, 106 tweets, 12 min read
My Authors
Read all threads
Nyaris setiap pekerjaan memiliki sisi misteri, berbalut seram menguji hati dan nyali.

Termasuk penjaga villa, bagaimanapun keadaannya mereka harus tetap terus menjalankan tugas.

Rahmat, penjaga villa di puncak Bogor, akan menceritakan kisah seramnya di sini, di Briistory..

***
Hai,
Iklan bentar.

Tolong mampir ke youtube gw ya, masih sepi soalnya. 🤭

Kalo bisa bantu subscribe juga, supaya Rai jadi semangat terus untuk bikin video-video berikutnya, hehe.

Trimaksi banyak. ❤️

Yok nonton yok..

m.youtube.com/channel/UCNfyN…
Ayok lanjut ceritanya 😊
Selesai sudah prosesi penguburan Pak Hendra, satu persatu pelayat meninggalkan pusara.

Areal pemakaman yang tadinya ramai, berangsur sepi. Begitu juga dengan aku, akhirnya melangkah pergi ketika hanya tinggal beberapa orang saja.
Suasana acara pemakaman selalu begini, hawanya sedih, rasa kehilangan mendominasi. Aku terbilang sangat jarang menghadiri prosesi pemakaman, kalau bukan keluarga atau kerabat dekat aku gak pernah menghadirinya.
Tapi ini Pak Hendra, bukan keluarga, bukan kerabat dekat juga, tapi aku harus menghadiri pemakamannya.

Hampir selama tiga bulan terakhir, tiga bulan terakhir hidupnya, Pak Hendra bisa dibilang adalah mentorku.

Mentor? Iya Mentor.

***
Aku Rahmat, usiaku masih 22 tahun ketika semua peristiwa di Villa Puncak ini terjadi pada tahun 2008. Lahir dan besar di Cibinong Bogor, setamat SMU aku gak melanjutkan sekolah lagi, lebih memilih untuk bekerja walaupun masih serabutan.
Singkatnya, pada tahun 2008 aku menganggur cukup lama, karena memang belum ada pekerjaan yang membutuhkan tenagaku.

Di tengah kejenuhan melanda, datanglah kabar baik. Salah satu tetangga, menawarkanku untuk bekerja sebagai penjaga Villa di kawasan Puncak Bogor.
“Jadi, Villa ini punya bos saya Mat. Dia orang kaya banget, rumah dan villanya di mana-mana, banyaklah pokoknya. Nah, salah satunya ya di puncak itu, di daerah Cibogo. Villa ini disewakan untuk umum juga, sengaja begitu supaya gak terlalu kosong karena sangat jarang dikunjungi.”
Begitu penjelasan awal Pak Iwan tetanggaku.
“Sebenarnya villa itu sudah ada yang jaga, Bapak dan Ibu yang sudah berumur, suami istri. Tapi sebulan yang lalu istrinya meninggal, jadi aja tinggal si bapak yang menunggu dan merawat villa sendirian.” Lanjut Pak Iwan.
“Bapak penunggu villa ini sudah tua dan sakit-sakitan, jadi sepertinya kamu akan dipersiapkan untuk menggantikannya kalau dia pensiun nanti.” Pak Iwan masih melanjutkan.
Kata Pak Iwan juga, pemilik villa sangatlah baik orangnya, dia selalu mengutamakan kesejahteraan orang-orang yang bekerja dengannya.
“Gimana? Kamu mau gak? Kan gak terlalu jauh juga dari rumah, jadi bisa pulang kapan aja. Kalo mau biar saya bilang ke Pak Daniel. Mau?” Pak Daniel adalah bos Pak Iwan.
Aku yang sudah terlalu lama mengganggur, gak pikir panjang lagi, langsung mengangguk setuju.
Beberapa hari setelah itu Pak Iwan datang mengabarkan lagi, dia bilang bosnya setuju untuk mempekerjakanku atas rekomendasi baik darinya.
Ya sudah, aku semakin senang dengan pekerjaan ini setelah mendengar upah yang akan aku terima setiap bulannya, nominalnya cukup besar buatku, ditambah dengan tunjangan makan dan tempat tinggal selama bekerja nantinya.
Aku ingat, waktu itu bulan Juni tahun 2008, aku mulai bekerja sebagai penjaga villa di Cibogo kawasan puncak Bogor.

