Malam ini gw kembali akan menceritakan pengalaman pribadi, kejadiannya waktu gw masih SMP.
Kejadian yang cukup membekas dalam ingatan, menyeramkan.
Simak di sini, di Briistory.
***
Seperti yang sudah pernah gw bilang beberapa kali, gw lahir dan beranjak besar di Cilegon, kota industri yang nyaris berada di paling ujung barat pulau Jawa.
Di kota ini gw punya banyak cerita, di kota ini gw punya banyak pengalaman dengan berbagai rasa, Indah, bahagia, seru, lucu, dan juga pasti banyak yang menyeramkan.
Mungkin karena sejak kecil sudah berada di lingkungan dan daerah yang sarat dengan cerita serta kejadian seram, gw jadi mengalami banyak pengalaman aneh dan sering kali menyeramkan.
Banten, memang sejak dulu terkenal sebagai daerah yang memiliki nuansa mistis dan hal-hal di luar akal, dan itu benar adanya, karena gw yang mengalaminya sendiri.
Disamping karena faktor lingkungan dan kedaerahan tadi, salah satu faktor lain yang membuat gw jadi seperti ini adalah pertemanan. Dari kecil gw punya banyak teman yang hobinya sama, berpetualang.
Sering kali mengeksplorasi tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya, atau bahkan belum pernah ada orang lain yang datang mengunjungi.
Berbahaya? Iya, karena beberapa kali kami harus ketakutan setengah mati karena menemui masalah, entah nyasar, terjebak di satu tempat, atau masalah lain.
Nah, kali ini gw akan cerita satu pengalaman yang cukup menyeramkan.
Ah, gak deng, menurut gw sangat aneh dan menyeramkan. Pengalaman yang gw alami ketika masih SMP dulu, bersama dua orang teman.
Kejadiannya sudah cukup lama, tapi sepertinya gw masih sangat ingat detailnya, karena memang sangat membekas.
Kejadian di salah satu kapal besar, kami menyebutnya “Kapal Hantu di Selat Sunda”.
Begini ceritanya..
***
Gw sekolah di SMPN 3 Cilegon, dulu namanya SMPN Pulomerak.
Jaman gw dulu, sekolah ini termasuk sekolah unggulan, semoga sekarang masih ya :).
Lokasinyaberada persis di sisi jalan raya Merak, di daerah Tegalwangi tepatnya.
Selama tiga tahun sekolah di sini, gw juga punya beberapa pengalaman seram dan menakutkan, karena gedung dan lingkungannya memang seram, dulu ada satu pohon beringin besar dan rindang berdiri tepat di tengah-tengah sekolah, gak tau sekarang masih ada apa nggak.
Pastinya, disamping memang menjadi sekolah unggulan, SMP gw ini termasuk sekolah yang angker dan menyeramkan.
Nanti kapan-kapan gw cerita tentang sekolah ini, gak sekarang.
Nah, sesuai dengan namanya, SMPN Pulomerak, sekolah ini letaknya memang sudah dekat ke pelabuhan Merak, pelabuhan sangat terkenal, tempat berlabuhnya kapal laut yang melintasi selat sunda, menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera.
Pelabuhan yang sangat sibuk, apa lagi kalau sudah menjelang lebaran, akan menjadi sangat sibuk dan ramai.
Tapi di tahun 2020 ini sepertinya Pelabuhan Merak gak akan seramai biasanya, semoga jangan. Di saat pandemi Covid-19 ini sebisa mungkin gak usah mudik lebaran.
Kembali ke topik bahasan..
Jadi, waktu SMP dulu, banyak teman sekolah yang tinggal di daerah sekitaran pelabuhan Merak, rumahnya gak jauh dari pelabuhan.
Ada beberapa teman juga yang orangtuanya bekerja di pelabuhan, entah itu sebagai operator pelabuhan atau kru kapal, atau lainnya yang berhubungan dengan perkapalan penumpang ini.
Karena banyak teman yang rumahnya dekat pelabuhan inilah gw jadi sering bermain ke situ, entah untuk memancing atau sekadar melihat kapal yang bersandar berlabuh kemudian berlayar kembali. Seru, cukup seru.
