Setelah malam tiba, bangunan bekas pabrik makanan itu menyimpan banyak misteri.
@bacahorror #bacahorror
Dan akhirnya semua berawal sejak saat itu.
“Nan, nanti kamu bikin dua set besi ya.” Perintah Abi tiba-tiba.
“Iya.” Jawabku malas. Mataku masih terfokus pada ponsel.
“Tapi bikinnya di gudang.”
Abi melirik singkat kepadaku, alisnya terangkat “Kenapa?” Tanyanya lagi tanpa dosa.
“Kamu takut?” Ledek Abi.
Abi masih berusaha untuk membujukku, “Bantuin Abi ya. Kan tau sendiri, yang lainnya minta libur seminggu karena tahun baruan. Sedangkan Abi lagi banyak orderan.”
Toh apa salahnya juga sekali-kali membantu Abi pada malam hari, batinku.
“Lagipula di gudang ada mas Rizal kok.” Lanjutnya.
“Nanti Abi bilang ke dia, supaya lembur.”
Aku sedikit menimang-nimang, “Yaudah, aku bantuin.” Jawabku diantara ikhlas dan tidak.
“Abi pergi dulu ya, nanti habis isya Abi jemput.” Ucap Abi beberapa saat setelah aku turun dari mobil.
“Ya maaf. Emang liatin apaan?” Tanyanya penasaran. Sorot matanya ikutan melihat lorong tersebut.
“Kepo ah.”
Aku mendongak, menaruh alat kerjaku sembarang dan menghampiri salah satu karyawan Abi tersebut.
Muka mas Rizal sedikit kebingungan, namun dengan cepat dan sedikit gugup, ia membalas pernyataanku.
“Kan magriban dulu, nanti kesini lagi.” Jelasnya.
“Lo takut ya, Nan?” Selidiknya.
Aku menggeleng cepat, “Takut mah kagak. Tapi gue males sendirian mas.” Jawab gue jujur.
“Yaudah, lagian bentar lagi mas Wahyu balik kok.”
Mas Rizal membereskan peralatan kerjanya. Kontrakannya tidak jauh dari gudang. Ia berjalan menuju pekarangan yang berada disebelah kiri bangunan beriringan dengan terdengarnya suara langkah kaki yang ditimbulkan.
“Halah mau ujan lagi.” Gumamku kemudian melangkahkan kaki ke dalam ruangan.
Lampu ruangan segera kunyalakan. Perlu kalian ketahui, jika di bangunan ini hanya ada tiga lampu. Pertama yaitu berada di gerbang masuk, kedua berada di dalam ruangan gudang dan terakhir berada di lorong.
Aku menghentikan aktivitasku secara cepat, mempertajam indera pendengaranku yang tiba-tiba menangkap suara yang entah darimana berasal.
*Srek*
Suaranya sangat jelas, seperti suara langkah kaki yang bergesekan dengan dedaunan.
Suaranya semakin mendekat. Aku memundurkan badan dan memasang telinga di tembok, menerka-nerka jika suara tersebut berasal dari belakang bangunan.
Aku semakin yakin jika suara yang mirip dengan langkah kaki itu berasal dari balik tembok. Mungkin itu adalah mas Rizal yang sedang menuju kemari, batinku.
Lama menunggu, sosok yang aku nantikan itu tidak muncul juga.
Suaranya muncul kembali dan masih berasal dari arah yang sama. Rasa penasaran timbul di dalam benakku, siapa gerangan orang tersebut?
“Anjir, gak apa siapa-siapa.” Runtukku dalam hati.
Bulu kudukku kembali merinding. Tanpa pikir panjang lagi, aku berlari menjauhi pekarangan.
"Gue bilang juga apa, ini tempat tuh horror." Ucapku bermonolog.
Terdengar suara samar-samar yang berasal dari arah depan bangunan. Aku berhenti, memasang telinga baik-baik.
“Nannnnn.”
Suaranya persis seperti suara Abi, aku berpaling untuk berjalan menuju arah gerbang.
