AGNI
.
- Tragedi Berdarah -
.
@bacahorror | #bacahorror
.
Pict: Pinterest
.
Original Story by Sekala Niskala
Rasanya masih segar di ingatan, ketika jerit orang meraung-raung terkurung dalam sebuah pabrik sohun dengan kobaran api yang tak cukup tertangkap kedua mata. Begitu ganasnya si jago merah melahap hampir 80% bagian pabrik.
Sudah 22 tahun, semenjak tragedi tersebut. Memori itu tak lekas sirna, terlebih kedua orangtua yang dikasihinya turut terjerat dalam neraka duniawi tersebut. Rasa bersalah terus membayangi benak dan pikirannya.
Bagaimana tidak, waktu itu dia merupakan bocah
yang masih berusia 5 tahun. Hanya bisa menangis menyaksikan tragedi berdarah itu. Tahun itu, memanggil pemadam kebakaran tidak semudah saat ini. Orang-orang desa hanya berusaha memadamkan api dengan sebuah ember yang mereka ambil berulang kali dari sungai dan sumber air terdekat.
1975.

Mayoritas penduduk di desa saya adalah petani. Ada yang menggarap lahan sawahnya sendiri, ada pula yang menggarap lahan sawah milik tuan tanah yang kala itu sedang berjaya. Meski begitu, semua berjalan baik-baik saja. Walau kesenjangan sosial marak dimana-mana.
Yang kaya, kaya sekali. Yang miskin, miskin sekali. Menyedihkan, menyaksikan banyak keluarga kecil yang menggarap lahan sawah milik juragan, dengan susah payah dan segala upaya, namun hanya mendapat upah 10% dari hasil panen setiap tiga bulan sekali. Itupun kalau hasilnya bagus,
kadangkala ada waktunya apes melanda penduduk desa, salah satunya gagal panen. Bertahun-tahun warga desa saya bergantung hidup kepada sawah dan padi. Sebelum akhirnya tahun 1983, seorang juragan besar dan kaya raya mendatangi kepala desa.
Pak Juned nama beliau. Seorang sarjana ekonomi katanya. Beliau merupakan penduduk desa seberang yang melihat potensi besar di desa saya. Baik dari SDM maupun SDA. Beliau berniat mendirikan sebuah pabrik sohun (mie putih) di salah satu lahan kosong yang cukup luas,
yang berbatasan langsung dengan lahan pertanian desa. Beberapa penduduk setuju akan rencana beliau. Dan sebagian lagi kontra, dengan alasan pencemaran lingkungan dan mematikan produksi pangan desa.
Namun, kepala desa menimbang dan mengukur kesetaraan antara keuntungan dan kerugian yang akan diterima oleh desa apabila menerima tawaran Pak Juned. Apalagi Pak Juned berani membayar mahal untuk lahan kosong yang akan didirikan pabrik di atasnya.
Dan bersedia membayar pajak tanah ke kas desa setiap tahunnya.
Dengan iming-iming yang sebegitu menarik, kepala desa akhirnya menyetujui tawaran Pak Juned. Tentu atas musyawarah dengan beberapa tokoh masyarakat dan sesepuh desa.
Proses pembangunan pabrik berjalan begitu cepat. Hanya perlu waktu 7 bulan untuk pabrik seluas satu hektar itu berdiri kokoh lengkap dengan area penjemuran dan area limbah.
Saya masih sangat ingat, Pak Juned mengerahkan 500 kuli bangunan yang bekerja selama kurang lebih 18 jam
untuk bisa mencapai target selesai pembangunan pabrik.
Pak Juned mengambil kuli-kuli tersebut dari luar desa maupun penduduk desa saya. Ayah saya merupakan salah satu yang terlibat sebagai kuli pembangunan pabrik tersebut.
Dengan upah mingguan 5000 rupiah, sudah mampu sedikit meringankan beban ekonomi penduduk desa, dibandingkan harus menggarap sawah. Banyak yang terpedaya oleh kebijakan Pak Juned kala itu. Bagi mereka orang desa, Pak Juned sangat baik hati dan tidak pelit.
Semenjak pabrik sohun milik Pak Juned dibuka. Pak Juned pun membuka lowongan besar-besaran. Tentu saja lowongan tersebut merupakan peluang bagi siapa saja yang ingin berkehidupan lebih layak di masa itu. Menjadi buruh pabrik adalah pekerjaan yang banyak di idamkan
oleh warga desa. Banyak sekali warga desa saya yang beralih profesi menjadi buruh pabrik. Tidak perduli laki-laki atau perempuan, semua ikut andil dalam pendaftaran lowongan tersebut.
Di saat riuh-riuhnya lowongan kerja di pabrik Pak Juned, ada kisah bahagia di sudut desa. Pasangan muda yang sedang bersuka cita, atas lahirnya anak pertama mereka. Agni, nama anak tersebut. Bayi laki-laki yang memiliki paras serupa ayahnya itu sangat gagah dan berani.
Sampai cerita ini ditulis, Agni merupakan laki-laki yang mengkisahkan cerita pilu kehidupannya. Agni tumbuh menjadi bujang tampan dan bijaksana. Kabarnya, kedua orangtua Agni memberi nama 'Agni' bukan tanpa sebab. Melainkan ada harapan kuat didalamnya.
Orangtua Agni berharap Agni kelak akan menjadi orang yang pemberani seperti api dalam melawan kebodohan, ketidakadilan dan kekeliruan.
Namun bukan itu yang akan saya ceritakan. Saya ingin berbagi perasaan sebagai seorang Agni yang menanggung duka begitu dalam.
Sadar akan kebutuhan yang kian bertambah, Pak Rum, ayah Agni, turut mendaftarkan dirinya sebagai buruh pabrik. Hampir semua pendaftar dinyatakan diterima di pabrik, karena Pak Juned memang membutuhkan ribuan buruh untuk menjalankan bisnisnya.
Meskipun jam kerja yang di tetapkan terhitung tidak manusiawi, yaitu 14 jam sehari, dimulai sejak pukul 06.30 sampai 19.30 berlaku bagi buruh laki-laki dan 12 jam kerja bagi buruh perempuan. Upahnya pun tidak begitu besar, hanya 2.500 setiap hari sabtu.
Namun hal tersebut bukan masalah bagi seorang Pak Rum. Mengingat dirinya baru saja dikaruniai seorang putra yang pastinya akan membutuhkan banyak biaya untuk menyokong pertumbuhannya. Istrinya pun masih perlu istirahat, sehingga belum sanggup beraktifitas berat.
Pak Rum terkenal orang yang tekun dan ulet. Tidak pernah satu hari pun, beliau telat masuk kerja barang satu menit pun. Karena pribadinya yang disiplin dan konsisten, Pak Juned berinisiatif menempatkan Pak Rum pada posisi kepala produksi.
Begitu bahagianya Pak Rum, dan menganggap semua itu adalah berkah dari Tuhan sekaligus rezeki untuk anaknya yang baru lahir. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Pabrik Pak Juned kian eksis, terlebih dengan penggunaan mesin-mesin produksi yang tergolong
mewah di zaman itu. Hasil produksi sohun pun selalu berlimpah ruah dan selalu sesuai target. Sohun pabrik Pak Juned terkenal produk yang bagus dan berkualitas, customernya sudah ada dimana-mana sampai ke luar kota dan luar provinsi.
Bulan berganti tahun.

