Mereka memberi pelajaran agar kita tetap menjaga sikap, dimanapun kita berada.
@bacahorror #bacahorror
Disaat semua orang terlelap dalam tidurnya, sekumpulan remaja tanggung masih setia bercengkrama di teras sebuah rumah.
“Prei an saiki, dewek arep dolan neng ndi?” (Liburan kali ini, kita mau main kemana?) Tanya salah satu pemuda setelah lagu berakhir.
“Pantai ae yok.” Sahut pemuda disebelahnya.
“Munggah gunung ae yok?” (Naik gunung aja yuk?) Saran dari salah satu orang yang sedari tadi memetik gitar.
“Piwe nek ngecamp neng alas kidul kali wae?” (Gimana kalo ngecamp di alas kidul kali?) Seseorang yang-
“Lagian iku gunung wes seko mbien tah dewek arep manjat?” (Lagian udah dari dulu itu gunung mau kita daki?) Lanjutnya.
Serangkaian kalimat yang terucap dari bibir pemuda tersebut, sukses dihadiahi tatapan dari kawan-kawannya.
“Kenapa?” Tanya pemuda itu kebingungan.
“Tenan cok, arep ngecamp neng kono po?” (Yakin nge camp disana?).
Pemuda itu mengangguk cepat.
“Ayok, aku melu wae.” (Ayo, aku ngikut aja.) Ucap si pemain gitar.
“Yo, aku sih oke juga.” Kali ini pemuda berbaju biru yang sedari tadi diam, kini ikut menyutujuinya.
Semua orang yang berada di teras sepakat, jika liburan tahun ini, mereka akan ngecamp di salah satu pegunungan.
“Iyo ben rame sisan. Wes jarang dewek preian bareng ngene ki.”-
“Oke, dadine arep mangkat kapan?” (Okelah, jadi mau berangkat kapan nih?).
“Dino jemuah wae, dewek mangkate esuk. Mengko ngasone neng gone dulurku.” (Hari jumat aja, kita berangkanya pagi. Nanti istirahatnya-
Malam itu mereka sepakat untuk mengisi liburan dengan mendaki sebuah gunung.
Dari sana cerita itu dimulai.
*****
“Asu, esih shubuh iki cuk!” (Anjir, masih subuh, cuk.) Umpat pemilik kamar sembari mengucek mata.
Pemuda berpakaian piyama itu berbalik, membuka korden jendela kamar, mentari telah menjunjung tinggi. Matanya menyipit sebab terkena silau matahari.
“Barang-barange wes ditoto?” (Barang-barangnya udah dikemas?)
“Mengko dewek cah limo opo ono meneh sing arep melu?” (Nanti kita berlima doang, apa ada lagi yang mau ikut?) Tanya sang tamu. Ia pulang cepat pada malam itu, sehingga-
“Ra ruh aku tah. Tapi koyone si Apun nge jak si Edo. Soale kan de’e sing duwe tenda loro toh, ben lewih murah ketimbang nyewa. Nah nek Jaffar paling nge jak dulure sing biasa dolan rene, sing omahe neng kabupaten sebelah-
(Gatau dah, tapi kayaknya si Apun ngajak Edo. Soalnya doi kan punya tenda dua, biar murah daripada nyewa. Jaffar paling ngajak saudaranya yang sering main sama kita-kita itu, yang rumahnya di kabupaten sebelah, si Anjas. Biar rame sekalian).
*Tok tok*
Pintu kamar Rofik kembali terbuka, menampilkan sosok laki-laki yang merupakan tetangga rumahnya. Ia datang dengan satu orang laki-laki lain yang berbadan besar-
“Mamaku neng ndi tah? Iso-isone koe melbu omahku seenak udel ngono.” (Emak gue kemana dah? Kok kalian pada seenak udel masuk rumah gue?) Omelnya bingung.
“Bocahan yo sek podo mlaku ngeneh.” (Bocah lagi pada otw kesini.) Lanjutnya.
Pemuda berbobot lebih dari satu kwintal itu mengangguk, “Nek si Tama wes mekso, aku mesti piwe?” (Kalo si Tama udah maksa, gue mesti gimana?) Jawabnya.
***
Mobil keluaran awal abad millenial terparkir gagah. Mereka sangat siap liburan kali ini.
Suasana perdesaan dan asrinya alam menyambut kedatangan mereka. Hawa sejuk sudah mulai terasa-
Semakin jauh, pemukiman penduduk kian jarang, hanya perkebunan teh yang diselingi oleh ladang-ladang, serta alas hutan di kanan dan kiri jalan.
Rofik yang duduk dibangku tengah samar-samar mendengar percakapan dari belakang.
Sebab penasaran yang besar, Rofik menoleh. Karena merasa terusik, sepasang sepupu tersebut membisu.
“Napa!?” Tanya Rama.
“Koe pada ngomongke opo?” (Kalian ngomongin apa?) Potong Rofik dengan sebuah pertanyaan.