“Iya bentar.” Sahutku dengan suara keras.
Aku terduduk di teras lobi bangunan utama, dimana tempat itu dulunya adalah kantor. Aku tidak pernah masuk ke dalam ruangan itu karena terkunci sejak Abi pertama kalo menyewa salah satu ruangannya.
Aku masih memandang daun bambu kuning yang masih bergerak, namun tiba-tiba saja daunnya diam. Sesaat setelahnya, adzan isya berkumandang dari masjid yang berada di dekat jalan raya di depan.
Aku membuka mata ketika merasakan ada yang menyentuh kakiku, namun tidak ku temui siapa-siapa lagi.
“Bodo ah.” Umpatku sembari duduk.
"Ealah, lila teung aing sare teh." (Ealah, lama amat gue tidur).
“Yailah, nasib di phpin sama bokap sendiri. Udah gitu ditinggal balik sama mas Rizal lagi.”
Suasananya sangat sunyi, menambah kesan horror pada bangunan tersebut.
“Kok gak ada?”
“Eh anying hilang goblog.”
Aku mengedarkan pandangan, sosok wanita itu benar-benar sudah tidak ada.
“Kali aja dapet nomor buat masang.” Lanjutku sembari tertawa untuk menghibur diri.
Aku tersentak, “Anjrit!”
Aku membalikkan badan, melihat kaca jendela kantor dari luar. Aku sangat yakin jika sumber suaranya berasal dari dalam ruangan kantor.
Apa di bangunan ini ada orang selain aku?
Entahlah, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala berusaha menjernihkan pikiran.
Rasanya sungguh tidak nyaman berada disini, namun kenapa para penghuni mess belum pulang, kesalku dalam hati.
#NanMenolakKudet
“Udah mas.” Jawabku singkat sedikit bete, mengingat aku sudah terlalu lama menunggu sendirian. Belum makan juga.
“Ealah, ngambek.”
Mas Wahyu turun dari motornya, kemudian menstandar dua.
Aku membukanya dan kudapati satu bungkus nasi ayam. Tanpa menawarkan kembali, aku dengan cepat melahapnya.
Ealah, mau nyuci motor ternyata.
“Belum makan dari pagi. Eh sore tadi malah langsung dianter kesini sama Abi.”
“Gak bawa duit elah mas, sisa goceng tadi buat beli air.” Jawabku jujur. Memang, dari tadi sore aku hanya membawa uang lima ribu rupiah.
“Emang tadi selesai jam berapa mas?” Tanyaku membuka percakapan.
“Si kampret!” Umpatnya.
"Yang di bonceng lagi dibahagian dulu sama yang lain." Lanjutnya.
Aku tertawa terbahak-bahak.
“Kenapa mas?” Tanyaku melambaikan tangan di depan wajahnya.
Mas Wahyu hanya memberi kode dengan dagunya. Bulu kudukku merinding. Ada sesuatu di belakangku.
“Ada apa sih?” Aku berbisik mendekati mas Wahyu.
“Lo penakut gak Nan jadi orang?”
Aku menggeleng, "Takut gak ada di kamus Nan."
“Se… Seriusan?” Kataku sambil membalikkan badan.
Aku melihat sosok bergaun putih dengan rambut yang panjang hingga melebihi pinggulnya. Sosok itu berdiri membelakangi kami.
*Bersambung*
Rasanya berat sekali.
Aku melirik mas Wahyu, ia pun hanya diam, terpaku menatap sosok berambut panjang yang berada di bawah pohon bambu kuning.
“Anjirlah jelas banget.” Gerutuku dalam hati.
Hampir lima menit kami saling berdiam, selama itu juga kuntilanaknya masih betah untuk memunggungi kami.
“Iya Nan.” Jawabnya cepat.
“Gue mah udah sering diliatin begituan disini.” Lanjutnya.
Aku mengangguk dengan pernyataannya.
Aku berbalik, “Loro e mas.” (Sakit, mas).
