Pada siang hari, pemandangannya memang menakjubkan. Tapi semuanya terlihat jelas saat malam mulai menyelimuti.
@bacahorror #bacahorror
Pertama adalah jalan yang biasa Aji lewati. Jalanan itu berupa jalanan desa yang kecil dan sudah beraspal.
Bahkan di pertigaan itu tidak ada penerangan jalan sama sekali.
Belum lagi, kebun-kebun warga yang luas tapi menyeramkan saat malam tiba.
Jarak yang ditempuh Aji lumayan cepat jika lewat jalan ini. Hanya sekitar 1-2 menit jika naik motor. Sedangkan jika berjalan kaki itu sekitar 5-10 menit saja.
Jalan kedua ini lebih sering Aji lewati ketika berjalan kaki.
-Bersambung-
-The story will begin-
*Trit… Trit..”
Sebuah panggilan masuk tampak dilayar ponselnya, dengan cepat pemuda itu mengusap layar ke atas, tanda mengangkat telepon.
“Yo, ke tongkrongan pojok desa (Persingkat: PD) gak?” Tanya seseorang di ujung telpon.
Pemuda itu terlihat menimang-nimang, menjauhkan benda yang ada digenggaman tangan dan melihat jam yang berada dalam ponselnya. Masih jam 9 malam, pikirnya.
“Oke, gue tunggu Ji.”
Cowok bernama lengkap Saptaji, atau yang akrab dipanggil Aji itu kemudian menutup panggilan.
Persawahan juga gelap gulita, hanya lampu dari motornya saja yang menjadi penerangan.
Sembari menunggu mobil itu melintas, Aji mengedarkan pandangan ke persawahan.
Sebuah bunyi seperti daun bergesek dari arah sebelah kiri membuatnya menolehkan kepala. Terdapat pohon randu dan jambu mete yang sangan besar yang dikelilingi oleh pohon-pohon pisang di tepi kali.
“Anjir, apa itu tadi?” Batinnya.
“Lo kenapa, Ji?”
“Lang.” Ucap Aji perlahan kepada Gilang.
“Temenin bentar yuk.”
“Ada apa, Ji?” Tanya Gilang sesaat setelah motor yang dikendarai oleh Aji melesat pergi.
“Iya.”
“Gue kayaknya baru aja liat deh, Lang.” Aji menelan ludah. “Gue ngajak lo buat memastikan apa yang gue lihat.” Lanjutnya.
Aji menepikan motor di tempat sebelumnya. Penglihatannya kembali memfokuskan pada arah dimana ia melihat objek kain putih itu.
"Kalo tadi cuma kain, pasti itu putih-putih masih ada di pohon randu. Tapi sekarang udah gak ada, Fix itu tuh pocong." Lanjutnya.
Jantung Aji tiba-tiba berdetak cepat, ia mencoba membaca apa yang dilihat oleh Gilang.
“Cabut, Ji!”
Suara dari Gilang menyadarkan Aji. Dengan terburu-buru dan masih dalam mode panik, ia mengendarai motornya menuju dusun A.
“Sekarang tuh jam berapa, Lang?”
“Anjirlah!”
“Woi kenapa lagi lo?” Tanya Aji sambil turun dari motornya. Kini mereka duduk di pos tersebut.
“Wagelaseh.”
Mereka terdiam untuk beberapa saat, keduanya sibuk dalam kalut pikirannya masing-masing.
Lama mereka hening, Aji berdiri, “Ayok, ke tongkrongan, Lang!” Ajaknya.
Aji mengangguk yakin, “Lewat jalan 3, yang rada ramean.” Ucapnya sambil nyengir.
"Okelah, hayuk Ji. Keburu malem."
“Kalian lama banget.” Celoteh salah satu teman mereka.
“Sorry tadi ada urusan.” Ucap Aji menyembunyikan alasan.
“Tolonggg… Tolong…”
Semua pemuda yang berada di tongkrongan saling memandang satu sama lain, mencermati apa yang baru saja mereka dengar.
Wanita itu mukanya pucat, nafasnya tidak teratur.
“Duduk dulu mba.” Ucap Aji membaca keadaan.
Perempuan itu segera duduk di kursi yang berada di teras rumahnya.
“Lang, ambilin air putih.” Perintah Aji kepada Gilang.
Sementara itu para penghuni rumah segera keluar dari dalam, mengira-ngira apa yang sedang terjadi.
“Gimana ceritanya, mba?” Tanya salah satu anak tongkrongan.
“Yaudah de, istigfar.” Ucap ibunya.
Jika sudah melihat Gilang seperti itu, perasaan Aji pasti was-was.
