, 163 tweets, 20 min read
My Authors
Read all threads
-Semalam di Gudang-

Setelah malam tiba, bangunan bekas pabrik makanan itu menyimpan banyak misteri.

@bacahorror #bacahorror
Di pojok sebuah desa terdapat sebuah bangunan bekas pabrik makanan yang telah lama terbengkalai. Bangunannya tidak begitu luas, kira-kira hanya berukuran 500 meter persegi. Tak banyak yang tahu tempat ini, karena berada di sudut gang kecil.
Beberapa tahun yang lalu, Abi menyewa dua buah ruangan di bangunan tersebut untuk dijadikan gudang penyimpanan usahanya. Semenjak itu, bangunan itu mulai terawat, walau hanya di beberapa sisi saja. Sisanya tetap dibiarkan terbengkalai.
Tempat usaha Abi dengan gudang berjarak tidak begitu jauh. Sebagian besar, usaha milik Abi dikerjakan di tempat usahanya, namun jika sedang banyak order, maka pengerjaannya juga akan dilakukan di gudang penyimpanan.
Sebenarnya, aku jarang ke gudang penyimpanan tersebut. Aku lebih banyak membantu Abi di tempat usahanya. Bahkan aku lebih sering bekerja keluar daerah untuk mengantarkan hasil produk usaha ke tempat konsumen.
Tapi sore hari itu berbeda, entah mengapa aku mau untuk memproduksi beberapa barang. Biasanya aku enggan untuk membantu Abi jika hari sudah menjelang malam. Apalagi setelah aku tahu bahwa harus dikerjakan di gudang.

Dan akhirnya semua berawal sejak saat itu.
***

“Nan, nanti kamu bikin dua set besi ya.” Perintah Abi tiba-tiba.

“Iya.” Jawabku malas. Mataku masih terfokus pada ponsel.

“Tapi bikinnya di gudang.”
Aku menghentikan aktivitasku, menoleh kepada Abi dengan wajah keheranan. Aku fikir ia bercanda dengan satu kalimat terakhir yang ia lontarkan.

Abi melirik singkat kepadaku, alisnya terangkat “Kenapa?” Tanyanya lagi tanpa dosa.
Aku memalingkan wajah dan berdecak, “Ck, yang bener aja, Bi. Udah mau magrib nih.” Jujurku sedikit tidak suka dengan perintahnya.

“Kamu takut?” Ledek Abi.
“Takut sih engga. Cuma males aja kalo disuruh udah mau malem gini.”

Abi masih berusaha untuk membujukku, “Bantuin Abi ya. Kan tau sendiri, yang lainnya minta libur seminggu karena tahun baruan. Sedangkan Abi lagi banyak orderan.”
Memang sih, beberapa hari ini Abi banyak orderan. Para pekerja yang lain sudah jauh hari meminta cuti tahun baruan.

Toh apa salahnya juga sekali-kali membantu Abi pada malam hari, batinku.

“Lagipula di gudang ada mas Rizal kok.” Lanjutnya.
“Mas Rizal juga paling pulang kalo pas magrib.”

“Nanti Abi bilang ke dia, supaya lembur.”

Aku sedikit menimang-nimang, “Yaudah, aku bantuin.” Jawabku diantara ikhlas dan tidak.
Tak lama, mobil yang dikendarai oleh Abi sampai di parkiran gudang. Aku melihat ada mas Rizal sedang merapikan beberapa barang di dalam ruangan.

“Abi pergi dulu ya, nanti habis isya Abi jemput.” Ucap Abi beberapa saat setelah aku turun dari mobil.
Aku mengangguk, berjalan menuju ruangan gudang. Sekilas, aku melirik ke arah lorong yang berada disebelah kiriku. Sudah gelap di ujung sana, hanya ada sorot lampu yang remang-remang menyinari beberapa sisi.
Aku memang tidak melihat apapun pada saat itu, namun entah mengapa terlintas perasaan aneh. Sebuah pemikiran yang merujuk pada hal-hal berbau horror. Tapi aku belum bisa memutuskan, takutnya hanya sugesti yang berlebihan saja.
Belum lepas dari kegundahan hati yang memikirkan perasaan aneh di ujung lorong, sebuah tepukkan di bahu mengagetkanku. Aku berpaling, mas Rizal tertawa puas melihatku yang terkejut atas ulahnya.
“Jangan ngagetin, mas.” Keluhku.

“Ya maaf. Emang liatin apaan?” Tanyanya penasaran. Sorot matanya ikutan melihat lorong tersebut.

“Kepo ah.”
Aku tak menggubrisnya, berjalan masuk ke dalam ruangan dan memeriksa barang-barang yang ingin di produksi. Setelah dirasa tidak ada kekurangan bahan, aku mengambil beberapa besi dan menatanya di meja.
“Nan, gue balik dulu.” Ungkap mas Rizal saat aku tengah sibuk memotong besi.

Aku mendongak, menaruh alat kerjaku sembarang dan menghampiri salah satu karyawan Abi tersebut.
“Loh kok balik?” Tanyaku heran. “Tadi Abi bilangnya tuh mas Rizal mau lembur.” Lanjutku memberi penjelasan.

Muka mas Rizal sedikit kebingungan, namun dengan cepat dan sedikit gugup, ia membalas pernyataanku.

“Kan magriban dulu, nanti kesini lagi.” Jelasnya.
Aku masih belum yakin dengan alasannya. Menurutku, ia tidak akan balik lagi ke gudang.

“Lo takut ya, Nan?” Selidiknya.

