My Authors
Read all threads
(Based from True Urban Legend)

M O N T I A N A K
a.k.a "MatiAnak"
.
.
@bacahorror #bacahorror
@ceritaht #threadhorror
.
.
A Horror Thread
P R O L O G

Suara nyaring kentongan yang dipukul berulang-ulang berhasil memecah keheningan malam hampir di seluruh pelosok desa. Warga yang mendengar sontak terbangun, sebagian besar langsung keluar dan menghampiri sumber suara.
Sedang yang lain hanya berani mengintip dari pintu dan jendela rumah masing-masing.

Meski rasa penasaran menggelayuti, namun anak-anak dan wanita yang mengetahui kodratnya tetap berada dibalik rumah. Pasalnya, malam tak pernah ramah bagi mereka,-
kaum wanita dan anak-anak yang menghuni pulau kecil ini.

“Ada apa ini?” Tanya salah seorang warga yang menghampiri si pemukul kentongan.

“Di sana? Di …belakang kebun Pak Rahmad…” Sahutnya sedikit tergagap.

“Ada apa dibelakang kebun Pak Rahmad?”

“A..ada mayat wanita.”
“Astaghfirullahal’adziim..” Ucap warga yang mengerumuni hampir bersamaan.

“Ya sudah. Mari kita kesana.”

Sesampainya di tempat kejadian, ternyata ada beberapa warga lain yang sudah mengerumuni. Dengan mengandalkan cahaya seadanya dari obor-obor yang dibawa, mereka-
yang baru datang pun ikut mendekat. Berusaha melihat siapa sosok mayat yang tergeletak ini.

Tak lama kemudian seorang pria paruh baya yang masih mengenakan sarung datang mendekat, mencoba menembus kerumunan.
Beberapa warga yang mengetahui bergegas menyuruh yang lain untuk segera memberikan jalan.

“Astaghfirullah’adzim. Bagaimana ini bisa terjadi?” Tanya pria paruh baya yang diketahui ternyata adalah sang kepala desa.
“Kami tidak tahu Pak. Si Ongky yang menemukan saat mencari kodok di kebun katanya.”

“Iya pak. Saya juga gak tahu. Tiba-tiba saja saya kesandung mayat ini begitu saja.” Jawab Ongky, si pemuda kurus dengan ekspresi ngeri.

Pak Kades makin mendekat untuk mengamati si mayat.
“Ini.. bukannya Bu Siti? Istri dari Pak Bambang? Sudah dipanggil suaminya?”

“Su.. sudah pak. Mungkin sedang dalam perjalanan.” Sahut si pemukul kentongan.

Tak lama berselang setelah kedatangan Pak Kades, para warga dikejutkan kembali sebuah suara lain yang cukup lantang.
Suara memohon diberikan jalan untuk menembus kerumunan.

Lalu tampaklah seorang pria berusia 30 an dengan wajah kusut, memandang tak percaya akan apa yang dilihatnya. Ia melihat tubuh orang yang sangat dicintainya, tergeletak begitu saja dengan kondisi yang cukup mengenaskan.
Mata membelalak dan tubuh yang sudah berubah warna menjadi pucat. Perutnya masih membuncit, namun di selangkangan kaki menempel ceceran darah yang sudah mengering dan bercampur dengan tanah.

Bambang berteriak histeris dan langsung memeluk tubuh kaku istrinya.
Warga yang mengerumuni hanya bisa memandang iba sekaligus ngeri akan apa yang terjadi. Lalu beberapa diantaranya mulai berbisik satu sama lain.

Terdengar samar namun terus disebut berulang-ulang.

“Montianak!”

***
Hy readers!
Sebagai 'come back' setelah sempet vakum kemarin.

⏩I need min 150RT! Cuma pengen tahu seberapa appreciate thread Banana ini buat kalian.

⏩Lebih dari 150RT bakal Banana lanjutin...
Dan silahkan follow dulu biar gak ketinggalan update.

Happy SatFriday 👋
Desa itu sangat gelap, penerangan satu-satunya hanya mengandalkan minyak sentir dan lampu petromaks.

Karena di pulau Boyan saat itu masih belum mendapat aliran listrik sebagai penerangan. Hanya saja untuk lampu petromaks biasanya dipakai ketika ada suatu acara-acara penting-
seperti tasyakuran, kenduri, khitanan, atau kematian.

Dan itu yang terlihat dirumah salah satu kamituo, yang mana sedang mengadakan acara hajatan salah satu cucunya yang usai dikhitan.

Umumnya di desa ketika tetangga sedang mempunyai hajat,-
biasanya anak-anak akan berkumpul di sana. Karena kondisi desa masih terbilang sepi dan sangat gelap, maka para orang tua akan mengajak anak-anaknya pergi ke rumah yang berhajat.
Kebetulan rumah kamituo itu masih bertetangga dekat dengan rumah orang tua Hamka. Mau tak mau, Nuri jadi ikut serta membantu acara hajatan tersebut meski sudah hamil 5 bulanan.

Awalnya Hamka sedikit keberatan karena itu berarti Nuri harus keluar malam-malam.
Hamka paham betul tentang kondisi malam yang tak pernah aman bagi mereka, para wanita dan anak-anak terutama ibu hamil.

Hanya saja Nuri merasa tak enak jika tak turut serta. Karena jarak rumah yang terbilang sangat dekat, hanya berjarak beberapa langkah saja dari rumah Kamituo.
Dan lagi, Nuri kembali meyakinkan suaminya, bahwa ia tak akan pernah sendirian akan ada tetangga lain yang menjemputnya.

“Nggak usah khawatir mas. Aku bakal baik-baik saja.” Bujuk Nuri sembari membuka atasan bajunya, menunjukkan perut yang diikat sebuah tali yang ditempeli-
sebuah magnet hitam. Dimana menurut kepercayaan setempat, magnet mampu melindungi ibu hamil dari gangguan roh-roh jahat terutama montianak.

Meski sedikit ragu, akhirnya Hamka memberikan ijin pada istrinya. Tak lama kemudian, beberapa tetangga memang betul menjemput Nuri dirumah.
Salah satunya adalah Kanthi, istri dari salah satu teman mengajarnya. Usia kanthi 5 tahun lebih tua dari Nuri namun parasnya tampak begitu muda, bahkan terlihat sebaya dengan Nuri. Kanthi memiliki paras ayu nan elok.
Pantas saja, Hari terlihat begitu tergila-gila padanya, meskipun belum juga dikaruniai anak selama 4 tahun pernikahan.

Mungkin hal itu juga yang membuat Kanthi sangat menyukai anak-anak dan begitu perhatian jika ada ibu-ibu hamil.

“Aku titip Nuri ya mbak.” Pesan Hamka
Kanthi mengangguk dan tersenyum manis pada Hamka. Tepat saat mereka membalikkan badan dan mulai berjalan menjauh.

Hamka mencium aroma wangi bunga sekali lagi. Aroma bunga yang cukup menyengat itu selalu muncul ditiap kehadiran Kanthi, istri Hari.
Sebenarnya sudah sejak lama Hamka merasa ganjil dengan hal tersebut, namun ditepis jauh-jauh. Mengingat mungkin saja istri temannya itu memang suka dengan wangi-wangian bunga.

*
Beberapa kali Kanthi mengelus-elus perut Nuri yang sedikit membuncit dengan antusias.

“Kapan ya Nur aku bisa hamil kayak gini?” Keluh Kanthi
“Sabar ya mbak. Mungkin memang belum waktunya. Terus ikhtiar dan berdoa. Semoga Allah segera memberi momongan.
Siapa tahu hamilnya bisa nular.” Jawab Nuri memberi semangat.

“Iya. Aamiiin.”

Kanthi lagi-lagi menatap perut Nuri dengan sumringah dan pandangan mata yang makin melebar. Seolah-olah ia juga tak sabar menunggu kehadiran sang jabang bayi sama seperti Nuri.
Ia kembali mengusap lembut perut polos Nuri dengan telapak tangannya. Hal itu terus dilakukannya selama beberapa menit, hingga membuat Nuri makin lama makin risih.

“Uhm.. mbak. Aku pamit ke dapur sebentar ya. Haus.”
Tampak raut wajah Kanthi menunjukkan sedikit rasa ketidaksukaan.

“Iya.”

Nuri pun kembali memasang sabuk magnetnya dan berjalan ke arah dapur.
Nuri memperhatikan suasana dapur belakang rumah kamituo, hanya ada satu dua orang saja yang saling berbincang. Yang lain ntah kemana.

Mungkin saja mereka sedang berkumpul di 'Dhurung' atau membantu pelaksanaan acara di tenda hajatan.
Kemudian Nuri mengambil sebuah gelas seng bercorak belirik berwarna hijau, lalu menuangkan air dari sebuah ceret diatas meja.

Baru dua-tiga teguk, tiba-tiba saja seorang anak kecil menyenggol tubuhnya hingga membuat sebagian air tumpah ke bajunya.
Gadis kecil itu berlari melewati Nuri begitu saja dengan tawa riang. Tak memperdulikan teguran Nuri sama sekali

Iris mata Nuri membesar, manakala melihat si gadis kecil malah terus berlari keluar, melewati pintu dapur yang terbuka menuju kebun belakang.
"Nak! Jangan keluar kesana!" Teriak Nuri sama sekali.

Ia sedikit berlari menuju pintu keluar, namun kakinya tertahan. Mengingat kondisinya saat ini. Ia sedang hamil dan sekarang sudah malam.
Ia pun berbalik, mencoba memanggil dua orang yang ditemui tadi di dapur. Hanya saja orang-orang tadi sudah tidak ada, ntah pergi kemana.

