Hari ke 13 Bharatayudha, ketika Abimanyu mjd ujung tombak pasukan Pandawa utk menghancurkan formasi Cakrawyuha yg diterapkan Mahaguru Drona, tiba2 Jayadratha, raja kerajaan Sindhu yg memihak Kurawa, datang dgn ribuan pasukannya dan memotong jalur bantuan Pandawa.
Jadilah Abimanyu bertempur sendiri ditengah kepungan formasi dahsyat yang ia sendiri belum tuntas mempelajarinya. Jayadratha ikut mengeroyoknya secara pengecut, yang bertentangan dengan adab pertempuran para ksatria, yang seharusnya dilakukan satu lawan satu. Abimanyupun gugur.
Arjuna yg sedih bercampur bangga mendengar kisah kematian putranya mengucap sumpah “besok sebelum matahari terbenam, leher Jayadratha harus putus. Bila aku gagal melaksanakan sumpah ini, biarlah aku mati dgn masuk ke api pembakaran. Besok, aku atau Jayadratha yang akan dibakar”.
Sumpah itu segera didengar oleh Kurawa. Maka Sangkuni sebagai ahli strategi Kurawa memerintahkan agar besok Jayadratha tidak ikut bertempur. Karena tidak hadir di medan Kurusetra, otomatis Arjuna tidak bisa membunuhnya.
Etika pertempuran ksatria diatur ketat, tak mungkin menyerbu musuh yang beristirahat di tendanya sendiri. “Kita menang mudah, kita tidak perlu bersusah payah membunuh Arjuna karena dengan menyembunyikan Jayadratha, maka Arjuna akan memenuhi sumpahnya, ia akan bunun diri.
Kalau Arjuna mati, Pandawa otomatis kalah. Haha... merepache... akhirnya kita melihat cahaya kemenangan kita“
Keesokan harinya, Arjuna mencurahkan seluruh energinya utk mencari Jayadratha. Drestayumna yg mjd panglima perang Pandawa menyebar mata2 di seluruh pelosok Kurusetra.
Namun waktu berlalu hingga sore, Jayadratha tdk jua ditemukan. Kekhawatiran mulai menyelimuti 5 Pandawa. Mereka bertempur dlm kegalauan sambil sebentar2 melirik matahari. Ingin mereka menahan matahari di tempatnya agar tak keburu terbenam, tp siapalah yg mampu menahan sang waktu?
Dan medan Kurusetra tiba2 gelap. Terompet tanda pertempuran harus dihentikanpun ditiup. Para ksatria menarik senjatanya masing2. Sementara itu, didalam tendanya, Jayadratha tersenyum lega. Dua kali ia memastikan kepada prajuritnya bahwa diluar memang sudah gelap.
“Benar tuan. Terompet tanda berhentinya pertempuran telah ditiup” demikian prajuritnya meyskinkan. “Kalau begitu, inilah saatnya aku muncul ke medan Kurusetra. Aku sendiri yang akan membakar Arjuna... hahaha”.
“Arjuna, penuhilah sumpahmu. Api unggun telah disiapkan, tentu kami memperoleh kehormatan menyaksikan kematianmu.. Kini bahkan Vasudewa Krisna yang kau pilih untuk berada di pihakmu, tak akan bisa menolongmu” kata Duryodana terbahak.
Arjuna menoleh pd Vasudewa Krisna sambil berjalan menuruni tangga kereta perangnya. “Vasudewa, aku percaya inipun ada dlm skenariomu. Aku terima kematian ini tanpa kehilangan kepercayaan padamu” katanya mantap sambil berjalan menuju tumpukan kayu yg siap dibakar bersama tubuhnya.
Tiba2 saja Jayadratha yang seharian ini lenyap, tiba2 muncul dihadapannya dengan obor di tangan. “Arjuna, ternyata hari ini akulah yang akan membakarmu hahaha .... ”
Tapi lihatlah, langit tiba2 berangsur terang. Cahaya matahari tiba2 berpendar menjamah medan Kurusetra.
“Wahai Vasudewa, mengapa Chakra Sudarsan-mu menutupi matahari ?” teriak Sangkuni penuh heran dan marah.
Ya. Ternyata matahari masih belum terbenam. Vasudewa Krisna lah yang menutupinya dengan senjata Chakranya. Karena masih terang, terompet pertempuranpun kembali ditiup.
Celaka bagi Jayadratha, saat itu ia tepat berdiri dihadapan Arjuna yang telah bersumpah memutus lehernya. Maka sepucuk panah sakti melesat dari Gandiva Arjuna memisahkan kepala Jayadratha dari badannya yang masih menggenggam obor. Obor yang ia rencanakan untuk membakar Arjuna.
Andai saja Jayadratha tidak tergoda memenuhi egonya untuk membakar Arjuna dgn tangannya sendiri, andai saja ia tdk tergoda utk menyakiti Arjuna utk yg kesekian kali, tentu ceritanya akan berbeda. Tetapi demikianlah yang dikatakan Vasudewa Krisna:
“Aku mengetahui masa depan melalui pengetahuanku pada kejadian hari ini. Kejadian hari ini yang dibentuk oleh karakter masing2 manusia ini, melahirkan pola yang responnya bisa ditebak. Dari pengamatan itulah aku dapat menyusun rencana dan mengetahui hasilnya”.
