“Udah Lik, jangan lo lihat terus. Jangan lihat lagi.” Jawabku pelan.
Bunyi dedaunan bertepuk satu dengan lain karena bergoyang ditimpa tetesan air hujan, bukan karena angin, semakin menambah mencekam suasana.
“Sedikit lagi, kita harus kuat, gak bisa berhenti di tempat kayak gini.” Jawabku.
“Pocongnya masih ada Do..”
Benar Malik bilang, pocong masih berdiri di bawah pohon yang jaraknya hanya beberapa meter dari posisi kami sedang berjalan.
***
Kakak pembina satu lagi membentak kami setengah berteriak.
“K..kkk..kaa..mii, kami lihat pocong Kak.” Malik menjawab sambil menangis pelan.
Gak ada yang bisa kami lakukan selain diam dan menuruti apa yang diperintahkan oleh dua kakak senior itu.
Sampai akhirnya, ada suara langkah dari beberapa orang terdengar mendekat dari belakang.
Tiba-tiba terdengar teriakan seperti itu, teriakan salam peserta kalau bertemu dengan kakak senior. Ternyata kelompok berikutnya sampai juga di pos empat.
Kami duduk di bawah pohon, bersandar di batang besarnya.
Salah satu bagian kegiatannya adalah acara jurit malam, acara inilah yang sedang kami lakukan.
Kaki gunung yang tahun 1990-an masih pedalaman, sebagian besar wilayahnya adalah hutan rindang dengan pepohonan tinggi besar menjulang, masih belantara.
***
Seluruh peserta diharuskan berjalan menyusuri jalan setapak di tengah hutan, untuk menuju pos-pos yang sudah ditentukan.
sebelum acara dimulai tadi, para kakak panitia dan pembina sudah mewanti-wanti kepada kami untuk selalu hati-hati.
Satu yang paling aku ingat, omongan dari kakak panitia yang beberapa kali diulang:
Begitu kalimat yang aku ingat.
Tapi, pikiranku berubah ketika aku dan Malik mulai dalam perjalanan menuju pos dua, pos tiga, dan pos empat tempat kami sedang istirahat ini.
Tapi mungkinkah?
***
Masih jam 10, malam masih terbilang sore, langkah kami masih mantap menjalani tugas dan aktivitas Jurit malam yang baru saja dimulai.
"Iya lik, moga aja gak ujan ya, kusut dah kalo ujan beneran." Jawabku sambil menatap langit.
Seperti yang aku bilang tadi, langkah kali kami masih mantap melangkah menyusuri jalan setepak sempit yang sesekali tertutup rerumputan.
Tadi ketika pengarahan, kakak pembina bilang kalau masing-masing pos berjarak kira-kira 30 menit lamanya berjalan kaki. Jadi, aku dan malik pikir, sebentar lagi kami akan sampai di pos dua, seharusnya begitu.
"Do, ada orang." Begitu kata Malik, sambil memberi kode untuk memperlambat langkah.
"Itu Do, berdiri di bawah pohon." Malik menunjuk ke arah kejauhan.
Aku coba menajamkan pandangan ke tempat yang Malik maksud. Kami tetap maju melangkah walau perlahan, membuat semakin dekat ke tempat di mana Malik bilang ada orang.
Seorang laki-laki, masih muda, sepertinya SMU juga sama seperti kami namun mungkin satu atau dua tahun di atas.
“Kayaknya kakak panitia Do, kita permisi aja.” Begitu kaya Malik sambil berbisik.
Aku setuju.
“LDKS 1997!” Setengah berteriak, aku dan malik memberi salam tanda kegiatan.
“Permisi Kak, kami mau lewat,” Aku menambahkan.
Gak menjawab apa-apa, Malik langsung melangkah, aku mengikuti langkahnya yang terburu-buru.
Tetap, dia gak bergerak sama sekali, posturnya tetap seperti itu dengan wajah tersenyum datar.
Aku dan Malik terus berjalan meninggalkannya.
Sekitar 10 menit kemudian, kami sampai juga di pos dua. Ada beberapa kakak panitia yang menunggu pos ini.
Hmmm, aku dan Malik saling bertatapan, kebingungan.
***
“Do, gw capek, jalannya nanjak, pelan-pelan dulu Do.”
Malik yang berjalan di belakang berucap dengan napas ngos-ngosan.
Malik benar, jalan menanjak yang tengah kami lalui ini cukup konstan, sama sekali gak ada kontur datar atau menurun untuk beristirahat sejenak, terus aja menanjak.
