Malam itu Om bercerita tentang pengalamannya di masa muda. Pengalaman yang penuh dengan gejolak dan gairah keliaran masa muda. Tentang persahabatan di salah satu sudut kota paling keras. Alkohol dan narkotika murahan adalah barang yang terlalu bodoh untuk ditutupi, semua tahu itu
Di daerah ujung barat kota itu, kehangatan padatnya bertetangga amat terasa dan menjadi harta paling berharga. Besok, siapa yang yang tahu seorang sahabat akan meregang nyawa karena overdosis, dihabisi anak kampung sebelah atau terlindas truk akibat terlalu mabuk.
Cerita malam itu semakin menarik, Om memang seorang pencerita ulung dengan gaya nyeleneh kalau tidak dibilang aneh. Namun kami sangat menghormatinya, seorang lulusan sastra tentu paham bagaimana meracik sebuah cerita agar menarik.
Kami siapkan kopi, rokok, dan camilan di meja tengah menemani malam yang mungkin berjalan panjang. Duduk senyaman mungkin di sebuah sofa di ruang keluarga sebuah rumah di pinggiran lainnya kota ini. Semua terlihat akan seru, layaknya menonton film aksi atau horor.
Namun, kami lupa satu hal...
Berdoa sebelum cerita dimulai untuk mereka yang diceritakan, karena mungkin mereka akan datang. Sialnya, kisah paling menarik malam itu justru tentang mereka yang tak kasat mata..
Cerita itu tentang kejadian dua puluh tahun yang lalu di salah satu sudut kota ini yang paling keras itu. Om yang masih muda saat itu, tenggelam dalam keliaran pergaulan masa itu bersama teman-temannya yang sama sinting namun baik hati.
------------------------
Suatu malam, Jun, nama pendek Om, bersama teman-temannya berkumpul di kamarnya di loteng rumah Aki. Obrolan malam itu tidak jauh dari yang biasa mereka bicarakan, tentang perempuan, alkohol, pemuda kampung sebelah yang cari gara-gara dan berbagai masalah kaum muda masa itu.
Tentu saja dalam obrolan itu, Ilham yang juga hadir disitu menjadi fokus perhatian. Ya, ia adalah salah satu pemuda yang dianggap cukup punya wajah rupawan yang digilai dan menggilai perempuan sekampung.
Soal baku hantam, dia jagonya..
Soal diganggu lelembut, dia rajanya..
Namun entah mengapa semua menjadi begitu tertarik sampai merinding membicarakan penampakkan perempuan berbaju putih di salah satu sudut gang daerah itu. Konon, sudah berkali-kali perempuan itu menampakkan diri dan menakuti warga. Entah benar atau tidak..
Ada banyak kabar tentang perempuan itu
Konon katanya ia sering berdiri disebuah rumah yang telah lama ditinggalkan pemiliknya, mungkin ia mati disitu dan arwahnya penasaran.
Beberapa lainnya bersaksi setengah bersumpah melihatnya di sebuah kebun warga yang berada diatas septic tank bersama. Mungkin jasadnya dibuang ke tempat kotor itu.
Entah siapa yang memulai, namun kini teror perempuan berambut putih itu santer terdengar seantero kampung. Setiap hari pasti ada saja yang mengaku melihat penampakkan perempuan itu.
Urang mah beneran pernah ningali jurig eta di belokan Gang Lima" (Aku beneran pernah lihat hantu itu di belokan Gang Lima) Roni berusaha meyakinkan teman-temannya.
"Ah maenya, lainna sok aya di kebon? Babeh urang osok ningali" (Ah masa, bukannya suka di kebon? Ayahku suka melihatnya disana) Sanggah Aris.
Jun hanya mendengarkan sambil menyeruput Cola campur Whisky murahannya. Ia penasaran dengan lanjutan cerita itu, terlepas dari benar tidaknya kabar tersebut. Karena ia sendiri belum pernah melihatnya.
Sesekali ia melirik Ilham, menunggu apa yang akan terlontar dari mulutnya.
"Emang bentukna kumaha?" (Emang bentuknya gimana?) Ilham tiba-tiba nyeletuk..