Memancing ikan, satu kegiatan yang dulu gw sangat suka. Bersama teman, gw sering pergi memancing di pelabuhan, entah itu di dekat dermaga atau menggunakan kapal kecil menyeberang ke bagan ikan.
Bagan ikan?
Iya, bagan ikan. Untuk teman-teman yang tinggal di daerah pesisir pasti gak asing dengan benda ini, mungkin punya nama berbeda tapi fungsinya sama, yaitu menangkap ikan.
Bagan ikan ini terbuat dari bambu yang disusun dan dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi semacam rangka besar untuk mangaitkan jaring ikan. Sebesar kira-kira lima meter persegi, kurang lebih sebesar itu.
Kalau dasar laut masih terjangkau oleh bambu, maka kaki bagan akan ditancapkan ke dasar. Tapi kalau sudah terlalu dalam, maka bagan akan dibiarkan mengapung di permukaan, hanya terikat oleh tali berjangkar yang tertancap di dasar laut, sehingga bagan gak akan ke mana-mana.
Waktu itu, sering kali gw diajak teman untuk memancing di bagan ini. Untuk ke sana, kami harus menyeberang menggunakan perahu dayung. Masih terjangkau dengan perahu karena jaraknya memang belum terlalu jauh di tengah laut, mungkin hanya 200 atau 300 meter dari bibir pantai.
Di bagan ini biasanya kami memancing hingga sore hari, karena pemilik bagan akan datang setelah matahari terbenam, lalu memulai kegiatannya menangkap ikan pada malam hari.
Setiap kali memancing di bagan, gw hampir salalu bersama dengan Sugi dan Mesran. Sugi teman satu kelas yang rumahnya memang di sekitaran Merak.
Mesran beda kelas, tapi rumahnya dekat dengan Sugi,
Ayahnya Mesran pemilik bengkel motor yang cukup besar di daerah Merak, nama Mesran diambil dari merek oli yang cukup terkenal waktu itu, hehe.
***
Pada suatu hari libur sekolah, gw pergi memancing bersama Sugi dan Mesran.
Seperti biasa, kami meminjam perahu milik keluarga Sugi untuk berlayar menuju satu bagan sebagai tempat kami memancing.
Waktu itu masih belum terlalu siang, masih sekitar jam sepuluh, tapi kami sudah berada di atas perahu dayung.
Mesran dan Sugi dengan cekatan mendayung mengendalikan dan mengarahkan laju perahu, sedangkan gw hanya duduk diam menikmati pemandangan.
Gw orang yang sangat suka laut, suka suasananya, suka pemandangannya, suka dengan misterinya. Kalu sudah jalan-jalan ke laut, gw akan sangat bahagia.
Sama juga waktu itu, ketika Mesran dan Sugi sibuk dengan dayung di tangan, gw malah dengan senangnya menikmati perjalanan, memperhatikan air laut yang masih ramah membentuk gelombang kecil.
Karena masih dekat dengan pantai dan belum terlalu dalam, maka airnya masih berwarna hijau kecoklatan, belum menjadi biru gelap.
Panas terik matahari yang bersinar langsung tanpa permisi, akan membuat kulit menggelap di banyak sisi.
Tapi itu bukan penghalang, kami tetap akan bersenang-senang di atas bagan nanti.
Gak lama, kira-kira setelah 20 menit di atas perahu, akhirnya kami sampai di tujuan, yaitu bagan ikan.
Setelah sampai, kami lalu memulai kegiatan permancingan.
Bagan tempat memancing ini letaknya gak terlalu jauh dari pelabuhan merak, dermaganya kelihatan dari tempat kami duduk. Tapi tentu saja letak bagan bukan di jalur perlintasan kapal penumpang yang hilir mudik.
Tapi, letaknya cukup dekat dengan beberapa kapal yang sedang beristirahat, atau kapal penumpang yang sedang gak beroperasi.
Kapal yang sedang beristirahat ini biasanya sedang dibersihkan, atau dalam perbaikan, atau ada alasan lain.
