REMAH RENGGINANG
.
.
.
.

Melihat Jokowi hanya dari sisi rasa tak suka, akan membuat semua kebijakan Jokowi sebagai Presiden tak ada benarnya. Demikian sebaliknya, tak ada seditpun kebijaksanaan tinggal disana bila melihat Jokowi hanya dari sisi sukanya saja pada sosok ini.
Jokowi tak perlu kita lihat dari bagaimana sosoknya. Tak penting...!

Demokrasi telah mengantarkan seorang Jokowi sebagai Presiden, maka konsistensi kita atas pilihan hidup bernegara harus hadir disana tanpa tawar menawar lagi.
Proses dukung mendukung telah selesai. Ada pejabat sebagai orang tertinggi di negara ini hadir karena pilihan kita. Harusnya kita sudah selesai dengan pro dan kontra sosoknya.
Kritik dan himbauan kepada Presiden harus selalu kita hadirkan.
Bagi sebagian orang yang mendukung kebijakannya, dukung..! Bagi yang ingin mengkritisi, kritiklah..!

Kritik kebijakannya, bukan orangnya.

Yunarto Wijaya contohnya, dia salah seorang pendukung Jokowi, namun tetap kritis. Rocky Gerung, menempatkan diri pada barisan oposisi.
Dimana dan kapanpun akan terdengar ocehannya yang khas.

Rocky, dibilang politisi, bukan. Kepada partai apa dia bersandar gak jelas. Pengamat, ga tau apa yang diamati, wong semua bidang dilahap tanpa sisa. LSM, lebih ga masuk akal lagi. Genusnya membingungkan.
Paling tepat, dia lebih seperti agen LMGA, Lo Mau Gue Ada alias dia bisa nanggapi apa aja.

Tapi Rocky ini eksis banget. Pilpres membuat namanya melambung, ga bisa disangkal. Bak botol ma tutupnya, Rocky cocok menjadi tutup apa saja.
Dia seorang yang pintar melihat gelagat, masuklah ke kubu 02. Disana, eksistensi yang penting punya pendapat mendapat penghargaan.
Bedanya, bila teman-teman sekubunya bikin narasi pasti asbun, sementara Rocky beberapa tingkat lebih baik, yakni asbun yang dipoles dengan banyak teori filsafat. Terdengar pintar.

Hasilnya.., keasbunannya sulit dibantah. Tak ada pijakan yang pasti dalam teori debat akademis.
Bermain kata-kata, bersembunyi dalam agenda.
Banyak orang yang terjebak karena terpancing memahami esensi asbunnya. Saat itu, orang terjebak dalam arus yang dia buat. Lawan debat masuk dalam perangkap, dan.. lawan jadi terlihat bodoh.
Ga percaya? Pernah lihat dia debat dg Budiman Sujatmiko? Keduanya punya basic kapasitas mumpuni namun berbeda.

Budiman pintar. Punya stok peluru banyak dan canggih, namun terkesan senang pamer. Dia terlalu sering berusaha kasih lihat apa saja pelurunya.
Dia senang menerangkan panjang lebar sesuatu yang tak perlu dibuat panjang dan lebar.

"Trus gimana hasil debatnya?"

Saya sendiri ga ngerti apa yang diperdebatkan. Saya lebih merasa ini pertandingan antara Muhamad Ali seorang petinju melawan Inoki pegulat jepang tahun 70-an.
Ga ada enaknya lihat pertandingan aneh. Itu lebih pada bisnis. Bukan esensi didapat namun produk apa yang akan dijual. Gak ada enaknya sama sekali.

Rocky adalah Rocky. Dia hidup dengan dunianya sendiri.
Permainan kalimat dan istilah ilmu sosial yang tidak banyak kita pahami dirangkai sedemikian rupa sehingga yang mengerti cuma dirinya sendiri.