Ada raut menahan pada wajah mereka yang Rofik sendiri tidak paham. Seperti baru saja melihat sesuatu.
Karena tidak menemukan jawaban, Rofik kembali pada posisinya. Ia tidak tenang, pikirannya melayang-
Rofik menghela nafas, “Nek Rama karo Tama wes koyo ngono, mesti ono masalah.” (Kalo mereka udah kayak gitu, pasti ada masalah.) Lirihnya dalam hati.
*****
Setelah beberapa lama menyusuri jalanan tanah, akhirnya tujuh orang pemuda tiba di rumah Anjas. Hanya ada beberapa rumah warga disana. Selebihnya-
Rofik and the geng menitipkan mobil di rumah orang tua Anjas. Setelah menunaikan solat jumat dan mengecek segala perbekalan, sekumpulan pemuda itupun berdoa bersama dan dimulailah sebuah-
Sebelum berangkat, Anjas memberikan sesuatu kepada Tama, “Iki ono HT loro, kowe siji neng mburi, siji meh kanggo sing neng ngarep.” (Ini ada HT dua, satu buat yang di belakang dan satu lagi buat yang ada di depan).
Anjas memberikan satu HT kepada Tama, karena Tama merupakan sweeper pada perjalanan kali ini.
“Iki saluranne piro?” (Ini saluran berapa?) Tanya Tama mengotak-atik benda yang kini berada di tangannya.
Sama halnya dengan perbukitan pada umumnya, ladang-ladang penduduk dapat dijumpai di awal-awal perjalanan. Beberapa warga juga terlihat sedang bernaung di bawah bangunan yang dibuat semi permanen.
“Asem.”
Zaki tersandung hingga badannya terjatuh ke tanah. Rofik dan Tama kemudian membantunya untuk duduk.
“Sing alon wae tah, Jak.” (Pelan-pelan aja, Jak).
Ia tidak habis pikir. Tidak ada semak belukar atau batu-batu yang membuatnya-
“Aneh.” Batin Zaki geleng-geleng kepala.
*****
“Woy.” Rofik sedikit berteriak.
“Podo ndeloki opo tah?” (Pada ngeliatin apa dah?) Tanya Rofik.
Rofik mengedarkan pandangan menuju objek yang-
Tapi hasilnya percuma. Ia tidak menemukan hal apapun yang janggal.
“Ndak popo. Mau ndelok ono manuk apik. Sesok-sesok nek arep dolan ngeneh meneh, rosone arep tak dimek.”-
Meski tidak sepenuhnya percaya, Rofik mengangguk.
“Oh pantes.” Gumam Rofik. Ia memang tahu jika Rama sangat menyukai burung. Bahkan-
“Yuk lanjut meneh, Fik.” Ajak Tama dengan menarik bahunya.
Kabut semakin membatasi pandangan, bahkan sinar matahari saja tidak cukup mampu untuk menembusnya-
Mengingat jarak pandang yang lumayan tipis, membuat pohon dan hal-hal lainnya hanya sebatas samar-samar. Berkali-kali mereka-
“Engkelku loro meneh ki.” (Engkelku sakit lagi nih.) Zaki terduduk diantara pohon besar. Ia memijat persendian di kaki kirinya.
Pemuda jangkung itu memang memiliki riwayat penyakit engkel yang di deritanya sejak beberapa tahun yang lalu-
“Engkelku ora kambuh.” (Engkelku ga kambuh) Bisik Zaki.
Rofik menoleh cepat, dahinya mengkerut bingung, “Maksude?”
“Aku kesandung, cuk. Mau iku ono sing nyekel sikilku.”
Kerutan di dahi Rofik semakin jelas, sangat kentara ia tidak menanggap maksud dari Zaki.
“Maksudmu piwe tah?” (Maksudnya gimana?)
“Wes-wes ngaso sek.” (Udah istirahat dulu.) Usul Tama bijak.
“Gak iso, Tam. Dewek mesti gawe tenda neng duwur sadurunge mbengi.”
“Piwe meneh, cuk? Sikile koncomu iki loro!” (Gimana lagi? Kakinya temenmu ini sakit!) Rofik menimpali.
“Aleman o cuk. Tibo koyok ngunu wae.” (Manja dah. Jatuh begitu doang).
“Wes-wes. Nek kowe arep mangkat sek yo rapopo. Aku mengko dewek nyusul.” (Udah-udah. Kalo kamu mau naik duluan gapapa. Nanti kami nyusul). Ucap Rama pada akhirnya.
“Ngene wae, bagi dua tim-
“Ojo lali gawe tanda nek ono persimpangan neng ngarep yo.” (Jangan lupa bikin tanda kalo ada persimpangan di depan ya) Tunjuk Tama kepada Anjas.
“Iyo, duluan ya.”
***
Tama yang melihat perilaku Rofik, menghampiri tetangganya tersebut.
“Ndak popo.”
