My Authors
Read all threads
"Chapter 1 : Kuntilanak"

Rambutnya panjang, wajahnya hancur, aku ingin berteriak namun tenggorokanku tercekat.

@bacahorror #bacahorror
Cerita ini terjadi pada tahun 2011 atau 2012 silam, gue lupa tepatnya. Seinget gue waktu itu masih SMA.

Jadi di kampung gue ada satu rumah yang memang sudah ada dari sejak jaman Belanda. Rumah itu adalah rumah saudara gue, namanya uwa Basori.
Rumahnya sudah mengalami renovasi, sehingga bentuk aslinya sudah berubah.

Dulu setiap pulang kampung, gue dan temen-temen sering main dan menginap di rumah itu karena rumahnya memang sudah tidak di tempati lagi oleh uwa Basori.
Uwa Basori tinggal di luar kota karena alasan pekerjaan yang menuntutnya harus pindah agar lebih dekat dengan tempat kerjanya.

Karena yang mengurus rumahnya itu masih sodara gue, jadi gue masih bisa gunain selama gue pulang kampung.
Gue udah sering dengar bahwa rumahnya itu angker, banyak warga sekitar yang ngaku pernah ngelihat sesuatu yang gak lazim di sana seperti kuntilanak pocong dan bangsa lelembut lainnya.

Tapi ya gue mah selow aja, mungkin efek kelamaan tinggal di kota. Jadi bodo amatan hehe.
Bentuk rumahnya itu L cuy.

Sorry kalo gambarnya jelek.
Bukan-bukan. Itu mah design kasar rumah proyekan gue tempo hari hehe.
Nah rumahnya itu letter L. Kurang lebih begini.
Suatu malam, gue dan teman-temannya berniat buat menginap di rumah tersebut, biar kayak anak muda ngumpul-ngumpul ampe pagi gitu.

Kita juga berinisiatif membawa ps hasil nyewa semalaman ke salah satu rental ps langganan gue di kampung. Ya sekedar buat menemani malam hari.
Malem itu gue, Slamet sama Sufi dateng lebih awal, mungkin masih jam 10 malem. Kita nunggu di teras, ngopi dan ngobrol selagi nunggu yang lainnya.

Kebetulan waktu itu si Slamet itu lagi bucin, jadinya dia chatan sama ceweknya.
Kebetulan ceweknya si Slamet bukan orang Jawa, doi itu minta ke Slamet buat nyanyiin lagu Jawa.

Karena dia ga pede, yaudah Slamet minta gue sama si Sufi buat nyanyi bareng. Waktu itu lagunya teh lingsir wengi, hehe.
Awalnya gak ada yang aneh waktu kita ngerekam lagu itu, sampe akhirnya si Sufi minta buat diputer lagu rekamannya.

Dan klean tau?

Hasil rekamannya itu gak sesuai dengan apa yang kita harepin.
Sumpah ada suara cewek ikutan nyanyi, padahal kita bertiga itu cowok. Ga ada cewek sama sekali, tapi kenapa hasil rekamannya ada suara cewek ikutan nyanyi juga?
Dulu gue masih penakut wkwk. Ya otomatis kita bertiga ngibrit ke dalam rumah.

Seinget gue, rekaman itu masih ada di leptop gue yang lama, tapi gue gatau foldernya dimana.

Karena gue males nyari, no prove = hoax wkwkwk.
Gak begitu lama, temen-temen gue pada dateng.

Gue bertiga juga sepakat buat gak cerita ke yang lain, biar gak pada takut. Lagian kan sayang udah nyewa ps mahal-mahal, malah nanti ga jadi main, kan rugi bandar.
Saat kita lagi asik main ps, gatau kenapa gue ngerasa gak enak badan, kepala gue pusing dan badan gue panas.

Gue juga ngerasa hawa di ruangan tersebut jadi beda, kayak pengap dan ngerasa gerah.
Padahal rumahnya lumayan besar loh, I mean, ruangan keluarganya itu lebar, karena gak ada sekat dari ruang tamu sampai dapur itu. Jadi gue rasa kita gak bakal kepanasan. Apalagi kampung gue itu di kaki gunung, yang ada malah adem, kan?
Karena ngerasa gerah, gue akhirnya diem-diem keluar rumah, tapi lewat dapur yang ada pintu sampingnya.

