(Based On True Story)
"TEROR POCONG KIRIMAN"
.
.
-Sebuah Utas Pendek-
@bacahorror #bacahorror
.
@bacahorror Tak ada yang spesial malam ini, tak terkecuali hari ini malam jum’at legi dan jarum jam masih bergantung di angka 22.00.

Suasana malam yang sesekali diiringi suara jangkrik saling bersahutan di luaran rumah.
Bu Sri yang kala itu terjaga dari tidurnya melangkah gontai ke arah dapur, tenggorokannya dirasa kering karena haus.

Untuk menuju ke dapur, Bu Sri harus melewati Lorong gelap yang melewati ruang tamu bercahayakan temaram. Sesaat kepalanya tak sengaja menoleh, matanya-
menangkap gorden yang tersingkap, belum menutup jendela dengan sempurna. Sesekali ia memegang dada kirinya yang terasa sakit.

“Kok ya mesti gordennya sering lupa ditutup.” Gumam Bu Sri
Wanita paruh baya itu akhirnya membelokkan langkah ke ruang tamu menuju jendela. Dilihatnya suasana malam perumahan begitu pekat, meski lampu jalan menerangi sekitar.

Tak seperti biasa, ntah kenapa matanya malah memaksa untuk melihat rumah kosong sebelah rumahnya.
Bulu kuduk Bu Sri terasa meremang tatkala sebuah cahaya kekuningan menyala di salah satu ruangan dalam rumah itu.

Pasalnya, sahabat sekaligus tetangganya Bu Intan, maupun anak-anaknya tak pernah menginap di rumah itu sama sekali semenjak mantan suaminya meninggal dunia-
dua tahun yang lalu. Kalau pun berkunjung, itupun hanya membersihkan rumah dalam satu atau dua bulan sekali.

Lalu, siapakah yang singgah di dalam rumah kosong saat ini? Tak lama kemudian lampu yang menyala di ruangan itu meredup seketika.
Kembali gelap sama seperti sebelum-sebelumnya. Bu Sri tersentak dan makin mendekatkan wajahnya untuk mengamati lebih jelas.

Tak ada apapun, malah kabut malam yang datang menyambut diluaran sana. Bu Sri menggelengkan kepala dan berpikir bahwa itu hanya halusinasinya saja.
Bu Sri mulai menarik kain gorden, namun sebuah suara kembali mengejutkannya.

GEDEBUKKKKK!!!

Bu Sri tak jadi menutup gorden. Ia kembali melongok melalui kaca jendela sekali lagi. Di sana, matanya melebar, menangkap sebuntal kain putih berikat tiga seukuran manusia, teronggok-
di depan halaman rumahnya. Awalnya Bu sri tak begitu jelas melihat buntalan apa itu, hingga asap kabut yang samar-samar menutupi tampak menyingkir perlahan.

Dan benar saja, buntalan tersebut terlihat bergerak-gerak seolah ingin melepaskan diri dari ikatan.
Jantung Bu Sri mulai berdentum kencang. Dada kirinya terasa kembali sakit. Bu Sri tercengang, badannnya kaku tak mampu bergerak. Rasa takut benar-benar menggelayuti diri. Ia membiarkan sosok berbuntal memutar diri menghadap padanya.
Dan benar saja, wajah hitam dengan kulit kering dan terkelupas itu mendelik tajam padanya. Mulutnya membentuk sebuah rongga gelap selebar-lebarnya tanpa suara.
Masih dengan sekuat tenaga Bu Sri akhirnya berhasil mengerahkan tenaga dan mengeluarkan suara meski dengan nada tergagap.

“PO… POO.. POCOOOOOOOOOONG!!!”

Dan malam itu adalah malam awal teror pocong itu dimulai!

***
“Gimana keadaan ibuk, pak? Hanum dengar dari Angga.. Ibu collapse lagi ya.”

Terdengar helaan nafas dari seberang sana “Iya benar. Tapi kamu ndak usah khawatir. Keadaan ibu sekarang sudah membaik.”
“Tolong sampaikan ke ibu. Seminggu lagi Hanum pulang, karena pekan ini hari terakhir KKN. Ibu jangan sampai dibiarin mikir berat-berat pak.”

“Iya.. iya. Nanti bapak sampaikan.”

Hanum terdiam beberapa saat karena teringat isi chatnya dengan Angga, si adik.
“Pak … apa benar penyebab ibu collapse.. itu karena melihat pocong?” Tanya Hanum yang tak dapat menahan isi pertanyaan dalam pikirannya.

Suasana kembali hening beberapa saat, namun suara bernada berat dari seberang pesawat telpon memecah keheningan kemudian.
“Num. Bapak sendiri juga tak tahu pasti karena tak melihat sendiri. Namun ibuk mengatakan demikian. Tapi… apapun itu, kau tau bukan? penyakit ibuk terkadang menyebabkan halusinasi saat rasa sakit itu mendera. Yaah, apapun itu doakan saja agar ibu selalu sehat.”
Hanum tersenyum tipis mendengar jawaban bapaknya. Yah, bapaknya adalah seorang lelaki yang sedari dulu lebih mengedepankan logika baru mengesampingkan perasaan kemudian.

Pemikiran Hanum sering seirama dengan sang bapak. Dan lagi-lagi ia menyetujui hal tersebut.
Berharap apa yang dilihat ibuk hanya halusinasi belaka.
Beberapa menit kemudian Hanum mengakhiri pembicaraan itu dengan salam.

Ia menatap layar ponsel lalu men-swipe nama ‘Angga’ di nada dering panggil.
“Halo Ngga… mbak sudah menelpon bapak...”

“Gimana mbak? Bener kan ibuk habis liat pocong? Bener kan kata Angga?” Cerocos seorang pemuda memotong ucapan Hanum begitu saja.

“Siapa yang bilang begitu?” Ucap Hanum kesal karena Angga memotong kata-katanya begitu saja.
“Bapak kan?”

“Mbak belum bilang begitu. Kamu tiba-tiba aja motong ucapan mbak gitu aja.”

“Loh? Bapak nggak bilang gitu emang?”

Hanum menghela nafas sejenak. “Nggaaa … bapak memang bilang kalau ibu me-nga-ku ngelihat pocong. Tapi bapak nggak ngelihat sendiri. Kamu tau kan-
kalau sakit ibu tiba-tiba kambuh, biasanya ibu meracau berhalusinasi melihat yang macam-macam.”

“Tapi kali ini Angga percaya kalau ucapan ibu itu benar mbak.” Sanggah Angga penuh keyakinan.
“Kamu tahu dari mana?”

“Karena tiga hari setelah kejadian itu, Angga lihat sendiri pocongnya!”

Dahi Hanum mengkerut, ia menggeleng meski tahu Angga tak bisa melihat gerakan kepalanya saat ini.

“Ngaco kamu…”

“Beneran mbak. Angga berani sumpah demi Allah…”
“Hush! Jangan ngomong seperti itu!” Tegur Hanum. Baginya ucapan sumpah seperti itu tak bisa dibuat main-main.

“Makanya mbak dengerin cerita Angga dulu…”
Hanum mengangkat pergelangan tangan kirinya, menatap angka digital jam yang sudah menunjuk pukul 14.00. Yah, waktu luangnya masih tersisa banyak hingga ashar nanti.

Tak ada salahnya menjadi berpikir lebih terbuka untuk mendengar cerita sang adik sendiri, meski nanti ia-
tak yakin bisa mempercayai sepenuhnya. Mengingat adik lelakinya yang satu ini lumayan badung dan tak jarang berbohong.

“Baiklah. Coba ceritakan sama mbak….”
Malam itu aku pulang cukup larut sekitar puluh 23.00 dari mabar (main bareng) game online dirumah Wahyu, teman sekaligus tetangga yang masih satu kompleks perumahan denganku.