Gak tega aku melihat Malik, badan besarnya terlihat lelah, pakaian pramukanya basah bermandi keringat. Akhirnya kami berhenti untuk istirahat sebentar.
“Iya Do, kok agak serem ya. Ayok jalan deh.”
Lalu kami mulai melangkahkan kaki.
Tapi..
“Lo denger gak?” Malik bilang begitu.
“Denger apaan Lik?”
“Ada suara Do, kayak suara langkah orang jalan.”
Lalu aku diam dan menajamkan pendengaran,
Benar! Ternyata terdengar ada suara di kejauhan.
“Brek, brek, brek, brek,” Kira-kira seperti itu suaranya.
Suaranya semakin jelas, semakin yakin kalau itu memang suara orang yang sedang berjalan berbaris, dan mereka sedang berjalan menuju ke arah tempat kami sedang berdiri.
Awalnya belum terlalu jelas, tapi lama kelamaan menjadi semakin jelas karena jarak kami semakin dekat.
“Brek, brek, brek, brek,” Mereka terus melangkah mendekat, semakin mendekat.
Siapa orang-orang ini? Kelompok peserta LDKS sama seperti kami kah? Ah tapi bukan, karena perkelompok hanya dua orang, sedangkan mereka bertiga.
Tiga orang berseragam pramuka lengkap, dengan masing-masing tangan kanannya memegang tongkat bambu panjang.
Sementara di belakangnya ada dua orang dengan penampilan sama, berpakaian pramuka lengkap dengan topi dan kacu.
Ada pramuka berjalan tanpa kepala..
Tubuhku lemas, tulang-tulang rasanya seperti lepas dari engselnya, jantung seperti berhenti berdetak melihat semua itu.
Kami memperhatikan sampai akhirnya mereka hilang di dalam gelap.
“Lanjut aja Do, harusnya sih pos tiga gak jauh lagi. Tapi pelan-pelan aja ya, gw gak mau ketemu pramuka baris yang tadi lewat.” Malik menjawab nyaris berbisik.
Sukurlah, di sisa perjalanan menuju pos tiga kami gak bertemu lagi dengan pramuka tanpa kepala itu lagi, untuk sementara kami bisa bernapas lega.
Untuk sementara.
***
Ah ya sudahlah, yang penting kami sudah cerita.
***
“Gw gak kuat lagi Do, takut.” Malik bicara seperti itu dengan tatapan kosong dengan suara datar.
Kemudian kami berdiri dan mulai berjalan lagi, menuju pos lima, pos terakhir.
***
Hujan yang turun sejak pos empat tadi tiba-tiba berhenti, menyisakan becek di jalan menurun dan menjadikannya licin, kami harus hati-hati berjalan jangan sampai terpeleset.
Kami masih sangat ketakutan..
***
Malik yang lagi-lagi berjalan di belakang, bilang begitu, sambil tangannya mendorong tubuhku, memaksaku untuk berjalan lebih cepat lagi.
Aku menuruti omongannya, lalu melangkahkan kaki lebih cepat di atas jalan setapak yang masih licin akibat hujan.
“Jangan nengok ke belakang, ada pramuka yang gak ada kepalanya.” Malik bilang begitu dengan suara gemetar.
Mendengar Malik bilang begitu aku semakin cepat melangkah.
Benar, di belakang kami ada sosok beseragam pramuka berjalan tanpa kepala, dia terus mengikuti.
Sosok tak berkepala itu kali ini berjalan tanpa suara, kali ini berjalan sendirian..
Kemudian Malik mendahuluiku sambil berlari, “Do lari do, gw takut.” Dia bilang begitu sambil menangis pelan.
Sampai akhirnya aku terjatuh karena kaki tersandung sesuatu.
Setelah itu aku gak ingat apa-apa lagi.
***
Suara Malik terdengar menyadarkanku.
Ternyata kami sudah ada di dalam tenda. Aku terbaring di dalam sleeping bag.
“Sekarang udah jam empat Do. Di basecamp, di pos lima. Tadi kita sama-sama pingsan di deket sini, ditemuin sama team penyapu, hehe.” Begitu penjelasan Malik.
Sungguh pengalaman jurit malam yang sangat mengerikan.
***
Balik ke gw lagi ya, Brii..
Cukup sekian jalan-jalan jurit malam ini, sampai jumpa dengan cerita gw selanjutnya.
Tetap sehat, supaya bisa terus merinding bareng.
Met bobok ya, semoga mimpi indah..
Salam,
~Brii~