“Pasti masalahe Apun yo?” Tama to the point, hanya soal itulah yang bisa ia tangkap. Rofik tidak merespon, ia hanya diam. Tidak keluar satu patah katapun.
Rofik menoleh-
Manusia yang menyerupai kera hanya diam, memandang dari kejauhan, seakan-akan ia tidak dapat lebih dekat.
Mata Tama membulat sempurna, ia menyadari bahwa sosok itulah yang mengikutinya sejak dari kaki gunung. Memang-
“Woi Ram, lanjut saiki yo.” (Ram, lanjut sekarang ya) Perintah Tama kepada sepupunya. Dengan segera, ia membereskan barang-barang dapur yang masih berserakan.
“Asu. Demit e ngetutno?” (Asu, setannya ngikutin?)
Tanya Rama disela ia membantu Tama yang tengah membongkar tenda.
“Aku wes ngara seko mau neng ngingsor.” (Aku udah ngerasa sejak tadi dibawah).
Mereka berempat kemudian berjalan secara cepat. Zaki yang tidak mengetahui apa-apa, hanya diam menurut tanpa banyak bertanya. Ia sadar-
Lama berjalan, pergelangan kaki Zaki kembali merasa nyeri. Ia ingin meminta teman-temannya untuk rehat sejenak, tapi merasa sungkan.
“Bener perkiraanku.” Celoteh Rama pelan.
.
“Bener, kowe dudu kesleo iki, ono sing nyekel sikilmu.” (Bener, kamu gak kesleo nih, ada yang megang kakimu) Rama memberi penjelasan.
“Maaf ya.” Lirih Zaki.
Zaki mendongak, “Ngarepotke kowe pada.” (Ngerepotin kalian).
“Dewek iku kan konco, cuk. Seneng angel bareng-bareng.”
Semuanya tersenyum. Teringat jika sejak jaman sekolah dasar, hingga kini berkepala dua, mereka selalu sama dalam suka ataupun duka. Masalah antar-
“Tes. Halo.. Halo..” Suara dari seseorang di sebrang sana terdengar, Tama mengambil HT yang berada di saku tasnya.
“Yo, kenapa?” Tanya Tama.
“Wes lewati pertelon dalan, sing kowe gawe tanda rapia warna ireng.” (Udah lewati pertigaan jalan, yang kamu kasih tanda tali rapia warna hitam).
“Iyo. Delo meneh arep dalan ki.” (Iya, bentar lagi mau jalan nih). Ucap Tama kemudian menutup HT.
*****
Hari semakin gelap, waktu magrib telah tiba. Kabut tak kunjung menipis, malah kini kian menebal.
Edo bergetar, merasa sudah dalam batasnya. Ia tidak kuat lagi dengan suasana sore itu.
“Eh aku yo kepikiran loh, apa gak popo kowe ngomong ngunu ming koncomu? Ra loro ati tah de’e?”
Apun berhenti, “Gak popo a. Niatku kui apik, ben de’e iku kuat, walau situasine kui gak ngenakin.”
Tak sampai semenit mereka sampai. Tidak ada bangunan, hanya tanah landai yang tidak begitu luas. Terdapat dua pohon besar diujung dekat jurang.
“Raono sing gowo kompor tah?” (Gak ada yang bawa kompor tah?) Tanya Jaffar.
“Loh berarti dewek gak ono tendo karo kompor tah?” (Berarti kita gak ada tenda dan kompor dong?) Tanya Jaffar heran. Berarti semua kompor berada di rombongan sebelah.
“Far, nyileh korek. Aku arep udud.” (Far, minjem korek aku mau ngerokok). Pinta Apun mendekati Jafar, tangannya sudah terulur.
Apun berdecak, “Ck, ono sing gowo korek meneh?” (Apa yang bawa korek lagi?) Kali ini Apun bertanya kepada yang lainnya.
“Cubo iku si Tama di hubungi, wes teko ngendi de’e.” Perintah Apun menunjuk Jaffar.
Matanya enggan terbuka, ia berfikir bahwa suara itu berasal dari teman-temannya. Jaffar tidak peduli untuk beberapa waktu, namun ia menajamkan pendengaran.
Suara gesekan dedaunan kembali tertangkap, “Koncoku pada neng ngarepku, tapi kenapa swarane seko mburiku?” (Teman-temanku berada di depan, namun kenapa suaranya terdengar dari arah sebaliknya?) Jaffar membatin.
Jaffar terdiam sesaat.
"Hmmmm."
Matanya terbuka kilat, baru saja terdengar deheman dari seseorang. Suaranya amat berat, berbeda dengan suara milik teman-temannya.
“Asu, kok ra mempan ki.” (Asu, kok gak mempan nih) Umpatnya.
Lama, sosok itu masih tidak bergeming, akhirnya ia menemukan satu jawaban bahwa teman ghaibnya tidak mampu menolongnya.
**** (Bersambung) ****