Jala Mangkara Profile picture
Jan 20, 2020 93 tweets 11 min read Read on X
-Raja mantri-
Cerita tentang seseorang yang mampu menyembuhkan penyakit apapun dengan liurnya.
.
.
#bacahorror
#bacahoror
@bacahorror
#threadhorror Image
Nanti malem ya mulai ceritanya..
Lumayan panjang & alur ceritanya lumayan lambat...
semoga pembaca tidak bosan..
Jawa Barat , medio 90an
"Kang,apa sudah yakin mau berangkat kesana?

Dwi hanya diam,lalu tersenyum. " akang sudah berusaha disini, sekolah jg tdk selesai bisa kerja apa?,paling mencari rumput untuk ternak tetangga,
Kalo begini terus,lama-lama hutang kita semakin menggunung "
"Tapi kalo akang berangkat nanti saya bagai mana sama Putri kita? Tanya nyai ikah.
Kalo akang tdk berangkat,bagai mana bisa mencukupi kebutuhan ekonomi kita? Jawab Dwi dgn suara sedikit meninggi..

Sesaat terdengar ketukan di pintu,ternyata itu kang Darwis. Teman kecil Dwi yg kini tergolong yg paling sukses
Rupanya Darwis lah yg mengajak ayah satu orang putri tersebut untuk "ngalap berkah/ziarah" ke salah satu gunung di Jawa Barat.
Dwi nekat meng'iya'kan tawaran Darwis saat tak sengaja mereka bertemu ketika Dwi sedang mengantar nyi ikah istrinya berbelanja dipasar. Karena yang ia pikirkan saat itu adalah ia harus mencari uang untuk keluar dari kesulitan ekonomi yg dialami
Ditambah lagi keperluan pendidikan sang putri yang kian hari kian terasa memberatkannya.

Fajar belum keluar dari peraduannya,namun kedua pria yang usianya tidak terpaut jauh itu segera bergegas
Mereka melangkah pergi meninggalkan nyai ipah istri Dwi dengan tatapan khawatir. Ini berat,namun harus ucap batin Dwi.
Sebuah sedan hijau mulai menapaki jalan berbatu sebelum akhirnya sampai di jalanan beraspal, dalam perjalanan keduanya sempat berbincang dan ucapan Darwis yang paling Dwi ingat adalah
" ketika nanti sudah sampai ingatlah,tidak ada jalan kembali. Petaka akan datang bagi satu garis keturunan jika gagal"
Dalam perjalanan,Dwi sempat tertidur sebelum akhirnya mereka sampai di sebuah perkampungan penduduk, pedesaan yang asri namun cenderung sepi.
Sedan tercepat di zamannya itu nampak sudah diparkir disebuah lahan kosong, setelah keduanya turun,perjalanan mereka lanjutkan dengan berjalan kaki
Muncul pertanyaan dalam benak Dwi,"kemana setapak ini akan tertuju" sampai akhirnya langkah mereka mulai menjauh dari pemukiman penduduk dan perlahan-lahan mulai memasuki area hutan.
Matahari tepat berada diatas kepala tapi rimbunnya hutan seakan menyelimuti.
Mereka terus berjalan sampai jalan yang mereka pijak sudah sampai di ujungnya,kini yang nampak hanya area semak belukar
Darwis meyakinkan untuk menembus semak itu sambil terus berujar "ini jalan yang benar,lanjut saja"

Ada perasaan tak nyaman dalam diri Dwi "sebenarnya kita ini mau kemana"
Tak terasa setelah merangsak masuk jauh kedalam rimbunan belukar,kini mereka telah sampai disebuah pondok.

Pondok yang seperti tak terawat,terbuat dari kayu yang ditumpuk bersusun terkesan kumuh dengan atap yang nyaris rubuh-
Serta serakan dedaunan kering dimana-mana.

"Kita sampai,ayo" sembari menuju ke arah pintu. Tok..tokk tokk...

Keluar seorang Kakek tua.. Darwis menyalaminya lalu memperkenalkan Dwi & maksud tujuannya kemari.
"Sekarang kamu ikuti saja apa yang bapak ini katakan,beliau yang akan memandumu kepada EYANG WARAKA" Ucap Darwis.