Aku menggeleng cepat, “Takut mah kagak. Tapi gue males sendirian mas.” Jawab gue jujur.
Mas Rizal terkekeh pelan, sepertinya ia meledek karena ucapakanku yang mengatakan bahwa aku hanya malas sendirian. Padahal ia lebih sering sendirian di gudang.

“Yaudah, lagian bentar lagi mas Wahyu balik kok.”
Mas Wahyu merupakan salah satu karyawan Abi. Ia dan salah satu kawannya tidur di mess bangungan ini. Aku juga tidak mengerti mengapa kedua orang tersebut mau saja tidur dan menjaga gudang penyimpanan bekas bangunan pabrik.
“Yaudah gue balik dulu, nanti kesini lagi kok.”
Mas Rizal membereskan peralatan kerjanya. Kontrakannya tidak jauh dari gudang. Ia berjalan menuju pekarangan yang berada disebelah kiri bangunan beriringan dengan terdengarnya suara langkah kaki yang ditimbulkan.
Sebenarnya mas Rizal bisa saja melalui jalan depan, namun ia harus memutar jauh. Makanya mas Rizal lebih sering berangkat dan pulang kerja melewati sawah, karena bisa memangkas waktu dan jarak menjadi lebih cepat.
Langit semakin gelap, selain karena sudah mulai malam, juga karena cuacanya mendung. Padahal waktu magrib masih sekitar 10 menit lagi.

“Halah mau ujan lagi.” Gumamku kemudian melangkahkan kaki ke dalam ruangan.
Aku beristirahat, sesekali melihat ponsel sembari menunggu adzan magrib.

Lampu ruangan segera kunyalakan. Perlu kalian ketahui, jika di bangunan ini hanya ada tiga lampu. Pertama yaitu berada di gerbang masuk, kedua berada di dalam ruangan gudang dan terakhir berada di lorong.
Suara adzan telah berkumandang, aku berdiri dan berniat melanjutkan pekerjaanku yang tertunda. Semuanya berjalan lancar selama sepuluh menit pertama. Keadaannya sangat hening, hanya ada suara besi yang berbenturan akibat ulah pekerjaanku.
*Srek*

Aku menghentikan aktivitasku secara cepat, mempertajam indera pendengaranku yang tiba-tiba menangkap suara yang entah darimana berasal.

*Srek*

Suaranya sangat jelas, seperti suara langkah kaki yang bergesekan dengan dedaunan.
*Srek*

Suaranya semakin mendekat. Aku memundurkan badan dan memasang telinga di tembok, menerka-nerka jika suara tersebut berasal dari belakang bangunan.
*Srek*

Aku semakin yakin jika suara yang mirip dengan langkah kaki itu berasal dari balik tembok. Mungkin itu adalah mas Rizal yang sedang menuju kemari, batinku.
Aku masih diam sembari melihat-lihat ke arah gerbang, menunggu kedatangan mas Rizal.

Lama menunggu, sosok yang aku nantikan itu tidak muncul juga.
*Srek*

Suaranya muncul kembali dan masih berasal dari arah yang sama. Rasa penasaran timbul di dalam benakku, siapa gerangan orang tersebut?
Aku melangkahkan kaki menuju luar ruangan. Langit sudah gelap. Lampu yang berada di lorong sangat redup, membuat bulu kudukku merinding. Dengan cepat, aku mengalihkan pandangan dan berjalan lurus menuju gerbang.
Sesampainya di gerbang, aku sempat berhenti. Diantara ragu dan penasaran, aku memutuskan untuk mengecek sumber suara itu. Tanpa takut, aku berjalan menuju ujung gang dan menyenter keadaan di sekitar pekarangan dengan ponselku.
Aku mengedarkan penglihatan dan tidak ku temui siapapun disana. Gelap gulita. Kebun yang kosong dengan beberapa pohon rambutan dan pohon pisang, serta ilalang yang tingginya melebihi tinggi orang dewasa.
Lama mencari, namun tidak juga menemui hasil. Aku menyerah pada hal yang positif.

“Anjir, gak apa siapa-siapa.” Runtukku dalam hati.

Bulu kudukku kembali merinding. Tanpa pikir panjang lagi, aku berlari menjauhi pekarangan.
Nafasku terengah-engah sehabis berlari, kini aku sedang duduk di sebuah kursi dalam ruangan. Ragaku termenung, sedang pikiranku kalut dengan hal yang baru saja dialami.

"Gue bilang juga apa, ini tempat tuh horror." Ucapku bermonolog.
Suara srek-srek yang baru saja terdengar, tentu saja ditimbulkan oleh derap langkah kaki. Aku bisa yakin seratus persen, karena suara itu sama persis dengan sebelumnya, ketika mas Rizal berjalan pulang melewati pekarangan tersebut.
Tak selang lama, aku mulai memulihkan pikiran negatifku dan berusaha untuk melupakannya. Anggap saja aku tidak pernah mendengar suara itu, bahkan aku sengaja memainkan musik di speaker agar tidak terlalu hening.
Aku melanjutkan kembali pekerjaanku, walau terkadang ada rasa penasaran yang selalu saja hadir. Aku berusaha untuk tidak mengindahkannya, kini aku sedang fokus menyusun kembali job desc yang diberikan oleh Abi.
Kurang lebih satu jam semenjak ditinggal sendiri oleh mas Rizal, aku sedikit bosan. Lebih dari setengah pekerjaanku telah dikerjakan. Kini aku sedang meminum minuman dingin yang sebelumnya telah aku beli dari warung pinggir jalan raya.
Kini, aku tengah berdiri sambil bersender di daun pintu ruangan gudang. Aku selalu mengelak saat hati berkata untuk melihat ke arah lorong. Namun tidak bisa dipungkiri jika aku juga penasaran dengan keadaan bangunan ini saat malam tiba.
Aku meletakan botol air mineral di meja dan mengambil ponsel untuk menyalakan senter sebagai penerangan. Aku berjalan menyusuri lorong secara perlahan, degupan jantung semakin bergejolak mana kala raga ini semakin masuk ke dalam lorong.
“Nannnnn.”

