan berpakaian bagus dan membawa mobil.
Eyang Dul senang betul pada tanaman. Di halamannya ada banyak tumbuhan, dari yang daunnya hanya tampak di pucuk sampai yang menjuntai-juntai. Bahkan orang yang tidak tahu bisa mengira rumah itu adalah toko tanaman.
Dulono sendiri yang merawat semua, dan meski ia sudah tua, kesehatannya masih amat prima. Jalannya tegap dan cepat, bicaranya bertenaga, dan di mulutnya kerap terselip cangklong.
Mula-mula Amara terpikat pada rumah itu lantaran ia pun menyenangi tanam-tanaman. Suatu siang, mumpung menunggu ayahnya menjemput pulang, ia berhenti di depan rumah tersebut hanya untuk mengintip-intip tumbuhan dari luar pagar.
Rupanya Dulono memergokinya dari balik pagar. Dengan senyum ramah ia sapa gadis kecil yang matanya bersinar-sinar memandangi anggrek bulan berbunga biru.
"Kamu suka bunga itu?" tanya Dulono, suaranya bersahabat.
Amara manggut-manggut malu.
"Apa lagi yang kamu suka?"
"Banyak!" riang Amara. Tetapi ia menunjuk satu tanaman berdaun pipih yang ujungnya seruncing mata pisau.
"Aaa, yucca. Seleramu bagus, Nak. Mau kakek tunjukkan tanaman seperti ini yang lebih indah?"
Sambil tersenyum girang Amara berkata, "Mau? Masih ada lagi di dalam?"
"Tentu saja. Ayo masuk!"
Dulono membukakan pagar lalu dibawanya gadis kecil itu menuju pekarangan lain di samping rumahnya.
Seperti janjinya, ia perlihatkan sebuah spesies yucca rostrata yang daunnya menjurai lebar. Tanaman itu dirawat sebegitu telaten hingga satu persatu ujung daunnya yang lancip, sehingga makin eloklah ia dipandang berlama-lama.
Amara mendekati tumbuhan itu, berusaha menjangkau daunnya, yang sayangnya masih terlalu tinggi untuk dijangkau. Lantas ia berkata, "Ujung daunnya kelihatan tajam, ya, kek?"
"Betul," ujar Dulono. "Kamu harus berhati-hati menghadapinya."
"Benarkah?"
"Memang benar. Tidak semua yang terlihat indah itu tidak berbahaya."
"Oooo, pantas saja kakek menaruhnya di dalam, ya, padahal ada pohon-pohon lebih besar di depan pagar. Pasti kalau ditaruh di depan bisa melukai orang lain, ya, Kek?"
"Ahahaha, kamu pintar sekali, Nak. Siapa namamu?"
Hari itu menjadi awal perkenalan bocah Amara dengan keluarga Dulono. Perasaannya mula-mula bukan main senang. Tiap ada waktu ia sempatkan berkunjung ke rumah itu untuk menengok tumbuhan-tumbuhan elok juga tertata rapi.
Dengan berjalannya waktu Amara pun kenal dengan Mardina, yang kala itu sudah bukan gadis tetapi masih sangat muda. Mardina pernah menikah, perkawinannya bertahan hanya sampai empat bulan.
Berbeda dengan kakeknya, Mardina enggan beramah-ramah pada Amara, bahkan ia terlihat judes terhadap siapa pun. Tatapannya seperti menyiratkan ia bukan orang yang suka bertemu orang lain. Padahal parasnya cantik seandainya dia tidak kaku, matanya bulat dan lentik,
punya hidung pipih dan cukup lancip, dan apabila bibirnya cengir, tampak gigi kancil yang menyulap wajah itu jadi menggemaskan. Boleh dibilang Mardina bukan sejenis wanita yang pantas memasang muka galak-galak, tetapi nyatanya begitulah dia.
Suatu hari Amara sedang bermain di pekarangan Dulono lalu ayahnya datang menjemput dengan Mercedez Benz. Kebetulan pula ada Mardina yang tengah mengurusi anggur bonsai. Untuk kali pertama Sigit melihat Mardina, dan keduanya bertatap-tatapan sepintas.
Di kemudian hari Amara makin sering singgah di rumah Dulono sembari menunggu papanya datang. Malah ia sudah berani nyelonong masuk bermodal permisi.
Apalagi kesibukan Dulono tidak menentu. Kadang-kadang ia kedatangan banyak tamu, sehingga tidak mungkin menanggapi bocah yang hanya ingin mampir melihat tanaman.
Di sisi lain sebenarnya Sigit sudah melarang putrinya baik-baik agar tidak kelewat sering ke rumah itu, akan tetapi ucapannya tidak selalu dituruti, hingga sebuah kejadian mengubah segalanya.
Hari itu Dulono didatangi tamu dua orang pria. Amara sedang melihat-lihat burung kenari milik Dulono yang kicaunya tak sudah-sudah. Burung berbulu kuning itu baru datang sepekan sebelumnya bersama beberapa ekor lain.
