Rambutnya panjang, wajahnya hancur, aku ingin berteriak namun tenggorokanku tercekat.
@bacahorror #bacahorror
Jadi di kampung gue ada satu rumah yang memang sudah ada dari sejak jaman Belanda. Rumah itu adalah rumah saudara gue, namanya uwa Basori.
Dulu setiap pulang kampung, gue dan temen-temen sering main dan menginap di rumah itu karena rumahnya memang sudah tidak di tempati lagi oleh uwa Basori.
Karena yang mengurus rumahnya itu masih sodara gue, jadi gue masih bisa gunain selama gue pulang kampung.
Tapi ya gue mah selow aja, mungkin efek kelamaan tinggal di kota. Jadi bodo amatan hehe.
Kita juga berinisiatif membawa ps hasil nyewa semalaman ke salah satu rental ps langganan gue di kampung. Ya sekedar buat menemani malam hari.
Kebetulan waktu itu si Slamet itu lagi bucin, jadinya dia chatan sama ceweknya.
Karena dia ga pede, yaudah Slamet minta gue sama si Sufi buat nyanyi bareng. Waktu itu lagunya teh lingsir wengi, hehe.
Dan klean tau?
Hasil rekamannya itu gak sesuai dengan apa yang kita harepin.
Seinget gue, rekaman itu masih ada di leptop gue yang lama, tapi gue gatau foldernya dimana.
Karena gue males nyari, no prove = hoax wkwkwk.
Gue bertiga juga sepakat buat gak cerita ke yang lain, biar gak pada takut. Lagian kan sayang udah nyewa ps mahal-mahal, malah nanti ga jadi main, kan rugi bandar.
Gue juga ngerasa hawa di ruangan tersebut jadi beda, kayak pengap dan ngerasa gerah.
Gue keluar dan gue jongkok sekitar satu meter dari pintu sambil mijetin kepala.
(silang pada foto rumah).
Di depan gue itu ada pohon yang biasa dijadikan pagar. Orang kampung gue nyebutnya 'tetean'.
Pohonnya gede dah, konon itu pohon udah ada dari dulu. (lingkaran pada foto rumah)
Gue penasaran, itu beneran rambut atau hanya sebuah tali hitam yang tergantung di pohon.
Gue mulai nengok ke arah atas pohon, sekedar ingin tau ujung dari benda itu.
Sesosok wanita berambut panjang, wajahnya yang hancur tapi samar-samar bibirnya melengkung senyum sembari menatap ke arah gue.
Sontak badan gue terasa kaku, seolah-olah dipaksa untuk terus menatap ke arah makhluk mengerikan tersebut. Bahkan sedekar mengedipkan mata aja udah ga mampu.
Gue pun cuma bisa pasrah ketika mata gue hanya terfokus pada sosok yang sedang duduk di dahan pohon tersebut.
Ingin rasanya gue menyaut panggilan temen gue itu, tapi apa daya tenggorokan gue rasanya tercekat.
Gue hanya diam, tak bisa menjawab. Namun dari sudut mata, gue bisa melihat Slamet terkaget, mulutnya melongo ketika menyadari apa yang sedang gue lihat.
Karena mungkin gue susah ditarik, si Slamet balik lagi masuk ke dalem rumah ninggalin gue sendiri.
Samar-samar gue denger Slamet teriak di dalem rumah, entah apa yang sedang ia bicarakan. Tapi ga lama kedenger suara gaduh.
Akhirnya gue cuma bilang, gue meriang dan rasanya kayak kaku badan gue.
Tak lama, si Sufi juga masuk ke dalam kamar, dia bilang kalo yang lainnya udah pengen pada tidur di kamar depan, jadi si Sufi sama kita dikamar belakang
Hening.
Sampai tiba-tiba,
"Brukkk!"
"Ono sing durung turu po?" (Ada yang belum tidur apa?) Tanya gue.
Mereka berdua hanya mengendikkan bahu tidak tahu.
"Di cek sek jol, Fi." (Cek dulu coba, Fi.) Perintah Slamet kepada Sufi.
Sufi turun dari ranjang, melangkah menuju pintu. Baru sedikit ia membuka pintu, ia sudah menutupnya lagi dan kembali ke ranjang.
