Apa yang diungkapkan dlm berlembar-lembar tulisan, bisa disampaikan dgn 1 simbol. Kata-kata dan tulisan pun sebenarnya rangakian simbol-simbol. Tak lebih, tak kurang.
Mereka yg mengagungkan kata/tulisan lalu merendahkan simbol sebenarnya belum memahami kebenaran.
Mereka yg mengagungkan kata/tulisan lalu merendahkan simbol sebenarnya belum memahami kebenaran.
Mereka pun kemudian menyusun teologi dan merasa sudah mampu menjelaskan kebenaran. Mereka lupa bahwa yang coba digambarkannya dgn kata/tulisan pun melampaui pikiran, berada di atas semua “logi” tetapi mereka sendiri terjebak di dalam perangkap pikirannya.
Sementara itu, simbol bisa mengantarkan kita masuk ke dalam diri, melepaskan usikan pikiran. Karena itu para bhakta/panembah pun memejamkan mata—selesai sudah peran sang simbol. Hening. Bening. Tanpa berisik kata dan logika.
Pada akhir suatu festival, simbol bisa didaur ulang, dilarung. Tak ada keterikatan. Para bhakta/panembah sepenuhnya sadar Sang Hyang tak ikut musnah. Tp teologi bisa dipegang sampai mati, bahkan bisa dipakai sbg alasan utk mematikan. Itulah sejarah manusia selama berabad-abad.
Simbol bisa beragam. Tdk satu. Setiap org boleh memilih yg paling dekat di hati. Bahkan sepanjang sejarah, simbol-simbol bisa berubah, menyatu, berpisah, muncul mengikuti perkembangan peradaban—namun kesadaran dasarnya tak berubah. Bhinneka tunggal ika, tan hanna Dharma mangrwa.
