Seluruh kenangan indah tentang beliau akan menjadi mengerikan karena ada "sesuatu" yang ikut campur...
A Thread Horror Story
@bacahorror #bacahorror
"Nduk, punduten kloso e di duwur yo"
(nak, ambilkan tikar di lantai atas ya) perintah ibu ku,
akupun bergegas menuju ke lantai dua rumah ini.
saat kupijakkan kaki di anak tangga terakhir,
aku mendengar suara beberapa orang sedang berbincang.
hari ini adalah hari kedua kematian mbah ku, malam ini akan dilakukan tahlil,
jadi tentu saja banyak orang dirumah yang membantu.
karena ini malam pertama tahlil dirumah, di hari pertama mbah meninggal tidak dilaksanakan tahlil karena mbah meninggal di rumah sakit kemarin pukul 20.10.
Aku menuju mushola tempat dimana tikar disimpan, kamar ku dan kamar mbah tertutup sama seperti tadi aku meninggalkan terakhir kali,
Aku membuka kamar mbah, tak ada siapapun disana,
selanjutnya aku menuju kamarku sendiri, sesuai dugaan, kamarku kosong,
entah suara siapa yang ngobrol waktu ku dengar tadi.
meyakinkan diriku, jika suara yg ku dengar tadi bukan lah khayalanku,
suara itu terdengar jelas, mereka sedang bersenda gurau,
tapi kini dimana sang pemilik suara tersebut?.
aku berbalik badan untuk memungut tikar yang tadi aku ambil dari mushola.
(sial, kemana tikar tadi? Jelas sekali tadi aku menaruhnya disini) omelku,
aku sibuk mencari keberadaan tikar tersebut.
tak kunjung kutemukan, hingga aku melihat bayangan di balkon,
aku segera berlari menghampirinya.
"Hah? Kok iso nok kene iloh kloso iki"
dengan kesal aku mengambil tikar dengan serampangan lalu turun.
"Ngaleh po nggen e kloso kuwi nduk? Kok suwi men toh"
(Tikarnya pindah ya nduk? Kok lama ambilnya) goda ibuku, "kok ibu semerap?"
Ibu menatapku bingung,
"lah nok mushola toh kloso kuwi, ngaleh nang ndi? Oleh mu njupuk koyok neng jabalkat"
(kan memang di mushola tikarnya, tapi kamu ambilnya lama sekali kayak ambil di jabalkat) kata ibu setengah berteriak.
"Ngge wau teng mushola, terus mboten ngerti ceritane kloso iki iso njebus balkon"
(ya tadi ya memang di mushola, ngga tau gimana caranya, ini tiker bisa pindah ke balkon) ucapku kesal.
(halah kamu mimpi apa ngigau sih nak) jawab ibu sedikit geli,
"kulo lami ngge gegara madosi, kloso e mboten kepanggeh buk"
(aku lama ya karena cari ini, ga ketemu-ketemu, buk) kataku pasrah.
bagaimana mungkin tikar ini berpindah sendiri?
"Yo wes percoyo, gek ndang di terno nang umah e budhe Endang kloso e"
acara tahlilan malam ini hingga 5 hari ke depan akan dilaksanakan dirumah budhe Endang.
Dan rumah budhe tepat disamping rumahku.
"Metutut ae yo lapo se Fir?"
(Cemberut mulu, kenapa Fir?) Tanya mbak Diah (anak budhe Endang).
aku melihat jam dinding pukul 14.35,
"aku tak turu sik mbak, mari ashar bugaen yah"
mbak Diah manggut.
Aku mengambil kuda-kuda untuk merebahkan tubuhku, memejamkan mataku sebentar saja.
Suara nya terdengar jauh namun jelas di telinga ku,
hembusan nafasnya meniup wajahku,
melanjutkan nyanyian nya yg kian sendu.
"Fira bobo, oh Fira bobo" kini tempo itu kian cepat,
secepat deru nafas dan jantung ku
(mbah aku ingin bangun) ucapku tegas dalam hati,
Seketika aku pun membuka mataku, aku sengaja menengok ke arah jam dinding, seberapa lama aku tertidur.
"yo wes turuo lumayan lek iso turu"
(baiklah, tidur saja, lumayan bisa istirahat) jawabnya lalu meninggalkan ku.
kuputuskan untuk ke dapur berkumpul dengan sanak saudara,
mereka sibuk menyiapkan kudapan untuk tahlil nanti.
(kok kesini sih, katanya mau tidur) tanya mbak Diah,
aku hanya tersenyum tipis lalu membantu mengemas kue kedalam plastik.
Aku hanyut dalam lantunan ayat suci Al-Qur'an,
aku mengirimkan doa ini untuk mu mbah, semoga mbah tenang disana,
"awas..awas!!" Teriak beberapa warga di luar.
aku yg kebingungan, mengikuti mbak Diah dan saudara yg lain dari belakang,
"lase wong-wong iki!!"
(Ngapain sih orang-orang!!) Ucap mbak Diah kesal.
Ular hitam itu melingkar hanya diam disana,
"ati-ati ojo nyedek, tak golekno sak karo jotek"
(hati-hati ya, jangan mendekat, aku cari karung dan kayu sebentar) ucap pak dhe memberi aba-aba.
namun kini sosok itu telah tiada, hawa yg kurasakan semakin panas,
sebelum, "hihihi" tawa salah satu warga.
tetangga di minta untuk pulang, karena kondisi yg tak memungkinkan, takut jika nanti mereka dalam bahaya.
(Loh mana ular nya? Kenapa dengan pak Lubab?) Tanya pak dhe,
kami celingukan mencari ular tersebut, seketika kami panik, khawatir jika ular tersebut masuk ke dalam rumah.
(biarlah jangan di cari, saya minta tolong pegang i pak Lubab) pinta pak ustadz,
ayah memberi kami kode untuk segera masuk ke dalam rumah.