1987.

Kejayaan pabrik Pak Juned mulai redup, karena peminat sohun kian turun drastis. Pak Juned yang awal mendirikan pabrik masih berumur laki-laki paruh baya, kini kian menua. Beliau sudah jarang datang ke pabrik untuk memeriksa proses produksi.
Semenjak itu banyak kejadian yang sulit diterima oleh nalar. Pak Rum yang telah mengabdi lama kepada Pak Juned sejak pabrik beroperasi, telah menjadi satu-satunya orang kepercayaan Pak Juned. Pak Rum dipercaya untuk mengawasi mobilitas pabrik, ibarat seperti tangan kanan
Pak Juned.
Kabarnya Pak Juned terkena strooke ringan, sehingga beliau tidak sanggup lagi berjalan jauh, dan harus memakai tongkat. Namun sebulan sekali biasanya Pak Juned datang ke pabrik menaiki mobil bersama supir pribadinya. Itupun hanya sebentar.
Namun anehnya, setiap berkunjung ke pabrik beliau selalu mengajak Pak Rum ke area limbah pabrik, yang lokasinya ada di tepi belakang wilayah pabrik. Areanya tertutup, hanya ada beberapa kolam-kolam memanjang dengan lebar satu meter.
Kolam-kolam tersebut berisi limbah-limbah sisa produksi sohun.
Pak Juned tidak ingin ditemani oleh siapapun kecuali Pak Rum. Di samping area limbah, terdapat sekotak kamar mandi yang cukup luas berukuran 3x3 meter. Di dalamnya berisi sumur dan area pemandian.
Di sekeliling tembok kamar mandi terdapat kran-kran air. Biasanya beberapa buruh yang menginap di pabrik melakukan MCK di kamar mandi tersebut.
Tidak ada yang tau pasti, apa yang dilakukan Pak Juned dan Pak Rum tiap kali mereka masuk ke area limbah. Namun sempat terdengar desas-desus bahwa setiap satu bulan sekali, Pak Juned datang dengan membawa sekantong keresek hitam.
Salah satu buruh bernama Pak Yadi sempat tidak sengaja memergoki Pak Juned menunjukkan isi kantong keresek tersebut kepada Pak Rum di ruang produksi, waktu itu kebetulan Pak Yadi masih membersihkan mesin-mesin produksi, namun Pak Juned dan Pak Rum masuk dengan menutup
pintu depan ruang produksi, seketika itu Pak Yadi pun bersembunyi dan sedikit melihat apa yang ada di dalam kantong keresek hitam, yaitu kepala manusia. Pak Yadi berkali-kali mengingat detail kejadian yang dia lihat langsung dengan kedua matanya.
Pak Yadi sangat yakin, dia tidak salah lihat. Setelah Pak Juned menunjukkan isinya, bersama Pak Rum mereka menuju area limbah. Pak Yadi pun buru-buru keluar dari ruang produksi, dan tidak ingin tau apa yang akan dilakukan Pak Juned selanjutnya.
Semenjak desas-desus itu menyebar dari mulut ke mulut, hampir sudah menjadi rahasia umum bagi buruh-buruh pabrik Pak Juned. Namun, tidak satupun buruh yang berani menanyakan kebenarannya baik kepada Pak Rum maupun Pak Juned. Mereka memilih tidak ikut campur dengan
urusan atasan.
Meskipun Pak Juned menerapkan jam kerja yang kurang manusiawi, tetapi sebenarnya Pak Juned merupakan orang yang baik hati dan loyal terhadap buruh-buruhnya. Tidak sedikit buruhnya yang beberapa kali meminjam uang kepadanya, dan dibantu secara
cuma-cuma oleh Pak Juned tanpa ada persyaratan bunga sedikitpun.
Pak Juned pun terkenal orang yang ramah dan gemar membantu penduduk desa saya. Dia tidak pernah lupa dengan janjinya di awal mendirikan pabrik disana.
Cerita dari sudut pandang Pak Rum.

Semenjak kelahiran putra pertamaku, Agni, mau tidak mau aku harus bekerja lebih ekstra dari sebelumnya. Menggarap sepetak sawah milik juragan tidak pernah menjanjikan sesuatu apapun. Kebetulan seorang juragan besar membuka lowongan
besar-besaran di pabrik miliknya.
Awal aku di angkat menjadi kepala produksi, Pak Juned sudah mewanti-wanti bahwa bisnisnya ini mungkin tidak akan bertahan lama. Hanya berkisar lima tahunan. Aku sempat protes kenapa seperti itu.
"Wis, awakmu manut wae Rum. Upahmu opo jek kurang?" (Udah, kamu nurut aja Rum. Gajimu masih kurang?) sahut Pak Juned dengan nada sedikit naik.

Sebenarnya upah yang diberi Pak Juned sudah lebih dari cukup untuk hidup keluarga kecilku. Namun, ucapan Pak Juned sedikit merampas
kepercayaanku kepada beliau. Jika beliau sudah tahu bahwa bisnisnya tersebut mungkin tidak akan bertahan lama, lalu untuk apa beliau mendirikan pabrik sohun.
Empat tahun sudah aku mengabdi kepada Pak Juned. Semua berjalan dengan baik dan sesuai rencana. Namun akhir-akhir ini,
bisnis Pak Juned mulai mengalami titik kritis. Penjualan sudah tak mampu lagi menutup target yang di tetapkan. Pak Juned sering bercerita bahwa hutangnya mulai menumpuk dimana-mana.
Aku sempat menyarankan Pak Juned untuk memberhentikan beberapa buruhnya, toh saat itu produksi juga tidak sebanyak dulu waktu masih berjaya. Namun Pak Juned menolak keras saranku.
"Aku wegah Rum, ngorbanke buruh-buruhku, mergo buruhku iku duwe keluarga sing
kudu di nafkahi. Mending aku sing okeh utang ketimbang buruh-buruhku ora mangan!" (Aku gakmau Rum, ngorbanin buruh-buruhku, karena mereka punya keluarga yang harus dihidupi. Mending aku yang banyak hutang ketimbang buruh-buruhku gak makan!) bentak Pak Juned tegas.
Mendengar jawaban Pak Juned tentu hatiku trenyuh. Beliau sosok bos yang langka. Lebih baik berkorban daripada mengorbankan. Sebelum akhirnya aku tahu kebusukannya.

