, 325 tweets, 44 min read
My Authors
Read all threads
"Semenjak mbah pergi"

Seluruh kenangan indah tentang beliau akan menjadi mengerikan karena ada "sesuatu" yang ikut campur...

A Thread Horror Story

@bacahorror #bacahorror
1. Drama di mulai

"Nduk, punduten kloso e di duwur yo"

(nak, ambilkan tikar di lantai atas ya) perintah ibu ku,

akupun bergegas menuju ke lantai dua rumah ini.
Kususuri tangga yg belum selesai direnovasi ini,

saat kupijakkan kaki di anak tangga terakhir,

aku mendengar suara beberapa orang sedang berbincang.
"Oh orang-orang istirahat disini rupanya" batinku,

hari ini adalah hari kedua kematian mbah ku, malam ini akan dilakukan tahlil,

jadi tentu saja banyak orang dirumah yang membantu.
Tikar yang sedang ku ambil juga untuk keperluan tahlil malam ini,

karena ini malam pertama tahlil dirumah, di hari pertama mbah meninggal tidak dilaksanakan tahlil karena mbah meninggal di rumah sakit kemarin pukul 20.10.
Di lantai dua rumah ini terdapat dua kamar tidur, satu kamar mandi, mushollah, dan satu ruang keluarga menghadap ke balkon,

spot favorit karena saat aku berada di balkon, mataku akan dimanjakan oleh pegunungan yang megah nan kokoh. Foto hanya referensi dari google
Dulu sebelum mbah ku meninggal, beliau lah yg sering menemani ku di ruang keluarga, karena kamar tidurku dan Mbah bersebelahan.

Aku menuju mushola tempat dimana tikar disimpan, kamar ku dan kamar mbah tertutup sama seperti tadi aku meninggalkan terakhir kali,
kulihat di ruang keluarga tak ada siapapun.

Aku membuka kamar mbah, tak ada siapapun disana,

selanjutnya aku menuju kamarku sendiri, sesuai dugaan, kamarku kosong,

entah suara siapa yang ngobrol waktu ku dengar tadi.
Aku masih termenung,

meyakinkan diriku, jika suara yg ku dengar tadi bukan lah khayalanku,

suara itu terdengar jelas, mereka sedang bersenda gurau,

tapi kini dimana sang pemilik suara tersebut?.
Segera ku tepis pikiran macam-macam dalam benakku, aku beranjak dari sana, ku tutup pintu kamar,

aku berbalik badan untuk memungut tikar yang tadi aku ambil dari mushola.
"Jamput, nang ndi kloso iki mau, jelas-jelas tak depek kene kok"

(sial, kemana tikar tadi? Jelas sekali tadi aku menaruhnya disini) omelku,

aku sibuk mencari keberadaan tikar tersebut.
Aku mencari di kamar mbah, di kamarku, di ruang keluarga, hingga kembali lagi ke mushola,

tak kunjung kutemukan, hingga aku melihat bayangan di balkon,

aku segera berlari menghampirinya.

"Hah? Kok iso nok kene iloh kloso iki"
(hah? Kenapa bisa disini sih tikarnya) omel ku lagi,

dengan kesal aku mengambil tikar dengan serampangan lalu turun.

"Ngaleh po nggen e kloso kuwi nduk? Kok suwi men toh"

(Tikarnya pindah ya nduk? Kok lama ambilnya) goda ibuku, "kok ibu semerap?"
(Kok ibu tau?) Jawabku serius.

Ibu menatapku bingung,

"lah nok mushola toh kloso kuwi, ngaleh nang ndi? Oleh mu njupuk koyok neng jabalkat"

(kan memang di mushola tikarnya, tapi kamu ambilnya lama sekali kayak ambil di jabalkat) kata ibu setengah berteriak.
(Jabalkat adalah istilah untuk tempat yg sangat jauh dan memakan waktu lama)

"Ngge wau teng mushola, terus mboten ngerti ceritane kloso iki iso njebus balkon"

(ya tadi ya memang di mushola, ngga tau gimana caranya, ini tiker bisa pindah ke balkon) ucapku kesal.
"Halah ngimpi po ngelindur, nduk...nduk"

(halah kamu mimpi apa ngigau sih nak) jawab ibu sedikit geli,

"kulo lami ngge gegara madosi, kloso e mboten kepanggeh buk"

(aku lama ya karena cari ini, ga ketemu-ketemu, buk) kataku pasrah.
Aku yakin ibu masih tak percaya dengan perkataan ku,

bagaimana mungkin tikar ini berpindah sendiri?

"Yo wes percoyo, gek ndang di terno nang umah e budhe Endang kloso e"
(Ya sudah ibu percaya kok, segera antar tikarnya kerumah budhe) perintah ibuku,

acara tahlilan malam ini hingga 5 hari ke depan akan dilaksanakan dirumah budhe Endang.
Karena ruang tamu nya cukup luas dibanding rumahku,

Dan rumah budhe tepat disamping rumahku.

"Metutut ae yo lapo se Fir?"

(Cemberut mulu, kenapa Fir?) Tanya mbak Diah (anak budhe Endang).
Aku hanya diam tak menjawabnya, toh kalaupun aku menjelaskan, tetap saja tak ada yg percaya dengan cerita gila ku,

aku melihat jam dinding pukul 14.35,

"aku tak turu sik mbak, mari ashar bugaen yah"
(Aku tidur bentar, nanti bangunin habis ashar, mbak) pinta ku,

mbak Diah manggut.

Aku mengambil kuda-kuda untuk merebahkan tubuhku, memejamkan mataku sebentar saja.
Semenjak mendapatkan kabar mbah ku meninggal, aku belum tidur sama sekali, aku membantu Ayahku mengurus surat kematian dan pemakaman mbah.
Mbah yg selama ini selalu bersamaku, mengasuh ku, memanjakan ku, menyuguhkan aku dengan kisah-kisah masa muda nya dahulu, kini momen itu hanya akan tinggal kenangan.
Rindu itu tiba-tiba merasuk di relung-relung hatiku, belaian tangannya, suara yg lemah lembut, tawa renyahnya, kini ku dengar lagi, kurasakan lagi, sesuatu mengelus lembut kepala ku.
"Fira bobo, oh Fira bobo..."

Suara nya terdengar jauh namun jelas di telinga ku,

hembusan nafasnya meniup wajahku,

melanjutkan nyanyian nya yg kian sendu.
Ingin aku membuka mataku, segera bangkit dari ranjang, berat, sangat berat,

"Fira bobo, oh Fira bobo" kini tempo itu kian cepat,

secepat deru nafas dan jantung ku
"Mbah, aku pengen tangi"

(mbah aku ingin bangun) ucapku tegas dalam hati,

Seketika aku pun membuka mataku, aku sengaja menengok ke arah jam dinding, seberapa lama aku tertidur.
Masih sama pukul 14.35, mbak Diah juga masih di depanku lalu manggut,

"yo wes turuo lumayan lek iso turu"

(baiklah, tidur saja, lumayan bisa istirahat) jawabnya lalu meninggalkan ku.
"Aaah drama apa lagi ini? Tadi masalah tikar, sekarang mau tidur pun harus dibuat bingung" batinku geram,

kuputuskan untuk ke dapur berkumpul dengan sanak saudara,

mereka sibuk menyiapkan kudapan untuk tahlil nanti.
"Lah panggah rene, jare arep turu"

(kok kesini sih, katanya mau tidur) tanya mbak Diah,

aku hanya tersenyum tipis lalu membantu mengemas kue kedalam plastik.
2. Tahlil

Aku hanyut dalam lantunan ayat suci Al-Qur'an,

aku mengirimkan doa ini untuk mu mbah, semoga mbah tenang disana,

"awas..awas!!" Teriak beberapa warga di luar.
Malam itu pun acara tahlil berhenti,

aku yg kebingungan, mengikuti mbak Diah dan saudara yg lain dari belakang,

"lase wong-wong iki!!"

(Ngapain sih orang-orang!!) Ucap mbak Diah kesal.
"Astagfirullah"

kudengar dari beberapa mulut mereka,

aku masih tak paham apa yg terjadi,

kepala ku celingukan mencari apa yg orang-orang lihat,

"ULAR!!"

Ucapku setengah berteriak. Foto hanya referensi dari google
((Foto hanya referensi dari google))

Ular hitam itu melingkar hanya diam disana,

"ati-ati ojo nyedek, tak golekno sak karo jotek"

(hati-hati ya, jangan mendekat, aku cari karung dan kayu sebentar) ucap pak dhe memberi aba-aba.
Tiba-tiba aku merasakan hawa yg tak enak, di sudut mataku menangkap satu sosok yg sangat ku kenal, sosok mbah mengenakan daster berwarna biru bunga-bunga kuning.
Aku alihkan pandangan mataku tepat ke arah aku samar-samar melihat "mbah", ke arah yg agak jauh dari rumah, di kebun pisang sebelah rumah tetangga ku.

((Foto hanya referensi dari google))
Sempat beberapa detik mata kami beradu pandang,

namun kini sosok itu telah tiada, hawa yg kurasakan semakin panas,

sebelum, "hihihi" tawa salah satu warga.
Seluruh matanya berubah menjadi putih, tetangga ku bernama pak Lubab kesurupan, suaranya melengking tertawa cekikikan sepanjang waktu, kami masih tertegun menyaksikan nya.
Pak ustadz pun membisikkan sesuatu kepada ayahku, lalu beliau manggut,

tetangga di minta untuk pulang, karena kondisi yg tak memungkinkan, takut jika nanti mereka dalam bahaya.
Sedangkan ayah menyuruh kami masuk ke dalam, kami meninggalkan pak ustadz, pak Lubab dan ayah di ruang tamu, tepat dengan kedatangan pak dhe membawa kayu dan karung.
"Lah ndi uloh e? Lapo cak Lubab iki?"

(Loh mana ular nya? Kenapa dengan pak Lubab?) Tanya pak dhe,

kami celingukan mencari ular tersebut, seketika kami panik, khawatir jika ular tersebut masuk ke dalam rumah.
"Pun mboten sah di padosi, sakniki nedhi tolong di gocek i mawon pak Lubab"

(biarlah jangan di cari, saya minta tolong pegang i pak Lubab) pinta pak ustadz,

ayah memberi kami kode untuk segera masuk ke dalam rumah.
Aku, ibu, budhe, mbak diah dan saudara ku yg lain hanya terdiam, aku dan Mbak Diah saling merangkul, kami semua membisu, tak ada yg berani membahas apapun.
Kami tak pernah membayangkan hal seperti ini kami alami dikala sedang berduka, kamar mbak Diah 5x5 meter ini penuh sesak dengan kami, kami yg sedang ketakutan meringkuk bersama.
"Mau aku ketok mbah di wit gedhang"

(tadi aku liat mbah di pohon pisang) ucap Arum,

anak berumur 5 tahun itu dengan polosnya,

ia tak tau jika pernyataan nya tersebut membuat kami semakin ketakutan.
Aku hanya bisa membenarkan dalam hati, tak mau menambah suasana makin kacau,

"ssstttt, kene bubuk ae, di mik dot e"

(sssttt, sini tidur, ayo diminum susunya) ucap ibunya arum.
Sesuatu yg tak kami inginkan terjadi,

terasa kamar makin sesak, entah apa dan siapa yg "ikut" masuk,

tapi rasanya memang hawa di kamar sudah berubah,

"buk, mbah teko karo kancane",

(bu, mbah datang bersama teman-teman nya) gadis kecil itu berucap lagi,
"Arum meneng ae yo, cah ayu"

(Arum diam saja ya, gadis cantik) pinta ibunya lirih.