Gue keluar dan gue jongkok sekitar satu meter dari pintu sambil mijetin kepala.
(silang pada foto rumah).
Gue liat sekeliling, semuanya gelap, tapi masih sedikit keliatan karena ada pencahayaan dari lampu jalan.

Di depan gue itu ada pohon yang biasa dijadikan pagar. Orang kampung gue nyebutnya 'tetean'.
Nah disekitar tetean juga ada pohon mangga, rambutan, pisang, dll. Tapi ada satu pohon yang jadi perhatian gue.

Pohonnya gede dah, konon itu pohon udah ada dari dulu. (lingkaran pada foto rumah)
Nah saat lagi asyik liat-liat sekitar, tiba-tiba gue ngeliat seonggok rambut panjang yang terurai sampai ke tanah. Kaget dong gue.

Gue penasaran, itu beneran rambut atau hanya sebuah tali hitam yang tergantung di pohon.
Sebenarnya gue ngerasa takut, tapi rasa penasaran gue lebih gede. Akhirnya gue beraniin diri buat memastikan apa yang gue lihat itu.

Gue mulai nengok ke arah atas pohon, sekedar ingin tau ujung dari benda itu.
Seketika darah gue ngerasa berhenti disaat gue lihat ujung dari benda tersebut.

Sesosok wanita berambut panjang, wajahnya yang hancur tapi samar-samar bibirnya melengkung senyum sembari menatap ke arah gue.
Wajahnya juga dipenuhi oleh belatung, kedua bola matanya melotot dan mengalir darah segar.

Sontak badan gue terasa kaku, seolah-olah dipaksa untuk terus menatap ke arah makhluk mengerikan tersebut. Bahkan sedekar mengedipkan mata aja udah ga mampu.
Kalo gue boleh milih, mungkin gue bakal milih pingsan saat itu juga, tapi kenyataannya gak selaras dengan keinginan gue.

Gue pun cuma bisa pasrah ketika mata gue hanya terfokus pada sosok yang sedang duduk di dahan pohon tersebut.
Selang lama, terdengar suara temen gue yang manggil dari dalem rumah.

Ingin rasanya gue menyaut panggilan temen gue itu, tapi apa daya tenggorokan gue rasanya tercekat.
"Kowe lapo neng kono?" (Lo ngapain disitu?) Tanya Slamet begitu menemukan gue.

Gue hanya diam, tak bisa menjawab. Namun dari sudut mata, gue bisa melihat Slamet terkaget, mulutnya melongo ketika menyadari apa yang sedang gue lihat.
"Djancok!" Teriaknya. Slamet tarik tangan gue, namun gatau kenapa rasanya berat banget buat bergerak.

Karena mungkin gue susah ditarik, si Slamet balik lagi masuk ke dalem rumah ninggalin gue sendiri.
Gue cuma bisa ngumpah sumpah serapah ke si Slamet karena seenak jidatnya ninggalin gue sama ini kunti.

Samar-samar gue denger Slamet teriak di dalem rumah, entah apa yang sedang ia bicarakan. Tapi ga lama kedenger suara gaduh.
Slamet dan temen-temen yang lain datang, gue bisa lihat si Slamet dan si Sufi ngelirik ke arah pohon gede itu, sementara anak-anak yang lain mah cuma ngangkatin badan gue dan akhirnya mereka membawa gue masuk ke dalam rumah.
Waktu gue udah di dalem dan diberi minum, gue ditanya oleh anak-anak lain. Gue ngeliat si Slamet, dia menaruh jari telunjuk dibibirnya yang mengisyaratkan gue supaya gak cerita.

Akhirnya gue cuma bilang, gue meriang dan rasanya kayak kaku badan gue.
Setelah itu, temen-temen gue kembali meninggalkan gue di kamar belakang. Gue dibiarin istirahat tapi ditemanin oleh si Slamet.

Tak lama, si Sufi juga masuk ke dalam kamar, dia bilang kalo yang lainnya udah pengen pada tidur di kamar depan, jadi si Sufi sama kita dikamar belakang
Lama kita bertiga terdiam, kita masih terjaga tapi ga ada satupun yang bersuara.

Hening.

Sampai tiba-tiba,

"Brukkk!"
Gue terlonjak kaget mendengar bunyi tersebut, gue bertiga saling pandang, memikirkan satu hal yang sama.