Tepatnya hari Kamis, malam jumat kliwon. Sore hari pukul 16.00 Pak Juned datang menaiki mobil di antar supirnya.
Aku yang kebetulan sedang berada di area penjemuran bersama beberapa buruh pun langsung menyapa mendekati ke arah kedatangan Pak Juned. Pak Juned membawa sekantong keresek warna hitam. Aku tidak tau apa isinya. Namun terlihat bulat dan sedikit berbobot.
Pak Juned menyalamiku dan menanyakan kabarku serta keluargaku. Setelah itu beliau mengajakku ke area limbah.
Disana beliau sedikit bercerita, bahwa beliau telah memikirkan matang-matang. Beliau harus mengambil sikap demi keberlangsungan hidup buruh-buruhnya.
Pak Juned sudah mengambil keputusan bahwa beliau meminta pertolongan kepada suatu makhluk yang ada di sumber mata air yang terletak di kaki gunung terbesar di daerahku.
Note:
Tahun itu, bukan suatu hal yang mengejutkan seseorang meminta pertolongan bukan kepada Tuhan.
Karena zaman itu, orang-orang desa masih banyak yang menganut kepercayaan animisme.
"Nuwunsewu Pak, sanes kula lancang. Punapa boten luweh sae nek boten ngagem cara kados punika?" (Maaf Pak, bukan saya lancang. Apakah tidak lebih baik kalau tidak memakai cara seperti itu?) tanyaku kepada Pak Juned.
Namun sepertinya Pak Juned sudah bersikeras dengan keputusannya.
Aku paham betul, sumber mata air yang dimaksud Pak Juned pasti pancuran lima. Sebuah pemandian air panas yang berada tepat di kaki Gunung S. Tempat itu sudah terkenal di sucikan dan di keramatkan. Orang-orang biasa datang untuk meminta sebuah bantuan atau kekayaan.
Namun, jantungku kembali terpacu, ketika Pak Juned secara sadar membuka isi kantong keresek hitam yang ada di tangan kirinya. Kepala seorang laki-laki yang bercucuran darah dari hidung dan telinganya, kedua bola mata yang telah hilang dari tempatnya.
Mulutnya menganga seperti sebelumnya telah terjadi pencekikan yang keji. Aku hampir muntah saat itu. Bau anyir darah tak lagi tertahankan.
"Kowe rausah wedi. Iki namung pengorbanan cilik Rum. Mending ngorbanke 1 nyawa ketimbang okeh nyawa." (Kamu gausah takut.
Ini cuma pengorbanan kecil Rum. Mending mengorbankan 1 nyawa ketimbang banyak nyawa) ucap Pak Juned menenangkan.

"Nanging priyayi niku sinten Pak?" (Tapi laki-laki itu siapa Pak?) tanyaku dengan bibir yang gemetar.
Dan ku ketahui bahwa laki-laki tersebut merupakan seorang pengendara yang bahkan Pak Juned pun tidak tahu menahu siapa identitasnya.
Dia merupakan salah seorang tumbal yang dikorbankan melalui kecelakaan lalu lintas di sebuah alas yang dikenal angker di daerah yang cukup jauh
dari daerahku.

"Gulu ne kelindes trek." (Lehernya tertindas truck) ucap Pak Juned singkat.

Saat itu juga Pak Juned memintaku untuk mengubur kepala tersebut di celah-celah kolam limbah (dari kolam satu dan kolam lain terdapat celah-celah sekitar 10 centimeter).
Aku cuma seorang buruh. Seorang bawahan tidak mampu mengelak apapun yang diperintahkan Pak Juned. Dengan menahan mual setengah mati, aku turuti kemauan Pak Juned tanpa bertanya sepatah katapun.
Entah kenapa sejak saat itu Pak Juned berubah menjadi orang yang sedikit arogan.
"Ojo kondo sopo-sopo Rum. Iki rahasiane awakdewe. Iki yo di ngge kebaikan awakdewe karo buruh-buruh sing liyo. Tulong kowe jaga kepercayaanku. Aku wis ra reti maneh kudu piye. Iki siji-sijine dalan." (Jangan bilang siapa-siapa Rum. Ini rahasia kita berdua. Ini juga buat kebaikan
kita dan buruh-buruh yang lain. Tolong kamu jaga kepercayaanku. Aku sudah gatau lagi harus gimana. Ini satu-satunya jalan) pinta Pak Juned sembari memegang pundakku.
Aku hanya mampu mengangguk patuh. Kepalaku dipenuhi dengan seribu tanya. Pabrik ini bukan sembarang pabrik.
Ternyata, di dalamnya menyimpan banyak misteri yang bahkan aku sendiri pun tak paham lagi.

Pak Juned berpamitan hendak pulang. Beliau berpesan bahwa bulan-bulan berikutnya akan selalu datang setiap kamis sore malam jumat kliwon.
Aku pulang ke rumah dengan rasa ingin tahu yang besar. Namun sebisa mungkin ku tepis jauh-jauh agar istri dan anakku mendapat kehangatan selayaknya dari aku kepala rumah tangga mereka.

Sesampai di rumah, aku serahkan dua lembar uang 1000 rupiah yang sempat
diselipkan oleh Pak Juned di saku kemejaku ketika beliau hendak pulang. Istriku menerima dengan senyum lebar.

"Duwik opo iki mas? Alhamdulillah iso ngge nambah-nambah tuku susu Agni." (Uang apa ini mas? Alhamdulillah bisa buat nambah-nambah beli susunya Agni) sahut istriku.
Aku hanya membalas dengan senyum simpul. Anakku Agni sudah berumur 4 tahun. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu.
Sebenarnya aku sangat ingin bercerita kepada istriku, namun tak tega rasanya bila dia harus mengetahui fakta yang sesungguhnya tentang pabrik dan Pak Juned.
Bukan aku tuna rungu terhadap desas-desus yang beredar di kalangan buruh pabrik mengenai sesuatu yang dibawa oleh Pak Juned di dalam kantong keresek hitam.
Namun aku memang memilih bisu akan kabar tersebut. Aku memilih berpura-pura tidak mengetahui apa-apa.
Sebisa mungkin aku bersikap biasa saja kepada teman-teman buruh yang lain.

Suatu hari, tepat hari Rabu malam, tumben Pak Juned datang ke pabrik. Kebetulan malam itu adalah giliran aku ronda di pabrik bersama kedua teman buruhku.
Aku di ajak masuk ke mobil Pak Juned.
Lalu aku dibawa ke arah utara, jalan menuju Gunung. Aku paham, pasti aku hendak diajak ke pancuran lima. Aku hanya berdiam diri sepanjang perjalanan tanpa berani bertanya banyak.

