, 118 tweets, 13 min read
My Authors
Read all threads
Jurit malam, banyak dari kita pernah melakukannya dengan terpaksa, dan mengalami kejadian mengerikan di acara ini.

Aldo dan Malik, akan cerita tentang pengalaman mereka di acara jurit malam di salah satu kaki pegunungan di Bogor, tahun 1997. Baca di sini, di Briistory..

***
Gak, sama sekali aku gak berani untuk menatap ke depan, gak berani melihat sekeliling, pandangan tetap dan terus aku arahkan ke bawah, hanya melihat jalan setapak yang sedang kami lewati.
“Pocongnya masih ada Do, masih berdiri di bawah pohon.” Begitu Malik bilang sambil menangis pelan.

“Udah Lik, jangan lo lihat terus. Jangan lihat lagi.” Jawabku pelan.
Kami terus menyusuri jalan setapak ini, jalan setapak tanah yang semakin licin karena tumpahan air hujan yang terus turun menggerimis.
Pepohonan rindang memenuhi hampir seluruh ruang hutan yang sedang kami coba untuk lewati.

Bunyi dedaunan bertepuk satu dengan lain karena bergoyang ditimpa tetesan air hujan, bukan karena angin, semakin menambah mencekam suasana.
Aku dan Malik masih dalam perjalanan menuju pos empat, sungguh perjalanan yang teramat panjang, ketakutan terus menyeruak memenuhi isi jiwa dan pikiran.
“Aldo, gw udah gak kuat lagi, gw capek banget Do.” Sekali lagi malik berkata dengan gemetar.

“Sedikit lagi, kita harus kuat, gak bisa berhenti di tempat kayak gini.” Jawabku.

“Pocongnya masih ada Do..”
Bau kentang rebus sama-samar terus tercium sejak tadi, tercium di antara bau tanah yang tersiram hujan. Siapa yang merebus kentang di tengah hutan pada tengah malam seperti ini?
Entah apa yang ada di dalam pikiran, detik berikutnya aku malah melirik ke tempat di mana pocong itu berada.

Benar Malik bilang, pocong masih berdiri di bawah pohon yang jaraknya hanya beberapa meter dari posisi kami sedang berjalan.
Berbalut kain putih kusam, ada ikatan di beberapa tempat di bagian tubuh, sehingga bentuknya terlihat jadi semakin jelas.
Aku mempercepat langkah, semakin cepat melangkah, hingga nyaris berlari, ketika beberapa saat berikutnya pocong itu seperti bergerak mendekat.
Aku genggam tangan Malik erat-erat, menariknya dengan paksa agar mempercepat langkah juga. Tangisan Malik makin terdengar, nyaris berteriak ketika sadar kalau pocong semakin dekat dan mendekat.
Tapi untunglah, langkah kaki kami ternyata lebih cepat dari gerakan pocong. Pelan tapi pasti, sosok pocong menghilang dari pandangan, di belakang.

***
“Kalian lama sekali? Dari mana aja? Jalan-jalan ke mana dulu?” Ucap salah satu kakak pembina yang baru belakangan aku tahu kalau namanya Rendy.
“Kalian tahu gak kalau hutan ini angker? Banyak penunggunya, kalian malah jalan santai. Udah jam berapa iniiiiii..!!”

Kakak pembina satu lagi membentak kami setengah berteriak.
“Maaf Kak, kami tadi ketakutan, berlari gak tentu arah, akhirnya kesasar.” Aku memberanikan diri untuk menjawab.
“K..kkk..kaa..mii, kami lihat pocong Kak.” Malik menjawab sambil menangis pelan.
“Aaahh, baru lihat pocong udah nangis, jangan manjaaa!!” Teriak kakak pembina lagi. Suaranya menggema kencang memecah sepi malam.

Gak ada yang bisa kami lakukan selain diam dan menuruti apa yang diperintahkan oleh dua kakak senior itu.
Selanjutnya, kami diberi pertanyaan dari banyak materi yang sudah kami dapatkan sebelumnya, beberapa bisa kami jawab, beberapa gak terjawab yang berakibat hukuman push-up atau hukuman lainnya.
Lelah fisik dan bathin, kami kerahkan tenaga yang masih tersisa untuk terus mengikuti perintah kakak senior di pos empat ini.