"Ono sing durung turu po?" (Ada yang belum tidur apa?) Tanya gue.

Mereka berdua hanya mengendikkan bahu tidak tahu.
"Tadi bilangnya pada mau tidur." Jawab Sufi ragu.

"Di cek sek jol, Fi." (Cek dulu coba, Fi.) Perintah Slamet kepada Sufi.

Sufi turun dari ranjang, melangkah menuju pintu. Baru sedikit ia membuka pintu, ia sudah menutupnya lagi dan kembali ke ranjang.
"Wes petengan cok." (Lampunya udah mati, maksudnya itu anak-anak lain udah di kamar depan semua, jadi di ruang keluarga ga ada orang)

"Lah mau sopo si gebrak pintu?" (Terus siapa yg gebrak pintu?) Tanya gue.
"Mbuh." Jawab Sufi seadanya.

"Enek maling po?" (Ada maling kali?) Curiga Slamet.

"Mbuh, tapi lawang yo ketutup kabeh." (Gatau. Tapi pintu mah ketutup semua) Jawab si Sufi lagi.
"Dug!"

Suara benda terjatuh di atas genting membuat kita bertiga saling merapat diatas ranjang yang tidak begitu besar.

"Ada apa lagi nih" Gerutu gue dalem hati.

"Tenan ki ono maling!" (Beneran ini ada maling) Kata Sufi.
"Dudu maling iki cuk" (Bukan maling ini) Celetuk Slamet.

Gue menoleh dan melihat Slamet sedang membuka korden jendela. Tidak lebar, namun cukup untuk mengintip ke arah luar rumah.
Gue yang penarasan ikut mengintip, namun pemandangan selanjutnya membuat jantung semakin berdetak tak karuan.

Suasana di luar jelas tidak masuk akal, pohon-pohon berayun ke kanan dan ke kiri seperti sedang terjadi badai.
Sufi yang ikutan mengintip juga tidak kalah terkejutnya dengan gue. Bahkan wajahnya juga turut mengekpresikan rasa ketakutan.

"Ono opo iki sebenere?" (Ada apa ini sebenarnya) Gerutu Slamet pelan.
Entah sudah berapa lama kita terpaku dalam kondisi yang tidak diinginkan. Entah sudah berapa banyak gangguan yang terjadi.

Kita bertiga kalut dengan pikiran masing-masing, tak ada wajah semangat hidup.
Bahkan Sufi yang paling berani diantara kami tak luput dari kecemasan. Wajahnya menerawang, entah apa yang sedang dipikirkan olehnya.

"Dewek ngelakokno kesalahan ki." (Kita ngelakuin kesalahan nih) Ungkap Sufi setelah sekian lama.
"Bruk..."

"Bruk..."

Entah sudah berapa kali atap rumah ini tertimpa benda yang kita sendiripun tak tahu kebenarannya.
"Bruk.."

Pintu kamar terbuka, gue terperanjat kaget.

"Wedus!" Kaget gue.

"Sopo kui?" (Siapa itu) Teriak Sufi.

Tak ada jawaban, kami kembali terdiam.
"Hihihihi...."

Suara wanita melengking keras terdengar memenuhi telingaku. Reflek gue menutup telinga, memejamkan mata. Tangan gue bergerilya mengenggam kedua teman yang berada disebelahku.
Maksudnya menutup telinga itu berusaha gak mendengarkan ya, bukan tangan gue yang nutup ke telinga, nanti salah tanggap lagi wkwkwk.

Lanjut..
"Wahhhh!!!"

Sebuah teriakkan dari salah satu teman kita yang tidur di kamar depan membuat gue membuka mata. Ia berlari langsung menerjang ranjang dan mengusel di tengah-tengah kami.
Nafasnya memburu, wajahnya yang putih semakin kentara pucat.

"Lapo koe?" (Napa lo?) Tanya Slamet menggoyang-goyangkan bahunya.

Afi tidak menjawab, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menutup mata dengan kedua tangannya.
"Iku ono kuntilanak neng wit pinggir umah." (Itu ada kunti di pohon pinggir rumah) Ujar Afi setelah berhasil kami tenangkan.

"Loh napa gak tidur?" Tanya gue.

"Kebelet nguyuh cuk, pas metu umah malah delok kunti." (Kebelet kencing, pas keluar rumah malah liat kunti) Lanjutnya.
"Hihihihi"

Lagi-lagi tawa itu membahana, suaranya singkat, jelas dan padat namun mampu membuat bulu kuduk merinding.