Hampir seluruh kru biasanya pergi ke daratan, meninggalkan kapal melepas jangkar sendirian, hanya ditunggui oleh beberapa orang kru-nya aja, jadi kapal dalam keadaan nyaris kosong.
Kami duduk di atas bagan sambil memperhatikan kapal-kapal besar ini, kapal yang memang kelihatan kosong, gak ada orang sama sekali.
“Kamu kenal sama Raden kan Brii? Anak kelas 2B.” Tanya Mesran yang sepertinya tahu kalau gw sedang memperhatikan kapal-kapal besar itu.
“Iya, kenal Sran. Kan aku satu sekelas di kelas satu,” Jawab gw.
“Om-nya Raden kan kerja di salah satu kapal-kapal itu. Kalo mau, dia bisa ngajak kita naik ke kapal itu kapan-kapan, aku pernah kok diajak.” Begitu kata Mesran lagi.
Hmmmm, ide yang bagus, begitu pikirku. Pingin juga naik kapal sebesar itu, dan memancing ikan dari atasnya.
***
Singkatnya, pada hari berikutnya, di sekolah gw bertemu dengan Raden, lalu mengungkapkan keinginan gw dan Mesran untuk main ke salah satu kapal besar tempat di mana om-nya Raden bekerja.
“Jadi kamu mau main dan mincing di kapal itu Brii? Sepi loh kalo lagi istirahat, Cuma ada satu atau dua orang yang nunggu.” Begitu kata Raden.
“Ya malah bagus dong Den, kita bisa jalan-jalan bebas di kapal besar, hehe” Begitu gw bilang.
Begitulah, akhirnya Raden menyanggupi untuk meminta ijin ke om-nya agar kami bisa naik ke kapal.
Besoknya Raden membawa kabar gembira, om nya memberi ijin, dan akan mengantar kami masuk ke dalam kapal.
Rencana akhirnya tersusun, hari libur berikutnya kami akan melaksanakan kegiatan itu, naik ke atas kapal yang sedang berlabuh beristirahat.
Kegiatan yang harusnya akan menyenangkan, menggembirakan, mengeksplor kapal besar yang sedang dalam keadaan kosong. Seharusnya begitu.
***
Satu hari sebelum pelaksanaan, Raden memberi kabar kalau ternyata om-nya baru akan pulang pada malam hari. Jadi kami baru bisa naik ke kapal setelah om-nya pulang, ya di malam hari.
Gw dan Mesran menyanggupi, tapi Sugi gak mau, dia bilang gak berani kalau malam-malam. Jadi, hanya gw, Mesran, dan Raden yang akan naik ke kapal.
Gw meminta ijin ke orang tua, bilangnya untuk menginap di rumah Mesran. Orang tua mengijinkan, karena memang waktu itu sedang ada libur sekolah. Rencana lanjut jalan..
***
Pada harinya, jam empat sore gw dan Mesran sudah berada di rumah Raden, menunggu kepulangan om-nya, setelah itu kami akan berangkat menuju kapal.
Gw sangat senang saat itu, karena akan menghabiskan waktu bermain dan memancing di atas kapal besar.
Tapi, hingga menjelang maghrib, Om Romi, om-nya Raden, belum pulang juga. Hingga hari berubah menjadi malam pun si om belum datang juga.
Hingga jam akhirnya sudah jam delapan malam gw sudah mulai bete, mulai kesal.
“Udah malam den, gak jadi aja ya, serem juga malam-malam ke tengah laut.” Begitu sungut gw.
“Tenang Brii, om Romi bentar lagi juga pulang. Lagi pula kan enakan malam, bisa liat cahaya lampu di darat, liat banyak bintang, dan gak panas karna gak ada matahari, hehe.” Raden memberi alasan, menenangkan.
Ya sudah, kami hanya bisa pasrah menunggu kedatangannya.
Tapi benar saja, ketika jam setengah Sembilan tiba-tiba Om Romi datang.
“Om mandi dulu sebentar ya, abis itu kita berangkat.” Begitu kata Om Romi dengan senyumnya.
Gembiranya hati kami melihat kedatangannya, lalu bersiap untuk berangkat.
***
Sekitar jam sembilan akhirnya kami sudah berada di dermaga kecil, tempat banyak perahu kecil bersandar.