Terdengar suara samar-samar yang berasal dari arah depan bangunan. Aku berhenti, memasang telinga baik-baik.

“Nannnnn.”

Suaranya persis seperti suara Abi, aku berpaling untuk berjalan menuju arah gerbang.

“Iya bentar.” Sahutku dengan suara keras.
Tak sampai setengah menit, aku telah sampai di gerbang. Aku celingak-celinguk, namun tidak juga aku dapati siapa-siapa disana. Tidak ada Abi yang seperti dalam perkiraanku. Lalu siapa yang tadi baru saja memanggilku?
Aku menghela nafas, “Sialan, gue dikerjain sama setan, kampret emang.” Runtukku.

Aku terduduk di teras lobi bangunan utama, dimana tempat itu dulunya adalah kantor. Aku tidak pernah masuk ke dalam ruangan itu karena terkunci sejak Abi pertama kalo menyewa salah satu ruangannya.
Sebenarnya aku sangat penasaran dengan isi ruangan tersebut. Tapi keterbatasan keadaan dan izin dari pemilik bangunan, tidak memungkinkan aku untuk masuk ke dalam. Mungkin suatu saat nanti aku dapat izin untuk kesana.
Masih dalam pikiran kalut, aku memandang ke sekitar. Di sela-sela pagar dan tembok depan, ada satu pohon jambu biji atau jambu klutuk. Sedangkan disebelahnya lagi terdapat sekumpulan pohon bambu berwarna kuning.
Menurut cerita masyarakat di daerah rumahku, bambu kuning terkenal akan kuntilanaknya. Entah fakta atau mitosnya, tapi malam itu entah kenapa pohon bambu kuning menjelma menjadi pohon yang menyeramkan bagiku.
Fokusku terenggut pada salah satu daun dari bambu kuning tersebut. Daunnya bergerak-gerak, namun pohon-pohon di sekitarnya semuanya diam. Aku terhenyak, masih terpaku pada objek yang sedari tadi menganggu pikiranku.
“Naon deui ieu teh ah.” Kesalku. (Apa lagi sih ah).

Aku masih memandang daun bambu kuning yang masih bergerak, namun tiba-tiba saja daunnya diam. Sesaat setelahnya, adzan isya berkumandang dari masjid yang berada di dekat jalan raya di depan.
“Ealah, jurig oge boga sopan santun nya, aya sora adzan wae cicing.” Ucapku sambil tertawa tanpa sadar. (Ealah, setan juga punya sopan santun ya, ada suara adzan langsung diem).
Aku merebahkan tubuhku sembari mendengarkan suara adzan yang samar-samar terdengar dari kejauhan. Memejamkan mata dan mengistirahatkan tenaga dan pikiran yang sejak pertama aku sampai tempat ini, tidak merasa tenang sedetikpun.
*Sumpah gue ketiduran*

Aku membuka mata ketika merasakan ada yang menyentuh kakiku, namun tidak ku temui siapa-siapa lagi.

“Bodo ah.” Umpatku sembari duduk.
Aku mengeluarkan ponsel dan kulihat waktu sudah menunjukan pukul dua puluh lewat seperempat malam. Hampir setengah jam lebih aku tertidur.

"Ealah, lila teung aing sare teh." (Ealah, lama amat gue tidur).
Aku mengedarkan pandangan, masih belum ada satu orangpun. Bahkan Abi yang berkata akan menjemputku setelah isya pun masih belum menunjukkan batang hidungnya. Mas Wahyu saja belum pulang.

“Yailah, nasib di phpin sama bokap sendiri. Udah gitu ditinggal balik sama mas Rizal lagi.”
Aku yang masih bingung pun berinisiatif untuk melanjutkan pekerjaan. Sebenarnya, aku bisa saja pulang, namun entah mengapa malam itu rasanya aku enggan untuk pulang dan memilih untuk tetap menunggu Abi hingga datang menjemput.
Aku kembali memasuki ruangan dan menyusun potongan-potongan besi kembali. Melaksanakan pekerjaan yang belum terselesaikan.

Suasananya sangat sunyi, menambah kesan horror pada bangunan tersebut.
Setelah beberapa lama, aku merasa bosan. Setelah mematikan mesin produksi, aku berjalan keluar dan kembali bersender pada pintu ruangan. Kemudian, aku membakar rokok untuk mengusir rasa tidak nyaman.
Sorot mataku kembali tertuju pada lorong yang sebelumnya ingin aku datangi. Aku sangat penasaran, mengapa pikiranku tidak bisa lepas dari tempat tersebut. Aku hanya berfikir, jika di ujung lorong ada seseorang yang sedari tadi memperhatikanku.
Ditengah aku sedang melamun karena memikirkan hal-hal yang sedemikian rupa, sesuatu yang selama ini aku sangkal benar-benar terjadi di hadapanku. Mungkin hanya sebuah objek ilusi, tapi ini benar-benar terasa nyata.
Perempuan bergaun putih berdiri di ujung lorong. Sorot matanya tajam dalam remangnya lampu kuning yang terpancar tidak jauh dari tempatnya. Terlihat samar memang, namun aku bisa mengetahui jika mimik wajahnya penuh dengan keibaan.
Aku menarik nafas, wanita itu masih berdiri disana. Angin mulai bergemuruh, menerpa poniku yang mulai menutupi mata. Aku memalingkan muka sekilas, hujan sudah mulai turun. Lalu, mengalihkan kembali ke tempat keberadaan sosok perempuan tersebut.
“Eh.”

