M O N T I A N A K
a.k.a "MatiAnak"
.
.
@bacahorror #bacahorror
@ceritaht #threadhorror
.
.
A Horror Thread
Suara nyaring kentongan yang dipukul berulang-ulang berhasil memecah keheningan malam hampir di seluruh pelosok desa. Warga yang mendengar sontak terbangun, sebagian besar langsung keluar dan menghampiri sumber suara.
Meski rasa penasaran menggelayuti, namun anak-anak dan wanita yang mengetahui kodratnya tetap berada dibalik rumah. Pasalnya, malam tak pernah ramah bagi mereka,-
“Ada apa ini?” Tanya salah seorang warga yang menghampiri si pemukul kentongan.
“Di sana? Di …belakang kebun Pak Rahmad…” Sahutnya sedikit tergagap.
“Ada apa dibelakang kebun Pak Rahmad?”
“A..ada mayat wanita.”
“Ya sudah. Mari kita kesana.”
Sesampainya di tempat kejadian, ternyata ada beberapa warga lain yang sudah mengerumuni. Dengan mengandalkan cahaya seadanya dari obor-obor yang dibawa, mereka-
Tak lama kemudian seorang pria paruh baya yang masih mengenakan sarung datang mendekat, mencoba menembus kerumunan.
“Astaghfirullah’adzim. Bagaimana ini bisa terjadi?” Tanya pria paruh baya yang diketahui ternyata adalah sang kepala desa.
“Iya pak. Saya juga gak tahu. Tiba-tiba saja saya kesandung mayat ini begitu saja.” Jawab Ongky, si pemuda kurus dengan ekspresi ngeri.
Pak Kades makin mendekat untuk mengamati si mayat.
“Su.. sudah pak. Mungkin sedang dalam perjalanan.” Sahut si pemukul kentongan.
Tak lama berselang setelah kedatangan Pak Kades, para warga dikejutkan kembali sebuah suara lain yang cukup lantang.
Lalu tampaklah seorang pria berusia 30 an dengan wajah kusut, memandang tak percaya akan apa yang dilihatnya. Ia melihat tubuh orang yang sangat dicintainya, tergeletak begitu saja dengan kondisi yang cukup mengenaskan.
Bambang berteriak histeris dan langsung memeluk tubuh kaku istrinya.
Terdengar samar namun terus disebut berulang-ulang.
“Montianak!”
***
Sebagai 'come back' setelah sempet vakum kemarin.
⏩I need min 150RT! Cuma pengen tahu seberapa appreciate thread Banana ini buat kalian.
⏩Lebih dari 150RT bakal Banana lanjutin...
Dan silahkan follow dulu biar gak ketinggalan update.
Happy SatFriday 👋
Karena di pulau Boyan saat itu masih belum mendapat aliran listrik sebagai penerangan. Hanya saja untuk lampu petromaks biasanya dipakai ketika ada suatu acara-acara penting-
Dan itu yang terlihat dirumah salah satu kamituo, yang mana sedang mengadakan acara hajatan salah satu cucunya yang usai dikhitan.
Umumnya di desa ketika tetangga sedang mempunyai hajat,-
Awalnya Hamka sedikit keberatan karena itu berarti Nuri harus keluar malam-malam.
Hanya saja Nuri merasa tak enak jika tak turut serta. Karena jarak rumah yang terbilang sangat dekat, hanya berjarak beberapa langkah saja dari rumah Kamituo.
“Nggak usah khawatir mas. Aku bakal baik-baik saja.” Bujuk Nuri sembari membuka atasan bajunya, menunjukkan perut yang diikat sebuah tali yang ditempeli-
Meski sedikit ragu, akhirnya Hamka memberikan ijin pada istrinya. Tak lama kemudian, beberapa tetangga memang betul menjemput Nuri dirumah.
Mungkin hal itu juga yang membuat Kanthi sangat menyukai anak-anak dan begitu perhatian jika ada ibu-ibu hamil.
“Aku titip Nuri ya mbak.” Pesan Hamka
Hamka mencium aroma wangi bunga sekali lagi. Aroma bunga yang cukup menyengat itu selalu muncul ditiap kehadiran Kanthi, istri Hari.
*
“Kapan ya Nur aku bisa hamil kayak gini?” Keluh Kanthi
“Sabar ya mbak. Mungkin memang belum waktunya. Terus ikhtiar dan berdoa. Semoga Allah segera memberi momongan.
“Iya. Aamiiin.”
Kanthi lagi-lagi menatap perut Nuri dengan sumringah dan pandangan mata yang makin melebar. Seolah-olah ia juga tak sabar menunggu kehadiran sang jabang bayi sama seperti Nuri.