Kulihat pagar rumah sudah digembok, namun tak menjadi halangan karena aku biasa saja jika harus-
memanjatnya. Jelas pula pintu utama rumah juga sudah terkunci. Satu-satunya jalan yang tersisa hanya pintu samping yang mengarah ke dapur.

Ibu selalu membiarkan engsel pengunci tak terkunci begitu saja, karena sudah hafal kebiasaanku yang begini.
Dan bapak jarang memeriksa pintu samping tersebut.

Seusai memanjat pagar dan menuruninya, dengan langkah setengah mengendap aku berjalan menuju pintu samping arah dapur.
Sedangkan untuk menuju arah samping pintu dapur, aku juga ikut melewati sepanjang rumah Pak Anto yang sudah dibiarkan kosong selama hampir dua tahun yang lalu.
Namun sebelum aku menjangkau pintu samping, aku mendengar suara orang terbatuk dengan sangat keras.

UHUKK!

Aku menoleh, mengamati sekitar. Namun tak ada siapapun. Selain angin dingin yang tiba-tiba saja menerpa tengkukku dengan tajam,-
yang mana berhasil membuat beberapa bulu kudukku berdiri seketika.

“Dingin.” Gumamku

Sekali lagi aku mencari sosok dari suara batuk itu. NIHIL. Aku tidak memikirkan tentang hantu sama sekali, karena memang sebelumnya tak pernah terjadi hal semacam itu dirumahku.
Yang kutakutkan adalah bapak memergokiku. Bisa-bisa uang sakuku tertahan selama seminggu.
Setelah kupastikan aman, aku kembali mengarah kearah pintu samping dapur.
UHUKKK!!! UHUKKK!

Suara itu ternyata berasal dari balik pintu samping dapur. Dadaku bergemuruh.

“Mampus! Ketahuan bapak!” Aku memegang kepalaku khawatir.

UHUKKK!! UHUUKK!!!
Suara batuk orang tua itu semakin keras saja. Aku tercengang.
Itu bukan suara bapak sepertinya. Karena setelah kutelisik baik-baik, suaranya ternyata berbeda. Suara itu terdengar lebih berat dan serak dari bapak.

Tunggu dulu? Lalu suara siapa itu? Apa suara maling?
Dengan ragu-ragu aku ingin memastikannya.
“Bapak?”

“……………….”

“Pak?”

“……………….”

“Ini bapak atau bukan ya?”

“…………………..”
Dari situ aku mulai merasakan hawa tak enak. Takut kalau-kalau benar itu maling, akhirnya kuberanikan diri saja untuk segera membuka pintu samping dapur. Saat aku memutar knop pintu aku tak bisa membukanya. Seperti ada sesuatu yang berat mengganjal dibaliknya.
“Loh? Masa dikunci?”

Aku kembali memutar knop pintu dan mendorongnya namun tak juga berhasil. Sekali lagi kucoba untuk mendorongnya, mungkin saja pintunya macet. Dan lagi-lagi sesuatu yang berat menahanku untuk masuk kedalam.
Aku penasaran. Jelas aku berhasil memutar knop, itu tandanya pintu tidak dikunci. Hanya saja ada sesuatu yang menahan gerak pintu dari dalam.

“Hei! Siapa di dalam?” Bentakku karena kesal.

“……………………………”

“Cuk!!!”
Akhirnya aku mendorong dengan setengah mendobrak pintu itu beberapa kali dan berhasil. Pintu sedikit menganga. Aku berusaha mengintip dari sedikit celah.

Mataku tak sengaja menatap kearah bawah. Aku terlonjak kaget. Pasalnya yang kulihat ada sebuah buntalan kain putih lusuh-
tergeletak menghadang pintu.

“Cuk! Apa itu?”

Sontak aku berhenti mendorong dan membiarkan pintu tertutup kembali.

Aku terdiam beberapa saat. Jantung berderu kencang. Aku mencoba mengatur nafas beberapa dan mengumpulkan pikiran postif. Tak lama kemudian…
“Pasti karung beras.” Ucapku pada diri sendiri.

Aku kembali mendekati pintu samping, mengambil ancang-ancang untuk kembali mendobrak pintu samping dapur.

BRAK!

Aku berhasil membuka itu dengan mudah. Aku melongo. Menengok sekitar.
Pasalnya sesuatu yang mengganjal itu sudah tak tampak lagi. Apa tadi salah lihat? Lagi, aku merasa merinding disekitar tengkuk.

Ah sudahlah lebih baik segera kembali ke kamar. Mungkin itu hanya khayalanku saja. Pikirku. Aku kembali menutup pintu dan mengunci dari dalam.
Sesampainya dikamar aku segera berganti pakaian dan merebahkan diri diatas ranjang.

Mataku melihat langit-langit, pikiranku sedikit kacau mengingat hal aneh yang baru saja terjadi di pintu samping dapur. Setelah melamun beberapa saat dan rasa kantuk mulai menggelayuti,-
kuputuskan untuk segera mematikan lampu kamar. Kebiasaanku adalah tidur dalam kondisi gelap. Tepat sesaat aku mematikan lampu dan akan merebahkan diri, kulihat sosok buntalan putih duduk tertekuk diatas lemari kayu jati.
Aku tersentak. Meski gelap aku masih bisa melihat hal itu dengan cukup jelas. Sontak aku berlari kearah saklar, memencet tombol nyala kemudian.

Namun sosok buntalan berwarna putih itu sudah tak ada. Lagi, jantungku berderu kencang.
Meski sekilas aku benar-benar yakin melihat sosok itu. Sosok mirip POCONG.

“Cuma itu?” Tanya Hanum kemudian setelah yakin adiknya mengakhiri ceritanya.

“Iya mbak. Aku yakin itu pocong. Aku benar-benar jelas melihatnya.” Ucap Angga menggebu-gebu.
“Kamu yakin itu buka guling yang kamu taruh diatas lemarimu sendiri?” Tanya Hanum setengah tertawa.

“Ya sudah kalau mbak nggak percaya!”

TUT!
Angga memutus telpon begitu saja. Hanum kembali menghela nafas. Sepertinya ia harus mempercepat hari kepulangannya tanpa menghadiri perpisahan KKN di desa.
Setelah kejadian itu Angga belum berani mematikan lampu kamarnya sendiri. Ia memilih tidur dengan lampu menyala, meski harus rela menahan sedikit sesak karena harus menutup kepalanya dengan bantal maupun guling.
Karena setiap kali ia memadamkan lampu, sosok buntal berwarna putih itu seperti terlihat di sudut-sudut kamarnya.

Sore itu Angga begitu Lelah. Ia pun langsung menenggelamkan diri di atas ranjang empuknya tanpa berganti pakaian. Entah sudah berapa jam ia tertidur.
Tau-tau kamarnya sudah gelap begitu saja.

Sial! Ia lupa menyalakan lampu.

Dengan mata yang kini sudah benar-benar tersadar, Angga beranjak dari posisi rebahnya dan berdiri dari ranjang. Saat pertama melangkah, kaki kanannya menubruk sesuatu yang keras.

BUGH!
“Asu!” Umpatnya
Angga tertunduk kebawah. Kontan ia menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Baru saja ia tak sengaja menendang sebuah buntalan putih ikat tiga sebesar manusia.

Matanya sudah terbiasa dengan gelap dan bisa melihat dengan cukup jelas. Sosok itu terdiam.
Dengan tubuh gemetar Angga melangkah pelan melompatinya.

Saat menuju kearah saklar, Angga mendengar suara orang terbatuk-batuk dengan keras dibelakangnya. Angga berusaha mengabaikan, namun batuk itu semakin keras, berganti dengan suara batuk yang beradu-
dengan suara orang ingin muntah.

Angga mulai memencet tombol saklar, lampu malah tak menyala. Ia mencoba memencet saklar berulang kali, namun hasilnya masih sama. Lampu tak juga mau menyala. Dengan terbata-bata Angga membaca surat-surat pendek yang dihafal.
Lalu, sesuatu menggelinding berat menabrak kakinya. Disaat yang sama lampu berhasil menyala.