Sorot matanya kembali menajam melihat luaran. Sosok gadis itu semakin menjauh dan hampir tak terlihat. Nuri benar-benar khawatir.
Ia pun mengingat tentang magnet yang menempel diperut. Sembari membaca doa-doa, Nuri nekat mengikuti gadis kecil itu.

Bagaimanapun berkeliaran di malam hari di pulau ini, benar-benar tidak pernah aman!
Bermodalkan lampu petromaks yang menempel di salah satu bilik dapur, ia pun berjalan cepat menyusul keberadaan gadis kecil itu di kebun belakang.

*
Langkah kaki Nuri tampak kesulitan melewati jalanan kebun belakang kamituo. Pandangan matanya terbatas karena gelap malam, sedang pencahayaan petromaks tak begitu banyak membantu.
Beberapa kali kakinya tersandung batu-batu yang mencuat bahkan ranting-ranting, hingga akar pepohonan. Suara binatang-binatang malam saling bersahutan tak menyurutkan tekad meski kadang ada rasa takut juga.

Nuri menatap sekeliling dengan jeli, berharap bisa segera menemukan-
keberadaan si gadis kecil.

Sayup ia kembali mendengar suara tawa anak kecil. Nuri menajamkan telinga, lalu mengikuti arah tawa itu berada.

Hingga tibalah dia disebuah lahan tanpa rimbunan pepohonan. Hanya menyisakan sebuah pohon beringin yang cukup besar.
Akhirnya Nuri berhasil menemukannya. Ia pun tersenyum lega. Gadis kecil itu tampak berlari kecil .

Namun senyum itu hanya bertahan sesaat. Mulut Nuri mengatup rapat manakala matanya menangkap sosok lain yang sedang duduk diatas sebuah batu dibawah pohon beringin.
Gadis kecil itu berlari menghampiri sosok tersebut.

Seorang wanita berambut panjang mencapai tanah dengan baju terusan berwarna putih kusam sedang duduk tertekuk. Wanita itu menyambut si gadis kecil dengan wajah pucat yang mengerikan sembari menatap Nuri tajam.
Nuri merutuki kebodohan diri berkali-kali. Bagaimana bisa ia terhipnotis dengan mudah mengikuti gadis kecil itu tanpa curiga.

'Montianak?' Batin Nuri bergetar.
Gadis kecil itu tampak memeluk sembari menyenderkan kepala diatas pangkuan si wanita berambut panjang sejenak.

Hingga akhirnya ia membalikkan badan dan menatap Nuri dengan bola mata yang sudah hilang.
Nuri tercekat hingga mundur beberapa langkah. Lalu terdengar tawa mencekam dari si wanita pucat berambut panjang.

"Hii... hi... hi... hi..."

Suara tawanya begitu melengking dengan intonasi cepat, menggema jelas ditelinga Nuri.
Nuri segera membalikkan badan dan berlari sejauh mungkin.

Bukan hal yang mudah berlari-larian di area kebun yang penuh semak dan pepohonan. Selain dari penglihatan yang terbatas karena gelap, kaki pun harus direlakan tersandung dan tersangkut beberapa kali.
Petromaks tak terlalu membantu penerangan karena warna cahaya yang temaram.
Nuri mulai kehabisan nafas karena terus berlari, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini. Sesekali ia menoleh. Sekelebat bayangan putih tampak terbang mengejar dari belakang, melewati tingginya pepohonan, sembari mengeluarkan tawa melengking yang tak kunjung berhenti.
Selanjutnya Nuri tak berani lagi menoleh. Pandangannya lurus ke depan, sebisa mungkin fokus mencari jalan pulang ke rumah kamituo.

Namun sesuatu berhasil menarik pergelangan kakinya hingga terjatuh.
Untunglah Nuri berhasil bertahan, hingga ia hanya terjerembab dengan posisi lutut yang menahan tubuh. Dan perutnya tak sampai terhempas ke tanah.

Nuri terus melafalkan doa dari mulut tanpa henti. Tangan yang mencengkeram kaki Nuri terlepas. Nuri kembali bangun dan berlari.
Tak lama kemudian, retina matanya menangkap suatu cahaya dan suara keramaian. Itu rumah kamituo!

Namun lagi-lagi sesuatu yang kuat berhasil mencengkeram kaki dan menyeret Nuri beberapa meter ke dalam kebun.
Nuri terbaring diatas tanah. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh. Nuri melihatnya!
Montianak itu berjongkok tepat diatasnya. Wajah yang begitu pucat dengan bola mata berwarna hitam pekat.
Montianak itu menyeringai dan mengeluarkan tawa mengerikan tepat di depan wajah Nuri.
Nuri yang mulai kehabisan nafas tak punya tenaga lagi untuk bergerak. Jantungnya berdegup kencang, saat melihat tangan dengan jari-jari panjang yang berkuku tajam itu-
mulai mengusap perutnya secara perlahan.

Ja.. jangan. Jangan anakku!" Rintih Nur.

"Hi ... hi ... hi..."

"Ya Allah... Ya Allah.. to.. tolooong."

"Hi... hi ...hi.."
Perlahan Nuri mulai merasakan sesuatu berusaha melesak masuk ke alat vitalnya. Lalu Nuri menjerit keras. Ia merasa kesakitan yang luar biasa.

"Nuriiiiiiii!!!"
Seseorang memanggilnya dari kejauhan. Tepat disaat ia tak merasakan kesakitan lagi. Nuri sempat mendengar sekilas, hanya saja tenaganya sudah benar-benat habis. Lalu sekelilingnya berubah menjadi gelap.

***
Malam itu Kanthi berhasil menemukan Nuri yang sudah tak sadarkan diri, tergeletak di kebun belakang tak jauh dari dapur milik Kamituo.

Saat terbangun, Nuri baru menyadari bahwa sabuk magnet yg menempel diperutnya hilang.

Mungkinkah terjatuh saat ia sedang dikejar montianak?
Sejak kejadian tersebut Hamka benar-benar protektif menjaga Nuri. Bahkan diatas jam 5 sore pun, Nuri sudah tak diperbolehkan keluar rumah.

Pasalnya Hamka tau apa yang akan terjadi. Salah satu montianak berhasil menandainya.
Montianak yang berada di pulau Boyan kala itu terkenal akan keganasannya, apalagi listrik masih belum menyentuh desa bahkan seluruh pulau sama sekali.
Hamka tampak berkeliling disekitar rumah, menanam sesuatu bahkan menancapkan beberapa pasak di beberapa penjuru rumah.

Meski rumah kala itu sudah ditanami tumbal penjaga dari dulu, namun hal itu belum membuat yakin sepenuhnya.
Tiap senjakala datang, Nuri dan hamka mulai mendengar suara tawa Montianak dari kejauhan datang. Semakin malam, semakin lantang, seolah mengelilingi rumah.

Jika hal itu terjadi, Nuri langsumg terus membaca Yaasin dan Al-Qur'an tanpa putus. Disaat yang sama, Hamka langsung-
keluar rumah sembari membari membawa obor. Mengejar si montianak hingga larut malam.
**Bapak mengalami kesulitan dalam upayanya menangkap montianak. Karena montianak itu sangat gesit dan penuh tipu daya yang menyesatkan saat bapak gw berusaha mengejarnya. Bapak gw berani amat bets 😭.
Tak jarang beberapa kali Nuri melihat sosok wanita berbaju putih, khas dengan rambut panjang gimbalnya, berdiri diluaran halaman sembari manatap tajam saat malam datang.
Kadang-kadang ia mendengar suara-suara orang yang dikenal. Ntah suara ibunya, sanak saudara, tetangga, bahkan suara teman-temannya. Memanggil-manggil Nuri untuk segera keluar rumah.

Namun Hamka sudah memperingatkan jauh-jauh hari agar mengabaikannya.
"Itu bisa saja suara montianak atau bangsa jin lain yang menyamar dek. Tetap waspada. Jangan pernah menginjakkan kaki keluar rumah saat petang datang." Peringat Hamka.

Nuri benar-benar mengindahkan peringatan sang suami, karena ia masih ingat betul kejadian mengerikan-
yang pernah menimpanya. Seusai mengajar Nuri langsung pulang ke rumah tanpa mampir kemana-mana dulu.
Kecuali jika memang ada sesuatu yang sangat mendesak, ia akan meminta orang-orang terdekat untuk menemani. Kanthi adalah salah satu orang yang dengan sukarela sering menemani Nuri.
Namun ntah kenapa, Hamka tidak terlalu menyukai keberadaan Kanthi disekitar istrinya yang sedang hamil.

Ada suatu perasaan tak nyaman tiap Hamka berpapasan dengan Kanthi.

Padahal Kanthi begitu baik.
Ntah apa itu? Mungkin saja naluri kewaspadaan Hamka yang memang berlebihan.

***
Lagi pengen sedikit songong. Minimal nambah 50 RT. Kalo rame.. Ntar malem aku lanjutin Up lagi dah.
“Thi… Ikut budhe ke rumah Bu Imah.” Pinta Budhe Hartik, kerabat Kanthi sekaligus seorang bidan senior di desa.

“Sekarang?” Tanya Kanthi.

“Iya sekarang. Bu Imah mau melahirkan soalnya.” Jawab Budhe Hartik. Tangan kanannya tampak menjinjing tas kerjanya.
“Loh? Memang mbah Sumi kemana?”

Khanti sedikit heran. Biasanya mbah Sumi lah yang biasa membantu Budhe Hartik dalam tiap persalinan. Karena dulu mbah Sumi seorang dukun bayi juga. Jadi budhe Hartik sangat terbantu dengan kemampuannya.
“Lagi sakit. Ya maklum Thi kan sudah tua.”

“Tapi, Kanthi nggak ada pengalaman bantu persalinan budhe.”