EYANG WARAKA??? Dwi masih belum bisa mencerna apa yang Darwis katakan.
"Saya hanya bisa mengantar kamu sampai disini dan ingat,apapun yang terjadi ikuti saja apa yang diperintahkan"..

Lalu Darwis mencium tangan pak tua pemilik pondok seraya berpamitan.
"Lah teu ngiring ngendong Dar?"
( loh ga ikut menginap Dar?)

"Henteu Mbah,kumargi masih aya keperyogian"
(Tidak Mbah,saya masih ada keperluan) jawab Darwis.

"Nya atuh keun ai kitu mah,sakedap deui sasih ka salapan,nu di ikrarkeun kedah tos rengse sadaya"
(Yasudah kalo begitu,sebentar lagi bulan ke sembilan,apa yang dijanjikan harus sudah dipersiapkan)

Darwis mengangguk,pertanda ia sangat mengerti apa yang dimaksudkan Kakek bertubuh kurus kering itu.
Setelah Darwis melangkah keluar,si Mbah mempersilahkan Dwi untuk masuk.

"Kalebet kang,mangga atosan sakedap dipalih ditu"
(Mari masuk kang,silakan tunggu sebentar disana)

Rupanya maksud si Mbah adalah ruang tamu..
Ruangan yang hanya ada meja bambu tidak lebih tinggi dari lutut serta selembar tikar yg sudah sobek di tiap ujungnya.
Banyak sekali sisa puntung rokok berserakan, sepertinya Dwi bukan satu-satunya yang pernah datang ke sana.
Dwi hanya duduk sambil memandang sekitar dalam pondok,sambil sesekali ia menyeka keringat di dahinya yang masih terus mengucur usai perjalanan yang ia tempuh untuk sampai di pondok misterius itu.
Belum hilang lelahnya,tak berapa lama Dwi dipanggil masuk ke salah satu ruangan dalam pondok.. Bergegas ia menuju sumber suara,hingga langkahnya berhenti disebuah ruangan dimana Si mbah sedang duduk bersila.
Ruangan itu kecil serta asap mengepul hampir memenuhi seisi ruangan, ya ini asap kemenyan,Dwi meyakinkan diri dalam hati.

Ruangan itu pengap dengan penerangan seadanya mungkin luasnya tidak lebih besar dari kamar mandi milik kalian dirumah :)
"Kadie kang,calik"
(Kemari kang,silahkan duduk) perintah si Mbah sambil memejamkan mata.

Dwi melangkah masuk,lalu mengambil posisi bersila & duduk berhadapan dengan orang tua itu.
"Hirup salawasna,sakti teu aya bandinganana"
(Hidup selamanya,sakti tidak ada bandingannya) Dwi yang mendengar kalimat itu hanya terdiam,masih belum mengerti namun entah mengapa ia tiba-tiba mengangguk begitu saja.
Kakek tua pemilik pondok itu tertawa seperti sangat bahagia,tapi bagi Dwi ini aneh. Dalam hatinya ia ingin kelancaran rejeki agar ekonomi keluarganya bisa membaik,namun yang terjadi adalah tawaran hidup kekal.
Sambil mengelus jenggot putih miliknya,si Mbah lalu bangkit sambil berisyarat agar Dwi mengikutinya.. Seakan faham dengan batin Dwi yang tengah kebingungan ia berujar " kamu istimewa jgn khawatir,kekayaan akan mengikutimu setelah engkau mampu melewati dan memenuhi syaratnya"
"Sekarang istirahatlah, nanti tepat tengah malam,Mbah antar kamu kesana"
Muhun Mbah, ( iya Mbah ) Dwi menyenderkan tubuhnya pada dinding kamar,dengan beralaskan tikar lalu meluruskan kakinya yang terasa pegal..sambil membuka bekal makan dan minuman yang sempat ia bawa dari Rumah.
Sebelum tanpa terasa ia terlelap dalam lelahnya,

Siang sudah berganti malam,setengah sadar dari tidurnya,Dwi dikagetkan dengan suara ketukan, tok..tokk.tookk

"Hayu kang,waktos parantos pareng'' (ayo kang,waktunya sudah tiba" ucap suara dibalik pintu
Dengan nyawa yg masih belum kumpul,tergesa ia bangkit dari tidurnya seraya bersiap untuk memulai ritual yang ia pun belum tahu kemana arahnya.