Angga yang terkaget menoleh, dilihatnya pocong itu benar-benar menampakkan diri dibawah pandangannya.
Wajah hitam dengan mata melotot sempurna, memandang tajam pada Angga dengan mulut menganga.

“BAPAAAKKKKKK ADA POCONG!!!”

Dan seketika pandangan Angga berubah menjadi gelap seluruhnya.

***
Pak Hasan menghisap rokok khidmat dari sela-sela jari telunjuk dan jari tengahnya, ditemani dengan segelas cangkir kopi yang masih mengepul di atas meja.

“Rokok Pul?” Tawarnya sembari memindahkan posisi rokok berbungkus warna merah mendekat ke Pak Saiful, suami Bu Sri.
“Nggak San. Makasih. Aku sudah mulai berhenti.” Ucapnya sembari mengulas senyum tipis.

Pak Hasan mengangguk mengerti, menyadari sepupunya ini memang sudah bertekad untuk berhenti merokok semenjak istrinya terkena diagnosis Tumor Payud*ra.

“Gimana keadaan istrimu?”
“Yah sudah agak membaik. Hanya saja aku sedikit khawatir dengan apa yang diigaukannya selama beberapa hari ini.”

“Mungkin karena penyakitnya. Jadi ia sering mengigau macam-macam.” Ucap Pak Hasan menenangkan.
“Ah bukan itu. Aku sudah pastikan dia rutin check up dan meminum obatnya. Dokter bilang malah faktor stres.” Pak Saiful menghela nafas sejenak.

“Maksud kamu?”

“Sri bilang beberapa kali melihat penampakan pocong.”

Pak Hasan menoleh sembari memajukan posisi badannya menghadap-
Pak Saiful. “Sejak kapan?”

“Sudah sepekan ini. Hanya saja aku tak pernah melihat pocong yang dimaksud si Sri.”

“Mungkin karena ‘dia’ belum menampakkan diri padamu Pul. Tolong, kamu jangan meremehkan hal ini.” Ucap Pak Hasan dengan mimik serius.
Meski bukan paranormal atau memiliki kemampuan indra keenam, Pak Hasan masih sangat mempercayai hal mistis. Karena di lingkungan tempat tinggalnya sudah terbiasa bersenggolan dengan hal-hal semacam ini.
“Tapi di rumah tak pernah terjadi hal seperti ini sebelumnya. Rumahku bukan rumah angker atau bekas sesuatu yang aneh-aneh. Kau tau sendiri bagaimana sejarah kompleks lingkungan ini selain daripada bekas tanah sawah.”

“Bagaimana dengan rumah tetanggamu yang sudah dibiarkan-
kosong hampir dua tahun itu? Rumah yang dibiarkan kosong akan menjadi tempat singgah baru bagi pemilik penghuni dunia lain.” Selidik Pak Hasan.

Pak Saiful menggeleng pelan “Tidak San. Selama ini kami sendiri juga tak pernah melihat sesuatu yang ganjil dari rumah Pak Anto.-
Dan kalaupun ada, ‘itu’ tak pernah mengganggu kami maupun tetangga sekitar.”

Pak Hasan terdiam dan berpikir sejenak. Matanya menerawang suasana malam kompleks didepan rumah Pak Saiful. Tampak beberapa orang sudah jarang berseliweran lagi saat itu.
“Mungkinkah… itu pocong kiriman?” Tebak Pak Hasan ragu.

Dahi Pak Saiful mengkerut memandang sepupunya tak percaya “Bagaimana bisa?”
“Bisa! Pakdhe Anom pernah mendapat pasien yang katanya mendapat kiriman genderuwo untuk mengganggu keluarganya. Menurutnya demit-demit seperti itu bisa dikirim kepada sasarannya dengan maksud mengganggu keluarga yang dibenci ataupun saingan bisnisnya.”
Pakde Anom adalah tetangga sekaligus paman dari istri Pak Hasan, yang mana ia memang dikenal sebagai orang pintar dilingkungannya.
(Di daerah sekitar ujung timur jawa sana memang sudah menjadi hal yang lumrah tentang hal-hal ghaib yang berhubungan dengan dukun, santet, kiriman, ngilmu, maupun pesugihan).
“Tapi seingatku aku sedang tak punya masalah dengan siapapun. Mungkinkah saingan bisnisku?” Gumamnya bertanya-tanya.

“BIsa jadi!” Sahut Pak Hasan antusias.
Tak lama kemudian keduanya dikagetkan oleh teriakan seseorang dari dalam rumah, hingga membuat mereka terlonjak kaget dari tempat duduknya.

“BAPAAAKKKKKK ADA POCONG!!!”

“Loh? Itu seperti suara Angga.”
Tanpa berkata apapun Pak Saiful segera berlari memasuki rumah disusul dengan Pak Hasan dibelakang. Betapa terkejutnya mereka saat membuka sebuah pintu kamar dan mendapati Angga sudah terkulai lemas di atas lantai dalam kondisi tak sadarkan diri.

*
Pak Saiful berusaha menyadarkan anaknya yang masih terkulai dengan menepuk pipi bahkan menyipratkan air di wajah Angga, namun tak membuahkan hasil.

Sang ibu yang terbangun sempat shock melihat kondisi anaknya yang demikian. Untungnya Bu Sri tidak histeris bahkan ikut membantu-
dengan mengoleskan minyak angin di sekitar hidung Angga agar segera tersadar.

Tak beberapa lama kemudian Angga membuka kelopak matanya. Namun mulutnya tak berhenti bergumam dan berusaha menjelaskan apa yang baru saja ia lihat, meski dalam keaadaan lemas.
Pak Saiful berusaha menenangkan anaknya. Dibantu dengan dengan Pak Hasan, keduanya berhasil membopong Angga ke atas tempat tidurnya. Mata Angga kembali terpejam.

Setelah itu ketiganya meninggalkan Angga sendirian dikamar. Pak Saiful, Pak Hasan, dan Bu Sri memutuskan berdiskusi-
di ruang tamu.

“Apa kubilang Pak. Bahkan Angga sendiri sudah melihatnya.” Ucap Bu Sri meyakinkan suaminya.

Pak Saiful tampak memijit-mijit ujung pelipisnya. “Ntahlah buk.”
Bu Sri kini menatap Pak Hasan. “Kamu percaya kata-kataku kan San. Aku tau suamiku sudah menceritakan tentang ini padamu. Tentang apa yang kulihat, bahkan sekarang Angga.”
“Iya mbak. Aku tau dan mengerti. Mbak Sri tau pakde Anom bukan? Paman istriku. Mungkin beliau bisa membantu.” Jawab Pak Hasan.

“San!” Tegur Pak Saiful kemudian. Ntah kenapa antara logika dan kenyataan masih bersitubruk di dalam kepala.
BRAK!

Tiba-tiba terdengar suara pintu terbanting. Tak lama kemudian tampak Angga sudah berdiri dihadapan ketiganya dengan mata melotot. Ketiganya tercengang melihat Angga yang demikian terutama Pak Saiful.

***
“Hah? Angga kerasukan? Kok bisa pak?” Ucap Hanum tak bisa menahan keterkejutannya.

“Iya. Maaf Num bapak baru bisa ngabarin hari ini. Karena bapak nggak ingin mengganggu kegiatan KKN kamu.”

Hanum menghela nafas Panjang. Menatap layar ponsel sejenak. Lalu kembali meneruskan-
pembicaraannya. “Kapan itu pak? Dan bagaimana itu bisa terjadi?”

“Yah, kamis pekan lalu.”

‘Berarti enam hari yang lalu?!’ Batin Hanum kemudian.

Dengan suara khasnya yang berat, Pak Saiful mulai menceritakan apa yang terjadi malam itu.

*
Angga melotot menatap ketiganya dengan mulut tertutup rapat, hanya saja terdengar suara geraman dari sana. Sontak ketiga orang itu beranjak dari posisi duduknya.

