, 78 tweets, 10 min read Read on Twitter
Ibnu Sutowo, Pertamina dan Kapitalisme Nasional
Richard Robinson

Secara formal, fungsi Pertamina ialah mengatur sumber daya minyak Indonesia melalui alokasi konsesi pengeboran,
melakukan administrasi kontrak kerja dan kontrak kemitraan produksi serta melakukan koordinasi industri minyak secara menyeluruh.
Investasi sebenarnya dalam produksi hanya merupakan bagian kecil dari kegiatan Pertamina. Sekalipun demikian, Pertamina berkembang menjadi suatu pusat kekuatan ekonomi Indonesia paling besar,
karena ketika produksi dan harga minyak meningkat, perusahaan ini mengontrol sumber kekayaan satu-satunya yang sangat penting.
Antara 1969/1970 dan 1974/1975, pemasukan negara dari minyak melonjak dari Rp 66,5 miliar menjadi Rp 957,2 miliar, persentasenya dari 19,7% menjadi 48,4%.
Pertamina digunakan sebagai pelopor garis depan penciptaan akumulasi kapitalis industri dalam dua cara. Pertama, Ibnu Sutowo meningkatkan kegiatan Pertamina memasuki investasi dalam bidang yang luas melalui anak-anak perusahaannya.
Di antara yang paling menonjol ialah PT Krakatau Steel yang mulai beroperasi pada 1974 dengan modal sebesar 10 juta dollar AS, 6 juta dollar AS di antaranya dipasok oleh Pertamina.
Anak perusahaan yang lain bergerak dalam petrokimia, perusahaan logam, permesinan, telekomunikasi, perumahan, penerbangan dan pelayaran.
Gebrakan kedua yang dilakukan kebijakan nasionalis Ibnu Sutowo ialah menggunakan akses ke minyak dan gas alam Indonesia sebagai alat mencari dana bagi proyek-proyek pembangunan penting dalam petrokimia dan gas alam.
Sutowo menoleh mengandalkan Jepang, ketimbang jalur IGGI, IMF atau IBRD, untuk mendapatkan dana dan menarik para investor. Gas alam cair menjadi proyek paling penting.
Jepang secara alamiah menjadi sumber pinjaman karena kebijakan IMF/IBRD bersikap tidak simpatik terhadap program nasionalistik Ibnu Sutowo berupa proyek skala besar pembangunan sumber daya dan industri.
Untuk sebagiannya, Jepang bersedia memasok dananya ke dalam proyek-proyek tersebut di luar IGGI/IMF yang akan memberikan kepada Jepang hak istimewa guna mendapatkan pasokan energi murah. Pada 1976, Robinson mencatat sebagai berikut:
… seluruh jumlah energi yang secara resmi berhubungan dengan transfer dana pinjaman sebesar 2.303.683.000 dollar AS. Angka ini meliputi hampir satu setengah kali seluruh realisasi investasi asing di Indonesia pasca1966 dan lebih dari dua kali investasi langsung Jepang.
Jelas bahwa kebijakan Sutowo mendapatkan dukungan dari Presiden, pendukung paling antusias atas proyek-proyek besar sumber daya yang didanai Jepang tersebut.
Sambutannya yang paling bersemangat ialah terhadap proyek peleburan aluminium Asahan serta kilang minyak di Dumai yang berlanjut sampai akhir 1970-an dan permulaan 1980-an, sesudah turunnya Ibnu Sutowo. Pada 1974, dalam puncak kegiatan Sutowo,
Presiden menyetujui pinjaman khusus yang dibuatnya (misalnya, 500 juta dollar AS untuk Krakatau Steel);
Presiden juga memberikan otorisasi kepada Pertamina untuk menahan pembayaran pajak minyak sebesar 800 juta dollar AS di Bank Indonesia untuk berjaga terhadap momentum bagi pendanaan proyek khusus.
Tetapi, momentum nasionalisme ekonomi dan industrialisasi yang dipimpin negara di bawah arahan Ibnu Sutowo pada 1975/1976 tiba-tiba berhenti. Pada Maret 1975, Pertamina tidak mampu membayar kewajibannya dalam salahsatu utang jangka pendeknya.
Hal ini memaksa Presiden menugaskan sebuah tim pemeriksa di bawah teknokrat Bappenas, Sumarlin. Hasil investigasi menunjukkan bahwa Pertamina telah terlibat dalam utang yang ruwet dan campuraduk, mula-mula diperkirakan sebesar 10,5 miliar dollar AS.
