Yap Yun Hap adalah seorang aktivis Indonesia yang tewas ditembak aparat pada tragedi Semanggi II di usianya yang ke-21 tahun. #TionghoaBersuara
Yun Hap meninggal ketika bergabung dalam gelombang demonstrasi menentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang dibahas pemerintah dan DPR.
Sang ibu sempat mengingatkan Yun Hap untuk tak turun ke jalan. "Hap, jangan ikut. Tahun ini ciong siau ular," tulis Ho Kim Ngo dalam buku "Saatnya Korban Bicara: Menata Derap Merajut Langkah".
Ho Kim Ngo mengingatkan Yun Hap dengan mengaitkan tradisi China bahwa itu sebagai pertanda tidak bagus.
Namun, saran sang ibunda tak membuat Yun Hap menarik niatnya turun ke jalan. Pada 23 September 1999, rencana Yun Hap pun terlaksana. Dia bergabung menolak RUU PKB
Setelah makan, sekitar pukul 11.00 WIB, Yun Hap
menyetel TV dan melihat laporan berita terkait demonstrasi pada 23 September 1999. Dalam laporan pemberitaan itu terjadi korban luka dan meninggal dalam demonstrasi yang juga diikuti Yun Hap.
Ho Kim Ngo yang juga sama-sama mendengar laporan berita itu pun mengingatkan Yun Hap agar tidak turun ke jalan. "Hap, kamu jangan ikut demo lagi, itu lihat ada yang meninggal dan banyak yang terluka." Seperti sebelumnya, Yun Hap tetap pergi dan bergabung dalam demontrasi.
Benar saja, sekitar pukul 12.00 WIB, dengan membawa tas, Ho Kim Ngo menanyakan niatan Yun Hap, "Hap, kamu mau ke mana?" Yun Hap menjawab, "Mau ke kampus."
Ternyata, suara tersebut menjadi kali terakhir bagi keduanya berinteraksi. Saat meninggalkan rumah, hanya Ho Kim Ngo dan Liana yang mengantarnya.
Meskipun, Yun Hap tidak aktif dalam organisasi
formal seperti senat atau Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), tetapi keterlibatannya dalam aksi di jalan tidak dianggap heran oleh teman-temannya.
Yun Hap dikenal sebagai sosok yang gigih dalam membela rakyat tertindas. Ia diingat baik oleh teman-temannya sebagai orang yang memiliki inisiatif tinggi dan peduli.
Mari kita kenang Yap Yun Hap sebagai seorang yang berani dan juga berpihak pada mereka yang lemah. Yun Hap pernah berkata, ""Saya sekolah di UI, rakyat yang membiayai, yang mensubsidi. Maka saya harus berjuang untuk rakyat."
Semoga kita bisa meneruskan perjuangannya ✊
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Pada tanggal 5 Oktober 2020, para anggota Dewan “Perwakilan Rakyat” mengesahkan UU Cipta Kerja. Padahal, sejak masih dalam perancangan, UU ini sudah bermasalah dan menimbulkan banyak kontroversi.
Ini adalah sebuah pernyataan #MosiTidakPercaya dari kami kepada "wakil rakyat".
UU Ciptaker cacat sejak masih berbentuk draf. Beragam pasalnya tidak berpihak kepada masyarakat banyak, melainkan kepada oligark dan pejabat yang haus kuasa.
UU yang seharusnya menyejahterahkan pekerja justru merampas hak-hak dasar pekerja: kita semua. Tak pandang ras, agama, gender ataupun profesi.
Kami rasa Jessica tidak memahami konteks besarnya mengapa orang-orang begitu marah atas gugatan RCTI. Intinya jelas bahwa orang sudah tidak memiliki kebebasan berpendapat sebebas yang semestinya mereka dapatkan,
Jessica Tanoe is the daughter of Hary Tanoe, Indonesian media tycoon of MNC Media. She is also involved in the family business. This is her response regarding a broadcasting bill that RCTI filed for judicial review.
If the proposal is granted, the public will not be able to freely use broadcast features on social media platforms.
We don't think you understand fully the context to why people are angered. The point is clearly that people already don't have as much freedom of speech as they deserve...
Banyak Tionghoa-Indonesia beranggapan menjadi Tionghoa berarti harus memihak, berkiblat, dan membela Republik Rakyat Tiongkok (RRT) apapun alasannya, hanya karena leluhur kita berasal dari RRT.
Mengkritik RRT = pengkhianat leluhur dan identitas sendiri. Benarkah?
===THREAD===
Ingat, kita harus bisa memisahkan identitas kita sebagai komunitas Tionghoa-Indonesia dengan identitas orang Tionghoa yang berlokasi di RRT.
Sebagai komunitas diaspora, penting bagi kita untuk punya identitas sendiri.
Argumen bahwa Tionghoa-Indonesia identik dengan RRT adalah sebuah pengerdilan yang menguatkan pandangan rasis bahwa etnis Tionghoa adalah “perpetual foreigner” (orang asing abadi) di Indonesia.
Menilik dan meluruskan istilah Rasisme vs. Prasangka dalam konteks rasisme di Indonesia untuk membongkar realita dalam komunitas Tionghoa Indonesia. [A Thread]
Tim Suara Peranakan merasa perlu untuk meluruskan istilah antara rasisme vs prasangka untuk memperdalam pemahaman bersama tentang rasisme yang ada di Indonesia.
Faktanya, ini adalah realita yang ada di tengah masyarakat. Prasangka terhadap masyarakat non-Tionghoa di dalam komunitas Tionghoa Indonesia sendiri tidak bisa dipungkiri.