“Loh Ngga? Kok sudah bangun?” Tanya Pak Saiful. Pria Paruh baya itu mencoba mendekati Angga,-
namun langsung ditahan oleh Pak Hasan.

“Jangan Pul. Jangan dekati dia.”

Pak Hasan langsung bisa menyadari apa yang terjadi pada Angga. Seolah bisa membaca pikiran Pak Saiful dan Bu Sri yang menatapnya heran, Pak Hasan meneruskan ucapannya.

“Dia bukan Angga.”
“Maksud kamu?” Pak Saiful masih berusaha berpikir positif.

“Apa kalian belum juga menyadarinya. Coba lihat baik-baik.” Peringat Hasan kemudian.
Ketiganya menatap Angga yang masih berdiri kaku ditempatnya. Benar saja, setelah diamati baik-baik pemuda yang ada dihadapan mereka ini tidak terlihat seperti Angga lagi.
Mata yang melotot itu perlahan berubah warna menjadi kemerah-merahan, tulang pipi mengeras hingga menampakkan urat-urat saraf disekitar wajah, dan anehnya lagi raut mukanya berubah menjadi terlihat lebih tua.
Tiba-tiba saja sudut bibir Angga sedikit tertarik keatas, menampakkan sebuah seringai mengerikan. Dan benar saja, Angga langsung mengamuk dan mulai membanting barang-barang sekitarnya.

“Astaghfirullah Angga.” Bu Sri menangkupkan kedua tangannya dimulut melihat kelakuan anaknya.
“Mbak Sri, cepat cari bantuan dari warga diluar!” Pinta Pak Hasan cepat.

Bu Sri menggangguk dan langsung menuju pintu keluar. Menyadari itu Angga malah berusaha mengejar Bu Sri. Bahkan ia sempat menjambak rambut ibunya sendiri, namun berhasil dipisahkan oleh Pak Saiful dan-
Pak Hasan. Bu Sri menangis. Namun kembali Pak Hasan menyuruhnya untuk segera menjauhi Angga dan keluar meminta bantuan.

Sementara itu kedua lelaki paruh baya itu berusaha menahan Angga sekuat tenaga, meski mereka kewalahan dengan tenaga Angga yang berubah menjadi luar biasa.
Tak lama kemudian Bu Sri datang Bersama Pak RT dan beberapa tetangga.

Meski awalnya sempat kebingungan dengan apa yang terjadi, namun para warga yang ada di TKP langsung sigap menolong Pak Saiful dan Pak Hasan yang sedang menahan Angga.
“Kenapa ini pak?” Tanya Pak RT disela-sela membantu menahan salah satu tangan Angga.

“Ini pak, ponakan saya kesurupan.” Jawab Pak Hasan dengan nafas terengah-engah.

Pak RT yang mengerti langsung menyuruh salah satu warga untuk segera memanggil Pak Heru, orang yang dianggap-
berpengalaman menangani hal-hal semacam ini. Kebetulan Pak Heru juga tinggal di kompleksnya.

Lalu datanglah seorang pria berusia sekitar 50 tahunan yang terlihat masih memakai kaos dan sarung mendekati mereka.
Ia adalah Pak Heru.

Tanpa banyak bicara Pak Heru langsung menempelkan telapak tangan didahi Angga, yang mana membuat pemuda itu berteriak lebih histeris dari sebelumnya. Angga meronta lebih keras berusaha melepaskan diri.

Mulut Pak Heru tampak bergerak-gerak cepat, ntah-
merapal mantra ataupun suatu doa. Yang jelas setelah itu tubuh Angga berangsur-angsur menjadi lemah.

Pak Heru pun menyuruh orang-orang melepaskan Angga, mereka pun saling berpandangan. Ragu. Namun Pak Heru meyakinkan bahkan semua akan baik-baik saja.
Dilihatnya Angga masih terbaring dan terdiam. Namun matanya masih melotot, tak berkedip barang sedetik pun. Pak Heru duduk bersila diikuti dengan Angga yang kini ikut duduk bersila juga dihadapan Pak Heru.
Kepala Angga tertunduk sembari kembali mengeluarkan geraman. Pak Heru kembali merapalkan sesuatu. Setelah itu terjadilah komunikasi diantara mereka. Pak Heru mulai menginterogasi makhluk yang merasuki tubuh Angga.
“Sapah be’en?” (Siapa kamu?) Tanya Pak Heru dengan logat khas Madura.

“Wardi.”

“Apa maksodna be’en masok ka bedenna kanak-kanak ri’ih?”
(Apa tujuanmu merasuki tubuh anak ini?)

((Angga menggeram))
Lagi Pak Heru merapal sesuatu membuat Angga semakin menggeram seperti menahan rasa sakit.

“Ajjek e terosaken. Engko’ jek la e soroh oreng jerriya’ bei.” (Jangan diteruskan. Aku hanya disuruh saja).
((Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penyusunan bahasa, karena tidak terlalu fasih bahasa madura)).
Pak Heru berusaha menyuruh Angga mengatakan siapa yang menyuruhnya, namun makhluk yang mendiami tubuh Angga tetap bersikeras tak mau mengaku. Bahkan mengancam, jika Pak Heru tetap memaksa, maka ia akan terus mendiami tubuh Angga selama mungkin.
Pak Heru tampak menyeka peluh disekitar dahi, seolah memang terjadi pergulatan tak kasat mata yang terjadi didalam sana.

Sekitar setengah jam kemudian Angga tiba-tiba ambruk begitu saja. Pak Saiful dan Bu Sri yang khawatir kembali mendekati Angga yang pingsan.
Dari sana Pak Heru langsung memberi penjelasan apa yang sebenarnya terjadi. Jadi sosok yang merasuki Angga memanglah berwujud pocong. Memang ada seseorang yang mengirim pocong itu untuk mengganggu keluarga Pak Saiful dan Bu Sri.
Bahkan orang yang menyuruh pocong itu sempat memberi pesan, jika ingin gangguan berakhir. Pak Saiful dan Bu Sri harus mengirim sejumlah uang dan menanamnya disekitar pohon beringin di suatu tempat.
Pak Saiful dan Bu Sri saling berpandangan heran. Yang benar saja, keluarga mereka diganggu hal tak kasat mata hanya karena ada yang ingin memeras mereka?
Pak Heru tersenyum tipis. “Tapi Pak, Bu. Jangan mempercayai ucapan Jin begitu saja. Mereka ahli tipu daya. Saya curiga tujuannya tak hanya menginginkan uang saja. Tapi ada sesuatu yang lain lagi.”

“Apa itu Pak?” Tanya Bu Sri.
“Ntahlah. Maaf, saya tidak berhasil menemukan jawabannya. Dan pocong kiriman ini cukup kuat Jujur saja ilmu saya hanya bisa mengusir dari tubuh Angga, namun belum mampu untuk mengusir pocong tersebut dari rumah ini dan mengembalikan pada empunya. “
“Jadi, apa yang harus kami lakukan?”

“Saya sarankan, Pak Saiful sekeluarga pindah sementara waktu dari rumah ini.” Saran Pak Heru kemudian.

*
Terdengar desahan nafas berat dari seberang pesawat telpon.

“Num, bapak, ibu, dan Angga mengungsi sementara waktu ke rumah kita yang ada di kota ‘BS’. Kamu masih ditempat KKN kan? Kalau bisa setelah pulang dari KKN langsung kesini saja.-
Jangan pulang ke rumah dulu sementara waktu.” Jelas Pak Saiful kemudian.

Hanum meneguk ludah. Dilihatnya jarum jam di dinding sudah menunjuk angka 10 malam. “I.. Iya Pak.”
“Ya sudah. Kamu istirahat saja. Jangan terlalu dipikirkan. Bapak dan pakdemu sedang mencari solusi saat ini.”

TUT!

