Teguh Faluvie Profile picture
Oct 22, 2020 339 tweets >60 min read Read on X
BERSEMBUNYI DALAM TERANG
- Sebuah Kisah Perjalanan Mistik -

[ Based On True Story ]

HORROR(T)HREAD

------------

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor

#bacahoror #ceritahoror #ceritahorror
#horrorstory Image
Halo selamat malam, setelah lama sekali rehat karna kesibukan dan banyak hal lainya akhirnya saya kembali dengan judul baru, yang saya persembahakan untuk kalian.
Lamanya akun ini update cerita terbaru bukan karna bermasalah dengan judul sekarang yang akan saya bagikan, melainkan hanya kesibukan pribadi saja di real life yang tidak bisa dihindari.
Direct Message dari aa-aa dan kakak-kakak yang masuk menanyakan kabar dan kapan cerita baru hadir, terimakasih akhirnya sekarang bisa kembali berbagi, walau sekedar cerita horror.

Salam dan sekali lagi terimakasih banyak sebegitu antusiasnya aa-aa dan kakak-kakak!
Cerita kali ini adalah sebuah cerita perjalan mistik, kebetulan Narsum adalah sahabat saya sendiri, bahkan sudah seperti keluarga yang saya anggap seperti kakak saya sendiri.
Narsum setuju cerita perjalananya saya bagikan dengan tujuan hanya berbagi saja, selebihnya tidak berharap ada atau terjadi kejadian diluar dari cerita kali ini.
Jika beberapa pihak ada yang merasa tersinggung, saya mohon maaf dari awal, karna cerita ini adalah kisah nyata! sebuah perjalanan mistik, bersembunyi dalam terang!

Langsung saja saya mulai ceritanya.

Bismillah... selamat menikmati!
Bersembunyi Dalam Terang

Sebuah Kisah Perjalan Mistik

-Sudut pandang Andi-
Tidak terassa berjalanya waktu begitu cepat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah sebuah perjalan yang selalu menyimpan banyak cerita, walau ceritaku adalah lain (mungkin) hanya sebagian orang yang merasakanya seperti sama dengan apa yang aku rasakan.
Senang dengan sedih, bahagia dengan kecewa, senyum dengan marah, cobaan dan titipan adalah pasangan yang selalu memberikan banyak makna walau banyak lagi selain itu yang menghiasi warna-warna dalam kehidupan.
Pendidikan yang tidak mempuni, berlatar belakang dari keluarga yang seadanya jauh dari kata cukup serta berpindah-pindah pekerjaan adalah sebagian kecil gambaran hidupku, yang aku jalani tidak pernah lepas dari sebuah senyuman.
Sampai tidak terasa dengan waktu yang cepat sudah 12 tahun aku menekuni pekerjaanku sebagia tukang pangkas rambut, tapi perjalan mistik adalah mungkin jalan hidupku yang aku terima dengan lapang dada,
karna aku selalu yakin pencipta tidak pernah main-main menentukan suatu takdir untuk ciptaanya dan baginya bumi dan isinya terlalu kecil, dibandingkan dengan besarnya kuasa yang maha itu.
Selama waktu itu juga, pada kondisi saat ini atas jerih payah dan dukungan dari keluarga hal yang tidak mungkin, bisa saja jadi mungkin karna ada keinginan dan perjuangan didalamnya.
Aku sekarang mengontrak tempat di kampung halamanku (Kabupaten), tempatnya strategis dekat pasar, tidak terlalu jauh dari rumah, sebuah tempat yang aku beri nama Hijau Pangkas (tempat pangkas rambutku).
Pagi sampai sore hari aku habiskan waktu untuk keluarga karna aku memiliki satu anak perempuan paling kecil aku panggil “Dede” dan kakaknya laki-laki aku selalu panggil “kakak” panggilan terdekatku saja,
aku berkerja hanya pada sore hari setelah waktu ibadah solat Magrib dan tutup sampai sepi, karna pagi hari sampai sore ada satu temanku, Daud yang sudah ikut aku hampir 3 tahun lamanya.
Pada suatu sore, hari ini, setelah mengantarkan kedua anakku ke rumah neneknya karna memang tidak terlalu jauh dari rumahku, dengan alasan ibuku sudah memasak makanan kesukaan si dede dan si kakak.
baru saja turun dari kendaraaan roda duaku, karna sudah sampai rumah, tiba di ruang tengah rumah yang tidak terlalu besar ini, aku melihat istriku duduk dengan tatapan yang kosong, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“heh mah, sore-sore malah melamun kenapa...” ucapku, sambil duduk disebelahnya

“barusan bu Budi kesini nanyain aa, minta tolong anaknya pengen di liat sama aa, katanya setiap abis magrib suka kerasukan...” ucap Imas (istriku)
Tidak biasanya Imas memasang muka yang cemas seperti itu, biasanya jika istiriku sudah seperti ini pasti ada yang tidak baik-baik saja.

“maksudnya? Kan aku tidak bisa apa-apa mah...” tanyaku, sambil menatap Imas
“bu Budi itu sudah ke orang bisa gitu a, barusan aku tidak tega ngeliatnya sampe nangis, duduk disini. Malahan, katanya barusan juga berpapasan dengan aa dijalan pas aa sama s kakak sama s dede kayanya, sudah satu bulan lebih a seperti itu, kasian.” jawab Imas
Memang kabar beredar tentang Sely anaknya pak Budi sudah terdengar, dari salah satu langanan di pangkas rambutku itu, karna memang keluarga besar pak Budi sendiri orang paling terpandang, apalagi di dunia pemerintahan banyak keluarganya orang penting dan mempunyai jabatan.
Sementara bu Budi adalah salah satu ibu-ibu yang selalu rutin mengadakan pengajian dan Imas salah satu yang sering ikut pengajian bu Budi.

“kenapa aa yang sekarang jadi melamun sih a!?” tanya Imas, dengan nada kesal.
“mah, mamah lihat... aku aja tampilanya begini, mungkin orang-orang tidak akan percaya dengan apa yang aku bisa, lagian aku bisa apa? kalau Sely anaknya bu Budi mau di pangkas rambutnya aku bisa” jawabku sambil becanda
“gak lucu a! Sumpah! Kerasukanya sampai mengelurkan darah a, kasian...” ucap Imas

“iyah-iyah nanti aku ke rumahnya berkunjung saja, sebagai hormat aku karna bu Budi sudah berkunjung juga kesini, ngucapin terimakasih saja yah.” Jawabku dengan tenang
Akhirnya Imas tersenyum dengan apa yang sudah aku katakan, dan memang aku tau betul bagaimana caranya bikin istriku hanya untuk sekedar tenang, bukankah wanita selalu menyukai hal itu begitu juga dengan aku, ketenangan.
Aku berniat berkunjung ke rumah bu Budi sebelum magrib saja, sebelum datang ke pangkas rambut, yang memang kebetulan rumahnya bakal aku lewati. Di usiaku yang tidak muda lagi, karna aku lahir tahun 1980 awal dan hanya beda 5 tahun dengan istriku yang jauh lebih muda,
walau sekarang malah aku terkesan lebih muda, karna mungkin penampilanku yang aku sesuaikan dengan pekerjaanku, memangkas dan banyak bertemu dengan orang-orang baru.
“a itu tidak biasanya s Robin dari tadi berisik banget... udah dikasih makan belum” ucap istriku dari arah dapur, kebetulan aku sedang mengelap motor di rumah bagian depan

Tidak biasanya sore-sore begini si Robin (ayam pelung) bersuara biasanya juga ayam pemalas.
Kemudian aku berjalan langsung lewat samping rumah menuju kandang si Robin.

“astaghfirullahaladzim...” ucapku dengan gemeteran

Bagiamana Robin tidak berisik! Aku melihat ada 5 kera besar, yang sedang mengelilingi kandang Robin.
“eh malah melamun, nih kasih a, takutnya lapar kasian” ucap Imas dari pintu dapur.

Segera aku kasih Robin makan dengan kera-kera itu masih saja tidak bisa diam, dan seperti biasanya, istirku sama sekali tidak melihat keberadaan kera-kera itu.
Aku yakin ini bukan kera biasa dan tidak tau kenapa harus ada disini, dihalaman belakang rumah. Sambil membaca ayat-ayat dalam hatiku, dan sepertinya Robin sangat terganggu sekali dengan keberadaan kera-kera tersebut.
Suara khas dari kera-kera itu sangat berisik sekali, entah apa maksudnya sambil terus mencoba memberi makan robin, walau aku tau Robin bukan ingin makan melainkan terganggu, aku masih berpikir dan memperhatikan kera-kera itu.
Tidak lama salah satu dari kera itu memuntahkan darah sangat kental, bahkan lebih kental dari pada darah pada umumnya, seketika kera yang lainya bersorak seperti ada sebuah pesta, terlihat sangat senang sekali. Suaranya jauh lebih keras, sangat keras.
“ya Allah aa... kenapa muntah begini, masuk angin?” ucap Imas sambil mendekat padaku, dengan tatapan yang penuh khawatiran

“udah ayo masuk, kerokin saja mah punggung aku, sepertinya masuk angin” jawabku, sambil mengajak Imas (istiriku) masuk kedalam rumah dengan tergesa-gesa
Bahkan tidak biasanya muntahan aku hanya air saja yang keluar, padahal siang tadi aku makan dengan porsi yang normal, dan aku tidak tau kenapa harus muntah. Anehnya lagi, aku hanya heran tidak habis pikir saja, bukan karna merasa jijik melihat darah dari muntahan kera itu.
“tumben sekali sih a, segala muntah, mamah liatin aa malah ngelamun lagi deket kendang si Robin, liat apa lagi a?” ucap Imas, kelihatan sangat cemas sekali.

“engga mah, biasa aja, mungkin kurang istirahat saja…” jawabku dengan tenang, agar tidak membuat Imas cemas
“yasudah... sudah dikerokin gini nanti berangkat ke pangkas pake jaket yang agak tebelan, lagian gak usah jemput si dede sama si kakak, barusan mamah udah nyuruh adik mamah anterin ke rumah kalau udah mau pulang.” Ucap Imas dengan perlahan
Padahal aku masih saja menatap kera-kera itu semakin menjadi, semakin liar dan anehnya, Robin malah makin diam. Aku terus perhatikan dan tidak henti-hentinya bacaan dalam hatiku terus aku ucapkan.
“mamah nginap di rumah bapak saja yah malam ini, biar anak-anak juga engga pulang ke rumah, sekalian nanti aku ke pangkas, aku antarkan” ucapku dengan nada sangat datar

“iyah, mamah siap-siap dulu yah.” Jawab Imas, langsung bergegas
Imas pasti paham dengan sikapku yang kadang berubah mendadak seperti ini, pasti dia akan bertanya dengan seribu pertanyaan setelah melihat aku kembali seperti biasa.

Akhirnya aku biarkan saja kera-kera itu masih bergerak aktif didekat kandang Robin,
walau beberapa sudah ada yang diam dan hanya mentap ke arahku dengan sangat tajam.

Hari semakin sore, tepat jam 17:00 aku dan istriku Imas pergi meninggalkan rumah, setelah aku bersiap dan kembali mengecek ke kandang Robin,
ternyata kera-kera itu sudah tidak ada dengan sendirinya, “pertanda apa ini” ucapku dalam hati dengan gemetaran tanganku.

“ayo, sudah sore, takut entar aa telat ke pangkas, kasian si Daud pasti nunggu aa datang.” Ucap Imas
Perlahan perasanku semakin membaik, tidak terlalu memikirkan lagi soal kera-kera barusan, tapi niatku berkunjung ke rumah bu Budi tidak tau kenapa perlahan aku urungkan, walaupun tanpa alasan yang jelas.
“mamah turun didepan aja a, aa jangan ke dalam nanti kalau kedalam anak-anak kamu tau sendiri pasti rusuh.” Ucap Imas, ketika sudah sampai didepan rumah orang tuaku, yang kebetulan tidak terlalu jauh dari rumah.

“iyah aku langsung ke pangkas saja yah mah.” jawabku perlahan
“heh! Katanya mau ke rumah bu Budi, ayolah a kasian berkunjung dan mengucapkan rasa terimakasih engga ada salahnya.” Jawab Imas dengan sedikit mengomel

Akhirnya aku berjalan menuju pangkas, kebetulan pasti melewati rumah bu Budi itu.
Dari rumah menuju pangkas rambutku tidak terlalu jauh, 15 menit dengan kecepatan sedang mengendarai roda dua kendaraan sudah pasti sampai.