***
Jalan masuk menuju villa ini gak susah. Kalau dari arah bogor, kira-kira 10 menit dari gadog ada pom bensin di sebelah kiri, di situ ada belokan ke kanan, dari belokan itu sekitar 30 menit kemudian sudah sampai.
Ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di villa, aku langsung melihat sekitar, merekam setiap sudutnya di memori kepala. Gerbang depan tinggi dan besar, memisahkan jalan umum dengan pekarangan bagian depan villa.
Halamannya sangat luas, hijau rerumputan mendominasi pemandangan. Beberapa pohon besar tumbuh rindang di sekeliling bangunan besar yang berdiri di tengah-tengah lahan luas ini. Aku meyakini kalau bangunan besar itu adalah villa-nya.
Villa besar berlantai dua, bentuk bangunanya model lama, sepertinya usianya juga sudah tua, tapi masih terlihat sangat terawat dan bersih.
Di sebelah kanan ada bangunan seperti bungalow yang bentuknya memanjang, beratap tanpa dinding sekeliling, sepertinya diperuntukkan untuk kegiatan luar ruang.
Ketika sedang asik menjelajah pemandangan, tiba-tiba pintu besar bangunan utama terbuka, lalu muncul seorang bapak dari dalam.

“Rahmat ya? Sini masuk.” Ucap Bapak itu sambil tersenyum.

“Iya Pak,” Aku menjawab sumringah.
Seorang bapak betubuh tinggi kurus, berkaca mata, nyaris seluruh rambutnya tertutup uban, mengenakan kemeja lengan pendek, celana panjang hitam.
Setelah itu kami berkenalan, bapak yang sangat ramah ini bernama Pak Hendra, umurnya 69 tahun. Aku diajaknya berkeliling, dengan sabar beliau menjelaskan semua tentang villa ini dan segala isinya.
Bangunan utama, villa dua lantai, di lantai dasar ada ruang tengah besar, tiga kamar tidur, dua kamar mandi, ada dapur di belakang.
Lantai dua, ada tiga kamar tidur juga, dua kamar mandi, ruang santai keluarga, dan teras besar memanjang dari kiri ke kanan, teras ini menghadap pemandangan pegunungan puncak yang sangat indah.
Secara keseluruhan, benar tebakanku di awal tadi, villa ini sangat bagus dan besar. Yang paling mencolok, kebersihan villa dan lingkungannya membuatku terkesan, dari sini menandakan kalau Pak Hendra orang yang sangat rajin.
Di belakang Villa, ada bangunan berukuran jauh lebih kecil dari bangunan utama, tapi gak terlalu kecil juga.

“Nah, di rumah itu nanti kamu tinggal. Kamar kamu sudah saya siapkan, kamu tinggal masuk aja, hehe.” Begitu kata Pak Hendra sambil menunjuk ke rumah itu.
Lalu kami melangkah ke sana dan memasukinya.

Rumah yang ukuran bangunannya nyaris sama dengan rumah orang tuaku di Cibinong. Ada ruang tengah, dua kamar, dapur, dan satu kamar mandi. Rumah yang sangat nyaman buatku untuk tinggal.
“Kamu beberes aja dulu, saya tunggu di bungalow ya, kita ngobrol lagi di sana, hehe.” Ucap Pak Hendra.

Aku yang baru hanya membawa sedikit pakaian, jadi gak terlalu lama untuk beberes, setelah itu keluar rumah menuju bungalow, tempat Pak Hendra duduk menunggu.
“Jadi, nanti setiap pagi kita membersihkan seluruh tempat ini, luar dalam villa, halaman depan belakang, semuanya.” Begitu kata Pak Hendra ketika kami lanjut berbincang.
Intinya, tugas kami adalah menjaga villa agar tetap bersih, nyaman dan aman. Kami juga yang akan melayani serta memenuhi semua kebutuhan para tamu penyewa villa, kata Pak Hendra penyewa villa paling banyak dari kalangan keluarga besar dan grup kecil kantor atau perusahaan.
Sebisa mungkin kami akan memenuhi semua kebutuhan dan keperluan para tamu penyewa yang menginap dan mengadakan acara di sini.

