•
•
@bacahorror | #bacahorror
•
•
Perempuan dan kecantikannya, selalu ada harga yang harus dibayar mahal.
Start nulis nanti malam, stay tune! 🤗
Mbok Mardiyah bergegas melangkah keluar dengan membawa ember hitam berukuran sedang.
Mbok Mardiyah menuju talang air untuk menampung air hujan. Ia mendongakkan wajahnya menatap langit yang gelap disertai derasnya hujan, senyuman tersulam di bibir kecilnya.
Bukan tanpa alasan. Meskipun Mbok Mardiyah adalah seorang janda, namun usianya masih 24 tahun. Ia menjanda akibat kegagalan pernikahan mudanya,
Tubuhnya yang tinggi semampai, badannya berisi sempurna, kulitnya kuning langsat, dengan lesung pipit yang menawan dan sangat manis.
Rambutnya disanggul rapi dan indah.
Orangtua Mbok Mardiyah adalah semi bangsawan, tak heran jika rumah mereka besar dan mewah di zaman itu. Tanah miliknya pun ribuan hektar.
Semua orang selalu terpana akan kecantikan dan hartanya.
Tak terkecuali, Ridwan. Seorang pemuda berusia 23 tahun. Ia merupakan anak kepala desa. Karir Ridwan pun terbilang cukup cemerlang, ia bekerja di sebuah kantor pos.
Dia berkali-kali meminta orangtuanya untun melamar Mbok Mardiyah untuknya. Namun orangtuanya selalu menolak keras.
Akhirnya Pak Mingan menyerah dengan sikap Ridwan yang semakin semena-mena. Ia menuruti kemauan Ridwan untuk melamar Mbok Mardiyah.
Namun, dengan Mbok Mardiyah sudah menikah dengan Ridwan, sama sekali tidak menyurutkan para lelaki untuk menggoda Mbok Mardiyah.
Mbok Mardiyah pun menuruti kemauan Ridwan. Ia sebenarnya istri yang taat dan penurut. Itu membuat Ridwan semakin menyayanginya.
Hingga muncul gosip warga, bahwa mungkin Mbok Mardiyah mandul (tidak bisa punya anak), karena di pernikahan pertamanya pun tak kunjung punya anak, padahal sudah berjalan 6 tahun.
**
Mohon maaf sekali, ada kendala malam ini 🙏
Oke lanjut.
Warga pun turut senang mendengar kabar baik tersebut.
9 bulan kemudian, Mbok Mardiyah melahirkan. Ridwan memanggil seorang dukun beranak.
Mereka semua menunggu di ruang tamu, selama prosesi lahiran berlangsung.
30 menit kemudian, suara tangis bayi pun terdengar.
Ia menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah dalam kamar.
"Iku bayi setan!! Bayi ngono kui, ojo di jarno urip!! Bayi iku kudu mati!"
Ia kemudian bergegas keluar rumah, yang disusul oleh Ridwan sambil memanggil-manggil nama Mbah Jum.
Warga yang menyaksikan hanya terdiam kaku, bingung dengan apa yang sedang terjadi.
"Kenopo to mas Ridwan? Eneng opo?" (Kenapa si Mas Ridwan? Ada apa?)
Namun Ridwan tak menghiraukannya. Ia segera masuk ke kamar dengan wajah penuh amarah.
Dan alangkah terkejutnya mereka, bahwa bayi yang dilahirkan Mbok Mardiyah dalam keadaan mengidap kelainan langka, jika menurut bahasa medis disebut Cyclopia.
Namun zaman itu belum ada istilah medis.
Ridwan segera membubarkan warga dan mengusir dari rumah mereka.
Ridwan yang melihat hal tersebut, tidak begitu kaget. Namun, ia tetap kesal dengan istrinya.
"Opo uripe awakdewe kudu ko ngene sakteruse? Tekan kapan?"
Mbok Mardiyah tidak menggubris, ia tetap asyik menikmati santapannya malam itu, yaitu bayinya sendiri.