Entah daya magis apa yang dimiliki Ilham, namun semua mendadak terdiam cukup lama.
Sampai..
"Awewe Ham, make baju bodas panjang, rambutna oge panjang nutupan beungeut, panona beureum jiga getih" (Perempuan Ham, pakai baju putih panjang, rambutnya panjang menutup muka, matanya merah seperti darah) Roni menjelaskan panjang lebar.
"Beungeutna?" (Mukanya?) Jun yang mulai penasaran ikut bertanya
"Teu kaciri Jun" Jawab Roni bingung menjawabnya, ia tidak pernah melihatnya langsung..
"Ah maraneh mah loba teuing nonton Suzzanna meureun hahaha" (Ah kalian mungkin kalian terlalu banyak nonton Suzzanna kali hahaha) Ilham tertawa terbahak.
Sebuah tawa yang ganjil menurut Jun. Aneh bila Ilham belum melihatnya..
Namun tiba-tiba suasana berubah menjadi mencekam. Mereka merasa seolah ada yang mengawasi, entah dari mana. Jendela kamar di lantai dua itu tiba-tiba diketuk dari luar mengagetkan semua yang ada di kamar itu. Namun tidak ada seorang pun disana....
Mereka menepis segala kemungkinan tidak masuk di nalar mereka, dan melanjutkan obrolan malam itu. Dari kulon ke kidul untuk kembali ke titik awal, seperti itulah obrolan mereka. Mereka kembali menceritakan kisah seram, kali ini tentang hal-hal mistis dalam keluarga masing-masing.
Tentang supata keluarga Jun,
Tentang pusaka keluarga Aris,
Tentang rumah berhantu keluarga Roni,
Dan tentang penjaga turunan keluarga Ilham
Namun semua obrolan itu kembali ke satu titik, tentang perempuan itu..
Penasaran merasuki mereka, perlahan mengingat semua rumor yang berhubungan dengan perempuan itu.
Konon dia hamil diluar nikah dan meninggal ketika melahirkan.
Katanya dia dihamili pacarnya dan dibunuh karena terus meminta pertanggungjawaban.
Konon dia memang sudah ada sejak lama dan berdiam dipohon mangga milik Pa Iyo.
Ditengah asyik obrolan itu, lampu dikamar Jun tiba-tiba beberapa kali mati hidup. Jun kemudian mematikan saklar dan menyalakan kembali, semua kembali normal.
Namun ketukan di jendela kembali terdengar, kali ini terdengar seperti gedoran untuk membuat semua terhenyak.
"Woy, tong ngaganggu!" (Woy, jangan mengganggu!)
Ilham berteriak keras dan semua kembali tenang, lebih tenang dari sebelumnya.
-------------------------
Om berhenti sejenak, sebelum melanjutkan cerita mengambil sebatang rokok dan menyalakannya, entah yang keberapa kalinya malam itu.
Samar-samar terlihat banyangan putih yang hilir mudik di ruang makan yang tidak bersekat dengan ruang keluarga.
Kecuali dua orang diantara kami yang seolah merasakan kehadiran sosok yang seharusnya tidak tampak itu, semua terpaku pada cerita Om, seolah tersihir oleh pesona kisah itu yang memicu penasaran. Namun, hampir semua diruangan itu mengelus tengkuk.
Cerita Om serupa Pantun Sunda, serupa wayang kulit, terasa begitu sakral memanggil siapapun yang diceritakan. Menyihir yang mendengar untuk duduk terpaku hingga akhir cerita.
Tentu, cerita akan semakin seru...
Om melanjutkan ceritanya dengan lebih serius, seolah mempersiapkan klimaks yang lebih dari sekedar penampakkan..
-----------------------
"Urang mulai sieun euy, asa tiba-tiba merinding kieu" (Aku mulai takut nih, kok tiba-tiba merinding gini) Roni mulai merasa ada yang tidak beres malam itu.
"Sarua urang ge" (Aku juga sama) Aris menyetujui Roni dengan tangan gemetar memegang rokok.
"Ah maraneh, sieun ku jurig keroco kitu"
(Ah kalian, takut sama hantu ecek-ecek gitu) Ilham berusaha menenangkan meski wajahnya sedikit lebih pucat. Sesekali dihisapnya rokok dalam-dalam.