Kurang lebih begitulah tugasku.
Setelah selesai menerangkan tugas-tugas dan lainnya, kemudian Pak Hendra mulai bercerita sedikit tentang kehidupan pribadinya.
Sepanjang siang hingga sore kami hanya duduk berbincang, Pak Hendra bercerita sambil terus menghisap rokok, sudah berbatang-batang rokok dia habiskan sejak awal pertemuan kami tadi, sangat kelihatan kalau beliau seorang perokok berat.
Sudah hampir 30 tahun lamanya Pak Hendra bekerja di villa ini, sejak orang tua Pak Daniel sang pemilik villa masih hidup.
30 tahun bekerja didampingi oleh istri tercinta, mereka tinggal di rumah kecil di belakang villa itu tadi. Berdua berdampingan menjaga dan merawat villa.

Ibu Rina, itulah nama dari almarhumah istri Pak Hendra.
“Tapi memang sudah garisNya, istri saya meninggal baru satu bulan yang lalu karena sakit keras yang sudah dia idap bertahun-tahun lamanya.” Begitu kata Pak hendra dengan tatapan kosong, dibarengi dengan hisapan panjang batang rokok di tangan.
Raut sedih masih tergambar jelas di garis wajah tua dan lelahnya.
Kemudian Pak Hendra mengeluarkan dompet, lalu mengeluarkan selembar foto lusuh.

“Ini Istri saya, hehe.” Begitu kata Pak Hendra sambil menunjukkan poto itu.
Cukup banyak yang beliau ceritakan tentang istrinya, tergambar jelas betapa mereka saling mencintai dan menyayangi, sampai maut memisahkan.

Aku hanya diam dan terus mendengarkan.
Hari itu juga aku dapat menebak kalau Pak Hendra kelihatan gak sehat, dia sering batuk-batuk sambil memegang dadanya.

“Gak apa-apa, sudah biasa, hehe.” Begitu katanya ketika aku bertanya tentang hal itu.

Ya sudahlah, aku hanya bisa menyarankan untuk mengurangi rokoknya.

***
Singkat kata, mulailah hari-hariku bekerja di villa itu.

Rutinitas setiap pagi, Pak Hendra selalu mengetuk pintu kamar membangunku untuk sholat subuh. Setelah beribadah, kami langsung bekerja.
Pekerjaan pertama adalah menyapu seluruh halaman, banyak dedaunan kering berjatuhan dari pohon besar yang ada, kemudian membersihkan luar dan dalam villa. Selalu seperti itu rutinitasnya.

Satu minggu..

Dua minggu,

Satu bulan..

Dua bulan berlalu, gak terasa.
Aku sudah merasa nyaman dan betah tinggal dan bekerja di villa ini. Pak Hendra benar-benar orang yang baik, sama sekali gak pernah marah meskipun beberapa kali aku lalai dalam bekerja.i dengan candaan.
Kami semakin akrab, perbincangan sudah sering diselingi dengan candaan.
Tapi ya itu, semakin hari aku semakin khawatir dengan kesehatan pak Hendra. Batuknya kelihatan semakin parah, beberapa kali beliau minta ijin untuk istirahat di rumah saja karena badannya lemas.
Benar saja, seiring berjalannya waktu, kesehatan Pak Hendra semakin menurun. Hingga akhirnya dia harus dirawat di rumah sakit karena sesak napas.

Akhirnya Tuhan punya kehendak, awal bulan November 2008 Pak Hendra menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit.

***
Sepeninggal Pak Hendra, aku sendirian tinggal di villa, aku sendirian menjaga dan merawat villa.
Gak bisa dipungkiri kalau aku sangat terpukul dengan meninggalnya Pak Hendra, ditinggal sendiran ketika sudah merasa nyaman bekerja berdampingan dengannya, ketika kami sudah semakin dekat dan akrab.

Tapi roda hidup harus terus berputar, aku harus terus berjalan.
Pemilik villa bilang, dia akan mencari satu orang pekerja lagi untuk menggantikan posisi Pak Hendra, jadi aku gak akan dibiarkan lama-lama kerja sendirian. Tapi, sambil menunggu orang baru datang, aku terpaksa harus bekerja sendiran, harus tinggal di villa sendirian.
Eh bentar, tinggal dan kerja di Villa sendirian? Hmmm, ternyata gak juga.

Kenapa begitu? Karena aku sering merasakan kalau almarhum Pak Hendra dan Istrinya masih ada di sini, masih di villa ini.

Dalam artian sesungguhnya, aku merasa kalau mereka masih tinggal di sini..