"Sampean arep?" (Kamu mau?) tanya Mbok Mardiyah kepada suaminya sambil menjulurkan jari-jari kaki yang mungil dan otak bayi.
Mulutnya belepotan oleh darah, sampai ke giginya.
"Awakdewe wis gawe perjanjian ning awal biyen, Mas. Nek kahananku ko ngene. Aku wis ora bisa ucul seko kahanan iki. Jaremu arep nompo
"Tapi tekan kapan nduk? Aku yo pengen koyo wongtuo liyo. Sing iso nduweni anak. Aku pengin momong anak.." (Tapi sampai kapan nduk? Aku pun ingin seperti orangtua lain. Yang bisa punya anak.
Mbok Mardiyah hanya terdiam. Ia kemudian pergi meninggalkan Ridwan seorang diri. Mbok Mardiyah menuju ke ruangan belakang rumahnya.
Ruangan tersebut berisi beberapa toples yang di dalamnya berisi air dan otak-otak kecil.
Kemudian ia menuju dapur dan mengambil pisau.
Dirumah mereka memang hanya ada mereka berdua, karena sejak menikah dengan Ridwan. Mbok Mardiyah tidak lagi memperkerjakan Yu Parti.
Mbok Mardiyah kemudian tertawa puas menyaksikan dirinya
Ia kemudian menyeret tubuh Ridwan, dibawanya ke ruangan belakang, dan dia potong-potong tubuh Ridwan menjadi 12 bagian.
Kemudian ia memasak bagian paha dan lengan Ridwan, lalu ia makan. Semuanya ia lakukan tanpa merasa bersalah dan menyesal.
Sedangkan daging Ridwan sudah
**
Keesokan harinya, Mbok Mardiyah memberi pengumuman kepada warga bahwa semalam suaminya pergi begitu saja dengan membawa bayi yang baru saja ia lahirkan.
Katanya, Ridwan malu dengan kondisi bayinya yang cacat. Dia ingin pergi jauh mengasingkan diri,
Cerita tersebut ia karang untuk menghilangkan jejak kejahatannya. Namun, yang aneh, ceritanya hampir mirip dengan kegagalan rumah tangganya yang pertama.
Warga mulai mencurigai Mbok Mardiyah yang bersikap aneh.
Jadi, di desa Pekuncen ada sebuah situs Watu Gudig, disana hanya berisi sebuah lahan yang tidak terlalu luas
Batu tersebut memang dikeramatkan oleh warga desa Pekuncen, mengingat banyaknya kejadian aneh yang terjadi disana.
Dan benar saja, ia menuju situs Watu Gudig. Disana ia melepaskan selendang penutup dada dan pundaknya.
Entah apa yang dia lakukan, namun dia berdiam diri dengan posisi itu dengan cukup lama.
Dan saat itulah Mbok Mardiyah tertawa-tawa kegirangan sambil menengadahkan wajahnya ke langit.
Warga yang melihat hal tersebut merasa ngeri dengan pemandangan itu. Ia bergegas pulang, sebelum Mbok Mardiyah menyadari keberadaannya.
Namun, yang namanya laki-laki, masih banyak yang memanfaatkan kesempatan itu untuk menggoda Mbok Mardiyah.
"Mbok Mardiyah!! Kok sampean ayu tenan to Mbok?!"
Ketiga laki-laki yang lain juga turut menggodanya.
Mbok Mardiyah hanya diam, tidak melawan atau menepis tangan-tangan yang menyentuh tubuhnya secara kurang-ajar.
Ia memang sengaja tidak langsung membunuh Parno, karena...
Ia berencana untuk memperkosa Parno, agar dirinya bisa hamil. Mbok Mardiyah membawa Parno menuju sebuah kebun yang jauh dari pemukiman warga.
Setelah semua selesai, Mbok Mardiyah menghabisi Parno dengan menusuk puluhan kali dada dan perut Parno, sampai organ hati dan ususnya keluar.
