, 352 tweets, 46 min read
My Authors
Read all threads
(Based on true story)
.
.
Ini kisahku saat mengikuti Jumbara, disalah satu tempat yang sangat angker. Tempat bekas pembantaian PKI terbesar yang pernah terjadi dikotaku.
.
-A Thread-
.
.
@bacahorror #bacahorror #threadhorror
@bacahorror Apa kalian termasuk siswa/i yang dulu atau sekarang pernah aktif dikegiatan ekstrakulikuler sekolah? Bukankah kegiatan ekstrakulikuler begitu menyenangkan?

Harusnya sih. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita mau mengikutinya bukan?
Aku termasuk anak yang gemar mengikuti kegiatan-kegiatan tambahan diluar jam wajib pelajaran sekolah. Salah satunya PMR. Aku terbilang aktif saat menginjak bangku SMP.
Kalau Pramuka ada yang namanya Jambore, di PMR disebut dengan JUMBARA (Jumpa Bhakti Gembira PMR).

PMR untuk tingkatan SMP disebut dengan PMR Madya.
Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Hanya saja aku pernah mengalami kejadian mistis tak terlupakan saat mengikuti salah satu kegiatan akbar didalamnya.
Ini kisahku saat mengikuti Jumbara tingkat Madya dan Wira, disalah satu tempat yang sangat angker. Tempat bekas pembantaian PKI terbesar yang pernah terjadi di wilayah 'K'. Di sana di 'Kebun Djengkol'.
(Semua nama tokoh/julukan/ istilah disamarkan untuk menjaga privasi).
Sejak shubuh aku begitu bersemangat kesana kemari, sibuk mempersiapkan sisa perbekalan yang belum sempat kuselesaikan tadi malam.

Terkadang aku berteriak pada ibu, bertanya tentang barang-barang apa yang lupa kuletakkan.
Ditengah kesibukannya menyiapkan bekal makanan, ibu tetap cekatan mencarikan apa yang kumaksud. Mata ibu juga luar biasa sekali, begitu mudah menemukan apa yang tak bisa kutemukan sedari tadi.

Sekali lagi kutelusuri perlengkapan perang yang akan kugunakan selama 7 hari nantinya.
"Topi, slayer, badge, pin, buku saku, buku materi, rompi, seragam.. telu, kaos olahraga. Wes siap kabeh. "

(Topi, slayer, badge, pin, buku saku, buku materi, rompi, seragam ... tiga, baju olahraga. Sudah siap semua).
Ucapku pada diri sendiri.
Kulihat jarum jam dinding sudah menunjukkan pukul 6.35 pagi. Aku menepuk dahi membodohi diri. Kurang 15 menit lagi harus sudah sampai disekolah. Karena tepat jam 7 pagi harus sudah berangkat ke bumi perkemahan.
"Wes mulai iki pasti pengarahane."
(Pasti sudah mulai ini pengarahannya).

Aku menyesali sifat burukku yang suka ngaret ini. Kudengar suara ibu yang lantang mengomel tentang angka jam dari luar kamar.
Dengan tergopoh-gopoh kumasukkan kembali barang-barangku serampangan ke dalam ransel. Sisanya, seperti topi dan slayer langsung kupakai saat itu saja.

Suara klackson berbunyi beberapa kali. Seusai mencium tangan ibu takzim, kulihat muka sangar bapak yang sudah menunggu-
diatas motor sedari tadi. Aku menunduk sembari bersungut-sungut menaiki motor astrea bapak. Tak berani menatap wajahnya.

Bapak kebalikanku, tipe orang yang tak suka menunggu dan berlaku ngaret.
GADIS CILIK NONI BELANDA

Dan benar saja. Dilapangan sekolah sudah berkumpul para PMR Madya yang membentuk barisan tiga banjar. Kebetulan sekolah kami terpilih mewakili kecamatan untuk acara Jumbara tingkat se-kabupaten kali ini.
Aku berlari, melempar ransel dan beberapa barang bawaanku sembarangan dibelakang barisan, lalu menyusup diantara mereka.

"Wes ket maeng tah?"
(Sudah mulai dari tadi?)
Tanyaku sambil mengatur napas yang masih ngos-ngos an.
"Yo wes ket maeng dhessss. Awakmu ki kok mesti ngaret tow?"
(Ya sudah dari tadi dheeeesss. Kamu kok sering telat sih?)

Aku meringis dan menunjukkan dua jari simbol perdamaian pada temanku Joko.
Tak lama kemudian kedua pembina kami membubarkan barisan. Di sana kami berkumpul pada masing-masing kelompok yang sudah dibagi sebelumnya.

Dimana diantaranya bertugas untuk menata, sekaligus mengumpulkan perlengkapan kemah dan lomba.
"Ki tenan tah sido nang endi? opo jenenge? kebun jengkol?"
(Ini bener jadi kesana? Apa namanya? Kebun Jengkol?)

Tanyaku pada Joko sembari memasukkan tali-tali tandu ke dalam kantung tas perlengkapan.
"Iyo sido. Lha endi maneh?"
(Iya jadi. Lha mau dimana lagi?)

"Aku kok baru krungu yo? Ndak menurutmu akeh jengkol e nang kono? Ambune piye yo?"
(Aku kok baru dengar ya? Apa menurutmu di sana memang banyak jengkolnya? Baunya gimana ya?).
"Gak weruh dheess. Aku yo rung tau mrono."
(Gak tau ya dhes. Aku juga belom pernah kesana).
"Dhass dhess dhass dheeess.. Mbok kiro aku bedhes. Ket maeng lambemu nek nyeluk cek ngelamak e!"
(Dhasa dhess dhaaa dhesss. Kamu kira aku monyet. Dari tadi mulutmu kalau manggil gak sopan bener).
"Ancen kowe kayak bedhes."
(Memang kamu kayak monyet).

Spontan ku toyor kepala Joko yang kurang ajar sekali itu.
Tak lama kemudian, kendaraan transportasi kami yang berupa pick-up dan truk datang. Kami semua pun bergegas menaikkan barang-barang diatas pick-up.

Sedangkan anggota PMR Madya SMP Satu yang berjumlah lebih dari 20 orang beserta sang pembina, menaiki truk kemudian.
Butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai di bumi perkemahan kebun jengkol.

Karena lokasinya yang masih masuk kota, kupikir kami akan berada di wiliyah yang ramai.

Tapi perkiraanku salah.
Ternyata truk memasuki wilayah perkampungan, bahkan kondisi topografinya lebih terpinggir dari desaku.

Jarak rumah penduduk pun masih jarang-jarang. Yang kulihat hanya hamparan kebun-kebun tebu di samping kanan kirinya. Bukan jengkol juga.
Jalanan pun belum beraspal. Laju truk tampak bergoyang-goyang menguji keseimbangan kami. Lalu truk memasuki wilayah mirip hutan. Aku melihat rimbunan pohon tinggi yang cukup padat.

Tak lama kemudian, truk melewati sederet bangunan rumah tua bergaya belanda, seperti wisma.
Mataku menyipit saat menatap seorang gadis, sepertinya sebaya denganku. Ia berdiri dipinggir jalan.

Rambutnya panjang berwarna pirang kecokelatan, hidung mancung, wajah kecil, kulit putih pucat, memakai pakaian terusan berwarna kuning dengan rok model mengembang.
Ia menatapku teduh. Ia cantik sekali tapi kenapa pucat?

Gadis kecil itu sepertinya memergokiku yang terus menatapnya. Ia pun menyunggingkan senyum seraya melambaikan tangan.
Aku yang seolah terhipnotis dengan mata birunya, membalas lambaiannya. Lalu bola mataku bergerak menatap caranya berdiri.

Gadis bermata biru itu berdiri seolah mengambang beberapa centi diatas tanah rerumputan. Aku merasa aneh, namun tetap berpikiran positif.
'Paling o yo mancik watu'.
(Mungkin menginjak batu). Batinku kemudian.

"Jok... Joko.. ono bule ayu."
(Jok.. Joko ada bule cantik).
"Endi? Endi?"
(Mana? Mana?)
Joko melongok, mengintip sekitar.

"Yo wes lewat goblok."
(Ya sudah lewat, bodoh)
"Halah ancen awakmu goro. Mosok tenan ono bule nang daerah pelosok ngene."
(Halah kamu bohong. Mana ada bule di daerah pelosok gini).

"Gak ngandel yo wes. "
(Nggak percaya ya sudah).
Jawabku sambil mencibir pada Joko. Tak sampai 500 meter akhirnya kami sampai juga di bumi perkemahan. Di sana sudah berjejer bermacam-macam kendaraan lain dan tenda-tenda yang sudah didirikan.

**
Als de orchideen bloeien
(Bunga anggrek mulai tumbuh)

Kom dan toch terug bij mij
(Aku ingat padamu)

Nogmaals wil ik met je wezen,
(Waktu kita masih kumpul)

Zoveel leed is dan voorbij
(Kau duduk di sampingku)
Als de orchideen bloein
(Engkau cinta kepadaku)

Ween ik haast van liefdes smart
(Bulan menjadi saksi)
Want ik kan niet bij je wezen
(Dan engkau telah berjanji)

G’lijk weleer, mijn lieve schat
(Sehidup dan semati)

Judul lagu: "Als de orchideen bloeien" (Bunga Anggrek)
Jumbara PMR dibuka dengan meriah seusai mendapat sambutan pidato dari bapak bupati. Disusul dengan pidato lanjutan dari ketua PMI rayon Jawa Timur dan PMI kabupaten.

Acara terakhir adalah pembacaan susunan kegiatan dan lomba Jumbara selama sepekan dari ketua acara.
Meski PMR Madya (Tingkat SMP) dan Wira (Tingkat SMA) bergabung dalam satu acara. Namun lomba tetap diadu sesuai tingkatannya.
Setelah rentetan acara sambutan yang panjang itu usai. Seluruh peserta jumbara yang belum sempat membuat tenda, dipersilahkan membangun sesuai pembagian lokasi sekolah masing-masing.

Kebetulan tenda kelompokku mendapat tempat tepat dipinggir jalan.
Matahari yang menyingsing terik pada awalnya, perlahan-lahan mulai turun menenggelamkan diri.

Para pembina mulai memberi arahan dimana seharusnya kami bisa membersihkan diri, dengan kata lain, mandi.
Di dekat area perkemahan terdapat 5 bilik kamar mandi tua. Temboknya berlumut dan sekitarnya sudah ditumbuhi semak belukar yang cukup lebat.

Ternyata antrian sudah memanjang seperti gerbong kereta api. Kurasa kelompok kami terlanjur telat mengantri
Lalu, beberapa kakak panitia acara memanggil kami yang terlihat kebingungan. Mereka pun mengarahkan kami ke mobil pick up.

Menurut mereka kita bisa mengantri mandi di wisma. Jaraknya tak lebih dari 500 meter. Di sana kamar mandinya lebih banyak.
Kulihat juga sudah banyak pick up yang mengangkut anak-anak lain sudah berangkat.

Tak sampai 5 menit kami sudah sampai. Kulihat bangunan rumah belanda yang kulewati tadi. Entah karena waktu sudah memasuki sore hari, wisma ini terlihat cukup menakutkan dibanding tadi.
Lagi-lagi, kami menemui antrian yang sudah memanjang. Aku dan temanku menggerutu kesal.

Sudah hampir satu jam aku mengantri disalah satu bilik kamar mandi cewek. Namun antrian itu tak kunjung habis.
Kulihat langit sudah berubah warna makin gelap. Tiba-tiba, Tantri salah seorang teman kelompok menarikku keluar barisan. Aku sempat marah, karena dia menghancurkan barisan antrian yang kudapat dengan susah payah.
Tantri pun memberi penjelasan. Ada sebuah kamar mandi di kamar lantai dua.

"Daripada awakmu kesuwen antri nang kene gak mari-mari."
(Daripada kamu kelamaan mengantri gak kelar-kelar antriannya).
Dengan ragu akupun mengikuti langkah Tantri. Kami melewati lorong wisma, lalu menaiki selasar anak tangga yang terbuat dari kayu di pojok ruangan.
Sampailah kami disebuah ruangan yang kuduga memang kamar. Karena disana terdapat ranjang besi tua, lemari, meja, dan kursi model lama. Kulihat dua orang gadis berdiri mengantri di depan pintu.

Benar kata Tantri, dengan begini kami bisa selesai mandi lebih cepat.
Dan segera mengikuti kegiatan jumbara di malam hari dengan tepat waktu.