Tidak lama aku sudah berada tepat di rumah bu Budi, didepan gerbang masuknya, yang memang rumahnya terbilang paling besar
di daerah dimana aku tinggal, aku melihat sekitar hanya ada beberapa mobil yang terparkir tepat dihalaman rumahnya, tidak ada orang sama sekali.

“U… aku sepertinya telat datang ke pangkas, mau berkunjung dulu ke rumah bu Budi, ada keperluan...
...kalau mau pulang tutup dulu juga gak apa-apa, atau titipkan saja ke si Yayan” isi chat whats app yang aku kirim kepada Daud

“pasti si Uu bakalan lama balasnya, palingan sedang banyak yang antri di pangkas” ucapku dalam hati, baru saja mebakar satu batang rokok sambil -
- tetap melihat sekitar, berharap ada orang yang melihat keberadaanku ini. Tiba-tiba dari arah kejauhan terlihat perempuan tua berjalan menuju arahku, ke arah gerbang dimana aku masih duduk di atas kendaraan roda duaku ini.
“pak Andi, alhamdulillah, ibu sudah menunngu pak didalam silahkan masuk” ucap peremuan tua itu sambil membukaan pintu gerbang

“Iyah betul ibu, mohon maaf sebelumnya, kenapa ibu bisa tau nama saya langsung hehe” ucapku sambil menicum tanganya, bersalaman
“kan Ibu sudah bilang, barusan sepertinya Ibu bicara dengan istri pak Andi, makanya pas Ibu lihat di jendela langsung suruh saya buka gerbang.” Jawab perempuan tua menjelaskan

Segera aku masukan kendaraanku ke dalam dan mengambil parkir disebelah mobil-mobil yang sudah berjajar
“baru pertama aku masuk kedalam, ternyata didalam jauh lebih besar bangunan rumah ini” ucapku dalam hati.

“ayo pak Andi masuk, didalam sudah ada para ustad-ustad juga yang baru selsai ikhtiar nyembuhin non Sely” ucap perempuan tua, sambil membukakan pintu
Benar saja didalam sudah ada 3 orang yang berpakaian rapih. Mengunakan kopiah dan tentunya juga sorban, aku langsung mengucapkan salam.

“asalamualaikum…” ucapku, sambil bersalaman mencium tangan satu persatu tamu yang perempuan tua itu adalah ustad-ustad -
- dan tidak lupa juga kepada pak Budi yang memang ada sedang berkumpul

“Ndi, silahkan-silahkan duduk.” Ucap pak Budi sangat ramah sekali

Segera aku duduk dengan sangat sopan, tapi mungkin ketiga orang tersebut merasa aneh dengan kedatangku ini,
apalagi melihat pemampilanku dengan mengunakan celana robek di bagian lutut sebelah dan mengunakan kaos band, mungkin lagi dipikiran mereka “siapa orang ini” karna tatapanya jelas, tatapan meragukan walau tidak menjatuhkan atau meremehkan aku.
Aku hanya membalas tatapan mereka dengan tersenyum saja.

“tadi setelah Asar ibu datang ke rumah Andi, pulang-pulang cemberut katanya kebetulan tidak bertemu, kata saya kebetulan itu harusnya ketemu hehehe” ucap pak Budi sambil becanda
“iyah pak, ibu mohon maaf kedatangan saya kesini tidak lain dan tidak bukan mau mengucapkan terimakasih kepada ibu yang sudah berkenan datang ke rumah saya, dan mohon maaf sekali waktu ibu kerumah -
- sepertinya saya sedang berada di jalan mengantarkan anak-anak ke rumah kakek dan neneknya” jawabku dengan perlahan

“tidak apa-apa Ndi, lagiankan, akhirnya juga nak Andi kesini, istri nak Andi sudah cerita, dan menyapaikan pesan kepada nak Andi?” tanya bu Budi
“alhamdulillah sudah bu, tapi kedatangan saya kesini sekali lagi, berterimaksih dan silaturahmi saja mampir, sekalian mau berangkat ke pangkas” ucapku dengan perlahan

Tiga orang tamu lainya masih sama terlihat heran melihatku, entah apa yang ada dipikiran mereka,
baru saja aku selsai bicara, tiba-tiba suara kera yang sebelumnya sudah aku dengar dan hapal betul ada lagi, benar saja posisiku duduk menghadap ke arah tangga. Dan kera-kera mungkin sama sebelumnya ada didekat kandang Robin, sekarang satu persatu turun dan berdiam ditangga
jumlahnya jauh lebih banyak sangat banyak!

“anak bungsu saya Sely sudah sakit lama, medis dan segala hal termasuk bapak-bapak ini sudah mencoba dan berusaha menyembuhkannya, tapi hasilnya selalu sama dan tetap mengeluarkan muntahan darah” ucap pak Budi dengan perlahan
“harusnya, dengan muntahan darah seperti itu, mempengaruhi ke hal medis, tapi dari medis tetap mengatakan; anak ibu hanya kurang istirahat saja, jauh sekali dengan kenyataanya, kerasukan hampir setiap waktu menuju sore berakhir, pasti terjadi.” sahut bu Budi menambahkan
“mohon maaf ibu, bapak sekiranya lancang, saya juga sama tidak bisa menyembuhkan orang sakit, kita juga sama selanyaknya manusia, tapi kepercayaan ibu berkunjung ke rumah sudah sangat membuat saya merasa di hormati, cara saya menghormati balik hanya berterimaksih...
...kepada Ibu dan bapak” ucapku menjelaskan dengan perlahan

Baru saja selsai aku bicara tiba-tiba, perempuan tua yang sebelumnya datang membukakan gerbang untukku, turun dari lantai dua dengan terlihat rusuh, sangat buru-buru sekali.
“bu, bapak maaf non Sely seperti biasa lagi, sekarang lebih parah muntahanya malah dibalurkan ke muka, saya udah berusaha menahan, tenaganya makin besar” ucap perempuan tua dengan panik.

Ucapan perempuan tua itu membuat seisi di ruang tamu ini menjadi sangat kaget
termasuk aku, tiga orang itu segera bergegas mengikuti langkah bu Budi yang langsung menuju lantai dua rumah, sementara aku masih saja duduk berdua dengan pak Darma. “apa ketiga orang itu tidak melihat kera yang sangat banyak” ucapku dalam hati.
“Andi, tolonglah bapak, sudah terlalu lama Sely sakit tidak wajar seperti ini, tolong sekali…” ucap pak Budi, dengan sangat memelas

Aku tidak tega melihat orang seperti ini, aku juga paham terlepas dari apapun masalahnya, rasa cinta orang tua kepada anaknya begitu tulus,
sama denganku karna memiliki anak juga.

Aku masih diam, menatap ke arah tangga yang masih banyak kera-kera itu diam, pak Budi tidak bicara lagi hanya memperhatikanku dengan tatapan heran.

“Andi melihat apa sampai segitunya?” tanya pak Budi
“tidak pak, baik saya akan mencoba melihat non Sely saja ke atas, bilanya yang memiliki kekuasaan akan bumi serta isinya ini (AllahSwt) mengizinkan saya dan membisakan saya menyembuhkan anak bapak, insallah saya usahkan pak” ucapku dengan perlahan
Keringat di badanku perlahan turun, rasa mual ketika dirumah kembali juga aku rasakan “apa ini kaitanya, kera-kera dirumah yang membuat aku sampai muntah” ucapku dalam hati.

“alhamdulillah, baik Ndi mari dengan saya ke kamar anak saya” jawab pak Budi terlihat tenang.
Segera aku berjalan mengikuti langkah pak Budi, melewati kera-kera yang masih diam ditangga, anehnya ketika pak Budi melewati kera-kera tersebut, tiba-tiba mereka langsung seperti girang! bersuara semakin keras, sangat keras.
Aku abaikan saja dan terus berjalan melewati satu persatu anak tangga.

Sampai di lantai dua, aku di kejutkan, seisi lantai dua kera-kera itu semakin banyak bahkan lebih banyak dari pada yang sebelumnya aku lihat, aku masih tidak bicara apapun.
Suara kerasukan Sely semakin aku dengar dengan jelas. Terlihat di kamar Sely sedang di pengangi kedua tangan dan kakinya, meronta-ronta dengan terikan yang tidak jelas, benar saja seprai kasur yang berwarna putih bermotif bunga itu sudah berceceran darah, dari muntahan Sely.
“tidak biasanya ini kerasukan Sely yang pling parah pak.” Ucap bu Budi

Aku masih mematung, memperhatikan seisi ruangan dan ketiga orang itu sedang berusaha menyembuhkan Sely. Tiba-tiba Sely diam, aku terus membaca apa yang aku bisa didalam hati.
Hampir seisi ruangan itu juga kaget, karna tatapan muka Sely mengarah ke arahku. Bahkan tanganya menujuk, dengan mata yang hampir mau lepas. Aku melihat ke arah lemari besar pakaian Sely, ada seorang perempuan sangat cantik,
sedang mengayunkan kakinya berkali-kali dan tersenyum manis melihat ke arahku.

“lepaskan saja, kasian jangan di pengangi seperti itu” ucapku dengan tegas
Akhirnya bu Budi, dan ketiga orang itu melepaskan Sely yang otomatis membut mereka semakin aneh kepadaku.
Begitu tangan Sely dilepas, dengan tiba-tiba dan membuat semua orang yang ada di dekat sely menjadi kaget, karna Sely memperagakan selayaknya kera berperilaku, berjingkrak-jingkrak sangat aktif, dan memang sangat seram, apalagi rambut panjangnya yang sudah berantakan
bahkan sudah satu kali lagi memuntakan darah sangat banyak.

“tolong dan mohon maaf ibu, bapak dan semuanya bisa meninggalkan kamar ini” Ucapku dengan gemetaran, karna menahan rasa yang tidak bisa jelas aku ceritakan kepada mereka sebagai alasan.
Aku yakin tatapanku kepada mereka mungkin sudah beda, karna itu bu Budi, pak Budi juga perempuan tua dan orang bertiga itu segera langsung berjalan keluar, sementar Sely masih saja seperti tadi, kasur tempat tidur Sely juga sudah sangat berantakan sekali.
Segera aku tutup pintu kamar dengan perlahan dan perempuan cantik yang sebelumnya aku lihat di atas lemari sudah berada duduk di ranjang sambil mengelus-ngelus rambut Sely yang sudah kembali tertidur.
“perjanjian itu sudah dilalukan, ada darah yang harus dibayar dengan darah, ada keinginan yang harus dibayar dengan keinginan, semuanya berimbang, anak ini sudah menjadi miliku!” ucap perempuan cantik itu berbicara sangat lembut sekali
Aku masih diam dan sambil berdiri tidak berhenti membacakan apa yang aku bisa, keringat dan rasa ingin muntah terus aku rasakan, bahkan semakin sakit dan keringat semakin mengucur deras, apalagi aku mengunakan jaket yang lumayan tebal.
Tiba-tiba perempuan cantik itu menjambak rambut Sely sambil berteriak, aku terus meminta pertolongan Allah Swt dan terus membacakan dalam hati dengan menatap tajam perempuan cantik itu.
Teriakannya semakin kencang, “aku bakalan datang lagi, lihat saja!” dan hampir saja aku muntah karna menahan rasa mual, tanganku terus bergetar dengan kencang.

“alhamdulillah…” ucapku

Posisi Sely masih tertidur dengan posisi yang masih sama tidak beraturan.
Aku segera membuka pintu perlahan. Diluar bu Budi sudah terlihat menangis.

“bagaimana Ndi…” tanya bu Budi dengan air mata yg masih terlihat di kedua pipinya

“alhamdulillah, rapihkan saja dulu posisi non Sely bu, terus aku minta air minum” ucapku sambil membukakan pintu kamar
Ketiga orang itu langsung menyapku dan menepuk pundaku “alhamdulillah, maaf sebelumnya kami punya perasangka yang tidak seharusnya kami ikuti perasangka tidak baik itu kepada bapak”

“tidak apa-apa pak, lagian kita masih sama manusia...
...hilaf dan segala kesalahan adalah milik kita yang masih hidup” ucapku sambil tersenyum

Tidak lama dari itu, adzan magrib berkumandang dengan jelas, aku segera menghampir Sely yang masih saja tidur.
“bu, bapak, karna saya harus ke pangkas, kasian juga teman saya mau bergegas pulang, kalau non Sely sudah siuman tolong minumkan dulu air ini yah” ucapku, sambil memberikan air minum yang sudah aku pegang

“tidak magriban dulu disini aja Ndi tanggung” sahut Pak Budi
“nanti saja pak, lagian baru adzan” jawabku dengan perlahan

Segera pak Budi mengantarkan aku ke depan rumahnya, kera-kera yang sedari tadi memenuhi lantai dua rumah dan tangga ketika aku melewati kembali sudah tidak ada.
Sampai didepan ketika aku bersalaman dengan pak Budi untuk pamit, tiba-tiba pak Budi menyodorkan amplop sebagai rasa terimakasihnya kepadaku.