Warga marah besar karena mereka sudah mengetahui tabiat Mbok Mardiyah yang sesungguhnya, berdasar cerita ketiga teman ronda Parno.
Warga berbondong mendatangi rumah Mbok Mardiyah, namun nihil.
Ternyata tanpa diketahui oleh siapapun, Mbok Mardiyah sudah membangun sebuah rumah sederhana di tengah hutan. Rumah tersebut memang telah di persiapkan untuk pelariannya, kalau kalau dia ketahuan oleh warga.
Karena, ia sedang mengandung bayi, di rumah pelariannya. Dia pun kembali memperkerjakan Yu Parti, abdi yang paling setia melayaninya.
Yu Partilah yang mencari seluruh kebutuhan Mbok Mardiyah.
9 bulan kemudian, Mbok Mardiyah pun melahirkan. Dengan dibantu oleh Yu Parti, Mbok Mardiyah lagi-lagi melahirkan
Dan seperti biasa, Mbok Mardiyah kembali memakan daging bayinya hidup-hidup. Dan disisakannya otak dari bayi tersebut.
Dan ketika turun hujan, di saat itulah Mbok Mardiyah harus menampung airnya, serta menengadahkan
**
Sejak kelahiran bayi yang terakhir, Mbok Mardiyah dibuat bingung memikirkan bagaimana ia mendapat mangsa laki-laki lagi untuk bisa menghamili dirinya.
Dan laki-laki yang menghamili pun harus memenuhi kriteria yang ditentukan, yaitu memiliki rambut ikal, memiliki tahi lalat di wajah,
Dan Mbok Mardiyah sudah paham betul mana orang-orang yang lahir di hari Kliwon, bahkan tanpa ia harus bertanya.
Makanya tidak sembarang laki-laki bisa menghamilinya.
Akhirnya dia menyuruh Yu Parti untuk mencarikan laki-laki dari desa sebelah.
**
Ramai pemuda berbondong-bondong mendatangi rumah Mbok Mardiyah yang ada di tengah hutan.
Mbok Mardiyah mulai menseleksi satu-persatu pemuda yang datang. Dan dia menemukan setidaknya enam pemuda yang sesuai dengan kriteria yang ia cari.
"Sampean-sampean semua, adalah enam dari sekian banyak pemuda yang datang di hari ini. Kalian yang menurutku masuk di kriteria calon pasanganku. Sekarang kalian aku beri tantangan, untuk bisa mencarikan aku air hujan,
Keenam pemuda tadi pun bubar. Namun liciknya Mbok Mardiyah, ia menahan satu pemuda yang paling belakang dan membisikinya sesuatu.
"Awakmu ngko bengi iso teko nang kamarku jam 2 bengi.."
Pemuda itu pun sangat bersemangat.
Tepat jam 2 malam, pemuda tadi mengetuk jendela kamar Mbok Mardiyah.
Menjelang subuh, pemuda tersebut pamit hendak pulang. Namun, ketika ia sedang merapikan bajunya, Mbok Mardiyah menusuknya dari belakang.
Seperti korban-korban sebelumnya, Mbok Mardiyah memotong-motong tubuh pemuda tadi menjadi beberapa bagian, dan sebagian dagingnya ia makan.
Mbok Mardiyah mencicipi satu-persatu air hujan dalam ember mereka.
Dan ternyata, tak ada satupun air hujan yang menurutnya lezat dan asin sesuai permintaannya.
Namun, salah satu pemuda yang bernama Kusto, berhasil merebut pisau dari genggaman Mbok Mardiyah. Dan langsung kembali menusuk Mbok Mardiyah.
Bahkan, Yu Parti menggunakan gergaji mesin yang akhirnya menewaskan keempat pemuda dengan begitu ganas.
Sementara Kusto berhasil lari, dengan menahan luka tusukan,
Yu Parti melihat Mbok Mardiyah terkapar dengan leher yang hampir putus, namun ia belum mati.