Meski awalnya ragu Dwi melangkah keluar pondok perlahan,ada perasaan tidak enak-
Suasana pondok lebih terasa mencekam dibandingkan saat siang ia datang,lebih sunyi tidak terdengar apapun kecuali dedaunan yang daunnya bergesekan diterpa angin.

Kedua manusia itu pun memulai perjalanannya menuju ke puncak gunung yang Darwis selalu ceritakan.
Kembali Dwi melangkah diantara rimbunan pepohonan.
ketika tepat melewati salah satu pohon besar yang berderet belum begitu jauh dari pondok tempat ia beristirahat,dari sudut matanya Dwi melihat seperti banyak sekali sosok yang mengawasinya.
Sosok sosok tinggi besar,hitam dengan bola matanya yang merah menyala..ia bergidik ngeri..
Sesaat sosok sosok itu menghilang menyerupai kepulan asap..

Langkahnya ia percepat sambil merapatkan jarak dengan si pemilik pondok yang menjadi pemandunya.
Pak tua itu nampak mengerti dengan apa yang Dwi lihat,

"Kang,regepkeun" (kang dengarkan)
Nampak si Mbah memperkenalkan siapa dirinya yang ternyata adalah juru kunci digunung tersebut.

Gunung yang terkenal di seantero Jawa barat, tersohor akan keangkerannya
Gunung yang tidak terlalu tinggi namun sarat akan cerita mistis dibaliknya. Hampir semua orang tahu cerita dibalik gunung ini.

Dwi hanya tertegun ngeri mendengar cerita si pak tua yang kini ia tahu namanya ' Mbah dharma'
Setelah jauh berjalan menanjak,
"Sakedap deui dugi kang"
(Sebentar lagi sampai kang) ucap Mbah dharma.

Dwi mengangguk pelan tanda mengerti.

Urusan perut yang membuat Dwi rela menggadaikan akidahnya,tanpa peduli dosa yang akan ditanggungnya
Namun dibalik semua itu, inilah kali pertamanya Dwi melakukan hal semacam ini,hal berbau musyrik yang ia tahu betul akan penghakiman dari Tuhannya.
Sesat jalan yang mereka susuri mulai ditutupi kabut, kabut putih yang kian lama kian menebal ditambah lagi rimbunnya pepohonan serta semak yang cukup untuk membuat kulit tergores ketika menembusnya..
Udara dipenuhi Aroma tanah yang lembab dan suara gesekan daun kering setiap kaki berganti langkah..sebelum Dwi sadar perjalanannya sudah tidak terlalu menanjak.

Samar samar dari kejauhan terlihat sebuah BATU BESAR tertancap sendiri seperti memisahkan diri dari-
-Rimbunnya semak dan tingginya pepohonan. BATU yang terkesan misterius,begitu hitam dan kelam. Aneh,seperti tak ada rasa ngeri dalam tubuh Dwi. Semakin fokus pandangannya terhadap setiap inci bagian-bagian batu itu ia seperti terhipnotis untuk bersegera-
Menuju pada batu besar yang meruncing di bagian puncaknya.

Siapapun pasti kehilangan nyali jika harus berada disini,didalam hutan dan pekatnya malam. "Saya harus bisa melewati ini semua" Dwi bergumam dalam hati.
Setelah jarak mereka dengan batu itu hanya tinggal beberapa langkah,

"Ayeuna calik didieu dugika panon poe katingal ti wetan,ulah ingkah najan kumaha oge" ( duduklah disini hingga matahari terbit,jangan pergi apapun yang terjadi) perintah Mbah darma.
Batin Dwi terguncang "apa pak tua itu akan meninggalkan saya sendiri disini?" keraguannya menguat tapi entah apa yang Dwi pikirkan,ia menyanggupi perintah Mbah darma.