“Ndi ini ada sedikit titipan dari bapak dan ibu untuk istri dan anak-anak” ucap pak Budi
“terimakasih pak atas niat baiknya, atas rasa hormatnya kepada istri dan anak-anak saya, saya terima niat pak Budi, alangkah baiknya, bapak berikan saja kepada anak yatim dan niatkan untuk kelancaran kita semua dan kesembuhan anak bapak, non Sely” jawabku sambil tersenyum
Pak Budi tiba-tiba terdiam, ada perasaan bersalah dengan apa yang aku katakan barusan, tiba-tiba mengangguk dan tersenyum, kemudian aku balas juga dengan senyuman.

“baik Ndi, jam berapa kamu suka ada di pangkas? Nanti saya berukunjung.” Ucap pak Budi
“saya hanya ada malam hari saja pak, silahkan dengan senang hati.” Jawabku dengan perasaan tenang, karna pak Budi aku yakin memahami apa yang aku mau, bukan maksud merendahkan niat baiknya, karna selalu ada niat yang terbaik dari yang baik sekalipun.
Aku pamit meninggalkan rumah pak Budi dengan perasaan tenang, soal kesembuhan Sely yang aku pikirkan selama perjalan singkat menuju pangkas, apapun juga pasti ada resikonya apalagi ada sebuah perjanjian dengan mahluk lain,
yang membuat aku juga tidak menyangka, tapi kembali lagi itulah manusia.

“memang belum sembuh, keinginan orang tuanya sembuh harus sebanding juga dengan ikatan perjanjian yang mereka buat” ucapku dalam hati, dan mulai mengesampingkan pikiranku terhadap keluarga pak Budi.
Sampai di pangkas dengan keadaan keringat yang belum selsai reda, terlihat Yayan sedang sibuk di warung kopinya dan Daud sama masih berdiri dibelakang kursi pangkas, karna masih terlihat beberapa antrian orang.
“a maaf barusan belum sempat balas chat…” ucap Daud, melihat kedatanganku yang baru saja turun didepan parkiran pangkas

“udah engga apa-apa U, U aku ke mushola sebentar.” Jawabku

“keringetan banget a, beres dari rumah pak Budi?” tanya Daud
“abis olahraga aku U hehe” jawabku becanda

Selsai menunaikan ibadah, barulah Daud pamit pulang dan menyetor padaku sesuai perjanjian dalam kerjaan, dan Yayan tau betul, pasti saja ketika Yayan tau aku sudah disini, segelas kopi hitam pasti dia antarkan.
“tumben a telat datangnya…” ucap Yayan sambil menyimpan kopi

“biasa Yan…” jawabku sambil mengedipkan mata

“alhamdulillah, a bulan ini alhamdulillah yayan udah bisa bayar kontrakan dan ada lebih juga buat istri di rumah.” Ucap Yayan
Aku senang senang sekali mendengar apa yang Yayan ucapkan barusan, karna dia baru saja satu tahun mengontrak disamping tempat pangkasku ini, dan memang karna aku juga yang menyuruh yayan berjualan kopi, walau memang tahun pertama aku yang membayar uang kontrakan.
Karna yang punya memang sitemnya harus satu tahun bayar.

Malam ini satu persatu kepala, aku rapihkan rambutnya, tapi yang lebih menarik dari pada proses mencukur adalah sebuah obrolan dan ceritanya,
tidak jarang hampir semua cerita aku dengarkan dari yang datang ke pangkasku ini dan memang kebetulan aku lebih suka mendengarkan dan becanda saja, sehingga orang-orang mungkin berasa lebih nyaman berkunjung lagi kesini sebagai langganan.
Biasanya orang-orang langgananku memang sengaja memangkas rambutnya malam hari, karena sudah tau jadwalku saja ada disini memang hanya malam, diatas jam 11 malam ini, pangkas lumayan sepi, banyak waktu untuk aku sekedar menghabiskan rokok.
“a tadi abis isya bu Budi tlp, ngucapin terimakasih, bingung katanya pak Budi mau ngasih ke aa tapi malah aa tolak” chat Imas, istriku.

Aku hanya tersenyum, dan tau betul istriku seperti apa orangnya, padahal kebaikan yang aku tanam buahnya untuk keluargaku sendiri.
“tidak terasa 15 tahun sudah aku berkelurg, dan Imas masih saja seperti awal yang aku kenal seperti apa.” Ucapku sambil tersenyum.

Pesan dari Imas tidak aku balas, karna aku tau nanti juga seribu pertanyaan ketika di rumah akan menghampiriku dari Imas.
Aku segera keluar pangkas dan duduk di tempat kopi Yayan, sambil kembali mengabiskan batang perbatang rokok.

“ngapain kamu Yan?” tanyaku

“eh a biasa, itung-itung buat bayar si kecil mau masuk TK” jawab Yayan sambil senyum
“alhamdulillah, tumben malam ini sepi yang ngopi yan?” ucapku

“warung inikan gimana pangkas aa, kalu pangkas aa rame yah yang pesen juga rame a” jawab Yayan sambil duduk disampingku
Memang benar, sayangnya aku hanya mempunyai dua kursi pangkas saja, tapi karna itu juga bisa membuat Yayan mempunyai pekerjaan, dan warungnya terbawa ramai.

“ah a kalau bukan karna aa, aku sudah tidak tau usaha apa a” ucap Yayan tiba-tiba
“karna aku? Enak saja. Mulai lupa nih?” jawabku

“hehe iyah karna Allah a.” ucap Yayan sambil tersenyum malu

“iyahlah Yan, lagian aku cuman bisa membantu yah selebihnya kamu yang usaha, istri dan anak-anak kamu juga yang ikut mendoakan...
...kita tanpa orang-orang yang mendoakan tidak akan menjadi apa-apa.” Jawabku sambil mengedipkan mata

Ucapanku itu membuat aku dan Yayan ketawa, karna sudah sering aku katakan kepada yayan berkali-kali, bukankah saling mengingatkan adalah kewajiban.
Malam ini sekitar jam 02:00 pangkas sudah tutup, sudah tidak terhitung berapa kepala malam ini yang aku rapihkan rambutnya, dan sudah banyak juga cerita yang aku dengarkan, obrolan bagiku penghangat di kerjaanku ini. Karna belajar dari orang lain masih aku butuhkan.
“Yan, aku pamit pulang duluan yah.” Ucapku sambil beres-beres pangkas

“iyah a, yayan juga sama ini udah mau beres-beres” jawab Yayan

Akhirnya aku pulang menuju rumah, sampai di rumah aku mandi, dan menunaikan kewajibanku sebelum istirhat untuk tidur.
“untuk apa kamu ganteng, ikut campur urusanku hah”

“siapa kamu?” ucapku sangat kaget

“sudahlah, anak itu sudah menjadi miliku, bapaknya sendiri yang kasih kepadaku anak itu, jangan menghalangi, paham!” ucap perempuan cantik membentak dengan keras
Aku masih sadar dan belum tertidur, aku bukakan mata dengan perlahan.

“pak Budi” ucapku

Aku punya hutang, banyak hal yang harus aku sampaikan kepada pak Budi, besok aku harus bertemu.
Perjanjian dengan alam lain memang sampai kapanpun adalah perjanjian, bisanya semakin diikuti semakin parah perjanjian itu.

Dan perjalananku semakin aku yakini sejak tahun 2000 adalah pejalanan mistik yang penuh pengalaman dan cerita.
*** pembuka ceritanya segini dulu 🙏🏼🔥

Selanjutnya cerita masa lalu Andi, keluarga pak Budi dan yg lainya.

Selamat menikmati, semoga rindu bertemu dalam cerita perlahan terbalaskan dengan judul baru ini, salam! Gak bakalan lama lagi di up lanjutannya, salam! 🙏🏼🙏🏼🙏🏼
*** oke kita lanjutkan malam ini sedikit demi sedikit agar ceritanya berlanjut, langsung aja kita mulai, bismillah.
“Mah... sesudah solat subuh aa jemput, ini sudah di rumah mau tidur.” Isi singkat chatku mengabari Imas

Memang bertukar kabar dengan Imas di usia pernikahan yang sudah berjalan lama adalah salah satu cara untuk mempertahankan harmonisasi keluarga kecilku.
Walau kadang membuat aku merasa geli sendiri, tapi perkembangan jaman dengan segala teknologi yang sudah maju, aku harus membiasakan dan akhirnya terbiasa.
Banyangan tentang Sely masih saja ada dalam pikiranku, walau aku mencoba untuk semakin tenang, tapi sama sekali tidak membuat aku nyaman dengan pikiran ini.
“bukan waktu yang tepat menyalahkan, lagian siapa juga manusia yang hidup tidak mempunyai salah” ucapku, ketika ingat dengan kalimat “perjanjian” dan pada keluarga pak Budi
Perlahan, mata mulai berdamai dengan diri.

meminta maaf kepada pencipta untuk hari ini atas segala kesalahan yang tidak aku sadari dan berterimakasih atas segala kelancaran yang aku alami akan hari ini, adalah salah satu kebiasaan yang terus aku jaga,
agar nikmat dikemudian hari bertambah.

“Ash-shalaatu khairum minan-nauum… ” terdengar dari suara Adzan Masjid, segera aku bukankan mata perlahan, tidak terasa tidur barusan sangat sebentar, tapi yang membuatku merasa cukup adalah nikmat istirahatnya.
Setelah melaksanakan kewajiban, tidak lupa aku memberi makan pagi si Robin, ayam yang sejak lama dari kecil aku besarkan, yang heran memang ayam lainya bersuara ketika pagi hari, Robin harus diberi makan dulu baru bersuara.
Selsai, langsung mengeluarkan kendaraan roda dua dan berjalan dengan pelan menuju rumah ibu. Sampai disana benar saja, ketika masuk langsung ke rumah karna memang biasanya bapaku yang sudah tua itu dari pagi yang masih gelap sudah bergegas ke sawah.
“asalamualaikum…” ucapku sambil masuk ke dapur dan mencium tangan Ibu, karna memang biasa ibu jam segini di pagi hari pasti memasak, hanya sekedar nantinya mengantarkan makanan untuk bapak ke sawah yang tidak terlalu jauh letaknya.

“walaikumsalam…” jawab Ibu juga Imas
“nak, bagaimana anaknya bu Budi itu, semalem Imas cerita.” tanya Ibu sangat penasaran

“ya begitulah bu, sakit, tapi alhamdulilah sudah mendingan.” Jawabku sambil menikmati kopi yang sudah Imas buatkan
“sudah menjadi gosip a di kalangan ibu-ibu pengajian katanya anaknya dijadikan tumbal oleh keluarganya sendiri” sahut Imas, sambil menyodorkan singkong goreng

“aku kurang tau mah, lagiankan ibu-ibu pengajian ibu-ibu yang suka mengaji...
...makanya aa suka bawel sama mamah sama ibu juga, pengajian boleh, ilmunya yang dipake sayangloh malah jadi membicarakan kejelakan orang lain kan tidak baik, berperasangka baik saja dulu.” Jawabku kembali mengingatkan
Imas dan Ibu hanya tersenyum dan pasti sudah tau betul dengan sosok aku yang tidak terlalu suka membicarakan keburukan orang,
“bukankah kita sama adalah kumpulan dosa-dosa”

“iyah Ibu juga ingat Ndi, tolonglah selagi kamu bisa yah kasian...
...kata kamukan menolong bukan sekedar materi tapi ada tanggung jawab kita pada kehidupan, bukan begitu” ucap Ibu sambil duduk juga disampingku

Sekarang giliranku yang dibuat tersenyum oleh Ibu dan Imas,
memang aku selalu senang dengan keadaan seperti ini menghiasi dibalik kehidupanku setangahnya selalu berusan dengan alam lain, akibat ulah manusia itu sendiri.

Karna anak-anak belum bagun dan Imas berniat menemani ibuku ke sawah mengantar makanan
akhirnya aku hanya menghabiskan waktu di rumah ibu saja beristrahat dan membaca buku-buku yang mungkin sudah dua sampai tiga kali aku tamatkan.

