Seren Taun Adat Karuhun Urang (AKUR) Sundawiwitan Cigugur-Kuningan
Seren Taun, adalah suatu penamaan upacara syukuran masyarakat adat agraris di Tatar Sunda yang dilakukan pada masa panen tiba. Upacara syukuran terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Hyang Maha Kersa atau Hyang
Jatiniskala ini merupakan wujud ekspresi spiritual masyarakat Sunda Buhun dalam meneguhkan nilai-nilai luhur Karuhun Sunda atau Leluhur Sunda dalam menyongsong kehidupan masa datang yang lebih baik. Upacara Adat Seren Taun di Cigugur Kuningan ini setiap tahun dilaksanakan setiap
pada bulan Rayagung dalam Sistem kalender Penanggalan Saka Sunda, yang dilaksanakan puncaknya pada 22 Rayagung. Dengan demikian Upacara Seren Taun ini menyiratkan simbol merayakan keagungan dari Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa atau Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji. Namun
demikian, sungguh ironis, dalam kenyataan kehidupan sosial politik di negeri ini, masyarakat pengusung dan pendukung keberadaan upacara adat Seren Taun ini, yang notabene sebagai masyarakat penganut Sistem Keyakinan Leluhur Sunda atau agama leluhur Sunda atau yang dikenal dengan
sebutan Agama Sunda Wiwitan masih mengalami diskriminasi dengan belum terpenuhinya Hak-Hak sipil citizenship, seperti tidak bisa mencantumkan nama agama pada kolom agama di KTP, tidak dapat akte nikah yang dilangsungkan berdasarkan pada hukum agama leluhurnya (Sunda Wiwitan),
tidak bisanya anak-anak Sundawiwitan mendapatkan pelajaran agama di sekolah, dan diskriminasi lainya baik yang bersifat Diskriminasi Vertikal dan Diskriminasi Horizontal. Padahal semestinya Negara ada ditengah-tengah melindungi segenap kepentingan kehidupan warganegaranya tanpa
diskriminatif sesuai Ideologi Panca Sila dan Konstitusi Negara UUD1945.
Tragedi 1965 di Indonesia berupa sejarah kelam pembunuhan massal, penyiksaan, dan penghilangan paksa yang banyak dilakukan di luar hukum dan disponsori oleh negara. Pelanggaran HAM serius ini
berlangsung pada 1965-1966.
1 Oktober yang ditetapkan oleh Orde Baru (Orba) sebagai Hari Kesaktian Pancasila menjadi bagian dari rangkaian tragedi traumatis untuk memberi cap komunis atau PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap setiap warga yang dituduh tidak berideologi
Pancasila.
Pancasila sebagai dasar dan ideologi tunggal kehidupan berbangsa dan bernegara pada Orba menyingkirkan ratusan agama leluhur nusantara. Aluk Todolo salah satunya.
Para penghayat agama atau kepercayaan selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha oleh rezim
Jarang diketahui oleh masyarakat luas di Indonesia, jika beberapa rumah ibadah (Kelenteng, Vihara dan Bio) harus mengalami nasib yang sangat menyedihkan dibanding dengan rumah2 ibadah lainnya.
Kami di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa telah
mengunjungi sejumlah rumah2 ibadah dan menemukan beberapa informasi diantaranya (sebagian tak mau mengungkapkan karena khawatir dan takut) mengalami perlakuan tak semestinya.
Kekejaman sistematis terhadap etnis Tionghoa, terjadi begitu hebat kala pemerintahan orde baru berkuasa.
Inpres no.14 tahun 1967 , selain membatasi ruang gerak, orang2 Tionghoa juga dilucuti dari budayanya sendiri, bahkan agama. Tak ketinggalan regulasi tersebut, juga berdampak kepada eksistensi rumah ibadah orang2 Tionghoa.