Sampai akhirnya, ada suara langkah dari beberapa orang terdengar mendekat dari belakang.
“LDKS 1997!!!”

Tiba-tiba terdengar teriakan seperti itu, teriakan salam peserta kalau bertemu dengan kakak senior. Ternyata kelompok berikutnya sampai juga di pos empat.
Aku dan Malik sedikit bernapas lega, karena setelah itu kami dipersilakan untuk beristirahat sejenak, sebelum melanjutkan perjalanan menuju pos lima.

Kami duduk di bawah pohon, bersandar di batang besarnya.
“Gw gak kuat lagi Do, takut.” Malik bicara seperti itu dengan tatapan kosong dengan suara datar.
“Tapi kita harus lulus dari jurit malam ini, ini kan salah satu syarat kelulusan. Ayolah, tinggal satu pos lagi, setelah itu selesai semuanya.” Aku terus coba membangkitkan semangat Malik yang sudah nyaris padam.
LDKS SMUN 1997, kami sedang melaksanakan kegiatan ini, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa. Sebagian murid kelas satu harus mengikutinya, gak bisa nggak.

Salah satu bagian kegiatannya adalah acara jurit malam, acara inilah yang sedang kami lakukan.
Jurit malam diselenggarakan oleh ekskul Pramuka. Kegiatan dilangsungkan di salah satu kaki gunung di wilayah Bogor.

Kaki gunung yang tahun 1990-an masih pedalaman, sebagian besar wilayahnya adalah hutan rindang dengan pepohonan tinggi besar menjulang, masih belantara.
Namanya pegunungan dan hutan, konturnya naik turun mengikuti perbukitan. Gak ada jalan beraspal, semua rentang permukaan masih tanah, akan menjadi licin apabila disiram air hujan.
Pegunungan ini cukup terkenal di Bogor, cukup terkenal juga keangkerannya. Memang sangat cocok untuk dijadikan tempat lokasi jurit malam untuk mengasah nyali dan mental.

***
Aku Aldo, murid kelas satu salah satu SMUN di Jakarta, angkatan 1997, sedang dalam satu bagian acara LDKS, Jurit malam.

Seluruh peserta diharuskan berjalan menyusuri jalan setapak di tengah hutan, untuk menuju pos-pos yang sudah ditentukan.
Pos yang kami kunjungi ada lima, masing masing pos jaraknya cukup jauh dan kondisi jalan yang sangat menantang. Dari pos satu ke pos berikutnya semakin gila kondisi dan situasinya, menurutku sangat mengerikan.
Masing-masing siswa dibentuk per kelompok, satu kelompok terdiri dari dua orang. Setiap kelompok berjalan satu-satu setiap beberapa puluh menit, gak berbarengan.
sebelum acara dimulai tadi, para kakak panitia dan pembina sudah mewanti-wanti kepada kami untuk selalu hati-hati.
Daerah wilayah kaki gunung ini terkenal angker dengan kondisi alam yang masih berbahaya di banyak bagian.

Satu yang paling aku ingat, omongan dari kakak panitia yang beberapa kali diulang:
"Ingat ya, kami tidak menyiapkan hantu-hantuan, tidak ada seorang pun dari panitia dan pembina yang menyamar jadi hantu untuk menakut-nakuti peserta.
Kalau nanti di tengah kegiatan kalian melihat pocong, kuntilanak, atau teman-temannya, dapat dipastikan kalau itu adalah hantu beneran, bukan bohongan."

Begitu kalimat yang aku ingat.
Tapi ah masa sih mereka gak menyiapkan apa-apa untuk menakut-nakuti kami, sepertinya gak mungkin. Itu pemikiranku, pada awalnya.

Tapi, pikiranku berubah ketika aku dan Malik mulai dalam perjalanan menuju pos dua, pos tiga, dan pos empat tempat kami sedang istirahat ini.
Menurut kami, kalau penampakan-penampakan yang kami lihat tadi adalah memang kakak panitia yang menyamar jadi hantu, berarti mereka melakukannya dengan sempurna, kami sampai ketakutan dibuatnya.