Sambungan telpon terputus. Hanum benar-benar sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Ia menatap ke sekeliling kamarnya.
Perasaannya berubah menjadi tak nyaman dengan aura rumahnya sendiri.

Pantas saja saat pulang sore tadi, tak ada siapapun. Bahkan kamar-kamar pun terkunci. Hanum bisa masuk ke dalam karena ia memang membawa salah satu kunci cadangan rumah.
Suasana sepi yang menyambutnya sedari tadi ternyata tak hanya sementara. Bahkan ia mengira keluarganya sedang pergi menginap ke rumah sanak saudara terdekat saja.
Hanum menggelengkan kepala, berusaha menanamkan pikiran-pikiran positif tak akan terjadi apa-apa. Setelah berhasil menenangkan diri, ia menyalakan lampu tidur temaram dan mematikan lampu utama kamar
Hanum mulai merebahkan diri, mencoba tidur. Sudah hampir satu jam matanya terpejam, namun ia benar-benar tak bisa tidur. Bahkan suara detik-detik jarum yang bergerak terdengar begitu jelas di telinga.
BRUK! BRUK! BRUK!

Ada suara sesuatu yang berat tampak berdebum melompat beberapa kali. Hanum mengacuhkan, berharap itu hanya halusinasi.
BRUK! BRUK! BRUK!

Suara itu terdengar semakin jelas mendekati pintu luar kamarnya. Hanum masih berusaha menepis apa yang didengar.
BRUK! BRUK! BRUK!

Hanum tak kuasa menahan mata. Ia pun bangkit dan menyalakan kembali lampu utama. Ia beranjak dari ranjang dan berjalan pelan mendekati pintu kamar. Hening. Suara itu tak terdengar lagi.
Dengan ragu Hanum membuka pintu perlahan hingga terbuka seluruhnya. Namun ia tak mendapati apapun atau siapapun di luar sana. Kosong.

Hanum menutup pintu. Ia menghela nafas lega. Benar, itu semua pasti hanya halusinasinya saja karena terlalu parno dengan cerita bapak.
Hanum kembali merebahkan diri. Ia memejamkan mata.

Suasana makin hening, bahkan ia tak mendengar lagi suara jangkrik yang biasa bersahutan diluar pada malam hari. Sedikit aneh bukan?
Tak beberapa lama kemudian, sisi kiri ranjangnya yang kosong terasa seperti berat sebelah.

Jantung Hanum berdegup kencang. Kebetulan ia tidur membelakangi sisi kiri tersebut. Bulu tengkuk belakang lehernya meremang, tatkala udara dingin menerpa-
bagian belakang tubuh seketika.

Lalu terdengar suara berat orang yang sedang terbatuk. Hanum tak mampu lagi bergerak apalagi menoleh.
Kini Hanum yakin sedang tak berhalusinasi. Ada sosok lain yang sedang berbaring disisinya.

Hanum tak benar-benar sendirian di dalam kamar malam itu.

***
Keesokan harinya Bu Sri dikagetkan dengan suara ketokan pintu yang memburu setelah shubuh.

Ia begitu terkejut melihat Hanum menenteng ‘Duffel Bag’ atau tas travel yang lumayan besar berdiri di depan rumah. Wajahnya tampak Lelah dan sedikit pucat.
Belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, Hanum langsung memeluk ibunya.

“Loh nduk? Kamu kenapa?” Tanya Bu Sri keheranan
Hanum menggeleng namun masih memeluk ibunya erat.

“Ya sudah. Ayo masuk dulu.”

Bu Sri mengajak putri semata wayangnya itu untuk segera beranjak dari-
tempatnya. Hanum mengangguk tanpa berkata apapun, sembari berjalan mengikuti meski dengan posisi masih memeluk sang ibu.

Bu Sri tampak sedikit kesulitan berjalan dengan Hanum yang malah menempel padanya.
“Ini gimana ibuk bisa jalan kalau kamu nempel-nempel kayak gini?!” Tegur Bu Sri sesampainya di ruang tengah.

Hanum mulai melepas pelukan. Terlihat Pak Saiful dan Angga keluar menemui Hanum di ruang tengah.

“Loh Num? Sudah selesai KKN mu?” Tanya Pak Saiful.
Hanum memandang bapaknya dengan mata berkaca-kaca “Hanum kemaren sore pulang ke rumah pak.”

Pak Saiful, Bu Sri, dan Angga saling beradu pandang lalu kembali menatap Hanum penasaran.

“Ha.. Hanum ketemu pocongnya pakkk.” Jawabnya dengan suara bergetar.

***
Dua hari kemudian keluarga Pak Saiful sepakat untuk menemui Pak Anom atas saran dari Pak Hasan di kediamannya.

“Sudah lama ya pul kamu nggak berkunjung. Padahal rumah kita cuma berjarak satu kecamatan. Hahaha.”

Sambut Pakdhe Anom sembari membuka kaleng-kaleng makanan-
untuk disajikan pada para tamunya.

“Iya pakdhe. Maklum, banyak kerjaan.” Kilah Pak Saiful.

Sebenarnya bukan itu alasan sebenarnya. Hanya saja Pak Saiful kurang begitu suka dengan hal-hal berbau klenik dan semacamnya. Karena itu dia jarang mengunjungi rumah Pakdhe Anom.
Mata mereka menelisik ke seluruh ruangan, dimana barang-barang antik dan keramat hampir mendominasi hiasan dalam rumah.

“Jadi begini pakdhe. Rumah kami tiba-tiba jadi dihantui pocong. Padahal hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.” Ucap Pak Saiful to the point.
Pakde Anom mengangguk memahami.

“Ya… ya … ya. Hasan sudah cerita sebelumnya. Sebentar.”

Pakde Anom tampak memejamkan mata sejenak. Tak beberapa lama, ia kembali membuka mata.
“Hmm… Yang mengganggu keluargamu memang pocong kiriman. Dan yang ngirim peliharaannya ini lumayan kuat.”

“Apa pakde tau apa tujuan orang tersebut mengirim pocong itu?”

Pakde Anom menghela nafas.
“Sebenarnya target utamanya bukan kalian. Hanya saja karena si target sedang jauh dari jangkauan, ia jadi kesal. Kebetulan ia juga kurang suka dengan keluarga kalian karena dekat dengan si target. Karena itu sasarannya berubah haluan menjadi keluargamu Pul.”
“Jadi siapa orangnya pakde? Dan siapakah target sebenarnya?” Tanya Pak Saiful penasaran.

Pakde tersenyum simpul. Ia menggeleng dan tidak mau mengatakan apapun. Takut menjadi fitnah katanya.
“Lalu, bisakah Pakde….”

Pak Saiful terdiam sejenak dan melanjutkan perkataannya.
“Hasan bilang pakde berpengalaman menangani hal-hal semacam ini. Jadi, kalau berkenan ….”

“Aku tau Pul kamu paling tidak mempercayai hal-hal semacam ini. Yah, padahal dalam agama kita salah satu rukun iman adalah mempercayai hal-hal ghaib bukan?”
Pak Saiful tertegun. Pakde Anom kembali tersenyum. “Haduh Pul, jangan sungkan. Tenang saja. Pakde akan membantu keluargamu mengatasi masalah ini.”

“Terima kasih pakde.”
“Tapi pul ikuti kata-kataku ya.”

“Ya Pakde?”

“Kalian kembali lagi tinggal di rumah kalian.”
Pak Saiful beradu pandang dengan keluarganya.
“Jadi gini Pul. Kamu dan keluargamu harus segera kembali ke rumah. Karena jika rumah dibiarkan kosong terlalu lama malah akan memancing penghuni lain dari luar untuk menempatinya. Semakin lama ditinggalkan semakin nggak bagus auranya.”

“Ta.. Tapi pakde gimana dengan pocongnya?”
“Untuk sementara waktu kalian harus bertahan dulu. Perbanyak ibadah untuk mengurangi gangguan. Beri pakde beberapa hari. Karena kirimannya cukup kuat, jadi pakde butuh waktu untuk persiapan yang matang dalam mengusirnya.” Jelas pakde Anom kemudian.
Dalam sekejap ruangan menjadi hening seketika. Pak Saiful beserta keluarga tampak kalut dengan pikirannya masing-masing.

