Jf89 Profile picture
Nov 25, 2019 436 tweets >60 min read Read on X
SETELAH PESTA

Kali ini gw akan bercerita tentang sebuah Pentas Seni (Pensi) yang membawa petaka setelahnya. Cerita ini berangkat dari kejadian nyata lebih dari 10 tahun yang lalu. Nama dan tempat disamarkan.

@bacahorror @ceritaht
#bacahorror #threadhorror Image
Karena kejadiannya sudah lama, jadi gw perlu waktu untuk mengingat kembali kejadian itu, mencari info tambahan ke narasumber lain tentang detail kejadian ini dan juga latar umum tempat dan waktu.
Gw minta maaf kalau utas ini diupdate perlahan, minggu ini kebetulan gw sedang banyak pekerjaan..

Seperti biasa jangan lupa baca doa sebelum membaca. Mereka mungkin ikut hadir juga..
Untuk mereka dari telaga, lembah dan gunung, semoga ketenangan menyertai kalian semua...

Untuk jiwa muda yang tidak pernah padam...

Untuk keluarga yang belum pernah bertemu...

Selamat membaca

Bismillahirrahmanirrahim
PROLOG

Pria setengah baya itu melakukan ritual ditengah lapangan belakang sebuah sekolah. Ia berkeliling sambil merokok, namun bukan sembarang rokok, sebuah lintingan tembakau yang dicampur dengan rempah-rempah khusus, harum memikat mereka.
"Sok ayeuna geura parindah heula, ulah ngaganggu hajat nu boga lahan!"
(Sekarang silahkan pada pindah dulu, jangan mengganggu hajat yang punya lahan)
Lembut pria tersebut memerintah.
Hingar bingar memekakkan malam itu membawa petaka bagi mereka yang tengah terlelap, tidak saat pekat malam, namun saat mentari bersinar sempurna.
Gadis itu menangis tersedu, semakin lama tangisannya semakin keras. Sementara di ujung lainnya seorang siswa berteriak nyaring dan mulai berlari menabrak apapun yang dilalui. Semua menjadi ramai oleh tangis, tawa, teriakkan, dan racauan...

_____________
Kenangan yang Berbeda

Sepasang kekasih itu melaju mendekati sebuah SMA dengan sebuah mobil yang berjalan perlahan. Mereka bercanda riang di sore di bulan Desember itu, sesekali terdengar rayuan puitis dari bibir sang lelaki.
Perempuan itu menengok kesamping, ke arah pintu gerbang sekolah yang kini sedang dilewatinya. Sebuah gerbang yang berdiri gagah dan angkuh. Sekolah itu adalah tempat sang lelaki juga ibunya bersekolah dulu, sebuah sekolah yang menjadi idaman dan memiliki lahan luas.
Sementara disebelah sekolah itu, ada sekolah lain yang lebih kecil, terhalang rumah-rumah penduduk. Disana lah perempuan itu dan juga adik-adiknya dulu bersekolah
Melewati dua sekolah itu membuka kecamuk berbagai rasa di hati. Antara kebanggaan bercampur marah dan sedih. Entah apa yang ada dalam benak kekasihnya..

Suasana dalam mobil mendadak terasa hambar..
"Sekolah kamu udah mewah nih, udah ada parkiran dalemnya toh. Banyak duit euy" komentar perempuan itu dengan nada meledek.

"Kan sekolah paporit hehe" balas laki-laki itu setengah bangga.
Setengah lainnya perasaan lelaki itu adalah penyesalan yang entah bagaimana caranya bisa ditebus.
"Tapi suka nyusahin sebelah.." Balas perempuan itu singkat. Membuka ruang berdebu dalam ingatan lelaki itu yang kini menyeruak muncul kembali. Membuka pembicaraan yang ia hindari dengan sang kekasih.
Laki-laki itu mendadak diam dan termenung, matanya fokus ke depan, namun pikirannya melayang jauh kebelakang. Berkelana jauh ke masa ketika seragam putih abu menjadi kebanggaan.

7 tahun lalu...

--------------
Upacara dan Gairah Masa Muda

Senin pagi itu terasa biasa saja bagi seluruh siswa SMA Cemara. Pagi yang terasa panjang dengan upacara bendera. Sejujurnya, bagi banyak siswa, hal ini sangat menyebalkan, memaksa mereka bangun lebih cepat demi selamat dari hukuman karena terlambat.
Namun, ada yang sedikit berbeda pagi itu, ceramah Kepala Sekolah tidak semembosankan biasanya, ada pesan yang memupuk gairah dan euforia masa muda para siswa.

"Matangkan persiapan pentas seni Sabtu nanti, jadikan itu kebanggaan sekolah kita !!!"
Banyak yang bersorak, beberapa terhenyak. Beberapa bulan lalu Kepala Sekolah mereka menolak mentah-mentah rencana pensi, memicu antipati pada beliau yang baru hitungan bulan menjabat. Berbagai pertemuan hampir selalu berujung buntu, namun kali ini berbeda..
Di masa itu dan sampai sekarang, pentas seni sekolah, yang biasa disingkat menjadi pensi, atau bazar merupakan sebuah ajang prestisius bagi sekolah-sekolah menengah atas di kota ini. Ini adalah arena adu gengsi diantara sesama putih abu.
Semua berlomba menampilkan yang terbaik, paling meriah, paling berkesan, paling banyak menarik penonton. Tentu adalah sebuah kebanggaan bila pensi mereka dikenang lama, menjadi cerita bagi adik kelas, menjadi legenda kota.
Ada uang dalam jumlah besar yang harus dikeluarkan, sedikit tertutupi sponsor dan sumbangan alumni, serta berharap banyak pada penjualan tiket. Hingar bingar dan kemeriahan itu pastinya menuntut harga berupa rupiah maupun lainnya...
Tidak terkecuali SMA ini, SMA Cemara, mereka termasuk sekolah unggulan di kota ini secara pergaulan maupun akademik. Beberapa minggu lalu, SMA lain membuka genderang perang dengan pensi yang gemilang, kini siswa SMA Cemara tersulut bara persaingan.

Mereka harus dikalahkan.
Dikota ini, SMA Cemara punya nama besar, pensinya senantiasa dinantikan. Namun, sulit bagi mereka untuk mendobrak sekolah di utara yang hampir selalu menjadi raja pensi kota setiap tahunnya. Kali ini mereka telah lelah menjadi kedua atau ketiga apalagi lainnya..
Sekolah ini, sebenarnya memiliki segalanya untuk menjadi yang terbaik dalam hal pensi. Siswa-siswa berkreatifitas tinggi, dukungan alumni dan guru, serta satu hal yang tidak dimiliki sekolah lain, lahan yang luas. Namun pensi tahun-tahun belakangan berlalu seperti angin.
Tahun ini ada tekad yang kuat untuk mendobrak itu semua. Target penjualan tiket di tetapkan menjulang tinggi. Mereka percaya mereka bisa. Persiapan telah dilakukan sematang mungkin, bahkan dimulai sesaat setelah pensi tahun lalu usai.
Namun, ada sesuatu lainnya yang kadang luput dari perhatian, alasan pensi-pensi terdahulu menjadi seperti angin lalu. Apalagi, tahun ini merupakan tahun kelabu bagi banyak remaja Nusantara.

Pensi kali ini menjadi pertaruhan kelangsungan pensi sejenis selanjutnya..

____
Persiapan Pesta I

KRIIIINGG

Suara bel akhir pelajaran berbunyi nyaring dan terdengar seantero sekolah. Para siswa berteriak kegirangan, pelajaran telah usai dan saatnya bersenang-senang. Segera mereka membereskan buku dan alat tulis sambil mendengarkan guru sambil lalu.
"Urang ulin kateun maneh nya?" (Aku main ke rumah kamu ya?)
"Asik main futsal!"
"Kamu mau les enggak?"
"Malas ah, nongkrong yuk!"
"Jangan lupa kerja kelompok!"
Celoteh khas anak SMA masa itu terdengar seperti saling bersahutan satu sama lain. Sementara beberapa lainnya memilih pulang tanpa suara.
Kegiatan rutin dari pagi hingga sore itu seharusnya memberikan harapan bagi mereka. Namun sepertinya asa itu datang terlalu terlambat menjelang bel akhir berbunyi. Gairah masa muda sore itu terasa benar...
Entah berapa ratus siswa yang memutuskan untuk tidak langsung pulang hari itu. Ada hal lain yang harus mereka kerjakan, persiapan pensi yang tinggal menghitung hari. Segalanya dilakukan dengan teliti sampai detail terkecil.
Konsep umum telah selesai berbulan-bulan sebelumnya, dan menunggu persetujuan sekolah sama lamanya.

Sponsor, sumbangan, dan urusan pendanan dikelola secara rinci.

Artis indie dan ibu kota telah dikontrak jauh-jauh hari.
Sebuah pentas kreativitas tanpa mengenal batas segmen musik, konsep yang ditawarkan untuk kemudian dieksekusi oleh mereka.

Terbuka bagi siapapun yang menyukai irama apapun, pesan yang ingin disampaikan lewat pensi tahun ini.

Tentu, mereka yang diluar perlu mendengar.
Untuk itu,

beberapa siswa pergi ke warnet, melakukan promosi akhir via Facebook dan Friendster yang hampir mati,

sementara beberapa lainnya sibuk keliling kota untuk promosi tahap akhir,

dan sisanya sibuk di sekolah, menuntaskan detail desain pamungkas.
Mantra sulap akan terucap Jumat nanti. Jalan memutari sekolah yang ditumbuhi cemara kiri-kananya akan menjadi alur pengunjung menuju panggung puncak nan gemerlap di sebuah lahan yang baru saja tertata..
Di ruang guru, seseorang sibuk membaca koran, wajahnya murung dan cenderung khawatir. Ia menghela nafas panjang dan berbisik "Ieu kudu diomongkeun" (Ini harus dibicarakan)

Ia meletakkan korannya di meja beserta koran-koran lainnya yang tercecer...
Koran-koran yang tampak berantakan tersebut memuat artikel-artikel serupa..

"Puluhan Karyawan Pabrik T Kesurupan", "Histeria Massal Kembali Terjadi", "Para Siswa SMA xyzxz Kembali Kesurupan", "Tinjauan Psikolog atas Kesurupan Massal yang Ramai Terjadi"...
Di salah satu pojok sekolah, berbagai ornamen untuk pensi telah dipersiapkan dan diselesaikan. Sang ketua pelaksana, Ilham, hilir mudik melihat perkembangan penyelesaian ornamen tersebut sambil sesekali melihat telefon genggamnya.
Ilham namanya dengan nama lengkap yang terlalu panjang untuk ditulis. Seorang siswa kelas XI yang bercita-cita menjadi mahasiswa seni rupa. Pensi kali ini adalah proyek terbesarnya, sebuah karya yang terbebaskan..
Ia bukan seorang yang suka tebar pesona meski entah mengapa semua terpikat dengan kenyenterikannya. Entah itu masalah masalah wanita sampai organisasi, semua datang mendekat, namun ia anggap angin lalu. Ada hal lain yang lebih besar dari itu.
Sore itu ia tengah melihat detai persiapan akhir, menimbang apa yang kurang, sambil terus memantau persiapan hal-hal lain. Tanpa disadarinya, seorang pria paruh baya mendekat, langkahnya sedikit tergesa.
"Ham, kadieu heula sakedap, Bapa rek ngomong" (Ham, kesini dulu sebentar, Bapa pengen bicara).
"Muhun Pa, sakedap" (Baik Pa, sebentar)

Ilham berlari kecil menghadap pria itu.
"Lapangan tukang geus dibersihan can?" (Lapang belakang sudah dibersihkan belum?) Tanya pria itu.

"Atos pa kamari Sabtu, jukutna tos di babad, kantun saeutik deui" (Sudah Pa Sabtu kemarin, rumputnya sudah dipangkas, tinggal sedikit lagi).
"Lain eta! Nu "kituna" geus diberesan can?" (Bukan itu! Yang "begitu"nya sudah bereskan belum?) hardik pria itu.

"Te..teu acan Pa" (be..belum Pa) balas Ilham terbata.

"Gancang bereskeun mun teu hayang jiga bareto deui" (Cepat bereskan, kalau tidak mau seperti waktu itu)
Pria itu berlalu, mau tidak mau Ilham
harus mengontak mereka, para pelatih ektrakurikuker (ekskur) yang berhubungan dengan yang gaib. Bukan tanpa alasan Ilham malas melakukan itu, akan terlalu banyak pantangan yang menyulitkan penyelenggaraan pensi.
Perlahan ia berjalan menjauh, menuju sudut lain dari sekolah itu yang jarang dikunjungi. Dinyalakannya sebatang rokok Garam setelah sebelumnya memastikan keadaan aman, tiada seorang guru pun yang mengawasi. Ia butuh itu dengan amat sangat.
Sambil merokok ia berpikir dan menerawang kejadian diluar nalar Sabtu lalu, hambatan terbesar dalam penyelenggaraan pensi tahun ini

-----------
Sepertinya disaya juga begitu, mohon maaf untuk ketidaknyamanannya 🙏. Mangga di klik twit sebelumnya
Sabtu lalu Ilham dan siswa-siswa lainnya sibuk membereskan lapangan belakang yang tidak terurus. Lapangan itu beralas tembok seutuhnya, namun kini tepiannya sudah terkikis dan berganti ilalang panjang tak terurus.
Dari empat sisi lapangan, dua berupa tembok, berbatasan dengan SMP Pucuk dan lahan kosong dibelakang sebuah gedung. Dua lainnya berbatasan dengan ruang kelas, kelas mereka yang terbuang mereka menyebutnya.
Di tempat itulah pesta akan digelar. Sabtu itu, Para siswa memangkas rumput dan menyingkirkan berbagai sampah, batu yang berserakan dan berbagai kegiatan pembersihan lainnya. Namun hari itu, mereka tidak dapat membersihkannya dengan sempurna.
Ada alasan mengapa lapangan ini ditinggalkan begitu saja, sebuah alasan yang tidak bisa dijelaskan nalar. Dahulu tempat ini ramai seperti bagian lainnya sekolah ini. Namun, selalu saja ada kejadian aneh yang terjadi, terutama dimalam hari.
Rumor yang berhembus pelan setengah berbisik mengatakan bahwa tempat ini lebih ramai saat gelap daripada saat terang mentari. Ada banyak yang melihat bayangan putih berterbangan saat malam. Akan pula terdengar beberapa suara obrolan meski tidak ada siapapun disana.
Kabar lainnya mengatakan bahwa banyak bocah yang berlari untuk kemudian menghilang, tubuh-tubuh hancur yang berdiam dipojokkan. Beberapa tubuh terbungkus kafan pun sesekali terlihat. Entah siapa dan mengapa..
Dan di malam-malam tertentu saat hujan turun gemericik, kadang ia menampakkan diri, ia yang bertubuh tinggi besar dengan hitam legam kulitnya. Ia yang taring panjangnya menekan lapangan, seakan meretakkan di lapisan tembok..
Cerita tentang penghuni gaib lapangan belakang terdengar samar disekolah itu, seolah terlalu sakral untuk dibicarakan sembarangan. Sedikit yang tahu tentang itu, beberapa menganggapnya mitos, sementara banyak yang belum mendengar.
Bukan sekali dua kali mereka muncul merasuk pikiran kosong para siswa, namun cerita tentang itu seolah tersembunyi dibalik tembok tinggi dan kokoh sekolah itu..
Pensi-pensi yang lalu pun senantiasa dilakukan ditempat ini, namun entah mengapa lapangan itu akan selalu meninggalkan ruang kosong yang tidak terjamah. Jumlah mereka yang terlihat akan selalu lebih sedikit dari data panitia di gerbang depan.
Selain itu, jumlah tiket yang dicetak selalu dibawah kapasitas maksimal yang dipersiapkan..