(tadi aku liat mbah di pohon pisang) ucap Arum,
anak berumur 5 tahun itu dengan polosnya,
ia tak tau jika pernyataan nya tersebut membuat kami semakin ketakutan.
"ssstttt, kene bubuk ae, di mik dot e"
(sssttt, sini tidur, ayo diminum susunya) ucap ibunya arum.
terasa kamar makin sesak, entah apa dan siapa yg "ikut" masuk,
tapi rasanya memang hawa di kamar sudah berubah,
"buk, mbah teko karo kancane",
(bu, mbah datang bersama teman-teman nya) gadis kecil itu berucap lagi,
(Arum diam saja ya, gadis cantik) pinta ibunya lirih.
Setelah sekian lama kami bergelut dengan suasana tidak enak ini,
ayah ku memanggil kami, pak Lubab sudah berbincang dengan pak ustadz dan pak dhe, "syukurlah" batinku.
Kami berhambur keluar kamar, sibuk dengan urusan masing-masing, beberes rumah, menggulung tikar, dan mencuci piring, sampai mataku tertuju kepada Arum, si gadis kecil yg sempat membuat kami semua ketakutan.
"Arum nonton apa?" Tanyaku, ia melihat ke arahku.
"JANGAN DI GANTI, TE!!" Teriaknya, aku kaget karena ia melototi ku,
"NANTI MBAH MARAH!!" Ucap nya lagi.
ia memalingkan wajah seolah meminta izin dengan seseorang yang ada di samping nya,
"iya Te, Arum mau bubuk" jawabnya.
aku membuka mataku beranjak dari ranjang,
"kapan aku mateni damar?"
(Kapan aku matikan lampu?) Aku bermonolog.
aku masih meraba-raba, kaki ku sengaja ku langkahkan pelan, takut jika menyandung sesuatu.
kali ini suara itu makin keras, aku masih tak menemukan dimana saklar lampu itu berada, padahal aku yakin sekali saklar lampu di kamar mbak Diah ada di samping pintu.
setelah berkali-kali aku memanggil ibu,
"budhe.. budhe Endang!!" Teriak ku lagi, masih tak ada jawaban,
aku sudah hampir frustasi dalam kegelapan dan kesendirian ini.
aku berhenti sejenak, berdoa, memohon kekuatan dan perlindungan kepada Allah, perlahan ku atur nafasku,
"ojok ngeriwuk aku, aku pengen muleh nang umah!!",
(Jangan ganggu aku, aku ingin pulang kerumahku!!) Teriakku dengan suara serak,
"Te, Tante" suara Arum kini terdengar,
"Arum dimana?" Tanyaku,
tak ada jawaban, sampai mata ku tertuju sesuatu bungkusan kecil.
kian besar dalam beberapa detik, kini bungkusan putih ini sudah sebesar badanku,
bau harum menyeruak di ruangan.
"aaaaaaahhh" aku berteriak kaget.
(Pergi... Pergi!!) Teriak ku,
sosok ini tetap menatap ku, aku tak bisa memalingkan wajahku dari nya,
ingin lari pun rasanya tak bisa, tulang-tulang kaki ku belum kembali dari tempatnya.
aku membaca ayat kursi keras-keras, sosok ini mengikuti ku membaca ayat kursi, dari suaranya aku sangat mengenal.
"koen guk mbah ku, koen iblis jahat, mbah ku wong e apik, ga mungkin nyelakai putune!!"
(Kau bukan mbah ku, kau iblis jahat, mbah adalah orang baik yg tak mungkin mencelakai cucu nya!!) Ucapku.
(Sudut pandang Ibu sebagai "aku")
Pekerjaan ku sudah selesai, aku menghampiri suamiku yg ada di ruang tamu berbincang dengan beberapa tetangga yg baru saja datang, memang sudah biasa jika ada tetangga yg meninggal maka para lelaki begadang.
"monggo di unjuk"
(silahkan di minum) ucapku ramah,
aku memberi kode kepada suamiku agar ia masuk sebentar saja.
"nyapo buk? Ra penak ninggal wong-wong"
(ada apa, buk? Ga enak ninggalin orang-orang) ucapnya.
(Baik pak sebentar saja, tadi apa yg terjadi dengan pak Lubab?) Tanyaku,
"jare pak ustadz, ono wong sing ngirim nang keluarga e kene, tapi wes jarno, sing penting kene ndungo, jaluk perlindungan marang gusti Allah"
Aku terkejut, segera ku bangunkan dia,
"nduk, tangi, lapo kowe iki?"
(Nak, bangun, kenapa kamu?) Tanya ku sembari mengguncang pelan badan nya.
"Diah, gowoen Arum metu"
( Diah, bawa Arum keluar) pintaku.
"pak Fira, pak" keluh ku kepadanya,
"aku celuk pak ustadz ae yo, buk" (aku panggil pak ustadz dulu ya buk) ucapnya.
(tak apa, biar kucoba dulu, semoga aku sanggup) sahut mas Ridho (ayah Diah).
Mas Ridho memang sedikit banyak tau mengenai hal-hal spiritual.
(sudah tinggalkan, sebentar lagi dia akan bangun) perintah nya, namun aku enggan untuk meninggalkan Fira sendirian.
(aku disini saja menemani nya, aku tak mau pergi) ucapku kekeuh,
"mengko lek ono opo-opo mbengok o aku, buk",
sepeninggalan orang-orang, aku berinisiatif membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an di samping Fira.
"buk..." Panggil Fira, perlahan matanya mulai terbuka.
"ah mungkin salah lihat" pikirku.
"Ibu.. fira wedhi..huuhuu"
(Ibu.. Fira sangat takut) ucapnya menangis sesenggukan sembari memelukku.
