Alam akan memberikan kabar. Nenek moyang kita bangsa nusantara ini khususnya Jawa selalu gemar lelaku mendekatkan diri atau menyatu dengan alam guna mendapatkan kabar apa yang akan bakal terjadi di muka bumi sebelum ilmu teknologi seperti sekarang ini ada.
Lelaku lelana laladan sepi menghisap energi-energi alam semesta entah itu energi matahari, bulan bintang angin, atau air lautan dll semua ini bisa sangat bermanfaat apabila si pelaku spiritual tadi sudah bisa sambung rasa.
Sambung rasa atau selaras dengan alam bumi jawa tentunya harus sama gelombang energi elektromagnetik kita dengan si alam bumi jawa yang sudah di pasang dan di rancang oleh leluhur tanah jawa.
Bangun esuk meh rahina, jumedhul Hyang Surya mingip, ning tanceping cakrawala, sumunar cahya nelahi, nrabas mega ing langit, Sri kawuryan yen dinulu, indhenging jagat raya, sirna prabawaning ratri, byar padhang sumilak trawaca.
Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wos ing jiwanggo, melok tanpo aling-aling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelangut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Suksma.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Percaya tidak percaya. Kita harus kembali pada diri kita masing-masing. "Ingat ngger Leluhur sudah turun gunung". Persiapkan dirimu, leluhur sedang mencari wadah untuk singgah. Wadah itu ya diri kita ini. Yang jelas leluhur tidak asal pilih wadah.
Apabila leluhur sudah mengikutimu, membimbingmu. Hidupmu akan ayem tentrem. Beliau adalah guru spiritual/ghaibmu yang akan menuntunmu ke jalan Tuhan jalan kebenaran.
Pernahkah kamu merasa kalau dunia ini sudah tua? Leluhur turun gunung itu bukan asal turun, tapi beliau sayang terhadap kita anak cucunya, beliau nangis melihat tingkah-tingkah konyol kita yang serakah, sombong, merasa paling hebat, merusak tatanan alam, adu domba dll.
Jiwa yang tak terkendali vs Jiwa yang tak terkontrol.
Jiwa yang tak terkendali:
akan terus-menerus berubah-ubah, dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain. Jiwa bahkan tak mau tinggal diam barang sedetik pun. Tak lama setelah muncul suatu pikiran, pikiran lain datang, dan ini tidak pernah berakhir.
Sekalipun sedang tertidur, jiwa yang tidak beristirahat ini membuat susah kita dalam mimpi. Ia berteriak, melompat, memberi dan menerima pukulan sepanjang waktu.
1.Mbok Parawan sangga wang duhkiteng kalbu
Jaka Lodang nabda malih
Nanging ana marmanipun
Ing waca kang wus pinesthi
Estinen murih kelakon
Mendengar segalanya itu Mbok Perawan merasa sedih.
Kemudian Joko Lodang berkata lagi:
“Tetapi ketahuilah bahwa ada hukum sebab musabab,
di dalam ramalan yang sudah ditentukan haruslah diusahakan supaya segera dan dapat terjadi “.
2.Sangkalane maksih nunggal jamanipun
Neng sajroning madya akir
Wiku Sapta ngesthi Ratu
Adil parimarmeng dasih
Ing kono kersaning Manon
1. Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan langgeng, sing nganakake jagad iki saisine dadi sesembahane wong sak alam kabeh, nganggo carane dhewe-dhewe.
2. Pangeran iku ana ing ngendi papan, aneng siro uga ana pangeran, nanging aja siro wani ngaku pangeran.
3. Pangeran iku adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan.
4. Pangeran iku langgeng, tan kena kinaya ngapa, sangkan paraning dumadi.
5. Pangeran iku bisa mawujud, nanging wewujudan iku dudu Pangeran.
6. Pangeran iku kuwasa tanpa piranti, akarya alam saisine, kang katon lan kang ora kasat mata.
Di dalam pemahaman kebatinan dan spiritual yang tinggi, pemahaman kebatinan manusia akan sampai pada pemahaman yang dalam tentang Tuhan dan pemahaman yang dalam tentang sifat-sifat dan jati diri manusia yang sejati.
Puncak-puncak ajaran kebatinan tersebut diwujudkan dengan nama-nama ajaran kebatinan seperti ajaran Kasampurnan (kesempurnaan), Manunggaling Kawula Lan Gusti, Sukma Sejati, Guru Sejati, Sangkan Paraning Dumadi (hakekat/kesejatian manusia), dsb.
Nama-nama ajaran kebatinan di atas adalah konsep-konsep dasar dalam ajaran penghayatan kerohanian khususnya kejawen. Konsep-konsep tersebut diajarkan dalam banyak aliran kebatinan di Jawa dengan banyak istilah dan penamaan sendiri-sendiri.
Disini tidak akan membenarkan dan menyalahkan apa yang sudah terjadi dalam pemahaman soal keris dan tosan aji lainnya. Yang pantas dicari adalah bagaimana budaya keris atau tosan aji itu dapat memberi manfaat bagi kehidupan kita bersama.
Oleh karena itu, sekedar mau menyodorkan sebuah peringatan nenek moyang yang berbunyi "Janjine dudu jimat keramat, ananging angunging Gusti Kang Pinuji"
Keris bukan sebagai jimat, tetapi lebih sebagai piyandel (harapan, doa, dan kepercayaan)
Sebagai sarana memuji dan memuja Sang Pencipta. Intinya keberadaan keris tersebut harus berguna bagi masyarakat. Singkat ceritanya keris adalah ilmu dan dipandang sebagai sebuah manifestasi 'Semangat hidup dan kearifan Jawa', Jiwa Jawi.