Tidak ada jawaban pasti ketika Ilham menanyakan hal tersebut..
Alasan mengapa Ilham dan teman-temannya tidak bisa membereskan tuntas lapangan belakang pun tidak jauh dari hal tersebut.
Sabtu itu, seorang anak tiba-tiba berteriak histeris, sebelum punggungnya ditepuk keras oleh seorang teman. Sementara beberapa lainnya tiba-tiba terjatuh lemas dengan badan terasa panas, mereka menggigil serupa meriang.
Tanda bahaya sudah berbunyi, Ilham menghentikan kegiatan itu lebih cepat. Berharap pekerjaan itu bisa dilanjutkan saat sekolah ramai. Terlalu beresiko untuk melanjutkan pekerjaan itu saat
hari yang sepi seperti ini..
Ada alasan lain mengapa Ilham harus menghentikan kegiatan itu lebih cepat. Seorang pria datang kepadanya dan berkata bahwa membereskan tempat ini tidak bisa dilakukan dengan cara seperti itu.

Pria itu tampak berbeda, ia tidak seperti biasanya, ia terlihat gusar.
Sungguh, Ia menyesal, mengapa tidak mengajak Heru, temannya yang mengerti hal-hal seperti itu. Dan ia menyesal mengapa tidak mengabari pria itu sebelumnya..
__________

"Woy Ham, ngalamun wae!!"

Ilham melompat terkaget mendengar sapaan itu, saking kagetnya rokok yang tersisa setengah ditangannya terlempar, jatuh, dan menggelinding mulus sebelum mendarat di solokan.
"Anjis! ngareureuwas wae!! Rokok urang!!!" (Anjis! ngagetin aja! Rokokku !!!) umpatnya kesal.

"Hahahaha, makana tong ngalamun wae pa ketu!" (Makanya jangan ngelamun aja pa ketua!) Bahak sahabatnya, Heru.
Ilham duduk lemas beralas tembok dan Heru pun menyusul duduk disebelahnya.
"Yeuh, itung-itung ngagantian nu tadi hehe" (nih, hitung-hitung ganti yang tadi hehe).
Ilham menerima sebatang rokok dari Heru dan menyulutnya untuk kemudian disusul Heru.
"Lapangan kudu dibersihan jurigna ceuk Pa Jojo" (lapangan harus dibersihkan lelembutnya kata Pa Jojo)
Maneh bisa ngabantuan pan? Maenya ketua 7ujuh teu bisa" (kamu bisa bantuin kan, masa ketua 7ujuh ga bisa) tanyanya.

"Beurat, kudu menta tulung nu lain" (berat, harus minta tolong yang lain).

"Urang hoream mun jadi loba pantangan" (Aku malas kalau jadi banyak pantangan).
Bila mau, Ilham dapat meminta tolong tiga ekstrakurikuler (ekskur) yang ada disekolah itu selain ekskur Heru. Namun ketiganya akan meminta syarat dan pantangan, satu hal yang sangat ia hindari..
Kadang ia berpikir, bila minta tolong tiga ekskur lain, mungkin bukan band kekinian yang tampil, tapi diganti Qasidah atau Tarawangs, diluar apa yang ada dalam pikirannya. Mana ada yang mau datang..
Namun ekskur Heru berbeda, bermodal prana dan semua terlihat mudah untuk dilakukan, tak perlu banyak syarat, ritual, maupun pantangan.

Kalaupun ada yang perlu disesuaikan, semua bisa diatur.
Pensi-pensi terakhir mutlak mengandalkan empat ekskur tersebut untuk. Kujang Pananjung, Majelis Fikr, dan Iman Insaniyah bekerja sama dengan 7ujuh mengamankan hajat tahunan sekolah. Sering mereka berselisih dengan membawa banyak larangan, menekan kreasi, dan membatasi pengunjung.
Ilham tidak mau itu terjadi tahun ini. Sudah cukup ketidakwarasan itu terjadi terus menerus menjadi rutinitas yang membelenggu. Tidak, setidaknya untum tahun ini..
Setelah berpikir lama, Heru coba beri saran
"Kieu we, ke sore urang panggihan Pa Tikno, isuk panggihan Kang Jejen jeung Pak Arif, urang nu ngomong, tapi maneh kudu milu" .
(gini aja, nanti sore kita temui Pa Tikno dan besok Kang Jejen dan Pak Arif, aku yang ngomong, tapi kamu harus ikut).

Heru menimbang sebentar sebelum berkata "hayu lah.."
Maaf typo, harusnya Ilham menimbang sebentar sebelum berkata "hayulah.."
Ilham berjalan ke halaman dalam sekolah, melalui jalan kecil beraspal yang ditumbuhi cemara di kiri kanannya, ia membayangkan betapa luar biasanya jalan ini ketika Jumat tiba. Tujuannya adalah ruang OSIS, ada hal penting yang perlu ia bicarakan.
Ilham tersenyum kecut melihat ruang OSIS itu.

Sejak masalah perizinan pensi menyeruak, hubungan panitia pensi yang dipimpin Ilham dan OSIS memburuk. OSIS dianggap budak pihak sekolah sementara panitia adalah ekspresi kebebasan siswa.

Pembelajaran politik dini bagi mereka.
"Ris, aku besok izin ga bisa ngawas persiapan ya.." Ilham mengutarakan maksudnya langsung ketika ia bertemu Aris sang ketua OSIS.

Tak menjawab, Aris mengerenyitkan dahi keheranan..
"Ada yang perlu aku lakukan besok, penting. Kalau kepanitian ada Roni, Andha, dan Nana, mereka paham tugas mereka"

Ilham tanpa basa-basi langsung membalas wajah bingung dengan jawab singkat, padat, dan tegas.
Namun jawaban itu tidak mampu menjawab seluruh tanya di benak Aris.
"Lah, ada apa Ham?"

Ilham langsung menarik Aris dan membisikinya tentang peringatan Pa Jojo dan apa yang akan ia lakukan bersama Heru.
Aris tidak mengiyakan, ia diam, menyembunyikan sesuatu yang sulit dibendung.

"Ham, Pa Arif juga bilang yang sama. Beliau malah melarang pensi"

Ilham hanya tertawa sinis, sungguh ia sudah menduga guru agama merangkap pembina Majelis Al Fikr itu akan berbicara demikian..
"Titip salam saja sama beliau, aku pergi dulu"

Ilham berlalu. Aris tahu, Ilham tidak akan berhenti. Pensi ini terasa seperti pergerakan hampir sepuluh tahun yang lalu.
__________

Waktu terasa berjalan cepat, perlahan matahari mulai tenggelam di barat, sandekala menjelang.

Sekolah sudah sepi, beberapa siswa terakhir berjalan melalui gerbang yang telah setengah tertutup. Di pos satpam dekat pintu gerbang itu, tiga orang berbincang serius..
"Kumaha Pak, tiasa nganbantosan ?" (Bagaimana Pak, Bisa membantu?) Ilham dan Heru sedang berbincang dengan seorang pria paruh baya bertubuh kekar, Pak Tikno.
Sutikno Wastukencana nama panjang pria itu, beliau masih terlihat gagah di usianya yang nyaris kepala lima tanpa ada uban sehelai pun dikepalanya. Sehari-hari ia bekerja sebagai penjaga sekolah itu, meskipun beliau juga memimpin padepokan silat, Kujang Pananjung
Beliaulah yang memberi peringatan Sabtu itu

Sebagai kuncen sekolah yang mengenal betul sejarah sekolah dan juga kawasan selatan kota, beliau juga sudah sangat akrab dengan para penduduk disini, yang tampak maupun tak kasat mata.
Setelah terdiam cukup lama, Pak Tikno menghela nafas panjang.

"Mun erek dibersihan total, moal bisa sakeudeung, keur Saptu hareup mah moal kaburu"
(Kalau mau dibersihkan total, tidak bisa sebentar, untuk Sabtu depan tidak akan terkejar)
"Ku abdi sareng rerencangan ti 7ujuh dibantosan Pak" (sama saya dan teman-teman 7ujuh dibantuin Pak).

"Angger keneh, sakalian ngajak Insaniyah jeung Al Fikr ge moal bisa beres sakeudeung"
(Tetap saja, sekalian ngajak Insaniyah dan Al Fikr juga tidak bisa selesai cepat).
Ilham dan Heru bertukar pandang, wajah mereka mulai pucat. Mereka tahu bahwa acara itu harus terlaksana, demi kebanggaan sekolah dan juga pihak-pihak lain yang terlibat.

Namun memaksakan acara berlangsung menuju petaka juga sama dengan membakar sekolah sendiri.
"Tiasa teu Pak upami diusir samentawis wungkul? Supaya teu ngaganggu pas acara, siga taun kamari" (bisa tidak Pak kalau mereka diusir sementara saja? Agar tidak mengganggu pas acara, seperti tahun kemarin) Ilham beranikan diri untuk bertanya.

Pak Tikno tampak berpikir sejenak..
Matanya menatap tajam ke arah dua siswa SMA didepannya..

"Maraneh teu nanaon balik peuting?"
(Kalian tidak apa-apa pulang malam?)

"Teu sawios Pak, kami tos izin da"
(Tidak apa-apa Pak, kami sudah izin kok)
Pak Tikno menyuruh dua bocah setengah matang itu untuk ikut sholat dengannya di mesjid sekolah. Ia berpesan, hati-hati bila berada disekolah saat malam sepi seperti ini.
Sambil menghabiskan rokoknya Pak Tikno berjalan mantap menyusuri lorong sekolah itu yang gelap sunyi. Beliah tidak punya pilihan lain selain menjelaskan sedikit tentang kawasan ini, sesuatu yang tersimpan dan teringat dalam samar..
Ilham dan Heru hanya dapat menuruti Pak Tikno, mereka melakukan ibadah tiga rakaat dan dilanjutkan dengan sholat yang dianjurkan, dua rakaat yang terus diulang sampai mereka merasa kehilangan lutut.
"Urang gempor euy" (Aku gempor nih) bisik Ilham
"Sarua " balas Heru tak kalah pelan.

"Kabeh aya tirakatna jang" (semua ada tirakatnya nak) telinga Pak Tikno awas mendengar pembicaraan dibelakangnya.
Mereka berdua kembali diam sementara Pak Tikno melanjutkan dengan duduk bersila dan diam, entah apa yang beliau lakukan, berdoa kah? semedi kah? Entahlah, tidak ada yang berani bertanya.
Konon bagi mereka yang akrab dengan kebatinan dari aliran manapun akrab dengan tirakat sebelum hajat. Umum atau khusus permintaannya beragam, namun kewajiban tirakat itu melekat sebagai bentuk kesungguhan dalam upaya.
Pertanyaan-pertanyaan ganjil mulai memenuhi kepala Ilham dan Heru, namun sekarang mereka tidak berani bersuara, bahkan benak mereka pun bisu. Berapa lama mereka harus menunggu disini? Bagaimana bila ada hantu tiba-tiba datang? Ah kan dalam masjid. Namun takut tidak juga reda.
Diam dalam hening bermandikan lampu neon menyilaukan di sekolah malam hari menyiratkan suasana yang beradu. Hening dalam terang sementara dalam pekat gelap diluar suara jangkrik masih terdengar bersahutan dengan suara angin malam yang menggoyangkan pepohonan

"Hihihi"
Suara itu terdengar jauh namun cukup dekat untuk didengar Ilham dan Heru. Tidak ada waktu untuk takut dan menjerit, Pak Tikno sudah berdiri dan mengajak mereka berdua pergi.

Bukan menjauh dari bunyi menyeramkan itu namun terus mendekat hingga terpisah lima langkah.
"Geus, tong dipadulikeun nu kitu mah!"
(Sudah, jangan dipedulikan yang seperti itu mah!)
Melewati pohon tempat suara itu berasal menyadarkan dua siswa tadi betapa bodohnya mereka ketika kelas X. Pohon itu hanya berjarak 3 meter di belakang toilet perempuan dengan bagian belakangnya yang beralih fungsi dari tempat wudhu menjadi tempat kencing siswa laki-laki.
Sudah barang tentu bilik sempit dan bau tersebut menjadi tempat terbaik untuk meliarkan dan menguji coba fantasi liar khas siswa SMA.

Mengintip yang disukai, diintip yang menyukai.
Tidak jauh dari toilet itu, berjarak 5 meter dari pohon terkutuk itu ada sebuah bangunan sederhana serupa rumah di perkampungan padat penduduk. Para siswa SMA Cemara mengetahuinya sebagai tempat praktek mata pelajaran Tata Busana.
Pak Tikno membuka pintu rumah itu dan mengucapkan salam sebelum menyalakan lampu neon. Tidak ada siapapun disana, hanya deretan mesin jahit zaman dulu yang sedikit terurus. Namun Pak Tikno berjalan melewati ruangan tersebut dan memasuki sebuah ruangan lainnya.
Ruang tersebut seperti ruang keluarga dengan sofa butut dan meja reyot. Ada sebuah lemari tua disana yang tergembok layaknya pagar. Dibukalah gembok tersebut juga lemari tersebut oleh beliau dan diambilnya sebuah buku yang sangat kusam sampulnya.
Buku itu berisi catatan-catatan lama tentang sekolah ini. Terutama masa-masa awal ketika lokasi sekolah dipindahkan dari daerah lain ke lokasi sekarang. Detail pembangunan termasuk lokasi-lokasi tempat tumbal ditanam dipaparkan jelas dalam buku tersebut.
Tumbal kepala kerbau yang ditanam di sekolah ini tidak hanya satu, namun tersebar di beberapa tempat penting sekolah yang kini telah menjadi bangunan. Kecuali satu lokasi yang masih tampak setengah perawan, lapang belakang sekolah.
Ilham dan Heru duduk mematung mendengarkan cerita Pak Tikno dan juga melihat foto-foto lama sekolah tersebut. Tersimpan di balik lemari dalam bangunan yang tersebunyi, disitulah kisah sekolah ini tergeletak sunyi, terlalu malu untuk diceritakan.
Mata Ilham yang jeli menangkap samar suasana yang berbeda dalam foto 40 tahun lalu itu. Ada aliran sungai kecil disana, membelah lahan berlumpur sekolah ini dahulu. Ia tidak pernah mendengar ada sungai di daerah ini, meskipun ia tahu ini bekas daerah rawa.
"Eta naha aya sungai Pak?"
(Disitu kenapa ada sungai Pak?"

"Panon maneh awas Ham, pantes loba nu beuki hehe" (matamu awas Ham, pantas banyak yang suka hehe) balas Pak Tikno sambil terkekeh.
"Baheula daerah dieu emang loba walungan leutik, lain di daerah ieu wungkul, sakotaeun"

(Dulu didaerah ini memang banyak sungai kecil, bukan daerah ini saja, satu kota ini dipenuhi sungai.
Pak Tikno mengeluarkan rokok kretek tanpa filter dari bungkus coklat berlogo jarum dalam lingkaran. Ia menghisapnya, menyebarkan aroma kuat ke ruangan pengap itu.

