Kejadian ini sudah lama, tapi gw masih sangat ingat detilnya. Terjadi ketika masih SD, kejadian seram yang terjadi di gedung sekolah.
Seperti yang sudah sering kali bilang, kalau gw lahir dan besar di kota Cilegon, Banten, termasuk daerah paling ujung barat pulau Jawa. Di Cilegon ini mental gw banyak ditempa dalam segala hal, termasuk mistis dan perhantuan.
Tumbuh kembang banyak dihiasi dengan peristiwa-peristiwa yang sangat susah untuk masuk di logika.
Aneh, terlalu banyak keanehan, tapi begitu adanya, gak kurang gak lebih.
Salah satunya ya peritiwa yang akan gw ceritakan malam ini..
Gw sekolah di Sekolah Dasar yang bisa dibilang salah satu sekolah unggulan di Cilegon, mungkin bisa juga dibilang sekolah anak pejabat dan petinggi perusahaan, walaupun keluarga gw bukan termasuk keluarga pejabat, biasa aja.
SD gw ini waktu itu masih memiliki lahan yang sangat luas dengan berbagai macam fasilitas, dari fasilitas olah raga sampai kesenian, nyaris semua ada.
Kalau fasilitas kesenian, sekolah punya beragam alat musik, dari yang modern sampai tradisional. Alat musik tradisional yang kami miliki adalah kulintang, angklung, dan gamelan Jawa.
Nah, kisah gw malam ini akan membahas tentang alat musik tradisional yang ada di sekolah, yaitu gamelan jawa itu tadi.
Sekolah memiliki bukan hanya satu atau dua alat musik gamelan, tapi set lengkap, dari gendang kecil dan yang besar, bonang, kenong, gong kecil sampai yang besar banget, semuanya ada, mohon dikoreksi kalau gw salah menyebutkan nama-namanya.
Gw baru tahu kalau sekolah punya alat gamelan itu kalo gak salah ketika sudah kelas 4, kenapa begitu? Karena sekolah gw ini bentuknya bukan satu gedung besar sendiri yang semua kelas-kelasnya jadi satu dalam satu gedung,
gak gitu, tapi setiap kelas letaknya terpisah-pisah, jadi seperti perumahan dalam satu komplek, paham ya?.
Nah, mungkin karena posisi ruang kelas satu dua dan tiga itu agak jauh dari ruang guru, jadinya gw sangat jarang lewat atau malah masuk ke ruang guru.
Lah? Apa hubungannya sama ruang guru? Karena alat musik gamelan ini tempatnya berada di dalam ruangan yang letaknya ada di belakang ruang guru, jadi kalau mau masuk ke ruang gamelan harus lewat ruang guru dulu.
Begitulah..
Setelah kelas 4, baru gw sadar kalau ternyata sekolah punya alat musik gamelan, karena letak ruang kelas 4 itu sudah berada agak jauh dari gerbang sekolah, kalau mau ke ruang kelas kami harus lewat depan ruang guru dulu.
Itu juga karena ada pentas seni yang menampilkan pertunjukkan gamelan, dimainkan oleh kakak kelas, yang akhirnya gw tahu kalau ada alat musik gamelan di sekolah.
Sampai akhirnya, seiring berjalannya waktu, gw mengalami kejadian seram terkait dengan alat musik gamelan ini.
***
Gw termasuk anak yang rajin, kalau dulu sekolah masuk jam 07.15, gw sudah sampai di sekolah jam setengah tujuh, atau sekitar itulah. Intinya, gw adalah seringkali jadi murid pertama yang sampai di sekolah, ini valid, hehe.
Ya karena sering datang pertama itulah, jadinya ketika gw datang sekolah masih kosong, benar-benar kosong, hanya sesekali terlihat Pak Pur, penjaga sekolah, yang sedang menyapu, selebihnya ya belum ada siapa-siapa.
Sampai pada suatu hari, ketika masih kelas empat, ada kejadian aneh yang gw alami.
Waktu itu seperti biasa ketika sampai di sekolah masih sangat sepi, kosong.
Pasti banyak dari kita yang sering merasakan suasana di gedung atau lingkungan sekolah yang kosong, sepinya beda, sisa-sisa hening dan gelapnya sekolah ketika malam masih terasa.