Jalur menuju Gunung dan pancuran lima bukanlah jalur yang mudah dilalui.
Terlebih di tahun itu,
jalan aspal masih sangat sedikit dan lebih banyak jalan tanah dan berbatu.

Kurang lebih 4 jam perjalanan aku tiba di pancuran lima. Ternyata benar dugaanku, Pak Juned meminta di pancuran lima ini.
Turun dari mobil hawa dingin langsung menerpa tengkuk dan leherku.
Bulu kuduk serasa merinding dan berdiri. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Tidak ada siapapun disana selain kami bertiga. Aku, Pak Juned, dan supirnya.
Segera Pak Juned memerintah supirnya untuk menyiapkan sesajen dan teman-temannya untuk ritual.
Ilustrasi.

Lokasi Pancuran Lima hampir mirip dengan gambar ilustrasi dibawah.

Pict by Google.
Supir Pak Juned mengeluarkan sesajen dari dalam bagasi mobil. Ada ayam cemani juga yang sudah diikat kakinya. Ayamnya masih hidup. Segera kami berjalan menuju lokasi, karena dari tempat parkir mobil ke pancuran lima masih harus menuruni tangga dari tanah sekitar 300 meter.
"Tenangno pikirmu Rum. Awakdewe ora bakal kenopo-kenopo. Sing penting tetep jaga sikap kesopanan. Engko lak awakmu reti opo panjalukku." (Tenangkan pikiranmu Rum. Kita gak bakal kenapa-kenapa. Yang penting tetap jaga sikap kesopanan. Nanti juga kamu tau apa permintaanku)
ucap Pak Juned yang seolah paham kekhawatiran yang merenggut batinku.
Aku hanya membalas senyum kepada Pak Juned. Sudah terdengar suara gemricik air yang cukup deras. Syahdu memang, namun tetap tidak menghilangkan kesan angker. Karena lokasi pancuran lima berada di tengah-tengah
hutan pinus yang asri dan rimbun.
Sesampai di pancuran lima, debit airnya sedang besar. Airnya jernih, hanya ada satu sumber penerangan disana. Lampu bohlam 5 watt yang tergantung di tiang bambu setinggi 2 meter. Sama sekali tak cukup menerangi pancuran lima tersebut.
Namun, dibawah lampu terdapat batu datar dengan diameter 1 meter dan di depan batu tersebut terdapat gundukan tanah yang menggunung serta sisa-sisa dupa, bunga yang mengering, dan kemenyan.
Menurut Pak Juned batu datar tersebut biasa digunakan orang untuk bersemedi
sekedar untuk mencari wangsit atau pencerahan, maupun mencari kekayaan.
Pak Juned segera meletakkan sesajen di atas gundukan tanah, menyalakan dupa dan membakar kemenyan. Kemudian dia berlutut lalu merapalkan kalimat yang aku tak paham maksudnya.
"Kulanuwun. Nuwunsewu Gusti ingkang Maha Welas Asih.
Kawula saweg bang wingo wingo. Jin setan kang tak utusi. Dadyo sebarang.
Wojo lelayu sebet. Hambo dateng rawuh ing papan menika ajeng nyuwun pitulungan sangking Gusti."
Kira-kira seperti itu kalimat yang di rapalkan Pak Juned, aku tidak tau betul makna dari kalimat tersebut.
Setelah itu, Pak Juned menyembelih ayam cemani di samping sesajen. Darah mengalir sampai menyentuh ke air pancuran. Air pancuran berubah menjadi merah darah.
Seketika itu angin berhembus sangat kencang. Aku menahan rasa takutku sekuat tenaga. Meskipun rasanya sudah sangat lemas, bahkan untuk berdiri kaki ku terasa lemas. Tiba-tiba dari balik pancuran muncul sosok, dari kepala hingga perut berwujud seperti manusia, memiliki dua tangan.
Hanya saja sosok tersebut memiliki dua tanduk di kepalanya. Sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam yang sangat lebat, lidahnya menjulur panjang. Matanya merah menyala. Dan dua taring di mulutnya memanjang sampai hampir ke dadanya.
Dari perut ke bawah, wujudnya adalah ular.
Bersisik dan besar. Sosok tersebut mungkin memiliki panjang 20 meter. Dia mendekat ke arah Pak Juned.
"Sira ono keperluan opo teko nyang alasku?" (Kamu ada keperluan apa datang ke hutanku?) tanya sosok tersebut dengan suara besar dan mengerikan.
"Nyuwun pangapunten sampun ganggu wekdal panjenengan. Kula sowan dateng mriki anamung nglampahi punopo ingkang sampun panjenengan suwun kolowingi. Dinten meniko kawula gadah kersa kagem nyuwun bantuan kersanipun saget cakap anggenipun sadean.
Tujuan kula sanes pados padunyan, ananging supados kula saget maringi upah kagem karyawan kula." (Maaf sudah menganggu waktumu. Saya datang kesini lagi karena kemarin sudah melaksanakan apa yang kamu perintahkan. Hari ini tujuan saya ingin meminta pertolongan agar
pabrik saya mampu mencapai target penjualan. Tujuan saya bukan untuk mencari kekayaan, namun agar saya mampu membayar upah karyawan saya) Pak Juned mencoba menjelaskan kepada sosok tersebut, yang belakangan aku ketahui sering disebut dengan 'Wuraga'.
"Sira wes mendem endas bocah lanang nang pabrik sira? Saiki gowonen banyu saka blumbanganku iki. Kekno nang sumber mata air neng pabrik sira. Ojo lali karo bagianku!" (Kamu sudah mengubur kepala laki-laki di pabrikmu? Sekarang bawalah air dari kolamku ini. Tuang di sumber
mata air di pabrikmu. Jangan lupa dengan bagianku!) jawab sosok tersebut. Pak Juned mengangguk dan menuruti perintah sosok tersebut. Diambilnya air dari kolam di pancuran lima dengan menggunakan botol kaca.
"Matursembah nuwun Wuraga!" (Terimakasih banyak Wuraga!) ucap Pak Juned.

Seketika angin kembali berhembus kencang dan sosok itu perlahan mulai menghilang.