“Uhm.. mbak. Aku pamit ke dapur sebentar ya. Haus.”
“Iya.”
Nuri pun kembali memasang sabuk magnetnya dan berjalan ke arah dapur.
Mungkin saja mereka sedang berkumpul di 'Dhurung' atau membantu pelaksanaan acara di tenda hajatan.
Baru dua-tiga teguk, tiba-tiba saja seorang anak kecil menyenggol tubuhnya hingga membuat sebagian air tumpah ke bajunya.
Iris mata Nuri membesar, manakala melihat si gadis kecil malah terus berlari keluar, melewati pintu dapur yang terbuka menuju kebun belakang.
Ia sedikit berlari menuju pintu keluar, namun kakinya tertahan. Mengingat kondisinya saat ini. Ia sedang hamil dan sekarang sudah malam.
Sorot matanya kembali menajam melihat luaran. Sosok gadis itu semakin menjauh dan hampir tak terlihat. Nuri benar-benar khawatir.
Bagaimanapun berkeliaran di malam hari di pulau ini, benar-benar tidak pernah aman!
*
Nuri menatap sekeliling dengan jeli, berharap bisa segera menemukan-
Sayup ia kembali mendengar suara tawa anak kecil. Nuri menajamkan telinga, lalu mengikuti arah tawa itu berada.
Hingga tibalah dia disebuah lahan tanpa rimbunan pepohonan. Hanya menyisakan sebuah pohon beringin yang cukup besar.
Namun senyum itu hanya bertahan sesaat. Mulut Nuri mengatup rapat manakala matanya menangkap sosok lain yang sedang duduk diatas sebuah batu dibawah pohon beringin.
Seorang wanita berambut panjang mencapai tanah dengan baju terusan berwarna putih kusam sedang duduk tertekuk. Wanita itu menyambut si gadis kecil dengan wajah pucat yang mengerikan sembari menatap Nuri tajam.
'Montianak?' Batin Nuri bergetar.
Hingga akhirnya ia membalikkan badan dan menatap Nuri dengan bola mata yang sudah hilang.
"Hii... hi... hi... hi..."
Suara tawanya begitu melengking dengan intonasi cepat, menggema jelas ditelinga Nuri.
Bukan hal yang mudah berlari-larian di area kebun yang penuh semak dan pepohonan. Selain dari penglihatan yang terbatas karena gelap, kaki pun harus direlakan tersandung dan tersangkut beberapa kali.
Namun sesuatu berhasil menarik pergelangan kakinya hingga terjatuh.
Nuri terus melafalkan doa dari mulut tanpa henti. Tangan yang mencengkeram kaki Nuri terlepas. Nuri kembali bangun dan berlari.
Namun lagi-lagi sesuatu yang kuat berhasil mencengkeram kaki dan menyeret Nuri beberapa meter ke dalam kebun.
Montianak itu berjongkok tepat diatasnya. Wajah yang begitu pucat dengan bola mata berwarna hitam pekat.
Nuri yang mulai kehabisan nafas tak punya tenaga lagi untuk bergerak. Jantungnya berdegup kencang, saat melihat tangan dengan jari-jari panjang yang berkuku tajam itu-
Ja.. jangan. Jangan anakku!" Rintih Nur.
"Hi ... hi ... hi..."
"Ya Allah... Ya Allah.. to.. tolooong."
"Hi... hi ...hi.."
"Nuriiiiiiii!!!"
***
Saat terbangun, Nuri baru menyadari bahwa sabuk magnet yg menempel diperutnya hilang.
Mungkinkah terjatuh saat ia sedang dikejar montianak?
Pasalnya Hamka tau apa yang akan terjadi. Salah satu montianak berhasil menandainya.
Meski rumah kala itu sudah ditanami tumbal penjaga dari dulu, namun hal itu belum membuat yakin sepenuhnya.
Jika hal itu terjadi, Nuri langsumg terus membaca Yaasin dan Al-Qur'an tanpa putus. Disaat yang sama, Hamka langsung-
Namun Hamka sudah memperingatkan jauh-jauh hari agar mengabaikannya.
Nuri benar-benar mengindahkan peringatan sang suami, karena ia masih ingat betul kejadian mengerikan-
Ada suatu perasaan tak nyaman tiap Hamka berpapasan dengan Kanthi.
Padahal Kanthi begitu baik.
***
“Sekarang?” Tanya Kanthi.
“Iya sekarang. Bu Imah mau melahirkan soalnya.” Jawab Budhe Hartik. Tangan kanannya tampak menjinjing tas kerjanya.