"Sok atuh ngarudud heula! urang Ge apal kalakuan maraneh" (ayo merokok juga! saya juga tahu kelakukan kalian).
Dengan canggung Ilham dan Heru melakukan hal yang sama dengan rokok kretek filter mereka. Mereka menatap lekat Pak Tikno, apa lagi yang akan ia ceritakan dan bagaimana dengan permohonan mereka?
Pak Tikno mulai bercerita, daerah ini secara alami adalah daerah cekungan kota, tempat air mengalir perlahan dari utara ke selatan. Bukan seperti sungai besar yang membelah kota, cekungan ini membawa air dengan perlahan, mengendapkannya menjadi rawa dan sawah.
Tidak banyak yang tahu, jalur ini pula menjadi jalan mereka yang halus dari utara ke selatan dan juga sebaliknya. Juga menjadi jalan mereka yang dipusat kota dahulu untuk berpindah ke pegunungan di utara dan selatan kota ketika kota ini dibuka ratusan tahun yang lalu.
Beberapa dari mereka tentu tidak melanjutkan perjalanan dan bertahan di lokasi-lokasi tertentu termasuk sekolah ini. Mereka diam dalam senyap meski kadang samar terlihat. Jelas mereka tidak suka diusik
Melihat Ilham dan Heru yang menatap tertegun dengan mulut terbuka, Pak Tikno menepuk keduanya

"Dibejaan ulah kosong, bisi kalah kaasupan" (dibilangin jangan kosong, takut nanti malah kemasukkan (setan)).
"Geus teu aneh daerah dieu mah, komo nu dekeut jalan eta" (tidak aneh didaerah ini mah, apalagi di jalan itu) kata Pak Tikno sambil menunjuk ke arah utara tempat sebuah jalan besar yang membentang dari tengah ke barat kota berada, menyusuri selatan.
Banyak bangunan dan tanah yang terbengkalai, setengah jadi seolah ditinggalkan pemiliknya atau tidak cukup kuat untuk memikat pengunjung.

Ganjil memang, namun itulah yang terjadi, sambungan jalan itu dari tengah ke utara justru ramai oleh berbagai hotel, kantor, dan restoran.
Menjawab rasa penasaran yang membentang dalam benak kedua siswa tersebut Pak Tikno menjelaskan penyebabnya, kurang tumbal.

Penghuni daerah ini tidak bisa hanya menerima satu tumbal, makin banyak makin baik, bahkan kalau perlu manusia..
Konon katanya, dahulu saat pembangunan sekolah dulu ada seorang pekerja yang meninggal dan dikuburkan di lahan sekolah. Rumor itu sudah terlalu usang untuk diketahui para siswa angkatan Ilham dan Heru.

Namun imaji yang terlintas langsung menyebut lapangan belakang..
"Geus katebak pan ku maraneh dimana eta tumbal jalema dimana ayanna?"
(Sudah kalian tebak kan oleh kalian dimana tumbal manusia itu berada?)
Tanya Pak Tikno sambil tersenyum puas melihat dua siswa yang pucat pasi itu.
Eta matakna tiap aya pensi pasti teu bisa maksimal, lokasina pasti di lapangan tukang, tempat anu aurana pang kuatna"
(Itu sebabna tiap ada pensi tidak bisa maksimal, lokasinya pasti di lapangan belakang, tempat yang auranya paling kuat).
Asap rokok dari mereka bertiga mengepul pekat dalam ruangan tersekat tembok, nyaris tanpa celah untuk keluar kecuali melalui jendela yang terbuka sedikit. Namun mereka tidak terusik, asyik dengan penghayatan pikiran mereka sendiri.
Wajah Ilham lebih pucat daripada Heru, sorot matanya menyiratkan takut dan asa yang memudar. Namun, bukankah ia telah bersumpah bahwa pensi ini akan menjadi pensi yang dikenang lama? bukan oleh kejadian buruk, namun oleh penampilannya yang sempurna.
"Tidak, semua belum berakhir, baru saja akan dimulai" bisik batin Ilham.
"Pasti ada jalan!"
"Bila mereka bisa, mengapa kita tidak?"
"Naha Pa ari SMA nu Danes mah tiasa ageung pensina? Padahal pan langkung seueur jurigna?"
(Mengapa kalau SMA lain bisa besar pensinya? Padahal sekolah mereka juga banyak hantunya?)
Tanya Ilham keheranan.

"Beda jurig jang"
(Beda hantunya nak)
Balas Pak Tikno singkat.
Sekolah-sekolah di tengah kota ini, sama seperti bangunan-bangunan lamanya, dihuni oleh lelembut pendatang yang tidak seberapa kuat bila dibandingkan dengan kota bagian selatan dan pegunungan di utara, seperti halnya sekolah mereka.
Beberapa dari mereka mungkin telah menghuni tempat ini sebelum telaga mengering, sebelum kota ini berdiri ratusan tahun yang lalu.
Konon, kota ini dibangun dengan perjanjian bahwa pusat kota dibuka bagi para pendatang, entah itu manusia maupun lelembut. Dengan syarat tertentu yang mesti dijaga pasti. Namun, perlahan mereka lupa dan khilaf.
Cerita di luar nalar Pak Tikno mungkin sulit dipercaya oleh para siswa sekolah ini yang selalu dikungkung rasionalitas. Namun toh ada kalanya akal mereka menyerah pada apa yang tidak dapat ditangkap indera lahir.
Bagi beliau, cerita seperti ini telah didengar jauh sebelum beliau dapat mengingat umur. Dibesarkan di ujung selatan kota, membuat benturan nilai-nilai tradisional sarat mistis dengan nilai-nilai berbasis nalar terasa kentara.
Pak Tikno menghirup rokok penghabisannya,
"Tiap tahun pas pensi aya we nu mabok, mesum, kadang gelut, kumaha teu hariwang mun loba teuing nu datang"
(Tiap tahun ketika pensi, selalu saja yang mabuk, mesum, kadang berkelahi, bagaimana tidak khawatir bila terlalu banyak pengunjung)
"Maranehna teu beuki mun tempatna diusik ku raramean, komo bari jeung ngaruksak mah"
(Mereka tidak suka bila tempatnya diusik keramaian manusia, apalagi sampai merusak)
Wajah Pak Tikno menyiratkan sekilas rasa getir atas apa yang terjadi, dan berulang terus terjadi.
Bergidik terhadap mereka yang tidak tampak, namun seolah terus memancing teror dari mereka juga.
Otak ilham berputar keras mengolah celah kesempatan yang terbuka dari keluh kesah Pak Tikno tadi.

"Urang aya ide"
(Aku punya ide)...
Ide Ilham sebenarnya sama sekali tidak baru, namun tetap harus dicoba, menghindari petaka dikemudian hari. Namun, untuk itu ia harus bisa meyakinkan tiga pengurus ekskur lainnya dan juga pihak sekolah. Ia tahu, mereka tidak akan bisa mengusir para makhluk halus disana seutuhnya..
Malam itu juga ia sampaikan idenya kepada Pak Tikno dan Heru. Mereka terbengong mendengar Ide Ilham.

"Lainna maneh embung urusan jeung Al Fikr jeung Insyaniyah?"
(Bukannya kamu tidak mau berurusan dengan Al Fikr dan Insyaniyah?)
Tanya Heru keheranan.
"Euweuh pilihan deui, mun bisa kompak ieu hajat bisa alus keur kabehan" (tidak ada pilihan lagi, kalau kita bisa kompak, hajat ini bisa baik untuk semua). Jawab Ilham terdengar retorik.
Situasinya memang pelik, Ilham dihadapkan pada pilihan sulit. Antara egonya atau kebaikan bersama, terlepas dari harga yang diminta dan apa yang perlu dikorbankan. Mimpi ini, bukankah milik mereka bersama?
Suara adzan terdengar sayup dari luar sekolah, malam kian larut, sandekala selesai sempurna dan mereka masih didalam rumah itu. Pak Tikno menyuruh mereka sholat terlebih dahulu sebelum pulang. Menghindari bala yang mungkin menghadang.
Namun, sebelum mereka keluar dari rumah itu, Pak Tikno memperingatkan untuk tidak kaget dengan apa yang menunggu diluar. Kaget sekaligus takut, Ilham dan Heru melangkah keluar mendahului Pak Tikno namun segera berhenti ketika pintu terbuka.
Di luar menatap tajam mereka. Di pohon, perempuan itu dengan wajah hancur sempurnanya menyambut mereka dengan tawa melengking menyakitkan. Beberapa anak hitam berkolor putih yang berlarian mengelilingi pohon. Kaki mereka berdua gemetar semakin kencang.
Pak Tikno menyusul dari belakang dan menepuk mereka berdua. "Geus, tong dipadulikeun nu kitu mah" (sudah jangan pedulikan yang seperti itu).

Melihat Pak Tikno, para makhluk tersebut mundur teratur, menatap seksama saat mereka bertiga melangkah ke masjid yang sepi, sekali lagi.
Mereka menyelesaikan ibadah mereka dengan berbeda. Hanya Pak Tikno yang khusuk, sementara Ilham dan Heru melalukannya penuh keresahan. Selepas salam, Pak Tikno langsung menegur, kalau mereka takut dengan yang begitu, jangan bermimpi bisa membersihkan lapangan belakang.
Hari semakin larut, Pak Tikno menyuruh kedua bocah itu untuk pulang. Mereka akan melanjutkan rencana mereka esok hari. Sebelum berpisah Pak Tikno berpesan agar jangan takut kepada yang halus, namun juga jangan jumawa akan kesempurnaan manusia..
Pesan itu jelas terlalu berat bagi dua bocah SMA itu. Mereka mengiyakan sambil lalu. Namun, dalam beberapa langkah dari mesjid, mereka telah lupa, dan mulai berjalan tergesa. Mereka merasa dikejar sesuatu di belakang, meskipun sebenarnya hanya tercekam histeria mereka sendiri.
Makhluk-makhluk yang tadi merintangi mereka ketika ke mesjid kini hanya memandang dari kejauhan. Melihat jenaka dua manusia muda berlari dikejar rasa takut mereka sendiri.

Hanya suara jangkrik, tokek, kucing jantan birahi, dan semilir angin yang menemani mereka.
Namun ada yang memerhatikan mereka lekat ketika melewati lapangan basket depan ruang guru, seorang siswi SMA terlihat mematung di kejauhan. Ilham tercekat dan terantuk untuk kemudian sulit bangkit dan menatap siswi itu.

"Masa iya dia masih disini"
Namun Heru sigap menarik Ilham dan mengajaknya kembali berlari ke parkiran motor.

"Can opat puluh poe Ham"
(Belum empat puluh hari Ham)

Teriak Heru sambil terus berlari.
Teror tersebut tampak berakhir di parkiran motor, manakala mereka melihat Pak Didin yang berjaga si pos satpam depan. Beliau melihat keheranan untuk kemudian tersenyum geli terhadap Ilham dan Heru.
"Geus geura balik, peuting kieu kukulintingan wae hehe"
(Sudah cepat pulang, malam begini keluyuran aja hehe).
Sementara di selasar mesjid, Pak Tikno menghirup rokok kereteknya sekali lagi. Memandang ke langit hitam bertabur bintang. Ada keresahan dalam batin mendengar ide Ilham, semoga memang asa dapat tercapai, bukan pertikaian membawa petaka..
_______

Pertautan Pamrih

Di ruang tamu sebuah rumah di pegunungan, seorang anak SMA membaca koran lokal sambil menikmati sarapannya tergesa. Tidak ada yang menarik dalam koran edisi terbaru pagi itu, kecuali tentang fenomena terkini yang meresahkan
"Kamu jangan mengganggu, teman-temanmu bikin ribut saja"

Hardiknya pada seseorang, seolah ia sangat geram kepada orang itu dan teman-temannya.

Tapi siapa?
Tidak ada siapapun disana diruang tamu 2.5M x 2.5M itu, ia seorang diri, namun itu bila ukuran kesendirian adalah manusia. Namun dia tidak (lagi) merasa sendiri disana, setidaknya sejak setahun lalu. Sebuah kejadian membuka kembali inderanya seutuhnya tanpa sengaja.
Wanita, atau apapun itu ia disebut, tidak dapat dikatakan memiliki wajah. Betapa mengerikannya wajah itu, betapa menjemukannya wajah itu bagi pria muda itu. Ia menatap lekat mengerikan dan dibalas sorot tajam membakar.
Ia harus lebih banyak belajar untuk menerima takdir yang tidak dapat dilawan insan. Membuatnya lari menjauh, mengubur dirinya dalam kemurungan tak berkesudahan. Ia menghindar dari sorot mata terutama wanita, menghindar dari keriuhan dan euforia.
Sudah sedari lama ia merasa melawan dunia, di rumah dan sekolah sama saja. Terasing dari keluarga dan menutup diri dari sahabat. Kadang yang kasat mata datang mengganggu, namun itu tak banyak membantu. Ia terasing sepi.

Rasa sakit yang ia pendam sendiri.
Entah sudah berapa kali dalam tahun yang belum genap berlalu enam bulan itu terjadi peristiwa itu. Kesurupan, histeria, kerasukan, atau apapun itu. Ia jelas khawatir membaca hal itu, sekolahnya punya hajat besar diakhir pekan, dan ia berfirasat buruk.
Seharusnya ia tidak perlu peduli dengan hingar bingar itu. Namun kini, perlahan ia menemukan sahabat untuk berbagi, dan ia tidak ingin sahabat-sahabatnya tersakiti. Sekaligus membasuh lukanya yang terdahulu..
Ia pamit berangkat kepada ibunya seadanya. Dengan setelan siswa SMA menjemukan, sesuai aturan, rapih, dan membosankan. Sejujurnya ia pun merasa demikian. Namun, ia tidak mau menyakiti lebih jauh lewat apa yang dianggap impian oleh banyak orang.

-----------
Cerita Pak Tikno malam sebelumnya seolah memudar ketika mentari menyapa SMA Cemara pagi itu. Namun peristiwa kemarin malam tidak sepenuhnya menguap seperti embu pagi di pucuk cemara. Ilham, Nana, Roni, dan teman-teman sekelas lainnya asyik membicarakan Tari.
Tari, teman seangkatan mereka yang berbeda kelas dan telah mendahului mereka selamanya. Kadang sosoknya masih terlihat disekolah ini disaat hening sepi dengan pakaian yang sama saat malam kepergiannya, seolah menunggu pesta Sabtu nanti.
Hanya sedikit rasa seram saat membicarakan Tari, rasa sedih menyeruak lebih kencang dari itu. Beberapa melihat kematiannya adalah tragedi, sementara penampakkannya memberi asa. Sementara lainnya menganggap sebagai pertanda bahwa pensi harus berhenti.
Suara Aris didepan kelas mengagetkan para penghuninya. Ilham maju menyambut Aris untuk kemudian berbicang singkat di luar kelas sebelum bel berbunyi.
"Kemarin gimana Ham?"
"Yang mana Ris?"
"Pembersihan lapangan belakang"
Ucapan Aris mengingatkan kembali Ilham tentang mengapa ia dan Heru harus berada di sekolah hingga malam sunyi kemarin. Diceritakannya idenya untuk membersihkan lapangan sementara agar siap digunakan untuk pensi sabtu nanti.
"Pemindahannya harus kerjasama kita semua, kayanya kalau sendiri-sendiri ga akan kuat Ris" jelas Ilham.

"Emang banyak gitu Ham?"
"Coba aja kesekolah malam sendiri pas sepi hehehe"
"Anjis, ga maulah!"
"Aku tau aliran mereka emang beda-beda tapi harusnya bisa kerja sama pas pembersihan dan pengamanan acara" papar Ilham.
"Yakin kamu mereka bisa kerja bareng?" Tanya Aris lebih jauh.
"Harus! Demi sekolah ini!" Tegas Ilham.
"Gini Ham, aku denger mereka beda alirannya parah, beberapa mungkin dianggap musyrik sama yang lainnya. Terus mereka punya kepentingan berbeda, bukan masalah sekolah ini, kamu ati-ati aja!"