Samar ia pun mulai merasakan itu.
Jun menduga, Ilham melakukan itu untuk mengusir takut, karena bila takut mereka akan mengganggu lebih hebat. Setidaknya itu yang sering ustadz Tikno di mesjid, yang hanya hitungan jari mereka temui
Bukan tanpa alasan Jun menduga demikian. Ilham itu adalah temannya yang sangat peka dengan mereka yang tak kasat mata. Mungkin bisa disebut indigo bila sekarang. Silsilah keluarganya pun terbilang istimewa, bukan asli Tanah Jawa dengan aura mistis yang kental.
Konon, ia punya ajian pemikat yang membuat siapa saja untuk tertarik dengannya.
Termasuk mereka yang tak kasat mata..
Suasana dalam kamar Jun menjadi sangat hening, bersaing dengan kuburan di malam hari. Semua terdiam, sibuk dengan rokok dan minuman masing-masing.
Namun sepertinya yang ia yang sedari tadi dibicarakan menjadi penasaran mengapa suasana mendadak sepi.
Sekelebat bayangan putih itu mulai terlihat bolak balik diluar jendela, sekali, dan berkali-kali lagi. Namun hanya Jun dan Ilham yang duduk menghadap jendela yang melihat. Mereka berdua diam dalam takut, memancing rasa penasaran dari Roni dan Aris yang duduk membelakangi jendela.
Sebelum sempat Roni dan Aris bertanya, Ilham melompat ke jendela dan menutup tirai tanpa menutup jendela. Hal tersebut tentu ganjil bagi tiga temannya. Namun, sekali lagi sebelum sempat mereka bertanya Ilham berkata
"Yuk sare, ngarendong pan?" (Yuk tidur, pada nginep kan?)..
Saat itu, semua seolah menyadari, rasa penasaran mereka tentang perempuan itu sudah lebih cukup malam itu, tidak perlu bertanya lebih bila tidak siap dengan jawabannya. Semua setuju untuk segera tidur.
Berharap semua akan baik-baik saja malam itu..
Awalnya mereka semua kesulitan untuk tidur, tiga puluh menit, empat puluh lima menit, sampai satu jam berlalu dan semua mulai terlelap setelah bergulat dengan imajinasi mengerikan mereka tentang apa yang baru terjadi. Kecuali Jun dan Ilham.
"Ham, maneh can sare pan?" (Ham, kamu belum tidur kan?) tanya Jun dalam hening.
"Acan Jun, kunaon?" (Belum Jun, kenapa?)
"Teuing kunaon urang ngarasa jigana maneh geus nyadar ti awal nu di omongkeun bakal datang" (Ga tau kenapa, aku ngerasa kamu sudah tahu kalau yang di omongin bakal datang).
Tidak ada jawab lama dari Ilham, sebelum ia mulai berkata
"Enya urang nyaho, geus pernah ningali oge. Tapi duaan eta jigana antusias pisan, nya antepkeun we" (Iya aku sudah tahu itu, pernah liat juga. Tapi karena dua anak itu sangat antusias, ya biarin saja) jawab Ilham datar.
"Maneh teu sieun Ham? Oh da geus biasa nya" (Kamu tidak takut Ham? Oh kamu kan sudah biasa ya?) Jun mencoba memancing lebih jauh..
"Nya sieun sih Jun, lain ku bentukna, bisi bogoheun" (Ya takut sih Jun, bukan sama bentuknya, tapi takut suka sama aku) Jawaban itu terdengar menyebalkan, namun nada bicara Ilham terdengar serius.
Ah maneh, maenya nu kitu bogoheun ka jalema. Ngamuk mereun si Nana dibandingkeun jeung nu kitu" (Ah kamu, masa yang seperti itu bisa suka sama manusia. Ngamuk mungkin si Nana kalau dibandingkan sama yang seperti itu)
"Urang serius Jun, lain wadul mun ngomong kitu, pan maneh apal ajian turunan keluarga urang"
(Aku serius Jun, bukan bohong kalau aki bilang begitu, kamu tahu kan ajian keluargaku)
Obrolan itu menutup cerita malam itu. Tidak ada pembicaraan lagi malam itu hingga tanggal berganti.
