Ada juga yang mengemis dan menjadikan “ngamen” sebagai kedoknya di jalanan. Yang maksa juga ngga kalah banyak. Ini yang kerap menjadikan profesi “pengamen” mendapat stigma buruk di mata masyarakat.
Sulitnya lapangan pekerjaan, keterbatasan ekonomi, faktor lingkungan dan pendidikan menjadi sebab banyak dari mereka yang menjadikan jalanan sebagai ladang mencari nafkah. Masalah sosial ini tidak bisa dipandang dari satu sisi saja. Banyak hal yang yang menjadi penyebabnya.
Lahirnya perda-perda tibum (yang cenderung diskriminatif) menggeneralisir semua profesi di jalanan sebagai pengganggu ketertiban umum adalah akibatnya. Pengamen setara dengan pengemis, gelandangan bahkan orang dengan gangguan jiwa. Ada operasi, semuanya di angkut.
Kemudian lahirlah perda larangan memberi uang kepada pengamen karena dianggap sebagai pengemis. Padahal tidak pernah ada kajian tentang klasifikasi profesi yang komprehensif untuk orang-orang yang mencari nafkah di jalanan.
Itu yang @IMJ_ID lawan dengan keras. Seandainya ada ruang publik yang bisa diakses sebagai ruang ekspresi, tentu saja pengamen/musisi-musisi jalanan tidak akan beraktifitas di lampu merah atau di tempat yang sekiranya mengganggu aktivitas masyarakat.
Memperjuangkan akses ngamen di ruang publik bukan pekerjaan gampang. Kalau gampang, ngga akan gila-gila gw nabrakin diri ke mobil presiden. Beberapa kawan senior menyebut itu aksi “tolol”, tapi itu gw lakukan karena ruwetnya berhadapan dengan birokrasi yang kompleks.
Di beberapa kota, ngga jarang gw berhadapan langsung dengan anggota2 DPRD untuk berdebat pasal tentang “no tipping” ini. Bahkan di komisi X DPR RI pun gw keras banget soal ini. Tipping/sawer itu lumrah untuk pengamen, lihat aksi busker-busker di luar negeri.
Mereka diberi akses ngamen di ruang publik, ditonton orang banyak, mereka ngamen bahkan menggelar CD karya lagu mereka sendiri, dan menerima sawer/tipping langsung dari masyarakat yang menyaksikan pertunjukan mereka.
Seorang dewan dengan sotoynya bandingkan musisi2 jalanan kita dengan busker luar negeri, pas gw tanya apakah bapak tau kalau disana mereka dikurasi? apakah tau kalau dapat lisensi ngamen itu harus ada basic sekolah musik? trus bandingin dengan pengamen sini? sekolah aja ngga.
Makanya, di @IMJ_ID itu ngga sembarang pengamen bisa bergabung, ada sistem kurasi yang kami lakukan. Dari kualitas bermusik, penampilan, sampai attitude di gembleng habis-habisan.
Ada proses interview dan audisi, bukan pengamen iseng. Jadi wajar kalau kualitasnya bagus-bagu dan mereka inilah yang kemudian kami perjuangkan untuk dapat mengakses ruang publik.
Contohnya yang biasa kalian lihat di M Bloc, Thamrin 10 & MRT Bundaran HI. Mirip luar negeri kan.
Yang rambut merah namanya Ghusty, militan IMJ Semarang. Waktu SMP dia pernah ikut lomba rap gitu, jurinya kang Iwa, doi juara 1. Dream come true, momen 30 tahun Iwa K berkarya, doi dapat kesempatan emas berduet dengan idolanya di panggung Liztomania.
Di konser 30 tahun Iwa K berkarya ini, IMJ nurunin 2 team, plus 1 kelompok tunanetra, pecah sih konsernya. Gw bilang sama anak2, pas konser gw mau duduk anteng nonton konsernya, album Topeng itu pernah bikin satu Indonesia ini demam rap.
Saya akan menceritakan kronologis kejadiannya secara detil agar semua pihak dan masyarakat kota Depok dapat mengetahui kondisi yang sebenarnya.
Sejak 2019, @IMJ_ID & Pesona Square aktif komunikasi terkait program pengamen naik kelas yang memang menjadi salah satu program pemkot Depok sejak tahun 2016. Dimana musisi-musisi jalanan binaan IMJ Kota Depok diberikan akses untuk mengamen di Mall-mall yang ada di kota Depok.
Lagi beli kelapa muda, jadi inget tahun 2012 pernah dikasih bonggol kelapa, isi bonggolnya kuntilanak.
Bukan hoax loh, kuntilanak asli 😄
Ada yang mau tau kronologis ceritanya ngga? kebetulan lagi nyantai. Bukan thread-thread lah, share pengalaman aja 😄
Oke berhubung ada yang mau nyimak, gue ceritakan soal kuntilanak ini. Ohia, gue type orang yang harus liat dulu baru percaya yang mistis-mistis, ini cerita nyata tahun 2012. Mulai ya 😎