“Nggak apa-apa. Nanti budhe kasih arahan sama kamu, sekalian belajar biar tahu proses melahirkan seperti apa. Lagipula kamu kan suka anak kecil.-
Kamu juga bisa memandikan bayi kan?”

“Yaa bisa. Ta … tapi …”

“Yasudah bagus kalau begitu. Nggak ada tapi-tapian. Yuk ikut budhe sekarang.” Seloroh bidan Hartik sembari menyeret tangan Kanthi begitu saja. Khanti hanya bisa pasrah mengikuti kemauan budhenya.
Saat keluar dari kediaman Khanti, ternyata mereka sudah ditunggu sebuah pick-up berwarna hitam. Seorang pria berusia sekitar 40 tahunan tampak keluar lalu membukakan pintu untuk keduanya.

Namun tiba-tiba saja langkah Khanti terhenti karena teringat sesuatu.
“Anu.. budhe. Tapi Khanti belum pamit sama mas Hari.”

Budhe Hartik berdecak “Kamu nggak perlu khawatir. Tadi Budhe sudah menyuruh Parto untuk memberitahu Hari kalau kamu akan membantu budhe dalam persalinan Bu Imah malam ini.”
Khanti menggigit bibir, rasanya dia tidak bisa lega kalau belum mendapat ijin langsung dari suaminya.

“Kamu mikir apa lagi? Ayo cepetan masuk Thi. Keburu anak Bu Imah mbrojol. Tadi siang saja budhe cek sudah masuk pembukaan 8.”

“Ah… iya budhe.” Jawab Khanti pasrah.

*
Mobil melaju setengah kencang, melewati jalan-jalan tanah berbatu yang masih belum beraspal. Membuat pick-up yang mereka tumpangi berontak kesana-kemari. Menyebabkan Kanthi dan Budhe Hartik terbentur atap mobil untuk kesekian kali.
“Ati-ati toh Pak nyetirnya.” Peringat Budhe Hartik yang tampak sedikit pusing karena terguncang.

“Maaf Bu Hartik. Saya kepikiran istri terus, sebelum menjemput Bu Hartik, dia dari tadi sudah berteriak kesakitan.” Sahut Pak Jali yang sedang menyupir.
“Iya saya paham. Tapi keselamatan kita juga penting. Nanti bagaimana bisa menolong persalinan istrimu kalau kita ada apa-apa di jalan.”

“Iya Bu Hartik. Maafkan saya.”
Khanti menggeleng pelan melihat perseteruan kecil antara Budhe dan si supir.
Matanya kembali berpaling menembus pemadangan malam desa. Tampak sangat sepi, pintu-pintu rumah sudah tertutup, bahkan tak dijumpai lagi orang yang berlalu Lalang dijalan. Hanya menyisakan cahaya temaram dari lampu-lampu minyak yang dipasang di luaran rumah masing-masing.
Bahkan penerangan lampu-lampu itu tampak seperti deretan cahaya lilin dari kejauhan. Sisanya hanya keheningan pekat dan kabut yang menyelimuti desa.

Padahal masih diperkirakan jam 8 malam. Namun kondisi desa lebih seperti tak berpenghuni saat malam tiba.
Sayup-sayup suara lolongan anjing dan binatang malam mulai terdengar. Pickup hitam itu kini melaju pelan di jalanan sempit diantara pematang sawah desa yang luas. Tepat saat itu mata Khanti menatap awas. Ia bisa melihat sekelebatan kain-kain putih berterbangan diantara pepohonan.
Bahkan ia bisa mendengar suara tawa mereka dengan sangat jelas. Wanita-wanita berwajah seram itu menatap tajam Khanti diantaranya. Khanti terkesiap. Namun anehnya dia tidak merasa takut sama sekali.
Setengah jam kemudian sampailah mereka di sebuah rumah setengah panggung yang dikelilingi ladang di kanan kirinya. Jarak antar rumah satu dan yang lain pada saat itu memang cukup berjauhan.
Saat turun dari mobil, Khanti bisa melihat depan rumah Bu Imah sudah ada beberapa kerabatnya yang menyambut meski tidak banyak.

“Ayo Bu Hartik. Mari masuk.” Sambut seorang wanita tua, ia adalah ibu dari Bu Imah.
Mata wanita tua sedikit terkejut dengan kehadiran Khanti di sana. “Loh? Bu Sumi mana?”

“Lagi sakit biyung. Maklum sudah tua. Makanya saya ajak keponakan saya untuk membantu persalinan kali ini.” Jelas Bu Hartik.
“Oh begitu.”

Mata biyung Bu Imah sempat melirik Khanti dengan pandangan kurang mengenakkan. Khanti menjadi kikuk karenanya.

*
Terdengar suara teriakan lantang dalam kamar itu. Bu Imah berusaha sekuat tenaga mengatur napas seperti arahan Bu Hartik. Khanti beberapa kali mengusap peluh yang sudah membanjiri wajah sembari menahan tubuh Bu Imah yang setengah terduduk.
“Ayo Bu Imah. Dorong terus yaaa… dorong… ini kepala bayinya sudah muncul.”

Bu Imah mengejan sekali lagi. Jantung Khanti mulai berdegup kencang saat sudut matanya menangkap kepala bayi kecil yang muncul dengan darah yang bersimbah disekitarnya.
“Terus Bu imah. Ayooo …” Pacu Budhe Hartik.

Bayi itu sudah terlihat setengah badan. Khanti makin melongok dengan iris mata yang makin melebar. Bahkan sempat membiarkan tubuh Bu Imah menjadi setengah limbung begitu saja.
“Khanti. Fokus. Tetap tahan tubuh Bu Imah.” Tegur Budhe Hartik. Khanti yang menyadari kecerobohannya, kembali memusatkan konsentrasi menahan tubuh Bu Imah sekali lagi.

“Maafkan saya.” Jawab Khanti lirih. Ntah mengapa pikirannya menjadi kacau sekali.
Apa mungkin kegugupannya menjadi berlebihan karena membantu proses persalinan untuk yang pertama kali?

“Eeerrrrgghh…..”
Bu Imah kembali berteriak disisa tenaga yang terakhir. Lalu terdengar suara tangisan bayi yang lantang, membahana diseluruh ruangan.

Atas arahan dari Budhe Hartik, Khanti kembali merebahkan tubuh Bu Imah terbaring di Kasur lagi.
Lalu Budhe Hartik menyerahkan bayi laki-laki yang masih bersimbah darah itu ke dalam gendongan Khanti. Jantung Khanti semakin menderu kencang saat menerimanya.

“Cepat mandikan bayi ini ya Thi. Biar bisa segera di adzani. “ Perintah Bu Hartik.
“Baik budhe.” Sahut Kanthi tersenyum senang.

Khanti pun berjalan kearah kamar mandi dengan bak air hangat yang sudah disiapkan sebelumnya.

Bayi itu masih menangis namun tidak sekencang sebelumnya. Khanti menimang-nimang berusaha menenangkan agar bisa memandikan sang bayi-
dengan baik. Dan usahanya berhasil. Diletakkannya bayi bu Imah secara perlahan.

Ntah kenapa Khanti merasa sayang jika harus dimandikan sekarang. Ia tampak menyukai bayi yang masih bersimbah darah tersebut. Darah berbau anyir itu terasa begitu memikat bagi Khanti.
Bahkan ia mulai mengendusi secara perlahan, menikmati setiap jengkal bau darah yang masih menempel di tubuh bayi tersebut. Hingga akhirnya sebuah suara kembali menyadarkannya.

“Khanti… sudah selesai dimandikan?” Tanya Budhe Hartik setengah berteriak di depan pintu kamar mandi.
Khanti tersadar atas apa yang baru dilakukan. Samar ia juga mulai mendengar keriuhan orang yang mulai ramai diluar ruangan.

“ I.. iya budhe. Tunggu! Sebentar lagi selesai.” Kilah Khanti.
Khanti menghela napas penuh sesal.

‘Apa yang sudah kulakukan?’ batinnya kemudian.

***
Langit mendung, Hari menatap lurus jalanan yang ada di depannya. Tak ditemui pejalan lain yang melintas seolah tak kan ada siapapun yang melewati.

Mata Hari seolah fokus dengan jalanan yang ada di depan, namun tidak dengan pikirannya. Hari terus menghisap rokok tanpa-
mengeluarkan sepatah katapun. Hamka yang duduk di samping tak diperdulikan sama sekali, seolah memang tak pernah ada disana. Setelah pikirannya cukup lama berkelana. Hari akhirnya mulai membuka suara.

“ Ham, kau tau apa yang sedang kupikirkan?”
“ Entahlah. Aku tidak bisa membaca pikiran orang. Hanya saja aku tau kau sedang ada masalah.” Jawab Hamka kemudian.

Hari tersenyum pias sembari menghisap rokok lagi. “Khanti.”

Lalu terdengar suara gemuruh diatas langit, sebuah pertanda akan datang badai.
Hamka hanya diam, menunggu Hari melanjutkan apa yang ingin dikatakan.

“Aku ingin berbicara jujur padamu, meski aku tahu hal ini benar-benar mustahil untuk dipercaya.”

Hamka mulai menangkap firasat tak enak dari arah pembicaraan ini. “Apa maksudmu?”
“Apa menurutmu manusia bisa berubah menjadi setan?”

“Hah?”

Hari mengusap kepalanya kasar. “Ham, aku tak tahu harus membicarakan hal ini dengan siapa. Mungkin hanya kau yang bisa membantuku saat ini.”

Hamka hanya diam, ia berusaha bersikap tenang.
Memberi pertanda bahwa ia siap mendengar apapun yang akan diceritakan Hari tanpa menggurui, meski rasa penasaran yang kini ada di dalam hati.

“Khanti … “ Hari menelan salivanya susah payah.

“ …….. ”

“Khanti … dia .. dia Montianak.”
Kening Hamka berkerut seolah meminta penjelasan selanjutnya.