Enam hari telah berlalu, tahlilan mbah berjalan dengan lancar tanpa hambatan, kami kembali beraktivitas seperti biasa, ibu dan ayah bekerja, aku sendirian dirumah karena himbauan belajar #dirumahsaja
[[maaf ya ga bisa lama nulisnya, kepala ku udah berat, InshaAllah lanjut lagi hari senin, makasih yg udah baca n setia menunggu 😘]]
Bismillah, semoga baik² aja
(Sudut pandang Ayah sebagai "aku")
"Cak..cak Dar!!!" Teriak salah satu warga,
aku segera bergegas keluar,
"ngge wonten nopo cak?"
(Iya ada apa mas?) Tanyaku, aku masih kebingungan melihat gelagat nya.
"mak Pah (Saripah nama ibuku yg baru saja meninggal), mak pah" ucapnya.
(duduklah dulu, mas) saranku lalu mempersilahkan nya duduk di teras rumah,
istriku dan Fira pun keluar, penasaran siapa yg datang selarut ini.
"cak, mak Pah dadi pocong!!"
(Mas, mak Pah jadi pocong!!) Ucapnya lirih, ada raut sungkan di wajah nya,
"aku mau nang omah e cak ridho, wong e metu, dadi aku rene"
"ojo ngawor lek mu Ngomong, Jo!!"
(Jangan sembarang bicara kamu, Jo!!), Teriak istriku tak terima atas apa yg Tarjo bicarakan
(bisa saja itu pocong lain, bukan ibuku, Jo) kilah istri ku,
"tapi memper mak Pah kok, yuk, lek gelem ayo rono, takon o wong-wong"
"bu'e, aku ae sing ngatasi iki, ibu, karo Fira ngasoh ae, iki wis parak wengi, entenono di umah yo buk"
mereka berdua manggut lalu masuk ke dalam rumah.
"tiang-tiang mantuk nopo, cak?"
(Yang lain pada pulang ya, mas?) Tanya Tarjo, yang di jawab anggukan oleh Markum.
(Apa benar yg kalian lihat tadi adalah...) Kata-kataku terhenti, tak sanggup mengatakan jika mertuaku yg orang nya sangat baik dan rajin shalat di masjid itu menjadi pocong, seperti yg warga tuturkan.
.(saya melihat nya memang mak Pah, mas, tapi ini kan belum pasti) ucap Markum,
"leres, saget mawon Niki barang alus, tapi ndados mak Pah"
(betul, bisa saja itu jin yg menyerupai Mak Pah) tambah pak ustadz.
(Namun warga sudah terlanjur heboh, gimana kita mengatasinya?) Tanya Tarjo,
pas ustadz terdiam lalu manggut sembari mengelus janggutnya.
(terimakasih banyak pak ustadz dan maaf karena merepotkan) ucapku tak enak kepada pak ustadz,
"nami ne tanggi, ngge musti Tulung pitulung, cak"
(namanya tetangga memang seharusnya tolong menolong, mas)
Di tengah perjalanan pulang, aku masih terus kepikiran, entah kenapa firasat ku sangat tak enak, jarak kerumah kurang setengah perjalanan lagi, namun samar-samar ku dengar rintihan bercampur tawa.
(jangan lari, Dar, saya mertua kamu) ucapnya sayup-sayup terdengar di belakang ku, tak ku pedulikan, aku segera berlari sembari membaca doa, rasanya punggung ku sangat berat.
(Pak, cuci kaki dulu lalu berdoa!!) Teriak istriku,
kulihat Fira menenggelamkan wajahnya di balik punggung istriku, tak lama istriku terduduk lemas, di pelataran rumah, menangis sesenggukan.
Fira mengunci pintu dan mengikuti kami dari belakang,
"temenan pak, ibu dadi po..."
(Ternyata bener, pak, ibu jadi po...) Kata istriku yg lalu ku hentikan dengan meremas pelan pundaknya.
(pak ustadz akan menyelidiki, jika sudah petang jangan sampai keluar) ucapku,
"mau pocong e di pundak e pean, Yah"
(tadi pocongnya di pundak Ayah) celetuk Fira.
(Sudut pandang Fira sebagai "aku")
Sesuai saran pak ustadz, saat menjelang petang kami sudah tak berani keluar, hanya orang laki-laki yg sholat berjamaah Maghrib dan isya saja yg keluar rumah.
aku duduk di samping nya sembari memainkan gawaiku,
"hihi" tawa ibu pelan, aku tak menghiraukan nya,
"hahaha" kali ini tawa nya lebih keras.
"huuuhuuu" rengeknya, segera kualihkan pandangan ku ke arah ibuku,
"mantun ngguyu kok nangis, nyapo to buk?"
(Habis ketawa tiba-tiba nangis, ada apa buk?) Tanyaku.
"ibu kirang sehat?"
(Ibu ga enak badan?) Tanyaku, tanpa menjawab ku,
ibu berjalan membelakangi ku menuju tangga, aku masih terdiam melihatnya, hingga ibu tak terlihat lagi.
(Bengong aja, nanti kesambet loh, Fir!!) Ucap ibu mengagetkan ku,
ibu baru saja keluar dari kamarnya, kamar yg terletak di samping ruang tv.
"kapan medun e buk?"
(Kapan ibu turun?) Tanyaku dengan nada sedikit keras,
"medun tekan ndi?"
(Turun dari mana?) Tanya ibu balik.
"ngawur, ibu bar mari sholat!!"
(Ngawur, ibu saja baru selesai sholat!!) Jawabnya,
aku menggeleng kepala,
"wau ibu lenggah mriki.. "
(tadi ibu duduk disini....) Aku pun menceritakan semua kepada ibu.
"ibu dereng percados? Buktine pun katah"
(ibu masih tak percaya? Buktinya sudah banyak) ucapku meyakinkan ibu,
"ibu mbegidig nduk, ayah mu rung muleh tekan masjid, ojo bahas sing aneh-aneh"
aku pun menuruti nya, kami duduk berangkulan menatap tv, tapi aku tak fokus,
pikiran ku masih kalut, memikirkan kejadian mengerikan selama kepergian mbah.