Tak butuh waktu lama, tinggalah aku dan Tantri di sana. Tantri meminta masuk kamar mandi duluan. Karena ia bilang perutnya mendadak mulas.
Kini aku sendiri dikamar itu. Ya meskipun tak benar-benar sendirian karena ada Tantri didalam sana. Hawa dingin pelan mulai menelusup disela-sela ventilasi, merambati kulit, membangunkan bulu kuduk. Aku mulai merasa tak nyaman.
Aku bukan indigo, hanya saja aku sangat peka dalam merasakan hal-hal diluar nalar logika. Mungkin karena dirumah, aku sudah terbiasa dengan hal-hal ghaib dari barang-barang antik milik bapak.
Sayup-sayup kudengar seseorang bersenandung. Aku menajamkan pendengaran.

"Als de orchideen bloeien ... "
"Kom dan toch terug bij mij ... "

Benar ada suara seseorang yang sedang bernyanyi. Lirih namun bernada riang.
Tokkk Tokkk..

"Tan... awakmu nyanyi ta?"
(Tan... kamu nyanyi ya?)
Tanyaku setengah berteriak.

"Haaa? Opoo?"
(Ha? Apaan?)
"Awakmu nya..nyiiii taaaaa???"
(kamu nya..nyiiiii kah???)

"Oraaa!"
(Nggak!)
Jawabnya lantang.

Rasa khawatir mulai menggelayuti
"Tan, cepetan nek adus. Ojo koyok putri ayu."
(Tan, cepetan kalau mandi. Gak usah lama-lama kayak putri ayu).
Lagi ... kudengar suara nyanyian itu semakin dekat. Semakin jelas.

"Ween ik haast van liefdes smart ..
Want ik kan niet bij je wezen ..
G’lijk weleer, mijn lieve schat ... "

Hening...

"Hihihihi..."
Kurasakan sekelebat bayangan melesat melewatiku. Dadaku berdegup kencang. Suara gayung berdebur keras dari dalam kamar mandi, mengisi keheningan suasana di dalam kamar.

Terdengar suara langkah kaki berlari kecil, seperti bolak-balik melewati luar kamar.
Aku semakin menunduk. Bibirku bergerak membaca surat-surat pendek yang ku hafal. Langkah kaki itu terdengar semakin kencang suaranya.

KRIEEEEET...
Ada seseorang yang duduk, diatas ranjang besi, dibelakangku. Aku tau, karena di rumah juga memiliki-
ranjang besi lama yang sama. Setiap ada yang menaikinya, akan terdengar suara besi berderit dan bergerak.

Aku melirik, tak benar-benar berani menoleh. Meski sekilas, kulihat seorang gadis berambut panjang duduk di atas sana. Kakinya mengayun secara bergantian.
"Want ik kan niet bij je wezen..."
"Kom dan toch terug bij mij ... "

(Dan kau telah berjanji padaku. Untuk selalu sehidup dan semati).
Ia menyanyikan lirik lagu itu dengan suara lirih. Aku terkesiap namun tetap kubaca doa-doa tanpa terputus.

Tak lama kemudian sosok itu beranjak dari tempatnya. Berdiri dan berjalan mendekatiku.
Aku semakin menunduk. Hawa sedingin es menerpa punggung belakangku. Sosok itu semakin mendekat, hanya tinggal beberapa langkah lagi.
CEKLEK..

Suara pintu terbuka. Tantri menampakkan diri dari sana.

Disaat yang sama aku langsung menoleh. Sosok itu menghilang. Aku ingat, pikiranku seperti melaju kencang di dalam kepala. Aku yakin telah melihat seseorang tadi. Mungkinkah itu hanya imajinasi.
Namun bagaimana jika bukan?

"Awakmu kenopo?"
(Kamu kenapa?)
Tanya Tantri yang sepertinya menangkap ekspresi pucatku.

"Ora popo."
(Nggak apa-apa)

"Yowes ndang adus selak bengi."
(Ya sudah. Buruan mandi, keburu malam).
Aku ragu, apakah akan terus melanjutkan mandi atau sebaiknya tidak jadi saja. Tapi kulihat bajuku kembali basah karena berkeringat. Dan pasti baunya aduhay sekali. Aku menghela nafas.
Mendingan mandi saja daripada nanti menyiksa teman setenda dengan aroma semerbak yang kuhasilkan.

Setelahnya aku memasuki kamar mandi, melakukan ritual mandi secepat kilat. Di dalam sana, lagi-lagi aku merasa ada seseorang berdiri dibelakangku.
'Haduh. Adus ae jek diintip demit.'
(Haduh. Mandi aja masih diintip setan)
Keluhku dalam hati.

Aku ketakutan. Namun tetap berusaha bersikap berani. Berharap sosok itu tak mencium rasa takutku. Setelah selesai dan berpakaian, cepat-cepat aku membuka pintu kamar mandi.
Aku melongo, tak ada siapapun di dalam kamar.

"Asem. Tantri ninggal aku." Umpatku kesal.
(Sial. Tantri ninggalin aku).

Sontak aku melangkahkan kaki setengah berlari, meninggalkan kamar itu secepatnya.
Aku berlari, menuruni tangga, dan mulai mengatur nafas saat sudah berada di lantai bawah lagi. Lorong dalam wisma terlihat sepi, tak terlihat seorang pun di sana.

Kudengar langkah kaki berjalan di lantai atas mendekati tangga.

"Hadooh."
Aku memaksakan kaki berjalan kembali menuju arah luar.

Dan benar saja, langit sudah benar-benar kelam. Kulihat masih ada yang mengantri di depan kamar mandi, meski sudah tak sebanyak tadi.

Mataku menelisik orang-orang. Berharap bisa menemukan seseorang yang kukenal.
Dahiku berkerut saat menangkap sosok yang sangat kukenal diantara mereka. Dia berada diantrian pertama, depan pintu salah satu kamar mandi. Akupun menghampirinya.

"Loh Tan? Lapo awakmu nang kene? Jek kebelet ta?"
(Loh Tan? Ngapain kamu disini? Masih mules ya?)
Tantri menatapku heran.
"Lha nyapo maneh? Yo antri adus lah."
(Ngapain lagi? Ya antri mandi lah).

"Adus maneh? Bukane awakmu wes adus ya?"
(Mandi lagi? Bukannya kamu sudah mandi ya).
Tanyaku memastikan.

"Gundulmu. Aku ki jek antri ket maeng."
(Aku ini sudah antri dari tadi)
Deg...

"Ojo goro. Bukane awakmu mari adus bareng aku nak lantai duwur? Awakmu sing ngejak malah."

(Jangan bohong. Bukannya kamu sudah mandi barengan aku tadi di lantai atas? Kamu yang ngajak malah).
"Iyo ancen maeng tak ajak. Tapi kan gak sido. Gegorone lampu nang tingkat duwur kan mati. Teros aku kan langsung balik golek antrian adus maneh. Tak kiro awakmu maeng ngetutne aku mbalik. Ora toh?"
(Iya memang tadi aku yang ngajak. Tapi kan gak jadi. Karena lampu di lantai atas mati. Lalu aku balik lagi cari antrian mandi. Kukira kamu ngikutin balik dibelakangku tadi. Emang nggak jadi ngikutin aku?)
Aku terdiam. Aku berpikir keras. Aku kembali mengingat-ingat. Dan yang kuingat, aku mengikuti Tantri naik ke lantai atas. Lampu sana juga menyala, meskipun cahayanya temaram. Kalau bukan Tantri, siapa yang ku ikuti tadi?

Karena penasaran, aku berjalan kembali ke lorong,-
mengintip kembali arah tangga dari lantai bawah.

Yang kulihat disana memang gelap. Tak ada cahaya lampu sedikitpun.

Aku menepuk pelan kedua pipi dengan telapak tangan. Kudengar suara-suara aneh itu lagi. Aku pun bergegas kembali ke rombongan.
Kami menaiki kembali ke atas bak pick up secara bergantian. Aku menatap ke seluruhan bagian wisma belanda.

Di sana, di salah satu jendela. Kornea mataku menangkap satu sosok mengintip dibalik jendela.
Seorang gadis kecil yang pernah ku lihat tadi. Gadis asing berwajah cantik, berkulit pucat. Gadis yang memiliki mata biru yang sempat menghipnotisku sesaat.

Dimana mata indah itu sudah tak tampak. Berganti cekungan hitam yang kelam dan dalam.
Gadis cilik, noni belanda itu, tak punya bola mata. Tersenyum padaku dengan seringai mengerikan seraya melambaikan tangan.

***
Gambar Bonus Ilustrasi

Source by: Google
PARA PENUNGGU BILIK KAMAR MANDI

Kini akan kuceritakan tentang para penunggu bilik kamar mandi di dekat bumi perkemahan. Ntah bangunan bilik itu masih ada atau tidak sampai sekarang. Aku tidak tahu.

Keesokan hari setelah seharian usai melakukan rentetan kegiatan Jumbara-
sepanjang hari, aku memutuskan untuk mengantri di deret bilik ketiga.

Alasannya kalian bisa kalian tebak dengan mudah. Tentu saja aku tidak mau bertemu dengan noni muda di wisma Belanda itu lagi.
Meski aku tahu, bilik mandi berlumut ini tidak kalah seram penampakannya dari tempat sebelumnya. Sialnya lagi, kali ini aku mendapat antrian paling belakang karena baru saja usai piket membersihkan tenda.

Di depanku ada satu teman sekolahku, Irma namanya.
Aku sempat memohon padanya, agar membiarkanku mengambil antrian lebih dulu. Tentu saja ditolak mentah-mentah. Namun aku mengajukan permintaan lain, agar ia mau menungguku hingga selesai mandi, Irma pun setuju.
Kalian pernah kuberi tahu bukan? kalau aku begitu sensitif dengan dengan hal-hal semacam itu. Ntah orang lain di sini menyadari atau tidak, tapi aku merasa disekitar sini mulai ramai. Mulai banyak suara dengan temperatur suhu rendah dan aura yang mulai berat.
Mengingat senja kala sudah menampakkan wajahnya. Ntah bagaimana ditempat kalian menyebutnya, Sandekala/ Candikolo/ Surup-surup? Yang jelas waktu-waktu ini adalah saat bermain ‘mereka’.
Hanya tinggal 6 orang saja, antrian mandi saat itu juga tidak terlalu banyak. Yah, mungkin beberapa peserta sudah ada yang mencicil mandi disiang hari untuk menghindari antrian berkepanjangan.
Irma mulai memasuki bilik mandi. Tepat disaat pintu terbuka, kulihat ruang bilik temaram di dalam sana. Bercahayakan lampu petromaks yang sudah dinyalakan. Sialnya lagi, mataku menangkap sesuatu tepat di sebelah kanan pintu yang sedang terbuka.
Separuh badan lusuh yang ntah milik siapa. Samar, namun yakin itu benar ada. Belum lagi dibalik pepohonan yang ada dibelakang kami, bisa kurasakan banyak mata-mata mengintip. Mendadak pikiran rindu kamar mandi rumah.

Tiba giliranku, Irma sudah berada diluar, menyuruhku segera-
masuk ke dalam. Sebelumnya kakiku ragu untuk melangkah, kepalaku sedikit melongok, memastikan. Tak kulihat lagi separuh badan lusuh itu. Aku tidak merasa lega sama sekali. Kalian akan tau kenapa.
“Wes ndang mlebu nang njero. Ngenteni opo awakmu? Selak tambah peteng.”
(Cepat masuk ke dalam. Nungguin apa lagi sih kamu? Keburu makin gelap). Tegur Irma kemudian.
Tak mungkin kuceritakan apa yang kulihat tadi, bisa-bisa Irma lari tunggang langgang meninggalkanku sendirian. Aku juga tak mungkin tak mandi, badanku sekarang sudah lumayan gatal. Karena aktivitas padat seharian.

“Kosek.. kosek tow sabar.”
(Bentar.. bentar. Sabar dulu lah)
Irma juga merasa tak tenang, kulihat kepalanya celingak-celinguk menengok sekitar. Tinggal empat orang.

Mungkin hawa negatif yang sudah bertumbuh besar saat ini cukup bisa mempengaruhi Irma, apalagi aku. Melihat gelagat itu dengan terpaksa kakiku melangkah ke dalam.
“Temenan aku ojo ditinggal.”
(Beneran ya aku jangan ditinggal). Ucapku memastikan sebelum akhirnya menutup pintu bilik.