Setelah sekian lama kami bergelut dengan suasana tidak enak ini,

ayah ku memanggil kami, pak Lubab sudah berbincang dengan pak ustadz dan pak dhe, "syukurlah" batinku.
3. Ini belum berakhir

Kami berhambur keluar kamar, sibuk dengan urusan masing-masing, beberes rumah, menggulung tikar, dan mencuci piring, sampai mataku tertuju kepada Arum, si gadis kecil yg sempat membuat kami semua ketakutan.
Dia duduk di depan televisi seorang diri, lama ku amati, dia tertawa dan beberapa kali mulut kecil nya terbuka seperti sedang berbicara.
Kulihat televisi saat itu adalah sinetron azab, tak mungkin anak sekecil itu menonton sinetron seperti ini lalu tertawa, aku mendekati nya,

"Arum nonton apa?" Tanyaku, ia melihat ke arahku.
Senyumnya hilang, ia menjadi tegang dan diam, aku tersenyum mengelus rambutnya,

"mau nonton apa? Biar tante carikan acara yg bagus ya" ucapku padanya,

aku yakin sudah tak ada acara bagus di jam segini.

(( foto hanya referensi dari google ))
"Raden kian Santang, mau? Tuh lucu, ganteng ya" ucapku padanya,

"JANGAN DI GANTI, TE!!" Teriaknya, aku kaget karena ia melototi ku,

"NANTI MBAH MARAH!!" Ucap nya lagi.
(Bahasa Indonesia Arum sangat fasih, karena ayahnya memang sering mengajak nya berbicara menggunakan bahasa Indonesia, namun tetap diajarkan bahasa jawa)
"Arum ngantuk ya, ayo bubuk di kamar tante Diah?" Ajak ku,

ia memalingkan wajah seolah meminta izin dengan seseorang yang ada di samping nya,

"iya Te, Arum mau bubuk" jawabnya.
Aku pun menggandeng nya menuju kamar mbak Diah, menemaninya hingga ia tertidur, aku yg sejak tadi menahan kantuk pun akhirnya ikut tertidur
"Tolooooong!!!" Samar-sama ku dengar suara dari jendela kamar mbak Diah,

aku membuka mataku beranjak dari ranjang,

"kapan aku mateni damar?"

(Kapan aku matikan lampu?) Aku bermonolog.
Aku segera mencari saklar lampu, khawatir jika nanti Arum menangis karena kegelapan, kuraba yang ada di sekitar ku, tak ada cahaya sama sekali, hanya sinar-sinar temaram dari luar rumah.
"Apa mati lampu? Kok diluar juga gelap" Batinku,

aku masih meraba-raba, kaki ku sengaja ku langkahkan pelan, takut jika menyandung sesuatu.
"Tolooooong!!" Ucapnya sekali lagi,

kali ini suara itu makin keras, aku masih tak menemukan dimana saklar lampu itu berada, padahal aku yakin sekali saklar lampu di kamar mbak Diah ada di samping pintu.
Aku keluar dari kamar Mbak Diah mencari sesuatu agar terang atau menemui keluarga dan saudara ku, tapi rumah ini sangat sunyi, sepi, tak ada suara bahkan pergerakan seseorang.
"Buk, ibuk" seru ku, tak ada jawaban,

setelah berkali-kali aku memanggil ibu,

"budhe.. budhe Endang!!" Teriak ku lagi, masih tak ada jawaban,

aku sudah hampir frustasi dalam kegelapan dan kesendirian ini.
"Ada yg tak beres" pikirku,

aku berhenti sejenak, berdoa, memohon kekuatan dan perlindungan kepada Allah, perlahan ku atur nafasku,

"ojok ngeriwuk aku, aku pengen muleh nang umah!!",

(Jangan ganggu aku, aku ingin pulang kerumahku!!) Teriakku dengan suara serak,
karena sudah sedari tadi aku berteriak memanggil ibu dan budhe.

Sedikit, sangat sedikit sekali, ada cahaya terang di depanku, perlahan aku menuju kesana, di sebuah lorong yg temaram ini, aku melangkah kan kaki tak tau kemana tujuan ini.

((Foto hanya referensi dari google))
Yang jelas aku ingin pulang kerumahku,

"Te, Tante" suara Arum kini terdengar,

"Arum dimana?" Tanyaku,

tak ada jawaban, sampai mata ku tertuju sesuatu bungkusan kecil.
Aku mengamati bungkusan apa itu, perlahan bungkusan tersebut membesar,

kian besar dalam beberapa detik, kini bungkusan putih ini sudah sebesar badanku,

bau harum menyeruak di ruangan.
Bau harum yg tajam menusuk hidung ini, bau yg tak pernah aku lupa di iringi dengan wujud bungkusan yg kini sudah dua kali lipat dari tubuhku,

"aaaaaaahhh" aku berteriak kaget.
Tulang dikaki ku kini mulai melemah, aku terjatuh mundur, menangis meraung-raung, aku sangat takut dengan apa yang ku lihat, pocong ini sangat besar, tak pernah aku melihat nya sebelum ini.
"Minggat,..minggat!!!"

(Pergi... Pergi!!) Teriak ku,

sosok ini tetap menatap ku, aku tak bisa memalingkan wajahku dari nya,

ingin lari pun rasanya tak bisa, tulang-tulang kaki ku belum kembali dari tempatnya.
"Ayaaah, ibuuuu, tolooong!!" Ucapku berkali-kali,

aku membaca ayat kursi keras-keras, sosok ini mengikuti ku membaca ayat kursi, dari suaranya aku sangat mengenal.
Ya, itu suara mbah ku,

"koen guk mbah ku, koen iblis jahat, mbah ku wong e apik, ga mungkin nyelakai putune!!"

(Kau bukan mbah ku, kau iblis jahat, mbah adalah orang baik yg tak mungkin mencelakai cucu nya!!) Ucapku.
4. Kiriman

(Sudut pandang Ibu sebagai "aku")

Pekerjaan ku sudah selesai, aku menghampiri suamiku yg ada di ruang tamu berbincang dengan beberapa tetangga yg baru saja datang, memang sudah biasa jika ada tetangga yg meninggal maka para lelaki begadang.
Aku membawa kopi satu teko besar dan beberapa gelas,

"monggo di unjuk"

(silahkan di minum) ucapku ramah,

aku memberi kode kepada suamiku agar ia masuk sebentar saja.
Jujur aku sangat penasaran apa yg terjadi kepada pak Lubab tadi,

"nyapo buk? Ra penak ninggal wong-wong"

(ada apa, buk? Ga enak ninggalin orang-orang) ucapnya.
"Yo pak, diluk ae, mau pak Lubab lapo?"

(Baik pak sebentar saja, tadi apa yg terjadi dengan pak Lubab?) Tanyaku,

"jare pak ustadz, ono wong sing ngirim nang keluarga e kene, tapi wes jarno, sing penting kene ndungo, jaluk perlindungan marang gusti Allah"
(Kata pak ustadz, ada orang yang "ngirim" ke keluarga kita, tapi biarkan saja, yg penting kita tetap berdoa mohon perlindungan kepada Allah yg maha kuasa) jawabnya.
Aku manggut, lalu suamiku berlalu pergi meninggalkan ku, aku masih duduk di ruang tengah, saudara yg lain sudah istirahat, aku teringat Fira, dimana dia? Kenapa sejak tadi tak terlihat.
Aku mencari nya, sudah ku duga ia ada di kamar Diah, mereka tidur bertiga dengan Arum, di sisi Fira ada sedikit tempat, kurebahkan badanku disana, baru saja aku memejamkan mata.
"Ayaaah, ibuuuu, tolooong!!" Teriak Fira,

Aku terkejut, segera ku bangunkan dia,

"nduk, tangi, lapo kowe iki?"

(Nak, bangun, kenapa kamu?) Tanya ku sembari mengguncang pelan badan nya.
Ia masih teriak tak jelas, keringat bercucuran di keningnya, badannya sangat dingin, Arum dan Diah terbangun karena teriakan Fira,

"Diah, gowoen Arum metu"

( Diah, bawa Arum keluar) pintaku.
Suamiku masuk disusul dengan beberapa warga dan saudara ku,

"pak Fira, pak" keluh ku kepadanya,

"aku celuk pak ustadz ae yo, buk" (aku panggil pak ustadz dulu ya buk) ucapnya.
"Rapopo dek, tak coba e dilek, bek aku iso"

(tak apa, biar kucoba dulu, semoga aku sanggup) sahut mas Ridho (ayah Diah).

Mas Ridho memang sedikit banyak tau mengenai hal-hal spiritual.
Seperti yang biasa ia lakukan, mas Ridho mengambil minyak wangi khas yang selalu ia bawa, ia mengoleskan ke belakang telinga Fira, dan ke keningnya.
"Wis ayo di tinggal, jarno Fira mariki tangi"

(sudah tinggalkan, sebentar lagi dia akan bangun) perintah nya, namun aku enggan untuk meninggalkan Fira sendirian.
"Aku di kene ae nunggu i Fira, aku emoh ngaleh"

(aku disini saja menemani nya, aku tak mau pergi) ucapku kekeuh,

"mengko lek ono opo-opo mbengok o aku, buk",
(Nanti jika terjadi sesuatu, panggil aku, buk) kata suamiku, aku manggut,

sepeninggalan orang-orang, aku berinisiatif membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an di samping Fira.
Sudah sekitar 30 menit lebih ia masih saja berbicara tak jelas, mataku yang sudah tak kuat menahan kantuk ini menangkap satu sosok di samping pintu.

((Foto hanya referensi dari google))
Aku masih tak melihatnya dengan jelas, mata ku sangat berat, hanya samar-samar nampak seseorang berdiri disana,

"buk..." Panggil Fira, perlahan matanya mulai terbuka.
Aku coba menengok ke arah pintu, namun sosok itu telah tiada,

"ah mungkin salah lihat" pikirku.