“A ..aku tau ini memang susah dipercaya. Tapi …”
Lagi-lagi Hari terdiam, seolah ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.

“Lanjutkan ceritamu Har. Aku ingin mendengarnya lebih rinci.”
Sebuah kepingan teka-teki yang entah bagaimana membuat Hamka begitu tertarik untuk tahu peristiwa apa yang sebenarnya terjadi. Hari kembali mengatur nafas pelan. Lalu ia menatap Hamka, memberikan gestur tanda mengangguk sebagai tanda siap untuk melanjutkan cerita.
Pandangan Hari kembali menatap kearah jalanan sepi yang ada dihadapannya. Kepingan ingatan yang saat ini masih sangat baru di dalam otaknya.

*
Langit berwarna jingga mulai menampakkan diri pertanda waktu sore telah tiba.

Seperti biasa, Hari yang telah selesai melakukan tugas mengajar sebagai guru di madrasah terihat bersemangat mengayuh sepeda onthelnya.
Tak sabar ingin menemui sang istri tercinta untuk memberikan kabar baik. Sedikit lelah karena harus mengayuh di atas tanah berbatu dengan kondisi jalanan yang berbukit-bukit, tak mengendurkan semangat sedikitpun.
Baru saja, salah seorang teman memberi kabar tentang istrinya yang berhasil hamil setelah menunggu sekian tahun, karena bantuan dari seorang dukun bayi yang juga memiliki kemampuan terapi agar cepat memiliki keturunan.

Ya, paling tidak Hari tak patah semangat dalam ikhtiarnya.
Sungguh ia tak tega melihat Khanti yang sering dirundung kesedihan saat benar-benar ingin memiliki keturunan.

Ingin sekali ia mengajak Khanti berobat ke Jawa, hanya saja tabungannya masih belum cukup. Gajinya yang hanya seorang guru madrasah terbilang kecil, tidak dibayar tunai.
Hanya dibayar dengan upah setumpuk padi yang nanti akan dijual lagi dipasar dengan harga murah. Untung saja, Hari masih memiliki pendapatan yang lain dari hasil ladang dan kebun pisang peninggalan orang tua.
Saat itu sistem barter masih berlaku sebagai alat pembayaran di pulau Boyan.

Hari menyenderkan sepeda di samping pintu rumah. Terdengar riak pintu kayu berwarna pucat itu terbuka perlahan, kepalanya melongok kedalam. Disusul dengan badannya yang mulai bergerak memasuki sebuah-
ruang tamu sederhana. Sepi. Tidak seperti biasa.

Langkah kaki Panjang itu bergerak perlahan menyisir ruang demi ruang. Hingga akhirnya Hari menemukan pintu belakang rumah yang terbuka. Yang mana pintu tersebut mengarah ke kebun pisang miliknya.
Mata coklatnya menyisir sekitar dan menangkap sosok yang sedari tadi sudah dicari-cari. Seulas senyum tersungging dibibir tipisnya.

Seorang wanita cantik dengan rambut panjang sepunggung yang sengaja digerai itu tampak berdiri membelakangi.
Wanita itu berdiri menghadap sebuah pohon pisang yang cukup besar.

Hari berjingkat pelan mendekati. Namun, ketika jarak mereka yang hanya tinggal beberapa langkah saja, Hari menemukan sebuah kejanggalan.
Langkahnya terhenti, mengamati apa yang dilakukan Khanti di sana. Wanita berkulit kuning langsat itu tampak berbicara sendiri pada sebuah pohon. Sesekali melemparkan canda dan senyuman.

Namun hal itu tak berlangsung lama. Seolah ada yang memberitahu, Khanti pun langsung menoleh
kearah Hari. Hari tampak gelagapan saat mata Khanti sejenak menatap tajam padanya, hanya sejenak, kemudian iris hitam milik Khanti berubah lagi menjadi sendu.

Menatap hari dengan senyum lembut. Sembari memperlihatkan lesung pipit di pipi kirinya.
“Suamiku sudah pulang?” Sambutnya kemudian.
Khanti tampak tenang-tenang saja, tak terlihat mimik kekhawatiran sedikitpun di wajah ayunya seolah memang tak terjadi apa-apa.

“Ah.. iya.”

“Kamu sudah makan?”Tanya Khanti sekali lagi.
Hari menggeleng kikuk. Khanti menggeleng kepalanya pelan.

“Yuk makan, sudah kusiapkan makan malam di meja dapur.”

Lalu Khanti menggandeng lengan kokoh milik suaminya sembari berjalan ke arah pintu belakang rumah.
Hari menurut saja dengan sejuta tanya di dalam pikiran.

Meski penasaran, Hari mengurungkan keinginan untuk mempertanyakan apa yang dilakukan Khanti barusan.
*
Malam itu, di sebuah kamar berpenerangan temaram, tampak Khanti menyisir pelan rambut panjang hitamnya sembari duduk di depan kaca meja rias. Sesekali Khanti bersenandung lirih di sela-sela keheningan. Wajah piasnya yang ayu tampak tenang.
Tak berselang lama Hari pun membuka suara.
“Aku punya kabar baik dik.”

“Hmm … hmm ..”

“Kau ingat teman seprofesiku yang juga mengajar di kecamatan sebelah? Yang istrinya juga tak kunjung memiliki keturunan setelah sekian tahun menikah?
Akhirnya istrinya bisa hamil karena bantuan seorang dukun bayi.” Lanjut Hari bersemangat.

“Hmm … hmmm ..” (Khanti bersenandung).

“Dik? Kau mendengarku?”

Khanti menghentikan gerakan menyisir, lalu melirik Hari sesaat. “Aku mendengarnya mas.”
“Bagaimana menurutmu?”

“Hmmm … hmm .. Sayangnya aku tidak begitu tertarik.” Ucap Khanti singkat sembari meneruskan kegiatan menyisir.

Kening Hari berkerut, lalu tubuh yang tadinya berbaring langsung berubah posisi menjadi terduduk.
Hari menatap istrinya serius dibalik bayangan kaca.
“Apa kau tidak ingin mencobanya dik. Kau tidak menyerah untuk memiliki keturunan bukan?”

“Tentu saja tidak. Hanya saja, aku masih malas.”

Hari menghela napas pelan. Ada apa dengan istrinya?
Dia sedikit bersikap aneh tidak hanya hari ini saja, namun sejak dua pekan yang lalu. Setelah membantu budhenya dalam persalinan.

‘Apa gara-gara melihat proses kesakitan orang yang melahirkan timbul rasa takut dalam dirinya?’ Tanya Hari dalam batin sendiri.
“Tenang saja mas. Aku tidak takut dengan rasa sakit orang melahirkan. Hanya saja, aku sedang malas melakukan hal-hal yang demikian.” Sahut Khanti tiba-tiba.

Hari sempat terkejut dengan pernyataan Khanti. Apa pikirannya baru saja dibaca oleh sang istri?
“Ah sudahlah mas. Jangan berpikiran macam-macam. Aku boleh minta tolong?”

“Tolong apa dik?”

“Tolong sisirkan rambut bagian belakangku. Tanganku tak sanggup menjangkaunya.”
Hari berjalan mendekat, menuruti permintaan sang istri. Meski sedikit kesal, ia masih mencoba bersabar. Sungguh Hari tak ingin memancing pertengkaran sedikitpun dengan Khanti malam ini. Mungkin saja istrinya sedang mendekati masa datang bulan hingga bersikap demikian.
Tangan Hari mulai bergerak lembut dari atas ke bawah mengikuti lajur garis rambut Khanti yang tegas. Rambut hitam itu begitu lebat dan indah. Ada kebanggaan tersendiri bagi Hari saat melihatnya. Ya, wanita cantik berambut indah ini adalah istrinya.
Tak berselang lama, tiba-tiba jeruji sisir kayu itu tampak terganjal sesuatu. Kening Hari kembali berkerut, ia coba mengulang gerakan menyisir sekali lagi. Tetap sama. Ujung jeruji itu tampak menyendat sesuatu tepat di ubun-ubun kepala Khanti.
“Ada apa mas?” Tanya Khanti dengan tatapan lurus ke arah Hari melalui kaca.

“Ah, ini. Sepertinya dari tadi sisir ini mengganjal sesuatu. Aku lihat dulu ya.”

Khanti hanya terdiam.

Lalu Hari menyibak beberapa helai rambut. Meski dalam pencahayaan remang, iris coklat Hari-
menatap sesuatu yang ganjil tertatanam diubun-ubun istrinya.

“Ini apa ya dik?”

“…………..”

Hari meraba-raba benda asing itu. Seperti sebuah besi yang keras menempel disana.
“Aku coba ambil ya. Apa ini sejenis kayu kering yang menempel?” Ucap Hari seolah bertanya pada dirinya sendiri.

“Ah.. itu…”

Belum sempat Khanti meneruskan kata-kata, jari-jemari Hari ternyata sudah mencabut benda asing tersebut lebih cepat.
Tak lama kemudian terdengar suara langit bergemuruh dan rintik hujan mulai meramaikan keheningan luar malam.

“Ah hujan.”

Hari kembali menatap benda asing diantara kedua jari telunjuk dan jempol. Sebuah besi hitam berulir aneh sepanjang 7cm terpampang dihadapannya.
Tunggu, bagaimana bisa benda sebesar ini menancap dikepala istrinya. Ditengoknya ubun-ubun kepala Khanti yang bolong namun tak mengeluarkan darah sedikitpun.

“Dik? Ini apa?” Tanya Hari tercengang. Otaknya tak mampu mencerna apa yang baru saja terjadi.
Wajah ayu Khanti yang tadinya tenang tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi. Pupil hitam itu memandang tajam kearahnya. Hari menghadapkan wajah khanti sembari memegang kedua lengannya rapat.

