Jf89 Profile picture
Dec 14, 2019 416 tweets 52 min read
SETELAH PESTA II

Pagi itu tidak jauh berbeda dengan pagi lainnya, hanya saja Bu Sabrina harus lebih pagi berangkat ke sekolah tempatnya mengajar, SMP Pucuk. Selepas subuh beliau sudah bergegas, melewati dinginnya udara pagi setelah hujan semalam.
Sekolah tempatnya mengajar bukan sebuah sekolah yang sangat populer di kota itu, lahannya pun tidak seberapa. Sangat jauh berbeda bila dibandingkan SMA sebelah sekolah itu. Cukup sulit menemukan sekolah itu bila tidak hapal, tersembunyi dibalik rumah-rumah kompleks.
Cuaca dingin berkabut saat Bu Sabrina memasuki gerbang sekolah, saat-saat yang mulai jarang terjadi seiring dengan bertambah semaraknya daerah ini. Penjaga sekolah masih terlihat mengantuk ketika menyapa Bu Sabrina hangat.
Mata beliaupun sebenarnya masih berat, kalau harus memilih, mungkin akan memilih cuti saja dari kegiatan tambahan pagi itu. Menjelang ujian akhir yang tinggal hitungan hari, tidak hanya siswa, para guru pun diharuskan menghabiskan waktu lebih lama di sekolah.
Situasi itu menguras tenaga dan mental semua guru dan siswa. Tidak ada seorangpun yang ingin melihat siswa kelas 9 masih berada di sekolah itu bulan-bulan kemudian. Mereka berjuang dengan giat, melupakan keterbatasan fisik dan mental yang terasa menyiksa.
Benaknya menerawang jauh, memikirkan mengapa harus sistem yang menilai secara langsung. Baginya itu kadang terasa merenggut haknya sebagai guru untuk memberikan penilaian bagi para siswa yang ia cintai setelah tiga tahun berlalu. Namun apalah daya, hanya remahan rengginang..
Sekolah itu terasa sedikit lain pagi itu untuk sebab yang sulit dijelaskan. Semua hal terlihat dan terdengar sama seperti seharusnya, namun bulu kuduk sedikit meremang ketika memasuki kompleks sekolah lebih jauh.
Tidak peduli pukul berapapun itu, sekolah ini tidak pernah terasa menyeramkan begini. Entah itu tengah malam atau pagi buta, semua selalu terasa baik-baik saja. Sekelabat bayangan buruk itu muncul, memaksa untuk tercekat dan beristigfar.
Perasaan itu terlalu buruk untuk dipendam, merasuki pikiran seolah mengundang bencana untuk mendekat. Dibuangnya pikiran buruk itu jauh-jauh sebelum sebuah bayangan hitam terduduk ganjil di pojokkan..

______
Persiapan Akhir

Matahari pagi cerah menyapa SMA Cemara, seolah titik air di angkasa tertumpah sempurna kemarin malam. Bila masih ada awan kelabu, maka biarlah ia hanya berdiam dalam benak mereka yang dikutuk untuk tahu.
Dedaunan juga rerumputan masih basah oleh embun pagi, bersinar ditempa cahaya mentari. Semua hanya berjalan melaluinya begitu saja, sibuk dengan pikiran sendiri, sibuk dengan cemas yang membising di kepala.
Suasana sekolah terlihat lebih lengang dari pada biasanya, seolah hanya setengah siswa yang hadir pagi itu. Meskipun memang puluhan orang yang datang kemarin malam tidak terlihat, termasuk Pak Arif dan Pak Tikno.
Ilham juga tidak tampak hari itu, ia izin untuk datang siang saat kegiatan belajar mengajar berakhir. Ia masih terlalu mengigil untuk melangkah, begitu pula dengan Heru, Dodo, dan Aris. Kejadian tadi malam terlalu sinting untuk dilupakan sekejap.
Malam itu seolah berlalu tanpa ada peristiwa berarti. Kini, bukan hanya lapangan belakang, namun juga seluruh area sekolah siap digunakan lusa nanti. Hajat siap digelar Sabtu nanti.
Tidak ada Jabar pasti perihal kejadian tadi malam. Hari ini tampak akan berlalu sesuai rencana. Semua hanya tahu bahwa kini sekolah mereka telah bebas dari gangguan yang tak kasat mata walau hanya sementara dan tidak ambil pusing dengan apa yang terjadi dibaliknya.
Namun, ketiadaan panitia inti pensi pagi ini terasa ganjil bagi beberapa orang. Kesepakatan mereka untuk tidak ada pagi ini jelas menunjukkan bahwa kemarin malam merupakan malam yang berat. Seperti Ge dan Nana yang melihat bangku kosong Ilham..
Maaf typo, maksudnya "kabar" bukan "jabar"🙏
Ada firasat buruk yang semakin kuat dalam pikiran Ge, semakin kencang menyeruak ketika kakinya menjejak gerbang sekolah. Semua tidak mungkin baik-baik saja..
Malam tadi ia memilih pulang dari pada berdiam disekolah. Ia takut, bukan pada seluruh memedi disekolah itu, namun pada dirinya sendiri yang tidak bisa dikendalikan. Harimau gila itu bisa tetiba muncul dengan murkanya, memangsa siapa saja yang dikehendaki.
Namun malam tadi pula ia bermimpi, teramat buruk seperti ketika ia dihantui lelaki berleher panjang yang keluar dari poster di dinding kamar, poster yang ia dapat dari mengundi nasib.
Malam tadi ia berada dalam tempat lembab berlumut dan berbau anyir. Seolah ia berada dalam sebuah kolam yang baru saja kehilangan Airbus. Tiada siapapun disana, sampai sesosok makhluk tersenyum mengerikan
Tangan kanannya memegang sebuah kepala menggantung tanpa tubuh, begitu hancur untuk dikenali, namun ia merasa mengenal pemilik kepala itu..
ana tidak memimpikan Ilham malam tadi, ia bermimpi tentang Tari. Ia berpamitan berurai air mata seolah ada dendam yang belum terbalas di dunia fana ini. Namun ia tidak berpesan tentang dirinya, namun tentang "mereka", entah siapa...
Seketika ia terbangun terengah dan bermandi peluh, membelalakan mata di ruang yang gelap gulita. Pikirannya tidak lagi pada Tari, ia memikirkan Ilham. Sesuatu pasti telah terjadi malam itu, dan itu bukan baik sempurna.
_________
Hari itu semua siswa hanya akan belajar setengah hari, karena setelah lewat pukul 12 semua akan bekerja bakti untuk membabad habis ilalang di halaman belakang. Sore hari nanti, perlengkapan pensi akan tiba dan langsung dipasangkan.
Stand-stand yang terbangun dari bambu akan dipasang mengelilingi lapangan, tempat bagi para siswa dan sponsor untuk menjajakkan barang mereka atau sekedar melepas lelah sehabis menonton konser, jalan cemara akan disulap serupa labirin pertunjukkan hasil kreasi SMA ini.
Tentu, banyak persiapan teknis dilapangan yang perlu dilakukan seksama. Mulai dekorasi stand sampai desain panggung, dari keamanan pihak kepolisian sampai dengan pembersihan toilet berbau pesing bertai. Seharusnya semua berjalan baik-baik saja..
Namun, disudut lapangan beberapa orang bergerombol berbicara serius setengah berbisik. Kabar pembersihan lapangan kemarin rupanya mulai berhembus, ada rencana dalam rencana yang harus dijalankan. Kali ini jauh lebih mendesak.
"Kapan rapat tentang pembagian tugas keamanan?"
"Nanti paling pas si Ilham datang"
"Polisi cuma jaga diluarkan? Seperti biasa?"
"Iya, seperti biasa"
"Bagus, kita jalankan rencana kita, jangan lupa alat-alatnya"
"Oh iya lupa, ada kabar baik dan buruk..."
"Apa?!"
"Pak tua itu tidak akan datang, kecapean kemarin. Tapi, satu lagi sepertinya mulai berubah sikap"
"Biarin, kita udah bisa ilmunya, kalau dia macam-macam, kita gabung dengan yang lain"
"Satu lagi kang, sepertinya Dodo terlalu berani kemarin.."
siswa itu berbicara tertahan, ngeri dengan apa yang terjadi kemarin malam.

"Hmm, kasian. Padahal dia aset berharga, loyal dan gampang direkrut. Biarin aja dia jadi martir kalo perlu"
Situasi sekolah yang terbuka menjelang pensi membuka pintu bagi mereka dari luar untuk berkunjung dengan tujuannya masing-masing. Tentu tidak semua tujuannya baik...
______
Semua orang memaklumi mereka yang tidak hadir setelah acara kemarin malam. Namun, Ge merasa ganjil dengan ketidakhadiran satu dari dua orang dikelasnya, hanya satu yang ia tahu pasti mengapa. Diteleponnya seorang teman yang juga tidak hadir untuk bertanya tentang kemarin malam.
Jawabannya membuatnya tercekat dan pucat pasi. Ia tidak bisa bertanya lebih jauh, sambungan itu mendadak terputus..

"ANJ*NG!"
_____
KRIIING

Bel yang seharusnya menjadi penanda dimulainya istirahat kedua hari ini berubah menjadi bel akhir. Setelah ini para siswa akan membereskan dan merapikan halaman belakang yang kini siap dipakai untuk pesta lusa nanti.
Ilham datang tiga puluh menit setelah bel itu. Wajahnya pucat pasi menandakan bahwa tubuh dan jiwanya terguncang hebat tadi malam. Pembersihan itu berhasil dilakukan, namun tidak pernah ia sangka bahwa itu akan seberat yang terjadi kemarin.
Ia memilih bungkam tentang detail kejadian kemarin, memilih langsung terfokus pada persiapan akhir acara. Bila ada yang mendesaknya lebih jauh, ia hanya berkata semua baik-baik saja..
___________
Seluruh warga SMA Cemara bergegas ke lapangan belakang, ilalang panjang itu harus di pangkas sempurna dan bila ada, seluruh ularnya harus pula dibunuhi. Semua harus benar-benar bersih dan rapi lahir batin.
Kali ini begitu tenang dan damai, tidak ada yang menggeram, berteriak, atau tiba-tiba tersungkur. Mereka melakukan itu sebaik-baiknya. Tidak ada yang menyadari dan membersihkan noda darah yang tampak masih baru ditengah lapangan..
Ilham hanya memandang dari kejauhan. Langkahnya terasa berat untuk mendekat. Ia butuh waktu untuk membiasakan diri setelah apa yang terjadi malam tadi. Namun ia paham satu hal, semua peringatan yang ia dengar sebelumnya adalah nyata.
Beberapa pasang mata melihatnya dari kejauhan, penuh tanya apa yang terjadi dengan Ilham. Ia sangat berbeda dari ia 24 jam sebelumnya. Matanya tampak kosong, seolah terbawa kesebuah ruang yang jauh entah dimana.
"Kok ada bekas darah sih?"
Seorang siswa terperanjat dan keheranan melihat noda yang tampak baru itu.

Beberapa siswa bergerumul melihat noda itu, namun dari kejauhan banyak mata memandang, menagih janji setelah tujuh senja.
Beberapa orang berkeliling lapangan untuk memastikan bahwa lapangan siap digunakan. Memastikan bahwa tidak ada sampah atau benda berbahaya yang akan mengganggu Sabtu nanti. Namun, mereka tidak hanya memeriksa hal itu, ada yang mereka tambahkan..
_______
Ruang kelas 9-X itu ramai hebat ketika disaat yang sama para siswa SMA Cemara membenahi lapangan belakang. Jam pelajaran mereka telah selesai, sekarang saatnya sesi dua pemantapan menjelang ujian akhir yang tinggal menghitung hari.
Beberapa bulan lagi mereka seharusnya akan berseragam putih abu, banyak dari mereka merasa itu adalah sebuah kepastian. Namun, bukan mereka yang berkuasa atas itu, juga bukan guru mereka, sehingga wajar bila sedikit siswa merasa waswas.
Kabar perhelatan besar sekolah sebelah telah terdengar sejak jauh hari di SMP ini, banyak dari para siswa memendam ingin untuk menonton acara tersebut meski tentu banyak yang melarang, waktunya terlalu dekat dengan ujian akhir. Namun gairah muda merekah sulit untuk dibendung..
Berbeda dengan banyak siswa lainnya, Lisa merasa tidak ingin menonton konser itu maupun melanjutkan sekolah ke SMA Cemara, tidak seperti kebanyakan teman sekelasnya. Baginya SMA itu biasa saja meskipun keluarganya berharap banyak ia dapat masuk sekolah tersebut.
Ia bersiap untuk melanjutkan sesi pemantapan kedua yang akan segera dimulai, berharap itu akan segera beres karena ia harus melanjutkan satu sesi lain pelajaran tambahan di rumah, sama seperti siswa lain melajutkannya di tempat les.
Bulan-bulan terakhir memang sangat diluar nalar, manusia-manusia yang bahkan belum bisa menikah itu dipaksa bekerja lebih giat dari pada mereka yang dibayar untuk bekerja. Lelah itu terasa, namun jiwa muda yang memuncak membawa mereka menembus batas kemampuan berkali-kali lagi.
Deva, teman sebangkunya berjalan pucat memasuki kelas dan langsung duduk di sebelah Lisa tanpa sapa. "Kamu kenapa? Kok tiba-tiba pucet?"
"Aku baru denger hantu, Sa!!"
Lisa mengerenyitkan dahi, batinnya menyangsikan hal itu, dipikirnya mana ada hantu di siang bolong seperti ini.
"Ah bohong kamu, masih siang kok!"
"Beneran, aku suer, aku denger gamelan di gudang bunyi sendiri. Hii, merinding aku.."
Obrolan mereka terhenti saat Bu Sabrina memasuki ruangan, wajahnya sama pucatnya dengan Deva..
_______
Lapangan belakang kini telah bersih dan rapi dari segala belukar setelah sebelumnya lelembutnya pun mengungsi entah kemana. Lapangan belakang, tidak pernah sebersih ini baik lahir dan batin. Membuat kelas 12 leluasa untuk menonton melupakan ketegangan yang mencekam.
Bulan-bulan ini memang penuh dengan ketegangan dan juga kekhawatiran, memicu beban berlebihan bagi jiwa yang masih tiga perempat dewasa seperti mereka. Apalagi, SMA ini punya nama yang harum di kota, mereka harus menjaga gengsi dan peringkat dengan amat sangat.
Kadang, beban itu terasa begitu berat apalagi ketika tiada yang mau mendengar kesah yang terperangkap ego jiwa muda. Tiada tempat berbagi beban selain dengan sahabat manakala orang tua dan guru kadang lebih menganggap mereka raga tak berkehendak
demi kebanggaan semata.
Kala itu minuman, obat, dan syahwat selangkangan terasa menggoda sebagai pengobat resah, menawarkan euforia sesaat yang amat memabukkan. Sementara yang tak beruntung lebih memilih menjadi jiwa penasaran yang bebas menghantui daripada terpasung raga tak bermakna selain nominal.
Beban berat yang juga membawa sebagian mereka buta dalam mengejar Tuhan, berharap Ia juga buta dalam menilai semata berdasarkan apa yang kasat mata, melupakan niat dibelakang. Berharap dapat memaksa surga bagi mereka semata.

