***
Di usianya yang sudah senja, 86 tahun, Nenekku ini kondisinya sudah sakit-sakitan, seharusnya sudah menggunakan kursi roda ke sana ke mari, tapi dia bersikeras untuk tetap berusaha berjalan di atas kakinya, walaupun sangat tertatih dan menggunakan tongkat.
Tapi ya gak apa, kami tetap senang melihat perkembangan itu.
Walaupun ada beberapa cerita nenek yang gak kami mengerti.
Intinya, mereka bertiga bersahabat erat hingga masa tua.
***
Aku gak percaya dengan alasannya.
Pada akhirnya terungkap semua alasan sebenarnya.
Perubahan yang menurutnya sangat Aneh, selain perubahan yang sudah aku sebutkan di atas tadi. Perubahan yang membuat mba Ida bertanya-tanya, karena gak seperti biasanya.
“Perbincangan” nenek sering kali diselingi dengan tawa, kadang ada tangis juga.
“Kamu gak usah ganggu, ini saya lagi ngobrol sama teman lama, Yoana, kamu kan sudah kenal. Sana bikinin minum buat Bu Yoana.” Begitu jawab nenek.
Nenek selalu bicara seperti itu, dia bilang sedang berbincang dengan Ibu Yoana.
Tapi lama kelamaan juga, mba Ida merasa kalau keanehan ini semakin menjadi, membuatnya mulai merasa sedikit ketakutan.
Ada kejadian yang benar-benar aneh..
Mba Wati berada di kamarnya, nenek di ruang tengah sedang duduk di atas kursi goyang kesayangan sambil menonton tv, sedangkan mba Ida sedang membereskan kamar nenek.
Lawan bicara nenek? Bukannya nenek sedang sendiran? Nah itu anehnya.
“Ah gak mungkin, kan nenek sedang sendirian di ruang tengah.” Begitu pikir mba Ida.
Tapi suara itu jelas kedengaran.
Walaupun begitu, mba Ida belum juga berniat untuk melihat ke ruang tengah untuk memastikan, karena belum selesai membereskan kamar.
“Iya Yes, aku juga senang bisa ngobrol sama kamu lagi.” Begitu balas lawan bicara nenek. Yessi adalah nama nenek.
Peristiwa yang sungguh sangat menakutkan,
Begini ceritanya..
Gak ada jawaban, gelapnya ruang tengah masih kelihatan kalau di situ kosong, gak ada nenek.
Ketika semakin mendekat ruang tamu, mba Ida memperlambat langkah. Dari sela-sela lemari kaca. Mba Ida melihat sesuatu di ruang tamu.
Mba Ida melihat ada seseorang di ruang tamu..
Tapi walaupun rasa takut sudah mulai meraja, mba Ida tetap harus terus melangkah ke ruang tamu, dia yakin kalau itu nenek yang sedang duduk di situ.
Tapi nenek gak sendirian, dia ditemani seseorang. Seorang perempuan tua yang mba Ida sudah pernah lihat sebelumnya, perempuan tua yang nenek sebut sebagai ibu Yoana.
“Nek, ayo ke kamar lagi nek, ini masih malam.” Begitu kata mba Ida.
“Gak mau, saya masih mau ngobrol dengan Yoana.” Begitu jawab nenek, tanpa memandang mba Ida.
Yang paling menakutkan, di wajah keriputnya Ibu Yoana tersenyum tipis dengan ekspresi datar. Sangat menyeramkan..
Dalam prosesnya, Ibu Yoana yang masih saja duduk di hadapan, terus memandang mba Ida dengan senyum seramnya.
Mendengar ceritanya, aku bisa mengerti.
***
Tapi ketiganya hanya sebentar, yang paling lama bertahan hanya dua minggu, yang lainnya hanya hitungan hari. Mereka berhenti dengan alasannya masing-masing,
***
Sama seperti mba Ida dulu, dia bilang mau pulang kampung.
Tapi papa mama sedikit memelas kepada mba Wati agar jangan berhenti, karena akan sangat susah mencari penggantinya.
Sukurlah..
***
“Jess, nanti pulang kerja kita makan bareng ya, sama mama dan Jo juga.” Begitu kata Papa.
“Makan di mana Pa?”
“Tempat biasa aja lah ya,” Jawab Papa.
Iya, malam itu kami berempat bertemu di satu restoran di Selatan Jakarta.
***
Awalnya kami ngobrol santai, perbincangan topik ringan, seperti sebelum-sebelumyna.
Tapi suasana berubah ketika Papa akhirnya mengangkat satu tema.
Langsung saja aku dan Jo kompak bilang, “Ada setannya Pa. Sejak ada guci, rumah jadi seram, banyak kejadian aneh.”
“Kok Papa baru sadar sekarang?” Tanyaku.
Beberapa hari sebelumnya, di tengah malam buta, papa dan mama terbangun dari tidurnya. Terbangun karena mereka mendengar sesuatu di ruang tengah.
Di dalam kamar, mereka sangat ketakutan, sampai akhirnya papa mendengar suara nenek, suara nenek memanggil namanya dari ruang tengah.
Dua orang sahabat yang sudah meninggal semuanya, mereka duduk berbincang di ruang tengah.
Papa menyuruh aku dan Jo untuk datang ke rumah Ibu Suci, dan mencari informasi tentang guci itu.
***
Di rumahnya kami disambut dengan anak Ibu Suci, Bu Dewi namanya. Kebetulan waktu itu Ibu Suci sedang gak ada di rumah, dia sedang tinggal di rumah anaknya yang lain, di luar kota.
Singkatnya, pertemuan mereka selesai, diakhiri dengan nenek yang pulang membawa guci.
“Kalau begitu, saya pinjam gucinya ya, saya juga kangen dengan Yoana.” Begitu nenek bilang.
“Ya sudah, bawa aja gucinya Yes.” Jawab Bu Suci.
Lalu, dari mana Bu Suci mendapatkan guci itu?
Jadi, ternyata dulunya ternyata guci itu adalah tempat abu sisa pembakaran jenazah Ibu Yoana.
Dalam suat wasiatnya, almarhum meminta kalau abu jenazahnya dibuang ke laut saja, jangan disimpan.
Salahnya, guci gak ikut dibuang, malah dibawa pulang.
***
Balik ke gw ya, Brii.
Begitulah kisah tentang Guci yang ada di rumah keluarga Jessica.
Cukup sekian cerita malam ini, sampai jumpa minggu depan di cerita gw lainnya.
Met bobo, semoga gak mendengar suara senandung dari ruang tamu.
Salam,
~Brii~