Tak kusangka bilik ketiga ini begitu luas. Tak seperti kamar mandi pada umumnya. Bahkan untuk berjalan mencapai arah bak mandi dari pintu,
membutuhkan sepuluh langkah mungkin. Tepat ditengah-tengahnya ada sebuah tangga kayu menjulang kearah ventilas atap yang ditutup kaca. Ada sedikit bantuan cahaya langit dari atas sana, selain lampu petromaks.
Karena tak ada gantungan apapun dipintu mau pun di tembok, kugunakan saja tangga itu sebagai penggantung baju dan handuk.

Saat tangan mulai bergerak mengguyurkan air, saat itu juga ‘mereka’ muncul. Dugaanku salah jika di dalam bilik hanya ada satu.
Tepat di pojok kanan-kiri belakangku ada dua sosok berdiri di sana.

Bagaimana aku bisa tau? Saat aku memejamkan mata demi melindungi kornea mata dari aliran air. Disaat itu juga, sosok mereka terlihat jelas. Ini bukan seperti kita mengkhayal atau membayangkan sesuatu.
Tapi gambaran itu terbentuk nyata begitu saja. Seolah kami memang sedang berhadap-hadapan langsung.

Saat membuka mata, aku melirik sekilas. Benar saja ada sesuatu dibelakang sana. Lagi, aku memastikan dengan memejamkan mata sembari melanjutkan-
aktifitas membersihkan diri secepatnya. Kedua sosok itu kembali terlihat. Di belakang sebelah kanan ada sesosok kunti, sedang belakang sebelah kiri ada sosok bocah.
Kalian tahu tentang hantu JU ON (urband legend Jepang)? Kurang lebih penampakannya seperti itu, mata gelap, mulut menganga lebar seolah rahangnya memanjang dan hampir terjatuh.

Aku keder dengan penglihatan yang sangat menyeramkan itu. Karena tensi ruangan yang semakin rendah.
Mereka tau aku menyadari entitas wujudnya. Kuntilanak itu semakin menyeringai. Bocah bermulut menganga itu semakin membiarkan rahangnya hampir terlepas bergelantungan.

Mereka tak mendekat seperti noni Belanda, tetap terdiam ditempatnya.
Namun makin terlihat seram, karena itu berarti tak akan mudah keluar untuk dari bilik kamar mandi ini. Aku bahkan berjalan mundur untuk mengambil handuk dan memakai pakaian. Terdengar suara wanita terkekeh.
SREEETT.. SREEETT…
Kali ini terdengar suara rambut yang disisir, namun seperti tersendat beberapa kali.

SREETTT… SREEEETTTT….
Suara rambut yang disisir lagi.

Aku benar-benar berusaha menguatkan hati. Sosok-sosok itu sedikit banyak berhasil menyerang psikis.
Membuat mereka semakin terlihat nyata. Aku berbalik, berpura-pura tak melihat. Dengan langkah cepat berjalan menuju pintu, sialnya lagi pengait kuncinya macet. Mau mati rasanya. Ku Tarik pengait dan engsel pintu kayu sekuat tenaga. Hingga terdengar suara gebrakan beberapa kali.
Kini keduanya saling berhadapan, lebih tepatnya mereka memutar dirinya ke arahku. Terdengar suara hembusan nafas di gendang telinga. Akhirnya, setelah membaca shalawat ketujuh, aku berhasil membuka pengait itu. Aku keluar.
Ku tengok kanan kiri, tak ada siapapun. Lagi-lagi aku ditinggal. Sudahlah bodoh amat, segera kembali ke tenda lebih baik.
BRAKKK…

Pintu kamar mandi menutup dengan sendirinya. Spontan aku yang terkaget langsung berlari. Ketika melewati tembok jalan keluar barisan bilik kamar mandi, aku menabrak seorang pemuda seusiaku.

Aku yang terpental ke tanah, dia yang mengumpat.
“Cuk!!!”
Awalnya pemuda itu terlihat marah karena kutabrak sedemikian rupa, namun ekspresinya mendadak berubah saat melihat wajahku yang pucat pasi.

Aku sempat terbengong sepersekian menit. Bukan, bukan karena terpesona melihat si pemuda layaknya dalam adegan film-film romantis remaja.
Tapi aku berusaha menenangkan diri, setelah beberapa saat kupikir yang kutabrak adalah setan, saking parnonya. Sekali lagi dia menatapku, lalu menatap kearah belakangku.

Tepatnya dideretan bilik kamar mandi. Kemudian menatapku lagi.
Ia hanya menunjukkan ekspresi wajah yang susah kumengerti.

Ia mengulurkan tangan. Namun aku berdiri sendiri sembari memunguti perlengkapan mandiku yang berserakan di tanah.

“Awakmu rapopo?”
(Kamu nggak apa-apa) tanyanya kemudian.
“Rapopo. Sepurane lek aku nabrak.”
(Nggak apa-apa. Maaf nggak sengaja nabrak).

“Opo’ o? Bar ndelok demit a?”
(Kenapa? Habis liat hantu ya?)

Ntah iya memang bertanya atau hanya sekedar menebak-nebak, perkataannya cukup membuatku terkesiap.

“Anu… iku …” (Anuu.. itu..)
“Lha kui mbak kunti karo bocah e lagi ngintip delok I kene.”
(Lha itu itu mbak kuntilanak dan hantu bocahnya ngeliatin kita dari sana)
Ia mengatakannya sembari tersenyum kecil.

Dadaku kembali berdegup kencang.
“Asem.” Ucapku lirih.
Tak lama kemudian datang serombongan peserta perempuan Jumbara lain melewati kami, namun berhenti saat melihat pemuda ini.

“Hai Ajiiiiiii.” Sapa mereka serentak, sembari tertawa-tawa kecil. Ekspresi mereka malu-malu dan terlihat riang, seolah sedang bertemu dengan seorang idola.
Ia membalas dengan anggukan pendek. Aku sendiri merasa ‘Awkward’ melihat pemandangan tersebut. Lalu kembali melihat pemuda yang dipanggil Aji. Ku amati ia dari bawah sampai atas. Dan baru kusadari si Aji ini memang ‘good looking’.
“Engko tampil gitaran maneh kan?” (Nanti perform main gitar lagi kan?}
Tanya salah seorang perempuan berambut Panjang yang wajahnya lumayan.

“Ndelok engko.” (Lihat saja nanti).
“Main yo Ji. Mengko kene ndelok. Gitaranmu penak soale.”
(Perform ya Ji. Nanti kita semua pasti liat. Permainan gitarmu keren banget soalnya). Ujar si gadis berambut Panjang dengan nada sedikit manja.

Aku seperti mau muntah mendengarnya. Kali ini Aji hanya tersenyum, tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Lalu rombongan gadis-gadis itu berjalan meninggalkan kami kearah bilik kamar mandi sembari tertawa cekikikan.

Kini aku memandang Aji lekat dengan mimik penasaran. Aji yang melihat ekspresiku menyipitkan mata.

“Lapo?” (Apa?)
“Awakmu iso ndelok tow?”
(Kamu bisa liat kan?) Tanyaku penasaran.

“Ndelok opo?” (Lihat apa?)
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, sedikit mendekatkan diri. Aji melangkah mundur karena risih.

“Demit.” (Hantu) Bisikku kemudian.

“………………”

“Iyo kan?”
Tiba-tiba Aji tertawa begitu saja. Lalu kembali menjulurkan tangan. “Aku Aji. Soko SMP X.” (Aku Aji dari SMP X).

Ini adalah awal mula perkenalanku dengan salah satu teman indigo di Kebun Jengkol.

**
JURIT MALAM

Aku mengamati pertunjukkan yang disajikan di atas panggung, diantara hiruk pikuk lautan peserta kemah malam itu. Tiap malam usai kegiatan dan lomba, panggung itu tak pernah sepi. Selalu saja ada yang menyumbangkan bakat-bakatnya untuk meramaikan malam perkemahan.
Ntah itu bernyanyi ataupun hanya permainan musik saja.

“Tumben awakmu nang kene? Biasane ngumpul nang jurit malam?”
(Tumben kamu nongkrong disini? Biasanya juga ngumpulnya di area jurit malam). Tanya Devi yang berada disampingku.
Kami semua memang sedang duduk bersimpuh diatas tanah beralaskan karpet terpal yang disiapkan panitia.

Aku melirik “Bariki arep cuss nang jurit malam owg. Ki yo karo ngenteni wong soale”
(Bentar lagi juga pindah ke area jurit malam kok. Ini juga karena lagi nunggu seseorang).
Seorang pemuda tampak duduk diatas kursi, jari-jemarinya memainkan gitar akustik dengan lihai namun santai.

Alunan gitar itu terdengar enak sekali mengiri suara penyanyi pria yang cukup merdu di atas panggung. Kulihat orang-orang disekitarku juga sangat menikmatinya.
“Apik pisan yo pertunjukkan e.” (Bagus juga ya performnya) Ucapku.

“Nang ndi aeeeeeeeeee?” (Kemana aja kamuuuuu kok baru tau) Cibir Devi kemudian. Kukibaskan tanganku padanya, karena suara cemprengnya yang cukup memekakkan telinga.
Tak lama kemudian terdengar sorak sorai dan tepukan meriah yang terarah ke atas panggung. Aku sumringah. Kutatap pemuda si pemain gitar yang memberikan kode sembari tersenyum padaku.

“Yess. Wayahe nang jurit malam saiki.” (Yess. Waktunya pergi ke jurit malam).
Devi menatap heran padaku.
“Loh? Wes arep ngaleh saiki? Iki jek ono perform liyane loh. Gak kalah apik. Emang awakmu ngenteni sopo se iki?”
(Loh? Udah mau pergi sekarang? Ini masih ada perform yang lain loh. Gak kalah bagus juga. Emang kamu dari tadi nunggu siapa sih?)
Daguku menunjuk pada Aji yang kini berjalan kearah kami.

“Karo arek kae.” (Sama tuh anak).
Devi memandang kearah Aji lalu bergantian padaku dengan tatapan tak percaya.
“Awakmu kok iso kenal arek kui?? Kok iso kenal Aji piye ceritane?”
(Kamu kok bisa kenal dia?? Kok bisa kenal anak itu gimana ceritanya?)

Devi mengguncang-guncangkan pundakku dengan bar-bar.
“Yo…. Kee naaaal aeeee. Heh! Ojo ngoyak-ngoyak awakku dess.”
(Ya kenal aja. Heh! Jangan guncangin badanku kayak gini nyet).

“Kenalke aku. Pokok e kudu ngenalke nang aku.”
(Kenalin ke aku. Pokoknya harus dikenalin ke aku). Ancam Farra.

“Yo.”
(*ralat Farra = Devi)

Aku tau, Devi memang tidak bisa melewatkan orang sebening apapun dari hadapannya. Saat Aji menghampiri, bisa kurasakan beberapa mata mengarah tajam pada kami. Ini lebih bikin merinding dari pada diliatin setan apapun.
Akhirnya kuperkenalkan saja keduanya asal-asalan. Lalu aku segera melangkahkan kaki meninggalkan area pertunjukkan panggung, disusul dengan Aji yang sekarang berjalan dibelakangku.
“Ayo. Ayo cepet. Selak ketinggalan akeh cerito medenine.”
(Ayo. Ayo cepet. Keburu ketinggalan banyak cerita horornya).

Aji tertawa “Lah awakmu ki seneng cerito medeni tapi kok yo wedi demit.”
(Lah kamu suka cerita horror tapi kok masih takut kalau diliatin setan).
“Iyo e. Aku wedi, tapi mbuh ya seneng ae ngerungokne cerita ngunu. Seru tur garai penasaran.”
(Iya sih. Aku emang takut, tapi nggak tau kenapa seneng aja kalau ada yang cerita horror misteri gitu. Seru dan bikin penasaran).
Tak lama kemudian kami sudah tiba dilokasi jurit malam. Disana kulihat beberapa orang sudah berkumpul mengitari api anggun.

Salah seorang diantaranya tampak berdiri, serius menceritakan kisah seram miliknya.
Aku dan Aji mengambil posisi duduk bersimpuh lagi dibarisan paling belakang. Kami mendengar cerita dengan seksama. Kadang aku bertanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan si pencerita.
Apa hal itu benar? Bagaimana penampakannya? Lalu seperti apa itu? Aji menjawab dengan lugas, namun terkadang diam tak mau menjawab tentang hal-hal tertentu. Meski kupaksa untuk mengatakannya.
Tiba-tiba mata Aji menatap tajam pada sesuatu. Aku ikut mencari tahu apa yang dilihatnya sampai sedemikian rupa. Kupanggil Namanya beberapa kali, namun tak digubris.

Dari situ aku mulai merasakan hawa merinding. Bulu kudu tengkukku berdiri sempurna.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri mengamati sekitar. Suasana jurit malam masih sama, hening, hanya terdengar suara sang pencerita.