Sudah barang tentu kehadiran burung menjadi kesenangan baru untuk Amara. Namun hari itu Amara juga menjumpai hal baru yang amat menarik, yaitu dua ekor kelinci yang mengintipnya sebelum mereka berlari ke halaman samping.
Tanpa berpikir panjang Amara langsung mengejar. Hewan itu kabur amat gesit hingga begitu saja lenyap dari pandangan mata. Tetapi Amara bisa menebak ke mana keduanya pergi. Halaman samping itu teramat luas,
masih memanjang ke belakang. Amara pernah melihatnya dua kali walau belum pernah mencoba ke sana. Terdapat pintu pembatas di tengah pekarangan samping, dan ia mendapati pintu itu sedikit menganga.
Ia tak dapat menahan mau. Dikejar saja hewan menggemaskan itu dengan menerobos pintu hingga tibalah di pekarangan belakang. Pada saat itu Amara terpana akan betapa luas halaman belakang,
hampir seukuran lapangan sepak bola. Pada beberapa sisi terlihat pagar tanaman yang mengotak rapi, sedangkan di atas tanahnya terhampar rumput hijau bagai karpet.
Tumbuh pula beberapa pohon buah seperti durian, sawo, dan petai. Amara jadi tidak yakin bisa menangkap kelinci, sebab kalau pun mereka terlihat pasti akan minggat lagi ke arah yang lain.
Hanya saja, pikiran bocah masih gampang berubah. Adalah sebuah bangunan kecil di tengah halaman luas itu yang memikatnya sesegera mungkin. Dia tidak mengerti kenapa bangunan itu jadi sangat menarik.
Yang jelas ia memberanikan diri ke sana, mengendap-endap seperti maling hingga berhasil mendekat.
Sepintas bangunan itu tidak lebih dari pondok kayu sebagai tempat bersantai. Dindingnya berupa bambu anyaman.
Tidak ada yang istimewa, dan ia pun segera bosan dengan hal itu. Hanya, ketika hendak berbalik arah, Amara menangkap percakapan yang menurutnya aneh berasal dari dalam pondok. Seketika timbul lagi penasarannya, dan sepertinya tidak ada ditakuti bocah itu.
Setelah mendekat diam-diam Amara dapat mendengar percakapan yang lebih jelas.
"Kamu benar-benar menginginkan itu?" suara Dulono.
"Betul, Eyang."
"Sudah mengerti risikonya?"
"Sangat mengerti, Eyang."
"Tidak adakah jalan lain kecuali ini?"
"Maaf, Eyang Dul, saya yakin harus dengan cara ini."
"Heh, kuberitahu lagi. Ini tidak main-main, kamu harus ngerti itu. Sekali kamu bersumpah, tidak akan dapat ditarik lagi dengan cara apa pun! Aku harus tanya sekali lagi, kamu benar-benar mantap hatinya?"
"Mantap beribu mantap, Eyang."
"Tidak ada keinginan untuk berdamai atau menyelesaikan secara kekeluargaan?"
"Semua sudah dicoba, tetapi yang paling pantas adalah dia harus tersingkir."
"Dan tidak akan kamu sesali keputusanmu hari ini?"
"Sudah saya pastikan itu mustahil, Eyang. Karena lebih baik dia yang mati atau saya yang habis."
Keingintahuan Amara bertambah-tambah. Kebetulan pula di dekatnya terdapat dinding anyaman yang telah berlubang. Selanjutnya dapat ditebak, ya, dia nekat mengintip ke dalam.
Ada dua orang di situ, Dulono dan seorang lagi tamunya yang penampakannya tidak lebih tua dari papanya. Selanjutnya Dulono membimbing lelaki itu mengucapkan beberapa kalimat. Amara tidak mengerti artinya kecuali ketika ia mengatakan "mati".
Sejatinya itu adalah ikrar jual beli yang ditandai dengan niat ingsun untuk menyantet si fulan agar menderita sampai hari kematiannya, dengan kematian yang paling menyakitkan, dan ikrar tersebut berlangsung antara tamu pria itu dengan setan yang diperantarai Dulono.
Amara belum menganggap itu sebuah keanehan hingga ia melihat yang berikutnya. Kakek yang ia senangi karena keramah-tamahan serta pandai merawat tanaman indah itu rupanya menyodorkan tiga ekor bayi tikus kepada tamunya dengan perintah tegas,
"Makan tiga ekor ini semuanya. Tidak usah kunyah-kunyah, langsung saja telan. Mereka yang akan melindungi kamu jika orang itu ternyata juga berencana mengganggu."
Gilanya lagi, pria itu mematuhi perintah Dulono, walau dengan wajah sangat risih, tetapi akhirnya ia melahap habis tiga tikus merah tersebut. Ternyata bukan dia sendiri saja yang menelan bayi tikus, melainkan juga Dulono.
Hal itu membikin Amara berdebar tidak karuan. Ia pun buru-buru meninggalkan tempat itu.