Salah satu perahu bermesin kecil akan menjadi tumpangan kami menuju kapal besar, entah milik siapa perahu itu.
Om Romi memegang kemudi, sementara gw, Mesran, dan Raden, duduk di depan.
Perahu motor ini akhirnya perlahan mulai berjalan ke tengah laut, menyusuri air yang malam itu nyaris gak bergelombang.
Malam sangat cerah, bintang terlihat jelas bertebaran di langit gelap tanpa awan. Anginnya belum terlalu dingin, mungkin karena belum terlalu malam.
“Tuh kapalnya, yang di kiri.” Beberapa menit setelah berada di laut, Om Romi bilang seperti itu, jambil menunjuk ke salah satu kapal yang sedang diam di lautan.
Kapal besar yang kelihatan gelap, hanya beberapa lampunya saja yang menyala. Perahu kecil kami hanya berjarak beberapa puluh meter lagi.
Semakin dekat, gw semakin jelas melihat bentuk kapal itu, kapal besar yang kelihatannya berwarna dominan biru dan putih.
“Ini termasuk kapal paling besar di antara kapal Merak – Bakauheuni. Termasuk kapal yang sudah tua juga, sudah cukup lama beroperasi di sini.” Begitu kata Om Romi menjelaskan, ketika kami sudah semakin dekat.
Gak berapa lama kemudian, ketika sudah sangat dekat dengan kapal, om Romi memanggil temannya lewat radio pendek yang dia bawa sejak tadi.
“Rustam, Romi nih, masuk dari mana ya?”
“Pintu kanan aja Rom, saya nunggu di situ.” Teman om Romi manjawab.
Lalu perahu kami menuju pintu yang dimaksud.
Setelah berputar mengelilingi setengah badan kapal, akhirnya kami sampai di pintu yang dimaksud.
Satu pintu besi kecil yang letaknya di sisi kanan kapal, di bawah, jaraknya sangat dekat dengan permukaan air laut.
Ada seseorang yang menunggu di balik pintu itu, gw menebaknya itu Rustam, temannya om Romi.
“Hey, kalian sampai juga, hehe. Ayo naik..”
Benar, itu om Rustam. Dia mengajak kami untuk langsung naik ke atas kapal melalui pintu itu.
Sepi dan kosong, sebagian besar gelap, hanya beberapa kecil lampu yang menyala, itu keadaan yang gw tangkap ketika kami akhirnya sudah benar-benar berada di atas kapal.
“Namanya juga kapal yang sedang istirahat, ya jadinya begini, mesinnya mati, hanya diesel kecil yang dinyalakan.” Om Rustam memberikan penjelasan, sepertinya dia membaca raut wajah kami yang menunjukkan banyak pertanyaan.
Pertama kali yang kami temui adalah tempat parkir kendaraan, besar dan luas, yang tentu saja dalam keadaan kosong, letaknya di bagian paling bawah lambung kapal.
Kemudian kami menaiki tangga besi, menuju lantai atas.
Tangga besinya sempit dan cukup curam, berada di dalam lorong yang sempit juga. Ruangan berikutnya yang kami masuki juga gelap dan kosong.
Intinya, setiap lorong dan ruangan yang kami lewati keadaannya gelap dan sepi, ya memang gak ada orang.
Om Rustam bilang, di dalam kapal hanya ada dia dan beberapa orang temannya yang sedang tidur di kamarnya masing-masing, beristirahat.
Yang gw tangkap, kapal ini memang sangat besar, ada tiga atau empat lantai. Ada bermacam ruangan, gw gak bisa menyebutkan satu persatu. Yang pasti, akhirnya kami sampai di ujung kapal paling depan.
“Nah, kita duduk ngobrol di sini aja ya, pemandangannya bagus kan.”
Benar kata om Rustam, pemadangannya bagus, sejauh mata memandang hanya terlihat lautan lepas dan lampu kapal-kapal yang hilir mudik membelah selat sunda.
