Itu kalimat terakhir yang diucap Rendi pada pertemuan terakhir kami sekitar tahun 2017 lalu.
Selepas lulus kuliah, aku dan Rendi mengikuti jalan hidup kami masing-masing. Rendi kembali ke kota asalnya, Bogor, dan bekerja di sana gak lama setelah lulus.
Sebagai guru, beberapa kali aku harus ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan ataupun seminar, tapi gak terlalu sering juga.
Begitu Rendi bilang. Ya sudah, karena kangen dengan sahabat lamaku ini, akhirnya aku memutuskan untuk menginap di rumah Rendi selama mengikuti seminar di Jakarta.
***
Suara seorang bapak membuyarkan lamunanku ketika aku sedang duduk di kursi besi panjang.
“Ke Bogor Pak.” Jawabku sambil tersenyum.
“Dari Luar kota ya?” Tanya bapak itu lagi, kali ini sambil tersenyum.
“Iya Pak, saya dari Jogja.”
“Nggak, saya gak sampai Bogor” Jawab Bapak itu Pendek.
Setelahnya kami saling diam tanpa percakapan, menunggu kereta datang.
Tapi aku gak tahu pasti kalau kereta ini akan sampai Bogor atau nggak, karena sepertinya gak sesuai jadwal yang tertera.
Parahnya lagi, setelah kereta sudah dekat, aku gak melihat ada tulisan di gerbong kereta paling depan, tulisan yang menunjukkan tujuan kereta, “Bogor” misalnya, atau “Depok”, gak ada.
Lagi-lagi Bapak itu menganggetkan aku yang sedang sedikit bingung.
“Kenapa memangnya Pak?” Tanyaku penasaran.
“Kereta ini bukan ke Bogor.” Jawab Bapak itu tanpa menatapku.
Sekilas aku perhatikan sekeliling, gak ada penumpang yang bergegas masuk ke kereta ini, satu-satunya penumpang yang naik adalah Bapak yang dari tadi duduk di sebelahku, hanya dia seorang.
Yang agak aneh lagi, aku perhatikan beberapa orang yang sedang menunggu kereta di jalur yang sama denganku, mereka seperti cuek ketika kereta tadi datang, gak mengindahkan.
Ya sudah, lalu aku kembali membuka ponselku, sambil menunggu kereta datang.
Setelah sudah berada di dalam, dengan santai aku berjalan mencari tempat duduk, karena memang kereta dalam keadaan cukup kosong, banyak kursi yang gak terisi.
***
Aku senang memperhatikan orang-orang sekitar sesama penumpang, gerak-geriknya, penampilannya, tapi memperhatikannya gak secara langsung ya, bukan memperhatikan in a creepy way.
Kereta berjalan dengan kecepatan konstan menembus malam yang semakin larut.
Aku perhatikan, hanya ada satu dua orang yang masuk setelah semakin jauh meninggalkan Jakarta.
Sampai akhirnya ada kejadian yang menurutku sangat aneh, ada pemandangan di luar kereta yang sepertinya susah diterima akal.
Di stasiun UI ini, sama seperti stasiun-stasiun lainnya kereta juga berhenti. Sama dengan stasiun sebelumnya juga, kereta akan mengurangi kecepatannya ketika sudah mulai memasuki area stasiun.
Kereta melambat, lalu mulai memasuki area stasiun.
Semakin melambat dan terus melambat, sebelum akhirnya nanti benar-benar berhenti.
Kebetulan, posisi dudukku menghadap ke pintu keluar masuk, menghadap ke arah peron stasiun tempat penumpang yang akan naik atau turun kereta.
“Oh, ternyata Bapak itu turun di UI tadi.” Begitu ucapku dalam hati.
Keanehan mulai masuk ke dalam pikiran ketika kereta memasuki stasiun Depok.
Melambat dan semakin melambat, sebelum akhirnya kereta benar-benar berhenti.
Sontak aku langsung berdiri lalu mendekat ke jendela, memastikan kalau itu adalah orang yang sama.
Aku masih sangat ingat wajahnya, masih sangat ingat penampilannya, sangat ingat postur tubuhnya. Aku sangat yakin kalau itu adalah orang yang sama.
Lalu kereta mulai jalan lagi, menuju stasiun berikutnya.
Selanjutnya aku terus berperang batin, cari jawaban pasti atas peristiwa tadi.
Stasiun berikutnya adalah Citayam. Setelah dua peristiwa di dua stasiun sebelumnya, aku jadi berniat untuk memperhatikan stasiun ini dengan seksama.
Stasiun berikutnya juga sama, di stasiun Bojong gede aku gak melihat ada yang aneh, gak melihat Bapak itu lagi. Semakin bernapas legalah aku, pikiranku yang tadinyasudah macam-macam menjadi lurus kembali.
Setelah sudah benar-benar berhenti, pintu kereta pun terbuka.