“Kok gak ada?”

“Eh anying hilang goblog.”

Aku mengedarkan pandangan, sosok wanita itu benar-benar sudah tidak ada.
Aku menghembuskan nafas, “Yailah baru pengen gue ajak kenalan.”

“Kali aja dapet nomor buat masang.” Lanjutku sembari tertawa untuk menghibur diri.
Aku bukanlah orang yang pemberani. Aku hanyalah orang yang selalu bersikap nyeleneh terhadap hal-hal mistis. Bukan bermaksud menentang mereka, tapi untuk menghibur diri agar tidak merasa takut jika berhadapan dengan mereka yang tak kasat mata.
Hujan semakin deras, mas Wahyu dan kawannya belum pulang. Aku sempat menelpon Abi, namun Abi bilang bahwa ia masih di kota, karena ada keperluan mendadak. Aku terduduk di teras kantor, memandang jenuh rintikkan air hujan.
*Glenteng*

Aku tersentak, “Anjrit!”

Aku membalikkan badan, melihat kaca jendela kantor dari luar. Aku sangat yakin jika sumber suaranya berasal dari dalam ruangan kantor.

Apa di bangunan ini ada orang selain aku?
Atau itu hanya suara barang yang jatuh karena tersenggol hewan?

Entahlah, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala berusaha menjernihkan pikiran.

Rasanya sungguh tidak nyaman berada disini, namun kenapa para penghuni mess belum pulang, kesalku dalam hati.
Mau pulang, tapi angkot sudah tidak beroperasi, mengingat jam sudah hampir menunjukkan pukul 9 malam. Mau pesen ojek online ya percuma, aku tidak punya aplikasinya. Bukannya kudet, hanya saja keseringan naik motor sendiri.

#NanMenolakKudet
Hari semakin malam. Bunyi katak semakin terdengar jelas dalam kesunyian dan aku masih duduk di tempat yang sama. Aku memainkan smartphoneku, sesekali menengok ke arah gerbang, berharap para penghuni mess segera pulang.
Tepat pukul sepuluh malam, mas Wahyu pulang tanpa membawa kawannya. Ia mengendarai motor matik warna putih miliknya, kemudian cengar-cengir ketika melihatku yang tengah menunggu bosan.
“Wes sue tah?” Tanya mas Wahyu. (Udah lama?)

“Udah mas.” Jawabku singkat sedikit bete, mengingat aku sudah terlalu lama menunggu sendirian. Belum makan juga.

“Ealah, ngambek.”

Mas Wahyu turun dari motornya, kemudian menstandar dua.
“Dimakan dulu.” Ucap mas Wahyu sambil menyerahkan bingkisan plastik hitam.

Aku membukanya dan kudapati satu bungkus nasi ayam. Tanpa menawarkan kembali, aku dengan cepat melahapnya.
“Ya lord, gabakal minta gue.” Kata mas Wahyu dengan membawa seember air dari kamar mandi.

Ealah, mau nyuci motor ternyata.

“Belum makan dari pagi. Eh sore tadi malah langsung dianter kesini sama Abi.”
“Lah kenapa gak beli makan, pea?” Tanyanya.

“Gak bawa duit elah mas, sisa goceng tadi buat beli air.” Jawabku jujur. Memang, dari tadi sore aku hanya membawa uang lima ribu rupiah.
Tak lama, aku menyelesaikan makanku dan kembali duduk disebelah mas Wahyu yang masih mencuci motornya.

“Emang tadi selesai jam berapa mas?” Tanyaku membuka percakapan.
“Jam setengah sembilanan sih selesainya. Cuma tadi makan plus ngopi dulu, makanya baru nyampe jam segini.” Jawabnya tanpa menoleh kepadaku. Ia tengah sibuk menyikat ban motornya yang dipenuhi oleh tanah.
Aku tertawa melihatnya yang sibuk menyikat ban, “Yaelah mas, motor dicuci mulu, tapi gak ada yang dibonceng.”

“Si kampret!” Umpatnya.

"Yang di bonceng lagi dibahagian dulu sama yang lain." Lanjutnya.

Aku tertawa terbahak-bahak.
Mas Wahyu terlihat ingin melempar sikat padaku, namun pada saat menoleh kepadaku, ia seperti tertahan. Mas Wahyu mengerutkan dahi. Sorot matanya juga kini beralih pada arah yang lain.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tidak ku temui apapun. Darahku berdesir, ada perasaan tidak enak.

“Kenapa mas?” Tanyaku melambaikan tangan di depan wajahnya.

Mas Wahyu hanya memberi kode dengan dagunya. Bulu kudukku merinding. Ada sesuatu di belakangku.
Ingin sekali rasanya aku membalikkan badan, tapi ku urungkan. Aku merasa sangat tidak nyaman.

“Ada apa sih?” Aku berbisik mendekati mas Wahyu.

“Lo penakut gak Nan jadi orang?”

Aku menggeleng, "Takut gak ada di kamus Nan."
Mas Wahyu tersenyum tipis, “Ada setan di pojokkan.”

“Se… Seriusan?” Kataku sambil membalikkan badan.

Aku melihat sosok bergaun putih dengan rambut yang panjang hingga melebihi pinggulnya. Sosok itu berdiri membelakangi kami.