***
Tok, tok, tok..

“Iya Pak,”

Aku menjawab ketukan di pintu kamar, masih sangat mengantuk karena kurang tidur malam sebelumnya lalu aku menjawab “Iya pak.”
Mengucek-ngucek mata sebentar, melirik jam dinding, sudah hampir jam lima subuh, memang sudah waktunya bangun dan sholat.

Beranjak dari tempat tidur lalu aku berjalan menuju pintu untuk keluar kamar.
Setelah pintu kamar sudah terbuka, aku bisa melihat isi ruang tengah, di situ Pak Hendra sedang berdiri melaksanakan sholat subuh.

Seperti biasa, dia mengenakan baju koko kesayangannya dan sarung berwarna gelap lengkap dengan kopiah putih di kepala.
“Ah pak Hendra sudah mulai duluan ternyata.” Begitu pikirku dalam hati.

Aku langsung buru-buru ke belakang untuk berwudhu.

Setelah selesai aku langsung melangkahkan kaki menuju ruang tengah, dengan niat menyusul Pak Hendra yang sudah duluan sholat.
Tapi sesampainya di ruang tengah, aku terheran-heran, karena gak melihat Pak Hendra lagi di sana.

Ke mana beliau? Apakah sudah selesai sholatnya?.
DEG! Jantungku serasa berhenti..

Detik berikutnya aku terhenyak kaget, nyaris menangis ketika akhirnya tersadar, aku baru ingat kalau Pak Hendra sudah meninggal sehari sebelumnya, dan aku menghadiri pemakamanya kemarin.
Kemudian, dalam sholat subuh itu, aku menahan tangis sedih. Sendirian di ruma, aku masih merasakan kehadiran almarhum.

Itulah kejadian aneh yang aku alami, di hari pertama setelah Pak Hendra meninggal.

***
Hari-hari berikutnya, beberapa kali aku mengalami kejadian janggal dan menyeramkan.

Salah satunya kejadian berikut ini:
Kegiatan rutin setiap hari yang aku lakukan adalah membersihkan villa, setelah ada tamu ataupun gak ada. Aku menyapu dan mengepel lantai, membersihkan kamar mandi, menyeka debu, dan lain sebagainya.
Suatu hari, belum lama dari meninggalnya Pak Hendra, aku sedang membersihkan villa di lantai dua.

Memang biasanya seperti itu, aku membersihkan lantai dua terlebih dahulu, setelah selesai baru membersihkan lantai satu.
Posisi villa yang jauh dari jalan umum dan keramaian, menjadikannya sangat sepi walaupun di siang hari. Aku yang sedang membersihkan lantai dua, nyaris bisa mendengar suara apa aja meskipun samar.

Nah, aku langsung menghentikan kegiatan ketika ada suara dari lantai bawah.
Jelas terdengar kalau salah satu keran di kamar mandi bawah tiba-tiba hidup, suara airnya kedengaran mengocor deras jatuh ke dalam ember.

Seperti ada yang sedang menampung air di ember. Siapa? Ya gak tahu, karena dapat dipastikan kalau aku sedang sendirian di dalam villa ini.
Beberapa saat kemudian keran itu mati, sepertinya ember sudah penuh.
Aku masih diam berdiri pada posisi awal dengan tangan masih memegang sapu, terbengong-bengong coba mencerna apa yang sedang terjadi di lantai bawah.
Lalu terdengar suara langkah kaki, kaki yang melangkah di atas ubin. Samar, tapi aku masih bisa mendengarnya.

Itu siapa? semakin penasaran.
Aku yang sedang berada dekat dengan pintu kaca, melirik ke luar. Dari kajauhan, kelihatan kalau pintu gerbang dalam keadaan tertutup, gak ada kendaraan yang parkir juga, jadi harusnya gak ada siapa-siapa, lalu siapa yang sedang berada di bawah?.
Suara-suara terus saja terdengar, kadang samar, kadang jelas, yang pasti sedang ada “kegiatan”.

Suara cipratan air yang disiram ke lantai, lalu suara kain pel yang bergesekan dengan ubin, semuanya aku dengar, seperti ada yang sedang mengepel lantai bawah..
Aku yang sejak tadi berdiri diam, akhirnya memberanikan diri untuk melangkah menuju tangga. Di ujung atas tangga, perlahan aku memaksa untuk mengintip ke bawah.
Awalnya hanya kelihatan sebagian kecil saja, itu karena aku masih ragu, perasaan ini campur aduk antara was-was, takut, dan penasaran.