"Wes telpon mas Anto wae." (Telpon mas Anto aja) Usul Slamet.

Mas Anto yang ngerawat rumah ini, btw.
"Jam piro iki cuk? Wes turu pasti." (Jam berapa ini? Udah tidur pasti) Jawab gue setelah melihat jam yang tertera pada layar telepon genggam.

"Di cubo sik." (Coba dulu)

Gue menurutinya, dan sialnya teleponnya tak diangkat.
"Buadjingan, ra diangkat ndes." (Bajingan, gak diangkat) Ucap gue setelah mencoba menelpon beberapa kali dan tak diangkat.

Sufi mengusap wajahnya, tersirat rasa ketakutan yang menjadi-jadi walau berusaha ia tutupi.
"Wes meneng wae, donga, serahno ming gusti Allah." (Udah diem, berdoa, serahin ke Allah) Bijak Sufi.

Gue menuruti sarannya, entah berapa banyak surat pendek yang gue lafalkan pada malam itu.
Gue liatin ketiga temen gue juga mengkomat-kamitkan bibir, mungkin sama kayak gue, mereka baca surat-surat pendek.

Tapi bener, setelah itu suasananya sedikit membaik, hawanya juga gak sepanas sebelumnya.
Bahkan sudah sejam berjalan, gak terjadi kejadian aneh-aneh lagi, kecuali terdenger kayak derap langkah kali dan suara berisik dari luar rumah.

Tapi setelah diintip, diluar gak ada siapa-siapa, pohonnya juga udah diem.
Sampai akhirnya waktu shubuh datang, gue dan yang lainnya beraniin keluar kamar.

Gue liat barang-barang udah berantakan, kayak karpet yang udah kelipet sembarang, pakaian dan lap lantai yang berserakan.
Pokoknya rumah udah kayak kapal pecah, entah siapa itu pelakunya. Tapi gue rasa itu ulah makhluk lain.

Gue beresin beberapa barang sebelum bangunin yang lainnya.
Setelah itu, gue dan yang lainnya pindah ke rumah Sufi buat numpang tidur, sebagian lagi balik ke rumah masing-masing.

Dan Alhamdulillahnya gue tidur pules banget sampai sore.
Malamnya gue dan Sufi ke rumah mas Anto, kita ceritain semua hal yang kita alami semalaman. Respon mas Anto cuma ketawa-tawa puas.

"Mereka mau kenalan sama kalian." Gitu katanya. Kan ngeselin ya?
Setan gak ada akhlaknya sumpah kalo bercanda, bikin orang serangan jantung. Mau kita usir, tapi duluan mereka yang nempatin tempatnya. Kan gak sopan ngusir senior ye gak?
Anehnya lagi ternyata cuma kita berempat yang digangguin, gue, Sufi, Slamet sama Afi. Sisanya gak ada yang diganggu.

Udah ga ada akhlak, milih-milih korban lagi, ngeselin emang!
Bahkan sekarang, kalo kita lagi ngumpul dan disana ada mas Anto. Terus ada yg nanya kejadian yg gue alami dulu, mas Anto cuma jawab gini, "Dulu Ilham sama temen-temennya lagi mabok, jadinya ngayal liat kunti."

Kan Anjir ya?
Gue aja gak pernah minum!

Gue tahu sih tujuan mas Anto ngomong gitu supaya orang-orang gak pada takut pas lewat atau berada di sekitar rumah itu.

Jujur aja, semenjak kejadian itu kita gak pernah nginep di rumah itu
Bahkan untuk sekedar nongkrong aja ga pernah. Tapi ya sekarang rumah itu dan kebon disebelahnya gak seseram dulu.

Kini rumah itu juga kini diisi sama orang, buat usaha juga, jadinya kesan seremnya juga lumayan hilang.
Anehnya udah 8 tahun kejadian itu, masih ada aja orang yang kadang nanya sama gue tentang kisah itu, hahaha. Bahkan gue sendiri aja udah lupa kalo mereka udah nanya hehe.
Sekian dari saya, sampai jumpa kembali di chapter 2.

Selamat berpuasa bagi teman-teman yang menjalankanya.

Wassalamualaikum.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Call Me, Nan.

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!