Namun Sabtu nanti persetan dengan semua beban itu.
Lupakan semua beban itu malam Sabtu nanti, biarkan waktu sejenak berhenti dan berpesta sebelum mengundi nasib dengan segepok doa dan rumus satu purnama mendatang. Kali ini mungkin adalah kali terakhir mereka datang dengan predikat siswa, tahun depan mereka sudah alumni.
Beban berat nama baik sekolah kini berpindah tangan sejenak kepada siswa kelas 11 yang menjadi panitia inti pensi, sebelum dalam beberapa bulan prestasi sekolah juga menjadi beban mereka juga. Ilham dan kawan-kawan paham betul itu, dan menjadi alasan dibalik obsesinya akan pensi.
Hari ini semua berjalan sesuai rencana, seluruh peralatan beserta kru yang bertanggung jawab untuk pemasangan properti pensi termasuk panggung sudah tiba. Dua hari kedepan sekolah akan sangat ramai oleh para pekerja dan juga siswa. Beruntung, sekarang tidak ada yang mengganggu.
Stand bambu akan dipasang pertama karena akan langsung di dekor esok hari, semua properti stand telah diselesaikan jauh hari dan tinggal dipasang sempurna agar elok. Sengaja tidak rempet dengan tembok, memberi ruang untuk barang keperluan stand dan maksud lainnya.
Beriringan dengan itu, panggung juga akan dirakit agar berdiri megah dan siap untuk check sound besok malam. Beberapa ruang kelas dibelakangnya akan disulap menjadi ruang ganti artis dan juga gudang peralatan panggung. Semua disesuaikan dengan permintaan para artis tersebut.
Andha yang bertugas sebagai ketua penghubung panitia dan para artis telah memastikan daftar permintaan mereka telah dipenuhi, kecuali beberapa yang kelewat gila. Menjadi seorang penghubung bukanlah sebuah tugas mudah dan elegan seperti yang banyak orang pikirkan.
Mereka harus menghadapi permintaan-permintaan ganjil para artis mulai dari teknis panggung, fasilitas, akomodasi, jumlah penonton, dan bahkan godaan untuk menjadi ayam satu malam untuk mereka. Andha sudah berapa kali menerima tawaran itu, ditepisnya semua dengan halus.
Ia tahu banyak siswi melakukan itu bahkan dengan sukarela, bukan mendapatkan rupiah, namun sekedar perhatian yang semakin langka mereka dapat. Ia tidak ingin itu terjadi, ia masih punya mimpi yang ingin ia kejar jauh, tidak ingin semua terhenti lebih cepat, ia harus bertahan.
Kini, tugasnya setengah beres. Seluruh artis setuju untuk tampil tanpa perlu mengorbankan apa yang tidak perlu. Seni negosiasi manis nan elegan Andha dan timnya rupanya berhasil kali ini.
Namun tidak semuanya bisa dinegosiasikan, tidak semuanya bisa dirembukan dengan tenang. Beberapa memerlukan darah, atau setidaknya segelintir orang menganggapnya begitu. Begitu keras dalam berpendapat, menutup ruang perbedaan dengan kaku.
Mata mereka kini mulai melirik dengan seksama kepada Ilham sang ketua panitia dan Heru, kepala divisi keamanan. Ada celah mengemuka saat ini yang sayang untuk dilewatkan mengusir mereka pembawa penyakit selamanya..
_____
Pukul 14.30 terasa terlalu cepat datang bagi sebagian orang dan terasa lama bagi yang lainnya. Perihal waktu yang ditanggapi berbeda sebagai sebuah hal yang wajar. Seperti halnya di ruang kelas 9-X, dilantai dua SMP Pucuk yang berbatasan dengan SMA Cemara.
Waktu itu terlalu lama datang pagi para siswa yang lama merasa bosan dan terasa terlalu cepat bagi Bu Sabrina yang dilanda kekhawatiran hari esok para siswanya. Para siswa bergegas bahkan sebelum Bu Sabrina tuntas membenahi semua barang bawaannya.
Mereka terburu meninggalkan sekolah, beberapa hanya memiliki satu atau bahkan setengah jam sebelum bergelut dengan tema yang sama di tempat les. Sementara lainnya memilih melepas penat dan bosan dimanapun itu.
Deva terburu pulang, ia memilih melewatkan jadwal lesnya. Ia terlalu lelah disekolah, melalui tumpukan buku pelajaran dan diselingi suguhan horor bukan apa yang ia mau. Drama Korea mungkin bisa ia lahap dirumah dengan tenang, melayangkan mimpi serupa Cinderella modern tinggi
Ia bergegas pulang bersama Lisa dan teman-temannya yang lain, berbagi angkutan umum untuk ditumpangi bersama dengan tujuan berbeda sepanjang rute, bila beruntung mungkin bisa mendapatkan wajah rupawan anak sebelah..
Siang menjelang sore itu terasa berbeda dengan sebelumnya. Sedikit lebih sesak dari biasanya. Padahal rasanya tidak ada banyak orang baru di sekolah. Bagi beberapa siswa, itu menguatkan alasan mengapa mereka harus cepat pergi hari ini.
Ada rasa geli menggelitik tengkuk sampai ubun-ubun Lisa ketika melewati ruang kesehatan. Konon, tempat ini dihuni suster gaib yang menyeramkan. Ia tidak pernah percaya dengan hal seperti itu, berbeda dengan kakanya Rika yang sering merasakan apa yang tak kasat mata.
Kakaknya memang berbeda, jiwanya bebas tidak terkekang dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan kakek, nenek, serta omnya yang berpikiran liar. Seolah tidak peduli dengan nama besar keluarga, lengkap dengan segala tragedi, kutukan, dan anugrah dibelakangnya.
Lisa hanya bisa bermimpi menjadi seperti kakaknya yang selalu mendukungnya menjadi dirinya sebenarnya. Namun itu tidak mudah bagi Lisa. Tidak seperti rasa mencekam yang ia rasakan sekarang, terasa semakin jelas dan nyata tanpa perlu tegas terlihat.
Namun kali ini, bahkan beberapa temannya pun mengelus tengkuk ketika melewati ruangan yang selalu terasa gelap dan lembab tersebut..
_____
Mukanya masih memutih memancarkan letih, namun ada yang harus tetap Ilham lakukan dengan Heru yang sama pucat. Malam ini, tim keamanan mulai bekerja hingga lapangan kembali kepada wujud tadi pagi. Para anggota sudah dipilih lama, namun tidak dengan pembagian tugas jaga.
Tenaga harus dihemat menjelang malam puncak yang selalu sulit untuk ditebak, kawasan sekolah yang luas membuat tim keamanan kurang kuasa untuk mengamankan itu paripurna. Sulit untuk memastikan acara bebas dari alkohol, obat, dan laku bejat pengunjung..
Belum lagi, seringkali ada keributan tak perlu karena hal sepele, seremeh kaki terinjak, gesekan tak disengaja, atau masalah lawan jenis. Dan tentu beberapa pengunjung sering kehilangan kesadaran atau sekedar terjatuh lunglai ditengah pesta.
Namun, simpan pekerjaan berat itu untuk nanti. Saat ini lebih penting untuk memastikan ada yang mau bertugas untuk pekerjaan membosankan, menunggui properti pensi termasuk stand dan panggung.

Dinginnya malam bukan waktu yang
pas untuk memelototi barang-barang itu.
Apalagi, tahun-tahun belakangan ini memang tidak ada yang berani mengutak-atik peralatan tersebut atau sekedar iseng menyentuh. Namun bila ada, prahara tentu terjadi begitu buruk, membuat angan pesta menjadi nestapa.
Setelah berembuk dengan separo tenaga tersisa, anggota Al Fikr akan berjaga malam ini ditemani sebagian kecil anggota ekskur lainnya. Mereka dengan bekal ilmu bela diri akan sangat dibutuhkan Sabtu nanti, namun untuk saat ini, mereka terlalu butuh istirahat..
Di kantin belakang yang sepi, mereka melepas penat sisa tadi malam. Lintingan tembakau dan dua gelas kopi bukan pilihan sehat memang, namun mereka butuh itu untuk terjaga, setidaknya sampai beberapa jam kedepan, mencoba memastikan semua berjalan semestinya.
Setelah kejadian semalam, Heru heran mengapa harus Al Fikr yang berjaga malam ini.

Heru sisa kewarasannya mempertanyakan itu.
"Teu nanaon kitu Ham?" (Ga papa gitu Ham?)
"Teu nanaon, tibatan kabeh tepar pas Sabtu" (Ga papa, dari pada tepar semua pas Sabtu).
"Urang rada paur euy"
(Aku agak khawatir)

"Urang nyaho, tapi tibatan kabeh tepar engke, jaba jurigna ge euweuh. Maranehna moal bisa macem-macem)

(Aku tahu, tapi daripada sebuah kelelahan nanti, apalagi hantunya juga sudah tidak ada. Mereka tidak akan macam-macam).
Beberapa jam sebelum gelap, Ge bertemu seorang kawan lama pusat kota, tempat seharusnya pasak kembar kota berdiri. Sudah lama mereka tidak berjumpa karena kesibukan yang menyiksa. Kali ini pun ia datang sekedar memberikan tiket yang telah ditebus sebelumnya.
Bersenda gurau dan mengenang masa lalu di SMP membuka pertemuan dua karib lama. Ia takjub dengan pensi SMA Cemara, namun hanya dijawab murung oleh Ge.
sebuah tanya tentang seorang kawan lainnya yang berasal dari satu SMP
"Si eta sarua di Cemara pan Ge?"
(Dia sama di Cemara kan Ge?)

Pertanyaan itu hanya dijawab anggukkan pucat penuh penyesalan oleh Ge.
Mereka memiliki seorang teman satu SMP yang secara tidak terduga berhasil masuk SMA Cemara, hampir dua tahun yang lalu. Ia anak yang baik namun pendiam karena masa lalu yang kelam dibelakangnya dan beban dipundaknya..
Ia berasal dari keluarga kurang mampu, dibesarkan oleh hanya seorang Ibu yang hanya bekerja serabutan. Ayahnya sudah lama pergi, sementara kakaknya hanya bekerja serabutan, tidak mampu mengenyam pendidikan lebih tinggi. Keadaan yang membebaninya menjadi tumpuan dimasa depan.
Ibu dan kakaknya awalnya bersikeras agar ia masuk SMK agar cepat bekerja. Namun nilai UN SMPnya yang tinggi dan kenginginnya untuk masuk SMA Cemara membuat luluh keluarganya, mengizinkannya untuk masuk kesana. Besar harapan bahwa ia satu saat dapat merubah nasib keluarga..
Namun, beban itu menjadi semakin gila di SMA Cemara. Perpaduan ketatnya persaingan antar siswa, orientasi nilai, dan gaya hidup yang tinggi membuat keresahannya semakin besar, membuatnya merasa tersisih untuk kemudian menjauh dan menyendiri.
Keresahan yang menjadi mangsa empuk bagi mereka yang mengintai. Jiwa muda yang labil, yang merasa hidup tidak adil adalah apa yang mereka cari. Mudah untuk menyusup dalam benak dan akal, memaksakan pemahaman tanpa perlu panjang berpikir.
Ia kemudian banyak masuk kajian mereka, bahkan beberapa kali tidak terlihat dikelas. Nilainya menurun, namun ia merasa biasa saja. Selalu ada harga untuk sebuah perjuangan, setidaknya itu yang selalu dijejalkan mereka kedalam kepalanya yang haus pembenaran.
Enam bulan setelahnya, sikapnya berubah. Ia menjadi lebih berani berucap terutama masalah agama. Tak segan berkata "kafir" bagi mereka yang berbeda. Ia menjadi lebih keras ketika perbedaan pemahaman agama mengemuka, menimbulkan rasa tidak nyaman bagi teman-temannya termasuk Ge.
Ia dijauhi manakala darah mereka yang berbeda pandangannya seolah halal dihirup. Memicu keresahan dan kebencian dari para siswa yang terhanyut darah muda yang membara, tanpa mau mencari alasan dibalik sikap itu, memilih mengamankan ruang nyaman sendiri-sendiri.
Tidak terhitung berapa kali
ia mendekat dan menawarkan pemahaman yang entah datang darimana itu. Menghadirkan galau atas hakikat hidup dan menyeret mereka untuk paham tanpa perlu banyak merenung dalam.

Bergabunglah, dan surga untukmu. Biarkan mereka membusuk di neraka...
Sesungguhnya ada saat dimana harapan itu ada ketika ia bergabung dengan Insaniyah, namun melihat banyak kawannya yang sealiran juga bergabung, membuka rasa curiga lainnya.

Entah Insaniyah hanya wadah mereka lainnya atau justru sedang dimanfaatkan mereka...
Ge jengah dengan itu semua, baginya semua doktrin itu terasa dipaksakan ruang bagi keliaran akal. Semakin dipaksakan semakin ia akan lari menjauh. Namun disisi lain, ia merasa juga memiliki beban untuk menjaga temannya..

Dan telepon tadi siang memastikan bahwa ia memang gagal!
Lamunan Ge tentang Dodo terhenti manakala temannya meneluk bahunya keras, "Ngalamun wae!" (Melamun saja!)