"Ibu.. fira wedhi..huuhuu"

(Ibu.. Fira sangat takut) ucapnya menangis sesenggukan sembari memelukku.
5. Ada yang mengawasi ku

Enam hari telah berlalu, tahlilan mbah berjalan dengan lancar tanpa hambatan, kami kembali beraktivitas seperti biasa, ibu dan ayah bekerja, aku sendirian dirumah karena himbauan belajar #dirumahsaja
Sengaja aku bangun siang karena selama ini aku tidur tak nyenyak, bahkan selalu ketakutan saat mencoba memejamkan mata, jadi saat aku bisa tidur nyenyak, aku manfaat kan momen ini.
Bangun tidur aku tak segera menuju kamar mandi, aku menuntun kakiku menuruni tangga lalu menuju ruang makan, rasa lapar yang tak bisa di tahan lagi, ku ambil nasi dan lauk.
Ku nikmati makanan ini, tunggu, sudah lama aku tak makan pepes tongkol buatan mbah, tak ada yg bisa membuat pepes seenak ini, dengan sayur asem buatan mbah menambah kenikmatan ini.
Namun makan ku terhenti, makanan yg terasa hangat ini jelas baru saja di masak, tapi ini sudah hampir pukul 12 siang, tak mungkin makanan di atas meja ini hangat, bukan kah ibu masak sejak pagi?
Aku segera mencuci tangan ku, sengaja tak ku bereskan bekas makanan ku, aku segera bergegas ke kamar mandi membersihkan badan lalu sholat dhuhur
"Allahu Akbar.." ucapku takbir,

aku merasakan kehadiran "orang lain" dibelakang ku,

aku mencoba khusyuk, tiap aku takbir selalu terdengar kata lirih yg mengikuti, aku tak peduli, aku tak takut, segera ku selesaikan sholat ku.

((Foto hanya referensi dari google))
Perlahan aku salam ke kanan lalu ke kiri, aku masih enggan untuk menoleh ke belakang, aku masih berdoa dan membaca Al-Qur'an agar hati ku menjadi tenang.
🙏🙏🙏🙏

[[maaf ya ga bisa lama nulisnya, kepala ku udah berat, InshaAllah lanjut lagi hari senin, makasih yg udah baca n setia menunggu 😘]]
Yuk lanjut,, sekuat aku aja yaa, ini cerita bener² nguras tenaga, mungkin karena kejadian nya masih fresh,

Bismillah, semoga baik² aja
6. Sesuatu mengikuti ku

(Sudut pandang Ayah sebagai "aku")

"Cak..cak Dar!!!" Teriak salah satu warga,

aku segera bergegas keluar,

"ngge wonten nopo cak?"

(Iya ada apa mas?) Tanyaku, aku masih kebingungan melihat gelagat nya.
Tetanggaku masih ngos-ngosan mengatur nafasnya sembari tangannya menunjuk-nunjuk ke arah dimana ia datang,

"mak Pah (Saripah nama ibuku yg baru saja meninggal), mak pah" ucapnya.
"Sik lungguh o kene, cak"

(duduklah dulu, mas) saranku lalu mempersilahkan nya duduk di teras rumah,

istriku dan Fira pun keluar, penasaran siapa yg datang selarut ini.
Setelah sekian lama ia berdiam diri,

"cak, mak Pah dadi pocong!!"

(Mas, mak Pah jadi pocong!!) Ucapnya lirih, ada raut sungkan di wajah nya,

"aku mau nang omah e cak ridho, wong e metu, dadi aku rene"
(Aku tadi kerumah mas Ridho, tapi orang nya sedang keluar, makanya aku kesini),

"ojo ngawor lek mu Ngomong, Jo!!"

(Jangan sembarang bicara kamu, Jo!!), Teriak istriku tak terima atas apa yg Tarjo bicarakan
"Sumpah yuk, aku ga goro, saksi e wong akeh, aku mau jagongan karo wong-wong, terus krungu suoro nangis nggunguk, pas di golek i adakno pocong e mak Pah di pinggir omah e Markum"
(Serius mbak, ga bohong, saksinya banyak kok, aku tadi begadang dengan warga, lalu kedengeran suara tangis tersedu-sedu, kami cek ternyata pocong mak Pah disebelah rumah Markum) jelas Tarjo.
"Iso ae kan itu pocong liyo, udu pocok e mak ku, Jo"

(bisa saja itu pocong lain, bukan ibuku, Jo) kilah istri ku,

"tapi memper mak Pah kok, yuk, lek gelem ayo rono, takon o wong-wong"
(Tapi wajahnya mirip mak Pah kok, mbak, jika mau, ayo kita tanya sama warga lain) tawar Tarjo,

"bu'e, aku ae sing ngatasi iki, ibu, karo Fira ngasoh ae, iki wis parak wengi, entenono di umah yo buk"
(Bu, biar ayah saja yg mengatasi ini, ibu dan Fira istirahat saja, ini sudah larut malam, tunggu saja dirumah, ya buk) pintaku,

mereka berdua manggut lalu masuk ke dalam rumah.
Aku dan Tarjo segera menghampiri warga, disana hanya tersisa pak ustadz dan Markum,

"tiang-tiang mantuk nopo, cak?"

(Yang lain pada pulang ya, mas?) Tanya Tarjo, yang di jawab anggukan oleh Markum.
"Nopo leres, wau sing njenengan tingali niku..."

(Apa benar yg kalian lihat tadi adalah...) Kata-kataku terhenti, tak sanggup mengatakan jika mertuaku yg orang nya sangat baik dan rajin shalat di masjid itu menjadi pocong, seperti yg warga tuturkan.
"Kulo ningali e ngge mak Pah, cak, tapi niki kan dereng pasti"
.(saya melihat nya memang mak Pah, mas, tapi ini kan belum pasti) ucap Markum,

"leres, saget mawon Niki barang alus, tapi ndados mak Pah"

(betul, bisa saja itu jin yg menyerupai Mak Pah) tambah pak ustadz.
"Tapi wargi pun geger sedoyo, ngatasine yaknopo ngge?"

(Namun warga sudah terlanjur heboh, gimana kita mengatasinya?) Tanya Tarjo,

pas ustadz terdiam lalu manggut sembari mengelus janggutnya.
"Damel sawentoro niki kersane, wargi pun melek'an riyen , ba'dha Maghrib lawang di kunci, mboten sah medal ngge, nganti situasi ne aman, kulo bakal nedhi tolong guru kulo, mugi mawon beliau saget muruki mriki"
(Untuk sementara ini biarkan saja, warga jangan begadang dulu, setelah Maghrib kunci rumah, jangan keluar rumah, sampai situasi nya aman, saya juga akan meminta tolong kepada guru saya, semoga beliau ada waktu untuk datang kesini).
"Matur nuwun sanget, pak ustadz, sepuntene pun ngerepoti"

(terimakasih banyak pak ustadz dan maaf karena merepotkan) ucapku tak enak kepada pak ustadz,

"nami ne tanggi, ngge musti Tulung pitulung, cak"

(namanya tetangga memang seharusnya tolong menolong, mas)
jawab pak ustadz sedikit menenangkan ku.

Di tengah perjalanan pulang, aku masih terus kepikiran, entah kenapa firasat ku sangat tak enak, jarak kerumah kurang setengah perjalanan lagi, namun samar-samar ku dengar rintihan bercampur tawa.
Bulu kuduk ku meremang tanpa di perintah, aku memasang kuda-kuda untuk berlari, karena jujur saja aku orangnya bukan pemberani, terlebih saat sendirian di jalan yg gelap, di jam selarut ini.
"Ojok mlayu, Dar, aku mertuo mu"

(jangan lari, Dar, saya mertua kamu) ucapnya sayup-sayup terdengar di belakang ku, tak ku pedulikan, aku segera berlari sembari membaca doa, rasanya punggung ku sangat berat.
Pundakku sangat sakit seperti di gelanyuti sesuatu, aku sudah tak bisa berpikir jernih, aku mulai berpikir macam-macam, langkah ku semakin berat, aku sama sekali tak berani menengok ke belakang.
Dengan susah payah aku berjalan, berjalan dengan langkah yg amat sangat berat, akhirnya aku melihat rumahku, ternyata Fira dan istriku menunggu ku di luar, nampak cemas di wajah mereka.
"Pak.. wisuh o sik, moco dungo!!"

(Pak, cuci kaki dulu lalu berdoa!!) Teriak istriku,

kulihat Fira menenggelamkan wajahnya di balik punggung istriku, tak lama istriku terduduk lemas, di pelataran rumah, menangis sesenggukan.
Langkah ku makin gontai, aku masih tak berani menoleh ke belakang untuk memastikan apa yg sedang ku gendong, tapi dalam hati kecil ku, aku yakin ada yg tak beres, ada wujud yg sedang menempel di pundak ku.

((Foto hanya referensi dari google))
Aku segera menuju kran yg tak jauh dari rumah, kubasuh kaki dan wajahku lalu berwudhu, membaca doa dan aku mohon pertolongan kepada Allah, kutarik nafas dalam-dalam lalu kubuang, seketika tubuhku mulai ringan.
"Alhamdulillah" ucapku bersyukur, aku menghampiri istriku lalu ku bopong masuk,

Fira mengunci pintu dan mengikuti kami dari belakang,

"temenan pak, ibu dadi po..."

(Ternyata bener, pak, ibu jadi po...) Kata istriku yg lalu ku hentikan dengan meremas pelan pundaknya.
"Karo pak ustadz kate di selidiki, lek wis surup ojo metu"

(pak ustadz akan menyelidiki, jika sudah petang jangan sampai keluar) ucapku,

"mau pocong e di pundak e pean, Yah"

(tadi pocongnya di pundak Ayah) celetuk Fira.
7. Serupa tapi tak sama

(Sudut pandang Fira sebagai "aku")

Sesuai saran pak ustadz, saat menjelang petang kami sudah tak berani keluar, hanya orang laki-laki yg sholat berjamaah Maghrib dan isya saja yg keluar rumah.
Selesai shalat Maghrib aku turun menuju ruang tengah, kuhampiri ibuku yg sedang menonton tv,

aku duduk di samping nya sembari memainkan gawaiku,

"hihi" tawa ibu pelan, aku tak menghiraukan nya,

"hahaha" kali ini tawa nya lebih keras.
Aku masih saja tak peduli, mata ku masih tertuju pada layar gawai ku,

"huuuhuuu" rengeknya, segera kualihkan pandangan ku ke arah ibuku,

"mantun ngguyu kok nangis, nyapo to buk?"

(Habis ketawa tiba-tiba nangis, ada apa buk?) Tanyaku.
Ibu hanya terdiam menatap tv, kumajukan badanku perlahan agar bisa melihat wajah ibuku, tatapan nya kosong, mata nya sayu, aku khawatir ibu sedih teringat mbah, ku genggam tangannya, mencoba menguatkan ibu.
Dingin, sangat dingin, tak kutemukan kehangatan disana, tak biasa ibu seperti ini,

"ibu kirang sehat?"

(Ibu ga enak badan?) Tanyaku, tanpa menjawab ku,

ibu berjalan membelakangi ku menuju tangga, aku masih terdiam melihatnya, hingga ibu tak terlihat lagi.
"Ndomblong ae mengko ketempelan kowe, Fir!!"

(Bengong aja, nanti kesambet loh, Fir!!) Ucap ibu mengagetkan ku,

ibu baru saja keluar dari kamarnya, kamar yg terletak di samping ruang tv.
Baju yg sama ia gunakan saat tadi duduk bersamaku berlalu ke lantai dua,

"kapan medun e buk?"

(Kapan ibu turun?) Tanyaku dengan nada sedikit keras,

"medun tekan ndi?"