"Lah mau sopo si gebrak pintu?" (Terus siapa yg gebrak pintu?) Tanya gue.
"Enek maling po?" (Ada maling kali?) Curiga Slamet.
"Mbuh, tapi lawang yo ketutup kabeh." (Gatau. Tapi pintu mah ketutup semua) Jawab si Sufi lagi.
Suara benda terjatuh di atas genting membuat kita bertiga saling merapat diatas ranjang yang tidak begitu besar.
"Ada apa lagi nih" Gerutu gue dalem hati.
"Tenan ki ono maling!" (Beneran ini ada maling) Kata Sufi.
Gue menoleh dan melihat Slamet sedang membuka korden jendela. Tidak lebar, namun cukup untuk mengintip ke arah luar rumah.
Suasana di luar jelas tidak masuk akal, pohon-pohon berayun ke kanan dan ke kiri seperti sedang terjadi badai.
"Ono opo iki sebenere?" (Ada apa ini sebenarnya) Gerutu Slamet pelan.
Kita bertiga kalut dengan pikiran masing-masing, tak ada wajah semangat hidup.
"Dewek ngelakokno kesalahan ki." (Kita ngelakuin kesalahan nih) Ungkap Sufi setelah sekian lama.
"Bruk..."
Entah sudah berapa kali atap rumah ini tertimpa benda yang kita sendiripun tak tahu kebenarannya.
Pintu kamar terbuka, gue terperanjat kaget.
"Wedus!" Kaget gue.
"Sopo kui?" (Siapa itu) Teriak Sufi.
Tak ada jawaban, kami kembali terdiam.
Suara wanita melengking keras terdengar memenuhi telingaku. Reflek gue menutup telinga, memejamkan mata. Tangan gue bergerilya mengenggam kedua teman yang berada disebelahku.
Lanjut..
Sebuah teriakkan dari salah satu teman kita yang tidur di kamar depan membuat gue membuka mata. Ia berlari langsung menerjang ranjang dan mengusel di tengah-tengah kami.
"Lapo koe?" (Napa lo?) Tanya Slamet menggoyang-goyangkan bahunya.
Afi tidak menjawab, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menutup mata dengan kedua tangannya.
"Loh napa gak tidur?" Tanya gue.
"Kebelet nguyuh cuk, pas metu umah malah delok kunti." (Kebelet kencing, pas keluar rumah malah liat kunti) Lanjutnya.
Lagi-lagi tawa itu membahana, suaranya singkat, jelas dan padat namun mampu membuat bulu kuduk merinding.
"Wes telpon mas Anto wae." (Telpon mas Anto aja) Usul Slamet.
Mas Anto yang ngerawat rumah ini, btw.
"Di cubo sik." (Coba dulu)
Gue menurutinya, dan sialnya teleponnya tak diangkat.
Sufi mengusap wajahnya, tersirat rasa ketakutan yang menjadi-jadi walau berusaha ia tutupi.
Gue menuruti sarannya, entah berapa banyak surat pendek yang gue lafalkan pada malam itu.
Tapi bener, setelah itu suasananya sedikit membaik, hawanya juga gak sepanas sebelumnya.
Tapi setelah diintip, diluar gak ada siapa-siapa, pohonnya juga udah diem.
Gue liat barang-barang udah berantakan, kayak karpet yang udah kelipet sembarang, pakaian dan lap lantai yang berserakan.
Gue beresin beberapa barang sebelum bangunin yang lainnya.
Dan Alhamdulillahnya gue tidur pules banget sampai sore.
"Mereka mau kenalan sama kalian." Gitu katanya. Kan ngeselin ya?
Udah ga ada akhlak, milih-milih korban lagi, ngeselin emang!
Kan Anjir ya?
Gue tahu sih tujuan mas Anto ngomong gitu supaya orang-orang gak pada takut pas lewat atau berada di sekitar rumah itu.
Jujur aja, semenjak kejadian itu kita gak pernah nginep di rumah itu
Kini rumah itu juga kini diisi sama orang, buat usaha juga, jadinya kesan seremnya juga lumayan hilang.
Selamat berpuasa bagi teman-teman yang menjalankanya.
Wassalamualaikum.