*Bersambung*
Aku mematung, tidak bisa menggerakkan tubuh. Aku juga tidak sanggup berlari.

Rasanya berat sekali.

Aku melirik mas Wahyu, ia pun hanya diam, terpaku menatap sosok berambut panjang yang berada di bawah pohon bambu kuning.
Jarak kami dengan kuntilanak lumayan dekat, hanya sekitar 6 meter.

“Anjirlah jelas banget.” Gerutuku dalam hati.

Hampir lima menit kami saling berdiam, selama itu juga kuntilanaknya masih betah untuk memunggungi kami.
“Mas, itu yang namanya kuntilanak ya?” Tanyaku bego.

“Iya Nan.” Jawabnya cepat.

“Gue mah udah sering diliatin begituan disini.” Lanjutnya.

Aku mengangguk dengan pernyataannya.
“Emm mbak, gak cape ya berdiri madep bambu mulu?” Ceplosku yang disusul dengan teplakan tangan mas Wahyu pada kepalaku.

Aku berbalik, “Loro e mas.” (Sakit, mas).

“Cangkemu iku lho ra di jogo.” (Mulutmu gak dijaga).
Aku hanya nyengir, “Lagian dia betah amat madep bambu.”

“Wes wes, ayok masuk mess aja.”

Mas Wahyu mencabut kunci motor, lalu berjalan menuju kamar messnya. Aku mengikuti, sesekali menengok kuntilanak yang masih melayang di tempat semula.
“Rokok nih.” Tawar mas Wahyu, melemparkan sebungkus rokok filter yang masih baru.

Aku menerimanya, membakar satu batang. Berharap rasa merindingku akan segera sirna dengan kejadian barusan.

“Mas Dito kemana?”
“Muleh kampung de’e.” Jawabnya dengan fokus yang masih tertuju pada ponselnya. (Balik kampung dia).

Lama aku dan mas Wahyu bercengkrama, walaupun pembahasan yang random tapi setidaknya mampu mengurangi rasa takutku untuk sementara.
Aku melihat ponselku, jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

Aku sempat berfikir, apakah Abi lupa untuk menjemputku?

Hingga tengah malam begini saja ia belum kunjung datang.
“Abi kemana sih mas, kok belum jemput?”

“Tadi sih nelpon, katanya lagi urus proyek yang di sekolahan. Soalnya belum selesai pengerjaannya.”

“Ealah, masih lama dong yak?”
Mas Wahyu mengendikkan bahu, “Ra ruh aku.” (Gatau aku).

“Dari tadi gue pengen balik, banyak banget gangguan mas.” Curhatku pada sosok yang berumur sepuluh tahun lebih tua.

Mas Wahyu menghentikan pemainannya, wajahnya mendongak, menatap mataku secara tajam.
“Apa aja yang lo liat, Nan?” Tanyanya kepo.

Aku mengerutkan dahi, berfikir ada yang ganjal disini. Mas Wahyu terlihat kaget dengan pengutaranku.

“Ya banyak mas, kuntilanak tadi salah satunya.”

“Sebelumnya itu diganggu juga?”
*Kluntang*

Belum sempat aku menjawab, lagi-lagi terdengar suara benda terjatuh lagi.

Aku terlonjak kaget, begitu juga dengan pria di hadapanku. Kami saling berpandangan.
Aku menerka jika itu berasal dari bangunan kantor.

“Kayaknya sumbernya di kantor deh mas.” Ucapku kemudian yang disusul oleh anggukan kepala mas Wahyu.

“Gue udah denger dua kali malam ini.” Lanjutku.
Kami terdiam untuk beberapa waktu.

“Gue ada cerita, tapi ….” Jujurnya namun setengah tertahan.

“Iya, gue gak takut kok.” Potongku cepat. Aku juga penasaran dengan tempat ini.
Sebenarnya dari awal Abi mengontrak salah satu ruangannya, aku kurang setuju. Selain karena tempatnya yang di pojok gang, juga karena bangunannya yang cukup menyeramkan.

Namun mengingat harga sewanya yang murah, apa boleh buat?
Lagipula hanya untuk gudang penyimpanan barang saja.

Mas Wahyu mengambil korek gas miliknya, menyalakan sebatang rokok dan menceritakan kisahnya tentang bangunan yang tidak berpenghuni selama puluhan tahun ini.
“Kuntilanak yang barusan mah udah kesekian kalinya gue sama Dito ngeliat sosoknya. Sudah seperti pemandangan wajib di setiap malam. Masih banyak rupa setan yang lain, Nan. Dari genderwo, pocong dan hantu bergaun putih yang di ujung lorong.”
“Belum lagi benda-benda yang bergerak dengan sendirinya, barang-barang gue sama Dito yang hilang tiba-tiba. Pernah sekali, gue lagi tidur pakai sarung. Gue ngeliat dengan mata kepala sendiri kalau sarungnya ketarik sendiri, Nan."
“Dan juga hampir setiap malam, gue sama Dito selalu mendengar benda-benda yang berjatuhan. Seperti yang baru saja kita alami. Gue yakin seratus persen jika itu bukanlah ulah hewan, Nan!” Ucapnya begitu yakin.
Aku mengerjap mendengar kisahnya, “Kalo gitu kenapa gak pindah ke kontrakan aja, bareng sama yang lain, mas?” Tanyaku.

Setahuku, sebelumnya mas Rizal juga tinggal di mes, namun belakangan ia lebih memilih untuk mengontrak.
Mas Wahyu terkekeh pelan, “Gue disini tinggal gratis, lagian gue dibayar juga buat ngejaga gudang sama bokap lo, itung-itung buat nambah penghasilan, hehehe.”