Yang benar saja? Dalam beberapa waktu ke depan, mereka terpaksa harus tinggal berdampingan dengan sosok tersebut.

*
Hari itu juga keluarga Pak Saiful kembali boyongan menempati rumahnya atas saran Pakde Anom. Karena masing-masing masih memiliki rasa ketakutan tersendiri, Pak Saiful dan keluarganya sepakat tidur bersama-sama di ruang keluarga.
Angga dan Pak Saiful pun bahu-membahu menggotong kasur matras ditengah-tengah ruangan, tepat di depan TV.

Beberapa malam mereka lewati bersama di ruang tengah tersebut. Meski begitu, tentu mereka tak luput dari gangguan pocong kiriman.
Mulai dari Pak Saiful yang awalnya tak pernah melihat secara langsung hingga akhirnya beliau melihat penampakan itu sendiri.

Saat itu Pak Saiful hendak mengambil wudhu untuk menunaikan shalat di sepertiga malam. Ia berjalan kearah pancuran pet di dekat kamar mandi seorang diri.
Saat gemericik air mulai membasahi wajah, Tiba-tiba Pak Saiful mendengar suara pintu yang dibuka dan ditutup sendiri dari kamar mandi. Suara itu terdengar berulang-ulang seolah memang sengaja dimainkan.

KRIEEETTT… KRIEEEET.. KRIEEEETTT …
Pak Saiful tetap melakukan aktivitas wudhu. Ia tak ingin berpikir macam-macam, selain dari ingin segera melakukan shalat. Meski tak bisa dipungkiri rasa takut mulai menelusup kedalam hati.

KRIEEETT … KRIEEET ….

Saat melewati kamar mandi, mata pak Saiful melirik sekilas.
Benar saja, ia melihat sosok berwajah hitam berbalut kain putih yang diikat berdiri dibalik pintu kamar mandi. Sosok itu menatap tajam dengan wajah datarnya yang sangat mengerikan.

“Astaghfirullah.”
Segera saja Pak Saiful berpaling dan berjalan cepat kembali ke ruang tengah.
Lagi-lagi Bu Sri mendapat gangguan.

Saat ia sedang menyapu pelataran halaman di sore hari, ia dikejutkan dengan penampakan pocong yang tampak mengintip beberapa kali di balik jendela dalam ruang tamu. Hingga usai menyapu pelataran, Bu Sri ragu untuk masuk ke dalam rumah.
Menjelang maghrib Hanum terlihat pulang dari kampus, pada saat itulah Bu Sri baru berani masuk ke dalam rumah bersama sang anak.

Belum lagi mereka juga sering mendengar suara-suara berisik aneh yang terdengar di beberapa ruangan. Padahal saat itu tak ada siapapun di sana.
Pada suatu malam Hanum terjaga dari tidurnya, karena rasa mulas yang teramat sangat.

Diliriknya sisi kanan dan kiri, tak ada satupun anggota keluarganya yang masih terjaga. Mereka semua tampak terlelap di alam tidur masing-masing.
Akhirnya Hanum menggoncang-goncangkan tubuh Angga yang berada di sisi kiri.

“Ngggaaa.. bangun Nggaa.”

“Hmmm……. “

“Ngggaaa bangun dong dek, ehlah.” Gerutu Hanum.

Angga mulai membuka matanya yang masih terasa berat, menatap Hanum kesal. “Apa sih mbak?”
“Anterin mbak ke kamar mandi dong. Kebelet nih.”

“Aduh mbak, gak mau ah. Ngantuk berat nih.” Angga malah membalik posisi tubuh membelakangi Hanum.

Tak menyerah, Hanum kembali menggoncang-goncangkan tubuh adiknya, bahkan kali ini disertai beberapa pukulan yang cukup keras agar-
Angga segera terbangun. Usahanya membuahkan hasil, Angga terbangun dari posisi tidurnya meski dengan raut wajah uring-uringan.

“Anterin mbak pokoknya. Awas kalau nggak! Mbak udah gak tahan ini.”

“Ck… Masa ke kamar mandi aja gak berani?”
“Ya .. mbak takut ketemu mas poci Nggaaaaaa.” Jawab Hanum kesal.

“Angga juga takut mbak!”

“Bodo amat. Pokoknya bangun anterin mbak ke kamar mandi sekarang juga!”

Hanum menyeret Angga setengah paksa. Tak sia-sia ia belajar taekwondo dari SMA. Kekuatannya mampu membuat adik-
laki-lakinya itu berdiri dari tempatnya saat itu juga.

“Diem di sini. Kamu cukup tungguin mbak sampai selesai.”

“Iyhaa..” Angga menguap sembari terduduk di salah satu kursi ruang makan depan kamar mandi.
“Beneran tunggu disini ya. Awas aja kalau sampai ninggalin mbak! Habis kamu!” Ancam Hanum lagi.

Dengan mata setengah terpejam, Angga mengangguk saja. Hanum mulai menutup pintu.

Tak lama setelahnya terdengar suara gemericik air dari kran.
“Deekkk.. kamu masih disitu kan?” Teriak Hanum dari dalam.

“Iyaa mbakkk.”

Suasana kembali hening. Hanum masih berkonsentrasi mengeluarkan ampas-ampas yang menyiksa perut.

“Deekkk.. kamu masih disitu kan?”

“………..”

“Deeeeeeek?”
“Iyaa mbakkk. Angga masih di sini.” Balas Angga.

“Cerewet banget sih.”Gerutu Angga disela-sela rasa kantuk.

Beberapa menit kemudian Hanum yang hampir selesai melakukan aktivitas pentingnya, tiba-tiba saja dikejutkan dengan sebuah suara.

GEDEBUK! GDEBUUKK! BRAKKK!
Lalu terdengar langkah suara orang setengah berlari.
“Deeeeekkk? Ada apa? Suara apa itu?” Tanya Hanum setengah khawatir.

“…………………”

“Deeeeeek? Kamu masih disitu kan?”

“Iyaa mbakkk. Angga masih di sini.”
Hanum menghembuskan nafas lega. Mungkin barusan hanya suara tikus-
saja. Pikir Hanum. 5 menit kemudian, karena tak tenang dengan keheningan yang berlangsung, Hanum kembali memanggil adiknya.

“Deeeeeek? Kamu masih disitu kan?”

“Iyaa mbakkk.”

“Dek. Tadi suara apa ya?”

“Iyaa mbakkk.”

“Dihh… ditanyain suara apa malah jawab ‘iya’ ”
“…………………….”

“Dek?”

“…………………..…”

Karena merasa ada yang janggal, buru-buru Hanum segera menyelesaikan hajatnya meski belum sepenuhnya lega. Seusai mengguyur, Hanum mendekatkan daun telinga di depan pintu.

“Deeeeeek? Kamu masih disitu kan?”

“Iyaa mbakkk.”
Tiba-tiba saja Hanum mendengar suara batuk setelahnya. Jantung Hanum kembali berdegup kencang.

Pelan ia membuka pintu. Matanya mengintip dari sela-sela, menelisik situasi luar ruangan. Hening. Perlahan ia melangkah keluar dari kamar mandi, tepat saat itu tubuhnya menjadi kaku.
Hanum melihat sesosok dibalut kain putih lusuh terikat tiga duduk di salah satu kursi ruang makan. Tepat di kursi yang tadinya diduduki Angga. Hanya saja sosok itu membelakangi posisi Hanum.
“Iyaa mbakkk. Angga masih di sini.” Jawab sosok itu dengan suara yang sangat mirip dengan Angga.
Perlahan Hanum mulai bergerak dari posisinya dengan tubuh bergetar. Sosok itu masih diam ditempat. Hanum bergerak merepet disisi-sisi tembok. Setelah Hanum mencapai sisi pintu keluar dapur ia segera berlari menuju ke ruang tengah secepatnya.