Tapi mungkinkah?

***
Flash Back, aku akan bercerita ketika kami dalam perjalanan menuju pos dua..

Masih jam 10, malam masih terbilang sore, langkah kami masih mantap menjalani tugas dan aktivitas Jurit malam yang baru saja dimulai.
"Do, kayanya mendung tuh ya, gak kliatan bintang sama sekali." Suara Malik membuyarkan lamunanku yang baru saja dimulai.

"Iya lik, moga aja gak ujan ya, kusut dah kalo ujan beneran." Jawabku sambil menatap langit.
Benar kata Malik, langit kusam tanpa bintang, entah ada bulan atau nggak di balik gelayut awan, yang pasti warna angkasa menambah seram malam.

Seperti yang aku bilang tadi, langkah kali kami masih mantap melangkah menyusuri jalan setepak sempit yang sesekali tertutup rerumputan.
Sudah lebih dari 20 menit lamanya kami berjalan menuju pos dua.

Tadi ketika pengarahan, kakak pembina bilang kalau masing-masing pos berjarak kira-kira 30 menit lamanya berjalan kaki. Jadi, aku dan malik pikir, sebentar lagi kami akan sampai di pos dua, seharusnya begitu.
Aku yang berjalan di depan, tiba-tiba merasakan kalau tangan Malik menarik baju bagian belakangku.

"Do, ada orang." Begitu kata Malik, sambil memberi kode untuk memperlambat langkah.
"Mana Lik? emang di depan udah pos dua ya?"

"Itu Do, berdiri di bawah pohon." Malik menunjuk ke arah kejauhan.

Aku coba menajamkan pandangan ke tempat yang Malik maksud. Kami tetap maju melangkah walau perlahan, membuat semakin dekat ke tempat di mana Malik bilang ada orang.
Setelah sudah beberapa belas meter kami melangkah, akhirnya aku dapat melihat kalau benar ada orang. Kami belum terlalu dekat berjarak dengan sosok itu, tapi aku dapat melihatnya cukup jelas.
Tepat di bawah pohon, di pinggir jalan setapak yang akan kami lalui, orang itu berdiri dengan tegap sempurna, postur istirahat di tempat. Dia menghadap ke arah selatan, sementara kami berjalan menuju ke barat, jadi kami melihat dia dari samping.
Ketika jarak kami hanya tinggal beberapa meter saja, barulah aku dapat melihat sejelas-jelasnya tampilan sosok itu.

Seorang laki-laki, masih muda, sepertinya SMU juga sama seperti kami namun mungkin satu atau dua tahun di atas.
Berpakaian pramuka lengkap, mengenakan topi pramuka, kacu, dan tangan kananya memegang bambu panjang yang berdiri tepat di sampingnya.

“Kayaknya kakak panitia Do, kita permisi aja.” Begitu kaya Malik sambil berbisik.

Aku setuju.
Kami terus berjalan sampai akhirnya harue melintas tepat di depan sosok yang kami pikir adalah kakak panitia yang sedang bertugas.

“LDKS 1997!” Setengah berteriak, aku dan malik memberi salam tanda kegiatan.

“Permisi Kak, kami mau lewat,” Aku menambahkan.
Kakak panitia itu tetap diam bergeming, posisinya gak berubah, tegap beristirahat di tempat, pandangan lurus ke depan, sama sekali gak menatap kami.
Namun ada perubahan, walaupun gak mengucapkan sepatah kata pun tapi wajahnya tersenyum, senyum menyeringai tanpa ekspresi, wajahnya pucat seperti orang sangat kelelahan.
Beberapa detik lamanya aku dan Malik kikuk sambil diam berdiri di hadapannya, bingung harus berbuat apa, serba salah, sementara kakak panitia itu tetap pada posisinya.
Saat itu, aku berpikir, kalau memang dia ditugaskan untuk menakut-nakuti kami, tugasnya berhasil, karena aku dan Malik mulai merasa ketakutan, mulai merasakan kejanggalan.
“Ayok jalan aja Lik, kayaknya ini bukan pos dua.” Aku bilang begitu.