Ealah, kalo aku jadi anak rantau pun, aku pasti mau melakukan hal serupa.
*Brakk*

Suara barang terjatuh terdengar kembali disela-sela perbincangan kami. Sepertinya, aku mulai terbiasa dengan suasana malam di bangunan terbengkalai ini.
“Jujur, gue penasaran sama isi kantor. Beberapa kali gue kesini dan gue masih aja penasaran sama isi ruangannya.” Celotehku jujur.

Mas Wahyu malah menatapku, mencari sesuatu yang entah apa, aku juga tidak tahu.
“Kata bokap, lo suka uka-uka ya?” Tanyanya penasaran.

Aku mengangguk.

“Lo beneran penasaran sama isi kantor?”

Aku kembali mengangguk.
Mata mas Wahyu terpejam sesaat, “Mau masuk?” Tawarnya dengan alis terangkat satu. Bibirnya melengkung senyum mengejek.

“Memang bisa masuk ya, kan kekunci semua.”

Mas Wahyu malah tersenyum, ia mempunyai rahasia yang lain.
“Gak semuanya ke kunci kok.” Jawabnya.

Kini aku yang tersenyum lebar, menghisap tembakau terakhir lalu menekan putung rokok dalam asbak.

“Boleh. Sekarang?” Ucapku lalu berdiri tidak sabar.

*Bersambung*
Kamar mess mas Wahyu tidak begitu besar, mungkin hanya berukuran 4x4 meter. Tidak ada kamar mandi di dalamnya.

Seluruh ruangan berwarna putih, kecuali sebuah kain berwarna hijau yang menutupi salah satu sudut ruangan.
Aku membuka korden jendela, mengintip-ngintip sesuatu dari dalam kamar mess. Hanya ada satu objek tujuanku yaitu sesuatu yang tadinya berada dibawah pohon bambu kuning.

“Lapo kowe, Nan?” Tanya mas Wahyu. (Ngapain Nan?)
“Iki ndelok mba kuntine, takute esih ono.” Jawabku tanpa menoleh, sedangkan mataku masih mencari sosok yang sebelumnya membuat kami jadi merinding. (Liat mba kunti nih, takutnya masih ada).

Mas Wahyu hanya tertawa kecil.
“Aman, udah gak ada.” Ucapku nyengir sambil membalikkan badan.

“Sekarang nih?” Tanyaku perilhal ajakannya untuk masuk ke dalam kantor.

“Iyo.”
Aku bergegas keluar kamar, namun baru saja selangkah jalan, ia berkata, “Nan, sekalian ambilin senter di lemari depan.” Perintah mas Wahyu.

Aku mendongak keluar pintu, ada lemari kayu polos tanpa ukir yang mulai lapuk disana.
“Lemari ini?” Tanganku menunjuk lemari tersebut.

Mas Wahyu yang tengah mengganti baju, menoleh sesaat padaku. Ia mengangguk tanda membenarkan perkiraanku.

Aku membuka lemari paling bawah, ada dua senter yang lumayan besar.
“Ketemu?”

“Ada nih mas, ayok.”

Mas Wahyu keluar kamar, lalu memarkirkan motornya di teras sebelah mess.

Sementara itu, aku melihat-lihat di jendela kantor, berharap dapat melihat ke bagian dalam ruangan tersebut.

Aku pasrah. Tidak ada celah untuk melihat ke dalam.
“Ayo, Nan.” Ajak mas Wahyu sembari mengambil salah satu senter dari tanganku. Ia berjalan mendahuluiku menuju lorong yang mengarah ke kamar mandi.

Aku mengikuti setiap gerak langkahnya, membuntutinya persis di belakang, tak ada celah diantara kami.
Aku menyenter sebuah ruangan, disana terdapat beberapa pawon dan alat perlengkapan dapur lainnya yang berserakan.

Ada sebuah mesin yang aku juga tidak tahu fungsinya untuk apa, yang jelas banyak sarang laba-laba disana.
Lebih masuk lagi, sorot lampu dari lorong sudah tidak terlihat. Pencahayaan hanya berasal dari senter kami.

Mas Wahyu menuntunku pada sebuah pintu besi berwarna hijau yang berada di paling ujung dekat kamar mandi. Letak pintunya tak terduga.
Siapa yang menyangka jika di pojokkan ruangan ini terdapat sebuah pintu?

Bahkan saat siang hari pun, tidak semua orang akan sadar kalau ada pintu lain di ruangan ini. Lagipula warna pintu dan temboknya sama-sama hijau.
“Anjir ada pintu disini.” Ucapku tanpa sadar saat mas Wahyu memutar gagang pintunya.

Mas Wahyu tersenyum, “Kalo orang gak perhatiin dengan jelas, mereka gak akan ngira kalo disini ada pintu.”

Aku setuju dengan pendapatnya.
Setelah masuk, ruangannya tidak terlalu besar. Ada dua pintu yang bersebrangan dan satu tangga menuju lantai atas.

“Aneh.” Celetukku.

“Kenapa?”

“Emang bangunan ini berlantai dua ya?”
Mas Wahyu terkekeh, “Kalo dari luar mah gak tingkat, tapi aslinya tingkat kok. Tapi di bagian belakang doang.” Jelasnya.

“Diatas ada apaan, mas?” Tanyaku penasaran.

“Gak ada apa-apa, hanya beberapa kamar mess, kamar mandi dan balkon kecil.” Jawabnya.
“Mau lihat?” Tawarnya dengan cepat.

Sementara aku menimang-nimang, tujuanku memang ingin melihat kantor tapi ya tidak apa jika aku ke atas sebentar, pikirku.