Kami yang tadinya akan memancing ikan, akhirnya mengurungkan niat. Malihat laut yang warnanya sudah sangat gelap hitam, gw jadi gak berani untuk duduk dan memancing di pinggir kapal. Lebih memilih untuk jalan-jalan keliling kapal atau hanya duduk-duduk menikmati pemandangan.
Sekitar jam sepuluh malam, gw cukup terkejut ketika om Romi bilang kalau dia akan pulang dulu sebentar, ada yang harus dilakukannya.
“Kalian di sini aja sama om Rustam ya. Om sebentar aja, nanti pasti balik lagi menjemput.” Begitu katanya.
Kami mengiyakan, karena dia berjanji kalau hanya sebentar.
Gak lama setelah om Romi meninggalkan kapal, berikutnya giliran om rustam yang pamit untuk beristirahat di kamarnya.
“Kalian kalau mau nonton tv, di ruang AC aja ya, yang tadi om tunjukin, tv-nya sudah nyala kan.” Begitu kata om Rustam terakhir kali sebelum meninggalkan kami.
Setelah itu hanya tinggal kami bertiga. Di bagian paling depan kapal ini kami hanya ngobrol dan bersenda gurau, gak jadi memancing seperti rencana awal.
***
Jam sudah lewat dari pukul sebelas, tapi om Romi belum juga datang menjemput.
Gw, Mesran, dan Raden yang sudah mulai lelah dan mengantuk, akhirnya memutuskan untuk masuk ke ruangan yang ada televisinya. Disamping itu, angin di luar juga sudah mulai besar.
Di ruangan tv kami duduk di atas kursi pajang berbentuk sofa. Sepertinya ruangan ini untuk penumpang dengan tiket VIP, karena sangat nyaman dan ber-AC.
Ruangannya gak terlalu besar, letaknya di paling atas ruang penumpang, sisi kanan kirinya ada jendela kaca yeng bentuknya bundar, dari situ kami bisa melihat ke luar.
Suasana yang hening dan udara yang dingin, akhirnya satu persatu dari kami tertidur. Yang pertama terlelap adalah Mesran, gak berapa kemudian Raden tepar di atas sofa panjang. Sampai akhirnya hanya tinggal gw sendirian yang terjaga.
Sebenarnya, dari sejak awal tadi kami masuk ke kapal ini, gw udah merasakan nuansa seram. Kapal besi yang besar, tetapi kosong, sebagian besar ruangannya gelap, benar seram adanya. Apa lagi Om Romi bilang tadi kalau ini termasuk kapal tua.
***
Benar aja, akhirnya hanya gw sendirian yang terjaga, yang masih membuka mata. Beberapa kali coba untukmembengunkan Mesran dan raden, tetapi mereka sudah susah untuk bangun.
Gw benar-benar sendirian.
Sampai akhirnya, tiba-tiba tv mati dengan sendirinya, entah memang ada timer-nya atau gimana, entahlah, yang pasti tv akhirnya mati. Suasana semakin hening.
Gw yang tadinya sudah mulai mengantuk menjadi segar kembali, karena keheningan ini perlahan mulai membuat gw takut.
Berikutnya, gw merasakan ada kejanggalan yang terjadi di atas kapal..
***
Sudah nyaris jam dua belas, om Romi belum datang juga untuk menjemput, gw mulai gak betah, pingin pulang.
Berniat untuk menyusul om Rustam tapi gak tau di mana letak kamarnya. Ya sudah, akhirnya hanya bisa pasrah duduk di ruang VIP ini.
Heningnya malam, membuat suara air laut yang menghantam badan kapal menjadi terdengar sayup-sayup. Sangat hening dan sepi.
Sampai akhirnya gw mendengar sesuatu,
Ada suara langkah kaki di luar, sangat kecil kedengarannya, tapi ada, gw yakin itu. Suara langkah kaki yang sepertinya memakai sepatu beralas keras, sehingga menimbulkan bunyi cukup kencang ketika bersentuhan dengan lantai kapal.
Langkah kaki itu seperti mondar mandir di depan pintu,
“Siapa sih itu di luar?” begitu Tanya gw dalam hati.
Penasaran, akhirnya gw berdiri menuju pintu, pintu yang memiliki jendela kaca bundar di atasnya, jadi gw bisa melihat ke luar melalui jendela kaca itu.