Secepat kilat Aji menarik lenganku kuat-kuat, hingga aku berdiri dengan sempoyongan. Berusaha mengatur keseimbangan.
Dari sana aku tersadar, jika Aji tak menarikku, mungkin gadis berambut pendek ini berhasil menerkamku.

Aku melihatnya, seorang peserta perempuan jumbara tampak mengamuk tiba-tiba. Dan langsung dipegangi beberapa peserta yang lain.
Suasana jurit malam berubah mencekam seketika. Kehebohan itu cukup menarik perhatian.

Gadis itu berteriak histeris, lalu berubah suara menjadi tawa cekikikan, dan berubah lagi merintih, mengerang kesakitan.
“Tuluuuuungg…. Tuluuuuuung golekne sirahku.”
(Tolong. Tolong carikan kepalaku). Ucapnya di sela-sela rintihan.

Lalu datang seorang bapak-bapak setengah baya berpakaian komprang mendekati peserta yang kesurupan.
Bapak itu seperti menggumamkan sesuatu sembari mencengkeram kepala si gadis berambut pendek. Gadis itu meracau dan semakin berteriak histeris.

“Aku mung jaluk golekne sirahku. Lapo malah mbok usir.-
Huaaaa…. Huaaaa….. Tak celokne kabeh bolo-boloku ben kowe kabeh ngerasakne akibate.”
(Aku cuma minta dicarikan kepalaku saja. Kenapa malah diusir. Huaaa … Huaaaa… Aku panggil semua teman-temanku. Biar kalian semua rasakan akibatnya).
Aji makin menarikku mundur, bahkan berpindah posisi memunggungiku. Aku berusaha mengintip apa yang ada dibaliknya dari tubuh tinggi Aji.

Tak lama kemudian, terdengar suara teriakan lagi. Ada peserta lain yang juga kesurupan. Tak hanya perempuan namun juga laki-laki.
Ya benar, terjadi kesurupan massal hanya dalam waktu beberapa menit.

“Na… pikiranmu ojo sampe kosong yo? Dungo-dungo terus.”
(Na… pikiranmu jangan sampai kosong ya. Baca doa terus) Peringat Aji padaku.
Suasana makin mencekam. Meski tak bisa melihat apa yang Aji lihat dgn jelas. Aku bisa merasakan energi-energi tak kasat mata saling berbenturan. Bahkan sekelebat bayangan melewati kami begitu cepat. Tangan-kakiku berubah dingin. Namun punggung belakangku terasa berat dan panas.
‘Aduh gawat.’ Batinku.

“Ji.. Aji… “ Panggilku kemudian.

Aji menoleh “Lapo Na?” (kenapa Na?)

“Iki Ji… gegerku abot. Ono opo iki?”
(Ini Ji. Punggungku berat. Kenapa ini?)

Aku sampai terduduk saking lemasnya. Untungnya aku masih tersadar.
“SIk Na. Menengo yo.”
(Sebentar Na. Kamu diam dulu).

Aji memegang tengkuk belakang dan salah satu jempol tanganku, sembari membaca doa-doa. Aku bisa merasakan suatu energi saling tarik menarik disana.
Hingga akhirnya punggungku tak terasa berat lagi. Alhamdulillah. Hanya saja badanku masih sedikit lemas.

“Weslah ayo. Tak terke balik nang tendo mu ae.”
(Ya sudah. Ayo balik ke tenda lagi).
Saat aku berbalik, tiba-tiba kulihat salah seorang peserta jumbara lain menyeringai tepat didepan wajahku.

“Hihiihihihiiiiiiii..”

Aku yang kaget langsung melangkah mundur seketika.
“Asem.” Umpatku.

Gadis itu masih tertawa melengking sembari menatapku ngeri.
“Ayo nduk. Ewangi aku golek I tanganku.”
(Ayo nak. Bantu aku mencari tanganku).

Gadis itu mengatakannya sambil menggoyang-goyangkan salah satu tangannya, menunjuk kearahku.

“Lha iku tanganmu!” Bantahku kemudian
Aji kembali menarikku. Ntah kenapa hari ini sudah berapa kali badanku ditarik ke ssana kemari. Sakit juga rasanya.

“Minggat o awakmu.”
(Pergi kamu). Bentak Aji pada kemudian.
Kemudian kami meninggalkannya begitu saja. Gadis jumbara itu tampak menatap kami tajam masih dengan suara tawanya yang melengking. Hanya saja tak sampai mengikuti kami. Entah kenapa.

Akhirnya kami sampai ditenda. Kulihat beberapa temanku ternyata sudah tertidur di sana.
Aji mengamati situasi sekitar beberapa saat, lalu berpamitan pergi. Setelah melangkah beberapa meter menjauhi lokasi tendaku, kulihat tepat dibalik punggungnya ada sosok lelaki bertubuh tinggi besar berpakaian kuno menyertainya.
Aku mengucek mataku, namun tak kulihat sosok itu lagi.

“Sopo yo kui?”
(Siapa itu?)
Gumamku heran.

***
KUSIR DELMAN MISTERIUS

Aku masih ingat waktu itu. Ketika petang menjelang dan hampir semua mata pasti terlelap. Aku mendengarnya, suara langkah kaki kuda, lalu roda-roda yang melaju melewati atas tanah. Sesekali terdengar kuda yang meringkik.
Kupikir itu memang delman yang sedang melintas. Sudah kuceritakan bukan? Bahwa tendaku kebetulan terletak di sisi jalan.

Dan benar saja, kulihat sekilas bayangan delman/ dokar yang melintas yang terlihat dari dalam tenda. Awalnya aku berusaha berpikiran positif.
Mungkin saja memang sang kusir baru selesai menarik penumpang. Tapi lama kelamaan merasa ganjil juga. Delman itu selalu melintas antara pukul 1 atau 2 dini hari.

Dan entah kenapa tiap delman itu lewat, aku selalu terjaga. Seolah-olah memang harus menyambutnya.
Aku belum menceritakan hal ini kepada Aji. Aku takut perkiraanku salah.

Bagaimana jika yang lewat itu memang manusia? Dan kusir delman itu memang kebetulan pulang di jam-jam dini hari karena jasanya masih diperlukan hingga larut malam?
Lama-lama makin penasaran juga. Kulihat jam tangan yang selalu melingkar dipergelangan tanganku. Jarum tepat menunjuk angka satu.

Tak lama kemudian, terdengar langkah-langkah kuda, bergerak bergantian. Lalu suara gemericing.
Perpaduan suara yang tentu jelas terdengar dikeheningan malam bumi perkemahan. Aku terbangun dari posisi rebahan, kulirik ketiga temanku yang masih terlelap. Mereka tidak ada yang mendengarnya. Aku menghela nafas sejenak. Ku tatap celah pintu tenda.
Gelap, hanya menyisakan sedikit cahaya api unggun yang nyalanya sudah mengecil. Aku merangkak dan menyembulkan kepalaku saja keluar. Benar-benar sepi.

Aku sangat yakin sudah tak ada yang terjaga lagi, mungkin. Kurasakan angin dingin sepoi-sepoi menerpa wajahku.
PRAKKK PRAKKKK PRAKKKK…

KRICINGGG KRICINGG KRICIIIINGG….

Aku menoleh dan bergerak keluar tenda akhirnya. Sepertinya delman itu sudah bergerak lumayan jauh dari tendaku. Dan itu memang benar-benar delman beserta kusirnya.
Sayang sekali tak begitu terlihat jelas karena minimnya pencahayaan.

Samar kudengar suara wanita cekikikan, saling bersahutan. Hal itu cukup mengagetkan dan menakutiku. Hingga aku langsung saja berlari dan membelasakkan badanku ketika memasuki tenda.
GEDEBUKKK…

“Hancikkk.. Ngageti ae. Lapo awakmu kok malah gedebugan ngene?”
(Sial! Ngagetin aja. Kamu habis ngapain memang?) Umpat Tantri setengah terjaga karena kupepet begitu saja.

“Sepurane. Ono demit nang njobo.”
(Maaf. Ada hantu diluar)
Sahutku dibalik selimut yang sudah menutupi wajahku.

“Demit opo? Ojo meden-medeni awakmu.”
(Hantu apa? Jangan nakut-nakutin kamu)

“Wes … mbuh. Turuo ae pokok e.”
(Gak tau. Pokoknya tidur aja)

HIHIHIHIHIHIIIIIII
Ntah Tantri mendengar suara itu atau tidak, aku tak peduli. Bahkan kurasakan tubuhku diguncang-guncang karena rasa penasaran Tantri, tapi tetap tak kugubris.

Tantri mulai capek sepertinya, lalu membiarkanku. Seiring berjalannya waktu, aku sudah tak mendengar suara tawa lagi,-
karena entah bagaimana sudah terlelap begitu saja.

Malam keesokan hari aku mendengarnya, suara deru delman beserta loncengnya. Kali ini jam 2 dini hari. Mataku memang terbangun, tapi kubiarkan saja.
Mengingat malam lalu malah sambut mbak kunti, meski hanya mendengar suara tawa khasnya saja. Tapi kali ini sedikit aneh, sepertinya delman itu berhenti.

Kulihat sebuah bayangan berdiri di depan tenda. Masih dengan pencahayaan temaram-
dari luar. Namun bayangan itu terlihat jelas dari dalam. Mataku memicing, memastikan apa yang kulihat tidaklah salah.

Apa itu? Bayangan seorang lelaki? Berdiri mematung di depan sana. Tapi bayangan itu membuatku merinding dan membeku seketika.
Karena apa yang kulihat ini akan membuat ngeri siapa saja.

Bayangan itu terlihat tidak utuh sempurna, kepalanya menghilang. Menyisakan setengah leher yang terputus. DItangan sebelah kanan seperti membawa pecut. Aku membaca doa-doa, anehnya bibirku tak mampu bergerak.
Ada apa ini?

Bayangan itu semakin mendekat, mendekat, dan kini tepat berada diluar pintu tenda. Tak kudengar suara hewan malam apapun saat itu, bahkan suara angin yang biasa menggerisik dedaunan keringpun tak ada.
Tiba-tiba saja sepasang kaki kotor dengan sisa-sisa tanah pasir yang melekat, melayang diatasku, sebagian tubuhnya menembus atap tenda. Kurasakan dadaku semakin sesak.

Baru kusadari bahwa aku mengalami 'Sleep Paralyze'.
Aku tidak mampu berpikir jernih karena rasa panik yang mendera. Lalu kudengar suara aneh, tepat diatasku. Suara serak orang yang tercekik.

AAAARRHHKKK AAARRRHHHKK…
Tapi bagaimana bisa tercekik? Jika kepala saja tak punya. Lalu dari mana asal suaranya?

Ntahlah.. Aku tak punya waktu memikirkan hal itu. Suara orang tercekik itu makin menambah kengerianku. Masih kupaksakan ujung jariku bergerak dengan susah payah.
Sepertinya persediaan oksigenku juga makin menipis. Akhirnya aku pasrah dengan pikiran yang masih tetap menyebut nama Tuhan. Hingga akhirnya, mataku benar-benar bisa terbangun.

Sosok itu sudah menghilang. Aku menoleh disekitar, hal apa yang akhirnya membuatku bisa bergerak.
Kulihat tak ada seorang teman setendaku yang menyentuhku. Namun sebuah ranting kayu tergeletak didekat kakiku. Aku memandang keluar tenda, ada seseorang diluar sana.

Kali ini aku yakin dia manusia, meski samar aku cukup familiar dengan sosok itu.
Dengan ragu aku mengendap-endap keluar dari tenda.

“Awakmu lapo nang kene?”
(Kamu ngapain di sini?) Bisikku dengan nada mengancam. Sambil menoleh kanan kiri.

“Sakjane ki aku ngerungokne ‘matur suwun’ loh. Gak malah dicelatu ngene.”
(Seharusnya aku mendengar kata ‘terima kasih’ loh. Bukannya malah dimarahin gini) Jawabnya dengan nada cengiran.

Aku terdiam dan baru kembali bisa berpikir. Rasa panik yang ditimbulkan akibat sleep paralyze benar-benar membuat moodku kacau balau.
Belum lagi jika tertangkap kamtib pembina yang sedang berjaga, pastinya akan menimbulkan kesalahpahaman dan masalah.