Tidak terasa seharian berada di rumah ibu menghabiskan waktu bermain dengan anak-anak juga bercengkrama dengan bapak
adalah waktu terbaik untukku pada waktu sekarang, sore hari kebetulan sekarang adalah malam jumaat, segera aku pamit dan izin pulang kepada ibu juga bapak karna memang selanjutnya adalah kembali berkerja.
“pak jangan lupa besok jumaat, udah siap amplop buat besoknya” tanyaku

“sudah ndi, alhamdulilah bertambah sekarang jadi 40 orang ndi” jawab bapak dengan tersenyum

“alhamdulilah, semoga menjadi kesehatan dan kelancaran kita semua yah pak” ucapku sambil pamit
Di perjalan pulang aku selalu tersenyum ketika mengingat pada omongan orang-orang “si andi orang sakti, orang pintar, bisa menyembuhkan” dan banyak lagi yang hampir saja membuat aku sendiri tidak paham dengan pemikiran mereka, padahal kuncinya hanya satu “sedekah”

***
“mah aa langsung ke pangkas yah” ucapku pamit kepada Imas

“ganti dulu ih itu bajunya a” jawab Imas
Segera aku turun dan menganti pakaianku, walau yah tetap sama tidak pernah rapih dan terkesan seadanya saja.
“pengen buang rasanya celana robek-robek aa itu, tapi gimana pasti aa cemberut kaya tidak pernah punya yang bener saja” omel Imas

Tidak aku tanggapi hanya tersenyum dan pamit serta meminta doa kepada Imas agar kerjaanku lancar,
segera aku berangkat dan kembali melewati rumah pak Budi. Niatku ingin berhenti besar, tapi keyakinanku akan berjumpa dengan pak Budi di pangkas juga lebih besar, padahal sudah sangat pelan sekali lewat didepan rumahnya itu.
Sampai di pangkas aku melihat Daud sedang duduk saja sore ini, melamun malah.

“heh! Malah melamun, tuh bentar lagi ada yang mau di cukur anak-anak banyak...” ucapku sambil duduk disamping Daud

“ah aa bisa aja, tau dari mana coba” jawab Daud sambil becanda
“eh di kasih tau inimah anak malah gak percaya 5 menit lagi, serius inimah” jawabku sambil becanda juga

Daud hanya tersenyum dan tetap tidak percaya dengan apa yang aku katakan.
“eh eh a tuh hampir lupa, pak Budi barusan abis asar kesini mampir, katanya mau dipangkas sama aa tapi rambutnya masih pendek, aneh” ucap Daud

“U kan yang mau di pangkas pak Budi kenapa yang jadi aneh kamu” jawabku sambil becanda, juga mengundang tawa Daud
“a mau di pangkas” ucap satu anak didepan pangkas

Daud hanya mengelengkan kepala sambil melihat ke arah jam dinding yang terpasang di dinding pangkas

“kurang dari lima menit a” ucapnya sambil mempersilahkan 4 orang anak yang datang ke pangkas untuk masuk dan antri menunggu
“ya gimana gak tau, orang anak-anak ini jalan aku lalui duluan U, pas dijalan sana aku liat rambutnya panjang-panjang ya mau apalagi pasti kesini” jawabku sambil tersenyum

Daud hanya senyum dan pasti berpikiran aneh padaku, apalagi dengan tebakan barusan.
“U gak becanda pak Budi kesini?” tanyaku, yang mulai kembali terpikiran kejadian malam sebelum tidur

“iya cuma nanyain aa doang, udah itu pergi lagi.” Jawab Daud sambil kembali memangkas

Tidak lama adzan magrib hari ini berkumandang
setelah selsai menunaikan kewajiban segera aku berkerja dan itu juga tandanya Daud sudah harus pulang.

Seperti biasa prinsip sebuah pekerjaan seperti yang sedang aku jalani seperti ini, sekalinya ramai, ramai sekali.
Sekalinya sepi, sepi sekali, kang apa yang kita butuhkan akan kalah dengan apa yang kita inginkan.

Hanya baru beberapa orang saja sampai jam 22:00 malam ini, yang silih berganti duduk di kursi pangkasku yang sudah lumayan berumur ini.
Baru saja selsai memangkas seorang remaja, tiba-tiba sebuah mobil bisa dikatakan tidak biasa berhenti tepat di depan pangkas rambutku ini.

“asalmualaikum Ndi…”

Pas aku lihat benar saja apa yang sebelumnya dikatakan oleh Daud, soal kedatangan pak Budi.
Benar saja sekarang pak Budi sudah berada tepat di pintu masuk pangkas

“walaikumsalam, pak Budi, silahkan pak masuk…” ucapku langsung bersalaman mencium tangan pak Budi dan langsung mengelap kursi yang sudah tidak bagus lagi, apalagi yang datang bukan orang biasa.
“Ndi, tidak usah seperti kedatangan siapa saja, segala harus dilap…” jawab pak Budi dan supirnya yang langsung aku lihat duduk di tempat kopi Yayan

“hehe… tidak apa-apa pak, lagian kursinya sudah kotor, maklum pak, pangkas saya hanya segini adanya” jawabku, sambil duduk
“pangkasnya biasa, tapi pangkas ini sudah terkenal kemana-mana kan Ndi, pasti Andi dan Hijau pangkas sudah akbrab banget kalau udah urusan mencukur rambut, saya ini mau dirapihkan saja Ndi.” Ucap pak Budi sambil mengelus kepalanya sendiri

“baik pak silahkan…
...langsung saja dulu pak, biar nanti ngobrolnya enak” ucapku sambil mempersilahkan duduk di kursi pangkas yang sama tuanya dan tidak enak dipandang untuk orang seperti pak Budi
“mohon maaf pak sebelumnya, ya beginilah pangkas ini, acak-acakan dan tidak ada rapih-rapihnya…” ucapku perlahan, segera mulai menyiapkan perlatan memangkas

“tidak usah begitulah Ndi, yang datang kesinikan saya, berati yah memang saya ingin kesini saja...
...tau saja saya kesini ada obrolan” jawab pak Budi

Segera aku mulai memangkas dan merapihkan rambut pak Budi yang seharusnya mungkin satu dua bulan lagi baru layak untuk dipangkas, karna memang belum panjang dan terkesan sangat pendek.
Belum ada obrolan sama sekali yang aku ucapkan begitu juga dengan pak Budi, terkesan seperti mengantuk, memang itu sebuah kebiasaan yang wajar ketika orang di pangkas, entah suara mesin atau memang merasa nyaman.
Perlahan aku merasakan suasana yang berbeda, sangat berbeda dengan pertama kedatangan pak Budi barusan “ohhh…” ucapku dalam hati tanpa tidak mau berperasangka buruk dan menahan arahan nafsu agar aku tidak berlaga so tau.
Perlahan proses mencukur yang tidak lama itu selsai, diluar suara petir mulai datang dan disusul oleh gerimis perlahan.

“bagaimana pak kabar Sely…” tanyaku, karna menang pas ketika proses mencukur selsai dan pak Budi melihat ke arah luar dengan tatapan yang tidak biasa,
matanya mulai turun, kelopak matanya mulai melemah.

“semakin memburuk Ndi, kerasukanya tidak terjadi lagi setelah kedatangan Andi, tapi badanya mulai semakin mengecil, dan sekarang kelihatan melamun seperti memikirkan hal lain...
...dan sekarang kalau saya datang ke kamarnya teriak-teriak suruh saya keluar” ucap pak Budi dengan mata berlinang

Andai pak Budi adalah perempuan, aku yakin tangis bersamanya air mata akan perlahan turun membasahi pipinya,
karna aku paham sekali, dibalik setiap kesalahan apapun pada manusia sisanya pasti ada sedikit nurani yang tersisa dan sekarang pak Budi sedang menikmati rasa nuraninya, walau setiap rasa selalu punya caranya masing-masing untuk manusia nikmati.
Aku diam mematung dan merasa sangat berdosa tidak mampir barusan sebelum ke pangkas, sampai harus ada orang tua dengan perasaan bersalahnya datang ke pangkasku dan bicara seperti itu, walau akibat selalu bersama sebab berjalan beriringan.
“baik pak, silahkan sudah selsai, kita bicaranya disana saja sambil duduk yah pak” ucapku, sambil melepaskan kain cukur, dan mempersilahkan pak Budi duduk.

Segera aku menyuruh Yayan untuk segera membawakan air mineral dan membuatkan aku kopi,
walau aku juga tau Yayan pasti banyak pertanyaan dengan kedatangan pak Budi ke pangkasku, apalagi sebelumnya Yayan pernah membicarakan soal sakitnya non Sely yang beredar adalah tumbal dari orang tuanya.
Tidak lama Yayan datang, memberikan air mineral untuk pak Budi dan tentunya Kopi untukku.

“maaf pak, hanya ini yang ada disini, silahkan di minum” ucapku dengan perlahan

“terimakasih Ndi…” jawab pak Budi dengan tatapan kosong
“mohon maaf pak, rasanya jika tidak ada yang memulai tidak akan ada obrolan yang berujung pada solusi, mohon maaf juga saya hanya anak kecil yang berusaha menjadi paling tau dan paling paham...
...padahal saya tau ini adalah kesalahan saya untuk bicara seperti ini.” Ucapku dengan gemeteran dan merasa sangat malu berbicara hal ini kepada pak Budi

“maksudnya Ndi, saya tidak paham…” ucap pak Budi menatap ke arahku perlahan
Untungnya hujan yang semakin turun, memperkuat suasana dan seperti mendukung untuk sesuatu hal yang harus aku bicarakan kepada pak Budi. Dan tidak ada lagi orang yang datang untuk memangkas.
Walau ada beberapa orang, aku lihat berteduh dan memesan kopi ke warung Yayan apalagi jika melihat ke dalam ada satu orang tua yang berbeda tampilanya rapih dan terparkir mobil mewah pasti menyangka bapak tua ini (pak budi) adalah tamuku
“perjanjian apa yang sudah bapak sepakati pak?” ucapku, sambil menuduk dan memohon maaf atas kelancanganya pertanyaanku

“bukan saya yang buat Ndi, perjanjian keluarga ini...
...saya tau Andi bukan orang biasa dan Andi juga saya sudah yakin sebelumnya melihat hal-hal aneh dirumah saya.” Jawab pak Budi

“tidak usah merasa bersalah, datangnya saya kesini minta bantuan Ndi, baiknya seperti apa, apalagi kondisi Sely semakin seperti ini.” Ucap pak Budi
Aku diam beberapa detik, dan perasaan yang datang pada diriku semakin aku rasakan berbeda, ketika sedikit menunduk, lalu melihat ke arah pak Budi.

“alam lain yang menduakan kepercayaan agar manusia percaya padanya, tidak pernah main-main pak, apalagi perjanjian nyawa...
...mohon maaf, waktunya sudah sangat lama dan ini sudah menjadi tradisi keluarga.” Jawabku, sambil menatap pak Budi

Di matanya aku melihat kesepakatan untuk urusan dunia yang sudah sangat lama di jalani dan sekarang waktu yang tepat, tradisi itu kembali menagih janjinya.
Tiba-tiba mataku diajak untuk melihat ke arah jendela pangkas, benar saja “pantas perasaan itu tidak enak” ucapku dalam hati, ketika melihat ke arah jendela sudah duduk wanita cantik yang sebelumnya sudah aku temui di kamar sely
“biasanya kesalahan pasti ada bayaranya Ndi, dulu adik saya dan sekarang anak saya, saya ikhlas ini kesalahan keluarga Ndi, tapi tolong apakah tidak cara lain Ndi?” ucap pak Budi sangat pasrah dan sudah mengetahui apa itu sebuah resiko.
Suasana pangkas semakin tidak enak, walau hal ini bukan yang pertama buatku, tapi setidaknya bagunan dan segala benda yang ada di pangkas ini menjadi perekam percakapan, mungkin jika benda-benda mati ini mempunyai perasaan yang sama dengan manusia sama akan menangis.
ketika melihat seorang lelaki yang sudah tidak muda lagi, sedang patah dan merasa bersalah ketika nuraninya berkata soal tanggungjawab dan rasa putus asa dari seorang lelaki yang bisa dikatakan apapun yang diinginkan dalam hidupnya bisa ada.
“ada pak?” jawabku dengan pelahan

“apa itu Ndi, caranya apa saya akan mati-matian melakukan cara itu dan percaya dengan apa yang dikatakan Andi, kasian ini anak saya Ndi darah saya dan tanggung jawab saya” ucap Pak Budi benar-benar dalam masa patahnya
“Taubat dan meminta bukan ke saya, meminta kepada gusti Allah SWT, curhatkan apa yang bapa inginkan dengan mengunakan ini jangan mengunakan ini” ucapku sambil menujuk hati dan ke arah kepalaku

“baginya pak dunia ini apa? Tempat sementara...
...tapi bagi kita termasuk aku kadang segala tipu daya setan atas perjanjian dulu dengan pencipta ini adalah panggung agar semakin banyak pengikutnya.” Ucapku dengan perlahan dan berusaha tidak mengurui hanya sekedar mengigatkan,
dengan caraku yang seperti biasanya aku lakukan kepada siapapun.