Hanya beberapa meter dari pintu, gw berhenti, karena ternyata ada seseorang yang berjalan ke kanan dan ke kiri di depan pintu, kelihatan dari jendela kaca.
Siapa orang itu? Bukan om Rustam dan bukan om Romi juga, gw gak mengenalinya.
Sekilas, gw melihat dia memakai topi putih di kepalanya. Seperti topi polisi, tapi berwarna putih seluruhnya.
Belakangan gw baru sadar kalau yang orang itu kenakan adalah topi yang biasa dipakai oleh kapten kapal.
Masih berdiri memperhatikan, gw melihat sosok itu terus bolak balik di depan pintu, gw gak berani mendekat, karena merasa ada yang janggal.
Sampai akhirnya, dia berhenti lalu diam persis di depan pintu, gw dapat melihat kepalanya dari samping menghadap ke kiri.
Masih diam memperhatikan, di titik ini sangat jelas gw melihat wajahnya, wajah yang sama sekali gak gw kenal. Wajah laki-laki bule berkumis tebal, kelihatan sudah tua, mungkin umurnya sudah 60 tahunan.
Semakin jelas gw melihat wajahnya ketika tiba-tiba dia menoleh ke arah jendela, menoleh melihat gw yang masih diam berdiri. Lalu kami saling bertatapan beberapa saat lamanya.
Siapa dia? Kapten kapal inikah? Gw gak tau..
Ketika gw masih kebingungan, tiba-tiba sosok itu membuka pintu. Hingga akhirnya pintu terbuka lebar sepenuhya. Di saat itulah gw akhirnya bisa melihatnya secara utuh.
Benar, sosok ini berpakaian layaknya kapten kapal, berpakaian serba putih.
Dia tersenyum, menunjukkan gelagat tubuh seperti mengajak gw untuk mengikuti langkahnya. Entah apa yang ada di pikiran saat itu, gw menuruti ajakannya, untuk ikut dengannya entah ke mana.
Sosok kapten bule ini berjalan pelan di depan gw, dengan sepatu hitamnya dia melangkah menyusuri lorong kapal dan menaiki beberapa tangga.
Gw terus mengikuti langkahnya, sampai akhirnya kami sampai juga di tujuan.
Ternyata kami memasuki anjungan kapal, tempat di mana ruang kemudi berada. Di anjungan ini gw dapat melihat nyaris sekeliling kapal.
Sosok kapten ini langsung berdiri di depan kemudi dan memegang rodanya. Menghadap ke depan, ke laut luas, tapi raut wajahnya masih tersenyum. Gw terus memperhatikan dia.
Dari awal gw sudah merasakan ada yang aneh, semakin merasa aneh ketika tiba-tiba gw melihat keramaian di bawah anjungan, tempat di mana tadi kami pertama kali sampai, tempat yang seharusnya sangat sepi, tiba-tiba sudah banyak orang dan terang benderang.
Orang-orang itu kelihatan sangat sibuk, sepertinya sedang mengerjakan proses bersandar kapal.
Ini ada apa? Kok tiba-tiba rame dan terang benderang? Itu yang berkecamuk di dalam pikiran.
Cukup lama gw memperhatikan semuanya,
Sementara sang kapten tetap diam di balik kemudinya.
Sampai akhirnya, gw melihat ada pemandangan yang sangat menakutkan..
Kalau gw perhatikan dengan seksama, orang-orang yang berada di bawah anjungan, pakaiannya seperti basah semua. Kalau gw perhatikan dengan lebih seksama lagi, basahnya berbeda, bukan basah air atau keringat, tapi sepertinya basah karena berlumur darah.
Gw semakin ketakutan, ketika melihat ada pemandangan yang lebih menakutkan lagi.
Di ujung kapal ada sosok yang berdiri diam gak melakukan apa-apa, sosok itu bertelanjang dada.
Yang mengerikan, sosok itu berdiri tanpa kepala..
Gw langsung mundur, ketakutan.
Bersandar pada dinding belakang anjungan, gw nyaris pingsan.