Sesosok kuntilanak dengan wajah yang menyeramkan dengan rambut panjangnya itu berada di pinggir sumur. Mengapa ini terjadi lagi, batinnya.
“Jancok.” Umpatnya ketika mengetahui siapa gerangan yang mencengkram erat tangannya.
Aji kembali menolehkan pandangan ke tempat semula. Kuntilanak itu masih berada ditempat semula.
Aji mengangguk, “Iya.”
Mereka berdua masih terpaku pada objek yang jarang mereka lihat selama di tongkrongan.
Gilang mengangguk, mengikuti langkah Aji yang telah berjalan menuju teman-temannya. Mereka yang lain masih berada di teras rumah Wanita yang sebelumnya berteriak minta tolong.
Semua anak tiba-tiba terdiam. Tidak ada satupun yang berucap, hanya terdengar suara katak yang samar-samar terdengar dari sawah.
“Si anjing kentut.” Umpat seseorang yang tengah berada di sebelahnya. Dan diikuti oleh semua penghuni tongkrongan.
Namun yang sedang diumpat malah tertawa terbahak-bahak. Ia sukses menjahili anak-anak tongkrongan.
“Bentar woi, ada bau aneh nih.” Ucap Gilang.
“Paling bau kentutnya si Bayu.” Celoteh anak yang sedang menelpon pacarnya tersebut.
Merasa ada yang aneh, Aji mulai mengendus bau yang dirasakan oleh Gilang.
“Eh iya, wangi men.”
“Kemenyan ini, cuy.” Ujar anak yang tengah memegang gitar.
“Aneh.” Batin Aji.
Selama ia main di tongkrongan PD, jarang sekali ia mencium bau kemenyan. Bisa dibilang tidak pernah.
Aji mengangguk setuju. Malam itu terasa sangat aneh. Dari mulai ia melihat pocong ditanjakkan, hingga kuntilanak di sumur. Belum lagi bau kemenyan yang bisa dicium oleh semua anak tongkrongan.
“Gue balik dulu ya.” Izin Aji kepada anak-anak yang lain.
“Iya, hati-hati di jalan.”
“Loh tumben? Biasanya tidur sini.” Tanya salah satu anak tongkrongan.
“Iya lo, Lang. Biasanya nginep.” Tambah anak yang lain.
“Malam ini aneh, cuk!”
*Bersambung*
“Lama banget si Aji.” Gumamnya.
Belum lama Gilang menggerutu, seseorang yang tengah dinantikan itu memanggil namanya dari luar rumah.
“Lang. Gilang.”
“Motor lo mana?” Tanya Gilang dengan memperagakan orang menarik gas motor.
Aji hanya nyengir, “Gak ada bensin, Lang.”
“Jalan aja sih, masih sore ini.”
“Lah nanti pulangnya?” Tanya Gilang masih ragu.
“Nginep disana aja.”
Aji tertawa, “Iya, toh kalo gue pulang, ya kita pulang bareng.”
Gilang mengangguk-angguk, “Yaudah yok.”
“Asu, gelap banget.” Umpat Gilang.
“Lewat jalan sawah aja, Lang.” Ajak Aji yang memimpin jalan.
Ditengah perjalanan, Aji menghentikan langkah. Telinganya merasa mendengar sesuatu.
Mereka terdiam, tanpa berucap apa-apa. Alunan musik perpaduan dari suara katak dan jangkrik menghasilkan suasana syahdu malam hari.
“Bukan. Dengerin baik-baik.” Perintah Aji dengan menunjuk telinga agar Gilang mendengarkan baik-baik suara yang ia maksud.
Sepasang remaja itu saling berpandangan, keduanya mengerutkan dahi. Terjadi keambiguan suara diantara mereka.
“Tut.. Tut…”
Ditengah persawahan dengan minimnya penerangan, terlihat sebuah keraguan dalam mata Aji.
“Gue juga dengernya gitu.” Potong Aji.
Gilang berdecak, menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Jalan kereta aja jauh dari sini, Ji. Stasiun aja setengah jam perjalanan.” Gilang sedikit berteriak. Ia terdengar seperti orang yang frustasi.
“Gue tahu.” Kata Aji datar.
“Terus kenapa suara kereta apinya begitu deket?”
Mereka berdua masih diam.
"Tut... Tut..."
Suara kereta uap itu semakin dekat. Deru mesin lokomotif jaman dulu itu terngiang dari belakang mereka.
“Itu apa, Ji?”
Gilang menunjuk pada sebuah objek yang ada dihadapan mereka.
“Apakah itu sorot lampu kereta?” Gumamnya.