“Iyo Ji. Suwun. Hehe.”
(iya Ji. Makasih. Hehe.)
“Iyo. Aku paham lek awakmu wedi ketemon kamtib trus kene dikiro lapo-lapo. Tenang ae, aku wes ngati-ngati kok lan ngecek sekitar. Aman wes pokok e. Gak ono kamtib sing keliling”

(iya aku paham kalau kamu takut tertangkap kamtib lalu kita dikira ngapa-ngapain. Tenang aja,-
aku sudah berhati-hati dan mengecek sekitar. Aman lah pokoknya gak ada kamtib yang berkeliling). Sahut Aji santai.

“Aku temenan suwun Ji. Awakmu kok ngerti lek aku lagi kelindihen?”

(Aku beneran terima kasih JI. Kamu kok bias tau kalau aku lagi ketindihan?)
Aji terdiam sejenak.

“Yo ngerti. Wong mbah (khadam) duduhi awakmu lek lagi kenopo-nopo. Ngunu awakmu kok gak cerito?”

(Ya ngerti. Dikasih tau sim bah (khadam) kalau kamu lagi kenapa-napa barusan. Kenapa kamu gak cerita sebelum-sebelumnya).
Aku masih takjub dengan kemampuan si AJi ini.

“Hehe. Iyo. Aku wedine nek dokar sing lewat kui kusire ancen manungso duk demit. Eh ternyata demit tenan. Pantesan kok ono dokar narik tengah wengi. Ehh ladalah lah kok…”
(Hehe. Iya aku takutnya delman yang lewat itu kusirnya manusia bukan jin. Eh ternyata beneran jin. Pantesan kok ada delman yang narik malam-malam buta. Ehh ladalah ternyata ….)

Aku tak mampu meneruskan ucapanku karena merasa sangat merinding saat mengingatnya.
Tiba-tiba dahiku disentil oleh Aji.

“Makane ojo kemeruh. Ojo terlalu penasaran. Senajan wes kethok aneh gak usah diterusne. Sampe di intip baranng. Gantian kan akhir e dikinthili tenan.”

(Makanya gak usah sok tahu. Gak usah terlalu penasaran. Kalau dirasa sudah aneh jangan-
diteruskan. Sampai diintip segala. Gantian kan akhirnya didatangi beneran).

Aji menuturkan kata-katanya dengan serius tanpa ada nada bercanda sedikitpun. Aku hanya terdiam.

“Kapan-kapan tak critani tentang opo sing kedaden nang kene. Aku gak pengen meden-medeni.
Ben nang ngarepe iso lebih ngati-ngati.”
(Kapan-kapan aku ceritakan tentang apa yang terjadi di sini. Bukan ingin menakuti. Hanya saja kedepannya agar lebih berhati-hati).
Aku memandang ke atas langit. Meski malam begitu kelam dan suram. Untunglah cahaya bulan masih menyinari sekitar. Setidaknya bumi perkemahan malam itu tidak gelap seluruhnya.

***
GANGGUAN-GANGGUAN MEREKA

Aku memandang arloji di pergelangan tangan, jarum jam masih menunjuk angka 10 pagi, tapi langit malah menampakkan wajah mendung.

Aku menghela nafas. Kupandangi ketiga temanku yang masih berdikusi mengenai lomba Pertolongan Pertama,-
dimana memang sudah tiba giliran kelompok kami. Joko dan Anwar bertugas sebagai pengangkat tandu, Vita sebagai korban dan aku sebagai pemandu sekaligus pengarah.

Tak lama kemudian terdengar suara sirine tanda waktu perlombaan sudah dimulai.
Vita yang bertugas sebagai korban mulai memisahkan diri dan berkumpul di pos korban. Sedang kami bertiga mempersiapkan perlengkapan.

Para peserta Jumbara tingkat Madya gelombang kedua berkumpul ditengah lapangan sesuai kelompok.
Tepat disebelah kanan kulihat Aji beserta kelompoknya. Dia memandangku sambil cengengesan.

“Ra jelas.”
(Dasar nggak jelas). Gumamku lirih.

Meski kami berteman baik tapi di medan perlombangan kami tetaplah lawan. Kini ganti kulihat Joko dengan ekspresi aneh, dia menatapku-
dengan senyuman meledek sembari menaik-turunkan alis hitamnya.

“Lapo?”
(Ada apa?) Tanyaku sinis.

“Ngaku wae.”
(Ngaku saja)

“Ngaku opo?”
(Ngaku apa?)

“Awakmu gendak’an karo arek kae tow? Arek sing ben bengi sering gitaran nang panggung?”
(Kamu pacaran kan sama anak itu? Dia yang sering main gitar di panggung acara). Tuduh Joko secara tiba-tiba.

Aku langsung terbatuk-batuk seolah ada biji kedondong yang tiba-tiba saja menyangkut ditenggorokan. Aku dan Aji pacaran? Hahahahaha.
“Heh? Rungokne ya. Aku iki …..”
(Heh? Dengerin ya. Aku ini …)

Belum selesai aku berbicara terdengar suara peluit yang kencang, yang mana cukup membuat telinga para peserta berdenging seketika.

Bagaimana tidak? Suara peluit itu memang sengaja diarahkan kearah mikrofon-
oleh salah seorang lelaki paruh baya yang berdiri di depan para peserta. Ia memberi arahan peraturan tentang perlombaan pertolongan pertama yang akan kami lakukan nantinya.

Hingga akhirnya, para peserta gelombang kedua membubarkan diri menuju ke pos masing-masing.
Joko dan Anwar berjongkok sambil mengikat tali tampar pada dua bilah bambu menjadi sebuah tandu darurat, membentuk simpul-simpul yang kokoh agar mampu menahan beban nanti.

Setelahnya, kupastikan bahwa bentuk simpul sudah benar dan kuat sesuai dengan SOP buku materi-
Palang Merah Indonesia.

Kami pun mulai berjalan menuju pos kedua, mengambil perlengkapan P3K yang mana akan digunakan sebagai simulasi menolong si korban. Aku masih ingat, waktu itu kelompok kami mendapat tugas menolong korban kecelakaan lalu lintas.
Jadi di pos kedua, aku pun mengambil kain kasa, perban, dan kapas yang lumayan banyak sekedar berjaga-jaga jika memang korban menderita luka luar yang cukup parah. Karena kami tak tahu bagaimana kondisi korban nanti di pos ketiga.
Menuju pos tiga ternyata kami harus berjalan lumayan jauh melewati sebuah kolam danau yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Meski masih siang, bisa kurasakan hal yang kurang mengenakkan ketika melewatinya. Bulu kudukku sedikit meremang entah mengapa.
Tak bisa kubayangkan jika aku harus melewati kolam ini sendirian di malam hari. Yang benar saja! Siapa yang mau melakukannya?

Akhirnya kami sampai juga di pos tiga. Kami melapor pada panita penjaga dari kelompok mana kami berasal.
Panitia tersebut memberi kami arahan dimana kami harus menemukan korban kami, si Vita. Dan yang kutemukan adalah Vita tergeletak dengan properti sepeda ambruk berada di sebelahnya -_- . Kepala beserta bagian tangan kakinya dibuat seolah berlumuran berdarah.
Tentu saja darah itu hanyalah tetesan obat merah yg sengaja dibalurkan kemana-kemana, bahkan mengenai bajunya. Ntahlah, aku tak ingin membayangkan bagaimana ia mencucinya nanti.

Dalam rekontruksinya, Vita adalah seorang korban tabrak lari dari sebuah mobil yang melaju kencang.
Dan panitia pun mulai memberikan tugasnya pada kami. Apa yang harus kami lakukan dalam menolong korban kecelakaaan pada pertolongan pertama.

Kami pun mendekati Vita lalu menganalisa seberapa parah lukanya. Kemudian memulai prosedur penyelamatan.
Setelahnya Joko dan Anwar mengangkat tubuh Vita ke atas tandu darurat dengan mudah, karena berat Vita memang cukup ringan. Kuharap kalian mengingat ini.

Kami menandu Vita tanpa kesulitan yang berarti dengan berat badannya. Karena badan Vita terbilang kurus dan kecil.
Hanya saja ketika menuju pos ke empat kami menemukan sedikit kendala yang cukup aneh. Saat melewati sebuah pohon rindang yang besar, tiba-tiba saja Joko dan Anwar hampir menjatuhkan tandu.

Aku sedikit terkejut, apalagi Vita yang hampir terhempas ke tanah.
Untunglah hal itu tak pernah terjadi. Joko dan Anwar berhasil menahan tandu itu tetap mengambang di atas tanah.

“Heh? Opo’o?” Tanyaku spontan.
(Heh? Kenapa?)

“Cuk. Vita dadi abot?” Umpat Joko
(Cuk. Vita jadi berat)
“Gundulmu. Bobotku ae gak sampe 37.”
(Sial. Berat badanku aja nggak sampe 37). Bantah Vita tak terima.

“Sumpah. Kok awakmu dadi abot ngene sih Vit? Bar mangan opo se?” Anwar ikut menimpali.
(Sumpah. Kamu kok jadi berat banget gini sih Vit? Habis makan apa kamu?)
“Guapleki. Aku gak mangan opo-opo War. Sing ono aku malah ditemploki obat merah sak awak. Ojo ngarang lah! Wong maeng awakmu-awakmu ngangkat aku ae yo gak ono masalah.”
(Sial. Aku nggak makan apa-apa War. Yang ada aku malah dibaluri obat merah diseluruh badan. Jangan ngarang lah! Lagian kalian pas ngangkat aku tadi juga gak ada masalah kan).

Aku, Joko, dan Anwar saling berpandangan. Ya memang benar apa yang dikatakan Vita, kami tak ada masalah-
saat menandu Vita dari pos sebelumnya.

Hingga akhirnya entah mengapa pandangan mataku mengarah pada pohon besar yang berdiri kokoh tak jauh dari sana. Seolah ada sesuatu yang memberitahu bahwa kesulitan yang kami alami berasal dari sana. Aku menggeleng-gelengkan kepala
lalu kembali memandang teman sekelompokku.

Bagaimanapun misi kami tak boleh gagal. Akupun ikut memegang salah satu pegangan bambu. Dan itu memang berat sekali, seolah kami memang sedang menahan berat beban orang dewasa.
“Wes rek, gak usah geger. Ayo diterusne neh ben ndang mari tekan pos. Kene tak ewangi nyonggo.”

(Udah, gak usah rebut. Ayo diteruskan lagi jalannya biar cepet nyampe pos. Sini aku bantu pegang penyangganya). Ucapku memberi sebuah ide.
Jujur aku tak ingin berlama-lama di tengah rimbunan pohon yang mirip lokasi hutan ini.

“Heh? Nek weruh panitia kene iso didiskualifikasi.”
(Heh? Kalau sampai ketahuan panitia bisa-bisa kena diskualifikasi). Peringat Joko.
Aku menoleh mengamati sekitar. “Gak ono. Aman. KI tak ewangi nyonggo sampe cedek pos. Tapi rek, matamu awasi sekitar yoan. Jogo-jogo nek ono panitia pengawas.”
(Gak ada. Aman. Aku bantu bawa tandu sampe deket pos. Tapi, tolong awasi sekitar ya. Jaga-jaga kalau ada panitia pengawas nantinya).

Joko dan Anwar saling berpandangan. “Wes, gak usah kakean mikir dhess. Ben ndang nyampe pos. Jare aku abooooot.”
(Udah, gak usah terlalu banyak mikir kalian. Biar cepet nyampe pos juga. Katanya aku beraaaat). Sahut Vita masih dengan mulut mencibir.

Tampak ia masih kesal sekali karena menjadi yang tertuduh secara tiba-tiba.
Akhirnya kami bertiga sepakat kembali melanjutkan perjalanan memandu Vita dengan sekuat tenaga.

Selama dalam perjalanan, beberapa kali tandu mengalami ketidakseimbangan dan hampir terjatuh, karena posisi menyangga yang tak sejajar disertai dengan berat Vita yang berubah-
tak wajar.

Tak lama kemudian, beberapa meter di depan, pos keempat sudah mulai terlihat. Aku pun melepaskan pegangan secara perlahan.

Disana kulihat raut wajah Joko dan Anwar yang terlihat semakin menegang karena menahan beban yang semakin berat.
Kukibas-kibaskan kedua tanganku yang terasa kram.

“Cukkk. Abot tenan.”
(Sial. Berat banget) Umpat Joko sekali lagi.

Aku hanya menghela nafas melihat ketiganya.

KRASAKKK.. KRASAKKK … KRASAKKK…

“Toloooooong! Toloooooooong!”
Spontan kami ber-4 menoleh kesumber teriakan.
Kami melihat tiga orang peserta Jumbara dari kelompok belakang berlari melesat melewati kami. Disusul dengan seorang peserta lelaki lain yang tampak ikut berlari dengan pandangan mata kosong dan bibir yang tertutup rapat.
Anehnya dia berlari dengan tangan bersendekap didepan dada sambil mengejar ketiga temannya yang ada didepan.