"bareng buk ngge wudhu e" pintaku
"Nduk, tokne kabeh iwak e yo, ibuk tak ngeler sego, bar iki ayah teko ndang maem bareng"
(nak, keluar kan semua lauknya, ibu ambilkan nasi, supaya pas ayah dateng, kita bisa makan bersama) perintah ibu.
"haaaa!!" Teriak ku sembari melempar sayur yg ada di panci,
"nduk, lapo se? Dadi utah kabeh kuwi duduh e!!"
(Nak, ada apa sih? Liat tuh jadi berantakan sayurnya!!) Ucap ibu marah.
"cep cep, wes jarno, ibu ae sing ngetokno, Fira resik i cilak e duduh iku",
Setelah selesai makan kami berkumpul di ruang tv, ibu menceritakan kejadian yg telah kami alami tadi.
(tetangga tadi juga ada yg cerita, tadi perjalanan menuju masjid, liat pocong di pohon asam) tutur ayah.
(Apa iya ibu jadi pocong? Kita sendiri tau beliau semasa hidupnya rajin ibadah shalat berjamaah, mengaji, dermawan, tak pernah-
Aku mengelap air mata ibu ku, aku yakin sekali, itu bukan arwah mbah, mbah sudah tenang disana,
tapi dengan teror yg bertubi-tubi dan tak hanya keluarga kami yg merasakan, keyakinan ku mulai goyah,
"Wis bengi, gek ndang mapan turu"
(sudah malam, ayo tidur) saran ayahku,
aku manggut lalu berjalan menuju tangga, baru tiga langkah, aku berhenti, aku melihat ke atas dan rasanya bergidik ngeri,
"Buk, kancani Fira bubuk di duwur ayo!"
(buk, temenin Fira tidur di atas yuk!) Rengek ku,
"wes ayo turu duwur kabeh, hawane isis nok duwr"
(sudah ayo kita tidur di atas semua, hawanya sejuk disana)
8. Teror yang semakin gila
Karena rasa bosan dirumah saja, sore itu di hari ketiga kami tak diperbolehkan keluar rumah saat magrib, aku memutuskan untuk kerumah mbak dia dan berencana menginap disana.
(Aku tidur sini malam ini ya, mbak?) Ucapku meminta izin,
"asiik iso guyon, seru iki"
(asiiik bisa bercanda, seru nih) jawab mbak Diah antusias,
"mbak kerungu isu tekan wong-wong opo ora?"
(Mbak, kamu denger issu dari warga, ngga?)
"Kerungu se, tapi aku ra percoyo, mbah kan wong wapik ya? aku yo ra tau di ketok i, ra tau di gudo kok"
(denger lah, tapi aku ga percaya tuh, bukannya mba orang baik? Buktinya aku juga ga pernah nampak dan di ganggu) jawab nya.
(Emangnya mbak Diah ga pernah mengalami kejadian aneh?) Tanyaku, mbak Diah menggeleng dan mengernyitkan keningnya.
"misal e" tanya nya lagi,
aku mengendikkan bahu,
"wes..wes ra usah di bahas, cerito liyane ae"
(sudahlah ga perlu dibahas, cerita yg lain saja) katanya.
aku sudah sangat ngantuk, tapi ku sempatkan untuk buang air kecil,
aku tak mau jika nanti di tengah tidur nyenyak ku harus bangun karena harus ke kamar mandi.
aku mencium bau khas, bau yg tak pernah ku lupa saat makhluk putih itu muncul dalam mimpiku waktu itu,
aku segera berlari ke kamar mandi, sengaja aku biarkan pintu nya terbuka sedikit
"ah mungkin pakdhe atau budhe ke kamar mandi, nutupnya ga sengaja keras karena udah kebelet" pikirku.
mbak Diah bilang, ia tak pernah mengalami kejadian aneh, jadi tentu saja disini sudah aman, di pagar oleh pakdhe tentunya.
"wis turu po durung?"
(Sudah tidur apa belum?) Tanya nya lagi,
aku hanya diam memejamkan mata dengan posisi masih merangkul mbak Diah, ku guncang badannya agar ia terbangun.
(aku tau kamu masih terjaga, ayo bangun) perintah nya, aku semakin mengguncang kuat tubuh Mbak Diah,
"mbak tangi o!!"
(mbak, bangun!!) Pintaku,
lama sudah tak terdengar suara "mbah", namun bau itu masih menyengat di hidungku.
(Anjir kamu Fir, sakit tau di tendang!!) Teriak mbak diah, ya, suara mbak Diah, aku segera membuka selimut, benar saja, mbak Diah tersungkur di lanta sembari mengelus punggungnya.
"megelno kowe iki, Fir!!"
(Ngeselin banget kamu, Fir!!) Kata nya marah,
"sepurane mbak, aku ketok e mau pocong..."
(Maaf ya mbak, aku tadi liat nya pocong..) jelasku melemah.
(Hah? Pocong? Kamu kira aku pocong? Sembarangan banget, udah ayo tidur, makanya berdoa biar ga di ganggu setan!!) Ucap nya dengan nada masih marah.
( Sudut pandang Ayah sebagai "aku")
Seusai shalat Maghrib berjamaah, aku tak langsung pulang, kami mengaji bersama, ini sudah hari kelima himbauan dari pak ustadz untuk tak keluar jika hari sudah petang.
kami serempak berdiri menghampiri yu Asnah yg tengah tersimpuh di depan masjid, ia nampak kelelahan dan payah, di wajahnya tergambar ketakutan dan kekhawatiran.
(Ada apa kok keliatan nya ketakutan?) Tanya Safi'i,
"di umah akeh pocong e cak, aku rene dikongkon cak Roni golek i pak ustadz"
(dirumah banyak pocong, mas, aku kesini disuruh mas Roni untuk memanggil pak ustadz)
"Lah pundi cak Roni?"