Gak menjawab apa-apa, Malik langsung melangkah, aku mengikuti langkahnya yang terburu-buru.
“Permisi Kak.” Sekali lagi aku mengucap salam.

Tetap, dia gak bergerak sama sekali, posturnya tetap seperti itu dengan wajah tersenyum datar.

Aku dan Malik terus berjalan meninggalkannya.
Sebelum kami jauh pergi meninggalkan, aku sebentar melirik ke belakang. Gak ada perubahan, posisi kakak panitia itu belum berubah, dia tetap berdiri pada tempatnya.

Sekitar 10 menit kemudian, kami sampai juga di pos dua. Ada beberapa kakak panitia yang menunggu pos ini.
Di sini, kami diberi tugas dan pekerjaan yang belum terlalu melelahkan, semua dapat kami selesaikan dengan baik, setelah itu kakak panitia mempersilakan kami untuk beristirahat sejenak.
Nah ketika kami tengah beristirahat, kelompok berikutnya berdatangan, sehingga pos dua jadi gak terlalu sepi lagi.
Aku masih penasaran dengan kakak Pembina yang tadi berdiri sendirian di bawah pohon sebelum kami sampai di pos dua, makanya aku menanyakan hal itu kepada teman dari kelompok yang datang setelah kami.
“Eh, lima atau 10 menit sebelum sampe di sini, lo berdua ketemu kakak Pembina gak? Berdiri di bawah pohon sendiran, ditegor diem aja tapi senyum, liat gak?” Tanyaku.
“Kakak Pembina? Gak ada ah, kami gak ketemu siapa-siapa. Sekalinya ketemu orang ya di pos satu dan pos dua ini, di antaranya gak ada orang.” Jawab teman itu tegas.

Hmmm, aku dan Malik saling bertatapan, kebingungan.
Ah mungkin memang kakak Panitia, tapi sedang terpisah dari kelompoknya, pikir aku dan Malik. Tapi setelah aku perhatikan lagi, ternyata di pos dua gak ada kakak Pembina yang berdiri sendirian tadi, wajahnya mereka jelas-jelas berbeda.
“Aldo, Malik, cukup istirahatnya. Kalian sekarang jalan ke pos tiga. Lebih hati-hati lagi, walaupun jaraknya dekat tapi kondisi jalan menanjak terus. Berdoa dulu sebelum jalan, semoga selamat sampai pos tiga.” Begitu kata salah satu kakak Pembina,
Aku dan Malik langsung berdiri dari duduk, berdoa sebentar, lalu kami melanjutkan perjalanan menuju pos tiga.

***
Benar kata Kakak Pembina di pos dua tadi, jalur menuju pos tiga cukup manantang, lebih banyak menanjak walau jalan setapaknya lebih lebar.
Pemandangan sekeliling tetap sama, pepohonan rindang memenuhi ruang hutan yang gelap gulita tanpa cahaya, hanya lampu senter di tanganku yang menembus kelam, memberi jalan mata untuk melihat lebih jauh ke depan.
Dari kejauhan, kami mendengar suara air terjun yang bergemuruh pelan, gunung ini memang cukup banyak memiliki air terjun indah di beberapa sudutnya.

“Do, gw capek, jalannya nanjak, pelan-pelan dulu Do.”

Malik yang berjalan di belakang berucap dengan napas ngos-ngosan.
“Iya.” Jawabku pendek sambil memperlambat langkah.

Malik benar, jalan menanjak yang tengah kami lalui ini cukup konstan, sama sekali gak ada kontur datar atau menurun untuk beristirahat sejenak, terus aja menanjak.
“Do, istirahat aja deh sebentar ya. Gw gak kuat nih, jalannya nanjak terus.”