Implikasi serius utang luarbiasa besar ini memperkuat tangan para teknokrat Bappenas dalam pergulatan mereka untuk membuat Pertamina dapat diperhitungkan dan dipertanggungjawabkan kepada institusi negara resmi yang bekerja dengan otoritas berdasarkan peraturan,
termasuk Menteri Pertambangan, Bank Indonesia, Menteri Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sekalipun masalah pokok yang membuat krisis keuangan karena pinjaman bagi proyek-proyek besar dilakukan secara tidak bijaksana,
tetapi terdapat juga sejumlah contoh pemborosan yang luarbiasa besar, penanganan oleh pihak yang tidak kompeten serta korupsi.
Kenyataan ini membuat jangkauan para teknokrat Bappenas kian kuat. Pada 1976 Ibnu Sutowo dipecat dari kedudukannya di Pertamina, dilakukan perombakan besar-besaran di jajaran tinggi, beberapa pejabat Pertamina yang dekat dengan Ibnu Sutowo diberhentikan.
Terdapat sejumlah dimensi dalam pertarungan antara Ibnu Sutowo dengan para teknokrat. Dalam satu tingkat, hal itu dapat dipandang sebagai kategorisasi Weberian dari tipe watak birokrat, semacam konflik antara sifat patrimonial dengan otoritas birokrasi resmi,
dengan Pertamina sebagai sisa mendapatkan manfaat dari apanase. Pada tingkat mereka itu cenderung menjadi kapitalis baron perampok tanpa kendali yang bersifat merusak di bawah birokrasi tambun tidak kompeten.
Dalam beberapa hal interpretasi tersebut memang terbukti, tetapi tidak cukup memberikan penjelasan.
Konflik juga merupakan bagian dari konfrontasi ideologi yang lebih luas dengan ortodoksi ekonomi Barat yang dibawakan IMF dan IBRD yang menekankan pasar bebas, pendekatan perdagangan bebas.
Dalam kerangka skenario ini, peran negara sejauh mungkin dibatasi yakni pada pembuat kebijakan fiskal dan moneter yang diperlukan.
Kaum nasionalis birokrat memandang hal ini sebagai kebijakan buruk, menghalangi industrialisasi dan menarik mundur pembangunan potensi Indonesia yang benar.
Sebaliknya, mereka memiliki pandangan bahwa investasi kapitalis yang dipelopori negara dalam sumber daya pokok, energi dan proyek industri dirancang guna meletakkan basis industri yang luas serta suatu derajat ekonomi mandiri.
Akan tetapi, gerak menuju industrialisasi nasionalis bagaimanapun juga merupakan konsekuensi wajar terhadap visi ideologi kaum birokrat yang kuat. Terdapat alasan materiil penting terhadap gerak strategi semacam itu.
Hal paling penting ialah terbatasnya akumulasi kapital yang disebabkan oleh kebijakan yang berfokus pada rehabilitasi sektor agaria dan manufaktur substitusi barang impor bagi penghasilan bidang pertanian atau pasar barang konsumsi.
Kesempatan bagi ekspansi kapital swasta domestik dan milik negara terletak pada kepanjangan vertikal manufaktur ke dalam industri berat dan barang-barang menengah.
Industri skala besar dan proyek-proyek sumber daya yang menawarkan prospek ekspansi besar bagi kontraktor dan pemasok dan tentu saja langkah Pertamina dengan arah tersebut pada permulaan 1970-an telah berkembang biak dalam sejumlah grup bisnis yang hidup darinya.
Akan tetapi, tidak ada gerak politik publik yang melakukan koordinasi sebagai bagian besar kaum kapitalis domestik yang bisa mendapatkan manfaat dari kebijakan industri nasionalis dalam mendukung strategi semacam itu.
B.M. Diah, pemilik koran, mengembangkan dan menyiarkan kritik yang kompleks terhadap dominasi ekonomi Amerika Serikat dan negara asing lainnya serta manipulasi ekonomi Indonesia, demikian halnya dengan rekomendasi industrialisasi nasionalis.
Kini terdapat dua kecenderungan yang jelas. Satu dipelopori oleh para teknokrat Bappenas berupa pola perkembangan dengan‘persaingan bebas’ dan laissez-faire model Barat dan Amerika.
Kecenderungan yang lain ialah mengambil bentuk kerjasama dengan Jepang sebagai basis kekuatan sendiri tanpa utang dari IGGI, IMF dan Bank Dunia dengan Pertamina sebagai jaminannya.