Malam itu Ilham tidak dapat tidur pulas, sementara suara dengkuran tiga temannya sudah mulai terdengar. Antara sadar dan tidak sadar ia bermimpi bertemu perempuan cantik berbaju putih dan berambut panjang yang terus merayunya.
Semua itu terasa sangat nyata, namun peringatan tanda bahaya memaksanya menolak dan mengembalikan keterjagaannnya.
Dibukanya kedua matanya malam itu dan ia melihat perempuan itu diluar, diluar jendela, entah kapan tirai kamar tersingkap. Menatap tajam kepada Ilham, batinnya mendengar rayuan perempuan itu..
"Ayo ikut aku, jadilah penjaga dan ayah bagi anakku"..
Perempuan itu berdiri disana dengan pakaian dan potongan rambut yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada wajahnya yang hancur, kehitaman serupa gosong terbakar, dan mata yang jalang berwarna merah menyala seolah hendak melompat keluar.
Ia tidak sendiri, ia menggendong bayi berkulit abu cenderung hitam. Bayi itu menetapnya lekat penuh makna. Ia tersenyum mengerikan. Sang Ibu menatap Ilham pula penuh makna, seolah memintanya sudi menjadi ayah bagi anaknya.
Namun dalam kekakuan tubuh, pikir Ilham menolak itu.
Sekali lagi merayu dan lagi. Sampai Ilham memilih menutup mata dan berdoa sebelum dikalahkan takut
--------------
Sementara itu, kami yang mendengarkan cerita Om semakin terhenyak dan tenggelam dalam sofa di ruang tengah. Bulu kami semua berdiri, beberapa menggigil seperti kedinginan.
Padahal udara terasa semakin panas dan pengap. Seolah seluruh penghuni halus rumah ini seperti menyambut kedatangan perempuan itu.
_______
Kembali ke cerita Om
Mereka berempat melalui malam itu
baik-baik saja. Kecuali Ilham yang nampak sangat pucat ketika bangun. Selanjutnya, ia tidak keluar rumah selama tiga hari setelah kejadian itu.
Bersembunyilah ia dalam kamar yang bertembok pagar gaib yang kokoh. Ia takut bukan kepalang karena perempuan itu terus minta dikawin. Menghiasi setiap mimpi buruknya dan bergelayut ditubuhnya sampai penjaga keluarga Ilham mengusirnya karena terus merengek.
Setelah tiga hari, ia keluar rumah dan berkata semua sudah selesai. Syukurlah semua baik-baik saja.
Dan Om mengakhiri ceritanya
-------------
Selesainya cerita Om tidak membuat mereka pergi dari ruang keluarga. Sebaliknya mereka justru semakin banyak. Seolah sedang diadakan pesta penyambutan bagi perempuan itu dan anaknya.
Suasana sangat meriah, kontras dengan para manusia di ruangan itu yang terdiam sunyi. Entah berapa banyak yang hadir diruangan itu, pastinya bukan hanya perempuan itu dan anaknya.
Para penghuni mulai terasa kehadirannya satu persatu, terutama bagi dua orang yang sensitif akan hal itu.
Gelak tawa bocah-bocah gaib terdengar nyaring, nenek penunggu tangga pun hadir disitu. Bahkan perempuan penunggu pohon di belakang pun ikut berkunjung.
Kopi dan rokok kami pun mendadak terasa sangat hambar.
Kami seperti menggantikan Om dan teman-temannya dalam cerita. Perlahan semua tampak kemerahan dengan hawa mistis yang semakin kuat. Mungkin pemilik tubuh merah tinggi menjulang itu ingin juga menyambut sang tamu.
Beberapa barang bertuah dilemari tampak mulai bergetar. Namun ketika kami bersiap melihat barang tersebut terbang, dua cangkir kota tiba-tiba tumpah seketika.
Belum sempat kami membereskan itu, aliran listrik di rumah mati. Hanya di rumah itu.