“Cangkemu iku lho ra di jogo.” (Mulutmu gak dijaga).
“Wes wes, ayok masuk mess aja.”
Mas Wahyu mencabut kunci motor, lalu berjalan menuju kamar messnya. Aku mengikuti, sesekali menengok kuntilanak yang masih melayang di tempat semula.
Aku menerimanya, membakar satu batang. Berharap rasa merindingku akan segera sirna dengan kejadian barusan.
“Mas Dito kemana?”
Lama aku dan mas Wahyu bercengkrama, walaupun pembahasan yang random tapi setidaknya mampu mengurangi rasa takutku untuk sementara.
Aku sempat berfikir, apakah Abi lupa untuk menjemputku?
Hingga tengah malam begini saja ia belum kunjung datang.
“Tadi sih nelpon, katanya lagi urus proyek yang di sekolahan. Soalnya belum selesai pengerjaannya.”
“Ealah, masih lama dong yak?”
“Dari tadi gue pengen balik, banyak banget gangguan mas.” Curhatku pada sosok yang berumur sepuluh tahun lebih tua.
Mas Wahyu menghentikan pemainannya, wajahnya mendongak, menatap mataku secara tajam.
Aku mengerutkan dahi, berfikir ada yang ganjal disini. Mas Wahyu terlihat kaget dengan pengutaranku.
“Ya banyak mas, kuntilanak tadi salah satunya.”
“Sebelumnya itu diganggu juga?”
Belum sempat aku menjawab, lagi-lagi terdengar suara benda terjatuh lagi.
Aku terlonjak kaget, begitu juga dengan pria di hadapanku. Kami saling berpandangan.
“Kayaknya sumbernya di kantor deh mas.” Ucapku kemudian yang disusul oleh anggukan kepala mas Wahyu.
“Gue udah denger dua kali malam ini.” Lanjutku.
“Gue ada cerita, tapi ….” Jujurnya namun setengah tertahan.
“Iya, gue gak takut kok.” Potongku cepat. Aku juga penasaran dengan tempat ini.
Namun mengingat harga sewanya yang murah, apa boleh buat?
Mas Wahyu mengambil korek gas miliknya, menyalakan sebatang rokok dan menceritakan kisahnya tentang bangunan yang tidak berpenghuni selama puluhan tahun ini.
Setahuku, sebelumnya mas Rizal juga tinggal di mes, namun belakangan ia lebih memilih untuk mengontrak.
Ealah, kalo aku jadi anak rantau pun, aku pasti mau melakukan hal serupa.
Suara barang terjatuh terdengar kembali disela-sela perbincangan kami. Sepertinya, aku mulai terbiasa dengan suasana malam di bangunan terbengkalai ini.
Mas Wahyu malah menatapku, mencari sesuatu yang entah apa, aku juga tidak tahu.
Aku mengangguk.
“Lo beneran penasaran sama isi kantor?”
Aku kembali mengangguk.
“Memang bisa masuk ya, kan kekunci semua.”
Mas Wahyu malah tersenyum, ia mempunyai rahasia yang lain.
Kini aku yang tersenyum lebar, menghisap tembakau terakhir lalu menekan putung rokok dalam asbak.
“Boleh. Sekarang?” Ucapku lalu berdiri tidak sabar.
*Bersambung*
Seluruh ruangan berwarna putih, kecuali sebuah kain berwarna hijau yang menutupi salah satu sudut ruangan.
“Lapo kowe, Nan?” Tanya mas Wahyu. (Ngapain Nan?)
Mas Wahyu hanya tertawa kecil.
“Sekarang nih?” Tanyaku perilhal ajakannya untuk masuk ke dalam kantor.
“Iyo.”
Aku mendongak keluar pintu, ada lemari kayu polos tanpa ukir yang mulai lapuk disana.
Mas Wahyu yang tengah mengganti baju, menoleh sesaat padaku. Ia mengangguk tanda membenarkan perkiraanku.