(Turun dari mana?) Tanya ibu balik.
Aku menunjuk tangga menuju lantai dua,

"ngawur, ibu bar mari sholat!!"

(Ngawur, ibu saja baru selesai sholat!!) Jawabnya,

aku menggeleng kepala,

"wau ibu lenggah mriki.. "

(tadi ibu duduk disini....) Aku pun menceritakan semua kepada ibu.
Ada raut tak percaya diwajahnya, segera aku bertanya

"ibu dereng percados? Buktine pun katah"

(ibu masih tak percaya? Buktinya sudah banyak) ucapku meyakinkan ibu,

"ibu mbegidig nduk, ayah mu rung muleh tekan masjid, ojo bahas sing aneh-aneh"
(Ibu jadi merinding, nak, ayah mu belum balik dari masjid, jangan bahas yg aneh-aneh) ucap ibuku,

aku pun menuruti nya, kami duduk berangkulan menatap tv, tapi aku tak fokus,

pikiran ku masih kalut, memikirkan kejadian mengerikan selama kepergian mbah.
Aku yakin ibu pun merasa tak nyaman, di pikiran nya mengarah ke hal yg mengerikan itu, sudah lama kami hanya diam, sebelum, suara adzan berkumandang,

"bareng buk ngge wudhu e" pintaku
Ibu manggut, kami sholat berjamaah di musholla bawah.

"Nduk, tokne kabeh iwak e yo, ibuk tak ngeler sego, bar iki ayah teko ndang maem bareng"

(nak, keluar kan semua lauknya, ibu ambilkan nasi, supaya pas ayah dateng, kita bisa makan bersama) perintah ibu.
Aku membuka etalase, mengambil sayur yg telah ibu masak sore tadi,

"haaaa!!" Teriak ku sembari melempar sayur yg ada di panci,

"nduk, lapo se? Dadi utah kabeh kuwi duduh e!!"

(Nak, ada apa sih? Liat tuh jadi berantakan sayurnya!!) Ucap ibu marah.
Aku melihat banyak rambut yg telah memutih di dalam panci sayur, dengan daun telinga disana, aku menangis karena sangat shock, ibu menenangkan ku, memeluk sembari mengelus punggung ku,

"cep cep, wes jarno, ibu ae sing ngetokno, Fira resik i cilak e duduh iku",
((foto hanya referensi dari google))
Lanjut lagi besok yaa , selamat istirahat 🙏😊
(Cup cup, sudahlah, ibu saja yg mengeluarkan lauknya, Fira bersihkan tumpahan sayurnya, ya) ucap ibu dengan lembut.

Setelah selesai makan kami berkumpul di ruang tv, ibu menceritakan kejadian yg telah kami alami tadi.
"Tonggo mau yo ono sing cerito, maeng pas budal nang langgar, ketok pocong di wit asem"

(tetangga tadi juga ada yg cerita, tadi perjalanan menuju masjid, liat pocong di pohon asam) tutur ayah.
"Mosok iyo seh, ibu dadi pocong? Awak dewe ngerti lek ibu ga tau prei sholat jamaah, ngaji, nang wong yo loman, endi tau nyengit nang wong?"

(Apa iya ibu jadi pocong? Kita sendiri tau beliau semasa hidupnya rajin ibadah shalat berjamaah, mengaji, dermawan, tak pernah-
jahat ke orang kan?) Jelas ibu sembari meneteskan air mata.

Aku mengelap air mata ibu ku, aku yakin sekali, itu bukan arwah mbah, mbah sudah tenang disana,

tapi dengan teror yg bertubi-tubi dan tak hanya keluarga kami yg merasakan, keyakinan ku mulai goyah,
apakah ada sesuatu yg mbah sembunyikan? hingga banyak kejadian mengerikan.

"Wis bengi, gek ndang mapan turu"

(sudah malam, ayo tidur) saran ayahku,

aku manggut lalu berjalan menuju tangga, baru tiga langkah, aku berhenti, aku melihat ke atas dan rasanya bergidik ngeri,
karena teringat "ibu" ku tadi naik ke atas, mereka serupa, tapi tak sama.

"Buk, kancani Fira bubuk di duwur ayo!"

(buk, temenin Fira tidur di atas yuk!) Rengek ku,

"wes ayo turu duwur kabeh, hawane isis nok duwr"

(sudah ayo kita tidur di atas semua, hawanya sejuk disana)
ucap ayah menenangkan ku.

8. Teror yang semakin gila

Karena rasa bosan dirumah saja, sore itu di hari ketiga kami tak diperbolehkan keluar rumah saat magrib, aku memutuskan untuk kerumah mbak dia dan berencana menginap disana.
"Aku bubuk kene mengko ya, mbak?"

(Aku tidur sini malam ini ya, mbak?) Ucapku meminta izin,

"asiik iso guyon, seru iki"

(asiiik bisa bercanda, seru nih) jawab mbak Diah antusias,

"mbak kerungu isu tekan wong-wong opo ora?"

(Mbak, kamu denger issu dari warga, ngga?)
Tanyaku membuka obrolan serius.

"Kerungu se, tapi aku ra percoyo, mbah kan wong wapik ya? aku yo ra tau di ketok i, ra tau di gudo kok"

(denger lah, tapi aku ga percaya tuh, bukannya mba orang baik? Buktinya aku juga ga pernah nampak dan di ganggu) jawab nya.
"Emang e ra tau ngalami kejadian aneh-aneh pean, mbak?"

(Emangnya mbak Diah ga pernah mengalami kejadian aneh?) Tanyaku, mbak Diah menggeleng dan mengernyitkan keningnya.
"Kejadian aneh?" Tanyanya balik, aku manggut,

"misal e" tanya nya lagi,

aku mengendikkan bahu,

"wes..wes ra usah di bahas, cerito liyane ae"

(sudahlah ga perlu dibahas, cerita yg lain saja) katanya.
Setelah cerita muter-muter ngalor ngidul, akhirnya kami memutuskan untuk tidur,

aku sudah sangat ngantuk, tapi ku sempatkan untuk buang air kecil,

aku tak mau jika nanti di tengah tidur nyenyak ku harus bangun karena harus ke kamar mandi.
Rumah mbak Diah adalah rumah lama, rumah jaman belanda, ya maklum karena ini rumah peninggalan buyut ku, ibu dari mbah ku, rumahnya sangat besar dan luas namun tak banyak ruang.

((Foto hanya referensi dari google))
Aku melewati kamar budhe dan pakdhe jika ingin ke kamar mandi,

aku mencium bau khas, bau yg tak pernah ku lupa saat makhluk putih itu muncul dalam mimpiku waktu itu,

aku segera berlari ke kamar mandi, sengaja aku biarkan pintu nya terbuka sedikit
Setelah selesai aku buru-buru kembali ke kamar mbak Diah, takut jika makhluk itu muncul lagi di depan ku, kulihat pintu kamar budhe terbuka sedikit, aku agak lega, itu tandanya mereka masih terjaga, aku tidak sendiri.
*BRAAAKK* aku mendengar pintu di banting, suara itu dari belakang, entah pintu kamar mandi atau pintu dapur, yg jelas sumber suara itu dari sana,

"ah mungkin pakdhe atau budhe ke kamar mandi, nutupnya ga sengaja keras karena udah kebelet" pikirku.
*BRAAAKK* kali ini makin keras, bau wangi itu tercium lagi, tak ku pedulikan, aku segera masuk ke kamar dan memeluk mbak Diah,

mbak Diah bilang, ia tak pernah mengalami kejadian aneh, jadi tentu saja disini sudah aman, di pagar oleh pakdhe tentunya.
Bau itu masih menusuk hidungku, ranjang yg kami tiduri tiba-tiba bergetar beberapa detik, lalu terdiam, keringat ku mulai mengucur, jantung ku kian cepat berdegung kencang, aku memaksakan mataku agar segera terpejam.
"Nduk..nduk.." panggilnya, aku semakin takut,

"wis turu po durung?"

(Sudah tidur apa belum?) Tanya nya lagi,

aku hanya diam memejamkan mata dengan posisi masih merangkul mbak Diah, ku guncang badannya agar ia terbangun.
"Aku wero kowe sik tangi, ayo melek"

(aku tau kamu masih terjaga, ayo bangun) perintah nya, aku semakin mengguncang kuat tubuh Mbak Diah,

"mbak tangi o!!"

(mbak, bangun!!) Pintaku,

lama sudah tak terdengar suara "mbah", namun bau itu masih menyengat di hidungku.
Perlahan kubuka mataku, mataku terbelalak kaget, reflek ku tendang seseorang yg kupeluk tadi, pocong mbah terlempar jatuh ke lantai, sial, tenaga ku habis, aku tak bisa bangun untuk berlari, aku berdoa dan membenamkan wajahku ke dalam selimut.
"Jamput koen Fir, loro aku mbok jejek!!"

(Anjir kamu Fir, sakit tau di tendang!!) Teriak mbak diah, ya, suara mbak Diah, aku segera membuka selimut, benar saja, mbak Diah tersungkur di lanta sembari mengelus punggungnya.
"M-mbak Diah?" Ucapku terbata,

"megelno kowe iki, Fir!!"

(Ngeselin banget kamu, Fir!!) Kata nya marah,

"sepurane mbak, aku ketok e mau pocong..."

(Maaf ya mbak, aku tadi liat nya pocong..) jelasku melemah.
"Hah? Pocong? Rumangsamu aku pocong? Ngawur ae, wes ayo turu, ndungo tala cek ga di gudo setan!!"

(Hah? Pocong? Kamu kira aku pocong? Sembarangan banget, udah ayo tidur, makanya berdoa biar ga di ganggu setan!!) Ucap nya dengan nada masih marah.
9. Teror yang semakin gila (Part II)

( Sudut pandang Ayah sebagai "aku")

Seusai shalat Maghrib berjamaah, aku tak langsung pulang, kami mengaji bersama, ini sudah hari kelima himbauan dari pak ustadz untuk tak keluar jika hari sudah petang.
"Tolong...tolong!!" Ucap yu Asnah istri cak Roni, tergopoh-gopoh,

kami serempak berdiri menghampiri yu Asnah yg tengah tersimpuh di depan masjid, ia nampak kelelahan dan payah, di wajahnya tergambar ketakutan dan kekhawatiran.
"Enten nopo kok koyok ane pean iki keweden?"

(Ada apa kok keliatan nya ketakutan?) Tanya Safi'i,

"di umah akeh pocong e cak, aku rene dikongkon cak Roni golek i pak ustadz"

(dirumah banyak pocong, mas, aku kesini disuruh mas Roni untuk memanggil pak ustadz)
jelasnya dengan nafas terengah-engah.

"Lah pundi cak Roni?"