Salah satu dari kami berjalan dalam gelap mengandalkan cahaya dari telepon genggam, ia tidak langsung menyalakan listrik kembali, namun membuka pintu ruang tamu. Perlahan terdengar suara auman dan ketukan tongkat menyentuh lantai.
Ia kemudian berjalan keluar menyalakan listrik
kemudian berjalan keluar menyalakan listrik setelah sebelumnya menyemburkan asap rokoknya ke seluruh ruangan.
Samar ia terlihat tersenyum sebelum meninggalkan ruangan..
Di luar ia menyalakan listrik rumah dan juga rokoknya. Ia menghirupnya dalam dan kemudian tersenyum.
Perlahan ia berbisik "seperti lima tahun yang lalu ya.."
Pamungkas
Gw mohon maaf atas semua hal yang kurang berkenan, terutama bila yang mengharapkan sebuah utas panjang.
Perihal para penunggu rumah mungkin satu saat akan diceritakan.
Minggu depan akan mulai lagi dengan utas yg lebih panjang.
Ucapan terima kasih untuk Om "Jun" yang sudah memberi pengalaman ini hehe.
Dan juga teman2 yang gw pinjam namanya. Nama mereka cuma gw pakai untuk nama samaran, cerita ini bukan tentang mereka.
Akhir kata gw pamit, sampai jumpa 🙏
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Pagi itu tidak jauh berbeda dengan pagi lainnya, hanya saja Bu Sabrina harus lebih pagi berangkat ke sekolah tempatnya mengajar, SMP Pucuk. Selepas subuh beliau sudah bergegas, melewati dinginnya udara pagi setelah hujan semalam.
Kali ini gw akan bercerita tentang sebuah Pentas Seni (Pensi) yang membawa petaka setelahnya. Cerita ini berangkat dari kejadian nyata lebih dari 10 tahun yang lalu. Nama dan tempat disamarkan.
Karena kejadiannya sudah lama, jadi gw perlu waktu untuk mengingat kembali kejadian itu, mencari info tambahan ke narasumber lain tentang detail kejadian ini dan juga latar umum tempat dan waktu.
Gw minta maaf kalau utas ini diupdate perlahan, minggu ini kebetulan gw sedang banyak pekerjaan..
Seperti biasa jangan lupa baca doa sebelum membaca. Mereka mungkin ikut hadir juga..
Utas yg satu ini berbeda dengan utas2 sebelumnya. Jadi mungkin membingungkan buat para pembaca. Berdasarkan kisah nyata disajikan dengan improvisasi sedikit liar
Seluruh tokoh dan tempat disamarkan. Gw mohon banget untuk yg "ngeh" untuk tidak membocorkan demi kebaikan bersama. Hatur Nuhun.
TIDAK ADA KAITAN dg yg akan keluar ya.
Dan jangan lupa berdoa karena mereka hadir dalam cerita.
Kamu jangan nakal ya..
PROLOGUE
Perjumpaan Ge dengan keluarga Jansen saat meninggalnya Mbah telah membuka tabir Setiap melewati jalanan di kotanya. Para penghuni bangunan tua menampakkan diri kepadanya. Entah itu suara, sosok, maulun bau yg muncul tidak seharusnya.
Masa awal kemerdekaan Indonesia tidak disambut suka cita oleh seluruh penduduk Nusantara. Warga sipil dari Belanda justru mengalami terror yang luar biasa sebagai balasan atas apa yg dilakukan nenek moyang mereka.
Penjarahan, perampasan, penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan merupakan hal yg lumrah terjadi masa itu oleh mereka, para pejuang radikal. Entah berapa puluh ribu korban baik dari orang Belanda maupun mereka yang dianggap anti republik
Mohon maaf sebelumnya bila berantakan, maklum, ini utas pertama saya. Mohon maaf juga utas ini juga tidak berisi cerita horor seperti kebanyakan. Hanya paparan personal tentang apa yang terjadi saat cerita2 horor dibacakan.
Sepertinya penulis yang perlu minta izin pemilik cerita, baik yang tampak atau tidak sepertinya sudah jadi kewajiban sebelum cerita dimulai.
Saya yakin banyak dari kita sudah paham betul tentang hal itu.