“untuk orang berdosa sekalipun seperti saya?” jawab pak Budi, memperlihatkan wajah tidak yakin.

Wanita cantik itu semakin menunjukan muka amarah padaku,
seolah tidak setuju dengan apa yang aku katakan kepada pak Budi, energi yang dikirim wanita itu padaku sangat kuat, semakin menjadi dan menujukan yang awalnya wajahnya terlihat sangar cantik olehku,
sekarang menunjukan aslinya semakin hancur mukanya dan rambutnya awalnya indah semakin berantakan.

Tidak henti-hentinya aku terus berdoa dalam hati dan meminta pertolongan kepada yang menciptkan segala mahluk di alam ini,
aku terus berdoa agar pak Budi ada dalam jangakauan omonganku dan tidak mengikuti rasa bersalahnya lalu kembali pada perjanjian itu, walau hasil akhirnya aku hanya berusaha, bukan yang mentukan.
“siapa orang yang tidak berdosa yang hidup? Kemauan yang berbeda dan kesunguhan yang berbeda hanya itu yang membedaakan.” Jawabku perlahan

Tiba-tiba di hujan yang semakin deras malam ini pak Budi diam tatapanya jauh lebih kosong dari apa yang aku lihat,
perempuan yang berada di luar jendela itu terus mengirimkan hal-hal yang bisa membuat pak Budi lupa akan hal-hal yang sudah aku katakan.

Karna semakin kuat dan semakin badanku merespon energi itu,
segera aku lihat tajam ke arah wanita itu dengan terus berdoa dengan sekali tatapan wanita itu berteriak sangat kencang sampai gendang telingaku kesakitan,
andai semua orang mendegarkan mungkin sama dengan petir yang sedari tadi selalu ada sesekali menyapa bumi dengan caranya dan cahanya itu.

Terlihat badan pak Budi lemas sama dengan badanku, aku menyruh pak Budi memimu air yang sebelumnya sudah aku buka,
karna bagiku semua ada aturanya dan membukaan air minum kepada tamu adalah sedikit banyaknya yang aku pelajari tantang bagaimana memperlakukan tamu.

Aku melihat pak Budi meminum semuanya sampai habis untuk ukuran air mineral 1,5 lt itu tidak mudah,
jika sedang dalam keadaan normal, aku dan pak Budi masih diam.

“kenapa tiba-tiba lemas sekali barusan” ucap pak Budi repleks
“perempuan itu barusan ada disana pak, dan saya coba untuk melakukan cara yang seharusnya saya lakukan pak” ucapku dengan tenang dan berusaha tetap tidak terlihat apapun

“baik Ndi saya percaya, saya lakukan yang Andi barusan katakan...
...saya tidak menyaka sampai sejauh ini kemampuan Andi dan alhamdulillah saya betemu dengan orang yang tapat” ucap pak Budi

“bukan saya pak, atas izin yang kuasa saya sama meminta pertolonganya, alhamdulillah, pesan saya; lakukan secepatnya pak” jawabku dengan tenang
Hujan semakin reda sebagaimana mestinya, dan pak Budi tidak menyaka melihat ke arahku dengan baju dan badan yang sudah penuh keringat, aku melihat jam sudah hampir tengah malam, kemudian aku melihat ketenangan dari raut wajah pak Budi
Ada optimis dan rasa baru mungkin yang pak Budi rasakan, walau sisanya pak Budi sendiri yang tau dan yang bisa merasakan.

“terimakasih Ndi, kemarin amplop saya tidak di terima, dan saya lakukan kemuan Andi memberikanya kepada anak Yatim...
...karna sekarang saya sudah di pangkas dan harus membayar jasa andi, tolong terima Ndi” ucap pak Budi kembali menyodorkan amplop

“aturan disini pak, dewasa itu 15.000 kalau membayar dengan amplop seperti ini...
...bapak bisa satu bahkan dua tahun lebih memangkas kesini tidak bayar lagi” ucapku sambil becanda

“Ndi, tolonglah saya, terima ini, tidak ada harganya dibanding ketenagan yang Andi berikan barusan, tolong terima” jawab pak Budi sambil memelas
Segera aku terima dan meniatkan dalam hati “ada hak orang lain dalam setiap rezeki yang aku terima”

“baik baik pak, hujan sudah reda, sehingga bapak menuju mobil tidak akan kehujanan walau masih gerimis sedikit” ucapku sambil tersenyum
Akhirnya pak Budi pamit dan kembali aku mencium tangan pak Budi sebagai hormat kepada siapapun yang jauh lebih tua dariku, itu sudah menjadi aturan dalam hidupku yang paling dasar
Baru saja melangkah, hujan semakin besar dan tidak tau kenapa habis satu petir mengujam suaranya sangat keras, jauh lebih keras dari sebelumnya hujan malam ini.

“sebentar pak” ucapku tiba-tiba pada pak Budi

“ada apalagi Ndi…” jawab pak Budi
Segera aku mengeluarkan payung di lemari pangkas dan mengantarkan jalan pak Budi, walau pak Budi menolak, tapi rasa hormat tetap aku paksakan mengantarkan pak Budi menuju mobilnya dengan keadaan pak Budi yang telindungi dari Hujan.
Dalam pamit pak Budi, melihat wajahnya tersenyum ada hal lain benar-benar aku rasakan tidak enak, jauh tidak enak dari hal sebelumnya aku rasakan dari kedatangan pak Budi ke pangkasku ini.
Baru saja masuk kedalam pangkas dan mebakar rokok juga tidak lupa meminum kopi yang sudah dingin aku melihat ke arah cermin sebelah yang biasa Daud gunakan pecah begitu saja sangat besar pecahanya seperti bekas di lempar benda keras!
“bisa-bisanya” ucapku dalam hati, sambil langsung berdiri dan memperhatikan dengan jelas dan sangat dekat dengan kaca

Tiba-tiba Yayan masuk kembali membawa kopi untuku yang anehnya tidak aku pesan juga dia paham sekali.
“lah a ko bisa pecah begitu?” tanya Yayan sama anehnya denganku

“minta di ganti ini usianya sudah tua Yan, kebayang sudah sangat banyak orang yang masuk dalam kaca ini hehehe” jawabku sambil becanda

“bisa ajalah ditanya serius juga…” jawab Yayan terlihat kesal
Yayan langsung kembali ke warungnya karna memang terlihat ada yang membeli dan aku kembali duduk sambil menatap ke arah kaca “alhamdulillah yang kena kaca kalau sampai ke yang lain pasti seperti itu mengerikan sekali” ucapku dalam hati
Segera aku membuka isi amplop yang sebelumnya pak Budi berikan, dan yang membuat aku sangat kaget sekali dengan amplop yang sangat tebal, isinya tidak main-main aku lihat dan aku keluarkan masih ada cap dari bank tertentu dengan nominal yang sangat besar.
“alhamdulilah” ucapku segera memishkan untuk membeli kaca besok hari, dan memisahkan untuk membayar jasaku memangkas, dan sisanya akan aku berikan kepada anak-anak yatim yang biasa menerimanya dariku tiap hari jumaat, untuk kelancaran hidup,
keberkahan dan segalanya tentang kebaikan apalagi yang memberikan dalam keadaan cobaan. Aku selalu ingat rezeki itu ada yang titipan dan cobaan.

Malam ini sangat membuat aku bingung dengan yang aku rasakan,
petir-petirnya sangat kencang bahkan menyalakan Hp untuk sekedar memberikan kabar pada Imas sangat membuat aku takut

“ada apa lagi ini…” ucapku, dan langsung segera melaksanakan ibadah sunah agar membuat hati semakin tenang,
apalagi hujan seperti ini orang-orang tidak akan keluar rumah

“titip pangkas…” ucapku pada Yayan

“kemana a?” tanya Yayan

Aku tidak menjawab hanya mengerakan tangan gerakan solat, dan Yayan pasti hapal betul. Setelah ibadah sunah, segera aku kembali ke pangkas.
“itu Hp di dalem dari tadi bunyi terus a, tlp kayanya” ucap Yayan

Tidak aku jawab, takunya memang sangat penting. Tidak ada perasaan apapun, aku segera melihat Hp benar saja ada 8 kali lebih panggilan dari Imas. Segera aku buka isi Chat.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun…” ucapku dengan gemeteran, dan langsung memakai jaket, menyapu sisa-sisa rambut dan menutup pangkas

“a kemana buru-buru?” tanya Yayan

Aku sudah tidak bisa menjawab hanya menunjuk ke arah jalan pulang,
setelah memakai helm segera aku memacu kendaraan roda duaku ke arah rumah pak Budi dengan tergesa-gesa.

Tidak lama sampai dan benar saja sudah ada beberapa orang ada disana, dan pas sekali gerbang sudah terbuka aku melihat seseorang sedang menaruh Drum besar di pinggir jalan
dekat dengan rumah pak Budi, dan memasangkan bendera kuning.

Segera aku masukan kedalam halaman, walau beberapa orang menatapku aneh, kecuali yang memang benar-benar kenal denganku, ketika turun dari kendaraan roda duaku, aku melihat jam sudah pukul 02:00 dini hari.
Menarik nafas dalam-dalam dan segera aku melangkahkan kaki kedalam rumah pak Budi yang sudah ada beberapa orang yang mengaji.

“baru saja 30 menit yang lalu, ketika bapak beres solat, mengecek keadaan Sely sudah tidak ada, yang mengetahuinya Ibunya Ndi” ucap pak Budi,
setelah aku bersalaman mencium tanganya

“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun…” ucapku tidak lepas melihat jenazah almarhum yang sudah terbaring dan sudah tertutup oleh kain

Aku melihat wajah merah dari pak Budi,
bekas air matanya adalah hal yang sangat wajar dari sebuah kehilangan apalagi nyawa, tapi kehidupan selalu punya berjuta cara untuk membuat hidup yang sebenarnya terjadi

“alhamdulillah bapak sempat melakukannya pak, urusan diterima atau tidak niatan lebih kuat...
...dari pada perlakuan, doakan sudah tidak lebih dari pada itu sekrang” ucapku kemudian

Pak Budi hanya menganguk, dan kembali banyak orang yag datang menyapa pak Budi dalam kedaan berduka seperti ini.
Aku langsung mengambil tempat untuk langsung mengaji untuk almarhum, suasana rumah semakin penuh, sangat penuh, dan tidak terasa satu jam lebih aku duduk mengaji.

Warga-warga berdatangan silih berganti, mengajikan untuk almarhum.
Segera aku bangkit karna merasa sudah selsai mengajinya. Orang-orang semakin banyak yang datang karna sudah di umukan juga (pasti) di Masjid utama.

Berdesakan pelan-pelan aku keluar dan sudah berada di pintu keluar rumah, entah tidak tau kenapa,
perasaan untuk berbalik melihat kembali ke arah jenazah sangat kuat, benar-benar kuat semakin aku tolak semakin benar-benar menarik paksa batang leherku untuk berbalik,

“bismillah…” ucapku dalam hati perlahan
Aku melihat lelaki tua dengan sorban di dadanya yang tersampai memakai kopiah putih yang sangat aku kenal sedang tersenyum ke arahku, senyumanya sangat manis sekali.

“guru…” ucapku dalam hati
Lelaki tua itu hanya mengangguk dan tesenyum, aku balas dengan angukan kepala dan juga senyum rasa paling hormatku padanya.

“punten a…”

“oiyah silahkan, maaf” jawabku, memang menghalangi jalan untuk orang lain
Baru saja bergeser dan kembali melihat ke arah dimana aku melihat guruku, sudah tidak ada, segera aku bacakan doa dalam hati, sambil duduk terseyum.