"Beleum ieu,haseupna cina ka kidul,teras ieu di aos" ( bakar ini biarkan asapnya mengarah ke selatan,& baca ini"
Sembari memberi kantong plastik yang berisi kemenyan,dupa dan secarik kertas,

Bergegas Dwi melakukan apa yang diperintahkan "dupa nya ditancap sebelah mana" sambil mengarahkan pandangannya ke tempat Mbah darma berdiri..
Betapa kaget dan terkejutnya ia mengetahui si Mbah yang barusan berdiri disebelahnya kini telah menghilang.

Seketika bulu kuduknya berdiri. Muncul pertanyaan dalam pikirannya,
Kemana orang tua itu??jika pergi kenapa aku tidak mendengar langkah kakinya.??
Kini Dwi benar-benar sendirian, terasing dari manusia yang kebanyakan di jam itu sedang terlelap dalam mimpi.

Malam semakin kelam,dengan hanya disinari cahaya bulan,Dwi duduk bersila menghadap batu besar yang seakan diselimuti aura negatif..
Dalam duduknya kemudian ia membaca tulisan dalam kertas yang Mbah darma beri,berulang ia baca hingga akhirnya ia mengerti bahwa itu sebuah mantra.
Mantra yang ditulis dalam bahasa Sunda kuno.
Cukup lama ia ulang mantra itu,sampai muncul keinginan kuat untuk melihat ke sekitar,

Matanya menyapu setiap jengkal apapun yang dapat ia tangkap..hingga Dwi menengadahkan pandangannya ke atas batu besar, terlihat sesuatu disana...
Sesuatu menyerupai asap, asap tipis namun lama kelamaan menebal membentuk sebuah sosok..

Semakin lama sosok itu semakin berwujud menjadi mahluk menyerupai manusia tua yang menatap Dwi tajam sembari menyeringai.
''KI WARAKA" ucap Dwi terbata bata.
Dengan ketakutan yang hampir sampai pada batasnya Dwi ingin beringsut mundur namun tak sejengkalpun tubuhnya ia dapat gerakan..
Mahluk itu mulai mengerakan tubuhnya menuruni batu menuju ke arah Dwi, namun cara ada yang aneh dari caranya berjalan..

Caranya berjalan seperti merayap,menyeret kedua kakinya dengan tangan sebagai tumpuannya.
Terjadi pergulatan dalam diri Dwi, ingin rasanya mengakhiri ritual ini tapi ia ragu atas konsekuensi jika ia gagal melewati ini.
"Jangan lari,apapun yang terjadi" Dwi mendengar suara yang tak asing bergema di telinganya. Ya,itu suara Mbah darma..

Nafasnya kini memburu,keringat keluar disetiap pori-pori ditubuhnya,kini Ki WARAKA tepat berada berhadapan dengan Dwi..
Mahluk dengan taring hitam membusuk dan liur menetes seolah tiada henti serta aromanya pasti membuat siapapun yang menciumnya mendadak ingin mengeluarkan isi perutnya.

"Saha maneh?" tanya mahluk bersuara parau itu,seperti suara khas orang tua renta.
Wajahnya keriput,dipenuhi luka. Seperti luka borok namun telah membusuk. Kukunya panjang serta hitam..rambutnya putih keabuan juga berantakan.

"Simkuring Dwi Ki" jawab Dwi dengan terbata-bata. Kini jarak mereka hanya tinggal sejengkal..
Tanpa disadari tangan kiri mahluk itu kini telah memegang kepala belakang dwi, tangan keriput yang dipenuhi luka membusuk dengan kulit sedikit menggelambir, yang setiap tangan itu digerakkan maka kulitnya ikut tersobek membuat luka baru yang menandakan-
Betapa busuknya daging yang menempel pada mahluk itu.

Dihempas nya dengan keras kepala Dwi hingga pipi kanannya menyentuh tanah. Dwi tersungkur dengan posisi mahluk itu tepat berada diatasnya.

Liur beraroma bangkai kini mulai menetes di pipi Dwi,
Semakin lama liur itu semakin membasahi wajahnya. Ia berontak berusaha menghindar tapi tak sedikitpun mampu menggerakkan tangan berkuku panjang yang terus menekan kepala dwi ketanah.