"Tenang, aku udah antisipasi. Oh ya kemarin aku liat Ta...."
KRIIIIIIIING

Bunyi bel menyebalkan itu terdengar, kegiatan belajar mengajar hari itu telah dimulai..

"Siapa Ham?"
"Ntar aja Ris"
Jam pelajaran pertama hari ini adalah pelajaran matematika. Sudah jamak diketahui bahwa mereka dikelas IPS seperti Ilham dan teman-teman sekelasnya membenci pelajaran itu. Setiap kali ulangan mungkin hanya 30 persen siswa yang memenuhi standar minimum, sisanya harus perbaikan.
Lima menit berlalu, guru tersebut belum datang juga. Kelas mulai gaduh oleh gairah, mungkin ini hari baik, tidak ada kelas matematika pagi itu. Gemuruh riuh canda berbau julid tentang sang guru terdengar semakin kencang sementara seorang siswa di pojokan belum juga tampak.
"Raf, si Ge kamana?" Ceketuk Roni
"Paling telat deui, rek rekor 10 kali telat teu kapanggih hahaha" (paling telat lagi, mau rekor 10 kali telat tidak ketahuan hahaha) jawab Rafa sambil tertawa keras.
Siswa itu bernama Ge, anak yang aneh dan mengundang anomali seribu tanya. Pendiam dengan setelan culun, tampak seperti anak baik. Namun siapa sangka ia seorang kereta api yang mampu membeli bir di supermarket tanpa malu dengan seragam.
Terbiasa dengan nilai ala Nobita untuk matematika dan nilai Dekisugi untuk akuntansi, sama-sama angka, namun beda dalam dua huruf didepan, Rp. Seorang pujangga yang tidak mampu mememikat wanita, karena ia enggan, Sinting.
Hari itu ternyata jadi hari baik untuk Ge, ia kembali lolos terlambat 10 kali tanpa dipulangkan, hanya perlu menunggu di perpustakaan sampai istirahat pertama. Di kelasnya, semua bersorak, guru matematika berhalangan hadir hari itu.
Kelas itu perlahan menjadi sepi, para siswa perlahan merapat ke kantin depan dan belakang, beberapa ke kamar mandi, bukan untuk buang hajat, namun untuk melepas asam di mulut dengan kepulan asap.
Tidak seperti biasanya, Ilham diam di kelas, tidak ikut sembunyi-sembunyi merokok. Ia mendekati Nana, teman baiknya yang paling mengerti pemikirannya yang kadang absurd termasuk dalam seni dan konsep pensi.
Dua siswa SMA berlainan jenis terasa mustahil untuk hanya bersahabat tanpa terbawa rasa, namun di SMA Cemara, semua tahu bahwa Ilham mendekati Andha, Bendahara OSIS yang menjadi ratu sekolah. Tapi, untuk banyak hal, Nana lebih mengerti Ilham daripada siswa manapun disini.
Sahabat-sahabat dekat Ilham kadang berpikir untuk apa mengejar tropi berupa balasan rasa dari sang ratu bila permaisuri yang memahami arti dari seluruh asa dan cemas ada di sisi. Namun itulah mereka, sama gilanya, bahkan Nana mendukung Ilham mendekati Andha.
"Aku kemarin diminta Pa Jojo untuk menyucikan lapangan belakang Na" buka Ilham lebih serius dari biasanya.

"Lah, emang mau disuruh mandi besar apa lapangan belakangnya?" celetuk Nana tidak kepalang tanggung.
"Aku serius Na!" Balas Ilham setengah menyentak dengan tatapan tajam.

"Iya atuh jangan marah kasep (ganteng) hehe" balas Nana setengah menggoda.

Ilham menghela nafas panjang, entah dari mana ia akan memulainya..
"Lapangan itu penghuni halusnya banyak banget Na, mau gak mau harus minta tolong sama ekskur-ekskur itu selain 7ujuh" papar Ilham dengan suara pelan seolah seisi kelas sedang mendengarkan.

"Ga bisa sama si Heru aja gitu?" Tanya Nana tidak kalah pelan.
"Gak bisa, aku udah denger cerita Pak Tikno, terlalu banyak kalau harus sama anak-anak Heru dan Pak Tikno" sekali lagi Ilham menekankan.

"Ham, kamu udah denger gosip itu kan?" Kali ini suara Nana setengah berbisik.

"Gosip apa? Kalau mereka nolak pensi?"
Bukan Ham, Ge yang cerita kemarin-kemarin. Mereka, terutama Al Fikr sama Insaniyah sepertinya punya agenda terselubung dibalik ini" suara Nana nyaris tidak terdengar kali ini.

Beberapa anggota Al Fikr dan Insaniyah memang ada di kelas saat itu.
Kerut di dahi Ilham seketika dijawab oleh Nana tanpa perlu Ilham membuka mulut

"Kamu tahu kalau mereka punya afiliasi luar kampus yang bahkan Pak Arif yang pembimbing Al Fikr aja ga tahu? Kalau Insaniyah sih kan gosipny malah jualan jasa rukyah dan jual jin, ga asli bantuin"...
Ilham terbelalak mendengar itu, kalau itu hanya gosip julid, jelas ini bukan waktu yang tepat untuk tersebar.

"Masa sih? Aku ga percaya ampe segitunya" Ilham masih sulit percaya.

"Tanyain aja atuh ama Ge, dia yang udah dideketin Dodo, untung tetep aja ga ngaruh"
"Nanti aku tanya Na, kalau dia ga mabal lagi hari ini" balas Ilham singkat.

"Oh iya Na, kemarin aku liat Tari.."
"Gak mungkin!! Dia gak mungkin jadi hantu!!!" Nana kini benar-benar murka, ia tidak akan pernah percaya bila sahabat baiknya di kelas X disebut menjadi hantu sekolah.
Ilham diam, ia tidak mampu membalas ucapan Nana. Hal itu menikam terlalu dalam di hati Nana.

"Kamu mah sama aja kaya yang lain!! percaya isu kaya gitu!!"
Nana berucap gemetaran menahan murka, ada setitik air disudut mata kiri Nana..
Sulit bagi Nana untuk mengikhlaskan Tari pergi selamanya. Saat teman-teman perempuan sekelasnya di kelas X menganggapnya aneh, hanya Tari yang mampu menerima keliaran pemikirannya, menguatkannya untuk menjejaki jalan yang ia senangi, berbagi resah sebagai seorang sahabat.
Nana sama sekali bukan siswi abnormal, paras dan sikapnya elok dengan pikirannya berbeda dari siswi-siswi kebanyakan. Ia tidak nyaman dengan teman-teman peremouannya yang terlalu manja, Ia lebih mudah bergaul dengan laki-laki, murni sebagai teman biasa.
Namun, banyak siswa menganggapnya tidak wajar dan harus dijauhi. Sebagai jiwa laki-laki yang terjebak, sebagai perempuan murahan, dan tuduhan lain yang menyakitkan lainnya.

Hanya sedikit orang yang menerimanya apa adanya seperti halnya keluarga kelasnya sekarang dan Tari.
Omongan orang kadang terasa lebih tajam dari golok, lebih menakutkan dari hantu. Memberi teror tanpa memberi waktu untuk berhenti sejenak. Memiliki sahabat seperti Tari adalah sungguh sebuah anugrah, sampai ia terenggut paksa oleh takdir di malam terkutuk itu.
Detik-detik itu tergambar jelas dalam benak. Tubuh Tari terbang layaknya kertas ditiup angin diterjang truk yang berhenti mendadak, menghempaskannya ke trotoar dengan kepala mendarat lebih dulu. Maut tidak segan mendekat cepat, ia tidak perlu tersiksa lama-lama.
Bohong bila Nana tidak pernah melihat Tari lagi setelah hari kelabu itu, ia melihatnya juga, mungkin lebih sering dari siswa lainnya.
Hadir dalam setiap mimpi ketika ia terlelap. Wajah Tari yang berlumuran selalu memintanya untuk terus berjalan dan menemukan sandaran hati..
"Mereka mah cuma iri aja Na, mereka ga secantik kamu, ga bisa gambar sebagus kamu, dan gabisa deketin cowok kayak kamu haha..."
Ucapan setahun yang lalu itu masih terngiang jelas diingatan...
"Aku minta maaf Na, aku ga maksud ngejelekin almarhumah Tari.." Ilham meminta maaf dalam suara pelan, ia tidak berani melihat mata Nana.

"Tari selamanya sahabat kita semua, kita buat pensi ini sempurna buat dia.."
Sementara Dodo yang dimaksud tadi mendengar dengan seksama dan berlalu meninggalkan kelas..

Entah apa yang direncanakannya..

_______
Roni dan Rafa berjalan memasuki perpustakaan sekolah yang sepi. Tidak banyak siswa yang mau pergi kesana bila tidak disuruh. Pa Bagja dan Bu Siti, penjaga perpustakaan setiap harinya menghabiskan waktu untuk mengobrol bila tidak ada buku baru masuk yang harus diindeks.
Rafa dan Ge adalah pengecualian, mereka rajin berkunjung meski tidak menyentuh buku paket. Mereka mencari koran terbaru untuk mencari berita olah raga dan menghabiskan waktu bolos pelajaran dengan lebih baik, setidaknya mendapatkan mereka mendapatkan cap anak rajin.
Namun, tujuan Roni dan Rafa pagi itu bukan untuk membaca, mereka butuh pasokan amunisi tembakau Ge yang hampir pasti siap sedia.
"Assalammualaikum Bu, Pak. Ge aya didieu?"
(Assalammualaikum Bu, Pa. Ge ada disini?)
Sebelum sempat Bu Siti dan Pa Bagja menjawab, seseorang berseru dari balik lemari buku.
"Wooi, keur naon kadieu?" (Wooi, lagi ngapain kesini?)
"Syukuran rekor maneh lah" balas Roni.
"Ah siah, ngomong we butuh suplai!"
"Ahahaha, nyaho wae maneh Ge"
(Ahahaha, tahu aja kamu Ge).
"Ajarkeun urang trikna lah"

Siswa itu keluar dari balik lemari sambil menenteng koran terbaru.
Pa Bagja yang melihat sekilas koran ditangan Ge menyela pembicaraan mereka.
"Koran nu anyar Ge?" (Koran baru Ge?)

"Eh, muhun Pa, kunaon kitu?" (Eh, iya Pa, kenapa gitu Pa?)

"Ke heula sakedap, tiasa bapa maca heula korana" (sebentar, bisa bapak baca dulu sebentar)
Tiga siswa itu keheranan melihat gelagat dari Pa Bagja. Mereka bermaksud pamit dari perpustakaan ketika Pa Bagja tiba-tiba berkomentar
"Geus aya deui wae eta nu kasurupan"
(Sudah ada lagi saja yang kesurupan).
Ucapan itu menghentikan langkah mereka, menoleh sambil melongok ke arah Pa Bagja.

"Geus beuki ruksak dunya teh, jalema geus teu areling, jin geus beuki edan"
(Dunia sudah semakin rusak, manusia sudah lupa daratan, jin sudah makin edan).
"Kumaha pensi teh?" Tanya Pa Bagja mendadak kepada Roni, Rafa dan Ge yang masih mematung didepan pintu.
"Aman Pa, Insya Allah"
"Kade, keur loba jurig, jalemana geus aredan"
(Hati-hati, sedang banyak makhluk halus, manusianya sudah semakin edan).
Tahun itu adalah tahun kelabu bagi banyak sekolah di Nusantara. Belum genap enam bulan tahun berganti, jumlah kesurupan sudah hampir mencapai setengah dari total jumlah tahun sebelumnya. Entah akan berapa banyak kejadian sampai akhir tahun nanti
Penyebabnya lebih banyak sepele, omongan yang sompral terhadap para lelembut, pengusiran paksa terhadap makhluk halus, pembongkaran lahan dan lain sebagainya. Berbagai hal yang tidak pernah membawa korban begitu besar sebelumnya.
Tidak ada yang tahu pasti mengapa itu dapat terjadi. Mengapa pikiran manusia muda begitu mudah untuk terasuki, mengapa lelembut begitu mudah murka. Harmoni yang terjaga ratusan tahun mendadak rusak seketika.
Salah satu kejadian yang membuat Pa Bagja geleng-geleng kepala adalah kesurupan masal yang akibat seorang siswi memaki temannya dengan sebutan Kunti buruk rupa. Bagi Pa Bagja, memang manusia paling mulia namun bukan berarti harus merendahkan makhluk lainnya.
Pa Bagja lalu bercerita bahwa di desanya dulu, disebuah desa terpencil di pedalaman provinsi ini, interaksi dengan makhluk halus adalah sebuah hal yang biasa. Tentu, hal demikian banyak dicibir manakala orang luar datang karena tidak rasional atau bertentangan dengan agama.
____
Dahulu di desanya, ada banyak larangan yang pantang untuk dilanggar, dari tanah larangan, ucapan-ucapan tertentu, perilaku-perilaku terutama di malam hari dan lainnya.

Masyarakat desa percaya itu dan menjaganya seksama. Namun sudah barang tentu mereka dari luar akan keheranan.
Pa Bagja ingat betul, suatu hari datang seorang dari kota beserta kekuarganya untuk membuka lahan larangan tanpa basa basi. Ia berdalih sudah memiliki izin dari aparat setempat. Meski telah diperingatkan, ia dengan pongah membuka lahan tersebut dan menjadikannya areal pertanian.
Jelas ia bukan seorang penakut, ia tantang semua lelembut disana bila berani mendekat. Warga desa yang memperingatkannya pun tidak segan balik dikatai.Tidak rasional, tahayul, dan menduakan Tuhan. Warga desa diam tercekam takut akan bala yang mungkin datang.
Tak dinyana, belum genap tujuh purnama petaka mulai menghampiri, tanaman tak berkembang meskipun tanahnya subur, teror gaib yang terjadi dari sandekala sampai fajar menjelang, belum lagi retakan tanah yang semakin mengancam. Mereka tetap tidak bergeming.
Di purnama kesembilan sang istri cekcok dengan suaminya, ia merasa tidak nyaman berada disana. Teror semakin menjadi, kini anak mereka sakit tak wajar, mereka tidak dapat tidur dengan darah keluar dari hidung mulut dan telinga, suara mereka parau, tubuh mereka lumpuh layu.
Tidak ada seorangpun yang mampu mengobati penyakit itu, tidak ada yang tahu paneluh itu. Namun lelaki itu tetap congkak dan memaksa Tuhan mengabulkan doa sesuai dengan nafsunya sendiri. Sampai istri dan anak-anaknya nekad kabur dari tanah itu, ajaib, anak-anak itu sembuh seketika
Sementara sang suami tetap diam disana, mengutuk anak istrinya dan juga penduduk desa sampai tanah terbelah dan merobohkan rumahnya, menguburnya dalam-dalam.