“alhamdulillah, pasti insallah penjelasan dari guru yang sudah lama tidak aku temui akan bertemu kembali” ucapku dalam hati
Suasana rumah menuju waktu subuh, semakin penuh, aku bahkan sudah duduk diantara orang-orang yang mungkin bagian dari keluarga atau sekedar warga yang ingin ikuti mendoakan.
Aku tidak hentinya-hentinya merasa berada dalam salah, walau aku sadar betul, pemilik nyawa adalah bukan manusia tapi pencipta yang maha kuasa.
*segini dulu lanjutan ceritanya, tidak akan lama lagi kembali dilanjut! 🔥

kisah masa lalu Andi, dan bagian lainya.

Salam! Jika layak silahkan bagikan ceritanya.
*langsung aja kita mulai lanjutan cerita, Bersembunyi Dalam Terang, sampai selsai malam ini. Selamat menikmati.
Tidak terasa duduk di depan rumah pak Budi dengan hanya sekedar mengobrol dengan Imas lewat chat saja, adzan Subuh berkumandang, orang-orang semakin banyak yang berdatang ke rumah pak Budi.
Segera aku berdiri dan mencari keberadaan pak Budi, untuk pamit. Aku melihat pak Budi sedang bercengrama dengan banyak orang, ketika pak Budi melihat aku sedang berjalan ke arahnya, segera pak Budi juga berdiri dari duduknya.
“pak saya izin pamit…” ucapku

“terimakasih Ndi, lain waktu saya akan berkunjung lagi ke pangkas, terimakasih sudah mengingatkan, saya sadar ini resiko, dulu ketika kehilangan adik saya sangat terasa, apalagi sekarang adalah anak saya sendiri.” Ucap pak Budi dengan perlahan
“baik pak, saya tunggu kedatangan bapak” ucapku, baru saja mau melanjutkan pak Budi sudah ada yang menyapa dan langsung saja aku bersalaman dengan pak Budi dan langsung meninggalkan kediaman pak Budi.
Perjalanan menuju rumah, kendaraan roda dua yang aku tumpangi berjalan sangat pelan. Sambil berterimakasih kepada pencipta dan semakin yakinku bawasanya atas apapun kehendak pencipta yang terjadi di muka bumi ini adalah yang terbaik, begitu juga dengan kematian.
“Perjanjian sewajarnya adalah bayaran yang harus ditepati” ucapku dalam hati

Sampai di rumah, d sambut dengan Imas yang sangat khawatir dengan keadaanku, bahkan ketika sampai rumah, Imas masih mengunakan mukena dan langsung menyuguhkan aku air minum.
“aa baik-baik sajakan?” tanya Imas, sambil duduk disebelahku

“alhamdulillah mah baik-baik saja, aa tidak membenci pak Budi ataupun keluarga atas apa yang sudah dilakukan di masa lalunya mah...
...aa hanya menyanyangkan sebuah kehilafan sampai harus seperti itu” jawabku, sambil menatap Imas

“benar apa yang dikatakan banyak orang itu a, soal tumbal?” tanya Imas

“aa tidak tau mah, tapi yang aa ketahui selama dua hari kebelakang tidak mengbenarkan...
....dan tidak juga menyalahkan, karna niat aa bukan ingin tau masa lalunya, tapi berusaha atas izin Allah Swt menyembuhkan, tapi hidup punya cara lain menjadi akhir untuk almarhum Sely...
...lagianya pertangungjawaban sebenernya adalah setelah ini, kehidupan” jawabku, sambil menahan agar air mata tidak menetes

Imas tidak menjawab lagi, langsung memelukku, aku tau ini adalah pelukan terhangat kedua setelah ibu,
rasanya adalah lebih dari apapun dan kemudian aku mencium kening Imas sebagai rasa syukur dan terimasih atas sejauh ini Imas menemani perjalan hidupku dan perjalan mistiku.

3 hari berlanjut begitu, setelah kepergian sely anak perempuan pak Budi, kabar di lingkungan-
-termasuk di pangkasku begitu ramai, mungkin karna keluarga pak Budi adalah orang paling ternama disini, itu hal yang wajar. Tapi entah kenapa, orang-orang lebih suka berperasangka buruk, dari pada mengutamakan berperasangka baik.
Bahkan beberapa orang yang mengeahui kedatangan pak Budi ke pangkasku, tidak jarang menanyakan kebenaran kabar yang beredar, dengan rendah hati aku selalu menjawab “kebetulan saja pak Budi berkunjung hanya memang untuk di pangkas, tidak lebih, mana tau aku hal-hal begituan” -
-selalu itu jawaban paling aman, supaya tidak menimbulkan pertanyaan lain.

Malam ketiga setelah kepergian sely juga, ada perasaan yang menganjal dalam perasaanku, apalagi di malam sely pergi, kembali pada yang kuasa, aku melihat Guruku yang sepintas dan tersenyum,
hal itu yang membuatku rindu, apalagi kejadian seperti ini baru pertama kali, Guru ada dalam akhir masalah yang bagiku tidak biasanya.

Pulang dari pangkas sekitar jam 2 dini hari, karna memang dari memulai kerja, tidak henti-hentinya orang berdatangan,
apalagi di akhir pekan, waktunya orang-orang menyempatkan diri berdatangan dan keluar dari rumahnya.

Sampai di rumah, membuka pintu, aku menyapa Imas yang sedang tertidur dan hanya mencium keningnya saja
“a udah pulang, mau Imas buatkan kopi?” ucap Imas masih dalam kondisi mengantuk

“ssstttt… udah tidur lagi aja mah, aa bisa sendiri, kasian mamah pasti lelah ngurusin dua jagoan aa yah” jawabku, sambil kembali mencium kening Imas, dan membenarkan selimut untuk Imas
Imas hanya tersenyum, dan itu adalah obat setiap lelahku yang paling sempurna, segera aku melihat kedua anakku yang sama sudah dalam kondisi tertidur pulas. Setelah selsai mandi dan melakukan solat sunnah malam, segera aku terbaring di kasur, samping Imas.
Dengan mata yang memang butuh istirahat, perlahan aku pejamkan mata dan mengikuti kemauanya untuk terpejam.

“asalamualaikum…”

Suara serak yang sudah aku kenal bertahun-tahun kebelakang, dan aku yakin tidak akan salah lagi ketika mendengar suara ini, segera aku menuju pintu,
membukakan pintu, benar saja, perlahan air mataku menetes, mencium tanganya dengan perasaan tenang.

“walaikumsalam Guru…” jawabku sambil menudukan badan dan tatapan

“tidak akan lama, rasa bersalahmu buang jauh-jauh, kepergian sudah bukan milik kita yang hidup...
...keabadian setelah ini, menolong sudah jadi kewajiban. Kita tidak bisa merubah masa lalu, dan kita tidak bisa tau masa depan, semua bukan kuasa kita, semua kuasa pencipta. Terus seperti itu...
...rendahkan hatimu, tajamkan ilmumu dengan menolong dan memberi” ucap Guru sambil mengelus kepalaku perlahan

Air mata yang aku tahan semakin turun sebagaimana mestinya, air mata ketenangan mendengar ucapan dari suara yang serak penuh kasih dan sayang, aku hanya terdiam.
“baik guru…” jawabkku, sangat pelan sekali

Perlahan segera aku kembali menatap wajahnya, sosoknya sudah tidak ada lagi didepan pintu, segera aku perlahan kembali menutup pintu
dan berjalan pelan ke arah kamar, melihat jasadku yang sedang tertidur, dan aku kembali dengan sebuah kalimat penenang yang luar biasa aku butuhkan.

***
Perjalanan mistiku berawal pada suatu hari dimana keadaan ibu sedang sakit, keadaan keluarga tidak lebih, hanya cukup. Sementara aku adalah anak lelaki satu-satunya dari empat bersaudara, memiliki satu kakak perempuan dan dua adik sama juga perempuan.
Kondisi sakit Ibu memang cukup parah waktu itu, dengan waktu yang sama lumayan lama juga, sebagai anak lelaki, aku sudah banyak belajar sejak kecil dari ilmu berdisiplin agama dan sosial dari pergaulan dan pertemanku yang banyak.
Bahwa lelaki yang dilihat pertama adalah tanggung jawabnya kepada keluarga itu adalah keharusan.

Orang-orang pintar berdatangan karna atas saran dari bapaku, setiap pengobatan pasti dan selalu harus memberi amplop dengan jumlah yang memang tidak banyak,-
-tapi untuk ukuran keluarga yang cukup, itu bisa digunakan untuk keperluan lain.

Persayaratan dari mulai yang masuk akal dan tidak masuk akal sekalipun selalu dilakukan, hanya untuk kesembuhan ibu, sementara medis tidak bisa menjamin apapun untuk kondisi ibu-
-apalagi biaya yang memang bukan sedikit adalah penghambat cara medis dilakukan.

Aku yang baru saja berkeluarga dengan Imas sangat tertampar pada tahun itu dengan keadaan ibu, malam itu juga aku mengajak Imas untuk menginap di rumah Ibu, waktu itu aku belum memliki anak.
Ini sudah hari ke 9 ibu tidak bangun dalam tidurnya, entah sakit apa yang ibu derita sama sekali tidak jelas, ada perasaan ingin mengobati ibu dengan segala yang aku bisa, sama seperti mengobati, menolong beberapa orang yang sudah aku lalukan di luaran sana.
Sampai di rumah Ibu sudah ada 2 tokoh agama yang bisa dikatakan sangat ternama disini yang sudah mencoba mengobati ibu, dan sudah ada juga semua keluarga berkumpul. Melihat kondisi seperti ini andai aku wanita, sudah menangis sedari datang melihat kondisi Ibu.
“Ndi sudah ikhlaskan saja ibu, kasian, katanya tidak akan lama lagi” ucap bapak kepadaku yang sedang memandangi dekat dimana ibu sedang terbaring

“sudah lebih dari 7 hari Ibumu Ndi dalam keadaan seperti ini kasian”-
-sahut 1 orang bisa dikatakan ustad yang bisa mengobati hal-hal diluar medis

Aku masih saja tidak menjawab, perlahan air mataku turun, dalam hatiku dengan yakin “terlalu kecil kuasa Allah SWT baginya hidup dan mati atas kuasanya, bukan kuasa mahluk ciptaanya” -
-segera aku mundur perlahan dan mengambil air wudhu, hatiku tergerak untuk melakukan solat.

Sama sekali tidak ada benci atau emosi dengan ucapan bapak, juga satu orang ustad itu, karna yang aku mau Ibu sadar juga sembuh, selsai solat aku berdoa dan meminta,
ikhlas jika memang yang terbaik sembuhkan ibu, dan aku janji akan ikhlas juga selanjutnya menolong orang-orang yang membutuhkan apa yang aku bisa atas izin yang kuasa. Benar-benar air mata menetes, sebagai rasa balasan kasih dan cinta ibu untukku-
-dalam doa yang aku panjatkan, aku percaya yang bisa menembus ruang dan waktu juga segala keajaiban lainya.

Segera aku kembali menghadap Ibu yang terbaring, dan keluarga serta dua orang itu juga sama masih ada,
tangan kanan yang memegang gelas berisi air putih segera aku asongkan kepada Ibu, sambil berbisik di telinganya dengan pelan.

“bismillah yah bu… Andi ingin Ibu sembuh, Andi sudah meminta kepadanya, dan atas izinnya ibu harus bangun dan sembuh yah bu,-
-bismillah…” ucapku sambil meneteskan air mata

Perlhan aku bukakan mulut ibu, kumasukan ujung gelas berisi air putih, napasnya merespon apa yang aku katakan, tengorokanya tidak menolak,
perlahan bergerak dan sedikit demi sedikit air itu masuk dalam mulut ibu “ya allah aku ikhlas, jika atas kehedakmu aku ikhlas” ucapku dalam hati sambil bergetar.

Tiba-tiba mata ibu perlahan terbuka, sangat pelan, tatapanya kosong, sangat kosong mentap ke atas arah atap rumah,-
-beberapa detik kemudian menyanyu matanya, sambil menatapku dengan pelan.

“Andi…” ucapnya pelan

“iyah Ibu ini Andi bu…” jawabku sambil menangis, tangisan pertamaku sebagai lelaki
Segera aku peluk Ibu sambil menangis penuh rasa haru, terbagun dari sakit yang tidak jelas dan tidur yang sama tidak jelasnya, semenjak kejadian itu aku berusaha terus menanamkan sedekah untuk kesembuhan Ibu dan Ikhlas juga berjanji tidak akan menerima bayaran apapun-
-yang sipatnya mebayar niatku menolong, karna aku tau betul rasanya harus mengeluarkan banyak uang untuk sebuah kesembuhan sangatlah tidak baik, apalagi dengan kondisi tidak punya.