*
Beberapa hari kemudian, Pak Saiful akhirnya mendapat kabar dari Pakde Anom.

“Gimana keadaan kamu dan keluargamu Pul? Baik-baik saja?”

“Yaa, begitulah pakde. Ya bisa dikatakan tidak begitu baik karena makin mengganggu. Tapi syukurlah keluarga saya masih baik-baik saja.”
“Ya.. Ya… Syukurlah kalau begitu. Maaf kalau sedikit membuat menunggu, karena aku juga butuh persiapan yang matang untuk menghadapi kiriman ini. Seperti yang kubilang sebelumnya, yang mengirim cukup kuat, dari ujung wilayah timur sana loh Pul.” Jelas Pakde Anom.
“Iya nggak apa-apa pakde.”

“Persiapkan apa yang kusuruh setelah ini. Besok aku akan datang ke rumahmu. Besok juga Pakde akan mulai ruwatan pengusirannya.”
Pak Saiful menyunggingkan senyum lega meski Pakde Anom tak dapat melihatnya. “Baik pakde. Baik. Terima kasih. Saya tunggu kedatangannya.”

TUT! Sambungan telpon akhirnya dimatikan.

***
Menjelang ba’da ashar pakdhe Anom sudah terlihat datang ke rumah keluarga Pak Saiful. Lelaki paruh baya itu menyambutnya penuh suka cita.

Ujung matanya juga menangkap dua sosok pemuda lain dibelakang Pakdhe Anom. Seolah mampu membaca pikiran, Pakdhe Anom pun menjawab,
“Ini murid-muridku Pul, mereka juga akan membantu proses peruwatan nanti.”

“Oh, begitu pakdhe.” Jawab pak Saiful sembari mempersilahkan ketiganya masuk kedalam rumah.
Pukul 11 malam, kompleks perumahan terlihat mulai sepi. Tampak dua orang pemuda yang dibawa pakdhe Anom menggali tanah dengan sekop dan memendam sesuatu di empat sudut penjuru rumah.

Tujuannya adalah menanam pagar ghaib untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan saat proses-
ritual pengusiran.

Pak Saiful tampak mengintip dari jendela di dalam rumah mengamati aktivitas tersebut. Sebuah tepukan pelan dibahu kanan membuatnya menoleh. Dilihatnya Pak Hasan mencoba memberikan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.
Kedua anak dan istrinya memang tidak ikut serta malam ini, karena memang dititipkan menginap di rumah Pak RT. Hanya Pak Hasan saja anggota keluarganya yang menemani sang empu rumah.
Tak lama kemudian kedua pemuda itu kembali memasuki dalam rumah dengan kedua tangan dan kaki yang kotor dari bekas menggali tanah. Mereka tampak berbicara serius dengan pakde Anom. Setelahnya, Pak Saiful mempersila keduanya untuk membersihkan diri di kamar mandi.
Malam makin larut, Pakde Anom mendekati Pak Saiful untuk meminta ijin murid-muridnya menelusuri seluruh area dalam rumah. Yang mana mereka diberi tugas untuk mencari sumber wujud benda yang menjadi wadah pocong kiriman saat Pakde Anom melangsungkan ritual.
Dan memang benda itu harus cepat-cepat ditemukan. Karena wujudnya tak bisa ditemukan secara kasat mata begitu saja. Pak Saiful mengangguk menyetujui.

Setelahnya pakdhe Anom duduk bersila di lantai ruang tamu sembari memejamkan mata. Di saat yang sama kedua pemuda itu turut-
meninggalkan ruangan, memisahkan diri memeriksa seluruh area dalam rumah.

Setengah jam kemudian, Pak Saiful dan Pak Hasan yang tak jauh dari tempat Pakdhe Anom bersila, dikejutkan oleh suara-suara ramai dari luar rumah.
Seolah memang banyak orang di luaran sana. Karena penasaran, Pak Saiful dan Pak Hasan berjalan ke arah jendela untuk mengintip. Namun hal itu segera dicegah oleh salah satu pemuda, murid dari Pakde Anom yang kebetulan mengetahuinya.
“Jangan Pak! Biarkan saja.” Ujarnya.

“Kenapa dek? Mungkin saja itu para tetangga.” Jawab Pak Saiful heran.

Pemuda yang diketahui bernama Fandi itu tampak tersenyum kikuk “Bukan pak. Itu bukan manusia. Mereka memang berusaha untuk memancing kita.”

“Maksudnya jin?”
“Ya begitulah. Sepertinya mereka bala bantuan yang sengaja dikirim untuk membantu si pocong kiriman.”

“Tau dari mana dek?” Tanya Pak Saiful yang masih penasaran.

“Mbah Anom sudah memberitahu kami sebelumnya. Itulah fungsi memasang pagar-pagar ghaib tadi. Untuk mencegah-
mereka masuk. Saya mohon bapak tunggu disini dengan tenang dan bantu kami dengan doa.”

Tiba-tiba terdengar suara debuman keras dari ujung ruangan yang diketahui adalah dapur. Fandi yang sigap segera berteriak memanggil rekannya.
“Man… Man! Bede e dapor!”
(Man.. Man! Ada di dapur!)

Fandi segera melesat ke ruang dapur, disusul dengan Amman yang ikut berlari setelahnya. Jantung Pak Saiful berdegup kencang. Peristiwa diluar nalar itu kembali berlangsung.
Rasa penasaran meyelimuti hati akan apa yang terjadi di tempat Fandi. Namun Pak Hasan kembali mengingatkan agar tetap mengindahkan peringatan yang mereka berikan sebelumnya.

Keduanya pun kembali terduduk di salah satu kursi ruang tamu sembari membaca doa-doa yang dihafal.
Berharap semoga semua ini segera berakhir.

Pakde Anom kembali membuka mata dan beranjak dari posisi silanya. Dengan mimik serius, lelaki tua itu ikut berjalan ke arah dapur dimana Fandi dan Amman berada.

Tiba-tiba saja suhu dalam rumah menjadi naik secara drastis.
Panas dan pengap yang mereka rasakan. Bahkan kipas angin yang Pak Saiful nyalakan tidak begitu berefek menurunkan suhu ruangan.

Tak berselang lama, keduanya mendengar suara geraman dari arah dapur. Karena tak sanggup lagi menahan rasa penasaran, Pak Saiful pun segera beranjak-
dari tempatnya meski sempat dicegah oleh Pak Hasan. Hanya saja sesampainya di sana, ternyata pintu dapur sudah dalam keadaan tertutup.

Dari dalam ia mendengar keributan. Seperti suara orang yang memang sedang melakukan pergulatan. Ntah apa yang terjadi di dalam sana.
Yang mampu mereka lakukan hanya ikut menunggu di depan pintu dapur yang tertutup itu.

Suara pergulatan itu makin terdengar menegangkan, belum lagi suara riuh yang kini makin terdengar jelas di luar rumah. Benar-benar mencekam.

BRUKKK BRUKKK!
Pintu dapur berderu beberapa kali seolah ada yang berusaha mendobrak keluar dari dalam. Hal itu membuat Pak Saiful dan Pak Hasan langsung memundurkan kaki beberapa langkah.

“Fandi.. Tahan Amman!” Teriak Pakde Anom dari dalam sana.

BRUK!! BRUKKK!!!
Kejadian tersebut berlangsung cukup lama, hingga akhirnya pintu yang berusaha di dobrak tiba-tiba menjadi hening seketika.

Malam itu terasa sangat panjang bagi Pak Saiful. Pasalnya, proses peruwatan yang dilakukan ternyata tidak berjalan mudah.
Ntah sudah berapa lama mereka bertiga bergulat dengan sesuatu tak kasat di dalam sana.

Hingga akhirnya daun pintu itu mulai bergerak, bergeser menampakkan celah hingga terbuka semua.