Khanti sedikit heran. Biasanya mbah Sumi lah yang biasa membantu Budhe Hartik dalam tiap persalinan. Karena dulu mbah Sumi seorang dukun bayi juga. Jadi budhe Hartik sangat terbantu dengan kemampuannya.
“Tapi, Kanthi nggak ada pengalaman bantu persalinan budhe.”
“Nggak apa-apa. Nanti budhe kasih arahan sama kamu, sekalian belajar biar tahu proses melahirkan seperti apa. Lagipula kamu kan suka anak kecil.-
“Yaa bisa. Ta … tapi …”
“Yasudah bagus kalau begitu. Nggak ada tapi-tapian. Yuk ikut budhe sekarang.” Seloroh bidan Hartik sembari menyeret tangan Kanthi begitu saja. Khanti hanya bisa pasrah mengikuti kemauan budhenya.
Namun tiba-tiba saja langkah Khanti terhenti karena teringat sesuatu.
Budhe Hartik berdecak “Kamu nggak perlu khawatir. Tadi Budhe sudah menyuruh Parto untuk memberitahu Hari kalau kamu akan membantu budhe dalam persalinan Bu Imah malam ini.”
“Kamu mikir apa lagi? Ayo cepetan masuk Thi. Keburu anak Bu Imah mbrojol. Tadi siang saja budhe cek sudah masuk pembukaan 8.”
“Ah… iya budhe.” Jawab Khanti pasrah.
*
“Maaf Bu Hartik. Saya kepikiran istri terus, sebelum menjemput Bu Hartik, dia dari tadi sudah berteriak kesakitan.” Sahut Pak Jali yang sedang menyupir.
“Iya Bu Hartik. Maafkan saya.”
Khanti menggeleng pelan melihat perseteruan kecil antara Budhe dan si supir.
Padahal masih diperkirakan jam 8 malam. Namun kondisi desa lebih seperti tak berpenghuni saat malam tiba.
“Ayo Bu Hartik. Mari masuk.” Sambut seorang wanita tua, ia adalah ibu dari Bu Imah.
“Lagi sakit biyung. Maklum sudah tua. Makanya saya ajak keponakan saya untuk membantu persalinan kali ini.” Jelas Bu Hartik.
Mata biyung Bu Imah sempat melirik Khanti dengan pandangan kurang mengenakkan. Khanti menjadi kikuk karenanya.
*
Bu Imah mengejan sekali lagi. Jantung Khanti mulai berdegup kencang saat sudut matanya menangkap kepala bayi kecil yang muncul dengan darah yang bersimbah disekitarnya.
Bayi itu sudah terlihat setengah badan. Khanti makin melongok dengan iris mata yang makin melebar. Bahkan sempat membiarkan tubuh Bu Imah menjadi setengah limbung begitu saja.
“Maafkan saya.” Jawab Khanti lirih. Ntah mengapa pikirannya menjadi kacau sekali.
“Eeerrrrgghh…..”
Atas arahan dari Budhe Hartik, Khanti kembali merebahkan tubuh Bu Imah terbaring di Kasur lagi.
“Cepat mandikan bayi ini ya Thi. Biar bisa segera di adzani. “ Perintah Bu Hartik.
Khanti pun berjalan kearah kamar mandi dengan bak air hangat yang sudah disiapkan sebelumnya.
Bayi itu masih menangis namun tidak sekencang sebelumnya. Khanti menimang-nimang berusaha menenangkan agar bisa memandikan sang bayi-
Ntah kenapa Khanti merasa sayang jika harus dimandikan sekarang. Ia tampak menyukai bayi yang masih bersimbah darah tersebut. Darah berbau anyir itu terasa begitu memikat bagi Khanti.
“Khanti… sudah selesai dimandikan?” Tanya Budhe Hartik setengah berteriak di depan pintu kamar mandi.
“ I.. iya budhe. Tunggu! Sebentar lagi selesai.” Kilah Khanti.
Khanti menghela napas penuh sesal.
‘Apa yang sudah kulakukan?’ batinnya kemudian.
***
Mata Hari seolah fokus dengan jalanan yang ada di depan, namun tidak dengan pikirannya. Hari terus menghisap rokok tanpa-
“ Ham, kau tau apa yang sedang kupikirkan?”
Hari tersenyum pias sembari menghisap rokok lagi. “Khanti.”
Lalu terdengar suara gemuruh diatas langit, sebuah pertanda akan datang badai.
“Aku ingin berbicara jujur padamu, meski aku tahu hal ini benar-benar mustahil untuk dipercaya.”