(Lalu mas Roni kemana?) Tanyaku,
"njogo tole, soal e tole nangis kepiyer"
(menjaga anak-anak, karena mereka menangis ketakutan) jawabnya,
"tapi pak ustadz dereng mantuk, tirose teng griyane gurune",
"nggepun mriko sareng-sareng mawong, sinten ngertos mengke Pocong e ngaleh bek aken dipuruki tiang katah"
tanpa pikir panjang kami pun bergegas kerumah cak Roni, baru beberapa langkah, dua warga lain menghampiri kami.
(mas, dirumah kami ada pocong) ucap Tholib,
"ngge, teng griyo pisan"
(iya, dirumahku juga) sahut Lukman tak mau kalah,
"sik toh iki pocong akeh tenan, kambik'an kowe iki ga nang masjid iku lapo? Maleh di tekani pocong a kowe!!"
"wau kulo kajenge bidal, wurung mergo di cegat pocong, makane kulo mboten sios teng langgar, mbah",
(sudah pergi pocong nya, dek, Alhamdulillah) ucap cak Roni,
"Alhamdulillah" ucap kami serempak, kami pun melanjutkan kerumah Tholib,
"iku cak Dikin lapo mlayu-mlayu?",
"lapo? Ono pocong di omah mu?"
(Kenapa? Ada pocong juga dirumahmu?) Tanya mbah Sugeng.
(bukan, mbak, tapi ada hantu nya mak Pah) jawabnya,
"maksud mu opo cak?" Tanyaku tersinggung,
"sepurane cak, encene iku anane"
(maaf, mas, memang begitu adanya) jawabnya membuat ku sedih.
(sabar, ayo kerumah Tholib) ajak mbah Sugeng, setelah sampai dirumah cak Tholib,
istrinya keluar dan mengatakan jika pocong itu sudah pergi, selanjutnya kami berbondong-bondong kerumah Lukman.
"eman e rek ga kenek rekam!!" (Sayang banget ga ketangkep kamera!!) Keluh Sidiq,
"ojo sembrono koen yo, nganti berita iki kerungu tekan njobo deso, kowe sing tak edel-edel, iki ngunu aib e deso,
(Kamu Jangan sembrono ya, kalau sampai berita ini tersebar ke desa lain, kamu yg kuhabiskan, jelas-jelas ini aib desa, jangan sampai tersebar sebelum masalahnya jelas!!) Ucap mbah Sugeng yg marah.
"bojomu nang ndi?"
(Mana istrimu?) Tanya mbah sugeng,
"teng lebet mbah, larene kesurupan"
(di dalam mbah, dia kesurupan) jawab Dikin.
(Jadi istri mu tadi kamu tinggal sendirian saat kesurupan? Bodoh sekali kamu, kalau sampe dia dibawa jin bagaimana?) Tanya mbah sugeng marah.
(saya tadi bingung dan takut sekali, mbah, jadi dia saya tinggal begitu saja) jawabnya dengan nada pelan karena merasa bersalah.
Bismillah
"mas, ewangi kulo nyekel mbak e"
(mas, bantu saya pegang mbak nya) pinta Harto, aku manggut,
kami sudah memegangi tangan dan kaki istri Dikin.
tak lama tangannya mulai bergerak, lalu kami terpental, kekuatan nya sungguh besar dan kuat hingga kami kuwalahan,
"karep mu opo?"
(Apa mau mu?) Tanyaku lantang.
"koen setan opo? Wani-wani ne koen ngelekno jeneng e morotuo ku!!"
(Kamu setan macam apa? Berani nya kamu mencemarkan nama baik mertuaku!!) Ucapku marah.
"Aku morotuo mu, Dar, aku ga seneng koen manggon omah-
(Aku memang mertua mu, Dar, aku tak suka kamu menempati rumah itu, kamu dan keluarga mu harus pergi dari sini, jika tidak, aku akam terus mengganggu warga sini!!)
Mendengar kata-kata itu, kepala ku serasa di timpa benda keras, hati ku terasa di tusuk seribu duri,
bagaimana tidak? Semua gangguan ini karena mertua ku yang tak rela aku dan keluargaku menempati tanah nya.
(Mas, mending kamu sekeluarga pergi dari sini!! Aku ga mau kalau istriku terus-menerus kesurupan mbah Pah!!) Teriak Dikin padaku
(Sudut pandang Ibu sebagai "aku")
"Aku sik ra percoyo arwane ibuk gentayangan terus Ngomong koyok ngunu kae!!"
(Aku masih ga percaya arwah ibuku gentayangan lalu bicara seperti itu!!) Ucapku kepada ayahnya Fira.
5 tahun yg lalu aku berencana pindah ke rumah yg telah di bangun suamiku, namun ibu sakit-sakitan dan tak mengizinkan ku untuk pindah kesana.
(tak masalah buk, mari kita pindah, masalah benar atau tidaknya itu urusan belakangan, yg penting setan itu tak lagi mengganggu warga),
"Mosok se pak kene kate kalah karo setan!!"
(Masa sih kita kalah dengan setan!!) Ucap ku masih tak terima,
"kate yo opo maneh? Wong-wong wes ngamuk di riwuk setan sing nyamar dadi ibuk, kene ngalah sik ae",
"sik, aku tak jaluk tulung mas Ridho, bek e tak iso ngei solusi",
(nanti aku akan minta tolong mas Ridho, mungkin dia bisa memberi solusi) kataku.
"sik, dek, mas mu metu tuku sego goreng, bar iki lak balik"
(tunggu, dek, mas Ridho masih keluar membeli nasi goreng, sebentar lagi pasti pulang) ucap mbak Endang.
"Loh ono opo iki rame-rame? Sepurane tas tuku sego gawe Diah, keluwen jare, hehe"
(loh ada apa nih beramai-ramai kemari! Maaf aku habis beli nasi untuk Diah yg kelaparan, hehe) katanya sambil nyengir.