Kemudian gw melihat sosok kapten, yang tadinya terus menghadap ke depan ke laut lepas, perlahan mulai menolehkan wajahnya ke gw.
Gw semakin katakutan, karena baru sadar kalau pakaian yang dikenakan sang kapten ternyata sudah basah berlumur darah..
Gw mulai menangis, ketika melihat sang kapten tersenyum menyeringai dengan mata melotot.
Gw terduduk, menangis sambil menundukkan kepala.
amat sangat ketakutan..
***
Tiba-tiba pintu anjungan terbuka, lalu muncul om Rustam dan Om Romi. Lega gw melihat mereka.
“Kamu ngapain di sini Brii? Kok bisa sampai sini?” Tanya mereka berdua.
Gw gak bisa menjawab, masih kebingungan, karena ternyata anjungan sudah menjadi gelap lagi, sosok kapten tadi sudah menghilang. Bagian depan kapal juga sudah kosong dan gelap kembali, seperti awal tadi. Sosok-sosok yang menyeramkan itu sudah hilang semua.
***
Hai..🙂
Cukup sekian cerita malam ini, sampai jumpa di cerita gw berikutnya.
Tetap sehat, supaya terus bisa merinding bareng.
Met bobo, semoga mimpi indah.
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Kadang keadaan memaksa kita untuk menempati tempat tinggal baru. Sering kali, susahnya proses adaptasi harus ditambah dengan terpaan seram dari sisi gelap.
Ada teman yang mau berbagi cerita pengalaman ketika harus menempati rumah baru.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Lagi-lagi, aku menemukan beberapa helai rambut panjang, entah ini sudah yang keberapa kali, kali ini aku menemukannya di depan lemari ruang tengah. Beberapa helai rambut ini kalau diukur dengan tubuh perempuan dewasa, kira-kira dari kepala sampai ke pinggul, panjang memang.
Apa yang aneh? Ya anehlah, karena di rumah gak ada seorang pun yang memiliki rambut sepanjang itu. Rambutku hanya sebatas pundak, itu pun jenisnya gak sama dengan rambut yang sudah beberapa kali kami temukan.
Gak memandang apa pekerjaan kita, “Mereka” akan datang dengan keseraman tanpa diduga, dengan berbagai bentuk yang gak tertebak.
Malam ini, simak pengalaman seorang supir travel di salah satu bagian Sumatera.
Hanya di sini, di Briistory…
***
~Lampung, Circa 1998~
“Hati-hati, Bang. udah malam ini, kenapa gak besok lagi ajalah nariknya.”
“Hehe, tanggung, Man. Setoran masih belum setengahnya ini, nanti bos marah.”
Nyaris jam sebelas malam, ketika aku masih berada di pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Percakapan dengan Iman, rekan sejawat, sejenak membuyarkan lamunan.
Sejarah panjang dan kelam sering kali terungkap dalam senyap, tergambar oleh tarikan garis seram.
Satu sudut di Lembang, tersaji horor tempat pelatihan, seorang teman coba bercerita pengalaman seramnya di sana.
Simak di sini, hanya di Briistory..
***
Waktu seperti berhenti, udara sama sekali gak bergerak, suara detik jam yang tadinya samar terdengar tetiba gak ada lagi. Dalam gelap, aku terus memperhatikan ujung tangga, menunggu kira-kira siapa gerangan yang akan turun dari lantai atas.
Sementara itu, suara yang sepertinya bunyi langkah kaki, terus saja kedengaran, makin jelas, makin dekat.
Cadas Pangeran, satu tempat bersejarah. Ratusan tahun berusia, sahihkan kisah hitam dan putihnya, terus bergulir hingga kini.
Mamal ini, seorang teman akan menceritakan pengalamannya ketika melintasi daerah ikonik ini. Seram? Tentu saja.
Simak di sini, hanya di Briistory.
***
Lepas dari pusat kota Jatinangor, aku akhirnya masuk ke daerah yang terlihat seperti gak berpenduduk.
Tahun 1998, Cadas Pangeran masih sangat sepi, jalan berkelok dikelilingi oleh pepohonan yang membentuk hutan, sama sekali gak ada penerangan, gelap gulita.