(Lalu mas Roni kemana?) Tanyaku,

"njogo tole, soal e tole nangis kepiyer"

(menjaga anak-anak, karena mereka menangis ketakutan) jawabnya,

"tapi pak ustadz dereng mantuk, tirose teng griyane gurune",
(Tapi pas ustadz belum pulang, beliau sowan ketempat gurunya) jawab Harto, murid pak ustadz,

"nggepun mriko sareng-sareng mawong, sinten ngertos mengke Pocong e ngaleh bek aken dipuruki tiang katah"
(Kalau begitu mari kita bersama kerumah cak Roni, siapa tau nanti Pocong nya pergi jika dihampiri orang banyak) usul Safi'i,

tanpa pikir panjang kami pun bergegas kerumah cak Roni, baru beberapa langkah, dua warga lain menghampiri kami.
"Cak, di omahku ono pocong"

(mas, dirumah kami ada pocong) ucap Tholib,

"ngge, teng griyo pisan"

(iya, dirumahku juga) sahut Lukman tak mau kalah,

"sik toh iki pocong akeh tenan, kambik'an kowe iki ga nang masjid iku lapo? Maleh di tekani pocong a kowe!!"
"Sebentar, kenapa jadi banyak Pocong, lagian kenapa kalian ga jamaah ke masjid? Ini resikonya, kalian di datangi pocong) ucap mbah Sugeng,

"wau kulo kajenge bidal, wurung mergo di cegat pocong, makane kulo mboten sios teng langgar, mbah",
(Sebenarnya tadi saya mau berangkat, tapi dihadang oleh pocong makanya saya mengurungkan niat untuk pergi ke masjid, mbah) jawab Tholib, mbah Sugeng hanya manggut.
Kami pun melanjutkan perjalanan kerumah warga yg terdekat terlebih dahulu, yaitu rumah cak Roni, cak Roni dan kedua anak nya sudah menunggu kami di luar teras, kedua putra nya masih menangis tersedu-sedu.
"Wis ga ono pocong e, dek, Alhamdulillah"

(sudah pergi pocong nya, dek, Alhamdulillah) ucap cak Roni,

"Alhamdulillah" ucap kami serempak, kami pun melanjutkan kerumah Tholib,

"iku cak Dikin lapo mlayu-mlayu?",
(Kenapa tuh mas Dikin lari-lari?) Tanya Safi'i, benar saja, cak Dikin menghampiri kami,

"lapo? Ono pocong di omah mu?"

(Kenapa? Ada pocong juga dirumahmu?) Tanya mbah Sugeng.
"Mboten, mbah, tapi enten setan e mak Pah"

(bukan, mbak, tapi ada hantu nya mak Pah) jawabnya,

"maksud mu opo cak?" Tanyaku tersinggung,

"sepurane cak, encene iku anane"

(maaf, mas, memang begitu adanya) jawabnya membuat ku sedih.
"Sabar, ayo nang umah e Tholib sik"

(sabar, ayo kerumah Tholib) ajak mbah Sugeng, setelah sampai dirumah cak Tholib,

istrinya keluar dan mengatakan jika pocong itu sudah pergi, selanjutnya kami berbondong-bondong kerumah Lukman.
Setelah berjalan cukup jauh kami sampai dirumah Lukman, baru ini aku melihat maklum seseram ini, benar saja, pocong itu berada di atap rumah Lukman, istrinya menunggu dirumah tetangga sebelahnya.
"Astagfirullah" ucap kami semua, tak lama pocong itu menghilang,

"eman e rek ga kenek rekam!!" (Sayang banget ga ketangkep kamera!!) Keluh Sidiq,

"ojo sembrono koen yo, nganti berita iki kerungu tekan njobo deso, kowe sing tak edel-edel, iki ngunu aib e deso,
ojo mbok sebarno sak durung e masalah e gamblang!!",

(Kamu Jangan sembrono ya, kalau sampai berita ini tersebar ke desa lain, kamu yg kuhabiskan, jelas-jelas ini aib desa, jangan sampai tersebar sebelum masalahnya jelas!!) Ucap mbah Sugeng yg marah.
Sidiq hanya nyengir malu karena merasa bersalah, kami melanjutkan perjalan kerumah Dikin, tapi kali ini rute kami berbalik arah, karena rumah Dikin berbeda gang,
Kami sudah sampai di pelataran rumah Dikin, hawa disana terasa berbeda,

"bojomu nang ndi?"

(Mana istrimu?) Tanya mbah sugeng,

"teng lebet mbah, larene kesurupan"

(di dalam mbah, dia kesurupan) jawab Dikin.
"Adine bojomu mbok tinggal dewean pas kesurupan? Goblok temen koen iki, nganti bojomu di gowo setan iku ya opo, kin?"

(Jadi istri mu tadi kamu tinggal sendirian saat kesurupan? Bodoh sekali kamu, kalau sampe dia dibawa jin bagaimana?) Tanya mbah sugeng marah.
"Kulo wau bingung mbah, wedhi nggean, adine kulo tinggal tog"

(saya tadi bingung dan takut sekali, mbah, jadi dia saya tinggal begitu saja) jawabnya dengan nada pelan karena merasa bersalah.
Dikin membuka pintu, tangan istrinya di ikat dengan kain,

"mas, lapo aku di cancang ngene?"

(Mas, kenapa aku di ikat seperti ini?) Tanyanya dengan nada memelas,

"dek, wes sadar ta awakmu?"

(Dek, kamu udah sadar?) Tanya Dikin.

((Foto hanya referensi dari google))
Istrinya manggut, Dikin melangkah perlahan hendak membuka ikatan di tangan istrinya, setelah ikatan itu terbuka, istri Dikin berdiri lalu menyerang beberapa warga, mencakar dan memukul, lalu ia tertawa dengan berlarian kecil.
Malam ini sampai sini dulu yaa, makasih yg udah baca n setia nunggu 😘 selamat istirahat, jangan lupa nanti sahur ya (bagi yg menjalankan puasa tarwiyah)
Sesuai janji, hari sabtu aku bakal lanjut cerita, dan baru mau mulai, perut aku sakit banget, emang ya, ghibahin setan itu ga gampang, semoga kuat nulis sampe jam 9, yuuuk

Bismillah
Aku sangat kaget, mematung beberapa detik,

"mas, ewangi kulo nyekel mbak e"

(mas, bantu saya pegang mbak nya) pinta Harto, aku manggut,

kami sudah memegangi tangan dan kaki istri Dikin.
Ia hanya tertawa mengejek kami,

tak lama tangannya mulai bergerak, lalu kami terpental, kekuatan nya sungguh besar dan kuat hingga kami kuwalahan,

"karep mu opo?"

(Apa mau mu?) Tanyaku lantang.
"Mantu ku, Darno, hi.. hihi .hii", ucapnya dengan suara mertuaku,

"koen setan opo? Wani-wani ne koen ngelekno jeneng e morotuo ku!!"

(Kamu setan macam apa? Berani nya kamu mencemarkan nama baik mertuaku!!) Ucapku marah.

"Aku morotuo mu, Dar, aku ga seneng koen manggon omah-
iku, koen karo anak mu kudu minggat tekan kene, lek ngga, aku bakal terus nggudo wong kene!!"

(Aku memang mertua mu, Dar, aku tak suka kamu menempati rumah itu, kamu dan keluarga mu harus pergi dari sini, jika tidak, aku akam terus mengganggu warga sini!!)
Pintanya dengan nada tinggi.

Mendengar kata-kata itu, kepala ku serasa di timpa benda keras, hati ku terasa di tusuk seribu duri,

bagaimana tidak? Semua gangguan ini karena mertua ku yang tak rela aku dan keluargaku menempati tanah nya.
Rumah itu di bangun dengan tabungan kami (aku dan istriku), di bangun di atas tanah pemberian mertuaku, dan sekarang kami harus pergi dari sini? Aku sangat malu dan merasa bersalah kepada para warga.
"Cak, mending pean sak kelurga nyengkreh tekan kene!! Aku ga gelem yo, lek bojoku kesurupan mbah Pah terus!!"

(Mas, mending kamu sekeluarga pergi dari sini!! Aku ga mau kalau istriku terus-menerus kesurupan mbah Pah!!) Teriak Dikin padaku
10. Masih tak percaya

(Sudut pandang Ibu sebagai "aku")

"Aku sik ra percoyo arwane ibuk gentayangan terus Ngomong koyok ngunu kae!!"

(Aku masih ga percaya arwah ibuku gentayangan lalu bicara seperti itu!!) Ucapku kepada ayahnya Fira.
Aku masih ingat betul bagaimana ibu meminta ku untuk tak keluar dari desa ini dan menempati tanah ini,

5 tahun yg lalu aku berencana pindah ke rumah yg telah di bangun suamiku, namun ibu sakit-sakitan dan tak mengizinkan ku untuk pindah kesana.
Akhirnya dengan uang tabungan yg tersisa, kami memutuskan untuk membangun rumah sederhana di tanah ini, lalu sekarang bagaimana mungkin setan itu bilang jika ibu tak rela aku menempati rumah ini?.
"Rapopo buk, ayo wes metu tekan deso iki, perkoro bener opo ora e iku urusan mburi, sing penting setan kuwi ga ngeriwuk Tonggo maneh"

(tak masalah buk, mari kita pindah, masalah benar atau tidaknya itu urusan belakangan, yg penting setan itu tak lagi mengganggu warga),
tutur suamiku.

"Mosok se pak kene kate kalah karo setan!!"

(Masa sih kita kalah dengan setan!!) Ucap ku masih tak terima,

"kate yo opo maneh? Wong-wong wes ngamuk di riwuk setan sing nyamar dadi ibuk, kene ngalah sik ae",
(Mau bagaimana lagi? Warga sudah marah di ganggu setan yg menyerupai ibuk, kita mengalah dulu) jelasnya lagi,

"sik, aku tak jaluk tulung mas Ridho, bek e tak iso ngei solusi",

(nanti aku akan minta tolong mas Ridho, mungkin dia bisa memberi solusi) kataku.
Malam itu kami kerumah mas Ridho, termasuk Fira, ia tak mau ditinggal dirumah sendiri,

"sik, dek, mas mu metu tuku sego goreng, bar iki lak balik"

(tunggu, dek, mas Ridho masih keluar membeli nasi goreng, sebentar lagi pasti pulang) ucap mbak Endang.
Kami pun menunggu mas Ridho, kurang lebih 10 menit, ia datang.

"Loh ono opo iki rame-rame? Sepurane tas tuku sego gawe Diah, keluwen jare, hehe"

(loh ada apa nih beramai-ramai kemari! Maaf aku habis beli nasi untuk Diah yg kelaparan, hehe) katanya sambil nyengir.
Aku dan suami pun menceritakan semua yg menimpa kepada kami,

"entenono kene sik yo, coba tak delok e"

(tunggu sebentar ya, akan ku terawang) ucap mas Ridho meninggalkan kami dan masuk di ruang khusus nya.
Entah kenapa perasaan ku tak enak, hati ku tak tenang, aku punya firasat jika malam ini akan terjadi hal buruk,

namun, segera ku tepis perasaan itu, aku meyakinkan diriku bahwa masalah ini akan selesai malam ini juga, semoga Allah menunjukkan jalan yg benar.
Aku meremas tangan suamiku, rasanya sudah tak sabar menunggu mas Ridho keluar, padahal ia baru masuk beberapa menit, tapi rasanya aku sudah menunggu nya berjam-jam.
Sudah sekitar 20 menit mas Ridho di dalam lalu keluar, keringat nya mengucur deras,

"aku ga sanggup, dek" ucapnya,

"maksud mu opo, mas?" Tanyaku, mas Ridho terdiam sejenak, meminum kopi yg telah di hidangkan istrinya.
Setelah meletakkan gelasnya, ia menggelengkan kepala, meraih rokok dan korek lalu menyalakannya, asap itu mengepul di wajahnya, keringat nya mulai mengering,

"angel, dek, gelem ga gelem pean sak keluarga kudu pindah, iki taruan e nyowobe wong akeh",
(Sulit, dek, mau tidak mau kalian harus pergi dari sini, ini taruhannya adalah orang banyak) jelasnya,

"tapi pean ero dewe kan, ibuk ga ngoleh i aku ngaleh..."