Hamka mulai menangkap firasat tak enak dari arah pembicaraan ini. “Apa maksudmu?”
“Hah?”
Hari mengusap kepalanya kasar. “Ham, aku tak tahu harus membicarakan hal ini dengan siapa. Mungkin hanya kau yang bisa membantuku saat ini.”
Hamka hanya diam, ia berusaha bersikap tenang.
“Khanti … “ Hari menelan salivanya susah payah.
“ …….. ”
“Khanti … dia .. dia Montianak.”
“A ..aku tau ini memang susah dipercaya. Tapi …”
Lagi-lagi Hari terdiam, seolah ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.
“Lanjutkan ceritamu Har. Aku ingin mendengarnya lebih rinci.”
*
Seperti biasa, Hari yang telah selesai melakukan tugas mengajar sebagai guru di madrasah terihat bersemangat mengayuh sepeda onthelnya.
Ya, paling tidak Hari tak patah semangat dalam ikhtiarnya.
Ingin sekali ia mengajak Khanti berobat ke Jawa, hanya saja tabungannya masih belum cukup. Gajinya yang hanya seorang guru madrasah terbilang kecil, tidak dibayar tunai.
Hari menyenderkan sepeda di samping pintu rumah. Terdengar riak pintu kayu berwarna pucat itu terbuka perlahan, kepalanya melongok kedalam. Disusul dengan badannya yang mulai bergerak memasuki sebuah-
Langkah kaki Panjang itu bergerak perlahan menyisir ruang demi ruang. Hingga akhirnya Hari menemukan pintu belakang rumah yang terbuka. Yang mana pintu tersebut mengarah ke kebun pisang miliknya.
Seorang wanita cantik dengan rambut panjang sepunggung yang sengaja digerai itu tampak berdiri membelakangi.
Hari berjingkat pelan mendekati. Namun, ketika jarak mereka yang hanya tinggal beberapa langkah saja, Hari menemukan sebuah kejanggalan.
Namun hal itu tak berlangsung lama. Seolah ada yang memberitahu, Khanti pun langsung menoleh
Menatap hari dengan senyum lembut. Sembari memperlihatkan lesung pipit di pipi kirinya.
Khanti tampak tenang-tenang saja, tak terlihat mimik kekhawatiran sedikitpun di wajah ayunya seolah memang tak terjadi apa-apa.
“Ah.. iya.”
“Kamu sudah makan?”Tanya Khanti sekali lagi.
“Yuk makan, sudah kusiapkan makan malam di meja dapur.”
Lalu Khanti menggandeng lengan kokoh milik suaminya sembari berjalan ke arah pintu belakang rumah.
Meski penasaran, Hari mengurungkan keinginan untuk mempertanyakan apa yang dilakukan Khanti barusan.
Malam itu, di sebuah kamar berpenerangan temaram, tampak Khanti menyisir pelan rambut panjang hitamnya sembari duduk di depan kaca meja rias. Sesekali Khanti bersenandung lirih di sela-sela keheningan. Wajah piasnya yang ayu tampak tenang.
“Aku punya kabar baik dik.”
“Hmm … hmm ..”
“Kau ingat teman seprofesiku yang juga mengajar di kecamatan sebelah? Yang istrinya juga tak kunjung memiliki keturunan setelah sekian tahun menikah?
“Hmm … hmmm ..” (Khanti bersenandung).
“Dik? Kau mendengarku?”
Khanti menghentikan gerakan menyisir, lalu melirik Hari sesaat. “Aku mendengarnya mas.”
“Hmmm … hmm .. Sayangnya aku tidak begitu tertarik.” Ucap Khanti singkat sembari meneruskan kegiatan menyisir.
Kening Hari berkerut, lalu tubuh yang tadinya berbaring langsung berubah posisi menjadi terduduk.
“Apa kau tidak ingin mencobanya dik. Kau tidak menyerah untuk memiliki keturunan bukan?”
“Tentu saja tidak. Hanya saja, aku masih malas.”
Hari menghela napas pelan. Ada apa dengan istrinya?
‘Apa gara-gara melihat proses kesakitan orang yang melahirkan timbul rasa takut dalam dirinya?’ Tanya Hari dalam batin sendiri.
Hari sempat terkejut dengan pernyataan Khanti. Apa pikirannya baru saja dibaca oleh sang istri?
“Tolong apa dik?”
“Tolong sisirkan rambut bagian belakangku. Tanganku tak sanggup menjangkaunya.”
“Ah, ini. Sepertinya dari tadi sisir ini mengganjal sesuatu. Aku lihat dulu ya.”
Khanti hanya terdiam.