Tanpa sadar,kini cairan menjijikan itu tertelan olehnya..
Melihat itu,Ki WARAKA lalu mundur perlahan. Dengan bola mata merah menyala lalu menyeringai dan berucap " hirup salawasna, sakti teu aya bandinganana" ( hidup selamanya,sakti tidak ada tandingannya)

Persis seperti yang Mbah darma ucapkan saat di pondok.
Dalam keadaan lemas dan shock,Dwi merasakan kepalanya mulai berat dan nafasnya mulai sesak sebelum semuanya gelap.
Dilanjut beberapa hari lagi yaa.. Narasumber sedang mejalankan ibadah ke tanah suci..

Sambil menunggu beliau pulang ke tanah air,besok kita selang cerita baru yang saya & sahabat alami ketika msh sekolah.kejadian yang sempat membuat kami trauma-
Latar kejadiannya masih sekitaran kaki gunung tempat kang Dwi cod sama Ki WARAKA kok :D
Singkat cerita Dwi berhasil melalui ujiannya,ia kembali pada keluarganya di desa dan beraktivitas seperti biasanya. Menjadi buruh di sawah dan mencari rumput untuk ternak tetangga.
Nyai ikah sempat bertanya apa saja yang terjadi ketika hari dimana ia pergi bersama darwis, namun Dwi tidak pernah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya bercerita jika disana ia hanya berziarah saja.
Tibalah saat itu,saat musim ''dibuat'' (musim panen padi).
Matahari masih belum nampak para warga sudah berduyun-duyun menuju salah satu sawah yang hendak dipanen milik seorang juragan desa.

Memang sudah menjadi kebiasaan rutin warga Pagi-pagi buta bergotong royong-
Memanen padi jika sudah waktunya, tak terkecuali Dwi. Ia nampak ikut bersama buruh tani yang lain lengkap dengan topi caping dan ani-ani (alat pemotong padi)seperti arit namun bergerigi.
nantinya jika pekerjaan mereka selesai akan diberi upah berupa uang atau pare (padi).
Ketika sampai di sawah,semua langsung mengambil bagiannya masing-masing,semua nampak sibuk.
tidak ada yang aneh hingga tiba saat istrirahat siang,
Ketika itu sebagian sedang berteduh dipinggiran sawah sambil memakan bekal yang mereka bawa dari rumah
Matahari tepat diatas kepala,terdengar suara dari tengah area persawahan "Tulung.." (tolong)

Mereka yang tengah berteduhpun segera bangkit dari duduknya dan segera menghampiri asal suara.

Beberapa pria sedang berusaha menghentikan pendarahan di jari seorang yang juga buruh tani
"Aya naon" (ada apa?)
"Ieu mang Engkos keuna arit pananganna" ( ini mang Engkos tangannya kena celurit) nampak saat itu bagian kelingking pria yang akrab disapa mang Engkos mengucur darah segar. Nampak juga beberapa masih berusaha menghentikan pendarahan dgn sebisanya.
"Na keur kumaha atuh make beunang arit Sagala" (gimana ceritanya sampe bisa kena celurit?) ucap salah seorang warga yang berusaha mencari tahu kronologis kejadian.
"Duka atuh da Jol kitu" ( tidak tahu,saya lihat sudah begitu) jawab seorang saksi..
Mang Engkos masih meringis kesakitan ditengah jemari yang hampir terputus itu.darah seolah tak mau berhenti walau sudah diikat pergelangan tangannya.

"Candak ka puskesmas we,hawatos" (bawa ke Puskesmas,kasihan) ucap seorang ibu yg tak tega melihat kondisi mang Engkos.
"Teu kedah dicandak ka puskesmas!" (tidak perlu dibawa ke Puskesmas!) ucap Dwi,kerumunan warga yang terlihat panik sontak memandangi Dwi yang terlihat santai. "Cik Nyuhunkeun cai" (coba beri saya air) pinta Dwi.
"Golerkeun didieu" (baringkan disini)--
Sambil menunjuk ke pematang sawah tempat ia berpijak.
Mang Engkos dibaringkan setengah terlentang dengan punggung bersandar pada pangkuan orang yang tadi berteriak minta tolong,