Gak tega aku melihat Malik, badan besarnya terlihat lelah, pakaian pramukanya basah bermandi keringat. Akhirnya kami berhenti untuk istirahat sebentar.
Suara jangkrik dan binatang malam mulai terdengar bersahutan, sementara pepohonan rindang tetap diam gak bergerak.
Tempat kami berhenti ini agak tinggi posisinya, sehingga aku dapat melihat jalanan di belakang, jalan menurun yang sudah kami lewati sebelumnya. Tapi ya itu, hanya gelap aja yang kelihatan.
Aku melihat sekeliling, sambil mengarahkan lampu senter, coba memperhatikan sekitar. Gelapnya malam di kaki gunung itu, mulai sedikit menggoyahkan nyali, sepinya seperti memperhatikan kami yang tengah berdiri, sendiri.
“Yuk jalan lagi Lik, agak mulai ngeri, merinding gw.” Aku berbisik ke Malik.

“Iya Do, kok agak serem ya. Ayok jalan deh.”

Lalu kami mulai melangkahkan kaki.

Tapi..
“Sebentar Do,” Malik memegang lenganku, menahan aku supaya berhenti berjalan.

“Lo denger gak?” Malik bilang begitu.

“Denger apaan Lik?”

“Ada suara Do, kayak suara langkah orang jalan.”
Lalu aku diam dan menajamkan pendengaran,

Benar! Ternyata terdengar ada suara di kejauhan.
Awalnya sangat samar, hampir-hampir gak terdengar, tapi yang pasti suara itu berasal dari belakang, dari jalan yang sudah kami lewati sebelumnya, jalan yang posisinya berada di bawah, sementara kami sudah agak di atas.
Semakin lama suara itu semakin jelas, sementara itu aku terus mencari sumbernya, lampu senter ku arahkan cahayanya ke tempat yang kami curigai sebagai asal suara.

“Brek, brek, brek, brek,” Kira-kira seperti itu suaranya.
Seperti suara langkah kaki yang sedang berbaris, seperti ada kelompok orang yang sedang berjalan bersamaan.

Suaranya semakin jelas, semakin yakin kalau itu memang suara orang yang sedang berjalan berbaris, dan mereka sedang berjalan menuju ke arah tempat kami sedang berdiri.
Benar saja, akhirnya cahaya lampu senterku menangkap objek yang sepertinya merupakan sumber suara “Brek, brek, brek, brek,” itu.

Awalnya belum terlalu jelas, tapi lama kelamaan menjadi semakin jelas karena jarak kami semakin dekat.
Iya, ternyata benar, aku dan Malik melihat ada tiga orang yang sedang berbaris memanjang ke belakang, berjalan cukup cepat di kondisi jalan menanjak.
Perlahan, kami kompak bergerak ke pinggir, ke sisi jalan setapak, dengan maksud memberi jalan kepada tiga orang ini untuk mendahului, karena mereka berjalan cukup cepat, melangkah gak kelihatan lelah.

“Brek, brek, brek, brek,” Mereka terus melangkah mendekat, semakin mendekat.
Aku dan Malik hanya diam sambil terus memperhatikan.

Siapa orang-orang ini? Kelompok peserta LDKS sama seperti kami kah? Ah tapi bukan, karena perkelompok hanya dua orang, sedangkan mereka bertiga.
Kelompok kakak Pembina kah? Mungkin saja, tapi beberapa belas detik kemudian kami akan sadar kalau mereka jelas-jelas bukan kakak Pembina.

Tiga orang berseragam pramuka lengkap, dengan masing-masing tangan kanannya memegang tongkat bambu panjang.
Hingga akhirnya mereka hanya tinggal beberapa meter saja dari tempat kami berdiri.
Keterkejutan yang pertama, ternyata kami kenal sosok yang berjalan paling depan, kami yakin kalau ini adalah sosok yang sama dengan yang kami lihat sedang berdiri sendiran di bawah pohon sebelum pos dua tadi. Kami yakin itu, kami masih sangat hapal wajahnya, gesturnya, senyumnya.
Iya dia masih kelihatan tersenyum tanpa ekspresi, sembil terus berjalan melangkahkan kaki.