(Tapi kamu tau sendiri kan, ibuk melarang ku pindah...) Ucapan ku kuhentikan, karena aku merasa sudah percuma.
Aku berlari menuju rumahku,

"Fir, ayo balik!!" Teriak suamiku,

mereka membuntuti ku dari belakang, aku membuka pintu lalu masuk,

kami bertiga kaget karena melihat kondisi rumah berantakan, semua acak-acakan, barang-barang terlempar dan pecah.
Kami saling memandang satu sama lain, kebingungan, siapa yg telah berbuat seperti ini? Pintu rumah dari tadi terkunci, jendela pun terkunci dari dalam,

"opo maneh iki??"

(Apa lagi ini??) Teriak suamiku marah
"Fira emoh lek di kon pindah tekan kene, kancane Fira akeh arek kene, buk, yah",

(Fira enggan untuk pindah dari sini, teman Fira disini banyak, buk, yah) ucap Fira memelas, aku hanya memandangnya iba.

"Wes mending saiki ngasoh, aku wes pegel, ngelu mikir setan iki,
mene ayo pindah nang umah (desa P), ga usah di ringkesi, mene di boyong kok"

(sudahlah lebih baik sekarang kita istirahat, aku sangat capek dan pusing kepikiran setan ini, mari besok kita pindah kerumah (desa P), ga perlu di bereskan,
toh besok juga bakal di usung kesana) ajak suamiku.

Tetap saja meski badan kami di atas kasur empuk, mata kami terpejam, namun kami tak bisa benar-benar tertidur, kami terhanyut dalam pikiran masing-masing,

*JDDUUUAARRR* suara benda menghantam atap rumah kami.
Kami bertiga turun hendak keluar, "metuo woy!!"

(Keluar woy!!) Teriak beberapa warga, mereka melempar batu besar ke pintu rumah kami,

"meneng o kene, Fira jogoen"

(diamlah disini, jaga Fira) pinta suamiku, aku dan Fira masuk musholla.
11. Kesurupan massal

(Sudut pandang Ayah sebagai "aku")

Aku tau warga marah kepada keluarga ku, aku segera meminta istriku agar menjaga Fira, kubuka perlahan pintu depan, mereka sudah berdiri menantiku keluar,

"gek ndang nyingkrio tekan kene, iki tambah akeh wong-
sing kesurupan!!",

(Cepet pergi dari sini, sudah banyak warga yg kesurupan!!) Teriak warga,

"sabar riyen, sinten mawon sing kesurupan? Cobi kulo bantu ngedalaken"

(sabar dulu, siapa saja yg kesurupan? Coba saya bantu mengeluarkan) sahut mas Ridho menghampiri kami.
"Monggo pak, tumut mawon"

(mari pak, ikut saja) ajak Harto,

"pak ustadz dereng ndugi?"

(Apa pak ustadz belum datang?) Tanyaku,

"dereng, tirose sak derenge subuh"

(belum, bilang nya sih sebelum subuh) jawabnya.
Aku melihat jam dinding di dalam rumahku, sudah hampir jam satu dini hari,

"aku pamit bojoku sik ya, Har"

(aku pamit istriku dulu ya , Har) pinta ku pada Harto, ia manggut,

aku segera pamit kepada istri dan anakku, lalu menyusul warga.
"Wong piro sing kesurupan, Har?"

(Orang berapa yg kesurupan, Har?) Tanyaku,

"gangsal, mas"

(lima, mas) jawabnya,

"aku sungkan nang wong kene, Har, kedaden ngene iki kan mergo morotuo ku"

(aku malu kepada warga, terjadi seperti ini karena mertua ku) kataku.
Harto tersenyum,

"mboten sah percados kale setan mas, niku ngoten nggudo iman e kene, mas Darno mboten perlu pindah, tetep teng deso niki mawon"

(jangan mudah percaya dengan setan, mas, mereka mencoba menggoyahkan iman kita, mas Darno tidak perlu pergi dari desa ini) ucapnya.
Dalam perjalanan aku masih memikirkan ucapan Harto, jujur hati ku sedikit lebih tenang karena kata-katanya cukup menguatkan ku.

Setelah berjalan lumayan jauh, kami sampai di balai desa, warga yg kesurupan bertambah.

((Foto hanya referensi dari google))
"Kok tambah akeh sing kesurupan, Har"

(kenapa makin banyak yg kesurupan, Har) ucapku sembari melihat pemandangan mengerikan ini,

mereka berteriak "minggat!!" (Pergi!!), Ada pula yg berucap kotor, mata mereka melotot memperlihatkan urat-urat halus di matanya.
Kulihat Harto hanya berdiri melihat mereka, sementara mas Ridho sibuk mengeluarkan jin yg menempel di tubuh warga,

"Har, pean ga nolong pisan, ta?"

(Har, apa kamu tidak mau membantu?) Tanyaku.
"Percuma, mas, jin e enten sing ngelakok aken, kulo wau pun nyobi ngedalaken tiang tigo, tapi malah nambah tiang sing ketempelan"

(sia-sia, mas, jin tersebut ada yg mendalangi, aku tadi sudah mencoba mengeluarkan dari tubuh tiga orang, namun yg kesurupan makin bertambah) .
jelasnya.

Aku mencoba membantu dengan memegangi kaki warga yg sedang kesurupan,

"wis ojo ngotek, iki ngunu mergo awakmu!!"

(Berhenti, jangan pegang, ini semua salahmu!!) Teriak salah satu warga.
Kurang 3 part lagi, lanjut hari senin yaa, besok mau bakar sate n qtime sama keluarga hehe, terimakasih udah baca n setia menunggu, semoga kita selalu dalam lindungan Allah 💕
Seluruh warga yg berada di balai desa pun melihat ke arahku, tatapan sinis dan kesalnya mereka sangat terlihat,

"wadiah, ra kuat aku, dek, kakean sing kesurupan, aku angkat tangan"

(waduh, aku sudah ga kuat, terlalu banyak yg kesurupan, aku angkat tangan) kata mas Ridho.
"Istirahat mawon riyen, pak"

(istirahat dulu saja, pak) saran Harto, kami bertiga hanya bisa terduduk diam melihat warga yg kesurupan,

"ngenteni opo iki? Mosok wong-wong ketempelan ngene di jarno!!",
(Nunggu apa? Masa warga kesurupan gini dibiarkan saja!!) Ucap mbah sugeng marah,

"nenggo pak ustadz, mbah"

(nunggu pak ustadz, mbah) jawab Harto,

"kesuwen ngenteni pak ustadz, wes mending Darno karo bojo sak anak e ndang metu teko deso iki!!",
(Kelamaan nunggu pak ustadz, lebih baik Darno sekeluarga pergi dari sini!!) Kata salah satu warga,

"sepurane ya, Dar, Mending encene awakmu ngalih saiki, tulung kesadaran mu, molo iki kan yo mergo kowe seh",
(Maaf ya, Dar, lebih baik kamu memang pindah saat ini juga, tolong pengertian nya, malapetaka ini juga terjadi karena mu) ucap mbah sugeng,

"nggih, kulo tak lungo sakniki, mugi mawon pas kulo lungo, sedoyo Balik sae maleh",
(Baiklah, kami akan pergi saat ini juga, semoga setelah kepergian ku, semua kembali membaik) ucapku lalu meninggalkan balai desa.

Sampai rumah aku segera mengeluarkan mobil dan memboyong istri serta anakku.
Istriku masih enggan untuk pergi dari sini, namun aku tetap memaksanya, aku tak mau warga mengamuk dan bersikap nekat kepada ku dan keluargaku,

"sepurane ya, dek, aku ga iso lapo-lapo"

(maaf ya, dek, aku ga bisa berbuat apa-apa) ucap mas Ridho yg menunggu kami di depan.
"Ra popo, cak, aku ngerti kok"

(ga masalah, mas, aku mengerti) jawabku,

"aku melu Fira, buk, pak"

(aku ikut Fira, ya buk, pak) pinta Diah,

"yo wis meluo nduk"

(boleh, ikut saja, nak) kata mbak Endang.
"Ora, iki wes bengi, melbu, turu o!!"

(Tidak, ini sudah malam, masuk dan tidurlah!!) Ucap mas Ridho setengah berteriak,

"bapak iki lapo seh, aku melu Fira, sesuk muleh, pak"

(bapak kenap sih, aku ikut Fira, besok aku pulang, pak) rengeknya.
Mas Ridho menatap Diah, ia masih tak mengizinkan, aku sangat mengerti, di kondisi seperti ini, jelas mas ridho khawatir akan keselamatan putrinya,

Diah merajuk lalu masuk kerumahnya,

"sisuk tak rono, dek, saiki wes bengi, kowe ati-ati yo",
(Besok aku akan kesana (kerumah di desa P), sekarang sudah larut malam, kamu berhati-hatilah) pesan mas Ridho,

"Darno... Rima...." Ucap lirih Fira, suara mertua ku terucap dari mulut Fira,

"pak, Fira lapo iki?"

(Pak, Fira kenapa?) Tanya istri ku.
Aku memberhentikan mobil ku memastikan keadaan Fira,

"iki aku ibuk mu, nduk, lapo awakmu metu teko deso iku? Ojo percoyo karo setan, iku ngunu duk aku"

(ini aku ibumu, nduk, kenapa kamu keluar dari desa itu? Jangan mudah percaya dengan setan, itu bukan aku) ucap nya.
Tak lama Fira melotot menghela nafas tinggi lalu menangis,

"buk, yah, iku mau mbah, mbah ku sing asli, duk setan sing wingi-wingi"

(buk, yah, itu tadi mbah, mbah ku yg sesungguhnya, bukan setan yg selama ini muncul) kata Fira.
"Kok iso yakin lek iku mbah mu sing asli nduk?"