“Apa? Apa ada yang sakit?” Tanya Hari khawatir..
Takut-takut apa yang sudah dilakukannya menyakiti Khanti. Khanti masih terdiam namun wajahnya makin berubah warna menjadi pucat.

“Tunggu sebentar. Aku akan mengambilkan air hangat dan obat.

Lalu Hari pergi meninggalkan Khanti begitu saja di dalam kamar
Hari tergopoh-gopoh menjinjing tas kotak P3K kecil digenggaman, tangannya mendorong engsel pintu hingga berderik.

Namun sesampainya di kamar ia tak menemukan keberadaan Khanti selain dari pada pintu jendela yang sudah terbuka di satu sisi.
Membuat semilir angin malam yang dingin memenuhi penjuru ruangan. Hari melongok ke sisi jendela yang terbuka, gelap. Tak terlihat apapun kecuali pekat malam dan rintik hujan yang membasahi tanah.
.
“Kanthiiiiiii…” Panggilnya diluaran jendela.
Tetap tak ada sahutan.
“Khantiii...”

Kini raut wajah tampan Hari berubah pias. Kemanakah istrinya hilang? Hari kembali menilik ruangan kamar. Langkahnya kembali beranjak, berjalan dengan cepat menyisir sudut-sudut bagian rumah.
Sembari mulutnya yang tak pernah berhenti menyerukan nama Khanti. Namun hasilnya Nihil.

Hari terduduk disebuah amben kayu depan rumah, mengumpulkan sisa-sisa tenaga, sembari menyeka peluh yang menempel di sela-sela dahi meski cuaca dingin.
Mata coklat itu kini fokus memandang gelap malam di hadapannya.

‘Mungkinkah Khanti nekat pergi meninggalkan rumah? Tapi kenapa?’ Batinnya kemudian.

Hari kembali bangkit dari posisi, ia pun memutuskan untuk mencoba mencari Khanti lagi.
Kali ini Hari menguatkan tekad memaksakan langkah kaki menembus sekitaran ladang dan kebun pisang miliknya. Bermodalkan dengan pencahayaan minim lampu sentir yang tergenggam di tangan kanan, Hari kembali menyerukan nama sang istri dengan lantang menembus pekat malam.
Bukan hal yang mudah mencari seseorang di rimbunan perkebunan apalagi saat malam. Beberapa kali Hari harus merelakan kakinya tersandung batu atau tergores semak belukar yang menjulur di atas tanah.

Belum lagi ia harus tetap waspada akan hadirnya binatang-binatang malam-
yang berbahaya, seperti ular atau hewan berbisa lain. Hal itu tentu membuatnya harus lebih berhati-hati dalam setiap langkah. Untunglah hujan sudah berhenti saat itu.

“Khantiiiii…………”

Hari terus memanggil sang istri hingga suaranya berubah menjadi serak.
Tanpa sadar langkah kakinya sudah sampai di ujung kebun, yang mana ada sebuah hilir sungai kecil di bawahnya. Hari kembali mengarahkan pandangan mata ke depan, hanya ada rimbunan hutan bambu di seberang sungai.
Semilir angin yang datang mampu membuat batang-batang bambu itu bergerak, menciptakan derik-derik suara gesekan yang cukup mengerikan digendang telinga.

Tak mungkin lagi Hari menerobos, mengingat sudah pasti banyak ular disana. Namun bukan itu saja, meski dalam keterbatasan-
penglihatan karena pencahayaan temaram, iris mata Hari dikejutkan oleh hal lain. Yang mana itu membuatnya mengucek kelopak mata dengan punggung tangan berkali-kali.

Di antara rimbunan batang bambu yang rimbun, Hari menatap sesosok bayangan putih dengan rambut panjang hitam-
mencapai tanah. Seorang wanita bermuka putih pucat mengerikan dengan sepasang bola mata hitam pekat, mendelik ke arahnya. Tentu saja sosok tersebut membuat Hari terlonjak hingga terduduk di atas tanah.

“Mon… montianak?” Gumamnya dengan bibir bergetar.
“Mas?” Tiba-tiba ia mendengar suara Khanti dengan nada bergema.

Hari menoleh ke sekitar namun tak mendapati siapapun.
“Mas Hari…” Suara lembut itu terdengar lagi namun kali ini disertai dengan isak tangis yang memilukan.
Hari benar-benar bingung sekaligus takut di saat bersamaan. Matanya kembali mencari sosok arah suara itu.

“Mas … tolong .. hikk..”
Hari mencoba membuang kecurigaannya. ‘Masa sih?’
Pelan namun pasti kepalanya kembali memutar ke arah sosok di seberang sungai.
Wanita berwajah mengerikan itu masih berdiri di sana hanya saja kali ini ada sosok lain tepat di sampingnya. Seorang nenek bersanggul dengan tubuh membungkuk memandang Hari tajam.
Wajah nenek itu tak kalah menyeramkan, mata yang hilang satu dengan mulut robek disisi kiri hingga telinga. Lalu datang sekelebat bayangan putih terlihat mondar-mandir dibelakang mereka dengan suara khas tawa yang mengerikan.
Pending bentar.. mau tarawih dulu 🥴.
Hari terkesiap, tubuhnya kaku dalam sepersekian detik. Meski dalam penglihatan minim untuk ukuran mata normal manusia, anehnya ia bisa melihat jelas sosok apa yang ada di depan.

Seperti sebuah penglihatan mata batin atau memang mereka benar-benar ingin menunjukkan wujud yang-
nyata kepada dirinya. Ntahlah, yang jelas Hari benar-benar ketakutan. Tapi disisi lain ia mulai menyadari sesuatu, sosok montianak itu sedikit mirip dengan Khanti.

Pikiran yang kacau langsung memerintahkan otak untuk segera menggerakkan syaraf-syaraf tubuh,-
ia memilih berlari meninggalkan tempat itu. Tak dipedulikan lagi lampu sentir yang jatuh ntah kemana. Hari berlari sekuat tenaga menembus belukar dan pepohonan yang dilewati, meski tak jarang kaki-kakinya menabrak hingga terperosok lubang-lubang kecil di tanah.
Bahkan matanya mulai bisa beradaptasi dengan malam meski hanya mengandalkan sinar redup dari cahaya rembulan.

Hari terus berlari hingga akhirnya berhasil kembali di depan rumah.
Tanpa pikir panjang, laki-laki bertubuh jangkung itu langsung menyabet sepeda yang terparkir di dinding depan dan mengayuh pedal sekencang-kencangnya melewati jalan setapak munuju pemukiman warga.

*
“Bapakkkkk… pak!!!”

Hari mengetuk pintu kayu berwarna hijau dengan cukup keras di sebuah rumah bergaya setengah panggung.

“Pakkkk… bapak!!”

Panggil Hari dengan napas terengah. Ia tak lagi peduli jika tetangga sekitar akan terganggu karena ulahnya.
Tak lama kemudian terdengar suara engsel pengunci pintu berderak dari dalam, lalu terbuka. Tampaklah seorang pria paruh baya dengan kumis tipis, mengernyit memandang raut wajah Hari yang tampak kacau balau.

“Loh? Har? Ada apa kamu malam-malam begini?”
Belum sempat pria tua itu menyelesaikan perkataan, Hari langsung melesat masuk ke dalam rumah begitu saja.

“Kamu sendirian? Mana Khanti?”

Hari masih terdiam dengan tubuh bergetar. Lalu muncul seorang wanita paruh baya menghampiri keduanya.
“Ada apa pak? Siapa yang bertamu malam-malam?”

“Ini … Hari buk.”

Tiba-tiba saja tubuh Hari jatuh dengan posisi duduk bersimpuh, seolah tulang-tulangnya tak mampu menahan beban tubuh lagi. Pak Ridwan dan Bu Saeroh tampak terkejut dan langsung memapah Hari menuju kursi.
Setelah itu cepat-cepat Bu saeroh menuju dapur, sesegera mungkin mengambil minuman untuk menenangkan menantunya tersebut.

Pak Ridwan dan Bu Saeroh masih membiarkan Hari beberapa saat hingga menjadi tenang.
“Pak… Gimana ini pak?” Ucap Hari kemudian. Ia memang mulai terlihat sedikit tenang namun kegelisahan masih tampak jelas menggelayuti raut wajah.

“Gimana apanya?”

“Apa saya sudah tidak waras?” Tanya Hari ntah pada dirinya sendiri atau kepada kedua-
paruh baya di hadapannya. Pak Ridwan dan Bu Saeroh saling berpandangan sejenak.

“Saya.. saya melihat Khanti dalam wujud montianak.” Jawab Hari dengan susah payah.

Brakk!

Kini Hari yang dikejutkan dengan sikap Pak Ridwan yang tiba-tiba menggebrak meja di depannya.
Muka raut wajah Pak Ridwan spontan menjadi sangat serius seraya menghampiri Hari lebih dekat.

“Jelaskan lebih rinci semuanya pada bapak!”

Meski Hari sedikit bingung dngan sikap mertuanya yang tiba-tiba itu, ia berusaha sebaik mungkin menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka.
Tak butuh waktu lama, setelah Hari menjelaskan semua pada Pak Ridwan pria paruh baya langsung berdiri menatap Hari datar.

“Jadi, kamu sudah tau semua Hari. Bapak tak akan menutup-nutupi siapa Khanti.”

Wajah Hari terlihat makin bingung. “Maksud bapak, Montianak itu-
benar-benar Khanti?”

“Iya.”