"entenono kene sik yo, coba tak delok e"
(tunggu sebentar ya, akan ku terawang) ucap mas Ridho meninggalkan kami dan masuk di ruang khusus nya.
namun, segera ku tepis perasaan itu, aku meyakinkan diriku bahwa masalah ini akan selesai malam ini juga, semoga Allah menunjukkan jalan yg benar.
"aku ga sanggup, dek" ucapnya,
"maksud mu opo, mas?" Tanyaku, mas Ridho terdiam sejenak, meminum kopi yg telah di hidangkan istrinya.
"angel, dek, gelem ga gelem pean sak keluarga kudu pindah, iki taruan e nyowobe wong akeh",
"tapi pean ero dewe kan, ibuk ga ngoleh i aku ngaleh..."
(Tapi kamu tau sendiri kan, ibuk melarang ku pindah...) Ucapan ku kuhentikan, karena aku merasa sudah percuma.
"Fir, ayo balik!!" Teriak suamiku,
mereka membuntuti ku dari belakang, aku membuka pintu lalu masuk,
kami bertiga kaget karena melihat kondisi rumah berantakan, semua acak-acakan, barang-barang terlempar dan pecah.
"opo maneh iki??"
(Apa lagi ini??) Teriak suamiku marah
(Fira enggan untuk pindah dari sini, teman Fira disini banyak, buk, yah) ucap Fira memelas, aku hanya memandangnya iba.
"Wes mending saiki ngasoh, aku wes pegel, ngelu mikir setan iki,
(sudahlah lebih baik sekarang kita istirahat, aku sangat capek dan pusing kepikiran setan ini, mari besok kita pindah kerumah (desa P), ga perlu di bereskan,
Tetap saja meski badan kami di atas kasur empuk, mata kami terpejam, namun kami tak bisa benar-benar tertidur, kami terhanyut dalam pikiran masing-masing,
*JDDUUUAARRR* suara benda menghantam atap rumah kami.
(Keluar woy!!) Teriak beberapa warga, mereka melempar batu besar ke pintu rumah kami,
"meneng o kene, Fira jogoen"
(diamlah disini, jaga Fira) pinta suamiku, aku dan Fira masuk musholla.
(Sudut pandang Ayah sebagai "aku")
Aku tau warga marah kepada keluarga ku, aku segera meminta istriku agar menjaga Fira, kubuka perlahan pintu depan, mereka sudah berdiri menantiku keluar,
"gek ndang nyingkrio tekan kene, iki tambah akeh wong-
(Cepet pergi dari sini, sudah banyak warga yg kesurupan!!) Teriak warga,
"sabar riyen, sinten mawon sing kesurupan? Cobi kulo bantu ngedalaken"
(sabar dulu, siapa saja yg kesurupan? Coba saya bantu mengeluarkan) sahut mas Ridho menghampiri kami.
(mari pak, ikut saja) ajak Harto,
"pak ustadz dereng ndugi?"
(Apa pak ustadz belum datang?) Tanyaku,
"dereng, tirose sak derenge subuh"
(belum, bilang nya sih sebelum subuh) jawabnya.
"aku pamit bojoku sik ya, Har"
(aku pamit istriku dulu ya , Har) pinta ku pada Harto, ia manggut,
aku segera pamit kepada istri dan anakku, lalu menyusul warga.
(Orang berapa yg kesurupan, Har?) Tanyaku,
"gangsal, mas"
(lima, mas) jawabnya,
"aku sungkan nang wong kene, Har, kedaden ngene iki kan mergo morotuo ku"
(aku malu kepada warga, terjadi seperti ini karena mertua ku) kataku.
"mboten sah percados kale setan mas, niku ngoten nggudo iman e kene, mas Darno mboten perlu pindah, tetep teng deso niki mawon"
(jangan mudah percaya dengan setan, mas, mereka mencoba menggoyahkan iman kita, mas Darno tidak perlu pergi dari desa ini) ucapnya.
(kenapa makin banyak yg kesurupan, Har) ucapku sembari melihat pemandangan mengerikan ini,
mereka berteriak "minggat!!" (Pergi!!), Ada pula yg berucap kotor, mata mereka melotot memperlihatkan urat-urat halus di matanya.
"Har, pean ga nolong pisan, ta?"
(Har, apa kamu tidak mau membantu?) Tanyaku.
(sia-sia, mas, jin tersebut ada yg mendalangi, aku tadi sudah mencoba mengeluarkan dari tubuh tiga orang, namun yg kesurupan makin bertambah) .
Aku mencoba membantu dengan memegangi kaki warga yg sedang kesurupan,
"wis ojo ngotek, iki ngunu mergo awakmu!!"
(Berhenti, jangan pegang, ini semua salahmu!!) Teriak salah satu warga.
"wadiah, ra kuat aku, dek, kakean sing kesurupan, aku angkat tangan"
(waduh, aku sudah ga kuat, terlalu banyak yg kesurupan, aku angkat tangan) kata mas Ridho.
(istirahat dulu saja, pak) saran Harto, kami bertiga hanya bisa terduduk diam melihat warga yg kesurupan,
"ngenteni opo iki? Mosok wong-wong ketempelan ngene di jarno!!",
"nenggo pak ustadz, mbah"
(nunggu pak ustadz, mbah) jawab Harto,
"kesuwen ngenteni pak ustadz, wes mending Darno karo bojo sak anak e ndang metu teko deso iki!!",
"sepurane ya, Dar, Mending encene awakmu ngalih saiki, tulung kesadaran mu, molo iki kan yo mergo kowe seh",
"nggih, kulo tak lungo sakniki, mugi mawon pas kulo lungo, sedoyo Balik sae maleh",
Sampai rumah aku segera mengeluarkan mobil dan memboyong istri serta anakku.
"sepurane ya, dek, aku ga iso lapo-lapo"
(maaf ya, dek, aku ga bisa berbuat apa-apa) ucap mas Ridho yg menunggu kami di depan.