“Tapi ini bukanlah jalan kereta.” Gumam sisi satunya lagi.
*Bersambung*
*Flashback*
Seorang kakek-kakek yang sudah berusia senja duduk disamping seorang anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar. Pakaian surjan yang dipakainya sedikit terkena lumpur, bekas mencangkul disawah.
“Kulo mboten dijak dolan kalih koncone, Yut.” (Aku gak diajak main sama temen.) Kata anak itu menangis tersedu-sedu.
“Dolanan nopo, Yut?” (Mainan apa, Yut?)
“Cerita nopo, Yut?”
Pria tua itu mengusap pelan rambut hitam si bocah.
*Flasback off*
Lampu sorot itu semakin mendekati posisi mereka berdua, bunyi khas dari kereta api uap itu semakin memekikan telinga. Wajah Gilang sudah pucat, ia sudah mati gaya dengan kenyataan yang tengah dihadapinya.
“Lho?”
Wajahnya menengadah ke langit. Dilihatnya bulan sedang bulat sempurna. Menambah kesan horror di malam itu. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding, ini yang paling parah selama hidupnya, runtuk batinnya.
“Hoi, ayok bangkit dari situ!”
Aji menoleh, seorang pria yang belum kelihatan tua berdiri dihadapannya. Laki-laki itu kemudian menjulurkan tangan, mencoba meraih pergelangan tangan Aji.
Sampai saatnya mereka bertiga duduk di Jalan setapak tersebut.
Lelaki itu mengangguk, “Minum dulu nih.” Ujarnya menyodorkan sebuah botol air mineral 600ml. Aji meminumnya, bergantian dengan Gilang.
Dua orang pemuda dihadapan Dimas itu mengangguk. “Mas juga lihat?” Tanya Aji.
Dimas tersenyum. Ia sendiri baru pertama kali ini melihat kejadian seperti itu.
Dimas berlari menuju orang yang berada jauh di depannya, ia berteriak sembari berlari menuju orang tersebut. Namun orang yang diteriakinya tersebut menoleh ke sisi sebaliknya. Dengan berhati-hati, ia terus berlari diatas jalan tanah yang masih basah.
Dimas kemudian menghampiri kedua orang tadi, yang ternyata adalah warga dusun A, Gilang dan Aji.
“Mas lihat semuanya.” Tutur Dimas kepada mereka.
Selama didiamkan beberapa hari, pasti hasil bumi yang berada di nampan atau yang di gantung itu akan habis dengan sendirinya.
Tak lama, seorang pria tua membuka pintu.
“Ayah dan ibumu pergi tadi selepas magrib ke rumah paman.”
“Lho, kamu cicitnya mas Harjo?” Tunjuk pria bersarung itu kepada Aji.
*Bersambung*
Kemudian ia mendekati kakek dan menjulurkan tangan, mencium orang tua itu diikuti oleh Gilang.
“Kalian habis ngapain, malam-malam macul sawah?”
Si kakek menaikan sebelah alis, terlihat kerutan di wajahnya yang menua. “Loh kok bisa?”
“Jadi gini… Em….” Aji tertahan.
“Gitu ceritanya, kek.” Kata Aji mengakhiri ceritanya.
Ekpresi kakek terlihat datar, seperti sudah mengetahui peristiwa tersebut.
Ada rasa canggung untuk sesaat, “Nak, ada yang kurang dari kisah yang kamu sampaikan.” Tutur kakek.
“Kisah yang baru saja kalian alami.”
“Aji juga sudah menceritakan apa yang kamu lihat.” Katanya dengan polos.
“Ada yang kalian lewati.” Terka Kakek sesudahnya.
“Ayo coba diingat kembali.” Kata Kakek berusaha mengoreksi mereka.
Gilang mengangkat wajah, “Kek.”
Kakek tersenyum, “Saya sudah tahu.”
Gilang melihat wajah teman karibnya, dilanjutkan dengan memandang Dimas. Gilang dihadiahi oleh seribu pertanyaan oleh mereka berdua.
Begitupun dengan Dimas, ia semakin memposisikan duduknya senyaman mungkin untuk mendengarkan kisah tertinggal yang dituturkan oleh Gilang.
Kini giliran Kakek yang menghela nafas, matanya menerawang sebuah kisah yang mungkin masih diingatnya.
Kemudian pria yang lahir sebelum masa kemerdekaan itu memijit pelipisnya. Usianya sudah tak lagi muda, namun mampu mengingat kejadian yang sudah lebih dari 60 tahun yang lalu.
Kakek bangkit, kemudian berjalan ke hadapan pria tersebut, “Tenang. Ada apa, Di?”