“Tapi bagaimana bisa? Saya bisa menyentuh dan merasakan dia layaknya manusia. Bagaimana bisa dia montianak? Saya benar-benar tak mengerti.”
Pak Ridwan menghela napas kasar. “Kamu ikut saya. Maka kamu akan benar-benar tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Nanti bapak akan menjelaskan semua. Yang penting kita harus mendapatkan Khanti terlebih dahulu”

Kini Hari mengalihkan pandangan kepada Bu Saeroh, namun lagi-lagi-
ia hanya menjumpai senyum datar saja yang terpampang di sana.

Pak Ridwan berjalan tergesa-gesa menuju kamar, lalu kembali keluar menemui Hari sembari menenteng sebuah tas kain bermotif batik. Hari menerka penuh rasa penasaran apa yang ada didalamnya.
“Hari, apa masih ingat paku yang kamu ambil dari kepala Khanti diletakkan dimana?”

Hari terdiam sejenak “Masih pak. Tadi saya letakkan di atas meja rias di dalam kamar.”

“Pertama-tama kita ambil dulu paku tersebut. Ayo ikut saya!” Perintah Pak Ridwan tegas.
Meski ragu, Hari tetap mengikuti langkah sang mertua dari belakang punggung kokohnya. Lalu Bu Saeroh kembali menutup pelan pintu rumah secara perlahan saat kedua pria itu menghilang dibalik kegelapan.

*
Lanjut kuy....

Langkah Pak Ridwan berjalan cepat melewati belukar-belukar yang tadinya susah payah Hari lewati. Pandangan matanya lurus ke depan seolah bisa melihat jelas menembus gelap malam. Meski penerangan yang ia bawa hanya sebatas obor yang tergenggam ditangan kanan.
Sedang Hari berjalan sedikit terseok-seok, berusaha mengikuti langkah mertuanya yang ternyata masih memiliki stamina luar biasa diusia yang lumayan sepuh.

“Dimana?” Tanya Pak Ridwan.
Hari mengernyit berusaha mencerna pertanyaan Pak Ridwan ditengah pikirannya yang kalut.
“Ya pak?”
“Dimana kau melihat sosok Kanthi?”
“Oh.. anu.. di hutan bambu.. se-seberang hilir sungai pak.”

Lalu lelaki paruh baya itu tak menjawab apapun. Membiarkan keheningan kembali menguasai mereka. Hingga akhirnya keduanya sampai di ujung kebun tepat di depan hilir sungai.
Awalnya Hari menunduk tak berani menatap seberang sungai, namun …

“Dimana?” Tanya pria tua di depannya sekali lagi.

“Di .. di sana pak.” Tunjuk Hari dengan telunjuknya sambil setengah menunduk.

“Tidak ada.” Jawabnya tegas.
Hari memberanikan diri mengangkat kepala, dan benar.. tidak ada penampakan apapun di depan sana. Hanya gelap dan suara jangkrik yang kembali bersahutan.

“Tadi saya benar-benar melihat sosok Khanti di sana pak dengan seorang nenek bungkuk berwajah menyeramkan.”
Kali ini Pak Ridwan langsung menoleh dan menatap Hari dengan sudut mata tajam.

Tak lama kemudian terdengar suara tawa wanita melengking meski samar. Pak Ridwan berbalik memandang seberang hilir sungai, lalu memejamkan kedua mata.
Hari yang saat itu tak bisa berbuat apapun hanya bisa menggumamkan bait-bait doa dibalik bibirnya yang gemetaran karena kedinginan.

Suasana yang sudah dingin menjadi semakin dingin, padahal tak ada angin yang berhembus. Sedang suara jangkrik yang tadinya memekakkan telinga-
tiba-tiba saja menghilang. Kali ini hanya gemericik air sungai mengalir melewati bebatuan yang terdengar. Suasana yang sama persis seperti tadi, saat Hari mendapati Khanti dalam wujud montianaknya.
Lalu Pak Ridwan duduk bersila dan mengeluarkan sebuah mangkuk berisi bebungaan dengan bau minyak cendana yang menyengat.

“Selama bapak bersila di sini, jangan meninggalkan tempat ini. Jangan hiraukan gangguan apapun. Tunggulah aba-aba bapak.”
“Ta.. tapi apa yang akan bapak lakukan?” Tanya Hari yang tak mampu menyembunyikan rasa penasaran.

“Patuhi perintahku dan jangan membantah.”
Meski ragu, Hari hanya bisa mengangguk dengan apa yang dikatakan sang mertua. Sejenak Pak Ridwan tampak menghirup napas dalam-dalam lalu mulai memejamkan mata.

*
Sejenak setelah membuka mata, Pak Ridwan sudah berada di alam yang berbeda. Ia melihat sekitar dengan kondisi sama, hanya saja keberadaan Hari sudah tak lagi dijumpai. Pak Ridwan mulai mengambil langkah, berjalan tenang menyeberangi hilir sungai memasuki hutan bambu-
di seberang sana. Pak Ridwan masih bisa melihat bayangan pepohonan yang menerobos masuk melewati celahnya-celahnya. Saat telapak kaki beralaskan sandal jepit itu menapaki tanah hutan bambu pertama kali, kabut tiba-tiba saja menyelimuti. Semakin masuk ke dalam hutan,-
semakin tebal kabutnya. Ia melihat para montianak melayang, berseliweran dengan cepat. Namun hal itu tak menyurutkan keberanian.

Hingga ia melihat sebuah sabana terbuka yang diapit oleh lebatnya vegetasi lingungan sekitar.
Tak lama jauh berjalan, langkah tua itu tiba disebuah tanah kosong yang lapang. Ada sebuah batu hitam besar ditengah-tengahnya dan sosok lain. Sosok itu berwujud seorang nenek berwajah menyeramkan, mulut robek menganga dengan rentang garis hingga kuping kirinya.
“Nyi Damini …” Gumam Pak Ridwan lirih

Nenek itu menyeringai semakin lebar.

“Aku mau mengambil Khanti.”

Nyi Damini terkekeh. Menampakkan gigi-gigi yang bertaring tajam. “Aku mau pertukaran.”

“Aku tidak akan bernegosiasi dengan bangsa jin.” Jawab Pak Ridwan.
Nyi Damini kembali tertawa dengan suara nyaring yang memekakkan telinga. Pak Ridwan tahu, melawan salah satu penguasa hutan bambu bukanlah perkara mudah.

Apalagi montianak berwujud Khanti adalah salah satu anak buah Nyi Damini yang mendiami wilayah hutan bambu kekuasaannya.
Namun Pak Ridwan harus siap menghadapi segala resiko. Mengingat keputusan nekatnya saat memaku kepala montianak itu, yang mana udah membunuh putrinya hingga tewas.

“Bukankah ia dulu membunuh anakmu?”

Pak Ridwan menghembuskan napas keras.
Beberapa bisikan mencoba merasuk mempengaruhi pikiran, membuat emosi naik membuncah. Namun lelaki tua itu berhasil meredamnya.

“Nyi… jika kau tak menyerahkan Khanti kembali. Aku akan memporak-porandakan tempat tinggalmu.”
Nenek tua menatap tajam arah Pak Ridwan. Lalu angin bertiup kencang, menghempaskan daun demi daun hingga berjatuhan.

Nyi Damini mengeluarkan kekuatan, meniupkan sesuatu melewati bibir hitamnya. Angin berhembus lebih kencang.
Tak lagi terlihat purnama dilangit pekat sana, hanya sekumpulan awan hitam yang berhasil menghadang cahaya sang lentera. Membiarkan gulita menyergap bumi.

Lalu terdengar suara derik batang bambu semakin keras bergesekan. Menciptakan alunan nada halus namun tajam mengerikan,-
beriringan dengan gemuruh yang seakan menggetarkan tanah.

Lelaki tua itu seolah tahu apa yang akan dihadapi, ia pun memasang kuda-kuda. Bersiap menghadapi apapun yang menyerang.

**
Pak Ridwan yang bersila berlengak-lengok kepalanya, kiri-kanan. Hari tahu ada keganjilan yang tak terlihat, serupa dengan kegelisahan yang ia alami. Diamnya tak lagi terjaga, satu dua kali Pak Ridwan bergerak spontan seperti menghindari sesuatu yang entah itu apa.
Dan untuk yang kali ketiga badannya terlonjak.

Sayup-sayup, Hari mendengar kidung yang mulai dikumandangkan. Gendhing jawa yang terlampau tua yang Hari sendiripun tak mampu mengenali bahasanya, meski ia pernah tinggal di Solo beberapa tahun bersama neneknya.
Kidung teralun lirih namun begitu menusuk telinga.
Diantara pohon bambu diseberangnya, ada aura dingin yang semakin menjadi.

Kabut tipis yang menyelimuti sela-sela bambu mengembang semakin pekat. Aura ngeri semakin terasa, pepohonan itu seolah menyembunyikan sesuatu.
Sesuatu yang dengan sekejap merangsang bulu roma makin tegak bersiaga. Matanya mengedar kesekitar hingga terhentilah pada satu titik yang berhasil menyandera pandangan kesana.

Ada sesuatu yang mulai terlihat.

Jantung Hari makin berpacu… begitu cepat. Sangat cepat.
Tampak sepasang netra membulat besar nan menyala… menjorok jauh… di dalam kegelapan. Disusul dengan sosok-sosok lain mulai menampaki diri dibelakang.

Angin besar kembali menggoyangkan batang-batang bambu, satu dua kali batang-batang itu membuka, seakan memberi kesempatan-
makhluk-makhluk yang bersembunyi didalam sana menampakkan seringainya. Dedaunan serta hamparan tanah mulai basah ternoda butiran-butiran embun yang dibasuh udara.

Disatu sisi Hari makin mendengar kidung tua itu makin keras. Hari melirik kearah sang mertua yang masih bersila.
Sosok itu masih terdiam, hanya saja bulir-bulir keringat sudah membasahi seluruh wajah. Darah segar mengalir perlahan dari lubang hidung lelaki tua itu. Hari masih bisa melihatnya, meski dengan penerangan minim dari obor yang digenggam.