"Asem! Opo maneh iki?"
(Sial! Apa lagi ini?)

**
Seperti yang diduga, saat tiba di pos keempat kami menemukan pemandangan yang cukup mencengangkan. Terjadi tarik-menarik diantara satu peserta dengan beberapa panitia.

Bukan! Lebih tepatnya panitia-panitia itu sedang menahan seorang peserta Jumbara yang kulihat berlari-
dengan tangan bersedekap tadi. Meski tak menggunakan kedua tangannya, tapi peserta laki-laki yang kuduga memang kesurupan itu tampak lebih kuat dari 4-5 orang yang berusaha menahannya sekuat tenaga.

Matanya masih kosong namun menatap tajam pada sesuatu.
Aku pun ikut mengarahkan pandangan kearah mana mata itu tertuju. Disana tiga peserta Jumbara lain tampak ketakutan melihat teman satu kelompoknya bertingkah demikian. Aku dan teman-temanku menoleh satu sama lain.
Tak lama kemudian beberapa kelompok lain juga tiba di pos keempat menyusul kedatangan kami, salah satunya kelompok Aji. Ekspresi mereka tak jauh berbeda dengan kami saat menangkap mata fenomena kerasukan ini, terkecuali Aji. Dia malah terlihat cukup kesal.
Aji menghampiri ketiga peserta Jumbara itu dan tiba-tiba saja mencengkeram kerah baju salah satu diantaranya.

“Asu! Sopo sing dulinan karo sajen e? Ngaku!”
(Anjing! Siapa yang sudah bermain-main dengan sesajennya? Ngaku!)
Aku langsung melongo melihat tingkah Aji yang begitu emosional.

Terjadilah keributan lain disana yang mengakibatkan panitia jadi bertambah bingung harus memisahkan siapa. Aku mencoba menerobos kerumunan dan yang kulihat Aji ternyata sudah memukul seeorang peserta laki-laki-
berkulit sawo matang hingga terjatuh ke tanah.

“Aku gak sengojo. Tak kiro yo gak bakal ngaruh opo-opo.”
(Aku nggak sengaja. Aku kira ya nggak bakal ngaruh apa-apa)
“Cuk! Awakmu ki kudu ngerti unggah-ungguh nang sing duk panggonmu. Mbok kiro ngunu iku gak ono akibate a kanggo sing lain?”

(Sial! Kamu harus ngerti tata krama yang bukan tempat asalmmu. Kamu kira hal itu tak berakibat dengan yang lain?)
“Lapo se? Wong iku cuma tempeh isi kembang karo jajan pasar?”
(Kenapa sih? Kan itu Cuma tempeh berisi bunga dan jajanan pasar)

“Heh! Delok en kui kancamu sampe kayak ngunu.”
(Heh! LIhat temanmu sampai seperti itu) Tunjuk Aji pada peserta yang kerasukan.
“Gak iku thok Su. Awakmu ki wes garai ngamuk sing due panggon.”
(Nggak Cuma itu. Kamu sudah membuat marah yang punya tempat).

Laki-laki berkulit sawo matang itu tampak kebingungan mendengar ucapan Aji. Tak lama kemudian beberapa panitia langsung menarik Aji dan tiga peserta-
lainnya menjauhi kerumunan. Mereka berlima termasuk peserta Jumbara yang tadinya kerasukan, digiring masuk menuju ke sebuah tenda yang cukup besar tak jauh dari pos. Sekilas kulihat dua-tiga pria paruh baya berpakaian longgar yang kuduga ‘orang pintar’ memasuki tenda setelahnya.
Tak lama kemudian, sesi perlombaan Pertolongan Pertama kembali dilanjutkan dan panitia tetap menjaga profesionalitasnya dalam mengkondusifkan situasi di pos keempat.
Hingga giliran kelompokku selesai mendapat penilaian akhir, masih tak kulihat seorang pun yang keluar dari tenda besar itu.

Keesokan harinya hal aneh lagi-lagi terjadi. Saat acara lomba dapur umum, hampir semua masakan peserta Jumbara menjadi basi.
Padahal bahan-bahan pokok sudah dipastikan dalam kondisi baru dan segar. Proses memasaknya pun berlangsung dari pagi hari, namun menjelang siang saat semua menu makanan mulai disajikan. Belum ada sejam, makanan-makanan itu banyak yang menjadi basi seketika.
Hal ini membuat panitia juri bingung memberi penilaian dan dianjurkan memasak yang kedua kali, namun tak ada yang berubah. Masakan-masakan itu masih banyak yang menjadi basi.

Hingga akhirnya panitia memberi kriteria penilaian baru dimana penilaian rasa bukan menjadi salah satu-
patokan utama. Melainkan dari proses, pengolahan, dan penyajian saja.

Aku mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi hari itu dengan mencari Aji. Namun entah kenapa, aku malah jarang melihatnya. Bahkan ketika kita tak sengaja bertemu, Aji tampak sengaja menghindar.
Kurasa dia memang sengaja melakukannya karena mencium bau-bau rasa keingintahuanku yang besar.

Hingga di suatu siang menjelang sore dimana hari itu adalah hari terakhir bermalam Jumbara, Aji tiba-tiba saja mendatangi tendaku. Kebetulan waktu itu memang jam-jam kosong,-
dimana aku dan teman-teman sekelompokku memang sudah membereskan sebagian perlengkapan dihari terakhir Jumbara ini.

Aku yang sedang asik berbaring sembari membaca sebuah komik yang kuarahkan tepat di depan wajah, menjadi terganggu karena suara siulan-
berulang-ulang dari luar tenda.

“Dikiro aku manuk opo yo diceluki karo suiwitan?”
(Dikira aku burung apa ya dipanggil dengan siulan?) Cibirku saat melongokkan kepalaku dari celah pintu tenda.

Aji tertawa dengan masih suara khasnya.
“Panceeeet ae mutungan.”
(Tetep aja ngambekan).

Akhirnya aku keluar seluruhnya dari tenda.

“Aku ra mutung Ji. Kirane awakmu wes ra gelem koncoan maneh karo aku.”
(Aku nggak marah Ji. Aku kira kamu yang malah gak mau berteman lagi sama aku). Ucapku dengan mimik serius.
“Ehem. Yo gak ngunu Na.”
(Ehem. Ya nggak gitu Na).

Aji tampak mengambil jeda beberapa saat, lalu melambaikan tangannya memanggilku. Aku pun mendekat.

“Yok melu aku, tak critani kabeh sing pengen mbok weruhi saiki. Tapi critone ojo nang kene.”
(Yuk ikut aku, aku critakan semua yang ingin kamu tahu. Tapi kita jangan bicara disini). Ucap Aji seolah ia memang benar-benar bisa membaca isi hatiku.

Mataku membulat dan tak bisa kutahan lagi senyuman yang tertarik begitu saja dibibirku.
Aku mengangguk senang seperti seorang anak kecil yang siap akan mendapat hadiah es krimnya.

“Tapi ceritane ngeri.” Jelas Aji.

“Ora popo.”
(Nggak apa-apa). Sahutku cepat

“Engko awakmu wedi terus malah sawan.”
(Nanti kamu takut terus malah kebayang-bayang).
“Wingi aku malah wes kelindihen demit buntung.” (Kemaren aku malah sudah ketindihan hantu kepala buntung).

“Iki engko pasti akeh loh bangsane demit buntung wingi sing melu ngerumpi pas aku nyeritakne iki.”
(Ini nanti malah banyak loh hantu-hantu jenis kepala buntung kayak kemaren ikut ngumpul kalau aku menceritakan kisah ini).

“Haduhh jek awan Ji. Aku wani. Untunge aku yo gak kethok. Hahaha. Iki asline niat pengen ngekek I weruh gak se, kok awakmu takoooooon ae?!”
(Haduh masih siang ini. Aku berani. Untungnya juga aku bukan indigo. Hahaha. Kamu sebenernya niat nggak sih buat nyeritainnya, kok nanya mulu dari tadi?!)

Lagi-lagi Aji tertawa sembari menggelengkan wajahnya pelan. Ntah kenapa menurutku dia memang aneh.
Kadang misterius, namun juga humoris. Sering menertawakan hal yang menurutku nggak lucu sama sekali.

“Yowes ayok.” Ajaknya kemudian.

“Nang ndi?” (Kemana?)

“Gendak'an! Jare pengen dicritani dheeeeees. Ojo nang kene tapi.”
(Pacaran! Katanya mau diceritain nyet. Tapi ya jangan disini.)

“Oh iyo se.” Aku menepuk dahiku lalu melempar komikku serampangan kedalam tenda.

Akhirnya aku mengikuti langkah Aji dari belakang dan menjajarinya. Hingga akhirnya tibalah kami di sebuah bangunan gedung-
yang sudah hancur sebagian dan tak beratap lagi. Ini kali pertama aku benar-benar melihatnya dari dekat. Bisa kurasakan perasaan tak nyaman saat memandangnya.

Bangunan ini adalah gedung kebun djengkol yang bersejarah itu.

***
Ehh threadnya pendek ya? Udah pendek! Update lamaaa. Huwaaaa ya maaph :'( .

Sabaaaaarrr readerku tercintah. Next update lebih panjang dan .... thread terakhir dari Kebun Djengkol.

Iya, Banana juga pengen segera nyeleseiin thread ini kok. Jadi.. Stay tune for the next Up!
KISAH KELAM MASA LALU

“Awakmu pernah weruh ta sejarah e bangunan iki bekas e opo?”
(Kamu pernah tau tidak dulunya bangunan iki bekas apa?) Celetuk Aji tiba-tiba

Aku menggeleng. “Bekas opo emang e?”
(Bekas apa emang?)

Aji menoleh dan menatap serius padaku
“Bekas Pembantaian PKI.”

“Sing nggenah?” (Yang bener?)

Aji mengangguk pelan tanpa mengucap sepatah kata pun. Seketika bulu kudukku meremang, perasaan tak nyaman yang kurasakan sebelumnya ternyata benar.

Pantas saja hawa kelam seolah menyelimuti tempat ini, membuatnya-
masih terlihat angker meski di siang hari.

“Awakmu ngerti tekan endi Ji? Buku sejarah? Opo ono sing ngekeki weruh sak durunge?”
(Kamu tau dari mana Ji? Buku sejarah? Atau ada yang pernah memberitahu sebelumnya?)
Aji tersenyum simpul “Biasalah. Kaet sikilku ngidek tanah penataran kebun Jengkol kene. Wong-wong kene wes podo bisiki nang kuping.”

(Biasalah. Sejak kaki ini menginjak tanah penataran perkebunan Jengkol ini pertama kali. ‘Mereka’ sudah berbondong-bondong membisikiku.)
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Tak bisa kubayangkan jika aku memiliki kemampuan seperti Aji. Bisa mendengar dan melihat hal-hal tak kasat mata, yang mana ‘sesuatu’ itu bisa saja dalam bentuk dan rupa yang tak menyenangkan dalam setiap waktu.
Lalu, Aji malah melangkahkan kaki masuk ke dalam bangunan itu.

“Loh? Ji? Aji?” Panggilku.
Aji menoleh sekilas dan memberi kode untuk mengikutinya.
Meski ragu akhirnya aku memilih mengikuti pemuda bertubuh jangkung itu dari pada sendirian saja.

Aji menatap bangunan tua itu dengan seksama, matanya meneliti setiap inchi sekat dan ruang-ruang yang tak utuh lagi. Sesekali tangannya meraba bagian tembok yang berdebu dengan-
lumut yang menempel sebagian diantaranya. Aji memang tampak diam, tapi aku tahu dia sedang berbicara dengan sesuatu saat menatap tajam area-area kosong tak berpenghuni itu.

Aku yang tak begitu mengerti apa yang dilakukannya, hanya mengikuti dalam diam. Meski tanganku terus-
menerus bergerak mengusir nyamuk-nyamuk yang sedari tadi berusaha menghisap darah dari tangan dan kakiku.

Tak beberapa lama kemudian, Aji tiba-tiba saja menarik tanganku keluar dari bangunan itu. Sekali lagi aku menoleh kebelakang, menatap bangunan itu. Masih senyap, kosong,-
tak melihat sesuatu yang aneh selain dari aura angkernya saja. Aku menatap Aji masih terus berjalan namun tetap bergeming.