Walaupun Kelenteng / Vihara / Bio adalah rumah ibadah
Jemaat vihara membersihkan patung di Vihara Kwan In Thang, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (30/1/2019). Ritual pencucian patung dewa serta bersih-bersih ini dilakukan dalam rangka perayaan tahun baru China atau Imlek tahun 2570. - ANTARA/Muhammad Iqbal
PSI Janji Berantas Praktik Pemerasan Rumah Ibadah Vihara dan Kelenteng
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menemukan berbagai praktik pemerasan terhadap rumah ibadah Vihara dan Klenteng di berbagai tempat di Indonesia.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengaku menemukan berbagai praktik pemerasan terhadap rumah ibadah vihara dan klenteng di berbagai tempat di Indonesia.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul "PSI Janji Berantas Praktik Pemerasan Rumah Ibadah Vihara
BEBASKAN DIRI DARI POLITISASI AGAMA (CITA-CITA NEGARA RASIALIS)
Kesadaran satu bangsa, Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 :
𝕂𝕒𝕞𝕚 𝕡𝕦𝕥𝕣𝕒 𝕕𝕒𝕟 𝕡𝕦𝕥𝕣𝕚 𝕀𝕟𝕕𝕠𝕟𝕖𝕤𝕚𝕒, 𝕞𝕖𝕟𝕘𝕒𝕜𝕦 𝕓𝕖𝕣𝕓𝕒𝕟𝕘𝕤𝕒 𝕪𝕒𝕟𝕘 𝕤𝕒𝕥𝕦, 𝕓𝕒𝕟𝕘𝕤𝕒 𝕀𝕟𝕕𝕠𝕟𝕖𝕤𝕚𝕒.
Sudah jelas dan bisa anda saksikan sendiri kan bahwa agama menjadi faktor pemecah belah bangsa kita? Fundamentalisme, radikalisme dan terorisme merebak? Generasi muda dan anak-anak yang terus menerus dicekoki dengan dogma2 intoleran dan kekerasan, dan segala macam kekejian
lainnya (dusta, hoax, pelintiran, kesaksian palsu, rasisme, kecurangan, korupsi, poligami, pedofil, dsb)?
Politisasi agama menyebar kebencian, egoisme dan menjauhkan sifat tepo seliro.... gotong royong.
Rakyat bertanya-tanya kenapa pemerintah tidak jua bertindak?
“Ajaran Mama Mei tidak berbeda dengan Sunda Wiwitan,” kata Engkus Ruswana. Sunda Wiwitan yang diacunya adalah kepercayaan paling asal di kalangan komunitas Sunda, yang kini dilestarikan oleh orang-orang Baduy di Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten, sumber dari semua sekte Sunda
Wiwitan yang berkembang di tanah Sunda.
Satu contoh, jika Agama Sunda Wiwitan menyebut Yang Mahakuasa sebagai Sanghiang Keresa, Agama Buhun menyebutnya Maha Kersa.
Baik Agama Sunda Wiwitan maupun Agama Buhun sangat menghormati alam, suatu heroisme yang tak ditemukan dalam Hindu
dan Budha. Robert Wessing, peneliti dari Universitas Western Kentucky, Amerika, dalam Cosmology and Social Behavior in West Java Settlement, menguatkan pendapat itu. Tesisnya, dalam masyarakat Sunda, alam adalah pusat kosmologi adat dan kepercayaan paling signifikan.
DI kalangan pemeluk Agama Buhun, Engkus Ruswana dikenal sebagai ketua umum Budi Daya, organisasi kemasyarakatan yang mengurusi para pemeluk ajaran Mei Kartawinata. Budi Daya hanyalah salah satu di antara tiga organisasi yang melayani para penghayat dari komunitas yang sama. Dua
lainnya Aji Dipa dan Aliran Kepercayaan Perjalanan (AKP).
Ruswana punya definisi tentang agama. Muasal kosakata “agama” menurutnya adalah hagama, dari bahasa Kawi. Ha untuk “ada” dan gamana untuk “aturan atau jalan”. Dari sana, Ruswana mengartikan agama sebagai “ada aturan atau
jalan (lebih baik)” dan ke sanalah sebenarnya tujuan ajaran-ajaran Mei Kartawinata bermuara.
Untuk membangun jalan dalam mencapai tatanan sosial yang lebih baik, Agama Buhun berpijak pada tiga elemen utama. Spiritualitas individu berdasar ketuhanan. Kemanusiaan berdasar