Lalu Hari menyibak beberapa helai rambut. Meski dalam pencahayaan remang, iris coklat Hari-
“Ini apa ya dik?”
“…………..”
Hari meraba-raba benda asing itu. Seperti sebuah besi yang keras menempel disana.
“Ah.. itu…”
Belum sempat Khanti meneruskan kata-kata, jari-jemari Hari ternyata sudah mencabut benda asing tersebut lebih cepat.
“Ah hujan.”
Hari kembali menatap benda asing diantara kedua jari telunjuk dan jempol. Sebuah besi hitam berulir aneh sepanjang 7cm terpampang dihadapannya.
“Dik? Ini apa?” Tanya Hari tercengang. Otaknya tak mampu mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Apa? Apa ada yang sakit?” Tanya Hari khawatir..
“Tunggu sebentar. Aku akan mengambilkan air hangat dan obat.
Lalu Hari pergi meninggalkan Khanti begitu saja di dalam kamar
Namun sesampainya di kamar ia tak menemukan keberadaan Khanti selain dari pada pintu jendela yang sudah terbuka di satu sisi.
.
“Kanthiiiiiii…” Panggilnya diluaran jendela.
Tetap tak ada sahutan.
Kini raut wajah tampan Hari berubah pias. Kemanakah istrinya hilang? Hari kembali menilik ruangan kamar. Langkahnya kembali beranjak, berjalan dengan cepat menyisir sudut-sudut bagian rumah.
Hari terduduk disebuah amben kayu depan rumah, mengumpulkan sisa-sisa tenaga, sembari menyeka peluh yang menempel di sela-sela dahi meski cuaca dingin.
‘Mungkinkah Khanti nekat pergi meninggalkan rumah? Tapi kenapa?’ Batinnya kemudian.
Hari kembali bangkit dari posisi, ia pun memutuskan untuk mencoba mencari Khanti lagi.
Belum lagi ia harus tetap waspada akan hadirnya binatang-binatang malam-
“Khantiiiii…………”
Hari terus memanggil sang istri hingga suaranya berubah menjadi serak.
Tak mungkin lagi Hari menerobos, mengingat sudah pasti banyak ular disana. Namun bukan itu saja, meski dalam keterbatasan-
Di antara rimbunan batang bambu yang rimbun, Hari menatap sesosok bayangan putih dengan rambut panjang hitam-
“Mon… montianak?” Gumamnya dengan bibir bergetar.
Hari menoleh ke sekitar namun tak mendapati siapapun.
“Mas Hari…” Suara lembut itu terdengar lagi namun kali ini disertai dengan isak tangis yang memilukan.
“Mas … tolong .. hikk..”
Hari mencoba membuang kecurigaannya. ‘Masa sih?’
Pelan namun pasti kepalanya kembali memutar ke arah sosok di seberang sungai.
Seperti sebuah penglihatan mata batin atau memang mereka benar-benar ingin menunjukkan wujud yang-
Pikiran yang kacau langsung memerintahkan otak untuk segera menggerakkan syaraf-syaraf tubuh,-
Hari terus berlari hingga akhirnya berhasil kembali di depan rumah.
*
Hari mengetuk pintu kayu berwarna hijau dengan cukup keras di sebuah rumah bergaya setengah panggung.
“Pakkkk… bapak!!”
Panggil Hari dengan napas terengah. Ia tak lagi peduli jika tetangga sekitar akan terganggu karena ulahnya.
“Loh? Har? Ada apa kamu malam-malam begini?”
“Kamu sendirian? Mana Khanti?”
Hari masih terdiam dengan tubuh bergetar. Lalu muncul seorang wanita paruh baya menghampiri keduanya.
“Ini … Hari buk.”
Tiba-tiba saja tubuh Hari jatuh dengan posisi duduk bersimpuh, seolah tulang-tulangnya tak mampu menahan beban tubuh lagi. Pak Ridwan dan Bu Saeroh tampak terkejut dan langsung memapah Hari menuju kursi.
Pak Ridwan dan Bu Saeroh masih membiarkan Hari beberapa saat hingga menjadi tenang.
“Gimana apanya?”
“Apa saya sudah tidak waras?” Tanya Hari ntah pada dirinya sendiri atau kepada kedua-
“Saya.. saya melihat Khanti dalam wujud montianak.” Jawab Hari dengan susah payah.
Brakk!
Kini Hari yang dikejutkan dengan sikap Pak Ridwan yang tiba-tiba menggebrak meja di depannya.
“Jelaskan lebih rinci semuanya pada bapak!”