(Kenapa bisa kamu berpikir jika itu mbah yg sebenarnya?) Tanyaku,

"suoro e mbah, logat e, hawane, Fira ngerti sanget niku mbah, tenang, ayem, mboten medeni kades sing sakderenge",
(Mulai dari suara, logat, hawanya, Fira paham banget itu mbah, tenang, nyaman, tidak menakutkan seperti yg sebelumnya) jelas nya,

"wes a pak, kene ga usah ngaleh"

(tuh kan, pak, kita ga perlu pindah) celetuk istri ku.
"Ra popo sawentoro iki kene manggon omah P, sampe kabeh aman"

(tak apa, untuk sementara ini kita tinggal dirumah P, sampai semua aman) jelasku.
12. Fitnah yang keji

(Sudut pandang Harto sebagai "aku")

Telinga ku sudah sangat panas dengan hingar bingar suara "mereka",

balai desa penuh sesak layaknya pasar, ini sudah tak biasa, mereka adalah kiriman dari orang yg menginginkan hal ini terjadi.
Jam menunjukkan pukul 02.25, Badan ku sudah sangat letih karena mencoba mengeluarkan mereka, tenaga ku pun terkuras, itu sebabnya aku membiarkan warga seperti ini, aku sudah memasang pagar ghaib agar sukma warga tak dibawa pergi.
Sudah 30 menit semenjak kepergian pak Darno sekeluarga, mereka masih juga berteriak, dan tertawa di badan para warga, aku berinisiatif untuk mengajak warga mengaji bersama sementara sebagain tetap menjaga, takut jika mereka saling melukai.
Baru beberapa ayat ku lantunkan, gawai ku berdering, aku menyingkir menjauh dari sana, agar tak terlalu bising,

🧔 : Assalamualaikum, pak ustadz

👳 : Waalaikumsalam, dimana Har?

🧔 : Ini di balai desa dengan warga yg kesurupan, pak ustadz,

👳 : Saya kesana, wassalamu'alaikum
🧔 ; Waalaikumsalam

Aku merasa lega, akhirnya pak ustadz telah sampai, benar saja beberapa menit kemudian pak ustadz dan kyai memasuki pelataran balai desa ini, di belakang nya belasan santri mengikuti.
"Assalamualaikum" sapa nya kepada kami,

"waalaikumsalam" jawab kami serempak,

"astagfirullah, ini yg ngirim juga pasti kuwalahan ngambil jin sebanyak ini" ucap kyai,

benar firasat ku, ini sebuah kiriman.
"Bagaimana kalau di kembalikan saja? Biar fitnah ini tidak berlarut-larut" lanjutnya,

"saya setuju, kyai" jawab pak ustadz, aku hanya manggut, karena jelas kyai bukan menanyai pendapat ku,

"suwun yo, wis entek-entek an njogo lan masang pager",
(Terimakasih ya, sudah menghabiskan tenaga untuk menjaga mereka dan memasang pagar ghaib) ucap pak ustadz sembari mengelus pundak ku,

"sami-sami, pak, tapi kulo mboten saget mengeng mas Darno, tiang e pun pindah wau",
(Sama-sama, pak, tapi saya tidak bisa menahan mas Darno, beliau sudah pidah tadi) jawabku,

"iku ngunu wis dalan e, mariki lek wong-wong ero sopo dalang e, bakal golek cak Darno jaluk sepuro",
(Memang sudah seharusnya, tak lama lagi jika warga sudah tau siapa dalang nya, pasti akan mencari mas Darno untuk meminta maaf) tutur pak ustadz,

Kyai bersila di pojok lalu memutar tasbih nya, sementara santri menyebar mengelilingi balai desa untuk berjaga.
Bisa dibilang saat ini kami telah di serbu pasukan tak kasat mata, kulihat kyai membuka mata lalu mengangguk kepada ustadz,

"Alhamdulillah, kari ngenteni"

(Alhamdulillah tinggal menunggu) ucap nya yg tak ku mengerti.
"Ngerantos sinten, pak?"

(Menunggu siapa, pak?) Tanyaku,

"bar iki awakmu ngerti"

(sebentar lagi kamu akan mengerti) jawab pak ustadz.

Waktu berlalu begitu sangat lama, kami masih bergelut dengan tasbih masing-masing, terhanyut dalam dzikir.
"Mbah, mbah Sugeng" teriak seorang gadis,

"bapak kale ibu, huhuhuu" rengeknya,

"ono opo Diah? Kene lungguh o sik, jupuk no ngumbe iku, dek"

(ada apa Diah? Kemarilah duduk dulu, tolong ambilkan minum, dek) ucap mbah Sugeng sembari memintaku untuk mengambil minum.
"Bapak mutah-mutah getih, ibu bengok-bengok koyok wong kesetanen, mbah, kulo wedhi"

(bapak muntah darah, sementara ibu teriak-teriak seperti orang kesetanan, aku sangat takut) jelas Diah yg masih menangis.
"Sudah ketemu siapa dalangnya, saya minta tolong di rahasiakan dulu kepada warga, saya khawatir mereka murka dan berbuat yg tidak di inginkan" pesan kyai kepada mbah Sugeng,
"Ngge leres",

(iya benar) jawab Mbah Sugeng.

Aku, pak ustadz, kyai, mbah sugeng dan lima orang santri menuju rumah pak Ridho, sementara santri lain tetap berjaga di balai desa.
Diah membuka pintu, seketika bau busuk menyeruak tercium, terdengar teriakan Bu Endang,

"ojok, ojok, ojok!!" (Jangan, jangan, jangan) ucapnya,

"pak kyai segera menghampiri Bu Endang, memegang kepala nya dan membaca doa, tak lama bu Endang pingsan.
"Nak, kamu tunggu ibumu saja, biar aku yg menangani bapak mu" ucap kyai,

"pasang pagar yg kuat" perintah kyai,

kami segera membaca doa khusus untuk memasang pagar, hawa dirumah ini sangat sesak.
Anehnya aku sama sekali tak melihat satupun makhluk halus maupun jin disini, hanya pandangan ku kabur karena kabut hitam memenuhi ruangan,

"sajane opo sing mbok lakokno sampe koyok ngene iki, Dho?",
(Sebenarnya apa yg telah kamu perbuat hingga terjadi seperti ini, Dho?) Tanya mbah Sugeng,

pak Ridho tak menjawab, ia hanya berkata "ha ho haaa haaa" entahlah apa yg ia katakan, kami semua tak ada yg memahami nya.
Kulihat beberapa bagian tubuh pak Ridho luka, karena "cakaran" atau garukan kukunya sendiri,

pak kyai segera membacakan doa, pak Ridho makin berteriak menjadi-jadi,

"di ikat saja, khawatir jika dia nanti melukai dirinya sendiri" perintah kyai.
Aku dan santri mengikat dengan baju dan sarung yg ada di ruang tersebut,

"mari kita kembali ke balai desa" ajak kyai,

"ini pak Ridho dibiarkan saja?" Tanya mbah Sugeng,
"biarkan saja, karena ia harus meminta maaf kepada orang yg ia fitnah, setan itu tak mau pergi jika hati seorang manusia masih kotor" jelasnya, akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke balai desa.
Kyai masih dzikir, kami pun mengikuti nya,

"apa orang disini juga harus menunggu keluarga Darno agar tak kesurupan lagi?" Tanya mbah Sugeng,

"tidak, sebentar lagi jin itu akan segera pergi, tapi memang harus meminta maaf atas kesalah pahaman ini" jawab kyai.
"Sudah masuk waktunya subuh, silahkan adzan" pinta kyai, aku pun segera adzan, seketika warga disana terdiam, tak terdengar lagi teriakan dan raungan mereka.

"Alhamdulillah" ucap kami serentak.
13. You play drama you get karma

Aku melangkahkan kaki dengan lemas, tak bersemangat memasuki rumah ini, aku dengan senang hati pindah dari sana tapi bukan dengan cara seperti ini, cara yg memalukan dan tak terhormat, di usir dari kampung halaman sangatlah sakit.
Terlebih ibuku, aku tau betapa sedih dan kecewa nya beliau karena meninggalkan rumah kenangan itu dengan cara seperti ini, rumah ini (di desa P) sangatlah terawat dan bersih, karena seminggu sekali ayah menyempatkan waktu untuk bersih-bersih.
Seandainya mbah tak pergi secepat ini, seandainya mbah sedikit lebih lama menemani kami, aku yakin kejadian ini tak akan pernah terjadi, namun itu hanyalah harapan ku, semua sudah terjadi, tak bisa di hindari.
Kami menunggu adzan subuh di ruang tengah, lalu sholat berjamaah, entah kenapa setelah kami sholat rasanya sangat lega dan tenang, padahal semenjak kepergian mbah hati terasa gusar, seolah ada yg mengikuti.
*TOK TOK TOK*

beberapa kali pintu di ketuk, aku terbangun dari tidurku, kulihat jam menunjukkan pukul 10.15,

"lama sekali aku tertidur" batinku, aku berjalan menuju ruang tamu, disana sudah ada beberapa orang.
Warga desa K (desa mbah) di antaranya ada pak ustadz, mbah sugeng, satu orang berwajah teduh yg tak ku kenali beserta enam orang warga lain sudah duduk lesehan di ruang tamu kami, aku segera ke dapur membantu ibu menyiapkan minum untuk mereka.
"Mas Dar, niki guru kulo, kyai Sam"

(mas, Dar, ini guru saya, kyai Sam) ucap pak ustadz,

aku melihat ayah ku hanya manggut, mungkin kecewa karena pak ustadz semalam tak kunjung datang, aku bisa melihat nya karena dapur kami bersebelahan dengan ruang tamu.
"Aku njaluk sepurane sing akeh yo, Dar, aku wong tuwek tapi ga iso nuwek i"

(aku minta maaf sebanyak-banyaknya, Dar, aku orang tua tapi tidak bijak) kata Mbah Sugeng.
"Sami-sami mbah" jawab singkat ayahku, para warga pun ikut meminta maaf,

"sajane ono opo kok jaluk sepuro kabeh?, Kan iki sing mbok karepi!!"

(sebenarnya apa yg terjadi, kenapa minta maaf?, Bukannya ini yang kalian mau!!) Sahut ibuku ketus.
Aku dan ibu meletakkan minum di meja lalu duduk disamping ayah,

"tujuan kami kesini untuk meminta maaf, pertama karena semalam saya datang terlambat, kedua saya meminta maaf atas nama semua warga desa K, yg ketiga saya ingin mengajak dek Darno kerumah dek Ridho" turur kyai Sam.
"Enten nopo?"

(Ada apa?) Tanya ayahku, pak ustadz pun menjelaskan semua kejadian semalam,

"untuk lebih jelas nya lagi, mari kita kerumah mas Ridho" ajak pak ustadz.
Nampak kemarahan diwajah ayah, sedangkan ibu menangis tak bisa berkata apa-apa, betapa teganya kakak kandung nya itu memfitnah nya dengan keji seperti ini, kami pun memutuskan untuk berangkat ke desa K.
Setelah sampai di desa K, aku di buat kaget, banyak warga dirumah mbak Diah,

betapa sedihnya mbak Diah tau kelakuan kedua orang tuanya, aku segera mencari nya,

"Fir, bapak" ucapnya sembari menangis.
"budhe wis rapopo kan mbak?"

(Budhe sudah membaik kan mbak?) Tanyaku,

"wis, ibu wis iso tangi, tapi akeh meneng e Fir, kadang nangis"

(sudah, ibu sudah bisa bangun, tapi banyak diamnya, terkadang juga menangis) jawabnya.
Aku memeluk mbak Diah,

"oleh ndelok pakdhe, ora?"