***
Tahun 2007 awal pernikahan dengan Imas, 3 tahun sebelum aku berganti pekerjaan sebagai tukang cukur (mempunyai pangkas) awalnya aku adalah penjual martabak manis, tempat aku berjualan sekitar satu jam dari rumah,
di sebuah kampung dekat dengan sebuah danau, dimana disitulah orang-orang sering ramai, walau yang berjualan bisa terhitung dengan jari.

Yogi adalah teman masa sekolahku yang mempunyai resep martabak karna memang turun temurun dari keluarganya, atas persetujuan modal-
-yang aku keluarkan sangat terbatas, akhirnya aku dan Yogi sepakat memulai usaha tersebut, penampilanku sama halnya dengan sekarang tidak pernah rapih sama sekali.

Selepas waktu ibadah solat asar, aku dan Yogi yang memang kebetulan tidak jauh rumahnya dari rumah Ibuku
(waktu itu masih tinggal bersama Ibu) selalu menjemputku dengan membawa adonan martabak dan segala perlengkapan lainya untuk berdagang.

Sudah hampir 3 bulan berjalan, dan memang selalu habis jauh dimana waktu prediksiku yang seharusnya habis,
diperjalanan yang cukup jauh 1 jam karna memang motor melanju sangat pelan sekali, maklum motor tua.

“Ndi, semoga hari ini habis cepat lagi yah.” Ucap yogi sambil mengendarai motor

“Amin, Gi itu untung yang kamu dapat jangan pake mabok terus, tabung, katanya mau menikah” -
-jawabku sambil tertawa

“Ah ngelarang terus, pas aku ketauan mabok kamu juga tidak memarahi aku” ucap Yogi kesal

“ya kan lagi maboknya coba belum, mending buat aku aja uang untung kamu” jawabku sambil becanda

Yogi saat itu memang masih menyukai hal-hal kesenangan yang-
-sementara itu, aku hanya bisa mengingatkan dan memahi betul memang teman-teman dan lingkungan yang mendukung, mau bagaiamana lagi, tiba saatnya nanti, dia juga pasti berhenti.
Sampai di lokasi jam 4 lebih, menuju sore baru saja membereskan dagangan, sudah berhenti satu motor dan memesan 2 bungkus

“alhamdulilah tuh Gi, inimah bakalan laris lagi” ucapku, sambil menyengol badan Yogi

“harus Ndi biar bisa pulang cepet” jawab Yogi, sambil tersenyum
Hanya aku dan Yogi yang menjual Martabak didaerah ini, ini juga awalnya saran dari Rendi, temanya Yogi, yang sekarang menjadi teman akrabku juga, biasanya Rendi suka ikut nongkrong saja dekat gerobak kalau aku sudah beres berjualan.
Sore terus datang sebagaimana mestinya, perlahan adonan martabak hari ini terus berkurang itu artinya semakin laris, silih bergantian pembeli satu persatu antri, menyapa sopan pelangan dan memanjakanya adalah salah satu cara andalanku yang aku pelajari.
“kemarin si Rendi bilang bapaknya sakit udah lama Ndi gak sembuh-sembuh” ucap Yogi, kebetulan sedang renggang pembeli dan waktu magrib akan segera datang hari ini.

“oh iyah sakit apa Gi…” tanyaku dengan santai

Terlihat dari jauh, berjalan sangat pelan Rendi dengan tangan-
-sebelahnya menjapit rokok, semakin mendekat ke gerobak.

“Ren…” ucapku

“eh a, lemes a duh liat kondisi bapak di rumah, mana kerjaan di kolam lagi gini, masih lama ke panen niatnya buat bawa berobat bapak ke dokter a.” jawab Rendi sambil kembali mengisap rokonya
“sakit apa emang Ren bapak?” tanya Yogi, sambil mengasongkan bangku untuk Rendi

“engga tau Gi, udah 3 mingguan sakitnya tuh, awalanya bapak pulang dari kebun gitu biasa, tau-tau emang suka meriang eh gak tau kenapa kakinya jadi membesar.” Jawab Rendi menjelaskan
Aku hanya memperhatikan dan tidak bertanya lagi, tiba-tiba adzan magrib berkumandang tidak tau kenapa tiba-tiba aku merasakan ingin sekali ke rumah Rendi

“Ren, aku ikut solat yu di rumah kamu?” ucapku, tiba-tiba Yogi langsung menatap heran ke arahku, heran.
“biasanya juga di Mushola sana Ndi?” sahut Yogi

“gpp bener a, kali-kali maen ke rumah, lagian aku terus yang sering maen kesini, gantian” jawab Rendi

Rasanya senang sekali mendengar jawab Rendi, segera aku dan Rendi berjalan ke rumahnya yang memang tidak terlalu jauh-
-dari tempat aku berjualan, di jalan aku sengaja tidak membahas soal bapaknya, lebih kepada pekerjaan Rendi, dan Rendi juga mulai penasaran kenapa dagangan martabku cepat habis.

Sampai di rumah Rendi, perasaan tidak enak langsung menhampiriku,
aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam berkali-kali dan menenangkan saja diriku ini dan sambil tidak henti-hentinya berdoa dalam hati.

“a ini Ema (ibu)” ucap Rendi, ketika mulai masuk rumahnya

“asalamualikum, ibu” ucapku sambil salaman mencium tangan Ibunya Rendi
“walaikumsalam Andi, martabaknya selalu enak, Rendi sering cerita Andi, makasih udah datang ke rumah loh” jawab Ibunya Rendi

“kebetulan teman Andi bu, Yogi yang punya resepnya Andi hanya ikut bantu-bantu saja, alhamdulillah bu bisa silaturahmi-
-sekalian mau ikut solat Magrib” ucapku dengan perlahan

“tuh a disana kamar bapak, siapa tau sekalian aa mau liat” sahut Rendi tiba-tiba

“iyah Andi, bapak udah sakit aneh lama, yah gitu gak bisa bangun” ucap Ibunya Rendi
“boleh sekalian yah Bu…” jawabku sambil bergegeas dengan Rendi dan Ibunya melihat Bapak Rendi
Ibu Rendi, kemudian diikuti oleh Rendi dan yang terakhir aku masuk ke kamar bapaknya

“astagfirullahaladzim…” ucapku dalam hati, dengan apa yang aku lihat-
-langsung saja badanku terasa bergetar dan tetap untuk menenangkan diri

Bapaknya Rendi menatapku dengan tajam, bahkan beberapa detik kemudia melotot sampai matanya hampir saja lepas sangat melotot, jauh seperti orang normal pada umumnya
“heh pak, ini Andi, temenya Rendi, kenapa seperti itu negliatnya” ucap Ibu Rendi, sambil menepuk badan bapak Rendi yang terbaring

“tidak apa-apa bu, Ren boleh ikut magriban dulu” sahutku, dengan langsung keluar dari kamar bapaknya Rendi
“a maafkan bapak negliat aa seperti itu, padahal itu hal pertama kali yang Rendi pernah liat a” ucap Rendi dengan penuh rasa tidak enak tentunya

“tidak apa-apa Ren” jawabku sambil tersenyum tenang, padahal dalam hati masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat barusan
Segera aku melaksanakan solat Magrib di kamar Rendi, Rendi mungkin menemui dan mengobrol dengan Ibunya di ruang tengah rumah, baru saja 2 rakaat dan rakaat terakhir sudah terasa ada yang duduk di kasur Rendi yang aku belakangi, karna menghadap ke arah kiblat.
Setelah beres solat, tiba-tiba ada yang ingin berusaha mencekik leherku dengan kukunya yang sangat tajam dan panjang. Terus saja aku membacakan ayat-ayat dalam hatiku dengan tenang, keringat mulai turun dibadanku, dan meminta pertolongan pencipta.
“heh sia! Ulah ngilu urusan aing! Aing didieu nu boga kawasa, bisi sia ku aing nu dipodarana!”

(heh kamu! Jangan ikut campur urusan aing! Aing disini yang punya kekuasan, kamu pengen aku bunuh!) ucap mahluk dengan badan yang besar serta perut yang sangat buncit,-
-terus mengeluarkan ludahnya dengan tatapan mata yang melotot, ludahnya sangat menjijikan sekali

“kakuasaan hanya milik allah, eweh nu kuasa tibatan nu maha kuasa, mun sia ngancam kitu, sia nu ku aing di podaran tiheula!"
(kekuasaan hanya milik allah, tidak ada yang kuasa dari pada yang maha kuasa, kalau kamu mengancam seperti itu, kamu yang akan saya bunuh duluan) jawabku mengacam balik, sambil berbalik sila, ke hadapan mahluk itu.

“ampunnnn panas, ampunn” suara mahluk yang merenges kesakitan
Terus saja aku membcakan dalam hatiku sambil menatap tajam ke arah mahluk itu, semakin tajam tatapanku, dan semakin jadi mahluk itu berteriak kesakitan

“balik! Balik sia kanu nitah sia, atau sia ku aing bener-bener di podaran jeng nu nitah siana sakalian!”
(pulang! Pulang kamu ke yang nyuruh kamu, atau kamu ku aing benar-benar di bunuh sama yang nyuruh kamu sekalian) bentaku sambil berdiri dihadapan mahluk itu

“aing ges di titah sitah maehan jelema eta ku embe hideng, jeng getihna kudu ka teleg ku aing jelama eta”
(aing sudah di suruh membunuh orang itu ku kambing hitam, sama dengan darahnya harus di mimum ku aing orang itu) jawab mahluk itu sambil menahan sakit dan menunjuk ke arah kamar bapaknya Rendi

Dengan mengeluarkan semua tenanga aku semakin dekat dengan mahluk itu dan mengusir-
-agar dia pergi sambil terpejam dengan sekuat tenaga!

“ampuunnnn…” teriakan mahluk itu sangat kencang sekali

Perlahan aku bukakan mata, dengan seluruh badan yang penuh keringat dan langsung berjalan keluar kamar Rendi, Rendi dan Ibunya yang sedang duduk-
-di ruang tengah rumah, sangat terkejut dengan melihatku sudah penuh bahkan basah dengan keringat yang sangat banyak

“Ren bawakan minum sekarang cepat” ucapku pada Rendi dan berjalan ke kamar bapak Rendi

“iyah a siap” ucap Rendi gemetaran karna melihatku-
-mungkin sudah berbeda dengan sebelumnya yang Rendi lihat

Bahkan ibunya Rendi sama sekali tidak berani bicara dan mengikuti langkahku ke kamar bapaknya Rendi, ketika masuk benar saja matanya bapak Rendi sedang melihat ke atas atap rumah-
-dengan tatapan kosong dan dari mulutnya keluar air liur yang banyak.

“bismillahirohmanirohim…” ucapku sambil mengusap bagian kepala sampai dagu wajah bapak Rendi

Matanya kembali tertutup, terdengar sedikit isak tangis dari ibunya Rendi yang perlahan
“mana Ren sini airnya” ucapku sambil melihat Rendi yang mematung dengan tatapan kosong

Segera aku bukakan mulut bapaknya Rendi, dan alhamdulillah tidak menolak air minum yang aku berikan padanya, tengorokanya menerima,-
-perlahan demi perlahan air itu diminum dan matanya kembali terbuka.