Sementara di belakangnya ada dua orang dengan penampilan sama, berpakaian pramuka lengkap dengan topi dan kacu.
Tapi sebentar, adaketerkejutan kami yang kedua.
Keterkejutan yang akan membuat kami ketakutan amat sangat..
Setelah mereka benar-benar sudah berada di hadapan, secara sadar dan sangat jelas, kami melihat kalau ternyata sosok yang berjalan paling belakang gak mengenakan topi pramuka, seperti dua teman di depannya, tapi tetap mengenakan seragam pramuka lengkap.
Tahu gak kenapa sosok yang berjalan paling belakang itu gak mengenakan topi? Dia gak memakai topi karena gak memiliki kepala, dia berjalan berbaris di belakang tanpa kepala.

Ada pramuka berjalan tanpa kepala..
Malik langsung jatuh terduduk di samping ku berdiri, sementara aku diam sambil terus memperhatikan.

Tubuhku lemas, tulang-tulang rasanya seperti lepas dari engselnya, jantung seperti berhenti berdetak melihat semua itu.
Tiga sosok menyeramkan itu terus saja berjalan, berbaris dalam kegelapan, berjalan tanpa jeda dan lelah di jalan yang terus menanjak.

Kami memperhatikan sampai akhirnya mereka hilang di dalam gelap.
“Gimana Lik? Lanjut jalan aja? Apa mau balik lagi ke pos dua?” Tanyaku ketika sudah mulai bisa bernapas teratur.

“Lanjut aja Do, harusnya sih pos tiga gak jauh lagi. Tapi pelan-pelan aja ya, gw gak mau ketemu pramuka baris yang tadi lewat.” Malik menjawab nyaris berbisik.
Iya, pada akhirnya kami memberanikan diri untuk melangkah terus melanjutkan perjalanan.

Sukurlah, di sisa perjalanan menuju pos tiga kami gak bertemu lagi dengan pramuka tanpa kepala itu lagi, untuk sementara kami bisa bernapas lega.

Untuk sementara.

***
“Ini gunung terkenal angker, bisa jadi yang kalian lihat itu benar adanya. Tapi ini bagus untuk mental kalian, gak boleh takut sama hantu, jangan manja.”
Begitu kata salah satu kakak senior penunggu pos tiga, ketika kami menceritakan kejadian yang baru saja kami alami.

Ah ya sudahlah, yang penting kami sudah cerita.
Setelah selesai melaksanakan tugas di pos tiga, lagi-lagi kami dikasih kesempatan untuk istirahat sebentar sebelum perjalanan menuju pos empat.
Singkatnya, perjalanan dari pos tiga menuju pos empat, kami gak bertemu lagi dengan barisan pramuka yang salah satunya tanpa kepala tadi.
Seperti yang sudah aku ceritakan di awal tadi, kami malah mendapatkan teror yang lain, kami melihat penampakan pocong. Pocong yang teramat sangat mengerikan, menguras nyali, meremukkan mental dan bathin. Kami ketakutan, di batas yang paling maksimal.

***
Di pos empat..

“Gw gak kuat lagi Do, takut.” Malik bicara seperti itu dengan tatapan kosong dengan suara datar.
“Tapi kita harus lulus dari jurit malam ini, ini kan salah satu syarat kelulusan. Ayolah, tinggal satu pos lagi, setelah itu selesai semuanya.” Aku terus coba membangkitkan semangat Malik yang sudah nyaris padam.
Bersandar kelelahan kami duduk, entah apa lagi yang akan kami temui nanti di parjalanan menuju pos lima.
Aku yang biasanya pemberani, kali ini merasakan pengalaman yang sepertinya memberikan arti lain dari kata “takut”. Nyaliku bergetar hebat, mentalku goyah, tapi walaupun begitu kami harus tetap maju, harus menyelesaikan jurit malam ini.
“Aldo, Malik, cukup istirahatnya. Ayok kalian jalan ke pos lima, pos terakhir.” Salah satu kakak Pembina memberi kami perintah.

Kemudian kami berdiri dan mulai berjalan lagi, menuju pos lima, pos terakhir.