_______
Perlahan pikiran Pa Bagja kembali ke perpustakaan. Ia menghela nafas panjang.

"Inget jang, ulah sakaba-kaba, ulah adigung, jeung ulah sompral"
(Ingat nak, jangan gegabah, jangan sombong, dan jangan sompral)
"Enya Jang, di bumi ibu mah di luhur percanten pisan kana carek karuhun. Da mun henteu mah bakal aya bencana"

(Iya nak, di rumah ibu, di gunung, percaya sekali terhadap nasihat leluhur. Kalau tidak akan terjadi bencana)
Bu Siti tetiba ikut bicara.
Setiap daerah dan setiap kota memiliki mitos mereka masing-masing, memiliki kutuk masing-masing. Terpendam dalam samar dan kian terlupa, tergantikan dengan kearifan yang lebih umum, yang kadang tidak tidak mampu menangkap renik unik setiap kota..
Ge paham benar kemana pembicaraan ini akan bermuara. Peringatan tanda bahaya itu memang terdengar lebih nyaring akhir-akhir ini. Seperti hari ini, ditempat ini, semua menjadi terasa sesak. Mereka datang tak memberi jarak..
Hanya mereka berlima disana, namun suhu begitu panas, lembab dan pengap, seolah ada lebih dari lima puluh kepala disana. Namun, bulu kuduk mereka meremang sempurna. Peringatan itu kian nyata. Samar, terlihat seseorang berpakaian lusuh tersenyum misterius dibalik jendela.
___________
KRIIIING

Waktu istirahat pertama telah tiba, sementara siswa lain menyerbu dua kantin sekolah, Ilham bergegas menuju kelas Heru, mengajak untuk berbicara dengan ketua tiga ekskur lainnya.
"Hayu Ru, gancangan, waktuna sempit"
(Ayo Ru, cepetan waktunya sempit"
"Engke urang bari daharnya, lapar euy, can sarapan" (aku nanti sambil makan ya, lapar nih, belum sarapan)
Ilham mengiyakan, ia tidak mau berdebat di waktu yang singkat itu. Mereka susuri koridor sekolah menuju kantin di depan sekolah, tempat mereka berjanji untuk bertemu dengan tiga ketua ekskur lainnya yang terlibat dalam pembersihan: Kujang Pananjung, Al Fikr, dan Insaniyah.
Disana mereka berlima bertemu, di satu pojokan terpisah. Ilham dan Heru bertemu dengan Tian dari Al Fikr, Deden dari Kujang Pananjung, dan Didi Insaniyah. Hanya Deden yang menjawab sapa dari Ilham dan Heru hangat, Tian dan Didi menjawab seadanya.
Hanya Heru yang bersantap pagi itu, sisa temannya hanya meminum jus buah atau minuman lainnya. Seolah enggan berlama-lama, seolah hal tersebut sebaiknya dibicarakan dibawah sepuluh mata.
"Baik langsung aja ya temen-temen, saya sebagai perwakilan dari panitia pensi mau minta bantuan teman-teman semua untuk membersihkan lapangan belakang dari gangguan yang gaib biar ga ganggu acara nanti" Ilham membuka pertemuan dengan gaya setengah formal.
"Saya harap teman-teman semua dapat berpartisipasi dari mulai pembersihan sampai dengan acara hari H. Kita butuh banyak orang, apapun yang ada dilapangan itu cukup berat untuk dihadapi sendiri" lanjut Ilham.
Heru hampir tersedak menahan tawa mendengar Ilham sementara Didi hanya tersenyum kalem dan Deden lebih frontal berkata "resmi-resmi teuing Ham, hahaha". Tian menatap Ilham tajam, menimbang apa yang hendak diucapkan.

"Gimana ga diganggu kalau kegiatannya maksiat"
Ucapan Tian seketika merubah suasana yang susah payah dibangun, semua terdiam, ingin semua cepat diakhiri. Ilham menghela nafas panjang menghalau geram. Dengan lembut yang dipaksakan ia berlaku bodoh dan bertanya "Maksudnya Ian?"
Ucapan yang keluar dari mulut Ilham lebih serupa khotbah Jumat atau ceramah Pak Arif di kelas. Ia menolak pensi tegas dan keras. Tahun lalu.Entah berapa kali kejadian silat lidah (istilah untuk french ki** masa itu) dan alkohol dapat masuk leluasa.
lham tidak mau berdebat panjang meskipun nafsu mulai memburu. Ia memilih meminta maaf atas kejadian tahun lalu, meskipun itu bukan tanggung jawabnya. Ia hanya ingin bantuan dari semua pihak yang memiliki kemampuan untuk pembersihan lapangan belakang dari hal gaib.
"Iya, saya minta maaf. Kami kecolongan tahun kemarin. Tahun ini kita harus kerja sama biar ga kejadian lagi"

"Jaminannya?" Tanya Tian balik
"Kita semua harus kerja sama, makanya Al Fikr juga harus terlibat" papar Ilham balik.
"Tapi kami tidak mau pembersihan bercampur dengan yang syirik! Mereka itu makhluk rendahan sumber kejahatan!"

Ketus Tian mengundang sorot mata dari empat teman. Ini tidak mengejutkan sebetulnya, namun menyesakkan. Ucapan Heru, Nana, dan Pak Tikno terasa mudah dicerna saat ini.
Ilham berpikir keras sementara keempat orang lainnya menunggu jawaban. Entah apa yang harus ia katakan, agaknya benar kabar yang berhembus bahwa Al Fikr sedang dirasuki oleh sesuatu diluar sana.
"Nanti, saya konsultasi dulu dengan Pak Arif. Beliau kan pembina kalian. Ya kalau kalian tidam mau membantu, mungkin beliau mau" Ilham sekali lagi menangkis balik dengan setengah asa. Tidak lagi penting Al Fikr mau membantu atau tidak, ia telah mencoba dan Pak Arif akan membantu
Ucapan Ilham cukup untuk menghentikan protes Tian yang sebenarnya memprotes keseluruhan acara pensi yang dianggap bertentangan total dengan syariat. Namun pancingannya dibalas mematikan oleh Ilham, si lidah perak. Tian tampak takut bila memang Ilham ingin melibatkan Pak Arif
Bagi para siswa beraroma asbak, kedekatan Pak Arif, Pak Jojo, dan Pak Tikno perkara masalah gaib memang bukan rahasia lagi. Mereka sering berkumpul di kedai mie belakang sekolah sambil merokok tempat yang sama para siswa melakukan hal yang sama dari balik pintu.
"Jadi bagaimana teman-teman? Setuju kah kita?"
Semua menjawab siap kecuali Tian dan Didi yang hanya mengangguk lemah.
Setelah itu, mudah bagi Ilham untuk meyakinkan semua pihak. Mudah karena Ilham membalikan tuntutan mereka mengenai kesucian pensi dengan menyuruh mereka yang menjaga berjalannya pensi. Namun, toh semua pihak memiliki kepentingannya masing-masing yang berbeda.
Dibalik semua yang tampak oleh mata semua siswa, ada sesuatu yang mengancam lebih jelas. Merasuki lebih dalam dari pada lelembut manapun.

_______
Bel tanda berakhirnya istirahat telah bergema beberapa menit lalu, hampir setengah jam lalu tepatnya. Hampir seluruh siswa SMA Cemara telah masuk kelas, kecuali beberapa yang masih berkeliaran. Suasana gaduh saat istirahat tadi mendadak hening.
Dikantin belakang, terdapat sebuah kedai mie dengan ruangan tersendiri. Sempit, pengap, dan panas sebagai akibat dari kombinasi sempitnya ruangan, panas kompor, dan sirkulasi udara yang buruk. Namun toh tempat itu tidak pernah kosong, selalu ada yang datang membeli.
Pagi menjelang siang itu tiada beda, dua pria paruh baya duduk mengobrol sambil menghabiskan mie kuah mereka. Ditemani dua cangkir teh panas dan dua bungkus rokok beserta pematik, tentu akan dihisap oleh mereka kemudian.
Obrolan mereka saat itu jauh dari suasana santai yang tergambar, mereka berdiskusi serius penuh keresahan dan kerisauan, seolah dunia akan berakhir besok.

"Kumaha pensi teh Pa Jo?"
(Bagaimana pensi nya Pa Jo?)
"Lancar Alhamdulillah, kamari si Ilham geus dititah ngabersihan lapangan tukang. Geus ngahadap acan Pa Arif?"
(Alhamdulillah lancar, kemarin Ilham sudah disuruh membersihkan lapangan belakang, sudah menghadap belum Pa Arif?)
Pria yang disebut Pak Arif itu hanya menggeleng.

"Acan euy, padahal mah gancangkeun.
Nu kitu mah gampang padahal"
(Belum euy, padahal dipercepat saja. Yang seperti itu sih gampang sebenarnya.)

"Dititah langsung ngahadap ka saya pan?"
(Disuruh langsung menghadap saya kan?)
Pria satunya lagi tercekat. Dapat ia duga Ilham pasti akan terlibat perdebatan dengan Tian.

Sementara dua pria itu sibuk mengobrol sambil menghabiskan mie mereka, sebuah pintu menuju gudang sempit di kedai tersebut tampak sangat mencurigakan. Seolah hidup dan berbisik.
Dibalik pintu terlarang itu tiga tubuh meringkuk gemetaran, seperti kedinginan dalam suhu lebih dari 37 derajat. Dalam ruang gelap pengap itu, sesekali tiga bola api kecil merah menyala, diiringi kepulan asap berputar tebal mencari celah keluar. Terjebak!!
Tiga puluh menit lalu mereka terbirit meninggalkan perpustakaan dengan wajah pucat pasi, nafas memburu, dan mata membelalak. Mereka seperti dikejar setan, atau lebih tepatnya dikelilingi lelembut. Semua akibat cerita Pa Bagja, mengundang yang halus mendekat.
Kini mereka menghadapi ketakutan terbesar mereka. Terjebak di ruang sempit pengap, nyaris tanpa ventilasi dengan rokok masih menyala. Namun dibalik pintu itu, ada memedi yang lebih mengerikan, memberi kutuk seumur hidup, membuat mereka alumni tanpa pernah lulus dari sekolah itu.
Bilik sempit itu adalah ruang rahasia lainnya disekolah itu. Khusus bagi mereka yang ingin menghilangkan asam dimulut ketika kamar mandi bau pesing tidak lagi terasa aman.

Namun bila sial, mereka dapat terjebak seperti sekarang ini
Saat Rafa dan Roni panik, Ge coba tenang meskipun ia terbalik menyulut rokok. Tidak ada tawa, mereka semua diam dalam kalut dan takut. Namun seperti kisah horor, takut perlahan dikalahkan penasaran. Telinga mereka mulai membesar mendengarkan pembicaraan dua guru dibalik pintu...
"Padahal mah langsung titah ngahadap ka sayah si Ilhamna, ulah ka si Tian heula. Moal baleg!"
(Padahal Ilham suruh langsung menghadap sayah, jangan ke Tian dulu. Pasti tidak akan benar!)
Nada Pak Arif meninggi dengan mata melotot menahan geram. Tidak sering beliau marah, namun bila murka tidak segan beliau memukul meja hingga terbelah dua.
"Punten saya hilap, teu apal pisan oge masalah Al Fikr jiga kumaha"
(Punten saya lupa, tidak begitu paham juga masalah Al Fikr seperti Apa)
Pak Jojo berusaha berkilah. Tidak biasanya beliau yang selalu tegas kini begitu gelagapan.
Pak Arif menghela nafas panjang, meminum teh panasnya perlahan dan mulai menyalakan rokok.

"Al Fikr geus diasupan ku jalma edan, sangeunahna ngomong kafir"
(Al Fikr sudah kemasukan orang edan yang seenaknya menuduh kafir)
Pak Arif berucap dengan tatap getir.

"Maksudna?"
Pak Arif menatap kosong dinding warung mie itu. Pikirannya berkelana jauh kebelakang ketika seorang alumni datang berkunjung ke SMA itu dan meminta izin untuk menjadi pementor Al Fikr. Ia mulai bercerita..
Kedatangan alumni itu seharusnya membuatnya senang bukan kepalang, namun samar, terasa awan hitam yang menggantung, membesar dikemudian hari.
Segalanya berubah perlahan sampai cukup besar untuk mengusik. Anggota Al Fikr sedikit demi sedikit berubah, tidak lagi yang membahas Islam secara umum atau dakwah gerak lewat renik kehidupan seperti yang beliau ajarkan, mereka menjadi lebih senang membagi si Islam dan kafirun.
Ini bukan tentang mereka yang nyata berbeda cara menyembah Tuhan, namun mereka yang juga menunaikan shalat lima waktu, ditambah yang sunnah bila perlu. Semua terkotak antara mereka dan lainnya. Mereka Muslim, lainnya para , "musyrik", "munafik", dan bahkan "kafir"
Bahkan suatu hari, saat panas disiang bolong selepas lohor, Pak Hari, guru agama senior pernah berucap murka "KURANG AJAR ANAK-ANAK ITU! ASA KABEH GEUS JADI GUSTI WAE!!"

Pak Arif datang menenangkan hanya untuk tersentak kemudian.
Mereka menolak acara perayatan Maulud Nabi Muhammad SAW, biddah

Pak Arif kala itu tidak kalah murka, mereka akhirnya menerima acara tersebut, namun dengan setengah hati. Sang alumni kemudian diusir dari Al Fikr hanya untuk membawa lusinan adik angkatannya datang bergeriliya..
Mudah bagi mereka untuk mengkafirkan sesama Muslim lainnya yang tidak sejalan.

Tidak peduli seberapa cerdas dan benar Pak Arif dalam berdebat, hal tersebut tetap akan mentah bagi mereka yang berkepala batu.
Setiap acara pensi, konflik tersebut selalu meruncing. Antara penyelenggara pensi dengan Al Fikr. Dari konsep yang tidak Islami sampai masalah penunggu dibelakang. Alasan mengapa pensi tahun ini terasa sulit terlebih dibawah kepala sekolah yang baru.
Tahun ini pelik luar biasa, beda pendapat tidak tentu tidak reda. Beberapa beranggapan bahwa lelembut harus dibasmi sempurna, beberapa beranggapan mereka harus dirayu pindah, beberapa berpikir untuk mengusir kasar mereka. Sementara diluar sana, entah berapa tubuh telah dirasuki.
Dalam gelap malam, mata Pa Arif terpejam, semakin dalam semakin muram. Ia tidak lagi melihat kedamaian diluar sana , dibalik yang terlihat mata lahir. Perseteruan itu semakin gamblang. Dalam senyap malam, ia merasa berapa nyawa telah melayang oleh kutuk yang tidak perlu.
Penyusup itu tidak hanya ingin mencabut kearifan ratusan tahun, namun menyulut bara yang enggan padam sempurna didalam sana. Sebentar lagi, penjaga gaib akan dibabad habis, meninggalkan supata mengerikan yang tidak dapat dihindarkan.
"Eta matak sayah nolak pensi Pa Jo, soalna pasti bakal ribut deui"
(Itulah mengapa saya menolak pensi Pa Jo, pasti bakal ribut)
"Sabenerna, budak Al Fikr geus ngincer acara ieu, boga kapentingan lain!"
(Anak Al Fikr sudah mengincar acara ini, mereka punya kepentingan lain)
_______
KRIIING
Bel terakhir berbunyi lantang menggema keseluruh penjuru sekolah. Ilham segera mendekati Ge diikuti oleh Nana. Sejak kembali ke kelas selepas istirahat kedua Ge, Rafa, dan Roni tampak lain dari biasanya, wajah mereka pucat pasi, tidak ada sepatah kata terucap.
"Anteur ka Pak Arif jeung Kang Jejen yuk"
"Hampura ham, moal bisa sigana" (Maaf Ham, ga bisa kayanya) balasan Ge terdengar gemetar, ada yang disembunyikan. Setengah memaksa Ilham dan Nana mendesak, namun jawaban yang keluar tetap sama.
Kejadian itu masih membekas. baru kali ini ia terasa sangat takut merokok disana. Diluar ancaman hukuman yang seperti munafik karena para guru pun melakukannya, firasat buruknya menguat.
Ia butuh udara segar, beberapa batang rokok SKM buatan Kudus dan mungkin, sekaleng bir.
Waktu tidak banyak, Ilham tergesa menuju ruang guru. Ia temui Pak Arif yang tersenyum melihatnya, seperti sudah menunggu. Diajaknya Ilham menjauh dari ruang itu. Melewati lorong sekolah yang dipenuhi siswa yang menatap segan, menyebrang jalan cemara dan sampai di perpustakaan.
"Bapak tos ngadangu ti Pa Jojo tentang pensi teh Ham" (Bapa sudah mendengar dari Pak Jojo tentang pensi Ham).
"Sok Bapa ngabantuan, tapi omat, ulah sakaba-kaba, jeung kudu waspada"
(Sama Bapa nanti dibantu, tapi ingat jangan gegabah, dan tetap waspada).
Ilham tercengang, orang tua ini membaca pikiran dan gelagatnya, menjawab tepat tanpa basa basi.
"Hatur nuhun atuh Pa"
"Ham, tadi ngomong jeung Tian?"
Sekali lagi Ilham tercengang, sekali lagi Pak Arif menebak apa yang terjadi sebelumnya dengan jitu.
"Sumuhun Pa" (iya Pa)
Namun kini air muka Pak Arif berubah, ada pancaran ketegangan disana.
"Terus, dia ngomong naon?"
"Alhamdulillah bade ngabantosan Pa saurna" jawab Ilham.
Tidak menjawab, Pak Arif menarik Ilham ke sisi dalam perpustakaan.
Ham, dengekeun Bapak, kudu ati-ati pisan ka budak Al Fikr , tapi kudu waspada"
(Ham, dengar Bapak, kamu harus hati-hati betul dengan anak Al Fikr, harus waspada)
Ilham mengangguk keheranan, ada apa ini? Pembina ekskur memberikan peringatan terhadap anak binaannya sendiri?!
"Geuwat panggihan Pa Tikno, Kang Jejen jeung, Pa Jojo, urang mulai ritualna isuk peuting"
(Cepat temui Pa Tikno, Kang Jejen dan Pa Jojo, kita mulai ritualnya besok malam)
"muhun Pa" Ilham menjawab ragu, ia merasakan bahwa ada persoalan serius disana.