Jayadratha bisa saja tidur santai di tendanya. Tapi karakter, kesombongan dan egonya menarik langkahnya ke medan Kurusetra karena ia tak puas hanya mendengar kematian Arjuna. Ia ingin menyakitinya berkali2, sambil mengejek dan tertawa.
Jadi bila ada orang yang begitu bersemangat menghina, memprovokasi, dan menyakiti dgn cara melampaui batas, ingatlah kisah Jayadratha ini. Tindakan2 dan ucapan2 itu adalah karakter. Karakter yang membuatnya akan mengulangi, lagi dan lagi, dimasa depan.
Akan tiba saatnya orang itu menerima hukuman dari semesta. Saat itulah, ketika ia menyangka aman dan terlindung oleh malam, ia akan datang menyerahkan lehernya. Seperti Jayadratha.
Vasudewa Krisna mengajarkan ini dengan sangat jernih.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Cradha 1: Percaya adanya Brahman (Tuhan). Ini terdengar tdk istimewa. Hampir semua agama percaya dan menjadikan Tuhan sbg issue sentral. Tp ada yg berbeda dlm Hindu, yaitu:
a. Tuhan bersifat imanen dan transenden sekaligus. Ia didalam dan sejaligus diluar semua ciptaan.
b. Ia Nirgunam dan Sagunam sekaligus. Nirgunam ia illahi, achintya, tak bersifat tak berbentuk tak terpikirkan. Manusia tdk bisa menjangkau memikirkan atau mengatakan apapun. Sagunam ia fungsional. Pencipa=brahma, pemelihara=wisnu, pelebur=siwa, ilmu=saraswati, api=agni, dll.
Secara naluriah, tentu kita inginnya yg enak dan mudah. Jualan kue, ingannya kue kecil2, modal sedikit, tp bisa jual dgn harga mahal dan banyak yg beli.
Sebaliknya saat ingin punya rumah, maunya yg strategis, luas, sejuk, harga murah.
Tp hidup tdk bisa spt itu. Krn kita bukan Tuhan, semua ada limitasi, batasan dan ada konsekwensinya. Kl kue kecil dan kualitas rendah dijual mahal, orang akan pilih toko kue yg lain. Kl ada rumah strategis, asri dan luas dgn harga murah, semua berbondong2 beli dan stok habis
ujung2nya antara tdk kebagian atau harga naik.
Hal yg sama terjadi utk lapangan kerja. Kita ingin gaji tinggi, tenaga kerja dilindungi maksimal, dan investasi melimpah shg lowongan kerja tak terbatas. Semua bahagia.
Pertapa renta yang lemah itu tiba2 menarik tangan lembut Sita ketika sang dewi mengulurkan tangannya keluar dari pagar gaib yang dibuat Laksmana. Sita tersungkur kedalam dekapan pertapa yang sudah berubah menjadi raksasa.
Ia adalah Rahwana yang menyamar, sementara patihnya, Detya Marica menyamar menjadi kijang emas untuk memancing Rama dan Laksmana menjauh meninggalkan Sita. Rahwana terbahak, suaranya menggelegar, sepuluh kepalanya keluar melambangkan nafsu2 duniawinya.
Sita menjerit, berontak, tapi teramat lemah. Rahwana melesat ke angkasa menggendong Sita, meninggalkan Detya Marica yang tewas di ujung panah Rama yang disusul Laksmana. Dua ksatria itu hanya mendengar sayup2 jerit dan tangis Sita, yang semakin lama semakin menjauh.
Ada banyak alasan orang menolak vaksin. Utamanya krn alasan religius. Mirip dgn orang menolak asuransi. Seorang agen asuransi bercerita, calon nasabahnya dgn yakin berkata dia tidak perlu asuransi, krn "asuransi" nya adl Tuhan langsung.
Perlindungan Tuhan pasti diatas segalanya. Bila sudah dilindungi Tuhan, apalah isi dunia yg bisa mengganggu?
Sebagai orang beragama dan percaya keberadaan Tuhan, tentu kita setuju dgn keyakinan bahwa bila Tuhan sdh memberi perlindungan, maka tak ada hal buruk yg mungkin terjadi.
Tapi kata "bila" itu sepertinya membawa kita berbeda jauh dalam hal konsep ketuhanan. Ada yang tidak percaya Tuhan melindungi umatnya sedemikian hingga umatnya tidak perlu melindungi diri sendiri. Astronot ke luar angkasa melindungi diri dengan pakaian khusus anti radiasi.
Berbeda dari klaim beberapa pihak yg menyatakan Gajah Mada tdk beragama Hindu dan Kerajaan Majapahit bukan kerajaan yg bercorak Hindu, bukti2 arkeologis scr terang benderang menunjukkan baik Gajah Mada, Keluarga Kerajaan maupun rakyat Majapahit adl pemeluk Hindu/Buddha.
Berbicara sumber2 sejarah, sesungguhnya mirip dengan berbicara kitab suci. Dua2nya berbicara proses pembuatan dan penulisan pesan, penanda dimasa lalu yang harus diartikan dan ditafsirkan di masa kini. Dalam Hindu, sebuah purana atau itihasa harus diuji dengan Sruti atau Smerti.