Aku membuka lemari paling bawah, ada dua senter yang lumayan besar.
“Ada nih mas, ayok.”
Mas Wahyu keluar kamar, lalu memarkirkan motornya di teras sebelah mess.
Sementara itu, aku melihat-lihat di jendela kantor, berharap dapat melihat ke bagian dalam ruangan tersebut.
Aku pasrah. Tidak ada celah untuk melihat ke dalam.
Aku mengikuti setiap gerak langkahnya, membuntutinya persis di belakang, tak ada celah diantara kami.
Ada sebuah mesin yang aku juga tidak tahu fungsinya untuk apa, yang jelas banyak sarang laba-laba disana.
Mas Wahyu menuntunku pada sebuah pintu besi berwarna hijau yang berada di paling ujung dekat kamar mandi. Letak pintunya tak terduga.
Bahkan saat siang hari pun, tidak semua orang akan sadar kalau ada pintu lain di ruangan ini. Lagipula warna pintu dan temboknya sama-sama hijau.
Mas Wahyu tersenyum, “Kalo orang gak perhatiin dengan jelas, mereka gak akan ngira kalo disini ada pintu.”
Aku setuju dengan pendapatnya.
“Aneh.” Celetukku.
“Kenapa?”
“Emang bangunan ini berlantai dua ya?”
“Diatas ada apaan, mas?” Tanyaku penasaran.
“Gak ada apa-apa, hanya beberapa kamar mess, kamar mandi dan balkon kecil.” Jawabnya.
Sementara aku menimang-nimang, tujuanku memang ingin melihat kantor tapi ya tidak apa jika aku ke atas sebentar, pikirku.
“Boleh deh.”
Kami berdua menaiki tangga beton berbentuk U.
Taukan maksudnya?
“Padahal enak buat nongkrong di malam hari nih.” Ucapku mengomeni balkon kecil.
“Lho kenapa?” Aku penasaran.
Pemuda lajang itu tersenyum, “Ya lo udah tau alasannya, Nan.” Ungkapnya setengah tertawa.
Aku memandang sekitar, sebuah pekarangan dan petak sawah yang biasa dilalui oleh mas Rizal.
Begitu gelap gulita. Tiada penerangan sama sekali.
Aku mengikutinya menuruni tangga, lalu berhenti di salah satu pintu di ruangan sebelumnya.
“Yang ini gak ke kunci, Nan.”
Mas Wahyu membuka pintu dan memasukinya.
Jantungku berdegup cepat tiba-tiba, ada perasaan tidak enak menyelimuti.
“Mas.” Panggilku.
Mas Wahyu berbalik, menyenter wajahku tanpa sengaja.
“Kenapa? Ragu?” Tanyanya.
Mas Wahyu mengangguk, “Iya sekali. Waktu gak sengaja buka pintunya dan ternyata kebuka.”
Sebuah lorong kecil kini dihadapanku saat pertama masuk. Aku menelusurinya, hingga menemukan sebuah ruangan yang terlihat luas.
Aku menghampirinya, mengelus permukaan meja.
“Kotor banget.” Batinku saat melihat telapak tangan yang kotor terkena debu ruangan.
Kaca kantornya ternyata kaca film, jadi jika kita melihat dari dalam maka akan terlihat ke arah luar. Sedangkan jika dari luar tidak terlihat ke dalam.
Ia menghampiriku, “Loh, ini lukisan sama yang ada di mess.” Ujarnya.
Aku menoleh kaget, “Eh yang bener?”
Aku mengangguk. “Iya.”
“Aslinya itu tembok ada lukisan persis kayak gini. Ya tapi lebih kecil ukurannya. Karena seram, akhirnya gue tutup pake kain.” Jelasnya.
Aku berjalan kesana, dan tidak kudapati apa-apa selain beberapa kursi dan meja. Ada satu pintu lagi di ujung lorong.
Tanpa sadar, aku sudah di hadapannya. Sebab penasaran, aku membuka pintunya.
“Ehhh.” Teriak mas Wahyu berjalan cepat ke arahku.