(ga masalah, mas, aku mengerti) jawabku,
"aku melu Fira, buk, pak"
(aku ikut Fira, ya buk, pak) pinta Diah,
"yo wis meluo nduk"
(boleh, ikut saja, nak) kata mbak Endang.
(Tidak, ini sudah malam, masuk dan tidurlah!!) Ucap mas Ridho setengah berteriak,
"bapak iki lapo seh, aku melu Fira, sesuk muleh, pak"
(bapak kenap sih, aku ikut Fira, besok aku pulang, pak) rengeknya.
Diah merajuk lalu masuk kerumahnya,
"sisuk tak rono, dek, saiki wes bengi, kowe ati-ati yo",
"Darno... Rima...." Ucap lirih Fira, suara mertua ku terucap dari mulut Fira,
"pak, Fira lapo iki?"
(Pak, Fira kenapa?) Tanya istri ku.
"iki aku ibuk mu, nduk, lapo awakmu metu teko deso iku? Ojo percoyo karo setan, iku ngunu duk aku"
(ini aku ibumu, nduk, kenapa kamu keluar dari desa itu? Jangan mudah percaya dengan setan, itu bukan aku) ucap nya.
"buk, yah, iku mau mbah, mbah ku sing asli, duk setan sing wingi-wingi"
(buk, yah, itu tadi mbah, mbah ku yg sesungguhnya, bukan setan yg selama ini muncul) kata Fira.
(Kenapa bisa kamu berpikir jika itu mbah yg sebenarnya?) Tanyaku,
"suoro e mbah, logat e, hawane, Fira ngerti sanget niku mbah, tenang, ayem, mboten medeni kades sing sakderenge",
"wes a pak, kene ga usah ngaleh"
(tuh kan, pak, kita ga perlu pindah) celetuk istri ku.
(tak apa, untuk sementara ini kita tinggal dirumah P, sampai semua aman) jelasku.
(Sudut pandang Harto sebagai "aku")
Telinga ku sudah sangat panas dengan hingar bingar suara "mereka",
balai desa penuh sesak layaknya pasar, ini sudah tak biasa, mereka adalah kiriman dari orang yg menginginkan hal ini terjadi.
🧔 : Assalamualaikum, pak ustadz
👳 : Waalaikumsalam, dimana Har?
🧔 : Ini di balai desa dengan warga yg kesurupan, pak ustadz,
👳 : Saya kesana, wassalamu'alaikum
Aku merasa lega, akhirnya pak ustadz telah sampai, benar saja beberapa menit kemudian pak ustadz dan kyai memasuki pelataran balai desa ini, di belakang nya belasan santri mengikuti.
"waalaikumsalam" jawab kami serempak,
"astagfirullah, ini yg ngirim juga pasti kuwalahan ngambil jin sebanyak ini" ucap kyai,
benar firasat ku, ini sebuah kiriman.
"saya setuju, kyai" jawab pak ustadz, aku hanya manggut, karena jelas kyai bukan menanyai pendapat ku,
"suwun yo, wis entek-entek an njogo lan masang pager",
"sami-sami, pak, tapi kulo mboten saget mengeng mas Darno, tiang e pun pindah wau",
"iku ngunu wis dalan e, mariki lek wong-wong ero sopo dalang e, bakal golek cak Darno jaluk sepuro",
Kyai bersila di pojok lalu memutar tasbih nya, sementara santri menyebar mengelilingi balai desa untuk berjaga.
"Alhamdulillah, kari ngenteni"
(Alhamdulillah tinggal menunggu) ucap nya yg tak ku mengerti.
(Menunggu siapa, pak?) Tanyaku,
"bar iki awakmu ngerti"
(sebentar lagi kamu akan mengerti) jawab pak ustadz.
Waktu berlalu begitu sangat lama, kami masih bergelut dengan tasbih masing-masing, terhanyut dalam dzikir.
"bapak kale ibu, huhuhuu" rengeknya,
"ono opo Diah? Kene lungguh o sik, jupuk no ngumbe iku, dek"
(ada apa Diah? Kemarilah duduk dulu, tolong ambilkan minum, dek) ucap mbah Sugeng sembari memintaku untuk mengambil minum.
(bapak muntah darah, sementara ibu teriak-teriak seperti orang kesetanan, aku sangat takut) jelas Diah yg masih menangis.
(iya benar) jawab Mbah Sugeng.
Aku, pak ustadz, kyai, mbah sugeng dan lima orang santri menuju rumah pak Ridho, sementara santri lain tetap berjaga di balai desa.
"ojok, ojok, ojok!!" (Jangan, jangan, jangan) ucapnya,
"pak kyai segera menghampiri Bu Endang, memegang kepala nya dan membaca doa, tak lama bu Endang pingsan.
"pasang pagar yg kuat" perintah kyai,
kami segera membaca doa khusus untuk memasang pagar, hawa dirumah ini sangat sesak.
"sajane opo sing mbok lakokno sampe koyok ngene iki, Dho?",
pak Ridho tak menjawab, ia hanya berkata "ha ho haaa haaa" entahlah apa yg ia katakan, kami semua tak ada yg memahami nya.
pak kyai segera membacakan doa, pak Ridho makin berteriak menjadi-jadi,
"di ikat saja, khawatir jika dia nanti melukai dirinya sendiri" perintah kyai.
"mari kita kembali ke balai desa" ajak kyai,
"ini pak Ridho dibiarkan saja?" Tanya mbah Sugeng,
"apa orang disini juga harus menunggu keluarga Darno agar tak kesurupan lagi?" Tanya mbah Sugeng,
"tidak, sebentar lagi jin itu akan segera pergi, tapi memang harus meminta maaf atas kesalah pahaman ini" jawab kyai.
"Alhamdulillah" ucap kami serentak.