(Boleh nengok pakdhe, ga?) Izin ku,

"ayo!" Ajaknya.

Seperti yg pak ustadz ceritakan, keadaan pakdhe sangat mengenaskan, tak lama ayah masuk ke kamar pakdhe.
"Au au haa huu" ucap pakdhe yg tak kami mengerti,

mbak Diah semakin menangis,

"mas...mas....opo seh salahku, nganti kowe tego? Nyowo e wong akeh mbok gawe dulinan, karepmu iku opo?",
(Mas..... mas....apa salahku sampe kamu tega? Nyawa orang banyak kamu permainankan, mau mu apa?) Teriak ibu,

"lek ga kedaden koyok ngene, koen ga ngarah kapok, mas, aku gregeten karo awakmu, tego e ngelekno ibuk sing wes sedho!!",
(Jika tidak begini, kamu ga akan tobat, aku benci kamu, tega sekali menjelekkan nama ibu yg sudah meninggal!!) Lanjutnya,

"sabar, sabar" kata ayah,

"ga iso sabar, babah cek mati mbotok koyok ngene, aku wes kadung loro ati!!"
(Mana bisa sabar, biarkan saja mati membusuk seperti ini, aku sudah terlanjur sakit hati) kata ibu dengan nada masih marah,

"ga ilok Ngomong ngunu, iki ngunu dulurmu sik an"

(ga baik Ngomong gitu, ini kan masih saudara kita) ucap ayah.
"Dulur? dulur apane, dulur taek koyok ngene, koen kualat, durhaka koen nang ibu, mas"

(saudara? saudara macam apa seperti ini, kamu pasti kena karma karena durhaka dengan ibu, mas) ucap ibu.
Karena kemarahan ibu yg tak terkontrol akhirnya kami membawa ibu pulang

(dirumah sebelah rumah mbak diah),

seluruh warga yg semalam sempat marah kepada kami pun meminta maaf.
Tak lama budhe Endang pun kerumah di temani mbak Diah,

"sepurane, deeeeeeek"

(maaf deeeeek) ucapnya dengan suara bergetar sembari menggapai kaki ibuku,

"aku karo mas mu encene wes salah, sepurane temenan",
"Aku dan mas Ridho memang sangat salah, aku benar-benar minta maaf" katanya,

kali ini air matanya sudah tak terbendung, ayah berusaha memapah budhe agar berdiri, namun tangan budhe masih enggan melepas kaki ibuku.
14. Rencana busuk

(Sudut pandang budhe Endang sebagai "aku")

Malam ini hawanya sangat berbeda, rumah ini lebih terasa mencekam dari biasanya, aku terbangun dari tidurku karena tenggorokan ku sangat kering, kuputuskan untuk ke dapur mengambil minum.
Kuraba tempat suamiku tertidur, kosong, ia tak berada disana, aku melihat langit-langit yg remang minim cahaya, terlintas di pikiran ku untuk meminta suamiku berhenti untuk melakukan aktivitas spiritual nya, namun nyali ku menciut tiap kali melihatnya.
Tidak, tapi melihat sosok menyeramkan yang ada di belakangnya, aku sejak kecil bisa melihat "mereka" tapi semenjak kuputuskan untuk menutup mata batinku, mata ku tak banyak menangkap sosok mereka.
Aku berjalan menuju dapur, seperti niat awal ku tadi, yaitu untuk mengambil minum, baru aku keluar dari kamar, bulu kuduk ku meremang, kulihat bayangan hitam berlarian kesana kemari, tak biasanya rumah ini seramai ini.
Tak kutemukan "nenek tua" di sudut ruang tengah yg biasa duduk disana, tak lihat "anak kecil" yg biasa berada di atas lemari kaca, kini yg tersisa adalah makhluk-makhluk menyeramkan dengan aura negatif.
Aku hendak mengurungkan niat untuk ke dapur, lebih baik aku mati karena kehausan daripada harus berurusan dengan makhluk jahat ini, kenapa aku tau mereka jahat? Jelas saja, bau dari mereka adalah bau darah dan bangkai.
Hawa yg mereka bawa sangat tak enak, ketika dirasakan seseorang yg awam pasti akan demam untuk beberapa hari, untungnya badanku dan Diah sudah di pagar oleh mas Ridho, suamiku,

"dek, rinio!!"

(Dek, kemarilah!!) Bisik suamiku pelan.
Ia berdiri di ambang pintu ruang khususnya, benar dugaan ku, ia saat ini sedang melakukan sesuatu yg jahat, namun aku masih Belum tau apa yg ia lakukan, aku berjalan ke arahnya, kulihat keringat membasahi seluruh wajahnya.
"Ewangono aku"

(bantu aku) pintanya,

"ewangi lapo, mas?"

(Bantu apa, mas?) Tanyaku,

aku pun mengikuti nya lalu duduk di depannya,

"talenono iki" (ikat ini) perintah nya,

"opo-opoan iki, mas?" Tanyaku sedikit marah.
Bagaimana tidak, disana terdapat segumpal rambut putih, ada beberapa helai yg hitam namun lebih banyak yg putih, ditambah tumpukan kain kafan yg di potong persegi, di sisi lain ada akar yg sudah mengering.

"Wis ojo bek lek takon, carane ngene"
(sudah jangan banyak tanya, seperti ini caranya) ucap nya sembari mempraktekkan bagaimana ia bekerja,

mula-mula ia mengambil kain kafan lalu meletakkan beberapa helai rambut disana, memberi sedikit minyak khusus lalu mengikat nya dengan akar menyerupai pocong.
"Gawe opo ngene iki?"

(Untuk apa yg seperti ini?) Tanyaku,

ia melotot tak lama sosok yg ada di belakangnya muncul, aku tak berani menatapnya, segera kulakukan apa yg ia perintahkan.

Satu, dua, tiga, sudah puluhan benda ini ku ikat, aku masih tak tau untuk apa benda ini.
Aku hanya berdoa agar suamiku tak melakukan hal yg buruk, aku takut jika itu kembali kepada kami, seperti almarhum bapak yg dulu meninggal di tangan seorang kyai, bapak meninggal karena santet nya telah gagal, ah sudahlah, itu sudah berlalu.
Setelah semua selesai ia menyuruhku keluar, aku sempat mengintip di balik pintu, ia membaca sebuah mantra yg tak bisa ku dengar, karena hanya mulutnya yg komat-kamit, aku segera kembali ke kamar.
Semalam jenazah mertuaku dikuburkan, hari ini jelas banyak keluarga yg takziah dan datang membantu untuk keperluan tahlil nanti, sementara suamiku sibuk menyiapkan benda yg semalam kami garap, ia mengubur di belakang rumah-rumah warga.
"Opo ga wedhi konangan? Sajane gawe opo seh?"

(Apa tidak takut ketahuan? Sebenarnya itu untuk apa?) Tanyaku,

"engkok lak ero dewe seh, ojok ngecemes ae, anggep ae awakmu ga ngerti iki"

(nanti kamu juga tau sendiri, jangan berisik, anggap saja kamu tak tau apapun) jawabnya.
Singkat cerita tahlil kematian mertua ku selesai, aku mendengar cerita-cerita aneh dari Rima dan beberapa warga, pikiranku langsung tertuju kepada suamiku, aku yakin ini ada hubungannya dengan apa yg ia lakukan selama ini.
"Yo, aku encene niat neror Rima kalo wong sak kampung, cek Rima, bojo, karo anak e cek minggat tekan deso iki"

(ya, memang aku berniat meneror rima dan warga desa, agar rima sekeluarga pergi dari sini) jawabnya.
Aku jelas kaget dengan niatnya ini,

"mas, ga sadar ta awakmu wes fitnah ibu? Opomaneh wong deso ga ero opo-opo"

(mas, kamu sadar ga sih kalo udah fitnah ibu? Apalagi warga desa yg tak tau apa-apa) kataku sedikit membentak.
"Lek ga ngunu yo opo carane Rima minggat? Wong deso kudu ngusir Rima pisan!!"

(Jika tidak begitu bagaimana caranya Rima akan keluar dari sini? Orang desa terlibat agar ikut mengusir Rima!!) Teriaknya.
"Lemah iku sajane gawe aku, omboh, di gawe kos-kosan, lapo nang ibu di kekno Rima!!"

( Harusnya tanah itu jadi milikku, luas sehingga bisa dibangun untuk tempat kos, tapi kenapa malah ibu berikan kepada Rima!!) Lanjutnya.
"Kan kene wis atuk bagian umah iki se, pak"

(kita kan udah dapet bagian rumah ini, pak), kataku,

"omah reyot dapurane ngene iki? Opo'o ga Rima ae sing di ke'i omah iki?"

(Rumah reyot seperti ini? Kenapa bukan Rima yg di wariskan rumah ini?) Tanyanya dengan nada masih marah.
Aku tak bisa menjawab, karena aku tak mau membuat nya marah lagi, aku takut sosok itu keluar, hari demi hari perbuatannya semakin gila, namun aku hanya bisa diam tak bisa berbuat apa-apa.
Memang ini juga salahku karena ikut membantunya membuat "media" itu, aku juga enggan untuk menceritakan ini kepada Rima dan suaminya, aku takut jika suamiku nanti di amuk warga.
Sampai waktu itu telah tiba, semua kembali kepada suamiku, jin yg di perintahkan untuk mengganggu warga sudah tak bisa ia kendalikan, "mereka" malah menginginkan nyawa warga, jelas itu tidak ada gratis.
Aku terpaksa membantu suamiku, aku membuka paksa mata batinku agar aku bisa berkomunikasi dengan "mereka", setidaknya tak ada nyawa yg melayang,, namun sia-sia, "mereka" malah ingin mengambil sukma ku.
Aku pasrah dengan apa yg telah terjadi, karena ini memang salahku juga, hingga suara adzan subuh berkumandang, serangan "mereka" sedikit mereda, namun aku masih tak bisa mengontrol tubuhku sepenuhnya.
Tak lama pak ustadz dan beberapa orang datang, lalu mengobati ku, aku sangat bersyukur masih diberi kesempatan untuk meminta maaf kepada Rima sekeluarga, meskipun aku tau perbuatan kami (aku dan suamiku) tak bisa di maafkan.

====SELESAI====
Kini Fira sekeluarga sudah tak tinggal di desa K, ia lebih memilih tinggal di desa P, budhe sudah sehat sementara pakdhe Fira terkena struk, badannya lumpuh (mati) separuh dan tak bisa berbicara.
Setiap cerita selalu ada pesan di dalamnya, kesimpulan nya, janganlah kita bersekutu dengan jin untuk mendapatkan sesuatu dengan instant, jangan pernah mempunyai niat jahat kepada siapapun.
Selalu bersyukur atas semua yg orang tua kita berikan, mintalah bantuan kepada Allah yg maha kuasa, sekian thread kali ini, mohon maaf jika ada kata-kata yg salah dan kurang berkenan.

Terimakasih banyak 🤗🙏
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with ikka ayyu

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!