"Pak bagianipun makhluk menika punapa Pak?" (Pak bagian untuk makhluk tadi apa Pak?) tanyaku yang sedari tadi
sudah membendung jutaan tanda tanya.
Awalnya Pak Juned hanya diam, dan berjalan menaiki tangga menuju parkiran mobil. Namun aku terus membujuk agar Pak Juned mau menjawab pertanyaanku.
"Uwes Rum! Iki urusanku. Awakmu ora bakal kepelu-pelu. Aku namung pengen terbuka karo awakmu. Mergo aku wis percaya tenan karo awakmu. Nek awakmu pengen reti opo bagian e Wuraga, yaiku uwong-uwong sing kecelakaan ning dalan-dalan, dadi ora bakal ngrugeni awakdewe."
(Sudah Rum! Ini urusanku. Kamu nggak bakal kena dampaknya. Aku cuma pengen terbuka sama kamu. Karena aku sudah percaya beneran sama kamu. Kalau kamu mau tau apa yang menjadi bagian Wuraga, ya itu orang-orang yang kecelakaan di jalan-jalan, jadi nggak mungkin merugikan kita)
terang Pak Juned dengan nafasnya yang terengah-engah kelelahan menaiki tangga, terlebih strooke ringan di kaki kanannya menyulitkan beliau berjalan.
Aku sedikit lega dengan jawaban Pak Juned, meskipun sebenarnya pikiran berkecamuk.
Kok bisa Pak Juned mengorbankan orang-orang yang bahkan beliau tidak mengenalnya. Tidak punya dosa apa-apa, dan tidak tahu menahu mengenai perkara Pak Juned dan pabriknya.
Entahlah, saat itu aku hanya ingin segera pergi dari hutan tersebut dan pulang, karena aku sangat mengantuk.
Di perjalanan pulang menuruni lereng bukit kaki Gunung S, jalannya memang berkelok tajam, tiba-tiba di suatu tikungan, kami dikejutkan oleh sekawanan kera hutan yang menghadang mobil kami. Supir Pak Juned menekan-nekan klakson serta mengedip-kedipkan lampu mobil,
agar kawanan kera tersebut takut dan mau menyingkir dari badan jalan. Namun kera-kera tersebut justru membabi buta. Beberapa dari mereka naik ke atap mobil dan mencakar-cakar kaca jendela mobil. Mobil yang kami naiki hanyalah mobil Carry jadul yang tidak ber-AC.
Jadi kami hanya mampu menutup kaca-kaca jendela mobil dan pasrah terdiam, menunggu kera-kera tersebut bosan dan pergi dengan sendirinya. Cukup lama kami menunggu, 45 menit setelahnya baru kawanan kera pergi. Kami melanjutkan perjalanan pulang.
Pukul 03.00 dinihari, kami sampai di pabrik. Aku diturunkan oleh Pak Juned, setelahnya aku langsung bergegas ke rumah untuk tidur walaupun hanya sebentar karena setengah 7 nanti harus kembali berangkat ke pabrik.
Keesokan harinya aku beraktifitas seperti biasa. Namun pabrik terasa ada yang aneh. Hawanya tidak seperti biasanya. Hari itu terasa lebih anyep (dingin). Padahal di dalam pabrik terdapat banyak mesin-mesin produksi yang sedang beroperasi dan menimbulkan suara gaduh.
Sedangkan atap pabrik juga hanya dari seng. Yang seharusnya menambah hawa panas didalam pabrik. Namun hari itu benar-benar terasa dingin. Bahkan aku sama sekali tidak berkeringat. Padahal terik matahari di luar sedang menyengat-menyengatnya.
"Gubrakkk!!!" Terdengar suara gaduh seperti barang yang terjatuh dari ketinggian. Sumber suara tersebut berasal dari area limbah.
Buru-buru aku menghampiri asal suara tersebut. Diikuti oleh 3 rekan buruh yang lain.

"Granggg!!" Suara pintu area limbah terbanting.
Tidak ada siapa-siapa disana. Tidak pula ada benda yang jatuh. Aku hanya bisa menebak-nebak tanpa tau yang pasti. Aku menyuruh 3 buruh yang tadi mengikuti untuk kembali bekerja. Sedangkan aku tinggal di area limbah sebentar.
Ku lihat darah mencuat dari lokasi aku mengubur kepala manusia kemarin. Darahnya merah segar.
"Bangsat!! Opo maneh iki!!" (Bangsat!! Apa lagi ini!!) gerutuku kesal.
Aku gali kembali tanah tersebut, dan terkejut bukan main ketika yang ku lihat kepala yang kemarin berubah menjadi
memiliki dua mata sempurna. Dia sedang melotot ke arahku, dan mulutnya terus menerus memuncratkan darah segar.
"Asu!! Asu!!" (Umpatan) aku injak-injak kepala tersebut dan kembali ku tanam di dalam tanah. Jantungku berdegup kencang, aku lari keluar dari area limbah.
Ketika tiba waktu pulang. Aku sengaja tidak langsung ke rumah. Aku mampir ke rumah Mbah Pujo, ayah istriku. Kebetulan rumah Mbah Pujo masih searah dengan rumahku.

"Assalamualaikum, Mbah.."

Terlihat seorang laki-laki bungkuk berjalan pelan dari dalam rumah.
"Ealah kowe to Le.. dengaren ono opo ki? Lungguh sek. Pie kabarmu? Pie kabar e bojomu karo Agni putuku?" (Ealah kamu to Nak.. tumben ada apa nih? Duduk dulu. Gimana kabarmu? Gimana kabar istri dan cucuku Agni?) tanya Mbah Pujo dengan mimik yang sudah tidak terlalu jelas
karena giginya sudah ompong semua.

"Alhamdulillah Mbah, kula kaliyan Parmi (istriku) sehat. Agni nggih sehat." (Alhamdulillah Mbah, saya dan Parmi sehat. Agni juga sehat) jawabku sembari membantu Mbah Pujo duduk di kursinya.
Mbah Pujo menyesap dalam rokok lintingan yang ada di tangannya. Sementara aku mencoba menceritakan detail mengenai pabrik dan Pak Juned.
Bagi orang-orang desaku, Pak Juned bukan lagi orang asing. Siapa yang tidak kenal dengan beliau. Walaupun beliau bukan penduduk asli desaku,
namun telah banyak berkontribusi untuk pembangunan di desaku.