Meski Hari sedikit bingung dngan sikap mertuanya yang tiba-tiba itu, ia berusaha sebaik mungkin menjelaskan apa yang terjadi kepada mereka.
“Jadi, kamu sudah tau semua Hari. Bapak tak akan menutup-nutupi siapa Khanti.”
Wajah Hari terlihat makin bingung. “Maksud bapak, Montianak itu-
“Iya.”
“Tapi bagaimana bisa? Saya bisa menyentuh dan merasakan dia layaknya manusia. Bagaimana bisa dia montianak? Saya benar-benar tak mengerti.”
Kini Hari mengalihkan pandangan kepada Bu Saeroh, namun lagi-lagi-
Pak Ridwan berjalan tergesa-gesa menuju kamar, lalu kembali keluar menemui Hari sembari menenteng sebuah tas kain bermotif batik. Hari menerka penuh rasa penasaran apa yang ada didalamnya.
Hari terdiam sejenak “Masih pak. Tadi saya letakkan di atas meja rias di dalam kamar.”
“Pertama-tama kita ambil dulu paku tersebut. Ayo ikut saya!” Perintah Pak Ridwan tegas.
*
Langkah Pak Ridwan berjalan cepat melewati belukar-belukar yang tadinya susah payah Hari lewati. Pandangan matanya lurus ke depan seolah bisa melihat jelas menembus gelap malam. Meski penerangan yang ia bawa hanya sebatas obor yang tergenggam ditangan kanan.
“Dimana?” Tanya Pak Ridwan.
Hari mengernyit berusaha mencerna pertanyaan Pak Ridwan ditengah pikirannya yang kalut.
“Dimana kau melihat sosok Kanthi?”
“Oh.. anu.. di hutan bambu.. se-seberang hilir sungai pak.”
Lalu lelaki paruh baya itu tak menjawab apapun. Membiarkan keheningan kembali menguasai mereka. Hingga akhirnya keduanya sampai di ujung kebun tepat di depan hilir sungai.
“Dimana?” Tanya pria tua di depannya sekali lagi.
“Di .. di sana pak.” Tunjuk Hari dengan telunjuknya sambil setengah menunduk.
“Tidak ada.” Jawabnya tegas.
“Tadi saya benar-benar melihat sosok Khanti di sana pak dengan seorang nenek bungkuk berwajah menyeramkan.”
Tak lama kemudian terdengar suara tawa wanita melengking meski samar. Pak Ridwan berbalik memandang seberang hilir sungai, lalu memejamkan kedua mata.
Suasana yang sudah dingin menjadi semakin dingin, padahal tak ada angin yang berhembus. Sedang suara jangkrik yang tadinya memekakkan telinga-
“Selama bapak bersila di sini, jangan meninggalkan tempat ini. Jangan hiraukan gangguan apapun. Tunggulah aba-aba bapak.”
“Patuhi perintahku dan jangan membantah.”
*
Hingga ia melihat sebuah sabana terbuka yang diapit oleh lebatnya vegetasi lingungan sekitar.
Nenek itu menyeringai semakin lebar.
“Aku mau mengambil Khanti.”
Nyi Damini terkekeh. Menampakkan gigi-gigi yang bertaring tajam. “Aku mau pertukaran.”
“Aku tidak akan bernegosiasi dengan bangsa jin.” Jawab Pak Ridwan.
Apalagi montianak berwujud Khanti adalah salah satu anak buah Nyi Damini yang mendiami wilayah hutan bambu kekuasaannya.
“Bukankah ia dulu membunuh anakmu?”
Pak Ridwan menghembuskan napas keras.
“Nyi… jika kau tak menyerahkan Khanti kembali. Aku akan memporak-porandakan tempat tinggalmu.”
Nyi Damini mengeluarkan kekuatan, meniupkan sesuatu melewati bibir hitamnya. Angin berhembus lebih kencang.
Lalu terdengar suara derik batang bambu semakin keras bergesekan. Menciptakan alunan nada halus namun tajam mengerikan,-
Lelaki tua itu seolah tahu apa yang akan dihadapi, ia pun memasang kuda-kuda. Bersiap menghadapi apapun yang menyerang.
**
Sayup-sayup, Hari mendengar kidung yang mulai dikumandangkan. Gendhing jawa yang terlampau tua yang Hari sendiripun tak mampu mengenali bahasanya, meski ia pernah tinggal di Solo beberapa tahun bersama neneknya.
Diantara pohon bambu diseberangnya, ada aura dingin yang semakin menjadi.
Kabut tipis yang menyelimuti sela-sela bambu mengembang semakin pekat. Aura ngeri semakin terasa, pepohonan itu seolah menyembunyikan sesuatu.