Ge hanya tersenyum getir..
____
Malam itu disebuah rumah yang ramai, Pak Arif dan Pak Tikno bertemu kembali setelah hampir 24 jam lalu berpisah. Mereka hanya saling sapa singkat sebelum melakukan laku ritual untuk Tari. Sesuai janji, Pak Arif datang meski masih lelah dengan peristiwa kemarin.
Acara itu berlangsung khidmat, kedua orang tua Tari kini telah mengikhlaskan kepergian putrinya. Mereka jauh lebih tenang dibandingkan saat acara 3 dan 7 hari kepergian Tari. Pak Arif lega melihat itu, tiada lagi beban mengganjal bagi Tari sekarang.
Selepas acara dua pria paruh baya itu menyempatkan mengobrol ditemani kopi hitam manis dan rokok kretek tanpa filter. Mereka tahu, sekolah kini sedang ramai, namun semua akan baik-baik saja..
Pak Arif melihat lengan Pak Tikno yang kemarin menganga. Namun kini tidak ada bekas luka sedikitpun disana. Beliau hanya tersenyum, digorok lehernyapun Pak Tikno tidak akan mati dengan mudah, dan beliau pernah melihat itu.
Namun tidak peduli betapa sakti mereka, akhir dari malam kemarin tetap memicu rasa getir. Tidak semua dapat dilawan dengan kekuatan, beberapa hanya membutuhkan niat yang tulus, yang kadang lebih sulit daripada memindahkan gunung.
Mereka bersepakat bahwa sekolah akan bebas dari penghuninya yang halus selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu mereka akan kembali. Celaka bagi mereka yang mengingkari itu..

Namun, satu yang luput tak terduga. Sebuah kutuk terlanjur keluar dan sulit untuk ditentang..
Karunya budak eta, teu kuduna jadi kitu"
(Kasihan anak itu, tidak semestinya menjadi begitu).

Pak Tikno mengepulkan asap rokok mengangkasa merasa iba terhadap seseorang yang bahkan tidak menyadari apa yang ia hadapi.
________
Hari ini Bu Sabrina memutuskan untuk datang lebih lambat. Ia tidak ada kelas di Jumat pagi. Pagi ini, pemantapan sesi satu di SMP Pucuk diganti dengan kegiatan membersihkan sekolah. Namun, tentu saja beberapa siswa juga memanfaatkan itu untuk datang lebih siang.
Rentetan kejadian kemarin membawa tanda tanya besar dalam pikiran Bu Sabrina, sekolah itu terasa berubah dalam satu malam. Semua sosok yang hanya ada dalam mitos konyol siswa mendadak menyeruak muncul nyata disana tanpa ada yang mengundang..
Kemarin, sosok yang berada di keremangan pagi hanyalah pembuka bagi rentetan kejadian ganjil setelahnya.

Bu Sabrina melihat mereka lebih jelas kemarin siang..
Siang itu sebelum memasuki kelas pemantapan sesi kedua, Bu Sabrina hendak melakukan sholat. Namun, ketika tengah bersuci, ia merasa seseorang juga tengah berwudhu disebelahnya. Beberapa kali airnya terpercik ke tangan beliau. Namun sungguh, disana tidak ada siapapun...
Namun ketika berbalik, bulu kuduknya meremang seketika dan beliau hampir kehilangan kesadaran. Sesosok tangan tanpa badan melayang serupa sedang melakukan wudhu pula untuk menghilang detik kemudian.
Aneh, bahkan bila sekolah sebelah maupun sekolahnya sedang berhajat besar tahun-tahun sebelumnya, tidak pernah ada kejadian ganjil seperti ini..
______
Hari ini menjadi hari yang pendek bagi siswa SMP Cemara. Ritual wajib Jumat siang membuat hari terasa lebih cepat usai. Tidak ada tambahan bagi kelas 9 hari ini, setidaknya di sekolah, banyak siswa akan melanjutkan pelajaran di tempat les masing-masing.
Sayup terdengar kabar tentang pensi besok di sekolah sebelah. Meskipun dilarang, namun beberapa siswa kelas 9 nekad datang juga. Ini kesempatan bagi mereka merasakan sensasi putih abu yang tinggal hitungan bulan mereka rasakan, mereka butuh persiapan, dan ini saat yang tepat.
Bu Sabrina dan guru-guru lainnya menghela nafas, bila pemantapan esok tetap ada, pasti akan sepi peserta..
Lisa tidak punya jadwal lain selepas sekolah, ia berencana mengunjungi kantor Ibunya untuk mendapatkan uang tambahan, lumayan, bisa ia pakai membeli DVD yang baru yang bisa ia tonton bersama kakaknya dan mungkin teman-teman kakaknya yang rajin berkunjung.
Kadang ia heran mengapa kakaknya begitu santai dengam ujian akhir yang harus ia jalani lebih dulu, disusul seleksi masuk perguruan tinggi yang sangat ketat. Ia yang hanya menghadapi satu ujian saja sudah ketar-ketir, sementara kakaknya hanya bersantai ria.
Ia sebenarnya enggan berkunjung ke kantor ibunya, akan selalu banyak mengganggu terkait ujian akhir, dan lagi akhir-akhir ini beberapa kali muncul pertanyaan tentang kondisi sekolah, khawatir kerasukan akan terjadi juga disekolah itu.
Keluarganya sebenarnya berhubungan erat dengan yang gaib, namun toh seumur hidup ia tidak pernah merasakan atau melihat itu langsung. Hanya keluarga dan teman-temannya yang kadang bercerita, menghadirkan takut yang menusuk tanpa alasan pasti.
____
Sementara di SMP Pucuk, ramai terdengar suara bising dari tetangganya yang hendak menggelar pesta esok hari. Bukan situasi yang ideal untuk belajar, namun syukurlah bahwa semua siswa telah dipulangkan hari ini.
Beberapa guru masih berada disekolah guna menyelesaikan beberapa pekerjaan yang menggangu waktu bersama keluarga esok. Bulan-bulan terakhir memang menyita banyak waktu bersama keluarga, menghadirkan banyak tanya mengapa ayah dan ibu jarang di rumah.
Beberapa guru mulai bercerita bahwa tempat ini terasa tak lagi sama, lebih mencekam dari biasanya. Sejak kemarin, sering bulu kuduk mereka berdiri misterius. Beberapa seperti Bu Sabrina bahkan melihat penampakkan langsung yang membuat lemas. Namun, tidak ada yang tahu mengapa.
Hari semakin sore ketika tinggal beberapa kepala tersisa di sekolah. Di ruang guru, hanya tinggal Bu Sabrina seorang, bergegas untuk segera pulang setelah berbelanja kebutuhan rumah terlebih dahulu.

Namun beberapa sosok juga tidak suka menunggu lebih lama untuk beliau pergi.
BRAAGH!!

Sebuah laci besi yang lupa ditutup tetiba tertutup keras tanpa ada yang menyentuhnya.

Bu Sabrina kaget bercampur takut dan segera berlari keluar..
Sementara itu di dalam ruang guru beberapa sosok tampak seperti bayangan, berjalan hilir mudik tanpa arah..
______
Situasi mencekam di SMP Pucuk berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di SMA Cemara hari Jumat itu. Suasana sekolah ramai luar biasa melebihi hari biasa meski tidak ada kegiatan belajar hari itu.
Panggung megah telah berdiri sejak siang dan peralatan diatasnya menyusul beberapa jam kemudian. Sementara tim tata suara dan artis sibuk dengan panggung, para siswa sibuk dengan menghias stand mereka masing-masing bersama dengan beberapa dari pihak sponsor.
Sponsor itu tidak seberapa banyak menghabiskan area stand, namun cukup membantu untuk dana dan terutama publikasi. Menutup semua kekurangan acara tanpa pernah terungkap.
lham tampak lebih segar hari itu, bersemangat mengawasi persiapan akhir termasuk membantu Andha dan timnya mempersiapkan permintaan para artis. Kesibukan hari itu mampu membuatnya lupa tentang apa yang terjadi malam itu.
Akhirnya setelah sekian lama, mereka mampu mengundang artis yang tepat, dalam artian konsep, uang, dan massa. Tidak terlalu banyak dana yang dikeluarkan, namun mampu menyedot massa yang besar, sesuatu yang sulit terlaksana tahun-tahun belakangan.
Lintas genre dan label, mengekspresikan cara berbeda dalam berkreasi. Keberagaman dalam bermusik itu dipikir Ilham sebuah upama dari negerinya, pesan yang entah sampai kepada pengunjung atau tidak, ia tidak ambil pusing.
Pesan utama dari konsep pensi biarlah disadari nanti. Ia tahu dari ayahnya yang preman pensiun dan menjadi pemuka agama dan dari belasan orang seperti beliau, bahwa disana banyak yang tersenyum jijik kepadanya karena itu. Namun kali ini dekat dan nyata.
______
Heru disisi lain, bersiap mengatur pembagian kerja untuk esok hari bersama tim keamanan. Seperti yang telah diduga sebelumnya, pihak kepolisian hanya akan berjaga diluar, membantu pemeriksaan barang-barang pengunjung, selebihnya tanggung jawab pihak panitia dan sekolah.
Cukup suguhkan sesajen secukupnya dan semua akan berjalan baik-baik saja bila tidak ada prahara didalam. Bila ada, maka biarlah selama aparat tidak tahu..
Sepakat dengan kesepakatan tidak tertulis itu, Heru harus memastikan semua baik-baik saja saat acara berlangsung. Mereka rantai terbawah dalam hierarkis tanggung jawab, keributan terjadi dan selesai sudah semuanya.
Untungnya, pembagian tugas berlangsung dengan lancar tanpa ada perdebatan panjang, berbeda sekali dengan malam pembersihan. Heru tidak curiga, mungkin semua sudah paham bahwa ini adalah acara mereka bersama.
Kadang kepentingan bersama yang mendesak mampu menyatukan berbagai perbesaan pandangan dan kepentingan sendiri meski hanya sementara. Heru tak ambil pusing dengan itu, bila itu hanya terjadi sekali ini saja, maka biarlah itu berjalan indah.
Serupa dengan harmoni yang terbangun ketika kepentingan sama bertemu mesra, pemiliknya meminta imbalan yang bisa diberikan dari pertemuan itu, atau biarlah mereka memaksakannya..
______
Nana tersenyum puas sore itu, manakala terowongan pembebasan kreativitas, begitu mereka menyebutnya, telah terpasang rapi dengan indah. Sebagian besar pembuatan terowongan itu termasuk ornamennya memang merupakan idenya, ia senang akhirnya mimpinya berwujud nyata.
Tentu perwujudannya terasa absurd mengakomodasi keliaran pikirannya, namun untungnya Ilham selalu disana membantu, membuat absurditas itu lebih membumi dan dapat dimengerti agar terasa indah.

"Ini untukmu Tari..."
______
Tidak semua siswa SMA Cemara berada di sekolah hari Jumat itu, beberapa berada di kedai internet atau rumah untuk melakukan promosi tahap akhir guna menggaet lebih banyak pengunjung. Sementara beberapa lainnya berkeliling untuk memberikan tiket pesanan.
Tidak semua pengunjung adalah mereka yang menggunakan seragam putih abu, banyak yang berkuliah, dan tidak sedikit pula yang telah bekerja dan bahkan paruh baya. Komposisi artis lintas genre dan generasi tampaknya mampu menarik banyak pengunjung.
Semua yang terkungkung penat rutinitas memerlukan hiburan tersendiri, mungkin bagi mereka pensi ini adalah hiburan yang tepat, menikmati penampilan idola lama sekaligus merasakan kembali membaranya jiwa muda. Namun tentu beberapa seringkali melampaui batas.
Sore itu Rafa berkunjung ke rumah pamannya yang berada jauh di selatan kota, meski telah usia telah berkelala empat, namun tidak ada pensi SMA yang terlewat selama ia memiliki waktu. Sejujurnya ia membeli tiket dari Rafa juga karena khawatir banyak tempat kosong di pensi ini.
"Ieu Mang, sapuluh tiket nya?" (Ini Mang, sapuluh tiket kan?)
"Heueuh, sip atuh Raf"
"Kanggo saha wae Mang?" (Untuk siapa aja gitu Mang?)
"Biasa, baturan pan osok keneh nonton nu kieu hehe" (Biasa, teman-teman kan masih suka juga nonton yang begini hehe).
"Geus kajual sabaraha Raf tiketna?" (Sudah terjual berapa Raf tiketnya?)
"Hampir sold out mang tiketna, Alhamdulillah"

Pamannya mengerinyitkan dahi keheranan, ini sedikit diluar dugaan.

"Kunaon Mang?"
"Teu nanaon Raf".
______
Disebuah rumah bercat abu-abu berpagar hijau tua, seorang siswa SMA Cemara resah bukan kepalang. Pikirannya bergelut dalam kalut yang memuncak sebelum pensi digelar esok. Kejadian Rabu malam sudah membuatnya gila dan kini ditambah urusan rumah.
Rumah lama bergaya arsitektur tahun 1960an itu semakin sering dikunjungi mereka yang tak kasat mata, membuat adik kecilnya meraung ditengah malam dan membuat kucingnya mengeong sepanjang malam..
Malam-malam terakhir memang lebih ramai dari biasanya. Suara tangis anak kecil maupun bayi, entah itu berwujud atau tidak, ramai terdengar nyaring. Anjing tetangga di pojok kompleks pun tak henti menggonggong dan mengaum serupa ajak liar semalam suntuk.
Sementara itu, pikirnya masih belum juga mampu berdamai dengan teror yang nyata menari di benak, apa yang ia bicarakan dengan Ge kemarin di udara.

Kutuk apa yang menanti atas kelancangan mereka malam itu..
Hari yang dinanti itu tiba dan tentu disambut suka cita bahkan oleh kepala sekolah SMA Cemara. Sikap beliau berubah tajam setelah dijanjikan sesuatu yang istimewa malam itu, sebuah trik kecil Ilham yang dilakukan Andha nampaknya sukses meluluhkan hati pria itu.
Ilham tahu, Andha mudah menarik simpati seperti yang ia lakukan kepada para artis, dengan jeli pula ia menyuruh temannya itu melakukan rayuan yang sama kepada kepala sekolah. Sesuai dugaan, beliau luluh, sudi untuk datang dan naik panggung saat puncak acara.
Esok Minggu adalah hari jadi beliau, Andha mengundangnya untuk menaiki panggung saat pergantian hari dan menerima kue dan lagu ulang tahun dari bintang tamu utama. Tawaran menggiurkan yang terlalu menggoda untuk ditolak, menjadi awal baik bagi kepemimpinannya.
Tidak ada lagi aral yang terasa melintang kini. Menjelang subuh tadi, semua tampak sempurna, persiapan matang digelar dan daftar urutan persiapan wajib telah tercoret habis. Dalam beberapa jam acara siap dibuka.
Tidak ada sesuatu yang luar biasa terjadi selama malam persiapan kemarin, semua berjalan sesuai dengan harapan, termasuk rasa lelah yang menggila setelah terjaga semalam suntuk. Tidak ada waktu bagi mata untuk terpejam ditengah suara keras memekakakkan.
Tim keamanan dan medik memastikan sekali lagi tentang keamanan acara, memikirkan berbagai kemungkinan terburuk dan solusinya ditengah tabuhan drum dan lengkingan gitar elektrik.