“Ba.. pak. Pak.. bapak?” Panggil Hari-
susah payah dengan lidah yang hampir kelu.

Lalu terdengar gemuruh, raungan yang membahana seakan tak terima. Anyir darah tercium begitu menyengat yang entah datang dari mana. Hingga sebuah dentuman dahsyat berhasil membuatnya jatuh bersimpuh, membuyarkan seluruh penglihatan.

**
Hari membuka mata. Dilihatnya purnama membulat menampakkan diri tepat diatas kepala. Pandangannya kembali mengedar, ada sesuatu yang ganjil.

Ia tak lagi berada disekitar rimbuhan pohon bambu. Namun seperti berada disebuah sabana yang luas nan lapang.
Pertanyaan dalam kepala masih mengambang sembari dengan mata menelisik ke sekitar. Sepi, sunyi, tak ada siapapun. Bahkan sosok mertuanya tak Nampak lagi. Dan juga Hari masih mengingat sosok-sosok dengan mata merah menyalang dihadapannya tadi.
Hingga mata pemuda itu membulat melebar ketika fokusnya jatuh kearah seorang wanita, Khanti melayang dengan kedua tangan memegang leher. Mencengkeram erat lehernya.

Bukan, seperti dicengkram oleh sesuatu.
Dicekik oleh iblis berwujud nenek tua yang mengerikan.
Khanti menoleh, menatap Hari dengan pandangan sayu. Bulir-bulir air mata berwarna merah menetes diantara pipi. Lalu ia melihat bibir tipis itu bergerak, terbata-bata mengucap sesuatu.

‘Pergi’ dan ‘Maaf’.

‘Tidak!’ begitulah hari berteriak dalam hati.
‘Khanti butuh bantuan, aku harus menyelamatkannya’.

Sekuat tenaga Hari mencoba bangkit, namun tubuhnya hanya bisa diam dan kaku. Seolah ada yang mengikat kuat.
Pandangan Hari kembali pada kedua sosok itu. Dilihatnya nenek tua yang masih mencekik Khanti,-
menyeringai sembari menatap Hari senang. Lalu terdengar suara gemeletak tulang yang patah. Kepala Khanti jatuh lunglai tak mampu lagi menyangga.

Hari kembali berteriak dalam hati. Sungguh, ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.
Setelah itu Hari tersentak, seolah ada yang menghujam jantungnya dengan benda tajam. Nyeri dan sakit yang tiada tara dirasakan.

Samar-samar bayangan Khanti kembali terlintas dikepala, ketika Khanti menyungging senyum hangat padanya.
Dan otak pemuda itu sejenak berjeda, ingatan perlahan kehilangan kesadaran, hingga raga itu kembali jatuh di atas tanah.

*
“Hari… Hari.. Bangun!”

Samar gendang telinga Hari mendengar suara berat seseorang memanggilnya. Ia pun membuka mata perlahan.

‘Apa aku baru saja pingsan?’ Tanya Hari dalam hati.

Pandangan matanya kembali mengedar, ia melihat bayangan seorang lelaki sedang menepuk pelan-
kedua pipinya. Susah payah Hari memaksa tubuhnya bangun.

Beribu pertanyaan mengambang ditengah-tengah kesadaran yang masih terbatas.
“Ba.. pak?”

Pak Ridwan membantu membangunkan tubuh kokoh Hari.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”
Pak Ridwan menghela nafas pelan lalu menggelengkan kepala.

“Bapak sudah berusaha menyelamatkan Khanti.. namun…”

“Namun apa pak?”

“Akan bapak tunjukkan…”

Lalu Pak Ridwan berjalan menunjukkan sesuatu pada Hari..
‘Tesss’

Sebutir air menetes pada tanah. Air mata yang perlahan terbuka atas raga yang terlentang pada permukaan. Hari berkedip-kedip tak menentu, seperti kebingungan yang menyergap.

Hening.
Ia menatap sesosok tubuh kurus mengambang diatas bebatuan pinggir sungai. Lalu samar-samar sosok itu berubah menjadi tulang belulang yang berserakan.
Pak Ridwan tampak mengeluarkan sebuah kain dari tasnya.

“Ayo bantu bapak mengambil tulang-tulangnya.”
Tangan Hari mencekal sebelah pergelangan tangan Pak Ridwan secara tiba-tiba “Tunggu. Apa maksud bapak? Hari benar-benar tak mengerti?”

“Kita ambil tulang belulang Khanti terlebih dahulu.”

“Tidak sebelum bapak menjelaskan semua.” Tegas Hari dengan mata berkaca-kaca.
Pak Ridwan mengusap rambut kasar “Akan bapak ceritakan semua setelah kita mengambil tulang-tulang itu. Kita tidak aman jika terus berlama-lama disini.”

“Tapi…”

“Kau ingin tahu cerita sebenarnya bukan? Maka jangan buang-buang waktu lagi.” Ucap Pak Ridwan tak kalah tegas.

***
Bu Saeroh membekap mulut dengan kedua telapak tangannya saat melihat bungkusan putih yang dipegang oleh Pak Ridwan.

“Maaf buk, aku tak bisa menyelamatkan anak kita … lagi.”

Lalu beberapa bulir air mata tampak menetes pelan melewati wajah ayu yang sudah menua itu.
“Ya.. pak. Bagaimana pun ini memang .. sudah takdirnya sejak awal.” Ucap Bu Saeroh yang terlihat sekuat tenaga menahan isak tangis.

Hari makin tak mengerti, namun ia tetap mengikuti keduanya memasuki rumah.
Kepulan asap putih tampak melayang-layang diatas sebuah cangkir teh panas. Yang tentu saja menggoda siapapun untuk meminumnya diudara yang sedingin ini.

Namun itu tak berlaku bagi Hari. Rasa kehilangan dan keingintahuan akan kebenaran lebih membuncah dari apapun.
Pak Ridwan tampak menghisap kuat-kuat lintingan rokok yang tinggal setengah dengan mata menerawang jauh. Hingga akhirnya bibir itu mulai bergerak menceritakan kisahnya.

“Saya tahu kamu sulit menerima sesuatu diluar nalar. Meski rumit bapak akan menceritakan semuanya."
“Saya siap mendengarnya.” Jawab Hari dengan tenggorokan yang sedikit tercekat.

“Sebelumnya bapak minta maaf padamu. Maaf bapak sudah membiarkanmu menikah dengan raga yang sebetulnya sudah tak bernyawa."
Hari mengernyit, namun ia tak memotong sedikitpun kata yang keluar dari bibir pria tua itu.

“Kau tahu bukan? beberapa tahun yang lalu sebelum bertemu denganmu Khanti pernah menikah. Lalu hamil, hanya saja suaminya meninggalkannya begitu saja. Saat usia kandungannya memasuki-
usia bulan ke-8, musibah itu datang. Khanti ceroboh dan bapak lengah menjaganya. Ia diserang montianak hingga merenggut nyawanya sendiri beserta bayi yang dikandung. Tentu saja bapak tak terima, bagaimanapun Khanti adalah putri semata wayang kami.-
Dengan berbekal ilmu yang pernah bapak dapatkan, bapak mengejar montianak yang sudah membunuh Khanti.

Mata Hari menyudut, semua pertanyaan itu sedikit demi sedikit mulai terjawab. Pak Ridwan yang sempat berjeda mulai melanjutkan ceritanya.
“Lalu bapak berhasil menangkapnya. Bapak teringat dengan salah satu benda ghaib yang dulu pernah diberikan guru bapak.” Ucap Pak Ridwan sembari memainkan paku berukir aneh dihadapannya.

Ya, paku itu yang pernah menancap diatas kepala Khanti.
“Bapak tak mampu berpikir Panjang. Lalu melakukan ritual terlarang, yang mana menancapkan paku itu diatas kepala montianak lalu memasukkan ke jasad Khanti. Sungguh bapak tak menyangka hal itu membuat putri kami bisa hidup kembali.” Pak Ridwan tersenyum getir.
“Saat Khanti bangkit, ia hanya menjadi raga hidup dengan jiwa yang kosong. Tak ada ingatan apapun sebelumnya. Baik dari ingatan Khanti sendiri maupun montianak itu. Penduduk desa tak ada yang mengetahui kebenaran itu.-
Kami berhasil menutupinya saat Khanti meninggal karena serangan montianak. Dengan menjelaskan kondisinya yang demikian karena keguguran. Hingga dua tahun kemudian, Khanti bertemu denganmu nak.”

Hari tercekat. Tak mampu mengucap sepatah katapun. Tubuhnya lemas, seolah tulang-
belulangnya telah lolos seluruhnya. Antara logika dan kenyataan yang baru saja dilihatnya saling bertempur. Menyisakan lubang-lubang kosong yang lain. Berharap ia segera terbangun dari mimpi buruk ini.
Namun kenyataannya ini bukan mimpi. Karena indera perasanya masih bisa merasakan rasa lelah dan sakit diseluruh tubuh akibat peristiwa yang baru saja dialami.

***
Probabilitas adalah suatu kemungkinan yang menyimpan rahasia. Manusia takkan pernah bisa menebak karena segala peristiwa yang ada bisa saja terjadi di alam semesta. Kita takkan pernah tau, kenyataan seperti apa yang akan menyambut dalam kepingan teka-teki di tengah permainannya.
Satu frame utuh dengan gambar sempurna. Yang tentu saja Hari sudah membayangkan kisah perjalanan hidupnya akan berakhir bahagia dengan Khanti?