"Al Fikr kunaon kitu Pa?"
"Urang ngan ngomong wungkul ka budak ieu, ulah ngaganggu!" (Saya cuma bicara dengan anak ini, jangan mengganggu!)

Pak Arif menggeram entah kepada siapa.
"Budak Al Fikr rek ngusir kabeh eta lelembut diditu, ngamusnahkeun mun bisa. Dasar teu boga adab! eta geus kodrati maranehna"

(Anak Al Fikr ingin mengusir lelembut disana, memusnahkan kalau bisa. Dasar tidak punya adab! Itu sudah kodrat mereka disana)
Ilham melongok keheranan, bukankah bagus bila mereka terusir semua?
"Ham, teu kaneh lelembut boga niat goreng, ngajaga tempat sangkan urang ulah pongah, ulah kamalinaan"
(Ham, tidak semua lelembut itu berniat buruk, menjaga tempat agar kita tidak sombong, jangan berlebihan)

Kemalangan yang menimpa manusia, seringkali ulah mereka sendiri.
__________
Ritual

Ilham memacu motor tuanya kencang, setidaknya terasa begitu. Motor bebek tua berwarna biru itu menembus sempitnya gang padat penduduk yang berdampingan dengan perumahan mewah di selatan kota. Sangat kontras dan terasa tidak adil.
Begitu pula dengan hatinya di sore cerah ini, benaknya muram durja mendengar wejangan Pak Arif beberapa puluh menit lalu. Ini jauh lebih rumit dari yang terpikir, lebih merepotkan daripada mengikuti permintaan artis seperti yang biasa diceritakan Andha.
Tujuannya tinggal beberapa ratus meter lagi dan belasan tikungan. Ia masih berusaha meresapi pembicaraannya tadi. Ada dua hal yang bisa mendatangkan murka dari penghuni halus lapangan, dan itu kesalahan mereka yang memiliki raga.
Sebab pertama tentu tentang kepongahan Al Fikr dan para penyusupnya, buta memurnikan akidah namun menyembah nafsu jahiliyah modern bernama pemujaan hawa nafsu terhadap materi. Kedua, adab kotor dari para pengunjung pensi yang terulang setiap tahun.
Ironisnya, keduanya karena nafsu, yang membuat iblis menjadi menakutkan bagi manusia. Hal itu memang benar, namun menjaga semua seimbang dan berjalan baik tidak semudah memikirkannya.
Perihal Kang Jejen yang akan ia temui sore ini pun tidak beda. Pak Arif memperingatkan untuk berhati-hati terhadapnya, sekaligus ingatkan beliau bahwa tidak ada teman yang abadi, semua karena ada kepentingan. Ingatkan beliau agar jangan silau oleh dunia yang menipu
Dikota ini, bahkan provinsi ini tidak ada yang tidak mengenal pelatih beladiri berbasis tenaga dalam bernama Kang Jejen. Dari mulai teknik pernapasan, ilmu kanuragan, sampai pengusiran makhluk halus lazim dilakukan. Banyak yang memuja, termasuk para anggota Al Fikr.
Agaknya, Kang Jejen senang dengan itu. Meskipun perlahan berhembus kabar kurang enak didengar dari mereka yang julid. Namun kurang hirau beliau dengan itu, sampai kabar itu terdengar cukup keras bahkan sampai kepada Nana yang memberi tahu Ilham tadi pagi.
Adzan Ashar berkumandang dari kejauhan ketika Ilham tiba disalah satu rumah besar bergaya 90an. Seperti latar tempat sinetron periode yang sama, lakonnya jarang miskin kala itu. Ragu ia untuk langsung mengetuk, ia tunggu beberapa saat sambil merokok sebatang.
Rumah itu tampak megah dan gagah, sekilas terlihat pula beberapa spanduk dan poster tentang Insyaniyah. Hari ini sepi, mungkin sedang safari keluar kota. Beberapa bulan belakangan jasa perukyah memang sedang naik pamor. selalu ada hikmah dibalik musibah, meski kadang miris.
Dipijatlah bel di kusen pintu rumah cukup dalam dan cukup lama. Beberapa detik munculah seorang wanita berjilbab panjang membuka pintu, "Eh ada Ilham geuning, mari masuk dulu."
Wanita itu lantas menghilang masuk kembali, meninggalkan Ilham di ruang tamu dengan nuansa lobi kantor.
Tidak lama datanglah seorang pria menuju paruh baya, tinggi besar, wajahnya tampak berwibawa. "Assalammualaikum Kang Jejen, damang?"

"Alhamdulillah Ham, kumaha damang oge? Bapak sehat?"
Sapaan Kang Jejen membuatnya sadar betapa besar nama ayahnya di kota ini. Seorang jawara yang beralih arah menjadi ustad, namanya sama masyur sebagai keduanya dalam zaman berbeda. Ilham segera membuka pembicaraan, langsung kepada tujuan kedatangannya.
Penjelasan Ilham membuat Kang Jejen mangguk-mangguk, beliau paham betul hal itu. "Enya sih, ayeuna keur loba nu kitu. Kudu ekstra ngajagana"
(Iya sih, sekarang sedang banyak yang begitu, harus ekstra menjaganya)
Ilham tergelitik bertanya lebih jauh, ada tanya yang tidak dijawab oleh Pak Tikno dan Pak Arif.
"Kunaonnya Kang ayeuna seueur nu kitu?"
(Kenapa yang Kang, sekarang banyak yang seperti itu?)

Kang Jejen tersenyum cukup lama dan kemudian terkekeh.
Beliau mulai menjelaskan bahwa semua terjadi karena sebab yang rumit, saling bertemu satu sama lain. Tahun ini medan energi sedang tidak stabil, banyak gesakan yang terjadi. Mungkin ini baru permulaan yang menuju bencana yang lebih besar. Tapi kita cenderung tak mengacuhkan itu.
Namun penjelasan Kang Jejen tidak cukup memuaskan Ilham, ia penasaran bertanya lebih jauh. Meminta jawaban yang lebih lugas

"Maksudna Kang?"
Kang Jejen melanjutkan "Masalah energi nu stabil eta ngajadikeun sueur nu teu tenang nu halus sareng jalmi oge sami, janten seueur nu ka asupan"

(Masalah energi yang tidak stabil, membuat keresahan diantara yang halus dan manusia, jadi banyak yang kerasukan)
Gaya bahasa dan gestur tubuh Kang Jejen begitu meyakinkan dan memesona, tidak heran banyak yang terpikat. Tatapan matanya langsung mengarah kepada Ilham, seakan menerawang sukma, memaksa percaya pada yang dibicarakannya.
"Pelajar jaman ayeuna pasti loba nu stres, makana gampang kaasupan, komo nu sakolana elit"
(Pelajar zaman sekarang pasti banyak yang stres, apalagi di sekolah elit)

"Harus gabung Insaniyah dulu biar lebih tenang hehehe"
Memang benar mereka berkata demikian tentang Kang Jejen. Namun ini bukan tentang bergabung dengan Insyaniyah, ini tentang pensi kebanggaan sekolahnya.

"Janten tiasa ngabantosan Kang? Di Cemara pan aya Insyaniyah oge"
(Jadi bisa membantu Kang? Di Cemara kan ada Insyaniyah juga)
Batin Kang Jejen tercenung, Ilham tidak bisa diajak memutar untuk diajak terpikat rupanya. Kang Jejen mengangguk

"Iraha?" (Kapan?)
"Insya Allah enjing Kang"
(Insya Allah besok Kang)
"Siap Ham, ku Akang dikoordinir heula anggota Insaniyahna. Tenang Haratis kanggo cemara mah"
(Siap Ham, sama Akang dikoordinir dulu anggota Insaniyahnya. Tenang, gratis kalau untuk Cemara)
Ilham hanya tersenyum dan menghaturkan terima kasih kepada Kang Jejen. Sebelum berpamitan ia ingat harus menyampaikan pesan Pak Arif. Ia bingung bagaimana harus bagaimana menyampaikannya..
Ia menahannya cukup lama sampai tiba ia telah menghidupkan motornya, sebelum berlalu, ia sampaikan pesan itu

"Kang, punten pisan, kata Pak Arif jangan terlalu silau sama pujian. Beberapa mungkin jebakan, mangga kang, Assalammualaikum"
Cukup lama Kang Jejen terdiam didepan rumahnya. Berusaha mencerna arti pesan Pak Arif itu. Ia tersenyum kecut, peringatan itu datang terlambat. Kini ia harus memilih berada dimana...
Dengan kesepakatan bersama Kang Jejen, semua yang perlu Ilham lakukan untuk pembersihan selesai sudah. Segera ia kembali kesekolah untuk membicarakan itu bersama teman-temannya yang memang ia suruh menunggu.
Langit mulai mendung ketika ia kembali melindas aspal, cuaca di bulan-bulan ini memang sulit diprediksi. Dipaksanya motor bebek tua itu lebih kencang, berlomba dengan deringan telepon penuh tanya di sakunya. Ia berutang jawaban dan maaf pada teman-temannya.

_________
Diatas sebuah jembatan penyebrangan, tepat ditengahnya, Ge berdiri memandang langit mendung ditemani sekaleng minuman golongan A dan sebatang rokok di mulut. Jalanan dibawah yang ramai terasa menggodanya untuk melompat. Hari ini terlalu gila.
Ia berusaha mencari lebih jauh tentang makna pembicaraan Pak Bagja dan Pak Arif di sebuah perpustakaan. Namun akhirnya tidak bagus, peristiwa itu kini semakin terasa nyata bagi batin dan nalarnya. Dan ia kalut karena tidak ada yang bisa ia lakukan...
Bukan kajian akan kasus-kasus yang telah terjadi yang menyadarkannya, namun sebuah teriakan di perpustakaan yang tadi ia kunjungi. Sepasang kaki tanpa tubuh tampaknya cukup kuat untuk membuat seorang pegawai perpustakaan kehilangan kesadarannya..

_______
Satu hari satu malam berlalu dengan cepat bagi banyak orang, terjebak rutinitas yang membelenggu serupa balapan tikus. Namun tidak bagi seluruh panitia Pensi SMA Cemara. Dalam beberapa jam, pembersihan akan dimulai.
Cemas semakin memuncak, ketegangan enggan mengendur. Mereka yang bersepakat tentu terikat, namun tujuan yang sama juga tidak dapat dipaksakan. Pertautan pamrih bertemu malam ini, menjadi titik awal dari sungai takdir berarus liar ini.
Sirit uncuing berteriak lantang sepanjang pagi dan siang yang basah tadi, seolah memberi peringatan. Entah didahan dan pohon manakah mereka berada, namun suara mereka terdengar amat nyata dan mengancam seperti hujan berangin yang enggan berhenti sedari pagi.
___
Seorang siswa yang menyadari muara dari semua ini berjalan tergopoh pagi itu, berlari menembus hujan dan kabut yang aneh muncul. Memanggil seorang teman dari kelas sebelah dan menarinnya seketika keluar. Dengan tubuh menggigil ia berkata.

"JANGAN DIPAKSA KERAS-KERAS!!"
Lanjutan ceritanya terputus suara bel berbunyi terlampau nyaring. Anak itu masuk kekelasnya untuk membuka buku dan menutup mulut entah hingga kapan, meninggalkan kawannya melongok didepan kelas sebelum disadarkan oleh seorang guru yang hendak mengajar.

____
Dalam sebuah bilik, seorang pria menghilang dari keramaian sekolah yang dingin lembab oleh hujan, membasuh daun kiara, mahoni, dan cemara yang terlalu banyak mendapat air bulan-bulan lalu. Dua pasang makhluk hitam memberontak di pojokan, meminta pengampunan dari maut.

____
Saat masa jeda pertama dan kedua tiba, beberapa siswa bergerombol, mereka bersiap untuk bersikap. Serupa perang tinggal menunggu genderang, tiada yang dapat ditawar bagi nafsu yang terlampau naik. Siasat telah dirancang untuk berjalan senyap.

_____
Seorang pria tinggi besar tak acuh dengan apa yang akan ia hadapi malam nanti, namun ia telah menimbang seksama akibatnya. Harga serupa pengorbanan itu nyatanya adanya, dan ia menebusnya dengan pilihan kembali pada apa yang menjadikannya sekarang.

_____
Tidak biasanya Nana gemetar hebat seperti ini. Ada ragu menjalar hebat sore yang dingin dan lembab itu. Bukan karena perutnya yang terasa sakit, tapi apa yang ditunjukkan perutnya. Di toilet sepi dan dingin ia kembali bertemu dengan sahabatnya yang telah tiada.
Memberi pesan begitu jelas sambil sesekali menyeka darah yang bercucuran di wajahnya yang pucat membiru. "Jangan usik mereka Na, pliis". Pesan itu terus terngiang, mempertanyakan alasan mengapa ia berada disekolah itu sore itu..
"Na, kamu ga enak badan ya? Dari tadi perasaan ke toilet terus sampe pucet gini"
Ilham khawatir melihat kondisi Nana yang semakin memburuk menjelang pembersihan. Ia sempat melarang teman-temannya ikut acara ini, namun Nana berbeda, ia terlalu keras untul dilawan.
Lama tanpa jawaban, Ilham telah memutuskan, Nana harus pulang sore itu. Ia akan mengantarkannya tanpa peduli penolakan yang akan keluar. Namun kali ini Nana diam, bukan hendak menolak namun otaknya sibuk mencerna makna ucapan Tari.
Bebek tua itu menerabas hujan rintik menembus kemacetan kota sore itu. Berbelok liar melalui supir mobil berucap serapah. Tiada kata dari mulut Nana sementara Ilham memilih diam, mereka sibuk dengan kekhawatiran mereka masing-masing.
Motor biru itu berhenti disebuah rumah, sang penumpang berjalan gontai seolah tanpa jiwa diikuti sorot penasaran si pengemudi yang ditinggalkan. Sebelum benar-benar berpisah Nana berucap

"tolong jangan usir mereka keras-keras. Aku takut, takut ada yang buruk.."
lham hanya terpana mendengar itu, menatap Nana lekat ditengah hujan yang semakin lebat.
"Aku tahu, aku minta doa untuk semuanya"
Ilham berbalik arah dengan motornya, ia mengerti semuanya, ia mengenal gadis itu terlalu baik.