“Boleh deh.”

Kami berdua menaiki tangga beton berbentuk U.

Taukan maksudnya?
Sesampainya di atas, benar yang dikatakan oleh mas Wahyu bahwa di lantai dua hanya terdapat beberapa kamar mess yang sudah terbengkalai. Masih ada sisa-sisa lemari dan kasur kapuk di dalamnya, serta pakaian-pakaian yang berserakan di lantai.
Aku membuka sebuah pintu yang sudah lapuk, tidak ada lagi gagang yang melekat. Rayap juga sudah memakan sebagian besar permukaan kayu dari pintu.

“Padahal enak buat nongkrong di malam hari nih.” Ucapku mengomeni balkon kecil.
Mas Wahyu menyetujuinya, “Dulu gue sama Dito mau bikin tempat nongkrong disini, tapi ga jadi.”

“Lho kenapa?” Aku penasaran.

Pemuda lajang itu tersenyum, “Ya lo udah tau alasannya, Nan.” Ungkapnya setengah tertawa.
Aku yang connect dengan pernyataannya malah ikut tertawa. Ya bagaimana lagi, tempatnya serem begini, batinku.

Aku memandang sekitar, sebuah pekarangan dan petak sawah yang biasa dilalui oleh mas Rizal.

Begitu gelap gulita. Tiada penerangan sama sekali.
“Hayuk ke kantor.” Ajak mas Wahyu setelah menghabiskan beberapa menit di balkon.

Aku mengikutinya menuruni tangga, lalu berhenti di salah satu pintu di ruangan sebelumnya.

“Yang ini gak ke kunci, Nan.”

Mas Wahyu membuka pintu dan memasukinya.
Aku berdiri di tengah pintu, ada sedikit ragu untuk masuk.
Jantungku berdegup cepat tiba-tiba, ada perasaan tidak enak menyelimuti.

“Mas.” Panggilku.

Mas Wahyu berbalik, menyenter wajahku tanpa sengaja.

“Kenapa? Ragu?” Tanyanya.
Aku menggeleng, “Lo pernah masuk kesini?”

Mas Wahyu mengangguk, “Iya sekali. Waktu gak sengaja buka pintunya dan ternyata kebuka.”

Sebuah lorong kecil kini dihadapanku saat pertama masuk. Aku menelusurinya, hingga menemukan sebuah ruangan yang terlihat luas.
Aku menyenter di bagian ujung ruangan, terdapat sebuah meja yang memanjang. Aku taksir jika meja itu adalah meja repsesionis.

Aku menghampirinya, mengelus permukaan meja.

“Kotor banget.” Batinku saat melihat telapak tangan yang kotor terkena debu ruangan.
Di ruangan itu juga terdapat beberapa kursi tunggu dan juga pigura, namun semuanya sudah ditutupi oleh plastik putih.

Kaca kantornya ternyata kaca film, jadi jika kita melihat dari dalam maka akan terlihat ke arah luar. Sedangkan jika dari luar tidak terlihat ke dalam.
Aku mengedarkan pandangan, ada satu yang menjadi perhatianku, sebuah lukisan 3D yang menempel di tembok, dimana objek dari lukisan tersebut adalah sesosok perempuan cantik dengan mahkota di kepalanya, yang sangat terkenal dengan warna hijau.
“Anjir, serem ye mas?” Ucapku meminta persetujuan kepada mas Wahyu.

Ia menghampiriku, “Loh, ini lukisan sama yang ada di mess.” Ujarnya.

Aku menoleh kaget, “Eh yang bener?”
“Beneran. Lo taukan kain hijau yang di kamar?”

Aku mengangguk. “Iya.”

“Aslinya itu tembok ada lukisan persis kayak gini. Ya tapi lebih kecil ukurannya. Karena seram, akhirnya gue tutup pake kain.” Jelasnya.
Setelah puas memandangnya, aku mengedarkan senterku pada lorong sebelumnya. Ada sebuah ruangan lain disana.

Aku berjalan kesana, dan tidak kudapati apa-apa selain beberapa kursi dan meja. Ada satu pintu lagi di ujung lorong.
Aku berusaha untuk mengabaikan pintu yang terdapat kata “Manager” di permukaannya. Namun tidak bisa, mataku selalu tertuju pada pintu tersebut.

Tanpa sadar, aku sudah di hadapannya. Sebab penasaran, aku membuka pintunya.
*Klek*

“Ehhh.” Teriak mas Wahyu berjalan cepat ke arahku.

Aku menahan pintu di gagang, menolehkan wajah pada mas Wahyu.

“Kenapa mas?” Tanyaku.

“Kemarin waktu gue kesini, pintunya ke kunci lho.” Katanya setelah tiba di hadapanku.
“Yang bener? Nih buktinya bisa kebuka.” Ucapku seraya membuka tutup pintu tersebut.

“Seriusan, kemarin-kemarin gak bisa Nan.”

Tidak ada mimik kebohongan, aku yakin ia jujur. “Ah teuing. Asup kuy.” (Ah bodo, masuk yu) Ajakku.
Aku masuk ke dalam, hanya ada meja, kursi dan beberapa lemari kecil khas ruangan manager.

Hampir sama dengan ruangan lobbi sebelumnya, ruangan ini banyak debunya. Hanya saja properti di ruangan manajer tidak di bungkus oleh kain.
Aku melihat satu benda yang berada di meja. Aku mengambilnya dan membuka-buka perhalaman setelah sebelumnya aku bersihkan pakai tangan.