Ada sesuatu yang mulai terlihat.
Jantung Hari makin berpacu… begitu cepat. Sangat cepat.
Angin besar kembali menggoyangkan batang-batang bambu, satu dua kali batang-batang itu membuka, seakan memberi kesempatan-
Disatu sisi Hari makin mendengar kidung tua itu makin keras. Hari melirik kearah sang mertua yang masih bersila.
“Ba.. pak. Pak.. bapak?” Panggil Hari-
Lalu terdengar gemuruh, raungan yang membahana seakan tak terima. Anyir darah tercium begitu menyengat yang entah datang dari mana. Hingga sebuah dentuman dahsyat berhasil membuatnya jatuh bersimpuh, membuyarkan seluruh penglihatan.
**
Ia tak lagi berada disekitar rimbuhan pohon bambu. Namun seperti berada disebuah sabana yang luas nan lapang.
Bukan, seperti dicengkram oleh sesuatu.
Dicekik oleh iblis berwujud nenek tua yang mengerikan.
‘Pergi’ dan ‘Maaf’.
‘Tidak!’ begitulah hari berteriak dalam hati.
Sekuat tenaga Hari mencoba bangkit, namun tubuhnya hanya bisa diam dan kaku. Seolah ada yang mengikat kuat.
Pandangan Hari kembali pada kedua sosok itu. Dilihatnya nenek tua yang masih mencekik Khanti,-
Hari kembali berteriak dalam hati. Sungguh, ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.
Samar-samar bayangan Khanti kembali terlintas dikepala, ketika Khanti menyungging senyum hangat padanya.
*
Samar gendang telinga Hari mendengar suara berat seseorang memanggilnya. Ia pun membuka mata perlahan.
‘Apa aku baru saja pingsan?’ Tanya Hari dalam hati.
Pandangan matanya kembali mengedar, ia melihat bayangan seorang lelaki sedang menepuk pelan-
Beribu pertanyaan mengambang ditengah-tengah kesadaran yang masih terbatas.
“Ba.. pak?”
Pak Ridwan membantu membangunkan tubuh kokoh Hari.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Bapak sudah berusaha menyelamatkan Khanti.. namun…”
“Namun apa pak?”
“Akan bapak tunjukkan…”
Lalu Pak Ridwan berjalan menunjukkan sesuatu pada Hari..
Sebutir air menetes pada tanah. Air mata yang perlahan terbuka atas raga yang terlentang pada permukaan. Hari berkedip-kedip tak menentu, seperti kebingungan yang menyergap.
Hening.
Pak Ridwan tampak mengeluarkan sebuah kain dari tasnya.
“Ayo bantu bapak mengambil tulang-tulangnya.”
“Kita ambil tulang belulang Khanti terlebih dahulu.”
“Tidak sebelum bapak menjelaskan semua.” Tegas Hari dengan mata berkaca-kaca.
“Tapi…”
“Kau ingin tahu cerita sebenarnya bukan? Maka jangan buang-buang waktu lagi.” Ucap Pak Ridwan tak kalah tegas.
***
“Maaf buk, aku tak bisa menyelamatkan anak kita … lagi.”
Lalu beberapa bulir air mata tampak menetes pelan melewati wajah ayu yang sudah menua itu.
Hari makin tak mengerti, namun ia tetap mengikuti keduanya memasuki rumah.
Namun itu tak berlaku bagi Hari. Rasa kehilangan dan keingintahuan akan kebenaran lebih membuncah dari apapun.
“Saya tahu kamu sulit menerima sesuatu diluar nalar. Meski rumit bapak akan menceritakan semuanya."
“Sebelumnya bapak minta maaf padamu. Maaf bapak sudah membiarkanmu menikah dengan raga yang sebetulnya sudah tak bernyawa."
“Kau tahu bukan? beberapa tahun yang lalu sebelum bertemu denganmu Khanti pernah menikah. Lalu hamil, hanya saja suaminya meninggalkannya begitu saja. Saat usia kandungannya memasuki-
Mata Hari menyudut, semua pertanyaan itu sedikit demi sedikit mulai terjawab. Pak Ridwan yang sempat berjeda mulai melanjutkan ceritanya.
Ya, paku itu yang pernah menancap diatas kepala Khanti.
Hari tercekat. Tak mampu mengucap sepatah katapun. Tubuhnya lemas, seolah tulang-
***
Ternyata semesta masih belum berpihak akan keberuntungan kisah cintanya.
Jika dipikir dengan nalar biasa, hal ini tentu saja sangat mustahil. Namun sekali lagi kita tak pernah akan cara kerja semesta yang penuh misteri. Hanya Tuhan saja yang tahu.