Tidak disangka-sangka Amara mendapati ayahnya sedang menunggu di teras depan dengan wajah yang tampak bergembira. Bahkan ia seakan tidak mempersoalkan anaknya yang main entah ke mana.
"Papa, ayo pulang," gugup Amara.
"Oh, kamu sudah selesai main, Nak?"
"Sudah, ayo kalau mau pulang sekarang."
Antara sebentar muncul Mardina dari dalam. Amara meliriknya dengan ragu. Entah bagaimana ia menjumpai wanita muda yang sangat ramah juga manis. Mardina bahkan mengusap kepala Amara dan berkata pada ayahnya, "Sudah mau pulang, Om?"
"Oh, iya. Amara sepertinya harus pulang. Lagipulla sudah terlalu sore. Terima kasih suguhan tehnya. Salam buat Eyang Dul."
Mulai saat itu Amara memilih menghindari rumah Dulono. Namun mulai saat itu pula papanya lebih senang menunggunya di rumah seberang sekolah.
Amara kembali dari lamunan panjang. Kepalanya tolah-toleh, tidak tahu perjalanan taksi sudah sampai mana. Akan tetapi di dalam hatinya telah muncul sebuah rencana yang datang begitu cepat, sehingga ia berkata kepada pengemudi taksi, "Pak, tolong turunkan saya di sini."
Supir taksi sempat ingin protes, akan tetapi Amara meyakinkan dia untuk menuruti ucapannya. "Bapak bisa lurus ke bandara," lalu ia bayar ongkos dengan tambahan uang tip yang bisa membuat supir tidak mengeluh.
Gadis itu buru-buru mendapatkan taksi yang lain. Tujuannya sudah mantap dalam hati, yakni memulai peperangan dengan Mardina hingga tetes darah penghabisan.
βbersambungβ
Tinggal 3 bab terakhir.
Untuk baca duluan silakan ke sini. Terima kasih untuk support-nya, baik di karyakarsa maupun twitter. karyakarsa.com/Creepylogy/ruqβ¦
β’ β’ β’
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Tiga orang itu ialah Hamdan, Amara, dan Atun, dengan pertimbangan sebegitu rupa sepakat berjaga malam itu sampai Gayatri kembali. Adapun Asep telah kembali ke kamarnya, tetapi ia akan selalu siap datang bila dibutuhkan sewaktu-waktu.
Kehadiran orang lain lumayan ampuh mengusir cemas. Mereka dapat bertukar cerita satu sama lain sehingga jalannya waktu jadi tidak terlalu menyiksa. Shizuka telah ditempatkan satu kamar dengan Amelia supaya lebih mudah dipantau.
Narsistik dan obsesif, tidak ada yang lebih tepat untuk melukiskan seperti apa Stephen Shaun Griffiths, dan bagaimana ia melakukan semua perbuatan kejinya dengan sangat senang juga percaya diri.
Griffiths lahir pada hari baik, yakni malam Natal 1969 di Dewsbury, West Yorkshire, Inggris. Ayah kandungnya, Stephen Griffiths (senior), ialah seorang veteran, sedang ibunya, Moira Dewhirst bekerja sebagai pelayan restoran.
Dari semula-mulanya Gayatri telah gundah sepanjang hari. Dia tanyakan dirinya dengan keras, haruskah hari itu ia tetap pergi atau membatalkan janji.
Sebenarnya tidak ada keperluan yang mendesaknya untuk berangkat ke Majalengka dan bermalam di sana kecuali ingin bersilaturahmi dengan salah satu sanak tertua dari keluarga abahnya.
Saya menulis kenangan tentang sejarah kelam ini sebagai anak yang kadang-kadang senang bermain di Central Plaza Klender. Tempat ini lebih populer dengan nama Yogya Plaza.
Ada banyak orang yang tidak pernah pulang ke rumah setelah peristiwa penjarahan dan kebakaran Mall Central Plaza Klender, 15 Mei 1998. 400 lebih korban tewas, tidak pernah pasti berapa, karena diyakini banyak yang jadi abu.
Amara tak sanggup membayangkan situasi yang lebih kacau ketimbang malam itu. Terlihat hampir semua penghuni kos berjejalan di lantai dua untuk melihat keadaan Shizuka, dan setelah mereka tahu, mereka justru cemas dan histeris.
Bagaimana tidak, yang dialami Shizuka memang sangat tidak masuk akal sekaligus mengerikan. Tubuh gadis itu benar-benar kaku, terlipat ke belakang, tidak tampak pula gerak-gerik yang menandakan bahwa dirinya masih bernyawa.
Salah satu kantor tempat gue pernah bekerja bisa dibilang creepy. Jinnya usil bukan main. Sesekali keusilannya lucu, tapi enggak jarang juga bikin karyawan enggak betah. Kalau gue betah, karena cari kerjaan susah.
Kantornya di Jakarta, bekas rumah, jadi bangunannya pun masih rumah. Lumayan luas. Maksimalnya pernah diisi 60-an karyawan.