Beberapa juga memastikan bahwa tidak ada penyusup gaib, untuk malam nanti dan mungkin selamanya
Acara akan dimulai pagi hari meski hampir tidak akan ada pengunjung selain siswa Cemara yang datang untuk mengisi stand barang dagangan. Beberapa grup musik sekolah akan hadir menghibur meski entah siapa yang merasa terhibur disaat sepi itu. Namun toh mereka tidak peduli..
Perlahan acara akan menanjak menjelang sore dan mencapai puncak malam hari selepas Isya saat bintang tamu utama mulai menaiki panggung, membakar semangat dan euforia yang membuncah sebelum ditutup saat pergantian hari..
Sebelum itu terjadi pun, pesta itu telah nyata dirasakan terutama oleh para panitia. Malam ini ribuan bahkan belas ribu pasang kaki akan bersesakan dilapangan belakang yang melompong ditinggal para penghuninya yang gaib..
Namun berbeda dengan yang terlihat dan terasa di SMA Cemara, yang terjadi lain tempat sangat berbeda, terbalik mencekam dan kehilangan asa. Perlu waktu lama bagi Pak Tikno dan Kang Jejen untuk pulih setelah malam itu, perlu waktu lama pula bagi Pak Arif untuk merenung dalam.
Apa yang terjadi malam itu membuat sebuah pertaruhan ganjil antara halus dan kasar. Pertaruhan sinting karena yang dipertaruhkan tidak merasa menjadi barang taruhan, sekaligus menentukan nasib mereka sendiri.
Setelah tujuh hari janji harus ditepati atau ada kutuk yang harus ditanggung. Sebuah kemalangan harus diresapi dan nyawa harus tercabut. Sementara menunggu, mereka yang kehilangan pasak mengembara tak tentu, mengajak menjerit siapapun yang melihat.
Mereka bertiga yang malam itu serupa tiga yang sakral di tanah ini tahu dan paham benar, mereka melakukan apa yang mereka katakan, sementara mereka bertiga terlalu lemah untuk memastikan bahwa pihak mereka juga memegang hal yang sama..
_______
______
PESTA

Dua orang itu menyerocos tanpa jeda membicarakan banyak hal dalam satu tarikan nafas tanpa terengah jelas. Kadang saling menatap untul kemudian melihat jelas kedepan. Sampai satu kalimat tanya terdengar jelas.

"Sudah siap melanjutkan Cemara Fest?!"
"SIAAAAP!!!"

Suara itu keras bergemuruh mantap membahana dari seluruh penjuru. Ribua orang menjawab serempak. Pesta berlanjut setelah mentari tenggelam meninggalkan sinar jingga yang kian tipis dilangit menghitam. Pesta sebenarnya baru dimulai.
Tidak lama, alunan musik khas Jamaika menghentak, seorang dengan gaya Rastafari muncul dari balik panggung diringi riuh tepuk tangan penonton. Semua bergoyang semua bernyanyi, malam itu tidak perlu daun ganja untuk dapat mengangkasa.
______
Terpisah ruang ratusan meter dan waktu puluhan menit lalu, didepan rumah yang tampak usang, berkumpul sekumpulan anak muda belum genap 18 tahun. Mereka mengobrol pelan setengah berbisik dan sesekali melirik kiri kanan seolah takut ada yang mendengar.
Seorang yang bersandar pada tiang kabel telepon yang mulai beralih fungsi itu menghisap rokok dalam sebelum menghembuskannya kuat ke udara.

"Urang nyaho bakal kieu, bakal loba nu caricing didieu"
(Aku sudah tahu bakal begini, bakal banyak yang berdiam disini)
"Anjis, rek nepi ka iraha? Adi urang nangis wae tiap peuting, urang teu bisa sare!"
(Anjis, mau sampai kapan? Adikku menangis terus sepanjang malam, Aku tidak bisa tidur!)

"Lah, maneh pan nu milu ngabersihan Lang!)
(Lah, kan kamu yang ikut ngebersihin Lang!)
"Lain urang, maranehna nu ngotot!"
(Bukan aku! Mereka yang ngotot!)

"Tapi milu pan? Kabeh aya konsekuensina Lang. Ayeuna erek terus jiga kieu?"
(Tapi ikut kan? Semua ada konsekuensinya Lang. Sekarang mau terus kaya gitu?)
Pemuda itu tertegun, gagasan itu awalnya dianggap sempurna, untuk mengusir tuntas lelembut itu dari sekolah sekali dan selamanya malam itu. Hal itu dilakukan perlahan dan samar, banyak yang tidak suka dan tidak setuju. Namun mereka tidak bergeming..
Malam itu, ia sempat bertanya apa tidak mungkin memindahkan mereka ke tempat lain yang kemudian hanya dijawab anggukkan oleh Kang Jejen. Sementara yang lainnya tersenyum sinis dan bergumam jelas bahwa tidak ada negosiasi dengan mereka yang tak kasat mata.
Mereka keras berpendapat sementara Elang hanya bisa diam, menatap Kang Jejen meminta harapan. Namun ia tahu, Kang Jejen melakukan itu mungkin terlalu sering, terlalu berbahaya bagi mereka yang julid.
Namun, banyak temannya yang kemudian kecewa dan memaki kemudian, ketika malam itu diambil alih oleh tiga pria paruh baya yang seolah tetiba berkuasa. Mereka bertiga tidak lebih dari sosok abu-abu yang gamang melangkah, sementara hidup itu dipikir serupa hitam putih
Tidak ada ruang menari diatas pembatas tipis dua pilihan berlawanan, seolah persetan dengan netral dan adil yang nisbi itu. Hanya pilihan hitam dan putih, tidak memilih keduanya, tidak pula tidak memilih keduanya.
"Mereka harus memilih tegas, hidup itu pilihan. Menjadi putih kamu bersama kami, bila memilih hitam maka kamu kami habisi"

Kata itu terngiang dibenak Elang sebelum memutuskan menjauh. Ia memilih abu, sementara lawan bicaranya sore itu memutuskan hitam untuk putih.
Ge membuang rokoknya dan menginjaknya dengan sepatu murahnya. Menatap Elang yang melamun menunduk.

"Teu aya nu dibawa pan?"
(Tidak ada yang dibawa kan?)
Kata-kata itu mengagetkan Elang dan membangunkannya dari perjalanan akal ke masa lalu. Ia terkesiap dan berkata

"Teu aya.."
Malam itu Kamis itu, tidak ada satu pun penghuni halus lapangan yang dibawa oleh mereka, dibiarkan pergi tak tentu arah sebelum berjanji kembali pada malam ketujuh..
______
Malam semakin meriah setelah seorang penyanyi solo menuntaskan lagu terakhirnya, melepaskan gitar akustik yang selalu erat dengannya dan berjalan mendekati microphone.

"Terima Kasih Cemara Fest!!!"
Tepuk tangan riuh terdengar dilapangan yang semakin padat sesak. Lagunya terasa indah bagi yang berpasangan, dan menyayat bagi yang sendiri. Namun, lebih banyak yang tidak peduli itu.
Salah satunya adalah Ilham yang berlari dari satu titik ke titik lainnya dengan handy talky ditangannya. Ia terus memastikan bahwa semua divisi menjalankan tugasnya dengan baik. Sejauh ini, begitulah yang terjadi, hanya , kecuali penonton yang membludak
Tim keamanan yang berjaga diluar jelas kewalahan, memaksa beberapa tim logistik beralih fungsi sementara membantu mereka di gerbang depan, jumlah pengunjung membludak menggila, mengular hingga keluar gerbang sekolah.
Heru sangat kewalahan dengan itu, entah berapa kali ia berteriak di melalui handy talky meminta tambahan orang, yang hanya mampu membawa beberapa orang gelagapan. Mereka harus mengamankan antrian yang semakin panjang.
Didalam, tidak ada yang menyadari beberapa orang menyelinap perlahan dibalik stand disaat mereka sibuk berjingkrak mengikuti irama musik rock yang menghentak kencang diiringi koor massal yang membahana. Kini, tidak ada lagi ruang kosong di tiga perempat lapangan.
Sulit untuk memastikan bahwa tidak ada yang ganjil dibalik kerumunan orang itu. Beberapa panitia yang berada ditengah penonton kini tidak lagi bisa bergerak bebas, sementara mereka yang memantau dari area panggung pun tidak dapat melihat jelas.
Suara sang vokalis terdengar melengking tinggi dan penonton semakin histeris melihat band idola mereka. Sementara di pinggiran lapangan, beberapa memilih menyaksikan dari jauh sambil bercengkrama dengan teman atau kekasih sembari menikmati kudapan sederhana yang dijual disana.
Semantara beberapa pengunjung yang baru tiba segera bergegas menuju lapangan, melewatkan terowongan kreativitas begitu saja. Detail renik yang disusun lama itu hanya bisa dinikmati sesaat ketika jeda panggung, itu pun hanya segelintir saja yang menyadarinya..
Lagu pamungkas dari band rock itu usai sudah dan disambut teriakan encore menggema serempak. Namun mereka berlalu meninggalkan panggung. Kini hanya ada hening sesaat, memberi jeda untuk pulang dari euforia. Namun, malam masih panjang...
________
Ilham mengehela nafas sejenak sebelum melanjutkan tugasnya, acara belum mencapai puncak, masih ada yang akan tampil sebelum artis utama naik panggung. Digunakan waktu itu untuk duduk santai di luar area pensi sambil merokok. Rokok pertama setelah beberapa jam lalu.
Mendadak hatinya terasa kosong dan sepi, seolah seluruh keramaian itu surut serentak meninggalkannya seorang diri. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menyeruak, samar namun jelas terasa. Ia menengadahkan kepala dan dilihatnya jelas apa yang tertinggal malam itu.
Samar ia dapat melihat mereka dari balik tembok sekolah, duduk dan melayang melihat ke arah sekolah dengan tatapan hampa. Mereka memang buruk rupa lebih dari mayat yang membusuk, namun mata mereka begitu hidup meski kosong..
Lirih Ilham bergumam,
"Terima kasih untuk malam ini, segera setelahnya kalian bisa pulang. Maaf.."
Sebelum sempat ia melihat seluruh mata itu memandangnya, penglihatannya lebih dulu tertuju pada sesuatu yang ganjil di satu sudut, sebuah bambu kuning yang diikat kain berada disana dikelilingi beberapa benda serupa batu.
Ia tidak pernah melihat itu sebelumnya, benda itu tidak pernah ia lihat sampai malam ini. Ia bergerak mendekat perlahan tanpa melihat bahwa yang memperhatikannya semakin antusias menatap.

Namun sebelum sempat ia menyentuhnya, telepon genggamnya berbunyi nyaring..
______

"KAMANA WAE HAM?! ETA HT HURUNGKEUNG BELEGUG!!
(KEMANA AJA HAM?! ITU HT NYALAKAN BODOH!!)
Suara di seberang telepon genggamnya keras menyalak serupa anjing liar mengejar buruannya. Disana ada Heru yang panik berujar, memimtanya segera merapat ke ruang OSIS ditengah sekolah.
Tidak sampai tiga menit Ilham sudah berada disana, ruang mungil bercat kuning pucat berpintu abu-abu yang setengah terbuka kini. Warna monoton yang selalu menjadi pilihan ditiap SMA. Didalam banyak sekali orang untuk ruangan sekecil itu. Beberapa berbicara dengan nada tinggi..
Ketika pintu itu dibuka, semua mata memandang Ilham, ada yang salah disini. Sepasang muda-mudi duduk bersimpuh menghadap lantai dikelilingi teman-teman Ilham, Heru salah satunya.
Mereka terpergok melakukan laku mesum di pojokan gelap, dan sang lekaki langsung dihadiahi bogem mentah sebelum ditegur. Adu mulut terjadi sengit sebelum akhirnya mereka dibawa ke ruangan itu.
Ilham heran, mengapa hal seperti itu bisa membuat keributan sebegini hebat.

Tiap tahun hal seperti itu selalu terjadi, bahkan dengan membaurnya penghuni halus, tidak pernah ada keributan seperti ini, tidak ada tinju melayang sebegitu mudah.

"Sebenerna aya naon Ru?"
Sebelum mendengar jawaban ia sudah ditarik oleh sahabatnya keluar. Heru bersandar pada dinding bercat sama dan menyalakan rokok tergesa, ia membutuhkan nikotin dengan amat sangat..
Dengan muka lelah, Heru mulai berbicara tentang apa yang harus ia hadapi selama pesta..

"Maranehna geus kaleuwihan!"
(Mereka semua sudah keterlaluan!"
"Maksudna?"
Heru bertutur, banyak anak buahnya bersikap beringas malam ini, tidak seperti tim keamanan tahun kemarin. Semua berkumpul di pojokan ditegur ketus, tidak jarang adu mulut terjadi, dan dua orang didalam ini yang paling parah.
Heru sudah ditegur dua polisi yang berjaga didepan, dan sungguh ia pun telah menegur mereka. Teguran yang berlalu serupa angin kencang sesaat. Tidak jarang mereka bahkan menghardik mereka yang melongo diantara celah stand dan tembok, setahunya tidak ada apapun disana.
"Ham, eta HT hurungkeun, urang menta bantuan budak logistik keur jaga"
(Ham, itu HT nyalakan, aku minta bantuan anak logistik untuk jaga)

Wajahnya memelas mengiba, bebannya diluar yang ia pikir sebelumnya.
"Enya, ku urang kontak ayeuna"
(Iya, dikontak sekarang)

"Tapi eta urusan jeung duasn eta bereskeun heula ayeuna, tong nepi panjang!"
(Tapi urusan dengan mereka berdua selesaikan dulu, jangan sampai jadi panjang)
Ilham paham, pekerjaan tim keamanan lebih berat sekarang dengan besarnya jumlah pengunjung. Penjagaan didepan saja sudah sedemikian menguras tenaga, belum lagi mereka yang bertingkah aneh malam ini.
"Ham, Pak Arif teu menta nyieun pager gaib tambahan pan?"
(Ham, Pak Arif tidak minta pagar gaib tambahan kan?)