"Anu.. Emm.." Pria itu tertahan.
“Anu apa?” Tanya Kakek berusaha menenangkan.
Warga itu memandang lekat ketiga anak muda yang berada dibelakang kakek, ada keraguan didalam wajahnya.
Kemudian laki-laki itu membisikan sesuatu di telinga kakek sehingga Aji, Gilang dan Dimas tidak tahu apa yang dibicarakannya.
Setelah itu, ia pergi dengan langkah yang cepat.
*Bersambung*
Nanti malam atau besok pasti kutamatkan.
Kakeknya berhenti, menoleh kepada mereka bertiga sekilas, “Kalian boleh ikut. Tapi apapun yang kalian tahu, simpanlah saja untuk kalian.” Jawab kakek berjalan pergi.
Ada apa ini? Mengapa tengah malam, ada kumpulan yang dilakukan oleh beberapa warga, runtuk Aji.
Ada rasa ragu dalam diri Aji untuk tetap mengikuti kakek, namun penasarannya lebih besar.
“Lho, om Sam?”
Sam duduk diantara mereka. Membuka bungkusan plastik yang isinya tembakau.
“Menurut kalian, dimana saja ada hal ganjil yang sering kalian temui di dusun B?” Tanyanya kembali.
Sementara itu Dimas mengangguk setuju yang diikuti oleh Sam yang mengiyakan jawaban dari Aji dan Gilang.
Ketiga anak muda itu tersenyum pahit, “Udah jadi rahasia umum itu mah, Om.” Ungkap Aji.
“Dimana yang paling parah?” Tanya Sam.
“Kamu sudah khatam lokasinya ternyata.” Ucap Sam sambil terkekeh kembali.
Pria yang berpakain warna biru yang sedang berdiri diantara kakek dan warga itu mengerang. Semua mata tertuju kepada orang itu. Aji dan Gilang hanya terpana pada keadaan yang tengah terjadi diantara mereka. Bahkan Dimaspun diam dengan mulut yang melongo.
"Anjir, ada apa lagi nih" Batin Aji.
“Aing maung.”
Bukan-bukan, bukan gitu hehe.
“Kenapa kalian tidak menaruh sesaji kepadaku lagi?” Ucap pria yang kesurupan dengan nada yang marah. Matanya melotot pada kakek yang berada dihadapannya.
“Dasar manusia lemah, sombong.” Nadanya semakin marah, namun kakek terlihat tidak gentar. Bahkan ia masih tidak memperdulikan ucapannya.
"Itu salah kalian, orang tua." Pria kesurupan itu semakin murka, warga yang memeganginya sampai tidak kuat. Keringatnya mengucur.
"Apa salah kami?"
Kakek berkomat-kamit, melafalkan dzikir yang tidak pernah putus. Tangannya bergerak seirama dengan tasbih ditangan kanannya.
Ditengah perbincangan antara kakek dan lelembut itu, Aji menyeret Gilang untuk mendekati Sam.
“Sebenarnya ada apa, Om?” Tanya Aji berbisik.
“Kau tahu jika disepanjang jalan ini setiap tahun diadakan upacara hasil bumi?” Tanya Sam pelan.
“Sebenarnya ada kisah dibalik itu.” Ujar Sam.
Lewat gestur tubuh, Aji seakan bertanya ada apa gerangan.
Aji dan Gilang semakin penasaran, rasa keingintahuannya memuncak. Ada apa dibalik tradisi itu?
Aji tahu mbah yang dimaksud oleh Sam.
Sedangkan Aji semakin mengerti dengan keadaan jalanan itu. Sedikit demi sedikit, kisah kelam yang terjadi di desanya terbongkar.
“Nanti kalian tanya saja kepada kakek.”
Mereka bertiga kembali menghampiri kakek yang tengah memberi minum kepada warga yang menjadi mediator. Sepertinya warga itu telah sadar.
“Kek.” Ucap Aji pelan disela perjalanan.
“Kenapa kakek tidak melanjutkan tradisi mbah Tikno?”
Kakek berhenti. Menengok remaja labil yang sepertinya sudah tahu tentang apa yang terjadi di desa ini. Sekilas, bibirnya membentuk sebuah sudut lengkungan.
“Tapi, para warga tidak akan pernah lupa, bahwasanya tempat ini pernah menjadi titik sejarah di desanya.”
*END*
Dan thread selanjutnya, tunggu aja 🤭🤭
Salam, Ilham/Nan.
Tapi aku pilih ceritain yg kereta sama kejadian di tanjakkan. Dan juga terbongkarnya kisah kelam dibalik keangkeran jalan itu.