Aku melangkahkan kaki dengan lemas, tak bersemangat memasuki rumah ini, aku dengan senang hati pindah dari sana tapi bukan dengan cara seperti ini, cara yg memalukan dan tak terhormat, di usir dari kampung halaman sangatlah sakit.
beberapa kali pintu di ketuk, aku terbangun dari tidurku, kulihat jam menunjukkan pukul 10.15,
"lama sekali aku tertidur" batinku, aku berjalan menuju ruang tamu, disana sudah ada beberapa orang.
(mas, Dar, ini guru saya, kyai Sam) ucap pak ustadz,
aku melihat ayah ku hanya manggut, mungkin kecewa karena pak ustadz semalam tak kunjung datang, aku bisa melihat nya karena dapur kami bersebelahan dengan ruang tamu.
(aku minta maaf sebanyak-banyaknya, Dar, aku orang tua tapi tidak bijak) kata Mbah Sugeng.
"sajane ono opo kok jaluk sepuro kabeh?, Kan iki sing mbok karepi!!"
(sebenarnya apa yg terjadi, kenapa minta maaf?, Bukannya ini yang kalian mau!!) Sahut ibuku ketus.
"tujuan kami kesini untuk meminta maaf, pertama karena semalam saya datang terlambat, kedua saya meminta maaf atas nama semua warga desa K, yg ketiga saya ingin mengajak dek Darno kerumah dek Ridho" turur kyai Sam.
(Ada apa?) Tanya ayahku, pak ustadz pun menjelaskan semua kejadian semalam,
"untuk lebih jelas nya lagi, mari kita kerumah mas Ridho" ajak pak ustadz.
betapa sedihnya mbak Diah tau kelakuan kedua orang tuanya, aku segera mencari nya,
"Fir, bapak" ucapnya sembari menangis.
(Budhe sudah membaik kan mbak?) Tanyaku,
"wis, ibu wis iso tangi, tapi akeh meneng e Fir, kadang nangis"
(sudah, ibu sudah bisa bangun, tapi banyak diamnya, terkadang juga menangis) jawabnya.
"oleh ndelok pakdhe, ora?"
(Boleh nengok pakdhe, ga?) Izin ku,
"ayo!" Ajaknya.
Seperti yg pak ustadz ceritakan, keadaan pakdhe sangat mengenaskan, tak lama ayah masuk ke kamar pakdhe.
mbak Diah semakin menangis,
"mas...mas....opo seh salahku, nganti kowe tego? Nyowo e wong akeh mbok gawe dulinan, karepmu iku opo?",
"lek ga kedaden koyok ngene, koen ga ngarah kapok, mas, aku gregeten karo awakmu, tego e ngelekno ibuk sing wes sedho!!",
"sabar, sabar" kata ayah,
"ga iso sabar, babah cek mati mbotok koyok ngene, aku wes kadung loro ati!!"
"ga ilok Ngomong ngunu, iki ngunu dulurmu sik an"
(ga baik Ngomong gitu, ini kan masih saudara kita) ucap ayah.
(saudara? saudara macam apa seperti ini, kamu pasti kena karma karena durhaka dengan ibu, mas) ucap ibu.
(dirumah sebelah rumah mbak diah),
seluruh warga yg semalam sempat marah kepada kami pun meminta maaf.
"sepurane, deeeeeeek"
(maaf deeeeek) ucapnya dengan suara bergetar sembari menggapai kaki ibuku,
"aku karo mas mu encene wes salah, sepurane temenan",
kali ini air matanya sudah tak terbendung, ayah berusaha memapah budhe agar berdiri, namun tangan budhe masih enggan melepas kaki ibuku.
(Sudut pandang budhe Endang sebagai "aku")
Malam ini hawanya sangat berbeda, rumah ini lebih terasa mencekam dari biasanya, aku terbangun dari tidurku karena tenggorokan ku sangat kering, kuputuskan untuk ke dapur mengambil minum.
"dek, rinio!!"
(Dek, kemarilah!!) Bisik suamiku pelan.
(bantu aku) pintanya,
"ewangi lapo, mas?"
(Bantu apa, mas?) Tanyaku,
aku pun mengikuti nya lalu duduk di depannya,
"talenono iki" (ikat ini) perintah nya,
"opo-opoan iki, mas?" Tanyaku sedikit marah.
"Wis ojo bek lek takon, carane ngene"
(Untuk apa yg seperti ini?) Tanyaku,
ia melotot tak lama sosok yg ada di belakangnya muncul, aku tak berani menatapnya, segera kulakukan apa yg ia perintahkan.
Satu, dua, tiga, sudah puluhan benda ini ku ikat, aku masih tak tau untuk apa benda ini.
(Apa tidak takut ketahuan? Sebenarnya itu untuk apa?) Tanyaku,
"engkok lak ero dewe seh, ojok ngecemes ae, anggep ae awakmu ga ngerti iki"
(nanti kamu juga tau sendiri, jangan berisik, anggap saja kamu tak tau apapun) jawabnya.
(ya, memang aku berniat meneror rima dan warga desa, agar rima sekeluarga pergi dari sini) jawabnya.
"mas, ga sadar ta awakmu wes fitnah ibu? Opomaneh wong deso ga ero opo-opo"
(mas, kamu sadar ga sih kalo udah fitnah ibu? Apalagi warga desa yg tak tau apa-apa) kataku sedikit membentak.
(Jika tidak begitu bagaimana caranya Rima akan keluar dari sini? Orang desa terlibat agar ikut mengusir Rima!!) Teriaknya.
( Harusnya tanah itu jadi milikku, luas sehingga bisa dibangun untuk tempat kos, tapi kenapa malah ibu berikan kepada Rima!!) Lanjutnya.
(kita kan udah dapet bagian rumah ini, pak), kataku,
"omah reyot dapurane ngene iki? Opo'o ga Rima ae sing di ke'i omah iki?"
(Rumah reyot seperti ini? Kenapa bukan Rima yg di wariskan rumah ini?) Tanyanya dengan nada masih marah.
====SELESAI====
Terimakasih banyak 🤗🙏