Ilham mengerinyitkan dahi, bukan kah sudah dipagari sebelumnya untuk malam ini, apa maksud Heru pagar tambahan?..
Sementara itu dari kejauhan seorang paruh baya memanggil Ilham, ia tahu betul siapa beliau, Kepala Sekolah SMA Cemara..

Disaat yang sama, handy talky Heru berbunyi, suara diseberang terlihat panik, ia harus segera bergegas..
______
Ge menikmati pensi itu sambil menghisap rokok dipojokan, malam ini ia hanya berinteraksi dengan manusia saja. Mengobrol liar dengan temannya anggota pecinta alam yang sama rajinnya antara sholat dan minum arak.
Mereka mengobrol serupa berteriak, suara hingar bingar itu terdengat sangat memekakkan. Namun itulah yang mereka cari malam ini, suasana ramai dan musik yang tidak membuat telinga mereka pekak dirumah.
Ia melepaskan semua beban tentang pensi malam ini, masa bodoh dengan apa yang terjadi dibaliknya. Jiwanya butuh keliaran segila-gilanya malam itu dan arak itu jelas cukup membantu lebih dari yang ia kira.
Namun ia tercekat bukan main melihat paman dan sepupunya datang pula kesana. Segera dimatikannya rokok dan menyelinap pergi ke kamar mandi, ia butuh bersiap sebelum menyambut mereka.
Namun antrian disana panjang tidak terkira. Deretan toilet ini hanya mampu menyediakan pembuangan hajat bergilir bagi ratusan orang, bukan belasan ribu orang seperti ini. Melihatnya saja sudah membuat Ge lupa bahwa ia harus menghilangkan bau terkutuk itu..
Laki-laki dan perempuan berbaris serampangan di pintu toilet, sementara tempat kencing lekaki berbau pesing menyengat ini berubah fungsi menjadi tempat bersuci, membuatnya ingin muntah tetiba. Disampingnya seorang pemuda tampak sudah mendahuluinya.
Seharusnya itu terdengar menjijikan, namun kali ini menghibur sekali. Mereka yang berjaga tidak mengenal dalam apa minuman itu bisa dibawa, ingin putih tanpa perlu tahu sama sekali hitam itu.
Antrian itu nyaris tidak bergerak sama sekali, membuatnya bosan dan hendak langsung kembali ke lapangan. Entah apa yang dilakukan orang-orang itu ditoilet, mungkin sepasang sejoli yang agak jauh itu ingin memberi kode kepada Ge dengan tubuh mereka yang berdekatan.
Saat hendak berbalik arah matanya tertuju pada benda yang terlihat ganjil, bambu kuning terlilit kain dikelilingi batu-batu simetris. Ia heran melihat itu, mengapa benda seperti itu ikut dipasang segala disini. Sebelum ia melihat lebih dekat, seseorang menegurnya dari belakang.
"Mau kemana Ge?"
"Eh, Do, enggak cuma cari tempat ngerokok sambil nunggu WC"
"Ooh, ya udah, jangan deketin tembok itu ya!"
Ge benar-benar diam dan menyalakan sebatang rokok lagi. Namun matanya tidak lepas dari benda itu, Elang pernah cerita tentang benda itu sekilas namun tidak menceritakan bahwa benda itu dipakai saat pensi sekarang.
Ia tidak mau mencari masalah panjang malam ini, biarlah semua menanggung apa yang diperbuat mereka masing-masing. Dihabiskan rokok itu cepat-cepat untuk segera mendatangi paman dan sepupunya di area konser..
Pamannya memang maniak konser, memperkenalkannya pada lagu-lagu Scorpion dan Bon Jovi ketika ia kecil dulu. Sepupunya yang maniak bus itu pasti harus mengantarkan ayahnya menonton meskipun ia malas dengan acara seperti ini.
Di area konser itu sebuah band beraliran folk baru saja mengakhiri lagu pertamnya dan disambut tepuk tangan meriah dari para penonton. Tanpa basa-basi mereka langsung melanjutkan dengan lagu kedua. Pamannya nampak menikmati betul lagu itu, kedatangan Ge hanya disadari sepupunya.
Mereka berdua mengobrol tentang banyak hal, tentang sekolah mereka dan rencana mereka melanjutkan studi masing-masing. Sepupunya ingin jurusan teknik, Ge ingin jurusan politik. Sepupunya ingin melihat keteraturan, Ge tertarik dengan kekacauan kepentingan.
Kepentingan berbeda yang dirasakan betul olehnya malam ini, benturan-benturan itu tak kasat namun jelas terasa dengan jalang. Ia tidak tahu kemana akhir dari semua ini, setelah pesta yang meriah ini berakhir. Namun sudah mudah ditebak salah satu akan berkhianat.
Namun malam ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan itu dalam-dalam. Suara musik folk merdu ngalun dari arah panggung dibantu tata suara puluhan ribu watt hasil berdebat sengit itu terasa lebih baik dari memikirkan kemungkinan buruk yang tidak pasti.
Seolah mengikuti tubuh sang paman yang mulai berayun, mereka berdua ikut meresapi musik itu. Sementara beberapa terduduk menyimpan tenaga untuk penampilan selanjutnya, seorang siswa Cemara sholat dengan ganjilnya di dalam sebuah stand bambu.
Lagu demi lagu berlalu indah, menghipnotis belasan ribu pasang telinga yang mendengarnya. Semakin lama semakin banyak yang beranjak, merapat ke baris depan mendekati panggung. Arus manusia yang memisahkan Ge dan paman serta sepupunya..
Tidak ada apa, saatnya melanjutkan obrolan yang tertunda dan barang kali masih ada minuman tersisa. Ia berjalan keluar melawan arus ratusan orang yang menuju area utama. Namun matanya terusik melihat Elang berlari ke arah gerbang depan dengan panik...
________
Ilham pada saat yang sama sedang bersama kepala sekolah di ruang guru. Wajah pria itu tampak sumringah malam itu. Sebentar lagi ia akan naik panggung dan diberi kue tart dari bintang tamu utama acara ini. Beliau sekedar berbasa-basi menanyakan penyelenggaraan acara sejauh ini.
Dengan tetap memasang muka senyum, pikiran Ilham berkelana, apa isi panggilan untuk Heru tadi. Semoga bukan hal yang buruk, ia tidak mau beban Heru kian berat malam ini. Untuk malam ini, ia benar- benar berhutang banyak pada sahabatnya tersebut.
______
Hutang Ilham kepada Heru memang bertambah malam itu, jauh lebih banyak sampai setelah pesta nanti..
Di ruang sempit dan pengap itu Heru berhadapan dengan memedi terburuknya. Seorang perempuan berwajah ayu duduk di depannnya, tertunduk, menutup wajahnya dengan rambut panjang berantakan. Sekali gadis itu menengadah, pucat langsung hadir di wajah Heru.
Matanya terbelalak lebar-lebar, seolah hendak melompat keluar, menyiratkan keliaran diluar nalar. Heru tidak berani menatap dua mata itu, siapapun yang berada dalam raga itu lebih dari siap menyeret jiwanya pergi seketika.
Panggilan belasan menit lalu itu membuka pintu terlarang yang merengek enggan tertutup. Panggilan yang memintanya untuk bergegas membawa gadis itu, ia yang selalu tertunduk dan tiba-tiba berteriak keras ditengah antrian. Menarik dan mendorong lainnya dengan hebat..
Sunguh temannya berkata ia menggeram semenjak dari pagar depan dan terus menggila disepanjang antrian membuat resah dan panik pengunjung dan panitia disana. Tidak ada yang mampu menahannya, apalagi menenangkannya, sampai kepada Heru, ia tersenyum ganjil menggoda.
Heru diam seketika melihatnya, tubuhnya selayaknya gadis seumuran Heru, namun hawanya sangat gelap kehijauan. Heru benar-benar sesak dan lemas saat itu, dan hanya mampu menurut ketika gadis itu memintanya membawanya pergi.
Heru benar-benar kebingungan melihat polah ganjil gadis ini, tidak tahu pula kemana ia hendak dibawa.

"Bawa aing ka gubuk reyot"

Suara berat dan dalam itu menyentak dengan nada pelan, dari mana gadis itu tahu tentang bangunan itu.
Ditengah keramaian malam itu Heru membawa gadis itu setengah menyeretnya cepat menjauh dari kerumunan, menuju tempat yang diminta gadis itu melalui puluh pasang mata memandang. Dibelakangnya mengejar teman-teman mereka dengan sama tergesanya.
Bangunan itu tidak terkunci meski tidak digunakan sama sekali malam itu, lebih pengap dan berdebu daripada sebelumnya.
Tiada seorangpun disana...

"Mana Tikno?!"
Heru mengerinyitkan dahi, ia tidak melihat Pak Tikno dari kemarin, seolah hilang dari peredaran dalam semalam. Ia sangat takut diliar nalar, siapapun yang merasuki tubuh gadis itu bukan sesuatu yang dapat ia lawan.

"Nanti aku panggilkan"..
Suara Heru pelan terbata..
Heru menyuruh seorang kawan disana mencari Pak Tikno, bagaimana pun caranya. Sementara ia tetap berjaga disitu, bersama gadis itu dan siapapun yang ada dalam raganya. Menatap Heru tajam sebelum tertunduk layu terkulai.

Gadis itu tenang terdiam, namun Heru merasa sesak luar biasa
Ruangan itu terasa amat pengap dan mencekam, jauh lebih gila dibanding Rabu malam itu saat pembersihan. Sungguh manusia-manusia yang ada disini tidak cukup mampu membuat hawa hitam kuat itu memudar.
Seharusnya tidak ada yang bisa melewati pagar gaib yang telah dikuatkan, namun entah bagaimana ia bisa masuk menerabas batas. Heru tidak mampu menerawang jauh kedalam dua bola mata itu, yang didalamnya menanti untuk juga mengosongkan raganya..
Ia diam terpaku duduk di atas sebuah bangku reyot termakan rayap. Tiada sepatah kata pun terucap, hening dalam dalam keramaian yang dekat namun sayup disana. Sementara dibalik pintu, hanya bisikan tak jelas yang sesekali menyusup menggetarkan gendang telinga.
Menunggu Pak Tikno datang bukan perkara mudah bersama gadis itu, seliarnya pikiran Heru tidak sampai mampu menaksir apa yang harus ia lakukan dengan seorang gadis terasuki didepannya, selalu menunduk, terkadang melihat jalang dan liar.
Mereka tidak benar-benar berdua disana, ada banyak orang dibalik pintu kecil reyot terbuka seperempat itu. Menunggu dengan gelisah apa yang akan terjadi selanjutnya. Pesta sebentar lagi berakhir, namun petaka seolah hendak mendekat.
Sementara lima puluh lima meter dari tempat itu, suara tabuhan perkusi beradu dengan musik tekno mengalun meriah.
_______
Suasana sudah benar-benar padat sesak dilapangan belakang, penampilan puncak siap digelar lengkap dengan seremoni penyerahan kue ulang tahun. Ilham mempersiapkan itu dengan seksama, dibantu Andha untuk berbicara dengan bintang tamu utama.
Para pengunjung masih asik menikmati musik tekno perkusi itu, bergoyang bersama ditengah hawa dilapangan yang kian dingin menuju tengah malam. Beberapa panitia kini telah merapat ke lapangan belakang, gerbang depan telah tertutup untuk pengunjung baru.
Seluruh stand kini tidak lagi menyajikan dagangan, semuanya telah habis terjual. Kini lebih digunakan untuk para pemiliknya menikmati pertunjukkan dari kejauhan.

Pensi ini nyaris sempurna, melebihi semua harapan yang yang ditetapkan.
Tua muda berbaur disini, laki-laki dan perempuan berdesakan dalam euforia malam itu. Semua tampak gembira, semua tampak terhibur. Tidak ada yang tahu bahwa pertaruhan sebenarnya berada beberapa puluh meter dibelakang panggung. Tentang cerita apa yang tersaji kemudian.
Beriring dengan selesainya lagu terakhir dari grup musik kombinasi tekno perkusi itu, sajian utama siap digelar menutup malam dengan semarak. Sebuah band lintas generasi siap tampil menyentak, membawa massa yang rela membayar malam untuk penampilan tidak sampai satu jam itu.
Saat kepala sekolah bersiap menaiki panggung, diwaktu yang sama pula Pak Tikno memasuki sekolah.
Hanya puluhan meter dan memisahkan antara ruang yang satu dan ruang lainnya, berbeda suasana dengan kontras, serupa malam dan siang. Saat kepala sekolah menghadapi belasan ribu pasang mata penonton, Pak Tikno menghadapi sorot tajam sepasang mata menagih janji..
_________
Wajah Pak Tikno telah pucat tanpa perlu bertemu dengan tamu itu, kini putih seutuhnya melihat yang berada dihadapannya. Berhadapan dengan sesuatu yang hanya ada dalam mitos, namun kini menyeruak menari nyata.
Konon hanya pertalian darah yang bisa memanggilnya, namun apakah gerangan yang mengundangnya, kecuali suara sumbang kecewa dari mereka yang merasa terusir. Sungguh beliau ingin membantah pikiran itu, bukankah mereka telah bersepakat?
Namun kalut dan takut terlalu merasuk dan meracuni dalam-dalam pikirannya, mencegahnya berpikir jernih serupa Heru yang telah menjadi seonggok daging kaku dikursi itu. Gadis itu menoleh ke arah Tikno tajam-tajam..
"Salam ti gusti Nyai Ratu Tikno, lain anjeuna nu didieu ayeuna, tantu maneh weruh pisan"
(Salam dari paduka Nyai Ratu Tikno, bukan dia yang disini sekarang, kamu tentu paham betul)

"Samulihna ki.."
Salam itu membuka ruang berdebu dalam kepala pria paruh baya itu, melintas waktu berpuluh tahun lamanya kebelakang. Saat ia membaca seksama isi lembaran itu untuk pertama kalinya. Tentang air yang mengalir jauh dari atas kebawah, berpusat pada tonggak kembar.
Disana ia berada, meninggalkan sebuah tempat berlumut jauh diutara, ia yang dicakapkan oleh gadis itu, atau siapapun yang meraga di sana..
"He Tikno, keur naon make maenan budak?! Di percaya ka kami?"
(Untuk apa pakai mainan anak kecil?! Tidak percaya kami?)
Suara itu menyentak Pak Tikno, heran bercampur kaget dan diaduk okeh takut. Beliau berpegang pada janji malam itu, hanya pagar gaib secukupnya yang terpasang, yang tentu seperti mainan untuk ia yang kini duduk santai diatas sofa lapuk itu.
Pak Tikno berdiri kaku, namun tatap matanya berhadapan langsung dengan lawan bicaranya, sang ratu tempat itu kembali kesini untuk satu urusan yang tak mesti terjadi, seharusnya...
"Aya naon jenengan aki kadieu deui? Teu acan tujuh poe tujuh peuting ayeuna teh.."
(Ada apa kakek datang kemari lagi? Belum genap tujuh hari tujuh malam sekarang..)
"Hahahaha, ngomong bae teu kudu balaga belegug Tikno, sia rek ngusir salilana?!"
(Hahaha, bicara saja tidak usah belaga bodoh Tikno, kamu mau mengusir selamanya?!)
Ucapan itu tidak dimengerti Pak Tikno, tidak ada niat dari tiga orang yang berdiskusi dengan ratu tempat itu tentang mengusir mereka selamanya. Kecuali ada yang menambahkan apa yang telah ditetapkan oleh mereka bertiga
Dan beliau yakin itulah yang terjadi saat ia memutuskan menyepi setelah malam itu..