Dwi berlutut menggenggam tangan kiri yang terluka itu,
Lalu ia menjilati setiap tetes darah yang tercecer di pergelangan tangan mang Engkos, sebelum ia memasukan jemari yang hampir putus itu kedalam mulutnya. Semua yang saat itu menyaksikan sangat keheranan dengan tindakan Dwi yang jauh diluar nalar.
Setelah cukup lama,Dwi menghentikan aktivitasnya,sesaat setelah jari itu ia keluarkan,segera ia mengambil botol air yang tadi sempat ia minta lalu meludah didalamnya. Selanjutnya membasuhkan air yang baru saja ia ludahi pada luka mang Engkos.
Pendarahan hebat itu seketika berhenti,jari yang tadinya nyaris putus kini menempel kembali. Mang Engkos yang sedari tadi meringis kesakitan pun ekspresinya kembali normal. Kini luka itu seperti nyaris sembuh,hanya meninggalkan bekas seperti luka gores biasa
"Tos teu nanaon ayeuna mah" (sudah tak apa-apa sekarang)
"Marangga tipayun" (permisi,saya duluan) Dwi pamit pulang kemudian beranjak pergi meninggalkan warga seolah tidak pernah terjadi apapun.
Warga yang menyaksikan hanya bisa melihat Dwi melangkah pergi,seolah mulut mereka Kelu setelah melihat yang baru saja mata mereka saksikan.

Setelah kejadian itu,di desa tersebar kabar bahwa Dwi adalah seorang Mantri ( tabib) handal..
Setiap penduduk desa ada yang sakit,selalu diajak menemui Dwi. Cara pengobatannya pun selalu sama.. Ia suruh pasien berbaring,lalu menjilati bagian tubuh yang sakit,lalu membasuh area tersebut dengan air yang sudah diludahi.
Jorok memang namun ditengah keterbatasan penduduk saat itu otomatis pengobatan Dwi menjadi pilihan utama bagi mereka.

Semakin lama pasien yang datang makin membludak,dari yang hanya 1 atau 2 orang setiap minggu,kini menjadi puluhan orang setiap hari.
Semakin lama semakin tersohor nampaknya,ia yang tdk pernah meminta bayaran atas apa yang ia perbuat,kini mulai mematok tarif.

Keluarganya yang dulu hidup kekurangan,kini berbanding terbalik.
Dwi yg dulu bekerja sebagai buruh serabutan berubah drastis.
Hanya dalam beberapa bulan saja kesakitannya sebagai seorang Mantri menjadi viral. Pasien yg dulu hanya penduduk kampung sekitar kini berganti dengan orang-orang bermobil mewah. Pernah suatu ketika terlihat iring-iringan kendaraan yang sepertinya
Merupakan petinggi di negeri ini terparkir berjejer di depan kediaman Dwi Permadi. Terlihat dari plat nomor kendaraan tersebut dan banyaknya ajudan berpakaian safari turun dari mobil,entah siapa namun yang pasti itu bukan orang sembarangan.
Apa semua berakhir disini? Tidak semudah itu Fergusooo.. :) dalam setiap perjanjian dengan iblis, selalu ada harga yang harus dibayar.. Kisahnya akan saya lanjutkan dalam partai ke2 nanti
Kisah kelam yang saya sendiri bergidik ngeri ketika mendengarnya, kisah dimana sang putri sematawayang harus menjadi korban keserakahan ayahnya. Cerita itu saya tulis berdasar penuturan langsung dari seseorang yang mengurus pemandian jenazah ikeu (Putri tunggal Dwi Permadi)
Konon jika seseorang meninggal dengan area vital menghitam hingga perut adalah pertanda ia telah disetubuhi oleh mahluk hina. Bukan jin biasa,lebih dari itu.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Jala Mangkara

Jala Mangkara Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @Jalamangkara27

Mar 4, 2020
Kata orang didesa gw bila ada yang harus dihindari maka kepunden ini salah satunya.
Ini akan menjadi cerita gw yg gak pernah dilupakan karena menyangkut nyawa penduduk yg hidup berdampingan dengan kerajaan tak kasat mata yg konon masih ada hingga saat ini.
Beberapa warga desa sering mengaku melihat ular besar sebesar Batang pohon kelapa sedang berjemur diantara bebatuan dan rimbunnya semak.
Read 55 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(