_____
Hujan itu perlahan berhenti saat sandekala menjelang, meninggalkan rintikan kecil tertiup angin yang semakin dingin. Diluar gerbang, jalanan tidak seramai biasanya, saat seorang pria paruh baya berjalan pasti memasuki sekolah.
Dimasukinya jalan kecil yang sepi di sekolah itu menuju sebuah mesjid di timur kompleks sekolah. Tempat dimana mereka semua berkumpul sebelum rencana dilakukan saat semua telah benar-benar dipeluk gelap.
Dibalik udara dingin menusuk, pria paruh baya itu merasa gerah. Entah berapa ratus mata memandangnya serupa seperti penyambutan. Itu bukan untuk dirinya semata, juga untuk mereka dibelakang, ikut tanpa diajak, menolak pergi walau dipaksa. Ia berdehem dan semua kembali sejuk.
Ia terus berjalan melewati koridor sekolah yang mendadak gaduh meski semua lampu di setiap ruangan telah dimatikan. Mereka terusik luar biasa. Jelas baginya, mereka mengetahui banyak hal yang belum terjamah betul oleh inderanya..
Ia tidak bergeming dan terus berjalan, bibirnya tidak pernah diam, membaca sesuatu samar yang membuat mereka segan. Sekilas ia melihat beberapa sosok berseragam, kumal dan kotor oleh darah, tidak hanya satu, mereka menatapnya nanar.
Tujuannya sudah terlihat jelas sekarang, dan dapat ia pastikan mereka yang bergerombol disana menjejak tanah. Ditengah sore dingin sehabis hujan, yang seolah mengundang mereka yang tak kasat mata untuk bermunculan dengan semarak.
Para siswa dan beberapa orang dewasa itu berdebat dengan seru satu sama lain.
"Udah langsung di usir aja, dibakar kalau bisa!"
"Ulah kitu jang, asal teu ganggu mah biarkan saja!"
"Ga boleh Pa gaul jeung nu kitu!"
"Karepmu budak ngora!!"
Dari kejauhan, pria paruh baya itu menatap miris. Mereka berdebat dengan dikelilingi makhluk-makhluk yang mereka bicarakan, beraneka ragam dengan indah dan buruknya. Yang menggantung tanpa badan itu terkekeh seperti menghibur pria itu, alangkah bodohnya mereka.
Seorang pemuda yang duduk tertegun melihat kedatangan pria itu, bergegas berlari menyongsongnya, diciumnya tangan pria itu. Pria itu tersenyum dan menepuk pundak si pemuda, pasti tidak mengenakkan terjebak dalam pembicaraan seperti itu.
Serempak mereka terdiam melihat kedatangan Pak Arif. Pak Tikno bergidik melihatnya, tidak sendiri, ratusan santri gaib yang mengikuti dibelakang, bertatap pandang dengan lelembut sekolah. Pak Tikno segera menyalami Pak Arif hangat dan erat, saling melempar salam dan senyum.
Alarm di mesjid berbunyi nyaring mengalahkan sirit uncuing yang tetiba membisu. Panggilan Tuhan harus dikumandangkan segera, dan segera pula mereka harus bergegas menyusun rencana untuk kegiatan selepas senja sempurna.
Tidak ada yang berani bersuara selepas Pak Arif menoleh ke kanan dan kiri memberi salam pada yang setia menemani. Semua hening sampai beliau membalikkan badan dan memulai pembicaraan
"Jadi kumaha rencanaaa urang teh ayeuna?"
(Jadi bagaiamana rencana kita sekarang?)
Tiada yang menjawab, segan oleh perdebatan tadi. Semua dimulai dari awal, menentukan pijakan. Kesunyian itu dijawab lantang helaan nafas Pa Arif membuat beberapa kepala bergidik ngeri, amuknya lebih menyiksa dari paneluh manapun.
"Geus kieu weh, geus Isa urang ka lapang, solat diditu, mulai ngadua sangkan kabeh lancar! Pak Tikno siapkeun kabeh parabot bisi butuh!"
(Begini saja, kita ke lapang setelah Isa, solat dan berdoa disana, semoga semua lancar! Pak Tikno, siapkan perabot, mungkin kita butuh itu!).
"Kang Jejen sareng Heru, jajaginya! Tapi ulah ngalawan tiheula!"
(Kang Jejen dan Heru, jaga-jaga ya! Tapi jangan melawan duluan!"
Mereka semua mengangguk, tak kuasa membantah. Suara dan sorot mata Pak Arif berbeda, jauh lebih tajam dan dalam. Beliau menerawang ke seluruh ruangan berlantai putih dengan banyak noda kaki di sisi dekat pintu. Menemukan Ilham dan Aris yang tertunduk.
Didekatinya mereka berdua dan ditawarinya Ilham sebatang rokok, ia tahu bahwa mereka dicekam gugup dan takit atas apa yang akan terjadi malam ini.

"Insya Allah aman"
Kemudian beliau berjalan seorang diri di kegelapan. Terus berjalan memutari kompleks sekolah, melalui jalan yang becek selepas hujan dan menghirup dalam udara malam yang kian dingin. Ditatapinya teduh satu persatu mereka yang melihat, membuat segan yang hendak mendekat mengancam.
Sampailah beliau pada satu titik yang lapang, ditumbuhi beberapa kiara, mangga, dan satu ki hujan yang menjulang tinggi. Diantara banyak sosok yang beliau temui, ada satu yang menarik perhatiannya. Seolah mengerti, semua memberi jalan kepada sosok itu untuk mendekat.
Wajahnya pucat pasi membiru, namun matanya hidup, menyiratkan kesedihan, kekecewaan dan rasa takut. Beliau menatapnya dalam namun teduh, berucap
"Semua Insya Allah akan baik-baik saja, sekarang kamu yang tenang ya nak, besok bapa akan datang ke rumah.."
Sosok itu berusaha mengambil tangan beliau dan menciumnya sebelum perlahan menghilang bersama angin dingin yang bertiup. Beliau mengambil rokok kretek ramuan fatsal-5 dan menyalakannya, menghirup dalam sambil menatap langit gelap berawan.
Disekitar mesjid semua bergerombol dengan kelompok mereka masing-masing, berbisik waspada sambil melihat kelompok lainnya. Dua orang dewasa lainnya disana hanya terduduk diam menutup mata. Dari kejauhan Pak Arif kembali diiringi suara adzan yang sayup mengalun dari kejauhan.
Tidak ada diskusi lebih jauh selepas Isa, semua seolah paham dengan rencana mereka dan segera bergerak menuju lapangan belakang. Pak Tikno dan Kang Jejen berjalan di baris belakang, merasa ganjil dengan malam ini, terasa lebih penuh daripada seharusnya.
Para siswa yang berjalan di baris tengah bergidik nyeri dengan sekolah malam itu, tatapan tajam itu terasa betul dari setiap penjuru..
Meskipun selalu ingat bahwa mereka harus berserah diri kepada yang Maha Kuasa, namun penghayatannya tidak semudah mengingatnya.
Selepas hujan lapangan menjadi sangat becek dan lembab, beberapa pasang mata merah dan jingga menyala dibalik ilalang panjang..
Angin malam dingin lembab menusuk bertiup kencang menyambut mereka.
Disana ratusan siluet tubuh dengan bentuk tak wajar terlihat semakin banyak. Membuat ragu bagi siapapun untuk menyalakan sumber cahaya.
"Hanya takut kepada yang Maha Kuasa"

Kata itu terpatri betul di kepala, namun kaki enggan mengimani itu, kaki mereka gemetar hebat.
Bertahun-tahun lalu kalimat yang sama dijejalkan dalam kepala untuk alasan berbeda, bukan mengejar kepasrahan tertinggi, namun membenarkan nafsu angkuh mereka. Kini kata yang sama tidak cukup mampu mengendalikan nafsu alamiah lainnya, rasa takut..
"HIHIHIHI"

Suara cekikikan itu terdengar sangat keras serupa sindiran bagi mereka yang goyah oleh takut. Menggoda mereka dan mencari celah merasuk. Satu langkah dari Pak Arif didepan menghentikan suara itu.
"TONG SIEUN KU NU KITU!!! LEUMPANG TERUS!"
"JANGAN TAKUT OLEH YANG BEGITU!!! JALAN TERUS!"
Mereka terus berjalan hingga titik tengah lapangan yang masih berlapis tembok menembus kerumunan mereka yang halus yang terus bertambah. Menatap mereka lekat-lekat, memanggil dan menggoda. Merontokkan setiap sisa nyali yang tersisa.
Pak Arif berdoa sejenak sebelum menyuruh Kang Jejen dan Pak Tikno mulai membuat pagar pembatas mengelilingi tengah lapangan dengan air dan garam. Ditancapkan beberapa bambu dan dinyalakan dupa jintan hitam membentuk asap yang memberi ruang.
"Nu keneh sieun, mundur ayeuna, langsung balik!"
(Yang masih merasa takut, mundur sekarang, langsung pulang!)

Kata-kata itu tegas memerintah, namun malu membuat lupa menakar diri sehingga tiada seorang pun bergeming.
Ritual dilakukan ditemani beberapa obor mengelilingi mereka. Ritual itu seharusnya mudah saja, namun kali ini begitu berat, beberapa bahkan tidak bisa mengangkat kedua tangan dengan sempurna. Beberapa goyah beberapa masih berdiri mantap tidak peduli dengan sekeliling mereka.
Diluar pembatas, berdiri dan melayang mereka yang sukar dilukiskan sempurna, berbagai bentuk, mengerikan dan ganjil. Beberapa belas tubuh dengan kepala tergedek, beberapa belas lainnya menenteng kepala sendiri ditangannya. Sementara lainnya membisu dengan wajah pucat
Sementara diatas melayang mereka yang seperti ular berwajah wayang golek, dan entah berapa banyak sosok binatang ganjil dan pucat pasi. Teriakan terdengar sayup namun semakin lama semakin nyaring. Memaki dan mengutuk paripurna hingga tiga belas turunan.
Namun banyak dari mereka yang berdiri dan duduk tenang kendati wajah dan tubuh mereka ganjil dan rusak luar biasa. Termasuk yang tinggi menjulang melebihi pohon kelapa, beberapa macan hitam bermata merah.

Perlahan mereka ikut sujud sementara beberapa terbakar..
Pintu histeria baru saja akan dibuka malam ini, menghadirkan euforia dan tragedi dikemudian hari..
idak lebih dari lima menit, ya tidak lebih dari lima menit ritual pembuka itu selesai. Lima menit paling menakutkan sekaligus menakjubkan. Seolah telah bersih seutuhnya, wajah mereka memutih cenderung membiru, serupa onggokkan daging tanpa nyawa.
Para siswa yang datang malam itu seolah diberi kesempatan menonton gladi sebuah panggung kehidupan bersama mereka yang tak kasat mata. Bahkan bila benar ini hanyalah sebuah gladi, beberapa dari mereka tersungkur setelah seolah ingin bersujud selamanya.
Sigap beberapa tetua segera menolong mereka yang tersungkur, memastikan tidak ada isi lain dari tubuh selain jiwa ringkih mereka untuk kemudian membopongnya menjauh. Tiada belas kasih dari Pak Arif yang terus berkonsentrasi pada yang Maha Agung.
Dalam lingkaran berpembatas gaib itu semua bersiap membaca ayat suci dan wirid, berbaur antara yang lahir dan gaib. Melawan dinginnya udara berangin dan rasa takut dalam diri. Sementara diluar lingkaran, situasi tak jauh berbeda, mereka menantikan kidung Ilahi.

_______
Beberapa manusia setengah matang itu telah berada di tempat aman. Dua orang pria dewasa berbisik, tentang jumlah undangan yang melebihi kapasitas, dari mana mereka datang? Mengapa dan bagaimana? Tanya yang hanya bisa dijawab dengan helaan nafas.
Di sudut lain sekolah, suasana sangat berbeda. Angin berhembus tenang dan suasana terasa sangat lapang dan hening, bahkan binatang malam enggan bersuara. Memberi ruang dan waktu untuk mengingat dan menerawang ke masa-masa jauh sebelum itu.
Kang Jejen sekilas dapat meraba apa yang terjadi malam itu. Berkelana menembus waktu di ruang sama ia menemukan sebuah anakan sungai yang mengalir beriring dari utara ke selatan, tempat mereka bersemayam.
Semakin lama semakin sedikit tempat bagi mereka, berkelanan mencari persemayaman yang tak diusik sementara mereka yang memiliki raga enggan untuk berbagi dalam harmoni. Menyebar dan berkumpul tak tentu waktu. Membuat teror samar yang berdiam dalam setiap sudut jalan dan bangunan.
Sementara semua mahluk yang muncul juga mengingatkan Pak Tikno akan sebuah cerita moyangnya dahulu tentang tempat ini. Cerita yang lebih serupa khayal daripada nyata, namun kini dapat beliau lihat sendiri adanya mereka dengan begitu nyata.
Beliau paham, malam ini berbeda dengan malam-malam pembersihan lainnya. Jauh lebih mencekam dan berbahaya. Mereka membaca maksud, sulit untuk dilawan dengan jalang.
Berjalan dan terjaga bersama bersandar pada cara berbeda perlu waktu untuk menyelaraskan. Dan itu yang mereka lakukan ketika akan kembali ke lapangan, namun ada hal lain yang perlu dilakukan mendesak malam ini..
Dalam sebuah bilik sempit dan lembab dibukalah sebuah lemari tua untuk kemudian sebuah laci digeser keluar. Diambillah oleh mereka isi laci itu, sebuah gulungan tua berdebu berbau apek, tulisannya tidak jelas betul, tersamar oleh berbagai noda dan tinta yang pudar.
Aksaranya sulit untuk dimengerti, bukan Latin, juga buka aksara tradisonal yang ia ketahui. Kang Jejen mengerenyitkan dahi melihat gulungan itu, pastilah umurnya ratusan tahun. Pak Tikno merapal sesuatu sebelum mengambil gulungan tersebut.