"Ati-ati Le...ora usah melu-melu hal sing ngono kui.. Aku mung pengin awakmu, karo anakku Parmi urip e tenang.. pikirke maneh nasip e Agni anakmu.." (Hati-hati Nak..gausah ikut hal yang begitu.. Aku cuma ingin
kamu dan anakku Parmi hidupnya tenang.. fikirkan lagi nasib anakmu Agni..) celetuk Mbah Pujo setelah aku selesai bercerita.
Tubuhku tersandar ke punggung kursi, seakan lemas, menyadari bahwa apa yang aku ketahui dan aku lihat bukan hal baik.
"Iblis iku raono sing ra ngrugeni Le..dek ne duweni tipu daya sing iso gawe awakdewe buta. Opo maneh nek wis berkaitan karo padunyan. Masio Juned ngomong ora ono niatan di ngge padunyan, aran e manungso wis kodrat duweni hawa nepsu, lan angkara murka.."
(Iblis itu gak ada yang gak merugikan Nak..dia punya tipu daya yang bisa bikin kita buta. Apalagi kalau berkaitan dengan harta. Meskipun Juned bilang tidak ada niatan untuk cari kekayaan, namanya manusia sudah takdir punya hawa nafsu dan angkara murka)
ucap Mbah Pujo sembari memegangi tongkatnya.
Aku pun berpamitan pulang kepada beliau. Beliau berpesan untuk menjaga anakku Agni.
Untuk sampai di rumah, aku harus berjalan kaki melewati area persawahan yang cukup luas dan panjang. Jalannya masih dari tanah. Tidak ada penerangan,
yang tersisa hanyalah cahaya rembulan. Aku berfikir keras, tentang apa yang mestinya aku lakukan.
Karena bagaimanapun, yang namanya minta ke selain Tuhan pasti akan berdampak besar untuk kehidupan manusia. Terutama yang bersangkutan langsung dengan iblis tersebut.
Sesampai di rumah, aku melihat istri dan anakku sudah tertidur pulas. Entah mengapa malam itu, aku sangat ingin mencium pipi mereka. Setelah itu aku bergegas mandi, dan pergi tidur. Karena sejak kelahiran anakku, aku tidur di ruang tengah. Agar istriku tidak merasa
sempit jika harus tidur bertiga. Maklum ranjang yang ku punya hanya berukuran kecil.
Pagi menjelang. Lagi-lagi aku berangkat ke pabrik. Seperti hidupku hanya dipenuhi dengan pabrik. Ketika sampai, sudah ada Pak Juned yang menghadang di dekat ruang produksi.
"Rum...opo sing kok gawe nang pabrikku iki?!" (Rum...apa yang kamu perbuat di pabrikku ini?!)
tanya Pak Juned garang dan lipatan di dahinya mengernyit.
"Aku wes percoyo karo awakmu! Nanging iki sing kok bales neng awakku?!" (Aku sudah percaya kepadamu! Namun ini balasannya?) lanjutnya sembari mendekat ke arahku.
Jujur aku sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Pak Juned. Aku hanya terdiam dan melangkah mundur.

"Delok en wae yo Rum! Aku wes ora iso ngopo-ngopo. Tanggung dewe akibate!" (Lihat saja Rum! Aku sudah gabisa apa-apa. Tanggung sendiri akibatnya!) ucapnya kemudian
pergi meninggalkanku. Pak Juned menaiki mobilnya.
Aku buru-buru lari ke area limbah. Nafasku terengah-engah. Betapa terkejutnya ketika aku melihat 6 orang buruh terikat kepalanya di tiang sumur. Semua sudah mati. Lidahnya menjulur karena tercekik tali.
Matanya melotot. Dan darah mengalir dari hidung. Aku yang menyaksikan kejadian tersebut hampir menangis, wajahku merah padam. Aku tidak tau harus berbuat apa. Ku pukul-pukulkan tanganku di tembok.
Aku bergegas memanggil buruh yang lain untuk melepas tali-tali yang membunuh
para buruh.

"Juned Asuu!!! Bangsat!! Aku sing dikorbanke!!!" (Juned Anjing!!! Bangsat!!! Aku yang dikorbankan!!!) umpatku sambil berteriak keras.
Di saat itu aku baru teringat dengan kata-kata Mbah Pujo semalam. Beliau berpesan, bahwa iblis itu bisa diperintah lewat batin. Apalagi kalau umpan dan tumbal untuk iblis tersebut selalu terpenuhi. Maka iblis pun makin tunduk dan taat kepada manusia yang memerintah.
Meskipun sebenarnya, pada akhirnya tetap manusia itu sendiri yang merugi.

Aku baru tersadar bahwa saat aku di ajak oleh Pak Juned menemui Wuraga. Ragaku sempat kehilangan sukma beberapa detik. Hanya saja aku tidak terlalu merasakannya. Hanya sebatas pusing dan mual.
Bisa jadi saat itu aku telah dikorbankan oleh Pak Juned.
Pantas saja, beberapa hari setelahnya, aku selalu merasa ada yang mengawasi dan mengikuti.
"Juned licik! Nek arep ngorbanke aku sisan kok pateni wae! Ojo kok sekso aku sitik-sitik!" (Juned licik! Kalau mau mengorbankan aku
sekalian dibunuh saja! Jangan kamu siksa pelan-pelan!) teriakku sambil mengelap air mataku yang mengucur.
Aku ditenangkan oleh beberapa rekan buruh, dan diberi minum. Mereka bertanya ada apa sebenarnya, namun rasanya aku tak sanggup mengatakan kepada mereka.
Aku hanya menyuruh mereka untuk segera berhenti bekerja di pabrik Pak Juned.
Namun, beberapa dari mereka justru marah-marah dan mengatakan aku ingin menjebak mereka, agar aku bisa menguasai pabrik.
Sejak detik itu, aku paham betul bahwa mungkin hidupku tidak lama lagi. Karena sudah ada yang menunggu bagiannya.

Sekarang aku paham kelicikan yang dilakukan oleh Juned. Dia membawaku datang menemui Wuraga, bukan karena ingin terbuka denganku. Namun, karena Wuraga yang meminta
untuk memberi tau (gambaran) mengenai bagiannya esok, yaitu aku. Namun dengan kelihaian sandiwara mereka, aku pun terperdaya.
Barangkali aku terlalu menganggap Pak Juned adalah sosok yang baik hati selama ini, sehingga begitu polosnya diriku kemarin.
Sepulang dari pabrik aku mampir ke rumah Mbah Pujo lagi, dan menceritakan segalanya. Mata Mbah Pujo berkaca-kaca, karena mungkin beliau sadar, anaknya Parmi akan segera menjanda, dan cucunya Agni akan menjadi anak yatim.
Namun nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang bisa
diperbuat, selain berserah kepada Yang Maha Esa.

"Ono siji cara Le..ben awakmu iso ucul seko hal iki. Nanging resiko ne yo gedi banget, opo awakmu siap?" (Ada satu cara Nak..agar kamu bisa terlepas dari hal ini. Tapi resikonya pun besar sekali, apa kamu siap?) tanya Mbah Pujo.
"Teko o neng Pancuran Lima karo gowo iki. Temoni iblis iku, ojok ono keraguan neng atimu. Cemplungke neng blumbangane dek ne..InshaAllah, iki iso ngendeg hal sing kok alami, mugo iso nyelametke konco-koncomu neng pabrik." (Datanglah ke pancuran lima sambil bawa ini.
Temui iblis itu, jangan ada keraguan di hatimu. Tuangkan di kolamnya dia..InshaAllah, ini bisa menghentikan hal yang kamu hadapi, semoga bisa menyelamatkan teman-temanmu di pabrik) ucap Mbah Pujo sambil menyodorkan cairan dalam botol kaca kecil. Yang ternyata itu
adalah air zam-zam yang masih beliau simpan, oleh-oleh dari tetangga yang dulu pergi berhaji.