Gak ada siapa-siapa, aku gak melihat apa-apa.
Lalu berpindah posisi, masih di ujung atas tangga, aku mencari spot yang memungkinkan aku bisa melihat dengan lebih jelas dan luas lagi. Tetap, aku masih belum melihat apa-apa, gak ada siapa-siapa di lantai bawah.
Semakin penasaran dan semakin berani, kemudian aku melangkah menuruni beberapa anak tangga.

Dari sinilah akhirnya aku melihat sesuatu, aku melihat seseorang..
Aku menahan napas, ketakutan..

Aku melihat Pak Hendra sedang mengepel lantai bawah bagian belakang, dia berjalan mundur membelakangi aku yang diam berdiri di ujung atas tangga.
Dia mengenakan kemeja lengan pendek yang biasa dipakai semasa hidupnya, terus melangkah mundur perlahan sambil kedua tangan memegang gagang kain pel.
Aku terus terpana menyaksikan pemandangan itu, sampai-sampai gak sadar kalau sebenarnya ada yang sedang memperhatikan aku.

Iya, ternyata ada sosok lain yang sedang memperhatikan aku.
Di sebelah meja makan, depan lemari, ada perempuan tua sedang berdiri diam, menghadap ke arahku.

Aku yang akhirnya sadar kalau ada sosok lain selain Pak Hendra, semakin ketakutan, karena aku kenal dengan sosok perempuan itu.

Aku yakin kalau dia adalah Bu Rina, istri Pak Hendro.
Bu Rina berdiri diam mengenakan baju terusan berwarna gelap, rambutnya diikat sanggul.

Perlahan dia tersenyum ke arahku, senyum ramah, lalu aku membalas senyumnya. Sementara Pak Hendra masih terus mengepel lantai, posisinya masih membelakangiku.
Cukup lama aku diam memperhatikan, sampai akhirnya tersadar kalau dua orang itu sudah meninggal.

Memaksa kaki melangkah mundur, aku kembai naik ke lantai dua.

Kemudian, di teras depan aku duduk melamun, ketakutan, memikirkan kejadian seram yang baru saja aku alami.

***
Satu bulan setelah meninggalnya Pak Hendra, aku kedatangan tamu seorang pemuda yang usianya sama denganku.

Dia bilang, dia diterima kerja di sini, membantuku menjaga dan merawat villa. Sebut saja namanya Roni, dia warga Bogor juga, sama denganku.
Singkat kata, akhirnya aku gak sendirian lagi, sudah ada Roni yang membantu.
Selama beberapa hari kerja, aku sudah bisa melihat kalau Roni sangat rajin, menyenangkan juga, enak untuk dijadikan teman ngobrol.

Aku yang sudah sebulan sendirian di sini jadi cukup senang dengan kehadiran teman kerja yang baru.
Tapi sayangnya, Roni bekerja hanya sekitar satu minggu, tiba-tiba meminta ijin untuk berhenti bekerja. Gak bisa dirayu lagi, dia bersikukuh untuk berhenti.

Ya sudah, aku gak bisa memaksa. Tapi sebelum pergi, aku harus tahu apa alasannya, apa yang membuat dia pingin berhenti.
“Saya gak kuat mat euy, villa ini banyak hantunya, sieun ah.” (Sieun = takut). Begitu katanya.

“Banyak hantunya gimana? Emang kamu ngeliat apa?” Tanyaku penasaran.
Memang, aku belum pernah bercerita kepada Roni tentang kisah villa ini sebelum dia datang, belum cerita tentang Pak Hendra dan istrinya, Khawatir dia jadi ketakutan nantinya. Makanya Roni gak tahu apa-apa.

Lalu dia melanjutkan ceritanya.
Dia bilang, dia pernah melihat ada dua orang sedang sholat di ruang tengah di tempat tinggal kami, tengah malam, ketika Roni ingin ke kamar mandi.