Dia memang sudah terbiasa dengan peristiwa-peristiwa ganjil semacam ini. Namun kisah Hari terlalu rumit untuk ditelaah otaknya.
Dia tersenyum sinis menertawakan diri sendiri. Hamka menepuk pundah Hari menenangkan.
“Tentu saja.” Jawab Hamka kemudian.
“Lalu kebun dan sawah peninggalan orang tuamu?”
“Yah, akan kutitipkan pada sanak saudara saja.-
Hamka mengangguk pelan. Kini terjawab sudah segala pertanyaan, mengapa ia tak pernah tenang meninggalkan Nuri Bersama Khanti.
***
Senjakala sudah tiba, menampakkan langit dengan rona-rona kemerahan sebagai warnanya. Ditunggulah sang suami tercinta yang belum juga pulang.
Namun tak lama, netranya fokus atas sesuatu. Seperti seseorang yang ia kenal, berdiri didekat dhurung depan rumah.
Karena penasaran, Nuri pun bergerak dari tempatnya dan membuka pintu depan utama. Hanya saja sosok itu menghilang begitu Nuri sudah berdiri di depan teras. Lalu bayi perempuannya tiba-tiba menangis, mengagetkan Nuri.
*
Sore beranjak dan matahari mengalah pada sang badai. Gelungan awan hitam, petir dan hujan memenuhi cakrawala dibumi semesta.
Denting jam lawas terdengar berbunyi delapan kali, menunjukkan waktu yang berarti sudah pukul delapan malam.
“Apa mas Hamka sudah pulang ya?” Pikir Nuri.
“Mas? Mas Hamka sudah pulang?” Teriaknya di depan ruang dapur. Namun tak ada sahutan.
Tiba-tiba lampu minyak-minyak disekitarnya padam.
Perlahan mendekati nakas, meraba-raba untuk mengambil korek dan menyalakan sumbu lampu itu lagi. Mencoba menenangkan diri bahwa tadi hanya tertiup angin dari lubang ventilasi.
Sssshhh…
Lampu-lampu tersebut padam lagi.
Nuri lantas memeriksa sekitar, apakah karena sumbu minyak yang basah atau hal lain? Yang menyebabkan lampu minyak tersebut terus padam?
Nuri berdiri menegang. Tidak lagi bersandar pada tembok. Sesuatu yang bersembunyi terasa mengawasinya dari sudut buta. Jantungnya entah kenapa langsung berdegup kencang.
Karena Nuri yakin, dia tidak pernah memiliki kain putih apapun yang dicantelkan didinding dapur. Melayang berdiri tegak disudut tembok. Sementara diantara kain itu tampak seperti helai-helai benang hitam kusut-
“Jangan mati. Jangan mati. Jangan mati.” Nuri berharap lampu minyak yang tercantel digenggaman tangan kanannya tak lagi padam.
Tak ada hal positif lain yang dipikirkan Nuri lagi. Terlebih ketika dari sudut mata melihat kain putih itu terbang melesat kearahnya.
Nuri memejamkan mata. Bayangan tubuhnya yang diciptakan oleh lampu minyak tadi tenggelam. Ibu muda itu menoleh ringan.
Sudut ruangannya kosong.
Namun kakinya sudah terasa lemas. Ntah kenapa susah sekali menggerakkan salah satunya. Atmosfer berubah panas. Entah karena tubuhnya yang masih gemetaran atau karena suhu yang mendadak meningkat.
“Nyebut Nuri.. nyebuuuut. Astaghfirullahal’adziim.. astaghfirullah’adziimm.”
Nuri kembali mengeluarkan korek sekali lagi. Menyalakan sumbu minyak dan memegangnya gemetar. Ia mengarahkan pada sudut-sudut ruangan dapur-
Bagaimana bisa mereka masuk? Padahal suaminya sudah memagari sekitar rumah. Mungkin saja itu sosok lain yang hanya numpang lewat. Tapi bagaimanapun itu tetap mengerikan.
Ngiikkk… ngikkkk… ngikkkk… ngikkkk …
***
Sekali lagi Hamka mengecek sekitar rumah dan benar saja. Ternyata di salah satu sisi bagian yang dipagar ghaib telah rusak. Atau mungkin memang ada yang sengaja merusak. Entahlah.
Hingga akhir kepindahan pun, Nuri tak pernah tahu bahwa Khanti sebenarnya sudah tiada.
Sama halnya seperti yang diketahui oleh seluruh penduduk desa yang lain.
"Montianak – Selesai".
***