“alhamdulillah, sebentar lagi bapak siuman Ibu, tolong gantikan bajunya yah” ucapku dengan sangat lemas

“alhamdulillah terimaksih Andi” ucap Ibu Rendi dengan air matanya mengikuti turun menuju kedua pipinya
Segera aku keluar kamar, diikuti oleh Rendi yang masih tidak percaya dengan beberapa menit kebelakang yg terjadi di rumahnya sndiri

“udah jangan jadi melamun Ren, aku pinjam baju kamu, malu mau lanjut dagang masa penuh keringat seperti ini” ucapku pada Rendi sambil tersenyum
Segera aku duduk di luar rumah Rendi, mencari angin sambil membakar satu batang rokok untuk menenangkan perasaanku dan menetralkan badanku ini. Tidak lama Rendi datang dengan menyodorkan Anduk dan Baju dia yang kebetulan badanya tidak jauh beda denganku, -
-malah aku yang terkesan lebih kecil

“a aku kira aa gak bisa nyembuhin kaya gitu, pantesan pas awal bapak sakit tiga minggu yang lalu ada perasaan pengen bilang ke aa tapi ragu-ragu dan malu” ucap Rendi

“bisa apa? Kebetulan aja itu Ren” jawabku sambil becanda
Karna sudah merasa kasian kepada Yogi dagang sendirian segera aku pamit, dan kebetulan juga Ibu Rendi membawakan kopi

“bu Andi gak lama, kasian si Yogi udah di tinggal…” ucapku pada Ibunya Rendi

“tidak apa-apa bawa saja kopinya, nanti suruh Rendi yang bawa lagi gelasnya,-
-Andi ibu dan bapak juga Rendi keadaanya sedang begini, ini ada sedikit untuk ucapan terimakasih, bapak yang sudah tidak bisa jalan tiba-tiba bisa sembuh oleh Andi” ucap Ibu Rendi kelihatan sangat malu

“Ibu, itu bukan karna Andi, itu semua karna pencipta bu,-
-alhamdulillahnya memalui Andi, sudahlah bu lagian kaya dengan siapa saja, Rendi teman saya Ibu juga yah Ibu saya juga begitu juga dengan Bapak, saya terima niatan baik ibu,
kasihkan saja nanti di hari jumaat ke anak Yatim yah bu, niatanya untuk kesembuhan bapak.” Ucapku perlahan, agar Ibunya Rendi tidak merasa malu

“gpp bu udah, Andi harus ke dagangan dulu, nanti ada waktu Andi main kesini lagi atau ikut solat lagi yah Bu” ucapku pamit,
pada Ibu Andi, sambil mencium tanganya, tatapanya masih seperti tidak percaya dengan apa yang aku katakan barusan

Sambil berjalan Rendi bertanya banyak tentangku, tentang apa yang dia lihat barusan ketika aku baru saja keluar dari kamarnya, aku tetap menjawab
“kebetulan, aku tidak bisa apa-apa” tidak lupa sambil ketawa, agar bisa menjadi bahan becanda.

Benar saja Yogi sedang sibuk sendiri, membuatkan pesanan yang sama sedang ditunggu oleh pembeli, segera aku membantu Yogi dan Rendi hanya duduk masih dengan tidak percaya,
dengan semua kejadian 20 menit kebelakang hari ini.

“lah malah salin Ndi? Emang bawa baju?” tanya Yogi yang baru sadar

“pinjem yang Rendi…” jawabku sambil mengedipkan mata

“iyah Gi, bapak sembuh alhamdulillah sama aa…” ucap Rendi
“alhamdulillah dong Ren, kenapa gtu Ndi sakitnya apa?” tanya Yogi penasaran

“sakit apa? Yah sakit aja udah yang pentingkan sekarang sembuh” jawabku sambil menepuk badan Yogi

Yogi hanya mengangukan kepala, seolah mengerti dan memang Yogi sudah sedikit tau-
-tentang perjalanan mistiku, yang sering membantu hal-hal yang berkaitan dengan alam lain seperti itu.

“bapak…” ucap Rendi tiba-tiba

Segera aku melihat ke arah pandangan Rendi begitu juga dengan Yogi, aku hanya tersenyum melihat bapaknya Rendi-
-sedang berajalan ke arah gerobak, sampai di gerobak tidak henti-hentinya bapaknya Rendi mengucapkan terimakasih padaku, aku yang selalu tidak enak bahkan tidak suka diposisi ini hanya mengucapkan “sama-sama” sambil terus berusaha ingat-
-dan merendah bahwa yang tinggi dan yang maha atas semua yang terjadi di kehidupan ini adalah milik pencipta.

Bapaknya Rendi tetap penasaran dengan yang berbuat seperti itu padanya, dan sudah dua kali bertanya hal yang sama dalam obrolan ini aku hanya bisa menjawab
“pak mohon maaf jika untuk mengetahui siapa yang berbuat seperti itu kepada bapak hanya akan menimbulkan dendam untuk apa? Berarti kita sama tidak bisa mengalahkan nafsu yang yang ada dalam diri kita, lebih baik bapak melakukan saran Andi,-
-bukan berarti Andi mengurui tapi itu saran yang paling baik” ucapku dengan perlahan

Akhirnya bapaknya Rendi mengerti dan paham, aku menyarankan untuk bersedekah untuk menjaga kesehatan, dan menjaga dari hal-hal lainya
dan selalu meminta pertolongan yang maha kuasa, karna hal itu yang paling ampuh menurutku.

Tidak lebih dari 30 menit bapaknya Rendi sudah bisa berjalan setelah sakitnya selama 3 minggu, jelas kabar tersebut menjadi kabar yang ramai di kampung Andi,
kecepatan informasi dari mulut ke mulut selalu menjadi yang tercepat, alhasil hari-hari selanjutnya kebaikan keluarga Rendi yang selalu memberi makan di waktu selsai Magrib terus berlanjut, dan tidak jarang jika ada hal-hal yang berkaitan dengan alam lain,-
-pasti saja aku yang di minta untuk membantu.

Walau tidak jarang juga, dengan penampilanku seperti ini membuat orang-orang tidak percaya langsung, tapi aku lebih tetap menyukai hal seperti ini, bersembunyi dalam terang adalah saran pertama dari guruku untuk hal-hal seperti ini,
karna itu hal yang paling sulit dan aku masih terus belajar.

3 tahun berjualan Martabak dengan segala cerita di tempat ini adalah yang paling berharga, untung dari berjualan bisa menetupi kebutuhan keluarga, juga bapak dan ibu bahkan bisa aku sisihkan untuk menabung,
selama tiga tahun itu juga silih berganti aku mengetahui banyak hal-hal baru dari segala hal, menanam kebaikan akan selalu memanen kebaikan, tinggal bagaiamana caranya pencipta berkerja selalu luar biasa dan selalu membuat diluar nalar logika semata.
Tidak terasa, berjalanya waktu dan segala aktivitasku di sisilainya adalah membantu orang, perlahan selama tiga tahun itu juga tabunganku aku rasa cukup, apalagi Yogi harus mengantikan bapaknya berjualan di dekat pasar rumahnya, yang sama dengan rumahku.
Di tahun 2009 akhir, aku memutuskan untuk menyewa sebuah tempat yang tempatnya strategis dengan modal secukupnya, aku berganti profesi sebagai tukang cukur, membuka tempat pangkas sendiri, yang memang sebelumnya kemampuanku dan rasa suka merapihkan rambut orang-
-yang menjadi latar belakang kepindahan profesiku.

“Ndi sudah lama sekali aku pengen tanya ini, sudah lama juga 3 tahun bareng-bareng jualan, aku tau segala yang kamu bisa apa ilmunya Ndi?” tanya Yogi pada suatu momen ketika sedang mengopi di depan rumah orang tuaku
“ini…” ucapku sambil sambi menujuk ke arah dada

“bersedekah Gi, memberikan apapun ketika kita benar-benar membutuhkan adalah hal yang paling sulit, melawan diri sendiri. Bertengkar dengan setan kita di wasiti nafsu, -
-bertengkar dengan nafsu kita di wasiti setan” jawbaku sambil tersenyum

“yang lainya Ndi apa?” tanya Yogi

“bersenyembunyi dalam terang.” Jawabku perlahan
Yogi hanya mengangguk, seolah tidak kalimat dari mulutku untuk bisa dia tanya kembali.

Bersembunyi Dalam Terang bagiku semua orang bisa melakukan dan bisa mengartikannya masing-masing. Dengan segala penampilan, orang tidak bisa menilai satu sisi orang lain.

-BERSAMBUNG-
----------

Pembuka cerita, Bersembunyi Dalam Terang lumayan cukup panjang, seperti biasa akun ini, mohon maaf kalau up cerita suka lama banget, terimakasih untuk aa dan kakak-kakak yang sudah baca dan selalu support pada akun ini, selamat menikmati dulu bagian 1
Belum pasti ada berapa bagian BDT ini karna masih panjang ceritanya, kepada siapapun yang mendapatkan pelajaran di cerita dengan kisah nyata ini, kita sama-sama belajar.

Kiaranya bagus untuk dibagikan silahkan bagikan kepada teman, keluarga dll
“biarkan cerita dan makna berkerja sebagaiamana mestinya” – qwertyping

Sampai berjumpa dicerita selanjutnya! Salam!

----------
Jangan lupa follow @qwertyping

Typing to give you horror(t)hread! Beware! They can be around you when you’re reading the story! Love you and enjoy.

@bacahorror @ceritaht @IDN_Horor

#bacahorror #bacahoror #ceritahorror #ceritahoror

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Teguh Faluvie

Teguh Faluvie Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @qwertyping

Apr 23
PAGELARAN SAREBU LELEMBUT

Lekuk indah tubuh, suara merdu dan senyuman teramat cantik adalah malapetaka yang harus ditebus oleh nyawa. Manakala panggelaran sarebu lemlembut berlangsung.

[ Part 4 - Selendang Mayat ]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Selamat datang kembali di Pagelaran Sarebu Lelembut! Untuk teman-teman yang belum baca part sebelumnya, silahkan klik tautan dibawah.
Bantu tinggalkan qoute, repost, dan like pada threadnya yah..

Par 1 – Janur Kematian


Part 2 – Tapak Sasar


Part 3 – Juru Keramat


Read 139 tweets
Apr 4
PAGELARAN SAREBU LELEMBUT

Lekuk indah tubuh, suara merdu dan senyuman teramat cantik adalah malapetaka yang harus ditebus oleh nyawa. Manakala panggelaran sarebu lemlembut berlangsung.

[ Part 3 - Juru Keramat ]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Selamat datang kembali di Pagelaran Sarebu Lelembut! Untuk teman-teman yang belum baca part sebelumnya, silahkan klik tautan dibawah.
Bantu tinggalkan qoute, repost, dan like pada threadnya yah..

Par 1 – Janur Kematian


Par 2 – Tapak Sasar

Read 129 tweets
Mar 25
PAGELARAN SAREBU LELEMBUT

Lekuk indah tubuh, suara merdu dan senyuman teramat cantik adalah malapetaka yang harus ditebus oleh nyawa. Manakala panggelaran sarebu lemlembut berlangsung..

[ Part 2 - Tapak Sasar ]

@bacahorror @IDN_Horor @diosetta
#bacahorror Image
Selamat datang kembali di Pagelaran Sarebu Lelembut! Untuk teman-teman yang belum baca part sebelumnya, silahkan klik tautan dibawah.

Bantu tinggalkan qoute, repost, dan like pada threadnya yah..

Par 1 – Janur Kematian
[Info]

Download semua cerita horror dalam bentuk eBook, sambil memberikan support dan dukungan bisa langsung klik tautan KaryaKarsa. Kita tunggu yah, kunjungan teman-teman sangat berarti.
karyakarsa.com/qwertyping
Read 168 tweets
Mar 14
PAGELARAN SAREBU LELEMBUT

Lekuk indah tubuh, suara merdu dan senyuman teramat cantik adalah malapetaka yang harus ditebus oleh nyawa. Manakala panggelaran sarebu lemlembut berlangsung..

[ Part 1 - Janur Kematian ]

@bacahorror @IDN_Horor @diosetta
#bacahorror Image
Karena tidak semua luka akan berjumpa dengan sembuh. Maka selamat memasuki pagelaran sarebu lelembut, nikmati pagelaran yang akan segera berlangsung.
PROLOG

Alam hiburan mencuatkan nama yang tersohor masyhur dari balik hinggar binggar dan sorak riuh ketika sebuah pagelaran ronggeng berlangsung. Perempuan dengan usia yang tidak muda lagi itu tidak berbanding dengan kecantikan dan liuk tubuhnya
Read 175 tweets
Feb 24
KAMPUNG JABANG MAYIT 3

Sudah tidak terhitung, berapa banyak nyawa bayi dalam kandungan yang mati untuk persembahan ritual.

“A THREAD”

[Part 7 Tamat]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Selamat mengakhiri Series Kampung Jabang Mayit. Untuk yang belum baca part sebelumnya, bisa langsung klik tautan dibawah agar mempermudah.

Bantu tinggalkan REPOST, QOUTE dan LIKE pada thread agar yang lain ikut membaca juga cerita ini yah..
Read 179 tweets
Feb 19
KAMPUNG JABANG MAYIT 3

Sudah tidak terhitung, berapa banyak nyawa bayi dalam kandungan yang mati untuk persembahan ritual.

“A THREAD”

[Part 6]

@bacahorror @IDN_Horor
#bacahorror Image
Ritual atas nama kutukan itu kembali dibangkitkan. Tidak lagi menunggu dengan sabar. Amarah dan dendam telah benar-benar tiba.
Untuk yang belum baca part sebelumnya, bisa langsung klik tautan dibawah agar mempermudah.

Bantu tinggalkan REPOST, QOUTE dan LIKE pada thread agar yang lain ikut membaca juga cerita ini yah..
Read 179 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(