Aku menahan pintu di gagang, menolehkan wajah pada mas Wahyu.
“Kenapa mas?” Tanyaku.
“Kemarin waktu gue kesini, pintunya ke kunci lho.” Katanya setelah tiba di hadapanku.
“Seriusan, kemarin-kemarin gak bisa Nan.”
Tidak ada mimik kebohongan, aku yakin ia jujur. “Ah teuing. Asup kuy.” (Ah bodo, masuk yu) Ajakku.
Hampir sama dengan ruangan lobbi sebelumnya, ruangan ini banyak debunya. Hanya saja properti di ruangan manajer tidak di bungkus oleh kain.
“Juni 2008” Ucapku membaca tulisan di halaman terakhir yang tertulis. Aku tidak tahu maksudnya apa.
Aku meraihnya dan mengelap permukaan foto.
“Astaga.”
Aku terperanjat melihat fotonya, tanpa sengaja membuang foto tersebut.
“Kenapa” Teriaknya.
Aku menunjuk foto, yang kemudian ia lihat.
Wajahnya diselimuti oleh rasa kaget. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
“Gue pernah liat dia mas di….”
“Lorong.” Potong mas Wahyu.
“Lo ngeliat juga?” Tanyanya kemudian.
“Iya tadi mas, sebelum lo datang mas.”
Korden jendela ruangan tersingkap, aku berjalan mendekati mas Wahyu yang juga mendekati pintu.
Hening menyelimuti kami.
Samar-samar aku mendengar suara orang-orang yang sedang bekerja. Aku menggenggam erat lengan pemuda di hadapanku. Aku kalut dengan suasana saat itu.
Ia mengangguk.
Derap langkah kaki dari luar memenuhi indera pendengaran. Seakan-akan bahwa di luar kantor ada banyak orang lain yang sedang bekerja.
Karena ingin memastikan, mas Wahyu menuntunku menuju pintu keluar untuk mengecek situasi.
Langkahku terhenti ketika mas Wahyu menahanku. Aku diam, menunggu aba-aba darinya.
“Iya.” Jawab mas Wahyu tak kalah pelan.
Perempuan yang tak menapak itu masih berdiri di tempat yang sama, membuat kami tidak mengerakkan badan pun.
Perempuan yang ada dihadapan kami melayang menjauhi kami dengan tertawa yang menyeramkan.
Aku tersadar dan berlari ke depan secepat mungkin, mas Wahyu menyusulku. Ketakutanku sudah pada titik tertinggi malam itu.
“Anjir, fix ini tempat serem mas.” Ucapku ngos-ngosan. Kami terduduk di tanah dekat gerbang.
“Apa kabar gue yang udah hampir setengah tahun disini.”
“Anjir, jelek mas muka lo kalo lagi pucet gitu.” Aku tertawa karena belum pernah melihat mas Wahyu segenting ini.
“Jujur, ini yang paling epic selama hidup gue.” Katanya.
Mobil jenis SUV pabrikkan asal Jepang memasuki pekarangan gudang.
“Weh kenapa kalian ngos-ngosan gitu?” Tanya Abi keluar dari dalam kendaraan. Wajahnya terlihat bingung.
Aku tersenyum, “Yuk bi, balik.” Ajakku masuk mobil di posisi pengemudi.
Aku membuka kaca mobil keseluruhan, mas Wahyu sedang mengunci pintu mess.
“Dia tidur di rumah temannya malam ini.” Seloroh batinku tertawa.
Aku menoleh, “Gapapa, Bi.” Ujarku sembari menekan pedal gas semakin dalam.
“Kayaknya gue bakal suka tempat itu.” Bibirku kembali tersenyum. Bahkan kali ini lebih lebar.
END
***
Setelahnya, gue malah biasa aja terhadap tempat itu. Mungkin karena terbiasa gue kesana.
“You expect lion not to eat you just because you don’t eat them. The world isn’t run that way.” - Ayana.
Salam, Nan.