Aku yang duduk nyaris tepat di depan pintu, tentu saja dapat melihat dengan jelas pemandangan di luar pintu kereta.
Sekali lagi, aku masih sangat ingat penampilannya, raut wajahnya, semuanya, aku yakin kalau itu Bapak yang sama.
Aku yang masih bingung terkesima, jadi mulai merinding ketika Bapak itu akhirnya tersenyum kepadaku. Lalu aku membalas senyumnya, mau gak mau.
Aneh..
Kok bisa?
Lalu aku bertemu Rendi di tempat parkir, senang sekali rasanya melihat sahabat yang sudah lama gak ketemu ini.
Setelah itu aku jadi lupa dengan peristiwa yang baru saja aku alami di dalam kereta tadi.
***
Sesuai dengan rencana sebelumnya, selama di Jakarta aku tinggal di rumah Rendi di Bogor, setiap harinya aku pulang pergi menggunakan kereta.
Yang tadinya aku pikir kegiatan akan selesai jam 7 malam, ternyata molor dari jadwal karena ada beberapa acara tambahan. Acara baru benar-benar selesai ketika sudah nyaris jam sembilan malam.
Semoga saja dia benar.
***
Untung saja aku gak bawa banyak bawaan, hanya tas selempang kecil menggantung di badan, jadinya bisa berlari masuk stasiun mengejar kereta.
Aku hanya melihat beberapa petugas stasiun dan segelintir penumpang saja. Beneran sepi..
***
Ah, tapi ternyata aku juga sudah rindu Jogja, gak betah aku berlama-lama hidup di penatnya Jakarta. Sukurnya, besok pagi aku sudah terbang kembali ke Jogja.
Sampai akhirnya lampu terang kereta yang menyilaukan membuyarkan lamunan.
Karena sudah sangat lelah dan mengantuk, tanpa pikir panjang aku langsung berdiri dari duduk, berniat untuk langsung masuk ke dalam kereta.
Kereta melambat dan semakin melambat, sampai akhirnya benar-benar berhenti di hadapan. Aku langsung naik dan masuk ke dalamnya.
Setelah itu, aku berjalan menyusuri lorong untuk mencari kursi kosong.
Di detik ini harusnya aku sudah merasa aneh, karena seharusnya kereta Bogor gak sekosong itu, walaupun sudah tengah malam.
Aku duduk di kursi yang lagi lagi nyaris tepat berada di depan pintu keluar, deretan kursi yang berada di depanku dalam keadaan kosong, gak ada orang sama sekali.
Gak sadar kalau telah masuk ke dalam kereta yang salah..
***
Mangucek-ngucek mata, aku coba untuk memperjelas penglihatan.
Kilatan cahaya lampu dari luar terlihat berkelabatan. Gerbong kereta yang aku tempati masih dalam keadaan gelap.
Kaget, ada suara yang tiba-tiba terdengar dekat telinga sebelah kiri. Sontak aku langsung menengok ke sumber suara.
Ternyata, sudah ada seseorang yang duduk di sebelahku, seseorang yang aku kenal.
Ada Bapak berpeci.
Perlahan memperhatikan sekeliling. Ada beberapa penumpang yang duduk di dalam gelap, duduk di satu gerbong kereta denganku. Duduk saling berjauhan, yang berdekatan hanya aku dan Bapak berpeci ini.
Keringat dingin mulai mengucur deras.
“Tenang, sebentar lagi sampai.” Bapak berpeci kembali bicara dengan suara datar.
Aku gak menjawab, gak mampu berbicara.
Sosok perempuan berambut panjang. Dia berdiri lalu berjalan, melintas persis di hadapanku, menuju pintu yang menghubungkan dengan gerbong kereta yang ada di depan.
Aku ketakutan, sangat ketakutan. Ketika semakin banyak “Penumpang” yang kemudian bangun dari duduknya lalu bergerak melayang seliweran di dalam kereta.
Sampai akhirnya, aku gak sadarkan diri.
***
Aku mendengar ada suara, membangunkan aku.
Kebingungan, tapi berikutnya aku sadar kalau sudah berada di stasiun, sudah gak di dalam kereta hantu itu lagi, Tapi aku belum tahu itu stasiun apa.
“Stasiun Cilebut Mas, tadi mas tiba-tiba sudah tidur di sini.” Jawab Bapak itu.
Aku terbangun di peron jalur stasiun Cilebut, tepat di samping rel perlintasan kereta.
Kemudian aku menelpon Rendi untuk menjemputku di Cilebut.
Sungguh perjalanan kereta yang gak akan pernah aku lupakan seumur hidup.
***
Cukup sekian cerita seram malam ini.
Sampai jumpa minggu depan dengan cerita yang lebih mengerikan lagi. Tetap sehat, supaya bisa terus merinding bareng.
Met bobok, semoga mimpi indah.
Salam,
~Brii~