_____
Dilapangan, jumlah mereka masing-masing berkurang sepertiga. Berkurang oleh mereka yang tersungkur dan terbakar. Sisanya masih disana, malam masih panjang, masih banyak sisa pertunjukkan yang sayang untuk dilewatkan.
Para siswa berkumpul rapat dititik tengah lapangan, terus membaca ayat ayat suci dan wirid. Seyogyanya tidak sedikit pun hati dan akal mereka boleh teralih, namun sebuah tanya menggelitik menyeruak, mengapa mereka masih disana?
Mereka membacanya keras, ingin membelah langit hitam diatas bila perlu, merontokkan milyaran bintang disana. Namun, hanya separuh yang menjiwai arti yang terucap, sisanya bergelut dengan angkuh dan takut dalam benak. Diluar lingkaran, mereka mendengar dan tertawa terbahak.
Angin malam bertiup kencang sekali malam itu, membawa hawa dingin menusuk tulang sampai ke kalbu. Meremangkan sempurna bulu kuduk mereka. Melarutkan asa dan takut jadi satu. Tiada tanda semua cepat berlalu, tidak ada tanda mereka ingin cepat pergi.
Beberapa dari yang halus ikut melantunkan ayat suci dengan fasih, meski mulut terkoyak hebat atau tanpa lidah sama sekali. Kali ini tidak ada terbakar lagi kecuali bau dupa yang terbakar perlahan. Mereka menikmati pertunjukkan anak cucu Adam tersebut.
Dua ekor ular berwarna hijau berwajah wayang yang mirip naga mendekat menggoda Pak Arif, mereka memperlihatkan deretan gigi mereka yang hanya terdiri dari taring berdempet dan lidah panjang mereka terjulur. Dibalas dengan senyuman oleh Pak Arif.
Mereka mundur perlahan, tertunduk, dan ikut membaca pula dengan fasihnya. Dibelakang dua ular tersebut, beberapa duduk dan ikut larut dalam ritual, sementara lainnya sibuk menggoda dan menakuti dengan berbagai cara dan upaya.
Bola terbang bercahaya putih menari-nari di angkasa, terbang kesana kemari tanpa mau mendekat lingkaran serupa kubah. Sementara puluhan sosok bertubuh hancur berbelatung menatap tajam kedalam lingkaran, menyajikan aroma busuk menjijikan.
Dibelakang mereka semua, duduk sesosok kakek berbaju serba hitam dengan kain batik terlilit di pinggang. Tidak ada yang aneh darinya, kecuali badan yang terlampau kecil dan renta, namun dengan wajah serupa ikan bertaring menyeramkan.
Sementara banyak siswa mulai bergidik, dalam remang cahaya, dibalik ilalang tinggi, tempat yang nanti akan berdiri panggung megah itu mengintai mereka dengan seksama. Lebat berbulu dan bertanduk dengan mata menyala.
Seorang siswa teralih oleh mereka dan berteriak nyaring dan berlari kebelakang. Baru beberapa langkah, larinya terhenti ia mengejang dan meracau. Matanya berputar putih menjadi merah menyala sebelum..

Braggh!
Seseorang menepuknya dari belakang, membuatnya tersungkur dan tak sadarkan diri. Dibelakangnya berdiri Kang Jejen menggelengkan kepala, bagaimana bisa ia keluar dari lingkaran pembatas?

Bocah-bocah ini benar-benar setengah matang.
Kang Jejen dan Pak Tikno mereka membawa beberapa barang. Semakin dekat semakin jelas, sebilah kujang, selembar naskah kuno, dua ekor cemani, satu dan satu kantung kemenyan. Mereka memasuki lingkaran ditemani sorot curiga dari beberapa siswa.
Seolah paham, Pak Arif kebelakang bertemu dua orang itu, berbincang serius dengan wajah penuh ketegangan. Beberapa kelebat sorot kebencian muncul entah dari mana, saat yang sama beberapa orang terpental hebat berguling di tanah lembab.
"JAHANAM!!!"
Seorang pemuda lantang memaki berdiri menantang, diikuti beberapa kawannya. Teriakan itu mengejutkan semua, beberapa beristigfar sementara beberapa lainnya menggeram marah.
"HENTIKAN!! JANGAN DILAWAN!!"

Teriakan nyaring terdengar di seantero lapangan, namun percuma, pemuda itu bernafas tertahan namun berirama dan merapal sesuatu sebelum menghajar makhluk berbulu dan bertanduk, mengejar yang lainnya membabi buta.
Sejenak ia dapat jumawa sebelum sebuah sapuan melemparnya kembali ke dalam lingkaran dan dibalas pekik takbir, serempak mereka merangsek maju...
___________
"DIAM DALAM LINGKARAN GOBLOG!!!"

Pak Arif kini murka luar biasa, matanya berkilat merah menyeramkan, seolah siap memangsa siapapun yang menghalangi. Namun hanya beberapa siswa yang bertahan, sisanya memilih merubah takut jadi amarah.
Usaha itu berujung jumawa dan ucapan serapah dari mulut para siswa yang membakar siapapun yang dapat mereka lawan. Sebelum harimau hitam menggeram tiga kali dan satu persatu para siswa tersungkur dan terasuki.
Kang Jejen dan beberapa anggota senior Insaniyah berusaha menarik mereka kembali susah payah. Ia sadar, petaka sulit dihindari. Perlahan ia menatap Pak Tikno yang tersenyum ganjil. Bergidik ngeri, sosok yang hilang malam ini akan segera tiba..
Pria paruh baya itu hanya menenangkan mereka yang ada dalam lingkaran termasuk Ilham yang mengigil ngeri melihat kegilaan yang terjadi. Kemudian ia terus berjalan menuju Pak Arif, membisikkan sesuatu yang membuat beliau mengangguk.
"Mun bisa, tahan heula pa sakedap"
Kalau bisa, tahan dulu sebentar"
Pak Arif bangkit dan keluar dari lingkaran. Lelembut dihadapannya menunduk memohon ampun agar tidak disakiti. Namun, tiba-tiba teredengar suara gemuruh begitu keras meremangkan bulu kuduk dan menghisap tenaga. Banyak yang terjatuh lemas, hanya beberapa yang berdiri dengan sulit.
"NGAING JEUNG BANGSA NGAING TEU EREK NGAGANGGU SAKABEH!! NAHA KUDU DIUSIR?! NAHA KUDU DISIKSA?!"

(AKU DAN SEBANGSAKU TIDAK MAU MENGGANGGU SEMUA!! MENGAPA HARUS DIUSIR?! MENGAPA HARUS DISIKSA?!)
Suara itu menggelegar entah dari mana, semua yang berada dilingkaran kini benar-benar kacau balau, kian terdesak oleh para lelembut. Kang Jejen dan bawahannya pun terdesak, bermandi peluh dengan nafas tersengal.
Ilham menutup mata erat, berkomat-kamit melantunkan doa yang ia hapal. Sekuat tenaga ia melawan takut dengan mengingat Ilahi. Sementara Heru sudah sangat kewalahan, Ia terduduk lemas bermandi peluh didekati kepala dengan jeroan menggantung datang mendekat.
Pagar gaib itu rusak seketika diterjang sampuan kaki membabi buta. Kini dua makhluk berbeda alam saling serang dan saling maki. Seolah lupa bahwa mereka tercipta dengan alasan yang sama.
Keadaan semakin genting, Pak Arif menyuruh Pak Tikno bersiap dengan barang-barang yang ia bawa. Sementara beliau berjalan tenang kedepan. Beberapa makhkuk halus itu coba mengganggunya, namun terbakar ketika menyentuhnya.
Seolah satu komando, mereka semua tertunduk memberi jalan kecuali kakek kecil dibelakang..

"Assakammuakaikum, sampurasun"
"Waalaikumsakam, rampes"
"Maneh pan geus nyaho hei jalema! Ulah sakaba-kaba jeung kami, kami moal ngaganggu!"
(Kamu kan sudah tahui hei manusia, jangan seenaknya dengan kami, kami tidak akan mengganggu)
"Kami oge lain rek ngusir, ngan menta maraneh ngalih sementara, rek aya hajat gede didieu"
(Kami juga tidak bermaksud mengusir, hanya minta pindah sementara, akan ada hajat besar disini)
"Waduk!! Eta naha make acara rek ngusir!? Naha kudu ngalawan kami nu keur ngadenge nu ngaji jeung wirid?!"
(Bohong!! Mengapa harus pakai acara penggusiran?! Mengapa haus menyerang kami yang sedang mendengarkan ayat suci dan wirid?!)
Pak Arif tersenyum tipis sedikit sinis, "Ngan jajagi bisi maraneh khianat, pan geuning loba anu kaduruk oge, loba nu keneh ngagganggu oge"
(Hanya jaga-jaga, bila kalian khianat, kan banyak juga tadi yang terbakar dan malah mengganggu)
Ucapan itu memicu murka, kepala kakek itu membesar melebihi badannya yang mungil matanya merah melotot seolah hendak melompat keluar. Bau amis menyesakkan itu terasa begitu kuat ketika ia menggerakan mulut bertaringnya yang seolah siap mencincang Pak Arif.
"SIA TEU PERCAYA KA AING?!! KU AING LAWAN KABEH ANAK BUAH AING MUN WANI NGALAWAN TAPI AING TEU SEGEN MODARAN JALEMA ANU NGARUKSAK!!!"

(KAMU TIDAK PERCAYA KEPADA KU?!! AKU LAWAN SEMUA ANAK BUAHKU YANG MEMBANGKANG TAPI KU BUNUH JUGA MANUSIA YANG MERUSAK!!!)
Pak Arif tenang mendengarnya meskipun tubuh terasa lemas seperti ada yang menarik tenaganya keluar. Di belakang seorang pemuda maju dengan beringas dan berteriak lantang

"JAHANAM KALIAN!!! PERGI ATAU TERBAKARLAH!!"
Pemuda itu cepat ditahan oleh rekannya. Tidak ada balasan dari kakek setengah ikan itu. Sesuatu yang membuat mereka yang paham bergidik ngeri..
Waktu tidak banyak, semua terlalu mendesak. Tidak terduga mereka sudah terasuki sedalam ini dan enggan melihat jernih. Sebelum petaka terlalu berat untuk dilawan, seseorang harus menari diatas garis pemisah tipis antara hitam dan putih.
Menghela nafas sambil melihat guru tua itu didepannya, Pak Tikno sigap membuka bungkusan itu, membentangkan lembaran buram tak terbaca itu. Diheningkan jiwanya sebelum merapal sesuatu tergesa namun mantap. Dikepulkannya kemenyan berbau harum
Dua cemani itu menatap mengiba, namun dengan menyebut namaNya ia gorok leher dua makhkuk hitam legam itu dengan sebilah kujang. Darahnya memancar menggila, terpercik mukanya sendiri itu sebelum dicucurkan diatas bara kemenyan dan diratakan diatas lembaran itu.
Semua harus diganjilkan untuk sempurna. Di iriskanlah tangannya sendiri hingga darah muncrat lebih banyak dari pada cemani yang menggelepar tadi, kemudian di cucurkan diatas bara dan lembaran. Ia menggeram menahan sakit, menutup tangannya yang terbuka dengan tangan yang lainnya.
Aksara dalam lembaran itu seketika menjadi begitu jelas terbaca. Tidak ada lagi lembaran buram dan lecek, lembaran itu tampak begitu indah dan baru, seolah baru saja ditulis kemarin. Pria itu perlahan berbisik membaca lembaran itu dan semua mendadak sunyi.
Wajahnya menyeringai, matanya lain dari biasanya. Hawa yang dipancarkan pun jauh berbeda, hangat, namun berubah menjadi mencekam bagi yang sinis melihatnya. Ia jelas bukan dirinya yang dikenal sehari-hari.
Pria setengah baya itu kemudian berjalan ketengah lapangan belakang itu. Ia berkeliling sambil merokok, namun bukan sembarang rokok, sebuah lintingan tembakau yang dicampur dengan rempah-rempah khusus, harum memikat, membuat mereka tertunduk.
Tiada yang bersuara saat itu, seolah ada yang menutup paksa mulut mereka untuk terbuka. Di ujung lapangan ia bertemu Pak Arif dan sosok yang kini tampak sangat besar dan tinggi. Sosok itu jauh lebih tenang, mereka berbincang bertiga meninggalkan Kang Jejen bersama para siswa.
Tidak lama sosok itu menghilang, kembali berwujud kakek mungil. Pak Arif terlihat lega walau sesekali ada kekhawatiran tersirat sekilas. Pria itu berbalik dan berjalan mantap..
"Sok ayeuna geura parindah heula, ulah ngaganggu hajat nu boga lahan!"
(Sekarang silahkan pada pindah dulu, jangan mengganggu hajat yang punya lahan)

Lembut pria tersebut memerintah.
Semua lantas menghilang perlahan termasuk kakek mungil itu. Malam ini kembali tenang, suara binatang malam mulai terdengar riang.
Ia sempat tersenyum sebelum ambruk mencium tanah.

Selalu ada harga yang harus dibayar dikemudian hari..

BERSAMBUNG...

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Jf89

Jf89 Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @jakejf89

Dec 14, 2019
SETELAH PESTA II

Pagi itu tidak jauh berbeda dengan pagi lainnya, hanya saja Bu Sabrina harus lebih pagi berangkat ke sekolah tempatnya mengajar, SMP Pucuk. Selepas subuh beliau sudah bergegas, melewati dinginnya udara pagi setelah hujan semalam.
Read 416 tweets
Nov 23, 2019
UTAS PENDEK

CERITA MALAM ITU

Berangkat dari pengalaman pribadi dengan sedikit rempah tanpa MSG

@bacahorror @ceritaht #bacahorror #threadhorror Image
Bismillahirramnirrahim

Nama semua nama tokoh disamarkan

Mungkin, menceritakan sebuah kisah horor merupakan cara terbaik untuk mendapatkan bahan cerita serupa selanjutnya...
@bacahorror @ceritaht Display dulu buat nanti malam
Read 72 tweets
Nov 11, 2019
MOBIL TERKUTUK

@bacahorror @ceritaht @Koranhorror #bacahorror #threadhorror Image
Utas yg satu ini berbeda dengan utas2 sebelumnya. Jadi mungkin membingungkan buat para pembaca. Berdasarkan kisah nyata disajikan dengan improvisasi sedikit liar
Read 268 tweets
Nov 3, 2019
Bismillahirrahmanirrahim

Seluruh tokoh dan tempat disamarkan. Gw mohon banget untuk yg "ngeh" untuk tidak membocorkan demi kebaikan bersama. Hatur Nuhun.

TIDAK ADA KAITAN dg yg akan keluar ya.

Dan jangan lupa berdoa karena mereka hadir dalam cerita.

Kamu jangan nakal ya..
PROLOGUE
Perjumpaan Ge dengan keluarga Jansen saat meninggalnya Mbah telah membuka tabir Setiap melewati jalanan di kotanya. Para penghuni bangunan tua menampakkan diri kepadanya. Entah itu suara, sosok, maulun bau yg muncul tidak seharusnya.
Read 217 tweets
Oct 27, 2019
WARISAN KELAM MASA LALU

Bismillahirrahmnirrahim

Semoga kalian diberikan ketenangan.
Terima kasih atas pelajaran yg kalian berikan

@bacahorror, @ceritaht, #bacahorror, #ceritaht
***PROLOGUE***

Masa awal kemerdekaan Indonesia tidak disambut suka cita oleh seluruh penduduk Nusantara. Warga sipil dari Belanda justru mengalami terror yang luar biasa sebagai balasan atas apa yg dilakukan nenek moyang mereka.
Penjarahan, perampasan, penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan merupakan hal yg lumrah terjadi masa itu oleh mereka, para pejuang radikal. Entah berapa puluh ribu korban baik dari orang Belanda maupun mereka yang dianggap anti republik
Read 150 tweets
Oct 24, 2019
Mereka yang Hadir dalam Cerita
@bacahorror #bacahorror #threadhorror @ceritaht

Mohon maaf sebelumnya bila berantakan, maklum, ini utas pertama saya. Mohon maaf juga utas ini juga tidak berisi cerita horor seperti kebanyakan. Hanya paparan personal tentang apa yang terjadi saat cerita2 horor dibacakan.
Sepertinya penulis yang perlu minta izin pemilik cerita, baik yang tampak atau tidak sepertinya sudah jadi kewajiban sebelum cerita dimulai.

Saya yakin banyak dari kita sudah paham betul tentang hal itu.
Read 15 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(