Dilihatnya Pakde Anom berjalan lunglai sembari dipapah oleh kedua muridnya.
Raut wajah ketiganya cukup pucat dengan peluh-peluh yang jatuh dari dahi masing-masing. Menampakkan kelelahan yang nyata.

Pak Saiful dan Pak Hasan yang melihat, segera saja ikut membantu mereka. Didudukkannya orang tua itu disebuah sofa Panjang.
Setelah meneguk air putih yang diberikan Pak Hasan dan Pakde Anom mulai bisa mengatur nafasnya kembali secara normal. Pak Saiful yang tak sabar langsung mengajukan pertanyaan.

“Gimana dhe?”

Pakde Anom tersenyum tipis.
“Tak usah khawatir Pul. Aku sudah berhasil menangkapnya.” Jawabnya sembari menunjukkan sesuatu yang dibungkus kain mori di salah satu genggaman tangan.

“Apa itu pakde?”
“Ya ini. Yang dipake buat nerror keluargamu. Isinya Pocong Kiriman yang bernama Wardi itu. Mau lihat?”

Pak Saiful begidik ngeri dan langsung menggeleng menolak. “Gak usah Pakdhe. Jadi pocongnya sekarang benar-benar hilang kan dari sini?”
“Ya iya lah. Mungkin dukun yang ngirim bakal kalang kabut nyari ingon-ingone (peliharaannya).”

“Lalu, apa dukunnya bakal ngirim pocong lain buat keluarga saya?” Tanya Pak Saiful sedikit khawatir.
“Kamu gak perlu cemas Pul. Rumah kamu sudah kupagari. Besok tinggal sisa pembersihannya. Yah, melawan kiriman itu memang cukup berat. Untung saja, aku sudah mempersiapkan semuanya dengan matang. Jadi, yang ngirimin kamu dalam beberapa waktu gak akan bisa berbuat macam-macam.
Kemungkinan besar juga kapok!” Jelas Pakde Anom sembari tersenyum misterius.

Meski kurang begitu paham akan pernyataan Pakde Anom, terbesit kelegaan yang luar biasa di dalam hatinya.

“Terima kasih Pakde. Terima Kasih atas bantuannya.”

***
Dari yang Banana dengar, memang Pak Saiful beserta keluarga sudah berhasil lepas dari gangguan pocong kiriman itu.

Tentang keberadaan Pakdhe Anom dan apa yang ia lakukan pada pocong kiriman tersebut selanjutnya, Banana juga kurang mengetahui, karena si narasumber tidak-
menjelaskan secara rinci tentang apa yang terjadi. Demikian thread “Teror Pocong Kiriman” ini Banana akhiri.

Mon maaph akhirnya malah gak jadi utas pendek ternyata 😅.
Mon maaph juga sebelumnya sudah menggantung akhir cerita cukup lama.

SEKIAN dan TERIMA KASIH! Sampai jumpa di thread selanjutnya.

-SELESAI-
Yang terakhir, sekalian mo nge-tag mamen @ceritaht . Akhirnya dah kelar euy😎.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Nana is me

Nana is me Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @chillbanana313

Oct 15, 2021
God Damn it! Sial kesel banget gw 😡. Baru dapet berita ponakan gw yang lagi di pesantren mengalami kekerasan fisik dari kakak kelasnya. Dipukulin sampe babak belur bareng ke 6 temennya.

Please, ini pesantren loh ya. God! Rasanya pgn gw samperin kesono liat kondisi dia 😭.
Fyi, dia baru kelas 3 SMP. Dia di pondok tahfidz. Disana emg diwajibkan berbahasa inggris/arab sbg conversation sehari².

Masalah pemukulan sepele sebenernya. Hanya karena ponakan gw ga sngaja ngmg bhs jawa-indonesia ma temen²nya pas di kmr asrama.
Terus gak sengaja ketahuan ma pengurus OSIS nya.

Nah si OSIS nya ini melakukan hukuman fisik yg bener2 keterlaluan sih. Sumpah! Kenapa lo sampe mukulin anak org woy! Padahal lo aja masih teenager.
Read 4 tweets
Aug 22, 2021
--PENGALAMAN MISTIS SELAMA MENULIS THREAD HOROR--

Apa kalian tau? Mereka suka jika dibicarakan...

@bacahorror @ceritaht
@IDN_Horor @Penikmathorror
Hai para pecinta cerita horror..

Gw nulis ini sambil nyicil thread “KOST” kuy lah. Gak usah khawatir bakal digantungin ya.

Jadi gini, gw mau berbagi sedikit pengalaman mistis selama menulis thread horror. Sekaligus menjawab rasa penasaran kalian yang sering nanya…
“Eh nulis thread horror gitu sering dapet gangguan nggak sih?”.

Sekarang gw jawab”IYA sluuuuur. Diganggu gw!”

Nggak tau lagi deh kalo threader yang lain. Tapi gw pastiin hampir kebanyakan sih, ya iyaa pasti ngalamin suatu kejadian. Nggak mungkin adem ayem aja.
Read 53 tweets
Aug 20, 2021
--KOST--

Gadis itu berubah menjadi penyendiri. Tanpa kami sadari, dia telah membawa sesuatu yang mengerikan di hunian ini.

A Horror Thread

@bacahorror #bacahorror
@ceritaht
@IDN_Horor
@bagihorror #bagihorror Image
Kata Pengantar dulu..

Haiiii… ada yang kangen thread kentang Nana?
Iya mon maaph buat para follower lama Banana yang udah digantungin thread “Kost” sampe jamuran. Dah banyak yang lupa kali ya 😭. Karena itu buat penebusan dosa kali ini, cerita bakal author posting sampai tamat.
Read 574 tweets
Aug 13, 2020
-- K O S T (Part 1) --

A Thread
.
Aku selalu merinding jika harus menceritakannya. Mengingat kenangan seram yang pernah terjadi. Peristiwa-peristiwa ganjil yang kualami saat masih menjadi mahasiswa kost dulu.
.
#bacahorror @bacahorror
@ceritaht @IDN_Horor
Cerita akan saya posting saat penulisan sudah selesai.

Doakan semoga nanti malam sudah bisa update ya...

📝📝📝
Halooo...
Selamat malam ...
Nana udah siap menemani malam jum'at kalian..
Read 62 tweets
Mar 19, 2020
(Based from True Urban Legend)

M O N T I A N A K
a.k.a "MatiAnak"
.
.
@bacahorror #bacahorror
@ceritaht #threadhorror
.
.
A Horror Thread Image
P R O L O G

Suara nyaring kentongan yang dipukul berulang-ulang berhasil memecah keheningan malam hampir di seluruh pelosok desa. Warga yang mendengar sontak terbangun, sebagian besar langsung keluar dan menghampiri sumber suara.
Sedang yang lain hanya berani mengintip dari pintu dan jendela rumah masing-masing.

Meski rasa penasaran menggelayuti, namun anak-anak dan wanita yang mengetahui kodratnya tetap berada dibalik rumah. Pasalnya, malam tak pernah ramah bagi mereka,-
Read 270 tweets
Nov 15, 2019
(Based on true story)
.
.
Ini kisahku saat mengikuti Jumbara, disalah satu tempat yang sangat angker. Tempat bekas pembantaian PKI terbesar yang pernah terjadi dikotaku.
.
-A Thread-
.
.
@bacahorror #bacahorror #threadhorror
@bacahorror Apa kalian termasuk siswa/i yang dulu atau sekarang pernah aktif dikegiatan ekstrakulikuler sekolah? Bukankah kegiatan ekstrakulikuler begitu menyenangkan?

Harusnya sih. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita mau mengikutinya bukan?
Aku termasuk anak yang gemar mengikuti kegiatan-kegiatan tambahan diluar jam wajib pelajaran sekolah. Salah satunya PMR. Aku terbilang aktif saat menginjak bangku SMP.
Read 352 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(