***
Kondiri jalan menuju pos lima ini lebih banyak menurun, walau sesekali ada sedikit tanjakan. Memang sepertinya kami menuju kaki gunung yang paling rendah, menuju perkemahan tempat kami menginap.
Jarum jam pada jam tangan sudah menunjuk ke arah pukul satu lewat tengah malam.

Hujan yang turun sejak pos empat tadi tiba-tiba berhenti, menyisakan becek di jalan menurun dan menjadikannya licin, kami harus hati-hati berjalan jangan sampai terpeleset.
Sejak lepas dari pos empat tadi, aku dan Malik lebih banyak diam, sama-sama konsentrasi memperhatikan jalan, mungkin juga sama-sama masih trauma dengan dua kejadian di belakang tadi, sungguh kami masih ketakutan.

Kami masih sangat ketakutan..

***
Kira-kira sudah lima belas menit lamanya kami meninggalkan pos empat, lima belas menit yang terasa seperti berjam-jam lamanya.
Di heningnya gelap hutan, perlahan semilir angin terdengar datang bertiup, menggerakkan pepohonan, membuatnya bergerak melambai walau masih gak bersuara.
Suara jangkrik dan binatang hutan lain, yang tadinya cukup ramai bersahutan, perlahan menghilang, menyisakan sepi yang teramat sangat, hanya hembusan angin yang jadi iringan kelam.
Di titik ini kami mulai ketakutan lagi, mulai merasakan kejanggalan lagi, karena sepinya beda, heningnya mencekam.
“Do, cepetan Do. Buruan.”

Malik yang lagi-lagi berjalan di belakang, bilang begitu, sambil tangannya mendorong tubuhku, memaksaku untuk berjalan lebih cepat lagi.

Aku menuruti omongannya, lalu melangkahkan kaki lebih cepat di atas jalan setapak yang masih licin akibat hujan.
“Ada apa Lik” Tanyaku setengah berbisik.

“Jangan nengok ke belakang, ada pramuka yang gak ada kepalanya.” Malik bilang begitu dengan suara gemetar.

Mendengar Malik bilang begitu aku semakin cepat melangkah.
Tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya, akhirnya aku nekat untuk menoleh ke belakang.

Benar, di belakang kami ada sosok beseragam pramuka berjalan tanpa kepala, dia terus mengikuti.

Sosok tak berkepala itu kali ini berjalan tanpa suara, kali ini berjalan sendirian..
Kami ketakutan, lalu mulai panik!

Kemudian Malik mendahuluiku sambil berlari, “Do lari do, gw takut.” Dia bilang begitu sambil menangis pelan.
Sontak, aku jadi ikut berlari di belakang Malik. Sekali lagi aku melirik ke belakang, ternyata sosok pramuka tanpa kepala itu masih saja mengikuti..
Kami sangat ketakutan, lampu senter yang tadinya ada di genggaman tiba-tiba terlepas, setelahnya semua menjadi gelap.
Kami berlari di dalam gelapnya hutan, keluar dari jalan setapak. Berlari ketakutan gak tentu arah.

Sampai akhirnya aku terjatuh karena kaki tersandung sesuatu.

Setelah itu aku gak ingat apa-apa lagi.

***
“Do, lo udah bangun? gak apa-apa?”

Suara Malik terdengar menyadarkanku.

Ternyata kami sudah ada di dalam tenda. Aku terbaring di dalam sleeping bag.
“Jam berapa ini lik? Kita di mana ini?” Tanyaku.

“Sekarang udah jam empat Do. Di basecamp, di pos lima. Tadi kita sama-sama pingsan di deket sini, ditemuin sama team penyapu, hehe.” Begitu penjelasan Malik.
Sukurlah kami baik-baik saja, hanya ada sedikit luka lecet dan memar akibat terjatuh tadi.

Sungguh pengalaman jurit malam yang sangat mengerikan.

***
Hai,

Balik ke gw lagi ya, Brii..

Cukup sekian jalan-jalan jurit malam ini, sampai jumpa dengan cerita gw selanjutnya.

Tetap sehat, supaya bisa terus merinding bareng.

Met bobok ya, semoga mimpi indah..

Salam,
~Brii~
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Brii

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!