Hingga akhirnya kami kembali ke bumi perkemahan, hanya saja Aji malah mengajakku membeli sate bekicot di salah satu pedagang kaki lima.
Yang mana ujung-ujungnya malah cilok yang kubeli, karena memang aku tak doyan dengan sate bekicot.

Kami singgah di bawah pohon beringin yang cukup rindang sembari menikmati jajanan yang baru saja dibeli. Sedikit menjauhi hiruk pikuk manusia.
Apa kalian berpikir aku tak bertanya-tanya tentang sikap aneh Aji barusan? Tentu saja aku penasaran.

Hanya saja Aji memang begitu orangnya. Aku sengaja menunggu Aji memberi penjelasan sendiri, karena ia tak akan pernah mau menjawab pertanyaan jika bukan karena kehendaknya.
“Iku maeng rojone moro-moro teko. Makane awakmu maeng langsung tak ajak ngaleh.”
(Tadi rajanya tiba-tiba datang. Makanya kamu langsung kutarik pergi)

“Emang rojone kayak piye?”
(Memang wujud rajanya kayak gimana?)
“Nogo raksasa. Nogo iku gak seneng karo simbah. Makane mending ngaleh ae tekan kono. Padahal maeng aku durung mari ngerungokne ceritane.”

(Naga raksasa. Naga itu tidak begitu suka dengan si ‘mbah’. Maka dari itu lebih baik pergi saja dari sana. Padahal tadi aku belum selesai-
mendengar ceritanya).

Aku mengerjap penasaran “Cerito opo?” (Cerita apa?)

Aji hanya melirik sekilas, lagi-lagi tak menjawab pertanyaanku.

“Tak critani ae soal kejadian naas bien sing tau kedaden nang kene ae yo.”
(Aku ceritakan tentang kejadian na’as yang pernah terjadi di sini saja ya)

“Emang ceritane bedo karo cerito sing mbok rungokne maeng?”
(Memang ceritanya beda dengan cerita yang tadi kamu dengarkan?)

“Bedo.” (Beda). Jawab Aji singkat.
“Awakmu gak pengen ngekek I weruh pisan critane sing jaremu maeng?”
(Emang kamu nggak mau ngasih tau aku gitu cerita yang satunya lagi?)

Aku menyunggingkan senyum semanis mungkin, namun sepertinya tak berefek apapun pada Aji.
“Mending awakmu gak usah weruh!”
(Lebih baik kamu tak perlu tahu!)

Aji memberi penekanan kalimat tentang cerita yang dimaksud. Jika memang demikian, meski dipaksa seperti apapun. Ia tak akan pernah membiarkan cerita itu keluar dari mulutnya barang sepatah katapun.
“Yawes gapopo.” (Yaudah deh gak apa-apa).
Jawabku sembari mengulum bibir membentuk mimik wajah masam.

“Eh, tapi mending entekne sik cilokmu.”
(Eh, tapi lebih baik habiskan dulu cilokmu). Peringat Aji.

Aku mengangkat sebelah alis. “Emang lapo?” (Memangnya kenapa?)
Aji menatap netraku, bibirnya membentuk sebuah lengkungan tajam yang mana itu adalah sebuah seringai misterius.

**
WARNING!!!

Dalam kisah ini, aku akan menjadi sudut pandang Aji, dan dalam beberapa kurun waktu menjadi sudut pandang orang ketiga. Sedikit peringatan, untuk kalian yang kurang menyukai cerita SADIS mungkin bisa men-skip dari sudut pandang Aji.
Karena diparagraf ini akan tertera adegan SADISTIK yang mungkin bisa cukup mengganggu sebagian orang yang membacanya. Harap KEBIJAKAN dari masing-masing READERS.

!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Ini pertama kali aku menginjakkan kaki ini, bumi perkemahan Jengkol. Selalu akan ada hal mistis dan mereka yang tak kasat mata dari tempat-tempat semacam ini.

Namun ada yang sedikit berbeda, dari tempat yang sebelum-belumnya pernah kusinggahi. Aku bisa mencium bau anyir-
dimana-mana. Ah, rupanya bekas pembantaian.
Bahkan ketika aku mulai membangun tenda bersama teman-teman, ‘mereka’ sudah mengerumuniku begitu saja. Membisikkan sesuatu yang lumrah kudengar, sebuah kata ‘minta tolong’.

Aku belum bisa menangkap objek mereka dengan sempurna,-
karena mereka masih menyembunyikan entitas diri. Hanya berwujud dari suara-suara saja.

Malam hari seusai kegiatan Jumbara, aku menghabiskan waktu berjalan-jalan mengitari area perkemahan sendirian. Lalu kulihat sesosok gadis kecil mengintip dari balik pohon.
Yang mana kutahu ia memang bukan manusia. Aku berjongkok, melambaikan tangan, dan memanggilnya. Gadis kecil berkepang dua itu masih mengintip, ragu-ragu, namun seperti ingin mendekatiku. Memastikan bahwa aku memang benar-benar bisa melihatnya.
Hingga akhirnya gadis kecil berwajah pucat itu berani menampakkan diri seutuhnya, lalu bergerak mendekatiku. Baru saat itu kulihat jelas sosoknya yang cukup mengenaskan, Separuh batok kepala gadis kecil itu menghilang dengan darah masih mengucur perlahan.
Aku tertegun, masih mencoba bersikap biasa saja. Lalu mulai mengajaknya berbicara dalam batin. Ia menunjukkan wajah sedih menatap memelas padaku.

Aku bertanya apa yang membuatnya bersedih. Ia tak menjawab apapun, hanya memegang tanganku.
Lalu gadis kecil itu mencoba menarikku, namun aku menahannya. Bagaimanapun aku tak boleh ceroboh. Ia salah satu makhluk tak kasat mata yang tak bisa kupercayai sepenuhnya.

Gadis kecil itu terdiam, menatapku dingin. Lalu telunjuk tangannya mengarah pada sesuatu dibelakangku
Aku menoleh dan sempat terkesiap beberapa saat. Disana kulihat sekumpulan orang-orang dengan wujud anggota tubuh tak utuh.

Ada yang kepala, tangan, kakinya hilang. Ada yang penuh luka sayatan dan tusukan. Ada yang tubuhnya gosong terbakar.
Selayaknya korban-korban dari sebuah pembantaian yang sadis. Tiba-tiba aku merasakan napas sedingin es membisik ditelinga.

“Tak kek’i weruh.”
(Akan aku tunjukkan).
Lalu yang kulihat lingkungan disekitar berubah seketika. Bukan sekumpulan tenda yang berjejer, namun sebuah rumah-rumah khas pedesaan dengan lampu-lampu pijar temaram yang meneranginya.

Senjakala membawa gelap yang menyusup dari balik jendela.
Mengurung desa kecil itu dalam selubung kedap cahaya. Pemerataan sumber daya listrik yang terbatas kala itu membuat sebagian rumah hanya diterangi dengan pelita minyak yang dipasang satu dua.

Di sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu dan beratap rumbai daun kelapa,-
milik salah satu keluarga sederhana. Kulihat sebuah delman dan kuda hitam yang terikat dihalaman depan. Rumah itu juga tak mendapat pasokan listrik ternyata.

Seorang gadis kecil berkepang dua membuka tabung kaca yang terpasang di dalam kamar tidurnya.

Menyalakan sumbunya.
Cahaya jingga redup bergoyang menyambut. Menerangi sebuah kamar sempit sederhana itu dalam satu keremangan.

Kamar itu tak memiliki dipan, melainkan selongsor kasur kapuk tipis yang dimana isinya sudah hampir habis, terbentang di atas tanah.
Gadis kecil itu mengintip dari sela jendela kayunya yang terbuka, lalu tersenyum sumringah, menatapku yang berada diluar.

Tak lama kemudian ia menutup jendela kayu kamarnya secara perlahan.
Baiklah, sekarang aku mengerti. Ini adalah kilasan balik memoir masa lalu yang ingin mereka tunjukkan padaku.

Tak lama kemudian, suasana malam yang tenang itu berubah mencekam. Mereka datang, segerombolan pria berselimutkan aura dendam dan mencekam.
Raut wajah mereka serempak menunjukkan ekspresi dingin tanpa senyuman. Tatapan tajam dilesatkan bak anak panah kepada apapun-siapapun yang dilihatnya.

Berbagai jenis senjata tajam, mulai dari parang, golok, kelewang, hingga celurit menggantung rapat ditangan masing-masing.
Beberapa diantaranya memakai sarung sebagai penutup wajah, hanya menyisakan sepasang mata-mata tajam yang siap mengunci sasaran. Mereka berjalan cepat menyatroni desa kecil itu, mulai menyusuri tiap-tiap rumah.
“Metu kabeh!”
(Cepat Keluar Semua!)

Kudengar hardikan diantara mereka. Suaranya merambat dengan jelas diudara hingga menyentuh kasar gendang telinga.

Lalu menggedor paksa tiap pintu-pintu rumah. Tak pandang bulu, bisa kudengar kayu-kayu penghalang itu berderik hingga hampir-
jebol sepertinya. Tak lama kemudian kudengar suara-suara keterkejutan yang berubah menjadi ketakutan, hingga teriakan.

“Nyuwun ngapunten. Kulo kalian keluarga kulo mboten PKI.”
(Saya mohon ampun. Kami sekeluarga bukan anggota PKI)
“Gak usah kakean alasan! Awakmu kabeh iki wes pasti kroco-krocone PKI. Djengkol iki wes kebukti panggonane markas PKI. Awakmu kate mbantah opo maneh? Hah!”

(Nggak usah kebanyakan alasan! Kalian semua sudah pasti para pembantu PKI. Djengkol sudah terbukti menjadi markas PKI.-
Kalian mau membantah apa lagi? Hah!)

“Panguporane cak. Kulo mboten PKI. Kulooo mboten…”
(Mohon ampun. Saya bukan PKI. Saya bukaaan…)

BUGH!!!
Terdengar suara pukulan. Seorang pemuda tampak dipukuli bagian tengkuknya hingga ambruk, belum selesai ia menggeliat karena kesakitannya, sebuah kaki menendang keras tepat diulu hati. Lalu ditendang lagi diperut, punggung, dan injakan beruntun tepat di kepalanya. Darah mulai-
mengucur dari wajah dan hidung. Pemuda itu terbatuk-batuk, tangannya berusaha menggapai langit-langit, namun kembali ditendang untuk kesekian kali. Keluarganya menjerit, memohon ampun, agar mereka menghentikan perbuatannya.
Aku terseret dalam lembah perdebatan sengit membingungkan antara gerombolan pria misterius itu dengan para penduduk desa. Bola mataku tak henti berlari kesana kemari, menyelam jauh dalam pikiranku sendiri dengan visual yang ditangkap oleh retina.
Menerawang apa yang akan terjadi selanjutnya pastilah tidak akan baik.

“Wes gak usah kesuwen! Seret kabeh metu tekan omah e!”
(Jangan menghabiskan waktu! Seret semua keluar dari rumah masing-masing!) Perintah seseorang kemudian.
Tak butuh waktu lama, kudengar suara hiruk pikuk para penduduk yang bercampur dengan tangisan berteriak meronta-ronta meminta pengampunan. Dengan suara jerit histeris para wanita disela-sela tangisan.

Mungkin mereka sadar bahwa sebentar lagi kejadian buruk akan segera-
menimpa mereka.

Tak terelakkan, selang beberapa saat terdengar suara pekikan penuh kesakitan. Bersamaan dengan itu, kudengar suara layaknya seorang yang menebas batang pohon pisang berulang-ulang. Suara mengerikan itu terdengar diseluruh penjuru desa kurasa.
Riuh namun mencekam. Kulihat beberapa warga mulai berlarian, berusaha menyelamatkan diri dari para penjagal. Beberapa ada yang lolos, namun yang tidak beruntung akan dieksekusi saat itu juga. Tua, muda, anak-anak, bahkan wanita pun menjadi incarannya.
Kulihat para penjagal misterius itu menebaskan sajamnya tak sembarangan, beberapa seperti sudah terlatih beladiri.

Nyatanya hunusan parang dan celurit mampu menebas beberapa anggota tubuh bahkan kepala manusia dengan mudahnya.
Mataku berhasil menangkap suatu titik, gadis kecil itu dan ibunya berhasil kabur. Meski harus meninggalkan ayah mereka yang sudah tergeletak di atas tanah tanpa kepala.

Entah mengapa aku mengikuti mereka meski sudah tahu hidup mereka tak akan selamat.
Tiga orang pria berpenutup wajah mengikuti.