Ternyata semesta masih belum berpihak akan keberuntungan kisah cintanya.
Sebagaimana manusia biasa, Hari tentu tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Bukan tidak mungkin Hamka berpikir, bahwa kejadian ini bisa saja menimpanya. Tak akan pernah kau bayangkan bukan, ketika orang terdekatmu ternyata bukan manusia.
Nyatanya hanya sosok raga mati yang terisi jiwa dari yang bukan jiwanya sendiri.

Jika dipikir dengan nalar biasa, hal ini tentu saja sangat mustahil. Namun sekali lagi kita tak pernah akan cara kerja semesta yang penuh misteri. Hanya Tuhan saja yang tahu.
“Jadi, Khanti sebenarnya sudah mati. Bukan pergi ke Jawa?” Tanya Hanya memastikan sekali lagi.

Dia memang sudah terbiasa dengan peristiwa-peristiwa ganjil semacam ini. Namun kisah Hari terlalu rumit untuk ditelaah otaknya.
“Khanti adalah montianak. Itu saja yang ingin kusampaikan. Meski hal ini sangat sulit diterima nalar.” Ucap Hari dengan suara getir.

Dia tersenyum sinis menertawakan diri sendiri. Hamka menepuk pundah Hari menenangkan.
“Bisa kau rahasiakan cerita ini? Jangan sampai ada seorang pun yang tahu. Aku hanya ingin Khanti tetap dikenang sebagai manusia biasa.”

“Tentu saja.” Jawab Hamka kemudian.
“Ham. Mungkin aku akan kembali ke Solo. Aku sudah tak sanggup berada di boyan lagi. Terlalu menyakitkan jika terus berada disini.”

“Lalu kebun dan sawah peninggalan orang tuamu?”

“Yah, akan kutitipkan pada sanak saudara saja.-
Mungkin akan kutengok sesekali. Lagipula aku akan melanjutkan sekolah penyetaraan guru, agar bisa diangkat menjadi pegawai negeri di sana.”

Hamka mengangguk pelan. Kini terjawab sudah segala pertanyaan, mengapa ia tak pernah tenang meninggalkan Nuri Bersama Khanti.

***
Nuri menimang-nimang bayi perempuan yang sedang tidur terlelap dipelukan. Ia pun berjalan mendekati jendela mengintip luaran rumah.

Senjakala sudah tiba, menampakkan langit dengan rona-rona kemerahan sebagai warnanya. Ditunggulah sang suami tercinta yang belum juga pulang.
Suasana diluar pelataran tampak sepi, hanya terdengar seruan kentongan di langgar terdekat. Menandakan waktu maghrib hampir tiba.

Namun tak lama, netranya fokus atas sesuatu. Seperti seseorang yang ia kenal, berdiri didekat dhurung depan rumah.
“Loh kayak mbak Khanti?!” Gumam Nuri lirih.

Karena penasaran, Nuri pun bergerak dari tempatnya dan membuka pintu depan utama. Hanya saja sosok itu menghilang begitu Nuri sudah berdiri di depan teras. Lalu bayi perempuannya tiba-tiba menangis, mengagetkan Nuri.
Ah benar juga, dia hampir lupa tentang larangan keluar rumah saat senja tlah tiba. Setelah itu ia bergegas kembali ke dalam. Namun langkahnya kembali terhenti, ketika sayup-sayup mendengar namanya dipanggil.
Nuri menoleh, netranya menelisik sekitar, dan memang tak ada sesiapapun. Akhirnya ia mengabaikan karena memang ada yang sudah tidak beres.

*
Sore beranjak dan matahari mengalah pada sang badai. Gelungan awan hitam, petir dan hujan memenuhi cakrawala dibumi semesta.
Makin menambah suasana mencekam pada pulau yang memang belum mendapat jatah penerangan. Nyala obor dan api lampu-lampu minyak sesekali tampak bergerak akibat deruan angin kencang yang masuk disela-sela ventilasi rumah.
Nuri melihat bayi perempuan kecil yang sudah tertidur pulas disampingnya bersama sang ibu mertua. Suaminya Hamka belum pulang, mungkin karena masih terjebak badai.

Denting jam lawas terdengar berbunyi delapan kali, menunjukkan waktu yang berarti sudah pukul delapan malam.
Lalu terdengar suara berisik diluar kamarnya. Seperti orang yang sedang melakukan aktifitas di dapur. Ya, suara-suara bising itu berasal dari dapur.

“Apa mas Hamka sudah pulang ya?” Pikir Nuri.
Ia pun beranjak dari ranjang besi dan berjalan untuk mengeceknya. Saat Nuri berjalan di Lorong menuju dapur

“Mas? Mas Hamka sudah pulang?” Teriaknya di depan ruang dapur. Namun tak ada sahutan.

Tiba-tiba lampu minyak-minyak disekitarnya padam.
Meninggalkan hawa ganjil dan kegelapan tanpa sisa. Nuri sungguh ingin membuang pikiran macam-macam.

Perlahan mendekati nakas, meraba-raba untuk mengambil korek dan menyalakan sumbu lampu itu lagi. Mencoba menenangkan diri bahwa tadi hanya tertiup angin dari lubang ventilasi.
Lagi-lagi ia mendengar suara petir bergemuruh. Nuri menghela nafas kasar. Akhirnya Nuri berhasil menemukan sewadah korek dan menyalakan lagi lampu-lampu tersebut.

Sssshhh…
Lampu-lampu tersebut padam lagi.
Nuri kembali menyalakan, namun tak butuh waktu lama lampu-lampu itu kembali padam bahkan secara bersamaan. Keremangan langsung menyulut gelisah dihati.
Pelan-pelan Nuri menyalakan sumbu lagi. Kali ini lebih waspada dengan menjaga salah satunya.

Nuri lantas memeriksa sekitar, apakah karena sumbu minyak yang basah atau hal lain? Yang menyebabkan lampu minyak tersebut terus padam?
“Kalau ini mati sekali lagi. Aku harus kembali ke kamar.” Wanti-wantinya pada diri sendiri.

Nuri berdiri menegang. Tidak lagi bersandar pada tembok. Sesuatu yang bersembunyi terasa mengawasinya dari sudut buta. Jantungnya entah kenapa langsung berdegup kencang.
Semua hanya ilusi. Ya hanya ilusi dalam keremangan.

Karena Nuri yakin, dia tidak pernah memiliki kain putih apapun yang dicantelkan didinding dapur. Melayang berdiri tegak disudut tembok. Sementara diantara kain itu tampak seperti helai-helai benang hitam kusut-
tergerai disisi-sisinya. Bukan benang, lebih tepat itu rambut.

“Jangan mati. Jangan mati. Jangan mati.” Nuri berharap lampu minyak yang tercantel digenggaman tangan kanannya tak lagi padam.
Ssssshh…

Tak ada hal positif lain yang dipikirkan Nuri lagi. Terlebih ketika dari sudut mata melihat kain putih itu terbang melesat kearahnya.

Nuri memejamkan mata. Bayangan tubuhnya yang diciptakan oleh lampu minyak tadi tenggelam. Ibu muda itu menoleh ringan.
Tak ada apa-apa.

Sudut ruangannya kosong.

Namun kakinya sudah terasa lemas. Ntah kenapa susah sekali menggerakkan salah satunya. Atmosfer berubah panas. Entah karena tubuhnya yang masih gemetaran atau karena suhu yang mendadak meningkat.
Padahal awalnya begitu dingin seperti diatas pegunungan.

“Nyebut Nuri.. nyebuuuut. Astaghfirullahal’adziim.. astaghfirullah’adziimm.”

Nuri kembali mengeluarkan korek sekali lagi. Menyalakan sumbu minyak dan memegangnya gemetar. Ia mengarahkan pada sudut-sudut ruangan dapur-
yang kosong. Tidak ada apa-apa. Nuri menghela nafas lega. Mungkin pikirannya sedikit parno.

Bagaimana bisa mereka masuk? Padahal suaminya sudah memagari sekitar rumah. Mungkin saja itu sosok lain yang hanya numpang lewat. Tapi bagaimanapun itu tetap mengerikan.
Tepat ketika Nuri berbalik, ia menyadari ada sesuatu yang salah. Tak jauh dari sana, disudut luar ruangan, ia melihat kursi goyang kayu yang tadinya diam.. memantul kedepan-kebelakang seolah ada yang baru saja mendudukinya.

Ngiikkk… ngikkkk… ngikkkk… ngikkkk …
Awalnya memang tak ada siapapun. Namun samar-samar ia melihat sosok berambut panjang mencapai tanah duduk diatasnya. Sosok itu tak menoleh, hanya duduk diam, membuat kursi itu bergoyang sembari mengeluarkan suara cekikikan yang nyaring.
Nuri tercekat. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, ia pun berlari sekencang-kencangnya dari tempat tersebut.

***
Untunglah peristiwa malam itu tak sampai mengganggu bayi Nuri dan Hamka.

Sekali lagi Hamka mengecek sekitar rumah dan benar saja. Ternyata di salah satu sisi bagian yang dipagar ghaib telah rusak. Atau mungkin memang ada yang sengaja merusak. Entahlah.
Setelah dua bulan kepergian Hari dari boyan. Hamka mendapat berita baik dari jawa. Bahwa ia sudah bisa menempati salah satu tanahnya di sana. Ia pun membujuk Nuri untuk mengajukan surat pindah tugas di salah satu kota di Jawa Timur.
Nuri pun mengajukan ke pusat agar bisa pindah ke Jawa dengan alasan mengikuti suami. Dan untunglah permintaannya untuk pindah tugas itu pun disetujui.

Hingga akhir kepindahan pun, Nuri tak pernah tahu bahwa Khanti sebenarnya sudah tiada.
Yang Nuri tahu, kini Khanti sudah hidup bahagia bersama sang suami di Jawa.

Sama halnya seperti yang diketahui oleh seluruh penduduk desa yang lain.

"Montianak – Selesai".

***
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Nana is me

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!