"Teu aya maksud jeung niat kanggo eta ki, mun aya, hampura eta barudak.."
(Tidak ada maksud dan niat untuk itu ki, kalaupun ada, maafkan anak-anak itu)
"Gusti Nyai Ratu moal resep!"
(Gusti Nyai Ratu tidak akan suka ini!)

"Mangga nyanggakeun kumaha aki, mung teu acan tujuh poe, tangtu anjeuna uninga"
(Silahkan terserah aki mau bagaimana, belum tujuh hari, beliau pasti mengerti)
Wajah gadis itu memerah padam, gemeletuk gigi menahan amarah terdengar jelas mengalahkan tabuhan drum diluar sana.

Penghuni raga itu murka, Pak Tikno paham itu. Kali ini ia cukup berani untuk menentang.
Sudah tabiat dari mereka untuk seperti itu, namum tidak berarti manusia selalu benar pasti. Kali ini, tidak ada pilihan bagi aki itu untuk pergi dari raga si gadis itu.
"Kop baelah Tikno, karep sia pada kumaha! Ngan inget ku sia tempat naon ieu, jeung naon akibatna nu ingkar"

(Terserah kamu Tikno, terserah mau apa. Tapi ingat oleh mu, tempat apa ini, dan apa akibatnya bila ingkar)
"Emut pasti ki"
(Ingat pasti ki

"Aing indit, tapi menta getih keur peuting ieu"
(Aku pergi, tapi minta darah untuk malam ini)
Ada lega menyeruak seiring lagu Selamat Ulang Tahun mengalun membuat pekak, namun sebelum itu tiba pasti, tangan gadis itu menyergap lehernya sendiri dan menghujan dalam dengan kuku sebelum sigap Pak Tikno mengcengkram ubun-ubun gadis itu dan satu hentakan di dahinya.
Gadis itu lemah lunglai kini, darah mengucur deras dari lehernya, membangunkan Heru dari kakunya seketika. Sebelum Heru sempat berteriak panik, Pak Tikno mengusap leher gadis itu dan menghilanglah luka koyak itu, meninggalkan ceceran darah..
"Geus aman Ru, manehna moal kunanaon. Ngan inget, perhatikeun eta kalakuan anak buah maneh!"

(Sudah aman Ru, anak ini tidak akan apa-apa. Tapi ingat, perhatikan betul kelakuan anak buahmu!)
Wajah beliau pucat ketika beliau berlalu sementara Heru dan yang lainnya harus mengurus gadis itu yang masih terkulai di sofa lapuk.
______
Lagu demi lagu dibawakan meriah di puncak acara memicu koor luar biasa membahana dar belasan ribu orang mengguncang malam buta. Semua berjingkrak dan bernyanyi meriah, semua gembira malam ini, atau setidaknya itu yang terlihat.
Sesekali beberapa luncuran kembang api meluncur ke angkasa memeca langit malam dengan cahaya warna-warni. Beberapa kali pula sang vokalis meminta semua untuk ikut menyanyi lebih keras lagi, memunculkan keramaian yang semakin menggila malam itu.
Hampir semua panitia kini telah meninggalkan posnya, ikut masyuk dengan kumpulan massa di area konser meninggalkan area-area lainnya nyaris kosong melompong. Begitu pula dengan belasan stand sponsor yang tersebar acak, kini telah tutup seluruhnya..
Sementara beberapa orang menyusup ke berbagai sudut dan semak yang gelap dengan berbagai keperluan. Kini pesta telah memuncak dan dalam hitungan menit selesai. Tiada lagi yang peduli dengan apa yang mereka lakukan, mereka terlalu sibuk menyanyi dan menari..
Dari kejauhan, Ilham tersenyum lega dan puas melihat puncak acara bersama panitia inti lainnya, kerja keras mereka terbayar sudah. Untuk satu minggu kedepan mereka adalah bintang kota, sebelum pensi SMA rival atau kejadian lainnya terjadi. Namun simpan itu untuk nanti.
Apa yang terjadi di rumah reyot itu luput seutuhnya dari perhatian. Tentang bagaimana kejadian itu, tentang bagaimana Heru dan teman-temannya harus menunggui gadis itu sampai terbangun untuk tidak ingat apapun sampai ia berada ditempat itu, seolah cukup diingat bagi mereka saja.
Malam itu memang meriah luar biasa, lagu pamungkas dari belasan artis yang tampil dibawakan penuh semangat setelah semua sepakat meminta encore. Dari balik benteng sekolah, ratusan pasang mata memandang tidak kalah sengit..
Satu jam sudah pergantian hari berlalu, sebuah teriakan bergema keras

"HATUR NUHUN CEMARA!!!!”

Riuh tepuk tangan membahana menghangatkan malam menuju dini hari itu. Semua selesai, seluruh kerja keras dan pengorbanan itu terbayar sudah.
Perlahan panggung mulai gelap dan arus belasan ribu orang mengular keluar. Beberapa masih memilih bertahan menunggu sepi, bersenda gurau sementara lainnya berpelukan dan berciuman. Mungkin masih ada setelah pesta, entah saat itu atau nanti.
_______
Dini hari menjelang subuh itu suasana tidak sepenuhnya hening. Jalan ini tidak pernah berhenti berdenyut. Namun dipelosok, dibalik angkuhnya jalan itu, suasana benar-benar sepi sampai beberapa saat sebelum adzan berkumandang yang hanya membuka satu dua pasang mata.
Pesta telah selesai satu setengah jam lalu, daerah itu telah sepi dan bebas dan deretan kendaraan terparkir serampangan. Tiada ada lagi manusia melintas disana. Beberapa masih bertahan didalam, menunggu pagi, saat seluruh peralatan itu dibereskan kembali.
Ge melintasi jalan dekat sekolahnya sambil menyemburkan asap rokok, mengusir dingin dan sepi. Kali ini tidak ada tempat singgah menunggu mentari seperti tahun kemarin, terlalu larut untuk mengganggu penghuni rumah Elang sekalipun ia menawarkannya. Namun itu yang ia harapkan.
Jalanan sepi itu membuat tiada seorangpun peduli apa yang ia minum sambil lalu itu. Tidak hantu pula dapat muncul jelas dimatanya yang mulai tak fokus memandang, kombinasi kantuk dan sedikit mabuk yang tumben menyerang. Ia merasa butuh pemberhentian pada akhirnya.
Kuduk yang meremang sedikit memberi penyegaran baginya, namun pertanda itu bukan sebuah hal yang baik dalam gelap seperti itu. Bahu kanannya mulai terasa kaku dan terus menjalar perlahan hingga ke ujung jari tengah sebelum berubah menjadi rasa sakit yang menjadi.
Perlahan ia menengok kebelakang sebelah kanannya. Melihat samar sesosok bayangam hitam memegang erat tangannya. Ia bersyukur tidak dapat jelas melihat saat itu, namun ia butuh tempat bersandar segera.

Jelas itu bukan mesjid yang akan dikunci rapat setiap malam.
Ia butuh keramaian untuk mengusir apapun yang menempel itu. Dipilihlah sebuah warnet tempat ia memang biasa menghabiskan waktu sepulang sekolah. Tempat itu buka 24 jam dan tentu ramai sekarang, saat terbaik untuk mengunduh puluhan file 3gp dan bermain game online.
Rasa sakit itu tidak kunjung hilang, erat melekat ditangan kanannya yang bahkan kesulitan menggerakan tetikus ditempat itu. Tidak peduli ramainya umpatan mereka yang kalah perang virtual dan dengkuran keras penghuni bilik sebelah kelelahan. Segelas kopi hitam tidak membantu.
Rasa sakit itu baru menghilang setelah subuh menjelang, manakala tangannya terbasuh air ritual bersuci. Dalam kantuk ia beribadah, berdoa agar segera menemukan kasur, dan tentu agar firasat buruknya tidak menjadi nyata.
______
Elang masih cukup awas selepas pesta, ia baru datang selepas maghrib bersama Ge. Ia harus bertugas malam ini, menjaga peralatan panggung dan properti pensi hingga pagi menjelang. Semua biasa saja, hening dan sepi tanpa satupun yang mampu menaikkan andrenalin mengusir kantuk.
Namun semua berubah ketika ia berjalan keluar sekolah untuk mencari segelas kopi. Suasana sama hening, namun yang berdiam disetiap sudut bangunan dan juga pepohonan terlihat jelas dipojok mata ketika ia berjalan menuju kios.

Ia menjadi tergesa, meskipun kopi tidak lagi mendesak
Kios itu buka dan segera ia pesan kopi, memberinya kelegaan dalam situasi mencekam seperti itu, sebelum seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ia menoleh namun tiada siapapun disana. Dan ia kembali menunggu kopinya selesai diseduh untuk kemudian kembali ditepuk dari belakang.
Kali ini seorang pemuda berwajah amat pucat dengan bola mata serupa dengan wajahnya berdiri mematung disana. Elang tercekat, mundur dan menabrak kios cukup kencang. Ia berbalik kearah kios cepat hanya untuk melihat pemuda yang sama memberikan kopi pesanannya..
Ia mengumpat dan hendak berlari meninggalkan kios sebelum melihat seseorang menyebarang jalan sepi. Itu pemilik kios, yang meminta maaf karena baru saja dari toilet dimesjid seberang jalan..
_________
Evaluasi acara berlangsung seadanya dengan tenaga tersisa seperdelapan. Itu lebih mirip dengan acara syukuran kecil daripada evaluasi sebetulnya, mengucapkan terima kasih atas bantuannya kesana-sini sembari berpelukan.
Ilham menutup acara evaluasi cepat, sama cepatnya dengan evaluasi kepala sekolah dan Aris. Acara ini selesai paripurna, hajat ini memenuhkan rasa penasaran terpendam bertahun-tahun lamanya. Heru disana, masih tampak pucat dan segera bergegas setelah evaluasi selesai.
Ilham menangkap itu disudut mata dan segera mengejarnya. Ia berhutang banyak untuk acara itu dan dari gelagat itu, ia tahu betapa lelahnya Heru. Dipanggiknya Heru berulang kali sebelum ia akhirnya menoleh lemas.
Kamana bro, buru-buru teuing?"
(Kemana bro, buru-buru sekali?)

"Cape urang Ham, teu kuat rek balik terus sare"
(Capek aku Ham, tidak kuat mau pulang terus tidur)
"Hatur nuhun pisan nya Ru, hampura geus ngaririweuh. Asa boga loba utang ka maneh"
(Terima kasih ya Ru, maaf sudah banyak merepotkan. Seperti punya banyak hutang nih)
"Santai we Ham, jiga ka saha wae. Mun nganggep utang, anggep geus we lunas"
(Santai aja Ham, kaya ke siapa aja. Kalau dianggap hutang, anggap saja sudah lunas)
Ucapan itu menyadarkan Ilham bahwa ada sesuatu yang tidak semestinya, itu bukan hanya rasa lelah, namun menyiratkan penyebabnya yang tentu luar biasa.

"Aya naon Ru? Carita ka urang!"
(Ada apa Ru? Cerita ke aku!)
Hening cukup lama sampai Heru membuka mulut, ia bimbang apakah harus bercerita tentang puncak acara itu atau tidak.

"Tadi Pak Tikno ngomong kieu Ham.. ah ke deui we lah"
(Tadi Pak Tikno bilang gini Ham, ah tidak jadi nanti saja lah)
Ada seseorang mendekat sebelum Heru sempat bercerita, lebih ia tahan sampai ia bisa berbicara berdua dengan Ilham.
Belum sempat Ilham bertanya Nana sudah disana dan mengucapkan terima kasih kepada Heru. Ia tercekat dan dengan canggung menjawab Nana seadanya. Segera ia menyuruh mereka berdua pulang, untuk saat ini lebih baik apa yang terjadi disimpan sendiri.
Ilham menawarkan tumpangan kepada Heru, namun Heru menolak itu, ada motor yang harus ia tunggangi pulang.

Dini hari itu Ilham pulang hanya berdua dengan Nana melewati jalanan sepi yang hanya beberapa ratus meter sebelum jalan besar yang tidak pernah tertidur sepi.
Mobilnya berantakan luar biasa, berbanding terbalik dengan saat ia datang. Mobil itu memang digunakan untuk mengangkut berbagai barang oleh panitia lainnya, namun tidak ia sangka akan seberantakan itu. Tapi senyum kecut itu sirna segera ketika ia mengobrol dengan Nana.
Mereka mengobrol banyak hal, tentang pensi, tentang sekolah, dan masa depan. Pensi itu tentu menjadi portofolio berharga untuk masuk jurusan seni impian mereka. Namun ada kelabu menggantung diwajah Nana dan suasana menjadi canggung.