Namun suka ga suka, itu jadi membuat dia terlihat berpendidikan.
Belakangan, Rocky membuat sensasi baru dengan membuat terjemahan sendiri atas istilah PSBB sebagai Presiden Sinting Bersekala Besar. Sekali lagi, dia mampu membuat banyak orang terkesima dan emosi.
Bagus tak ada yang mencoba melaporkan dia seperti saat dia pernah membuat pernyataan bahwa Presiden tak mengerti Pancasila beberapa bulan yang lalu. Seorang kader PDIP melaporkan sebagai tindakan penghinaan lambang negara.
Kehebohan yang dibangunnya tak lagi berusia panjang. Sepertinya masyarakat dah mulai paham bahwa bau busuk yang keluar dari mulut yang tak pernah gosok gigi bukan pelanggaran hukum.
Benar bau itu membuat rasa tak nyaman dan hampir membuat kita muntah, namun bukan sesuatu yang dapat dibuat menjadi alasan bagi kita melaporkannya.
Ini negara demokrasi. Menyatakan pendapat di muka umum jelas di ijinkan bahkan dijamin undang undang.
Menyatakan presiden tidak mengerti Pancasila jelas bukan tindakan pidana. Membuat plesetan PSBB dengan istilah Presiden Sinting Berskala Besar bukan tindakan kriminal.
Ini masalah sepele. Tidak perlu dijadikan perdebatan besar. Ini adalah keniscayaan dalam alam demokrasi yang sama-sama kita sepakati sebagai pilihan.

Ada sesuatu yang lebih besar harus kita dorong yakni pemerintahan yang kuat dan berwibawa.
Pemerintahan yang konsekuen menjalankan aturan main bernegara berdasar hukum yang berlaku.

Banyak kejadian membuat sikap gamang dan ambigu negara terhadap kasus intoleran tak terusik. Negara seolah mandul dan tak berdaya bila kelompok seperti itu bergerak.
Lihat saja berapa banyak rumah ibadah minoritas dibakar, dirobohkan hanya karena alasan tak memiliki IMB. Hadirkah negara yang memiliki UUD '45 disana?
Lihat saja berapa banyak minoritas yang hanya terpeleset lidah dihukum, sementara mereka yang memiliki masa dan bersembunyi dalam keangkuhan benteng mayoritas cukup dengan materai 6000 rupiah saja selesai?
Lihat saja peristiwa 500 TKA gagal memasang tungku bagi tersedianya 3000 tenaga kerja lokal hanya gegara ancaman sekelompok orang yang itu-itu lagi padahal aturannya ada dan jelas dan pemerintah menunda hanya karena takut isu SARA?
Terlalu banyak perkara dibiarkan menimpa minoritas demi stabilitas. Terlalu sering negara tunduk oleh tekanan sekelompok orang hanya demi kondusifnya pembangunan.
Benar adanya pembangunan fisik dalam bentuk infrastruktur akan membuat negara ini melesat menjadi bagian dari negara elit dalam ekonomi, namun mengorbankan kemanusiaan dari warga negaranya sendiri?
Tak ada yang bisa memilih terlahir menjadi China, Jawa, Sunda ataupun Arab. Layakkah status ditentukan oleh ras apa yang menempel dalam darah kita?

Tak ada yang memiliki kemewahan memilih beragama Islam, Hindu, Buddha hingga Kristen saat kita lahir.
Kita beragama sama dengan agama orang tua kita. Kita mengenal Tuhan karena agama dan iman orang tua kita.