"Wektuku wis teko Yu..aku kudu lungo..tak jaluk ning awakmu, kabeh omah, lemah, bondoku kok simpen kanggo awakmu lan anak putumu.." (Waktuku sudah datang Yu..
Tak berselang lama, ia menghembuskan nafas terakhir.
**
"Wong wedok bajingan. Jebul sing awakdewe goleki selama iki ndelik neng alas kono..saiki awakdewe kudu mrono ngge
Namun sayangnya, ia hanya menemukan kelima jasad pemuda yang sudah terbunuh dengan ganas.
Tanpa pikir panjang, warga membakar rumah Mbok Mardiyah sampai habis tak tersisa.
Karena tanpa mereka sadar, jasad Mbok Mardiyah telah dibawa Yu Parti menuju rumah Mbok Mardiyah yang ada di desa Pekuncen.
**
Karena cinta dan abdinya yang setia, Yu Parti merasa sangat bersedih dan kehilangan Mbok Mardiyah.
Akhirnya dia mencari berbagai macam cara agar bisa kembali menghidupkan Mbok Mardiyah.
Ia bergegas menuju ruang kamar Mbok Mardiyah dan mencari buku yang sekiranya bisa digunakan untuk menghidupkan Mbok Mardiyah.
Yu Parti mati dalam kondisi yang mengenaskan, dengan tubuh yang tak lagi berbentuk, karena makhluk tadi mencabik-cabik tubuh Yu Parti.
Bahkan mereka sama sekali tidak mencari Mbok Mardiyah ke rumah aslinya yaitu yang ada di desa Pekuncen.
Mereka berfikiran bahwa Mbok Mardiyah telah lari lebih jauh lagi untuk menghindari amukan masa.
**
Karena katanya, pernah beberapa kali orang lewat sekitaran rumah Mbok Mardiyah, mereka melihat ada sosok perempuan
Seorang tukang bakso yang pada suatu malam melewati area rumahnya mengaku dipanggil-panggil oleh suara perempuan yang hendak membeli baksonya.
Namun, gelagat perempuan tadi tidak janggal pada awalnya. Sampai setelah sebungkus bakso selesai,
Perempuan tadi tiba-tiba menyeringai sembari lehernya perlahan-lahan sobek dengan sendirinya, sehingga darah bercucuran dari sana membasahi baju dan lengan perempuan itu.
Tepat di depan pintu gerbang rumah Mbok Mardiyah yang sudah berkarat. Pemuda tadi merasa boncengannya sangat berat, sampai-sampai
Kejadian tersebut berakhir dengan ban belakang sepeda pemuda tadi bocor tanpa sebab, yang menyebabkan ia mau tidak mau harus menuntun sepedanya.
Pemuda tadi juga melihat ada seorang perempuan mengenakan kemben, dengan rambut berkonde di pelataran rumah Mbok Mardiyah.
Namun, ia tak menghiraukan perempuan itu. Ia hanya bolak-balik melafalkan doa-doa sebisanya.
Perempuan itu komat-kamit seperti melafalkan sebuah mantra yang entah apa artinya. Kemudian ia tertawa-tawa tidak karuan seperti orang gila.
Pemuda tadi pun lari terbirit-birit sampai ke rumahnya. Ia meninggalkan sepedanya di jalan tadi.
Bapaknya yang mulai penasaran, menceritakan kepada beberapa warga.
Keesokan harinya di siang hari, warga mendatangi rumah Mbok Mardiyah. Mereka mendobrak pintu gerbang rumah itu yang terkunci rapat.
Sampailah mereka di depan pintu utama rumah Mbok Mardiyah. Mereka mencoba membuka, namun terkunci. Lagi-lagi mereka harus mendobraknya.