"Nggih matursuwun Mbah..ndalu niki kula badhe teras ten Pancuran Lima, nyuwun doa lan penggalihipun.." (Iya terimakasih Mbah..malam ini saya mau langsung ke Pancuran Lima, minta doa
dan restunya..) aku bergegas pamit pulang ke rumah untuk bersiap-siap menuju Pancuran Lima.
Setelah semua siap, aku pamit kepada istriku.
"Dek..nek engko opo sesuk aku ra muleh, tulong ikhlaske aku, aku yo titip Agni. Aku wes ono simpenan dingge masa depan e Agni.
Kabeh sing kok butuhke ono ning duwur lemari iku ning kotak.." (Dek..kalau nanti atau besok aku gak pulang, tolong ikhlaskan aku, aku titip Agni. Aku sudah ada simpanan untuk masa depan Agni. Semua yang kamu butuhkan ada di atas lemari di kotak..) ucapku sembari mengelus rambut
istriku yang sedikit menitikan air mata. Dia sempat beberapa kali menahan tanganku agar tak pergi.
Namun mau tidak mau aku harus menghentikan kelicikan Juned.
Aku pun berlari menuju rumah Yanto, karibku yang kebetulan dia memiliki sepeda motor.
Cerita Pak Rum pun berakhir sampai disitu. Cerita Pak Rum ditulis berdasarkan kesaksian dari Mbah Pujo yang memang sudah mengetahui ceritanya dari Pak Rum sendiri.

Kemudian berlanjut dari sudut pandang Parmi, istri Pak Rum.
Aku benar-benar tidak menyangka karena malam itu, suamiku nekad meninggalkan aku dan anak semata wayang kami. Waktu itu Agni sudah terlelap tidur. Aku berusaha menahannya namun percuma. Suamiku memang keras kepala. Jika sudah menghendaki sesuatu maka harus dia lakukan.
Aku bahkan tidak tau, apa yang sedang suamiku hadapi. Karena dia memang tidak pernah menceritakan sedikitpun masalah yang ada di pabrik. Aku mengira semua berjalan baik-baik saja. Bagaimanapun, aku harus kuat, menyadari bahwa malam itu ternyata malam terakhir aku
berbicara dengannya. Karena kenyataannya suamiku tak pernah ada tanda kembali.

***
Dari sudut pandang Mbah Pujo.

Pukul 02.00 dinihari.
Kenthongan dipukul keras-keras, meskipun pendengaranku telah sedikit berkurang, aku masih ingat jelas bahwa warga desa berteriak kalang kabut.

"Kobongan!! Kobongan!! Pabrik soun kobongan!!" teriak para warga.
Badanku yang kian tua renta, hanya mampu berjalan pelan turun dari ranjang tua di kamar.
Aku menuju teras rumah, dan benar saja, warga telah banyak berlarian menuju arah pabrik. Aku pun melihat kepulan asap tebal di udara.
Tiba-tiba anakku Parmi berlari ke halaman rumahku, sambil menggendong Agni yang kala itu masih 5 tahun. Bocah itu hanya terdiam kebingungan.

"Pak..Pak..bojo kula..Mas Rum ten pabrik Pak.." (Pak..Pak..suami saya..Mas Rum di pabrik Pak..) Parmi sudah menangis sesenggukan.
Buru-buru Parmi melanjutkan berlari menuju arah pabrik, di tengah riuhnya warga yang berbondong menuju kesana.

Aku pun dengan tubuh rentaku berjalan pelan menuju pabrik. Lalu ku lihat Rikun saudara jauh berlari mendahuluiku.

"Kun!! Mbok aku tulong digendong
Anakku karo putuku neng kono, nek aku mlaku yo mbuh kapan teko" (Kun!! Tolong aku di gendong. Anakku dan cucuku ada disana, kalau aku jalan gatau kapan sampainya) teriakku serak.

Rikun pun berbalik dan segera menggendongku.
Pikiranku bergejolak, kekhawatiranku terjadi.
Sejak awal Rum bercerita, aku sudah yakin bahwa akhirnya dia pasti akan mengorbankan dirinya demi teman-temannya.

"Dasar..cah goblok!!" (Dasar..anak bodoh!!) gumamku di gendongan Rikun.

Rum memang orang yang keras kepala, namun dia mempunyai dedikasi serta konsistensi yang kuat
terhadap apa yang menjadi tanggungjawabnya. Namun dengan begini, anakku dan cucuku kehilangan sosok laki-laki yang menjadi tumpuan hidup mereka.

Sampailah aku di depan pabrik, Rikun menurunkanku tepat di samping Parmi yang sudah menangis sejadi-jadinya. Agni yang bingung
dan takut pun ikut menangis. Aku mencoba menenangkan Agni. Namun bocah itu bisa apa selain menangis.

Terdengar teriakan dari dalam pabrik, teriakan tersebut suara beberapa laki-laki yang terbakar hidup-hidup di dalam.
Warga ramai berusaha memadamkan api yang terlanjur besar.

"Parmi, wes Par! Rasah di gugu, ikhlaske wae bojomu!! Wes ra mungkin bojomu isok slamet!! Bojomu iku ngorbanke awak e dewe!"
(Parmi, sudah Par! Gausah dipikirkan, ikhlaskan saja suamimu! Sudah gak mungkin dia selamat! Suamimu itu mengorbankan dirinya sendiri!) bentakku sambil berusaha menyeret tangan anakku untuk pergi dari sana.
Namun, tiba-tiba seorang laki-laki dipenuhi api di sekujur tubuhnya keluar dari dalam pabrik. Tubuhnya menggeliat-geliat kepanasan. Semua warga disana mundur karena merasa ngeri, tubuhnya yang sudah gosong masih bisa berlari kesana kemari.
Ilustrasi.
Laki-laki tersebut, aku tau. Dia adalah Rum. Dia mencari-cari istrinya, Parmi. Parmi pun menyadari hal tersebut. Namun untuk apa, Rum mencari-cari Parmi, padahal dirinya sedang sekarat.

Mata Parmi berubah menjadi putih, keluar darah dari hidung dan telinganya.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran, dia berjalan pelan namun pasti menuju ke arah Rum berada, tepat di depan pintu utama ruang produksi.

"Parmi!! Nduk!! Ojo nyedak! Iku namung jebakan, iku iblis nduk!!" (Parmi!! Nak!! Jangan mendekat! Itu hanya jebakan, itu iblis nak!)
teriakku. Aku meminta pertolongan para warga agar menghentikan langkah Parmi, namun sialnya mereka takut dengan Parmi yang sudah berubah sedemikian seram.

Sekira jarak Parmi dan Rum sudah 5 meter, tiba-tiba sosok yang menyerupai Rum perlahan berubah menjadi iblis yang disebut
Rum sebagai Wuraga.
Wujudnya seperti siluman ular, sangat besar dan semakin besar.