Sekalipun B.M. Diah mempunyai kepentingan dalam perdagangan, manufaktur dan perhotelan, pandangan nasionalisnya dapat dilacak sejak 1950-an, ia tak dapat dipandang sebagai bersuara atas nama kaum kapitalis domestik dalam artian formal.
Tetapi, tiadanya posisi mewakili publik dari kaum kapitalis domestik tidaklah membuat perbedaan.
Untuk sebagian besar mereka memperoleh posisi ekonomi mereka karena hubungan pribadi dengan pelindung politik ketimbang gerakan masyarakat yang terorganisasi guna mempengaruhi kebijakan dalam mempertahankan kepentingan kelas secara umum.
Sekalipun demikian, sebagian besar kapitalis domestik dengan jelas menyadari bahwa kepentingan mereka terletak pada perkembangan industri yang luas.
Perlu diingat bahwa Panglaykim sendiri seorang pelaku beberapa bidang penting bisnis, melakukan hubungan keterpaduan antara bisnis dengan elemen-elemen politik yang bermuara pada Opsus.
Posisi dirinya dapat diperkirakan mewakili suatu konsensus yang luas, utamanya di antara kelompok bisnis Cina. Sejumlah tokoh Pribumi muda di sekeliling Ibnu Sutowo terhubung dengan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi),
bukan saja mendukung strategi industri yang luas tetapi juga sangat bersemangat akan arti Pertamina sebagai model bagi hubungan bisnis negara.
Pertentangan masalah kebijakan mempunyai dimensi politik juga, langkah serangan Jepang untuk menggantikan AS sebagai investor asing utama di Indonesia dan pertentangan internal pada 1970–1974.
Para teknokrat Bappenas, dididik dalam alam ortodoksi ekonomi liberal Barat, selama periode 1974–1975 bekerjasama dengan IGGI, IMF dan IBRD. Satu kelompok penasihat dari Harvard bekerja di Bappenas.
Koalisi ini sangat menentukan rencana pembangunan. Sesungguhnya mereka tidak berlebihan dalam memandang IGGI, IMF dan IBRD sebagai pendana utama rehabilitasi ekonomi Indonesia setelah 1966.
Dalam memecahkan restriksi tersebut serta mengamankan proyek-proyek penting, kelompok Pertamina/Opsus memerlukan mencari mitra internasional baru, dalam hal ini Jepang.
Ali Moertopo sangat giat dalam meningkatkan perkembangan ‘Poros Segi Tiga Asia Pasifik’ yang menghubungkan Jepang, Indonesia dan Australia.
Pada 1974, Soedjono Hoemardani menjadi pusat percaloan bagi investasi modal Jepang di Indonesia. Jepang bergiat untuk menggantikan AS sebagai investor dominan dalam sektor sumber daya dan energi, memerlukan seorang kakitangan.
Kebijakan IMF dengan teguh menentang utang bagi proyek sumber daya yang besar untuk Pertamina pada permulaan dan pertengahan 1970-an.
Pada 1972 IMF mendesak dengan kuat bahwa korporasi negara Indonesia dibatasi kapasitasnya dalam melakukan utang luar negeri antara satu sampai 15 tahun.
Peraturan semacam itu secara langsung menyerang, utamanya pada Pertamina, memaksa Ibnu Sutowo mengubah pinjamannya dengan utang jangka pendek yang tiap kali diperbarui, terbukti tidak dia laksanakan.
Baik Sutowo maupun koran Merdeka berdalih bahwa krisis utang itu direkayasa, karena Sutowo telah membuat kesepakatan dana sebesar 1.200 juta dollar AS, pinjaman berjangka 20 tahun ini tiba-tiba batal secara misterius pada detik terakhir.
Kaum nasionalis birokrat juga memandang pergolakan mahasiswa pada 1973 sebagai bagian dorongan politik dari poros Bappenas/IMF/AS.
Pandangan ini disiarkan dalam majalah Ekspres milik B.M. Diah pada 18 dan 26 Januari 1974, menyatakan bahwa kritik dan demonstrasi mahasiswa pada 1973
dan Januari 1974 merupakan pekerjaan sisa-sisa PSI dan Masyumi yang bekerja dalam lembaga dengan para teknokrat Bappenas dalam menentang Opsus dan bisnis Jepang di Indonesia.
Diperhitungkan bahwa CIA juga terlibat untuk menjaga kepentingan modal AS terhadap ancaman kaum nasionalis dalam melanjutkan dominasinya dalam ekonomi Indonesia.
Interpretasi tersebut juga dimuat dalam mingguan Topik yang disponsori Opsus:
Terdapat spekulasi di kalangan pengamat politik bahwa organisator aksi mahasiswa yang pertama terhadap Pronk ialah seorang pejabat tinggi negara yang keberatan terhadap jaminan kaum teknokrat akan masuknya modal dan bantuan asing,
termasuk bantuan IGGI, dalam beberapa tahun terakhir ini. Kaum teknokrat membalasnya segera setelah Pronk meninggalkan Indonesia. Dengan memobilisasi mahasiswa Bandung, mereka mendukung demonstrasi menentang modal Jepang,
menuntut pembubaran institusi ABRI dan memperingatkan akan komplotan antara ‘binatang ekonomi Jepang’ dengan para penjual negara.
Memang benar bahwa kritik dan kemarahan di kalangan mahasiswa dan kaum terpelajar kelas menengah terutama ditujukan kepada Ibnu Sutowo (pada 1970/1971) dan kepada Ali Moertopo beserta penasihat orang Cina,
Liem Bian Koen, Liem Bian Kie dan Harry Tjan (pada 1973 dan 1974). Juga benar bahwa demonstrasi terhadap modal asing terutama ditujukan kepada Jepang.
Tetapi hanya ada sangat sedikit bukti untuk menyatakan bahwa aksi-aksi mereka merupakan bagian tekanan yang dikoordinir oleh pihak mana pun di antara aliansi Bappenas/AS/IMF melawan kebijakan ekonomi kaum nasionalis birokrat.
Sekalipun ketika itu AS menyambut kemerosotan politik mereka yang hendak mendorong kebijakan ekonomi nasionalis dan memperkuat kebijakan Bappenas. Tetapi andaikata misalnya perubahan yang terjadi membawa Jenderal Sumitro ke tampuk kekuasaan, AS akan tetap menerimanya.
Jepang secara alamiah membuat lebih banyak kejengkelan terhadap orang Indonesia, bukan saja karena gaya kerja mereka dan kedekatan mereka pada sejumlah tokoh jenderal termasuk Hoermardani, Sutowo dan Ny. Tien Soeharto,
tetapi utamanya karena mereka aktif dalam manufaktur, tempat konsentrasi produsen domestik nasional merosot. Di lain pihak, investasi AS utamanya pada minyak dan pertambangan yang tidak dimasuki oleh investasi domestik.
Sama halnya penolakan kaum terpelajar kelas menengah terhadap Opsus tidak terkait langsung dengan masalah kebijakan ekonomi ketimbang dengan kenyataan bahwa Ali Moertopo beserta Opsus dengan para penasihat dan sekutunya, termasuk Liem Bian Kie, Harry Tjan,
Daoed Joesoef dan Jenderal Benny Murdani, mereka ini tokoh-tokoh kunci dalam gerak ke arah bentuk kontrol negara yang lebih otoriter.
Sementara krisis Pertamina merupakan pukulan yang hebat bagi nasionalisme ekonomi dalam arti merupakan goncangan bagi perimbangan pengaruh kebijakan ekonomi dari kaum nasionalis birokrat kepada kaum teknokrat Bappenas,
tidak berarti tamatnya nasionalisme ekonomi di bawah Orde Baru. Malahan kebijakan ekonomi antara 1975 dan 1982 didominasi oleh semacam kebijakan yang didorong oleh kaum nasionalis birokrat dalam masa sebelum bangkrutnya Pertamina.
Dalam jangka pendek, bagaimanapun juga, peninjauan kembali kebijakan utama ekonomi yang muncul pada pertengahan 1970-an dilakukan bukan karena tekanan dari kaum nasionalis birokrat
tetapi oleh berbagai nasionalisme ekonomi yang menuntut penyertaan lebih setara terhadap sumber-sumber ekonomi dan fokus terhadap kebutuhan dasar
ketimbang pada industrialisasi yang dilakukan perusahaan besar serta pemusatan kekuasaan dan kekayaan sebagaimana tersirat oleh kaum nasionalis birokrat.
Buku tersebut bisa didapat di kami. Di dalam buku tersebut membahas bagaimana pertalian antara kapitalisme dan negara.

Pemesanan:
WA 081385430505

komunitasbambu.id
shopee.co.id/komunitasbambu
tokopedia.com/mabokbukukobam
bukalapak.com/u/komunitasbam…

#IbnuSutowo #Pertamina
Missing some Tweet in this thread?
You can try to force a refresh.

Like this thread? Get email updates or save it to PDF!

Subscribe to Komunitas Bambu
Profile picture

Get real-time email alerts when new unrolls are available from this author!

This content may be removed anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!