Kita terlahir dan hanya bisa pasrah atas agama apa yang disematkan orang tua kita.
Dan negara tak mau melindungi itu hanya karena alasan takut ribut dengan segelintir pemaksa kebenaran itu?
.
.
.
.
Kita sibuk mencaci Rocky Gerung, Reply Harun, atau siapapun yang kritis meski mulutnya sangat pedas
dan lantas melaporkan mereka saat bukti cukup dan kita puas bila mereka dipenjara.
.
.
.
.
Kita merasa menang dan puas saat orang-orang yang tak menyenangkan kita dipenjara akibat mulut dan omongannya.
Perlukah memenjarakan Rocky Gerung bila didalam sana dia malah disambut bak pahlawan bahkan oleh para sipirnya?
.
.
Masih tidak merasa bersalahkah ketika Lembaga Pemasyarakatan secara tidak langsung justru telah mendidik
dan membesarkan anak kemarin sore yang dihukum kerena penganiayaan dan ketika keluar disambut bak pahlawan?
.
.
Membungkam mulut bersuara akan menempatkan negara menjadi otoriter, namun membiarkan sekelompok orang mempersekusi
dan apalagi mengerahkan orang melawan kebijakan negara justru akan membuat negara terlihat lemah dan tak berwibawa.
.
.
Negara seolah gagah menghabisi orang bermulut "lancang" namun loyo terhadap sekelompok orang berbaju agama dengan seperangkat pentungan dan tameng.
Bukankah didalam rumah kita sendiri sering kita jumpai debat yang bahkan tak pernah selesai? Bukankah debat tak selalu harus berakhir dengan kebenaran salah satu pihak?
Sesekali kita harus belajar bahwa disana ada sebuah keadaan "sepakat untuk tidak sepakat" dan kita berdamai atas ketidak sepakatan kita.
Sungguh..., sia-sia belaka rumah terbangun besar dan mewah bila didalamnya sebagian penghuni selalu harus mepet ke sudut-sudut tersembunyi karena rasa takut terhadap penghuni lain yang selalu membawa pentungan dan golok.
Mereka bukan kelompok orang yang mengerti indahnya berdebat, mereka adalah sekelompok orang yang senang memaksakan kebenaran dengan kekerasan.
Covid-19 membutuhkan negara hadir sebagai pemegang komando kemana arah perjalanan bangsa ini akan melangkah.
Langkah telah kita pilih dan sepertinya harapan ada terang disana semakin menunjukkan kebenaran atas pilihan arah yang dituju dan diarahkan pemimpin kita.

Mari kita berdiskusi, berdebat demi kemajuan kita.
Namun negara harus hadir ketika perdebatan berakhir dengan pentungan dan golok.

Negara harus bertindak terhadap kelompok yang selalu mengancam dengan kekerasan dan berkelompok.

Masihkah negara mau dan sanggup?
Kadang kita tak pernah tahu apa yang sudah negara lakukan. Kita tak pernah tahu pilihan logis apa yang diambil, namun kekerasan segelintir orang yang lama sudah dibiarkan oleh negara harus kita kritisi bersama.

Alam demokrasi memberikan kebebasan kita memilih.
Memberikan kebebasan kepada kita untuk berbeda dan untuk pendapat. Sama dengan kita sering berbangga betapa indahnya negara dengan Bhinneka Tunggal Ika, demikian juga seharusnya alam pikiran kita harus bisa menerima perbedaan pendapat dan pilihan.
Disisi lain Alam demokrasi juga tak pernah mentolerir kekerasan atas nama apapun demi memaksakan kehendak. Disanalah seharusnya negara hadir.

Bukan pada perbedaan pandangan isi kepala yang termanifestasikan dalam bunyi dari pita suara dalam mulut yang beresonansi.
Namun negara harus hadir dan bertindak tegas kepada mereka yang membawa pentung dan golok ketika menterjemahkan isi kepalanya.

~ Magelang 17 Mei 2020 ~

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with NitNot ❘

NitNot ❘ Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @__MV_llestari__

14 Nov
AKHIR CERITA MAHER.......?
.
.
.
.

Jejak digital itu sadis. Sikap pengecut yang dimaksudkan sebagai cara naikkan pamor menuai bencana. Maher sesumbar mendatangkan 800 orang demi keroyokan hanya pada seorang perempuan, Nikita. Image
Bukan 800 orang centeng datang membantu, sejuta orang mencacinya. Dan..,ada hal dia lupakan, jawaban dia terhadap akun @GundulAdul 26 Agustus lebih sebulan yang lalu discreen shot. Dia menghina ulama besar NU.
Kenapa bukan diramaikan pada Agustus lalu, cuitan itu tdk viral karena hanya berupa reply komen, bukan cuitan pokok. Ibarat barang tak terlalu terpakai, Cuitan jawaban itu terserah begitu saja. Image
Read 8 tweets
13 Nov
THE ANGEL OF VERDUN
.
.
.
.
.
Nyai Nikita Mirzani
.
.
.
.