Dua orang itu laki-laki dan perempuan, yang lelaki berdiri di depan sebagai imam, yang perempuan makmum di belakang.
Roni yakin kalau mereka bukan orang, makanya dia sangat ketakutan, gak berani ke luar kamar sampai pagi menjelang.
Berikutnya, kejadian seram ketika dia sedang menyapu villa di lantai satu.
Ketika sedang tekun menyapu lantai, Roni kaget karena mendengar ada suara cekikikan, suara perempuan tertawa. Sontak dia langsung melihat ke arah sumber suara, yaitu kamar tengah yang kebetulan pintunya terbuka lebar.
Awalnya Roni terdiam terpana, seperti terhipnotis, karena melihat pemandangan mengerikan di dalam kamar.
Ada seorang nenek yang sedang duduk di atas tempat tidur, rambut putihnya tergerai panjang, memakai baju terusan berwarna gelap.
Sosok nenek itu duduk menatap Roni yang sedang berdiri gak jauh, senyum mengembang di wajah pucatnya, sekitar kedua mata berwarna gelap, sungguh mengerikan penampakannya.

Hanya beberapa detik Roni memandang nenek itu, berikutnya dia terbirit-birit lari ke luar villa.
Peristiwa yang jadi pemicu dan semakin membulatkan tekad Roni untuk berhenti adalah di malam terakhir dia tidur di kamarnya.

Seperti biasa, setelah seharian bekerja malamnya kami berbincang sambil menonton tv di ruang tengah di rumah kecil tempat tinggal kami.
Seperti malam-malam sebelumnya, sekitar jam 10 malam rasa kantuk membuat kami harus tidur di kamar masing-masing, aku di kamar depan sementara Roni di kamar belakang.

Roni bilang malam itu dia langsung tidur, lelap di alam mimpi.
Tapi, menjelang jam dua dini hari Roni terbangun karena mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

Suara ketukan yang terdengar beberapa kali. Roni pikir itu aku, makanya dia langsung menjawab, “Iya Mat, sebentar.” Lalu dia berjalan menuju pintu untuk membukanya.
Betapa terkejutnya dia, ternyata bukan aku yang sedang berdiri di depan pintu, tapi ada sosok bapak tua yang dia sama sekali gak mengenalnya.

Bapak itu hanya diam berdiri menatap Roni, wajah tanpa ekspresinya jelas terlihat di keremangan cahaya.
Ketakutan yang masih memenuhi isi kepala, semakin membuncah ketika Roni tiba-tiba melihat ada sosok lainnya yang muncul dari bagian belakang rumah.

Ada sosok ibu tua dengan rambut panjangnya, berjalan mendekati Roni yang masih berhadapan dengan sosok bapak tua di depan pintu.
Ibu tua itu akhirnya berhenti dan berdiri tepat di belakang si bapak tua.

Mereka berdua berdiri menatap Roni yang masih saja diam dalam belenggu cekam ketakutan.

Wajah mereka pucat pasi tanpa ekspresi.
Tapi lambat laun, perlahan mereka mulai tersenyum. Mereka tersenyum menatap Roni dengan wajah yang sungguh menakutkan.

Entah datang dari mana, akhirnya Roni punya kekuatan untuk menutup pintu kamar. Membiarkan dua sosok menyeramkan itu tetap di ruang tengah.
Sambil menangis pelan, Roni duduk ketakutan di sudut kamar.

Berikutnya, suara ketukan pintu masih sesekali terdengar, itu sebabnya Roni gak bisa terlelap sampai pagi menjelang.
Esok paginya, dia langsung membereskan barang-barang, lalu bilang kepadaku kalau ingin berhenti dan pulang hari itu juga.
Aku bisa menerima dan mengerti alasan yang dikatakannya, karena kamar yang Roni tempati memang dulunya adalah kamar milik almarhum Pak Hendra dan Almarhumah istrinya.

***
Begitulah beberapa kisah yang aku alami selama bekerja di villa ini.

Banyak juga penyewa villa yang punya cerita seram ketika menginap di sini.

Sekadar info, aku masih bekerja di villa ini sampai sekarang.
Akan sangat senang kalau ada teman-teman yang berkenan membawa keluarga besar atau bersama teman kantor untuk menginap di sini, harga gak terlalu mahal, fasilitas lengkap.

Kalau tertarik bisa menghubungi Mas Brii, hehe. Gimana? Tertarik?

***
Hai, balik lagi ke gw ya, Brii.
🙂
Kapan-kapan gw akan ceritakan kisah seram dari sisi penyewa villa, bukan penjaganya. Sungguh gak kalah seramnya.

Sekian cerita malam ini, tetap sehat supaya bisa terus merinding bareng.

Met bobok, semoga mimpi indah..

Salam,
~Brii~
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Brii

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!