“Juni 2008” Ucapku membaca tulisan di halaman terakhir yang tertulis. Aku tidak tahu maksudnya apa.
Lalu sebuah foto yang penuh debu dan sarang laba-laba juga ada di atas meja.

Aku meraihnya dan mengelap permukaan foto.

“Astaga.”

Aku terperanjat melihat fotonya, tanpa sengaja membuang foto tersebut.
Mas Wahyu yang sedang melihat-lihat lemari, berlari kepadaku.

“Kenapa” Teriaknya.

Aku menunjuk foto, yang kemudian ia lihat.

Wajahnya diselimuti oleh rasa kaget. Ia menggeleng-gelengkan kepala.
“Ini kan…?” Tanyanya menatapku.

“Gue pernah liat dia mas di….”

“Lorong.” Potong mas Wahyu.

“Lo ngeliat juga?” Tanyanya kemudian.

“Iya tadi mas, sebelum lo datang mas.”
Tiba-tiba berhembus angin di dalam ruangan yang membuat bulu kudukku merinding.

Korden jendela ruangan tersingkap, aku berjalan mendekati mas Wahyu yang juga mendekati pintu.

Hening menyelimuti kami.
Suara benda jatuh kembali terdengar, sangat jelas sekali namun tidak ada satupun benda yang bergerak dari posisinya.

Samar-samar aku mendengar suara orang-orang yang sedang bekerja. Aku menggenggam erat lengan pemuda di hadapanku. Aku kalut dengan suasana saat itu.
“Mas, denger gak?” Tanyaku.

Ia mengangguk.

Derap langkah kaki dari luar memenuhi indera pendengaran. Seakan-akan bahwa di luar kantor ada banyak orang lain yang sedang bekerja.

Karena ingin memastikan, mas Wahyu menuntunku menuju pintu keluar untuk mengecek situasi.
Namun ketika kita sampai di kamar mandi dan sedang menuju lorong, sosok bergaun putih dengan wajah yang iba menampakkan diri.

Langkahku terhenti ketika mas Wahyu menahanku. Aku diam, menunggu aba-aba darinya.
“Dia yang ada di foto kan?” Tanyaku lirih.

“Iya.” Jawab mas Wahyu tak kalah pelan.

Perempuan yang tak menapak itu masih berdiri di tempat yang sama, membuat kami tidak mengerakkan badan pun.
“Hi Hi Hi.”

Perempuan yang ada dihadapan kami melayang menjauhi kami dengan tertawa yang menyeramkan.

Aku tersadar dan berlari ke depan secepat mungkin, mas Wahyu menyusulku. Ketakutanku sudah pada titik tertinggi malam itu.
Nafasku memburu, aku tidak pernah merasakan kalut yang berlebihan hingga malam itu.

“Anjir, fix ini tempat serem mas.” Ucapku ngos-ngosan. Kami terduduk di tanah dekat gerbang.

“Apa kabar gue yang udah hampir setengah tahun disini.”
Aku hanya memandang wajahnya yang sudah pucat.

“Anjir, jelek mas muka lo kalo lagi pucet gitu.” Aku tertawa karena belum pernah melihat mas Wahyu segenting ini.

“Jujur, ini yang paling epic selama hidup gue.” Katanya.
*Tinn.*

Mobil jenis SUV pabrikkan asal Jepang memasuki pekarangan gudang.

“Weh kenapa kalian ngos-ngosan gitu?” Tanya Abi keluar dari dalam kendaraan. Wajahnya terlihat bingung.
Aku hanya saling menoleh, kemudian tertawa bersamaan. Mas Wahyu menggelengkan kepala, tanda agar aku tidak menceritakan ke Abi kejadian yang sebenarnya.

Aku tersenyum, “Yuk bi, balik.” Ajakku masuk mobil di posisi pengemudi.
Abi menurut, ia duduk di sebelahku.

Aku membuka kaca mobil keseluruhan, mas Wahyu sedang mengunci pintu mess.

“Dia tidur di rumah temannya malam ini.” Seloroh batinku tertawa.
Aku memandang bangunan terbengkalai bekas pabrik melalui kaca spion. Spontan bibirku melengkung senyum, ternyata bangunan itu menyimpan banyak misteri lebih dari yang aku kira setelah melewati kejadian malam itu.
Abi menoel lenganku, “Kamu kenapa senyam-senyum sendiri?” Tanyanya semakin penasaran.

Aku menoleh, “Gapapa, Bi.” Ujarku sembari menekan pedal gas semakin dalam.

“Kayaknya gue bakal suka tempat itu.” Bibirku kembali tersenyum. Bahkan kali ini lebih lebar.

END

***
Ini kejadiannya beberapa tahun yang lalu, waktu gue baru lulus SMA, pada saat awal-awal abi menyewa tempat tersebut.

Setelahnya, gue malah biasa aja terhadap tempat itu. Mungkin karena terbiasa gue kesana.
Mungkin gue masih mengalami beberapa kejadian di gudang setelah itu, tapi yang paling seru, paling banyak gangguannya dan juga paling bikin gue sakit hati adalah ketika kawannya Abi menarik ‘benda’ dari salah satu bagian bangunan.
Sebuah kejadian yang gak bisa gue ceritakan kepada kalian. Sebuah kejadian yang membuat gue untuk berbagi kisah-kisah yang gue alami ataupun yang dialami oleh orang lain, dan tentunya atas persetujuan orang yang bersangkutan.
Jika kalian nanya kenapa gue gak bisa ceritain kisahnya, karena itu menyangkut persaingan bisnis (:

“You expect lion not to eat you just because you don’t eat them. The world isn’t run that way.” - Ayana.

Salam, Nan.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Call Me, Nan.

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!