Kalau suara bapak sudah tak lagi didengar, sebengal apapun anak pasti luruh ketika berhadapan dengan ibu.

Perempuan, pada merekalah kekuatan tak tampak itu tersimpan. Image
Bukan berarti Presiden sudah tak lagi punya cara, ketegasan sang ayah masih harus disimpan demi banyak hal yang kita tak tahu.
Orde baru, masih menyimpan banyak rahasia tak terprediksi. Bila harta bertumpuknya sedang digugat, itu hanya fenomena gunung es dan anehnya, kebanyakan dari kita sudah berteriak bangga mampu melihatnya. Image
Read 31 tweets
12 Nov
DIBUANG SAYANG
.
.
.
.
.

Serasa kaplingan cm ada dua, yg ga stuju dibilang kampret, yg kiblatnya ke Presiden dijuluki cebong. Terus sisanya ngontrak? Image
Biarkan mereka yg sdg gelisah krn merasa diabaikan Presidennya bersuara. Mereka tidak sedang menghina, mereka hanya ingin punya kaplingan yg sama yg dijamin oleh konstitusi.
Tidak semua sepakat dan butuh apalagi senang dengan pembangunan fisik dan tapi mengabaikan manusia. Bukankah kesenjangan hidup bermasyarakat kita mmg mengkhawatirkan? Image
Read 11 tweets
11 Nov
DAN KINI, MEREKA YANG BERSERAGAM PUN MENGAMBIL POSISI
.
.
.
.
.

Sangat sulit mengelola negeri dengan rakyatnya yang gampang "nggumunan". Mudah mendewakan, mudah mengagungkan seseorang dalam hal apapun. Semua dengan mudah dibawa pada fanatisme. Image
Demikian pula sikap benci dan marah dengan mudah akan mencuat dalam bentuk amuk sebagai konsekuensi logis atas bawaan sifat seperti itu.

Semua diborong tanpa sisa dan kemudian dibawa ke hati.

B A P E R !
Namun ketika aparat pun baper, ini jelas sinyal berbahaya. Ini keluar dari konteks pilihan bebas sebuah masyarakat.
Read 12 tweets
11 Nov
DONGENG TENTANG POLAH PEMILIK SURGA
.
.
.
.
Di Negeri Separo
.
.
.

Sambutan meriah para pemujanya merusak banyak fasilitas umum. Foto tentang hal itu bertebaran pada banyak laman media sosial. Image
Tak cukup hanya itu, jalan tol pun dimaknai sebagai jalan milik pribadi. Motor para penjemputnya dengan suka-suka merebut hak pemakai yang lain. Yang bayar sesuai ketentuan hukum.
Terparah, ratusan bahkan ribuan orang tak dapat menjangkau bandara karena akses menuju kesana tertutup oleh kegiatan mereka. Pilot, pramugari hingga penumpang banyak yang terpaksa jalan kaki. Pengusaha rugi miliaran rupiah. Image
Read 19 tweets
10 Nov
JEJAK KEPULANGNYA MENYISAKAN TANYA DARIPADA JAWAB
.
.
.
.
.

Berharap AS berubah 180 derajat dalam hubungan politiknya dengan China ketika Biden terpilih jelas gegabah. China tetap akan digiring pada banyak keinginan AS meski tak seekstrim jaman Trump.
Pengaruh China pada konflik di LCS masih akan tetap menjadi titik sorot pemerintahan Biden dan Indonesia masih akan tetap diminta jadi salah satu partner demi kepentingan itu.
Jaga jarak Indonesia dengan China masih akan menjadi tema politik AS karena posisi sentral Indonesia di LCS dan terutama di Natuna jelas sangat menguntungkan AS. Indonesia termasuk negara terkuat dalam sengketa di LCS meski tak terlibat.
Read 18 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!