Ilham paham dan tidak membahas lebih jauh.
Berbeda dengan Ilham yang didukung penuh keluarganya, Nana dihadapkan pada pilihan sulit antara mimpinya dan harapan orang tuanya. Perbedaan yang selalu ia dinginkan dalam relung pikiran terdalam yang kini memberontak kepermukaan menjelang berakhirnya semester itu.
Ketika Ilham memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk mencairkan suasana. Nana tercekat melihat sesosok hitam disamping jalan, menatap mereka tajam dengan mata jingga menyala. Sementara Ilham pikiran kembali penasaran dengan benda misterius yang ia lihat dipojokan itu.
_____
Saat hajat itu berakhir, Pak Tikno telah jauh dari sekolah. Disebuah padepokan silat merangkap rumah itu ia seorang diri disebuah ruang yang penuhi senjata bertuah. Beliau masih memikirkan bagaimana sampai Nyai Ratu tahu tentang apa yang terjadi disana.
Ingin beliau memaki keras aki peyot itu berkali-kali dan membakarnya hangus ribuan kali. Tidak seharusnya dia itu lakukan itu. Apa yang terjadi biarlah menjadi perjanjian diantara mereka saja. Namun bagaimana pula bila benar yang aki itu bilang, ada yang berkhianat dipihaknya..
Meski masih tersisa beberapa hari sebelum waktu yang ditentukan itu, namun ia tidak bisa tenang barang sekejap. Ada firasat buruk mengaum nyata dalam pikiran. Ia harus menanyakan itu langsung kepada sang Ratu.
Beliau meninggalkan ruang itu untuk mencoba tidur. Beberapa jam, lagi saat matahari bersinar sepenggalah, ia harus pergi kesebuah tempat jauh di utara. Sebuah tempat berlumut, sebuah pancuran angka keramat.
_________
Malam itu adalah malam yang sama bagi Ujang, menghabiskan waktunya untuk menungguk sekolah dimalam hari ketika tiada seorang pun berada disana. Namun bedanya malam ini terasa menyebalkan karena sekolah sebelah sedang berpesta pora.
Ia ingin menonton konser itu seperti tahun lalu. Tanpa tiket ia berhasil merayu panitia untuk dapat masuk karena telah membantu parkir pengunjung, namun tidak untuk malam itu. Ia harus menjagai SMP Pucuk seorang diri.
Namun tidak mengapa pikirnya, sesekali ia akan berpatroli keliling sekolah dan berhenti disatu pojok dimana ia bisa melihat konser dari kejauhan, seperti dua tahun lalu. Malam itu pasti akan menyenangkan pikirnya.
Suara dari sekolah sebelah cukup kencang untuk membuatnya tahu siapa yang sedang dan akan tampil malam itu. Ia tidak perlu beranjak dari pos untuk dapat menentukan kapan ia harus naik ke bagian paling ujung di sekolah tempatnya berjaga.
Malam itu seharusnya lebih meriah dan terasa lebih hangat di tempatnya berjaga, namun entah telah berapa kali ia bergidik sendiri seolah ada yang mengawasi dari kejauhan. Rasa penasaran akan konser menyusut, ada rasa takut menyeruak untuk menyusuri lorong-lorong sekolah itu.
Sesekali ia memang berkeliling sekilas kompleks sekolah itu bermodal senter lama milik sekolah. Ia tidak berani melihat seksama setiap sudut terutama sudut-sudut gelap dimana legenda urban itu tumbuh subur. Sekonyol apapun itu, malam ini semua terasa sangat nyata.
Suara keras dari sebelah mampu memberinya nyali untuk tidak mengacuhkan suara-suara ganjil dari kegelapan, namun tidak mampu membuatnya mengabaikan bayangan-bayangan berbentuk ganjil di beberapa tempat. Ia melanjutkan patroli dengan berwirid bergetar.
Apa yang ia lihat dengan matanya itu membuat tugas malam itu terasa lebih panjang. Ia berharap subuh telah datang bahkan ketika suara disebelah masih memutar lagu tekno perkusi yang asing ditelinganya.
ngatan tentang cerita urban sekolah dan banyangan-bayangan ganjil tadi masih terngiang jelas benak, membuat ia terperanjat kaget ketika suara vokalis disebelah kembali berganti. Ia segera berlari mengabaikan segala takut, kesempatan ini bodoh untuk dilewatkan.
Ada rasa ragu menyeruak ketika ia memasuki kompleks sekolah semakin dalam malam itu, hawanya menjadi semakin dingin dan bulu kuduk semakin menegang berdiri. Namun itu hanya sebentar pikirnya, segera setelah grup band idolanya pamit, ia akan kembali berlari ke pos.
Menaiki tangga ke lantai dua malam itu terasa berat sekali, seolah ia berlari melawan arus anak-anak sekolah itu berhamburan turun sepulang sekolah. Lorong di lantai itu gelap tanpa penerangan, namun pantulan cahaya dari area konser memberi sedikit cahaya untuk membuatnya remang.
Disana ia tidak sendiri, ada segerombolan lain yang telah menonton sedari tadi. Kedatangannya jelas mengusik keasyikan mereka, membuat mereka menoleh ke arah Ujang. Sementara Ujang terdiam kaku ditengah lorong..
Didepannya berdiri puluhan bocah yang tak jelas bentuk rupanya karena keremangan dilorong itu, namun semua berubah ketika lentusan kembang api meletus diudara. Mereka wajah mereka hancur berantakan dengan tubuh tak utuh, beberapa tersenyum menyambut Ujang.
Ia segera berlari kembali menuruni tangga yang mendadak terasa sangat curam itu, melewati puluhan sosok ganjil lainnya yang naik menuju lantai dua. Dengan gemetar ia terus berlari, sebelum semua akan menjadi gelap..
_____
Masa Antara

Hari minggu itu matahari bersinar terang diangkasa ditemani awan tipis panjang membentang. Bulan ini seharusnya lebih langit bercahaya, namun sekali lagi itu datang lebih lambat. Memicu khawatir yang digaungkan mereka yang setia menanti di mall.
Hari itu, lapangan belakang berubah menjadi parkiran mobil-mobil besar, truk-truk dan mobil-mobil box menggantikan manusia-manusia berdesakan berjam-jam lalu. Meninggalkan alas tanpa atap yang tak akan bertahan lama, stand-stand bambu sirna sempurna.
Semua seharusnya selesai paripurna hari ini, agar tidak mengganggu para siswa belajar esok, tidak mengganggu penghuninya ketika mereka kembali kesini. Para pekerja bekerja tergesa untuk itu agar upah dibayarkan segera.
Sebagian kecil properti pensi milik sekolah sudah tersimpan manis di gudang, siap untuk berdiam berdebu, beberapa lainnya telah dibawa pulang sebagai suvenir, sementara sebagian besarnya telah menjadi sampah.
Hanya ada sedikit panitia yang berada disana termasuk Ilham yang lebih seperti mandor pekerjaan hari itu. Ia pikir jumlah panitia disana tidak akan bertambah dan akan surut segera karena tidak ada yang harus mereka kerjakan pula, namun itu berubah ketika Heru muncul dikejauhan.
Pemuda itu datang bukan untuk membereskan barang-barang itu, namun ada hal yang harus ia bicarakan, ada rada penasaran yang harus dituntaskan hari itu. Hari itu cerah, sebaiknya dimanfaatkan baik-baik sebelum badai kembali tiba.
______
Cerahnya hari itu memang mampu mengaburkan mendung dan pula menghilangkan kengerian mencekam. Namun bagi Pak Tikno itu sangat menyebalkan, membuat ratusan kendaraan memadati jalan menanjak sempit itu.
Tujuannya seharusnya lebih sering sepi dan sunyi, namun ada banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi disana. Membuat orang-orang berduyun-duyun datang tanpa melihat makna dibalik mistis yang tersaji tipis serupa mitos berdebu.
Jauh ke atas sana, jalan semakin menanjak dan padat. Dikiri kanan hanya tampak deretan rumah sederhana yang bertahan melawan serbuan kaum urban yang membisingi jalan depan rumah yang sesekali memberi recehan untuk akses jalan.

Sampai satu pertigaan..
Pak Tikno berpisah dari jalan ramai itu, menyusuri jalan lainnya yang lebih sepi, menurun untuk kemudian menanjak tajam-tajam. Deretan rumah disini terlihat lebih lama dan besar, lebih sepi dan terabaikan. Terus menyusuri jalan yang semakin mengecil, menembus lebatnya pepohonan..
Tujuannya telah dekat, dari kejauhan tampak kumpulan pohon memberi kegelapan dalam terang siang, tempat sebuah makam, dan pancuran keramat itu berada, Cituju.

Sayang, siang itu terlalu banyak yang berkunjung, berebut air suci untuk tercapainya hajat..
____________
Ilham terbelalak menatap tajam Heru mendengar apa yang terjadi malam itu, jerit dibalik riuh itu kini tidak lagi tertutupi, Heru menjelaskan itu terbuka.

"Naha teu ngomong Ru?!"
(Kenapa tidak ngomong Ru?!"
"Kumaha rek ngomong, maneh keur sibuk kitu.."
Gimana mau ngomong, kamu saja lagi sibuk.."
Diam menyapa mereka di hari cerah itu, diam untuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Selepas pesta ada banyak yang harus dibereskan tuntas..
Malam itu, gadis itu tersadar tanpa tahu mengapa ia berada disana. Semua tanya malam itu dari Heru dan yang lainnya terjawab dengan tanya lainnya tentang apa yang terjadi disana malam itu. Ia berlalu malam itu, diantar oleh Heru dengan canggung.
Dijalan, semua ucapan Pak Tikno mulai menjadi lebih jelas meski tetap samar. Putri, nama gadis itu, mulai bercerita sampai titik dimana semua menjadi serupa khayal, dijamu oleh sekumpulan orang berpakaian kuno, saat dimana seseorang mengambil alih raganya menuju ketempat itu.
Seorang perempuan teramat cantik dan seorang kakek tua meminta izin kepadanya, mengatakan maksudnya dengan halus, seraya menyebut dirinya "Cu". Berkali-kali ia datang, sebelum akhirnya Putri izinkan itu, dan semua menjadi terlalu indah untuk nyata..

Sang Ratu...
Penuturan Heru tidak membuat terang sama sekali, apalagi untuk Ilham yang melongok dengan mulut terbuka menggantung. Butuh waktu untuknya mencerna semua itu, menyusunnya serupa puzzle kayu saat kanak-kanak dulu.
Potongan puzzle sulit, biarlah dulu begitu, mencoba melihat jelas semua dari sisi lainnya.

"Terus, naon hubungana jeung budak keamanan? Barang nu di pojokan keur naon?"
(Terus, apa hubungannya dengan anak kemanan? Barang di pojok untuk apa?)

"Barang dipojok?"
Heru tidak tahu apa itu, jelas tidak mungkin itu pagar gaib yang dibangun sebelum acara, Ilham tahu itu.

Barang itu..

Hal itu menjadi kepingan puzzle penting di benak Heru, seketika gambar kasar itu terbentang compang-camping meninggalkan detail kecil serupa remahan.
Ia tercekat dan berlalu, meninggalkan Ilham tiba-tiba, tergesa berlari menuju sebuah titik di dekat toilet belakang. Tidak ada apapun disana, namun ada rasa hangat yang ganjil. Diselusurinya perlahan tempat itu, sampai ia berhenti pada satu titik, ia tercekat.

Batu kelabu..
Hari itu berlalu meninggalkan kenangan sebagai penanda bahwa pesta itu pernah ada, menjadi kenangan dalam benak yang memutarnya kembali ratusan kali dalam khayal. Para siswa itu masih tetap membicarakannya dihari Senin pagi dan setelahnya.
Memaknai sebuah kejadian yang sama tidak perlu seragam, bagi Ujang apa yang terjadi dimalam minggu sangat membekas dan membuatnya meminta beristirahat sementara waktu.
Kejadian itu masih terngiang dikepala, membuatnya merinding tanpa perlu hari menjadi gelap. Sosok-sosok itu seolah selalu hadir menemaninya kemana pun ia pergi dimana pun ia berada.
Dulu sekali ia pernah mendengar tentang mereka dari penjaga sekolah senior. Namun, konon tempat itu seharusnya sudah bersih sempurna dari sosok-sosok tak kasat mata dan hanya menyisakan cerita urban dikalangan para siswa.
Mereka yang tidak pernah bisa berpisah dengan sekolah itu, mereka yang terus bermimpi mengenakan seragam putih abu di sekolah sebelah. Cita mereka mungkin masih tertinggal, namun Ujang tak yakin dengan arwah penasaran mereka, sampai malam itu..
Cerita tentang Ujang malam itu cepat menyebar di SMP Pucuk, menghadirkan kekhawatiran tentang mereka yang akan kembali hadir mencekam bagi mereka yang masih memiliki raga. Ada cemas membuncah di benak para guru.
Ditutupi kekhawatiran itu dengan diam, dengan mulut terkatup rapat menyunggingkan senyum diwajah. Namun sorot mata bukan pembohong yang baik. Beberapa siswa itu tahu dari bisikan-bisikan yang entah dimulai dari mana bahkan sejak senin.
Beberapa dari mereka penasaran dan menggali lebih jauh tentang misteri yang hadir mencekam, mencari kejutan menyeramkan yang memuaskan rasa penasaran mereka. Namun tidak bagi Lisa, samar ia merasa hawa hitam itu mendekat.
Ia lebih banyak diam dan memikirkan kemana ia akan melanjutkan sekolah sementara teman-temannya menganggap cerita mistis yang kian kencang terdengar itu seperti hiburan menjelang ujian. Tidak ada yang menghibur dari itu bagi Lisa.
Hajat besar di SMA Cemara Sabtu lalu membuat sekolahnya kian berbeda, terasa penuh sesak dan ramai meskipun tidak ada siswa baru atau mulut yang terbuka lebih lebar. Hanya satu yang pasti selain cerita mistis yang terdengar semakin kencang, wajah para guru memucat.
Lisa memilih mengabaikan itu, sampai satu malam kakaknya berbicara
"Sa, di sekolah ga ada yang aneh kan? Feeling teteh ga enak euy."

_____
Sementara di SMA Cemara, euforia pesta bertahan lama dan memudar dengan samar dan lambat. Semua siswa kini telah kembali sibuk dengan kegiatan sekolah seperti biasa, meskipun beberapa siswa tampak lebih sibuk daripada biasanya.
Namun keganjilan itu luput dari ribuan pasang mata manusia yang memenuhi sekolah setiap hari. Sementara dari balik tembok tinggi sekolah, ribuan pasang mata lainnya menatap seksama..
Senin itu semua tampak berjalan seperti biasa, dimulai dari upacara bendera yang kembali menjadi membosankan dan disusul dengan kegiatan belajar menguras tenaga. Namun, hari itu Ilham tampak ganjil.