Langkah kaki kecil itu terseok-seok demi menyamakan langkah ibunya. Meski tertusuk duri, tertusuk kerikil tajam karena tak memakai alas, mereka menahan rasa sakitnya demi bertahan hidup.
Rasanya aku ingin menggendong gadis kecil itu dan membawanya lari sejauh mungkin. Namun itu tak mungkin karena aku sadar ini hanya memoir kilasan balik masa lalu yang tak nyata.

Dan benar saja, tak butuh waktu lama mereka berhasil dicegat. Keduanya diseret dengan sangat kasar,-
menyaruk tanah bak menyeret seekor binatang.

Sang ibu memberontak sekuat tenaga demi menyelamatkan sang anak yang diseret sama sepertinya. Bisa kulihat kulit dibeberapa bagian tubuh mereka mengelupas hingga berdarah.
Setelah beberapa meter, keduanya dihempas dengan kasar di atas tanah.

Gadis kecil itu meraung menangis sejadinya, bukan sebuah rayuan menenangkan, namun tendangan kasar yang didapatkan. Berhasil membuat tubuh kecil itu terpelanting hingga terhempas keras disebuah batang pohon.
Ia terbatuk-batuk mengeluarkan darah disela-sela bibir, suara tangis itu tersendat antara rasa sakit dan napas yang sesak.

bunya berteriak histeris saat si gadis kecil kembali ditendang karena tak mau berhenti menangis.
Ia merangkak menahan kaki-kaki itu. Membiarkan tubuhnya menjadi tameng menggantikan sang anak. Terdengar suara gemeletak tulang-tulang yg patah.

Hingga akhirnya kepala atas sang ibu dicengkeram kuat-kuat, belum sempat aku mengedipkan mata, sebuah parang telah menebas lehernya-
dengan cepat. Menyisakan hembusan angin dingin yang kosong namun tak berbekas. Semburat darah mengucur dari leher yang setengah menganga namun tak putus. Hingga tebasan kedua berhasil membuat kepala itu terpisah dari tubuhnya.
Sang anak melotot tak mampu berkata apa-apa melihat hal yang begitu mengerikan seumur hidupnya. Lagi tangan lain ganti menjambak rambut si gadis kecil. Ia sudah pasrah. Sebuah golok menancap dibatok kepala bagian belakang.

CLAKKKKK…. CLAKKKKK..
Aku seperti mendengar sebuah kelapa yang sedang dipacak berulang-ulang. Bedanya yang kulihat adalah kepala bagian belakang manusia. Gadis kecil terjerembab menelungkup diatas tanah. Aku melihat darah dari seorang anak manusia tak berdosa mengalir membasahi bumi.
Belum tuntas rasa keterkejutanku, tiba-tiba saja aku sudah berada di tempat yang berbeda.

Aku berdiri disebuah bangunan besar beragaya belanda. Tak jauh berbeda dengan yang ada di desa, di sana suasana ramai nan mencekam telah berlangsung.
Terdengar suara tembakan saling berdesing membalas, bahkan suara yang tak asing yang pernah kudengar sebelumnya. Suara orang yang seolah menebas pohon pisang secara berulang-ulang.

Lagi kusaksikan pemandangan mengerikan. Namun orang-orang ini saling balas tebas-menebas,-
bunuh-membunuh tanpa ampun. Mereka bertikai. Tak bisa kubedakan lagi mana orang baik dan jahatnya. Kedua kubu saling beringas berseteru.

Ada hal-hal aneh yang kulihat. Beberapa diantara mereka tak mudah mati. Ada yang sudah ditebas berulang kali, namun tak luka sedikitpun.
Hanya oleng atau terjatuh saja.
Beberapa orang tampak berulang kali menebas tubuh seorang pria tambun dengan kelewang, dibantu dengan temannya yang memegang parang berukuran besar, namun tak juga mempan.

Pria bertubuh tambun itu masih kuat bahkan membalas perlawanan dengan-
cukup imbang meski sudah dikeroyok dan ditebas sana-sini.

Tiba-tiba ia berhasil mencengkeram leher salah satunya, mencekik, lalu memutar kepala seorang pemuda jangkung hingga patah.
Hal itu membuat rekan-rekan sang pemuda jangkung murka dan kembali menyerangnya bertubi-tubi. Entah bagaimana, salah satu rekannya datang membawa sebuah tongkat rotan, dipukulnya si pria tambun hingga terjatuh.

Senjata tajam tak mampu menembusnya, namun sebuah tongkat rotan-
berhasil melumpuhkannya. Tak beberapa lama, kekuatan kebal pria bertubuh tambun itu menghilang. Para pemuda itu akhirnya berhasil menebas dan melukai kulit bahkan menembus dagingnya. Pria tambun itu memekik kesakitan.

Lalu salah seorang lagi mencengkeram rambut atasnya hingga-
terdongak, digoroknya nadi leher pria tambun dengan mudah. Menyisakan darah yang mengucur deras kebagian bawah lehernya. Didorongnya tubuh besar itu menelungkup ke atas tanah.
“Mati kowe PKI!”
(Mati kamu PKI!)

Dan benar kulihat sebuah kain merah berlambang palu arit terlilit disalah satu lengannya.
Kejadian lain kulihat lagi. Sekumpulan wanita tampak berkumpul bersembunyi disebuah ruangan. Mereka ketakutan, tampak menahan napas sekuat tenaga.

KLAKK! KLAKKKK! KLAAKKKK!

Sebuah kusen tampak bergerak kasar seolah mau dibuka paksa.
“Gerwani ne nang kene!!!!”
(Gerwaninya ada di sini!!!) Teriak salah seorang yang ada diluar.

Tak lama kemudian terdengar suara gebrakan, pintu didobrak dengan paksa dari luar. Para wanita itu mundur perlahan menempel didinding tembok paling belakang.
Wajah mereka tampak pucat pasi dan berkeringat. Tak butuh waktu lama pintu itu terpelanting, terbuka, membentur dinding dengan kerasnya. Suara teriakan kembali menggerus kasar gendang telingaku.

Sekumpulan orang yang berhasil menerobos masuk, menyeret beberapa gerwani.
Sebagian lagi dieksekusi di tempat yang sama. Kembali kulihat sajam-sajam yang mengayun bebas membelah nyawa-nyawa manusia. Darah muncrat dan potongan tubuh terlempar dimana-mana.
Tubuhku terasa berat, kaki melemas, terpuruk jatuh menyentuh tanah. Aku bergetar hebat. Otakku tak mampu menerima tangkapan visual hal mengerikan dengan apa yang terjadi. Aku berusaha mengatur nafas yang kian menderu, memaksa kinerja jantung memompa lebih cepat dari biasanya.
Mereka membunuh sesamanya bak membunuh seekor lalat. Dan perbuatan keji itu dilakukan secara terang-terangan. Tanpa sungkan. Tanpa belas kasihan.
Lagi kulihat, mata para sang penjagal. Dari sorot mata mereka tersirat rasa dendam yang teramat mendalam.

Aku pun tak tahu apa yang mereka alami hingga hilang rasa kemanusiaan.

**
Aku menganga mendengar kisah Aji yang begitu mencengangkan. Untunglah aku telah berhasil menghabiskan cilok sebelumnya.

Aku juga tak bisa membayangkan berada diposisinya yang diberi penglihatan secara langsung, melihat pembantaian sadis di depan mata-
tanpa tahu harus berbuat apa. Aji tersenyum getir setelah itu. Sepertinya memoir kelam itu akan sangat sulit dilupakan.

**
MALAM TERAKHIR JUMBARA

Tak terasa waktu berjalan cepat, langit berubah warna menjadi gelap seluruhnya. Untunglah bulan terlihat penuh dan bintang-bintang tampak lebih jelas dari bawah bumi perkemahan.

Malam ini adalah malam perpisahan Jumbara. Acara perpisahan tampak meriah,-
panggung diisi dengan sebuah pentas dan karya seni dari para peserta dan panitianya, yang mana sebelumnya diisi dengan pengumuman para pemenang lomba Jumbara berikut penyerahan hadiahnya. Sekolahku berhasil memenangkan beberapa diantaranya.
Jarum menunjuk angka 9. Panggung mulai diisi dengan persembahan para pebakat musik dari para peserta yang ingin menyumbangkan karya mereka. Kulihat Aji menenteng gitar akustik kesayangannya, berdiri disebelahku.

“Awakmu tampil bariki Ji?” (Kamu perform bentar lagi Ji?)
“Iyo se.” (Iya dong). Sahutnya cengir.

“Guayamu. Terus penyanyimu sopo?” (Sok iya banget deh. Lalu siapa vokalismu?)

“Uhmmm… sopo yo?” (Uhm… siapa ya?)

“Sopo?” (Siapa?) Tanyaku penasaran.

“Ra ha si a.” Jawabnya sok misterius.
Aku berdecih. Memandang malas ekspresi wajahnya yang dibuat sok keren.

Tak beberapa lama kemudian, kudengar MC dipanggung memanggil nama Aji untuk perform selanjutnya. Mendengar nama ‘Aji’ sontak kudengar suara tepukan nan riuh, bahkan diantaranya berteriak memanggil nama-
temanku yang satu itu dengan histeris.

Aji sudah berdiri diatas panggung. Ia duduk disebuah kursi yang mana ada sebuah mic dan tongkat sebagai penyangganya. Kepalaku celinguk kesana-kemari menunggu siapa kali ini yang jadi si vokalis, namun setelah beberapa lama tak kutemukan-
siapapun di sana.

Aji mulai memetik senar-senar gitarnya secara perlahan. Kepalanya mendekati mikrofon hitam yang ada dihadapannya, lalu menyebut sebuah judul lagu. Aku tercengang, sebuah suara merdu keluar dari bibir temanku yang satu itu.
Sungguh, aku tak tahu kalau Aji bisa menyanyi juga. Selama yang kutahu dia hanya memetik gitar, mengiriku dan teman-teman yang lain untuk bernyanyi Bersama-sama saja.

Bahkan aku dengan pedenya sering meminta dia mengiringiku suara cemprengku yang bernyanyi asal-asalan saat-
bermain dengannya. Yang kutahu juga, kalaupun ia kusuruh ikut menyanyi, nadanya pun tak beraturan alias sumbang.

Bahkan saat menyanyi lagu dengan nada tinggi, suaranya pun datar bahkan seolah hampir putus rasanya.
Tapi kenapa dipanggung ini suaranya 180 derajat berbeda. Apa Aji sedang kerasukan hantu penyanyi? Tapi kulihat-lihat lagi ia masih tampak normal-normal saja didepan sana. Ah entahlah. Rasanya kesal seolah dibohongi.

Namun bangga juga punya teman yang multitalent begini, pikirku.
Penampilan Aji kembali disambut dengan tepukan dan sambutan yang lebih riuh dari sebelumnya. Tampaknya mereka semua juga cukup terkejut sama sepertiku.

“Ji… Awakmu iso nyanyi ternyata? Ngunu nek nyanyi nang ngarepku kok mbok fals-falsne?”
(Ji… Kamu bisa nyanyi ternyata? Kenapa kalau nyanyi didepanku kamu buat-buat sok fals gitu sih?) Selorohku heboh saat ia turun dari panggung dan menghampiriku.

Aji kembali dengan cengir khasnya “Lapo? Aku dadi nambah ya ganteng e pas nyanyi?”
(Kenapa? Aku jadi nambah ya gantengnya kalau nyanyi?)

Aku memasang mimik ingin muntah saat mendengar pernyataannya, namun Aji kembali tertawa sembari mengusap rambutku.
Malam itu adalah malam terakhir Jumbara, dimana aku memiliki macam-macam pengalaman yang tak terlupakan didalamnya.

Dan mungkin diantara kalian juga memiliki pengalaman menarik dan menegangkan diacara serupa yang tak terlupakan sepertinya Banana.
Aku dan Aji masih berteman baik, masih sering berkomunikasi juga. HIngga memasuki bangku Sekolah Menengah Atas, komunikasi kami terputus. Karena aku yang melanjutkan sekolah diluar kota dan dia pindah keluar daerah bersama keluarganya yang entah dimana.
Negeri kita pernah memiliki masa lalu kelam sebelum terang kemerdekaan datang. Semua tempat memiliki kisahnya masing-masing. Ingatlah selalu menjaga sopan santun dan tata krama dimanapun kita berada.

Sampai Jumpa di thread selanjutnya.

“KEBUN DJENGKOL” -TAMAT-
Thank you for my 'Keluarga Cemara'. Akhirnya kita bisa tumpengan Tamatnya thread 'Kebun Djengkol' . Yeayyy....
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Banana

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!