Saklar-saklar lampu pun masih berfungsi dengan baik. Bagaimanapun juga rumah itu bisa dikatakan rumah paling mewah di
Di ruang tengah terdapat banyak sekali pajangan-pajangan kepala rusa dengan tanduk yang eksotis. Dan semuanya sangat terawat serta rapi.
Dan disana yang mengejutkan adalah mereka menemukan tulang-belulang manusia.
Mereka menulusuri setiap sudut ruangan rumah Mbok Mardiyah yang besar. Tidak ditemukan hal aneh apapun kecuali sebuah pendopo kecil,
Ruangan tersebut pun terlihat sangat-sangat terawat. Bahkan ada sisa-sisa lilin yang sepertinya baru dinyalakan malam sebelumnya karena terlihat dari lelehan-lelehannya.
Mereka mencari sumber suara-suara tersebut, dan akhirnya mereka menemukan sebuah pintu kecil berukuran 100 cm x 100 cm berwarna merah.
Dan disana terdapat ruangan kosong nan luas yang berisi puluhan laki-laki yang diikat kaki dan tangannya di sebuah kursi.
Mulutnya telah disobek sisi kanan dan kiri sampai mendekati ujung telinga, dan terdapat tali
Betapa mengerikan dan menyedihkan suasana di dalam ruangan tersebut. Mereka mengeram-eram meminta pertolongan.
Warga bergegas membuka satu-persatu ikatan tali di tangan-tangan mereka, yang ternyata tali tersebut terikat dengan sangat erat.
Namun, anehnya Mbok Mardiyah kian terlihat cantik dan muda. Wajahnya, kemolekan tubuhnya, seperti tak pernah
Warga yang dibuat termenung sejenak, kemudian kembali tersadar ketika para laki-laki yang di ikat mulai meronta-ronta minta dilepaskan.
Namun, sayang Mbok Mardiyah telah membawa sebuah gergaji mesin di tangannya.
Beberapa warga telah berhasil ia bunuh dan yang lain berhasil kabur melalui jendela.
**
Api melalap hebat hanya dalam waktu yang cepat, karena rumah Mbok Mardiyah ini memiliki halaman depan, belakang,
"Kepie nasipe wong-wong lanang sing neng njero kono?" (Bagaimana nasipnya laki-laki yang ada di dalam sana?) tanya salah seorang warga yang menyadari bahwa masih ada belasan nyawa yang
Namun, warga lain justru tak acuh dan memilih mengakhiri semua. Tak berselang lama terdengar suara jeritan seorang perempuan dari dalam rumah.
Suara-suara laki-laki berteriak pun terdengar tak kalah kencang. Suasana disana sangat riuh
Mbok Mardiyah setengah berlari dengan menyeret kaki kanannya yang sudah hangus terlalap api.
Bahkan dirinya masih mampu membawa sebuah parang di tangan kanannya, ia berniat untuk menghabisi warga disana.
Mereka melihat sebuah bayangan seperti asap hitam tebal keluar dari bekas tubuh Mbok Mardiyah. Asap itu memiliki mata merah darah dengan taring yang tajam, makhluk itu menyeringai ke arah warga, sebelum disusul tawa
Kemudian, sosok tadi berlalu dan lenyap begitu saja diguyur air hujan.
Setelah menunggu cukup lama, warga benar-benar memastikan bahwa Mbok Mardiyah telah benar-benar lenyap. Dan setelah mereka yakin, mereka berlanjut menuju puing-puing rumah Mbok Mardiyah.
Mereka telah hangus terbakar dengan tangan dan kaki yang masih terikat di kursi.
Beberapa warga yang telah terbunuh oleh Mbok Mardiyah pun bergelimpangan di lantai dengan tubuh yang hitam tak berbentuk.
**
Biasanya digunakan para orangtua untuk menakut-nakuti anaknya agar tidak bandel. Kalau bandel nanti diculik Mbok Mardiyah.
Warga memutuskan tanah warisan peninggalannya digunakan sebagai tanah wakaf bagi orang-orang miskin.
***
Sekian dan terimakasih.