"Batu Kelabu"
Kata itu terngiang jelas dalam pikirannya, kata yang diucapkan Heru dengan pucat kemarin. Heru enggan menjelaskan lebih jauh tentang itu, menghindar sembari terus melihat gundukan tanah dan tembok sekolah didekatnya.
Kata itu mengganggu pikirannya, rentetan peristiwa diluar nalar dibelakang pensi kemarin seolah belum menemukan titik puncak. Tidak ada jawaban dari setiap tanya yang muncul, hanya tanya lainnya yang berpuntir memusingkan.
Hari itu ia harus kembali bertemu Heru, sejak ritual malam itu, Heru jauh berubah menjadi lebih pendiam. Setidaknya kali ini ia harus mendapatkan jawaban..

KRIIING
Bel akhir berbunyi lantang menandakan berakhirnya hari pertama minggu itu yang begitu melelahkan. Ilham bergegas menuju kelas Heru, ia bertekad mencegahnya pergi sebelum mendapatkan jawaban. Dari sudut kelas yang berbera, dua pasang mata menatap kepergian Ilham.
Heru telah pergi dari kelas ketika Ilham melongok dari balik pintu bercat abu didepan kelas. Ia pergi sebelum bel berbunyi, meninggalkan tasnya di meja setelah sebelumnya meminta seorang kawan untuk mengantarkan tas itu ke rumahnya..
Ilham menelepon sahabatnya itu hanya untuk mendengar nada tunggu panjang yang tertutup sendiri. Ia mencari keliling sekolah dan bertanya kesana kemari hanya untuk mendapatkan gelengan kepala dari siapapun yang ia tanya.
Satu pikiran terlintas cepat dikepala Ilham, dan dengan cepat pula ia berlari ke tempat yang terbayang dalam benaknya itu. Tempat yang sama dengan kemarin saat Heru berbicara tentang batu itu, sebuah gundukkan tanah yang tampak belum lama ada.
Beberapa orang memanggil Ilham namun ia abaikan itu, ia melihat lekat tanah itu, dan mulai ia gali dengan tangannya sampai terasa sesuatu yang keras dan hangat didalam sana. Aliran panas itu mengalir melalui ujung jari terus sampai ke jantung Ilham, membuatnya terengah.
Sebelum sempat ia mengambilnya, seseorang menepuknya dari belakang...

Dodo berdiri disana, melotot kepadanya menahan marah.
"JANGAN GANGGU BATU ITU!!"
Ia bukan Dodo yang tenang dikelas, muka teduhnya berganti siap menerkam.

Ilham terperanjat dan beringsut mundur menjauh, memilih pergi tanpa sempat mengambil batu itu. Dodo masih menatapnya tajam ketika ia menoleh kebelakang, sebelum merapihkan kembali gundukan tanah itu.
Ketika berbalik, sekilas ia melihat seseorang mengitip dari balik tembok. Ia mendekat mencari tahu sebelum tiba-tiba lengannya ditarik kencang..
_______
Siang itu terik dan hiruk pikuk siswa menjelang berakhirnya jam pelajaran begitu ramai. Heru menunggu detik demi detik untuk segera lari menuntaskan rasa takut dan penasaran yang menyesakkan.
Batu itu tidak mungkin sudah ada sejak dahulu, seseorang menanamnya disana dan mungkin di sudut-sudut lainnya di sekolah ini. Batu penolak bala, begutu mereka menyebutnya. Namun ia tidak yakin betul dengan itu, aliran energi tak kasat mata itu sedikit bisa masuk di nalarnya.
Ia perlu bertemu Pak Tikno segera, ia seharusnya tahu tentang apa yang sedang terjadi. Pesta telah selesai, namun hutang belum tuntas sempurna. Entah bagaimana pemikiran itu terlintas dibenaknya dan menghantuinya sejak panggung gelap Minggu dinihari itu.
Di luar kelas angin berhembus sepoi, seketika menjadi kencang dan berlalu pergi. Penghuni kelas menganggapnya sambil lalu, namun tidak bagi Heru.

Pertanda itu tiba..
Suara meminta tolong terdengar entah darimana. Ia terlonjak kaget dan berlari meninggalkan ruang kelas seketika mengejar suara tak tampak itu. Namun, tidak peduli sejauh apa ia berlari, seteliti apa ia memandang, suara itu menghilang.
Ia pasti sudah gila karena paranoia sintingnya. Jawaban itu ia butuhkan segera dan biarlah tasnya nanti diantarkan seorang kawan ke rumahnya yang tidak berapa jauhnya dari sekolah..
Pak Tikno, orang tua yang perlu ia temui, menghilang sejak hari kemarin datang. Orang yang juga memberinya peringatan kabur tanpa penjelasan malam itu. Hari ini ia butuh penjelasan dari peringatan itu, serupa kata yang memerlukan pemaknaan.
Orang yang ia cari tidak ada diseluruh penjuru sekolah itu, termasuk di bangunan serupa gubuk dipojokan, tempat semua kengerian itu bermula. Tidak ada pula yang tahu keberadaannya setelah ia banyak bertanya. Semua berujung nihil sebelum ia melihat Ilham berlari.
Disana sahabatnya terpaku pada tempat batu kelabu berada, memancing rasa penasarannya yang berdiri dikejauhan. Ia terperangah ketika Ilham mulai menggali dengan tangannya seperti kerasukan dan lebih terkejut lagi ketika Dodo mendekat cepat kearah Ilham.
Semua berlalu cepat antara Ilham dan Dodo meninggalkan hawa perseteruan yang kentara. Ia tidak punya pilihan, ditariknya Ilham cepat sebelum semua menjadi lebih buruk.
GOBLOK!!"
"NANAONAN MANEH HAM?!"
(ngapaian kamu Ham?!)

Ilham terkejut melihat orang yang dicarinya sekarang ada didepan mata, memakinya lantang memekakkan.
"Maneh nu kamana wae Ru, ku urang teangan"
(Kamu yang kemana aja Ru, aku cari-cari)

Heru diam melihat Ilham, ia masih geram dengan kenekatan Ilham tadi. Dia yang memilih terlibat, tidak ada pilihan selain memberitahunya semua yang Heru tahu meski itu samar.
Mereka berjalan cepat setengah tergesa menuju parkiran motor dan melaju cepat kesebuah warung sepi yang tidak begiu jauh. Ditemani teh dalam botol dan sebungkus rokok Heru mulai bercerita..
Batu kelabu eta batu anu ngahaja dikubur didinya keur ngusir lelembut Ham, kuduna eta teu dipake da bahaya teuing"
(Batu kelabu adalah batu yang sengaja dikubur disana untuk mengusir para makhluk gaib Ham, seharus tidak dipakai karena terlalu berbahaya)
"Maksudna bahaya?"
Ilham keheranan, bukankah itu sama saja dengan pagar gaib yang lazim dipakai? Apa bahayanya dan bukankah juga lumrah untuk dipakai menjaga acara Sabtu kemarin.
Heru diam cukup lama, mengingat kali pertama ia tahu tentang batu itu.

Setahun lalu seorang teman dari Insyaniyah setengah berbisik berbicara tentang batu sakti yang dapat dibuat sendiri. Dengan bangganya ia berkata bahwa kini mereka bisa menciptakan jimat.
Batu itu bukan batu hasil semedi puluhan tahun yang keluar sendiri dari tanah merah, batu itu diciptakan dengan dasar ilmiah samar tentang yang tak kasat mata, rahasia semesta yang semestinya tidak diketahui jiwa yang picik.
"Hese dikontrol Ham, energina gede teuing. Eta batu lain aya eusina tapi emang dijieun keur nyerep jeung mantulkeun balik"
(Susah dikontrol Ham, energinya terlalu besar. Batu itu bukan batu yang berpenghuni, tapi sengaja dibuat untuk menyerap dan memantulkan balik).
"Bayangkeun ku maneh mun urang teu bisa ngontrol eta batu terus dipake ngalawan maranehna padahal urang geus boga janji ?"
(Bayangkan sama kamu bagaimana bila kita tidak bisa mengendalikan batu itu dan dipakai melawan mereka sementara kita terikat janji ?"

______
Tiga hari berlalu dengan tenang tanpa ada huru hara. Ketenangan ganjil sebelum badai menjelang. Mereka tidak kembali kesana meski tujuh hari telah berlalu. Semua menganggapnya biasa dan tak peduli dengan itu

Namun diam dalam takut dan kalut...

______
Rasa tidak enak menghampiri Deva ketika kakaknya Devi memintanya untuk tidak "kosong" ketika disekolah. Ucapan itu diucapkan lembut sepintas lalu namun terasa seperti sebuah peringatan kencang. Ada yang tidak beres disana.
Bertahun-tahun lalu kakaknya bersekolah ditempat yang sama dengan Deva sekarang, berbagi bangku dengan Rika, kakak dari teman sebangkunya sekarang, Lisa. Takdir mempertemukan mereka seperti putaran roda samsara.
Ucapan sang kakak membawanya kepada sebuah situasi yang ganjil disekolah Kamis pagi itu. Ia murung dan lebih pendiam dari biasanya, kesulitan membedakan antara keberadaan mereka yang halus yang kian menguat atau paranoianya yang memuncak.
"Kamu kenapa Dev?"
Ucapan Lisa membuyarkan tatap kosong Deva seketika siang itu, membawanya kembali ke ruang kelasnya.
"Aku ga papa Sa.."
"Eeeh, aku mau ngobrol nanti.."
Lisa memandang Deva keheranan, apa yang salah dengan dia hari ini. Mungkin ia akan bercerita tentang penampakan di sekolah terka Lisa dalam benak, bila itu benar, maka mungkin ia juga bisa mengartikan ucapan kakaknya, Rika.
Mereka berdua diam selama jam-jam pelajaran yang terasa lama itu, memendam perasaan takut dan penasaran dalam-dalam. Menunggu bel akhir berbunyi nyaring sambil menyelami dan menerka pangkal dan ujung dari perasaan-perasaan tersebut.
Tentang kutukan keluarga masing-masing, mengaitkan pecahan-pecahan itu dalam untaian rumit yang dipaksakan terjalin menjawab takut dan penasaran masing-masing.
Tentang Sang Resi Begawan dan Nyai Pamikat keluarga Lisa, tentang Sang Penari keluarga Deva. Memaksakannya menjadi pembenaran bahwa mereka harus mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi..
Namun semua hanya tebakan dua anak perempuan yang masih gelap dengan dunia dan tubuh mereka sendiri..

Sama gelapnya dengan apa yang akan dihadapi hari itu..
Mereka diam dengan tatapan kosong dibangku mereka masing-masing menatap hambar tulisan di papan tulis putih ketika suara tawa terdengar nyaring dari kelas sebelah
"HAHAHAHA.. HIHIHI AHAHAHA"

Belum selesai mereka terkesiap, suara tangis pilu terdengar jelas dari bangku pojok

"Aih, aiih, hayang uih.."
(Aih, aiih, ingin pulang..)

Semua terpaku pada dia yang berada disana, mengganti wajah sendunya dengan senyum bengis.

Pesta dimulai
_____

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Jf89

Jf89 Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @jakejf89

Nov 25, 2019
SETELAH PESTA

Kali ini gw akan bercerita tentang sebuah Pentas Seni (Pensi) yang membawa petaka setelahnya. Cerita ini berangkat dari kejadian nyata lebih dari 10 tahun yang lalu. Nama dan tempat disamarkan.

@bacahorror @ceritaht
#bacahorror #threadhorror Image
Karena kejadiannya sudah lama, jadi gw perlu waktu untuk mengingat kembali kejadian itu, mencari info tambahan ke narasumber lain tentang detail kejadian ini dan juga latar umum tempat dan waktu.
Gw minta maaf kalau utas ini diupdate perlahan, minggu ini kebetulan gw sedang banyak pekerjaan..

Seperti biasa jangan lupa baca doa sebelum membaca. Mereka mungkin ikut hadir juga..
Read 436 tweets
Nov 11, 2019
MOBIL TERKUTUK

@bacahorror @ceritaht @Koranhorror #bacahorror #threadhorror Image
Utas yg satu ini berbeda dengan utas2 sebelumnya. Jadi mungkin membingungkan buat para pembaca. Berdasarkan kisah nyata disajikan dengan improvisasi sedikit liar
Read 268 tweets
Nov 3, 2019
Bismillahirrahmanirrahim

Seluruh tokoh dan tempat disamarkan. Gw mohon banget untuk yg "ngeh" untuk tidak membocorkan demi kebaikan bersama. Hatur Nuhun.

TIDAK ADA KAITAN dg yg akan keluar ya.

Dan jangan lupa berdoa karena mereka hadir dalam cerita.

Kamu jangan nakal ya..
PROLOGUE
Perjumpaan Ge dengan keluarga Jansen saat meninggalnya Mbah telah membuka tabir Setiap melewati jalanan di kotanya. Para penghuni bangunan tua menampakkan diri kepadanya. Entah itu suara, sosok, maulun bau yg muncul tidak seharusnya.
Read 217 tweets
Oct 27, 2019
WARISAN KELAM MASA LALU

Bismillahirrahmnirrahim

Semoga kalian diberikan ketenangan.
Terima kasih atas pelajaran yg kalian berikan

@bacahorror, @ceritaht, #bacahorror, #ceritaht
***PROLOGUE***

Masa awal kemerdekaan Indonesia tidak disambut suka cita oleh seluruh penduduk Nusantara. Warga sipil dari Belanda justru mengalami terror yang luar biasa sebagai balasan atas apa yg dilakukan nenek moyang mereka.
Penjarahan, perampasan, penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan merupakan hal yg lumrah terjadi masa itu oleh mereka, para pejuang radikal. Entah berapa puluh ribu korban baik dari orang Belanda maupun mereka yang dianggap anti republik
Read 150 tweets
Oct 24, 2019
Mereka yang Hadir dalam Cerita
@bacahorror #bacahorror #threadhorror @ceritaht

Mohon maaf sebelumnya bila berantakan, maklum, ini utas pertama saya. Mohon maaf juga utas ini juga tidak berisi cerita horor seperti kebanyakan. Hanya paparan personal tentang apa yang terjadi saat cerita2 horor dibacakan.
Sepertinya penulis yang perlu minta izin pemilik cerita, baik yang tampak atau tidak sepertinya sudah jadi kewajiban sebelum cerita dimulai.

Saya yakin banyak dari kita sudah paham betul tentang hal itu.
Read 15 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(