Warga berhamburan lari dari sekitar pabrik. Aku masih terpaku menatap punggung Parmi yang kian hilang ditelan api.
Sementara Agni ada di sampingku, di genggaman tanganku.
Tak terasa air mataku menetes, menyaksikan tragedi tak terlupakan tersebut.

Pabrik terbakar habis, hampir 80% dari seluruh bangunan. Sedangkan Juned Si Licik, tidak terlihat sedikitpun batang hidungnya.
Aku menuntun Agni menuju rumah. Tubuhku lesu lemas, pikiranku kacau dan kalut. Entah bagaiman kedepannya aku harus mengurus bocah 5 tahun ini sendirian.

Sebulan setelah kebakaran pabrik, ku dengar kabar, Juned semakin sukses dan kaya raya. Dia pun berencana mendirikan
pabrik sepatu kulit di desa seberang. Mungkin lebih tepatnya dia akan mendirikan pabrik tumbal (lagi) bersama angklek-angkleknya.

"Bajingan" umpatku saat mendengar kabar mengenai Juned.
22 tahun berlalu, aku memilih tuli tentang kabar Juned. Aku berfokus pada pertumbuhan Agni. Dia sekarang telah berubah menjadi bujang tampan, namun sepertinya luka 22 tahun lalu tak pernah benar-benar sirna dari ingatannya.
- selesai -

Terimakasih telah membaca 🙏 semoga bisa dipetik pelajaran.

Dalam waktu dekat saya akan menulis cerita lagi, nantikan ya.
Oiya, mengenai pertanyaan, sebenarnya mengapa Rum akhirnya memilih membakar dirinya dan beberapa teman di pabrik?

Rum tau bahwa tawarannya kepada Wuraga telah gagal. Itu berarti Juned telah mengorbankan seluruh buruh, Rum tidak ingin hal tersebut terjadi,
maka dari itu Wuraga pun memberikan tawaran yang tak kalah licik yaitu dua pilihan. Pertama, Wuraga akan membunuh Rum di waktu yang dia kehendaki, atau Rum bunuh diri kemudian Wuraga akan berhenti memutus perjanjian dengan Juned.
Tentu dua-duanya pilihan yang sama merugikan.
Namun, Rum merasa tidak terhormat jika dia menyerahkan dirinya untuk dibunuh Wuraga.
Akhirnya Rum memilih membakar dirinya, bersama beberapa buruh, yang telah diketahui Rum mereka sekubu dengan Juned. Dengan begitu, Wuraga pun memutus perjanjian dengan Juned.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Sekala Niskala

Sekala Niskala Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @niskala_sekala

18 Dec 20
GETIH MAYIT • Part 2 •

#bacahorror | @bacahorror Image
Cerita ini benar-benar membuat saya tersiksa, akibat tragedi naas yang dialami oleh pemilik cerita. Semoga bisa tersampaikan dengan baik.

Harap membaca Part 1 terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Malam itu aku membawa Manda berjalan-jalan ke mall. Wajah Manda telah kembali ceria, kami bernyanyi riang sepanjang jalan. Sampai tiba di lampu merah. Aku memberhentikan mobil di urutan ke tiga dari zebracross.
Read 41 tweets
4 Oct 20
GETIH MAYIT.

@bacahorror | #bacahorror Image
Naikin poster dulu, mulai nulisnya nanti, mau bikin nasgor dulu 😄
Sudah tujuh malam berturut-turut, aku melihat wanita itu dalam mimpi. Setiap kali aku melewati sebuah rumah joglo dengan pelataran yang luas. Wanita itu ada disana, sedang menggendong bayi sambil bersenandung. Wanita dengan paras yang ayu dan rambut sebahu.
Read 151 tweets
12 Aug 20
Demit Manten.

@bacahorror | #bacahorror

Pict : Pinterest
Asti melangkah gontai di setapak tanah yang terletak di ujung desa dengan sepucuk surat ditangannya. Batinnya menggerutu berkali-kali, akibat kabar yang baru saja ia dapat, bahwa Damar, kekasihnya lagi-lagi bulan ini belum bisa pulang kampung.
Damar memang sudah 3 tahun bekerja di sebuah perusahaan tambang di Kalimantan. Biasanya Damar selalu pulang setiap 3 bulan sekali. Namun, sudah 6 bulan terakhir Damar tidak bisa mengambil cuti karena perusahaannya sedang mendapatkan proyek besar-besaran.
Read 83 tweets
18 Jun 20
Mbok Mardiyah.


@bacahorror | #bacahorror


Perempuan dan kecantikannya, selalu ada harga yang harus dibayar mahal.
Setor poster dulu.

Start nulis nanti malam, stay tune! 🤗
"Buk, teng njawi sampun jawah.." (Buk, diluar sudah hujan..) ucap Yu Parti mengejutkan Mbok Mardiyah yang sedang berdiam diri di pendopo pribadinya.

Mbok Mardiyah bergegas melangkah keluar dengan membawa ember hitam berukuran sedang.
Read 120 tweets
11 Jun 20
Kalau kalian lagi perjalanan malam hari di jalan gelap, dan tiba-tiba ban motor kalian berdecit atau berbunyi seperti suara burung "ciit..cit..citt.."

Segera baca ayat kursi atau doa apapun yang kalian bisa ya, minta perlindungan Allah.
Barusan terjadi sama saya, perjalanan dari Jogja menuju Jawa Tengah, kebetulan lewat jalur lintas selatan yang gelap banget dan sepi, di jalur tersebut ban belakang motor saya berdecit. Awalnya saya mengira itu karena kerusakan teknis saja.
Namun jika saya perhatikan kenapa suara decitannya tidak mengikuti interval kecepatan roda berputar. Sampai lama-kelamaan gas saya semakin terasa berat dan sangat berat, sampai-sampai membuat tangan saya kram karena terlalu kuat menarik gas.
Read 5 tweets
30 May 20
Gaes, sepertinya saya akan jarang update cerita, karena...

Kalian percaya gak sih? Teman sekamar saya yang juga memiliki kemampuan melihat dan berinteraksi dengan "mereka" sangat sering di ganggu.
Baru terjadi hari kemarin banget, teman saya tiba-tiba meraung-raung ketika tidur. Setelah dia bangun, katanya dia ketindihan.

Dia sering banget didatangi sosok-sosok yang katanya kepengen ditulis.
Kalian paham gak?

Jadi, teman saya itu yang selama ini berusaha melindungi saya agar tidak diganggu oleh semua sosok-sosok yang saya tulis di cerita saya.

Namun dampaknya, teman saya jadi sering ketindihan, dan banyak sekali sosok lain yang antre kepengen ditulis juga.
Read 5 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(