Dengan tas gendong di punggung, lengkap dengan termos air minum, Gw berjalan dengan semangat dari gerbang menuju lingkungan ruang kelas,
masih merasakan sejuknya udara pagi, hamparan embun menempel akrab dengan hijaunya rumput luas lapangan olah raga, sinar mentari masih berbentuk garis-garis warna cerah menembus celah pepohonan.
Perjalanan yang nyaris satu jam berjalan kaki dari rumah membuat setiap harinya gw akan langsung menuju ruang kelas untuk menaruh tas dan istirahat sebentar.
Perjalanan dari gerbang menuju ruang kelas, gw harus melewati benyak ruang kelas terlebih dulu, lewat di depannya, dari ruang kelas satu, kelas dua, kelas tiga, baru setelah itu akan sampai di depan ruang guru.
Cukup jauhlah jarak yang harus ditempuh, dan ya itu tadi, semua kelas yang gw lewati nyaris setiap ketika gw lewat pasti masih dalam keadaan kosong.
Sampai akhirnya gw sampai di depan ruang guru.
Ruang guru besar memanjang, pintu dan dinding depannya berbahan kaca, jadi kalau tirainya gak ditutup gw bisa melihat ke dalamnya.
Waktu itu ruang guru masih dalam keadaan gelap namun tirainya sudah terbuka, gw yang berjalan melintas di depannya jadi bisa melirik ke dalam.
Langkah kaki masih terus berjalan, menuju ruang kelas gw, kelas 4A.
Sampai akhirnya, di sepi dan kosongnya suasana, ada yang menarik perhatian.
Gak melihat, tapi gw mendengar sesuatu..
Langkah jadi melambat mendengar suara itu.
*Suara apa sih Brii?
Suara gamelan, gw mendengar suara gamelan, ada yang sedang memainkan alat gamelan.
Waktu itu gw sudah tahu kalau di belakang ruang guru ada ruangan lagi yang isinya adalah semua musik tradisional, termasuk set lengkap alat gamelan.
Yang gw dengar bukan lantunan musik gamelan dengan banyak alat yang dimainkan, tapi hanya satu alat yang berbunyi, yaitu bonang, yang gak tahu bonang itu apa silakan gugling deh.
Bonang itu sekumpulan gong kecil yang diletakkan secara horizontal di dalam bingkai kayu, lebar satu atau dua baris, koreksi gw kalo salah ya.
Bonang ini bunyinya “Tung, tung, tung,tung..” seperti itulah kira-kira.
Yang gw dengar waktu itu juga begitu, “Tung, tung, tung..”.
Penasaran, akhirnya gw berhenti tepat di pintu kaca ruang guru.
Pintu kaca ini sudah dalam keadaan terbuka, kenapa terbuka? Gw juga gak tahu.
Sementara suara gamelan masih terdengar dengan irama sepinya, gw termenung heran sendirian.
Siapa yang pagi-pagi sudah main gamelan sendirian? Pak Pur kah? Mungkin..
Makanya, saking panasaran, akhirnya gw nekat untuk melangkah masuk ke ruang guru, untuk melihat ke dalam ruang di belakangnya, di mana gamelan berada.
Beneran, ruang guru masih kosong, ruang besar memanjang itu hanya berisi banyak meja dan kursi, lemari buku dan berkas berderet menutup dinding ruangan, lampu masih dalam keadaan mati semua sehingga masih gelap, hanya mengandalkan sedikit cahaya pagi dari luar.
Gw melangkah pelan lewat sela-sela meja, sementara suara pukulan gamelan masih terdengar satu-satu.
Ini siapa sih yang main gamelan? Itu pertanyaan yang terus muncul di kepala..
Sampai gw akhirnya sudah tepat berada di depan pintu, pintu yang menghubungkan ruang guru dengan ruang gamelan.
Pada saat ini gw masih berdiri diam, gak berani untuk mengintip ke dalam, apa lagi mendorong pintu membukanya.
Mengintip ke dalam? Iya, karena saat itu pintu gak tertutup, tapi sedikit terbuka, membuat celah yang sepertinya bisa buat gw untuk mengintip. Tapi gak berani, karena musik gamelan masih terus saja berbunyi, seram? Iya, takut? Iya.
Cukup lama gw berdiri di depan pintu, berpikir dalam cemas, tapi penasaran.
Sampai akhirnya, ada suara yang sungguh sangat mengagetkan gw.
“Brii, ngapain di situ sendirian?”
Ternyata Pak Pur, dia sudah berdiri di pintu ruang guru. Ah, ngagetin aja Pak Pur ini..
Gw lalu balik badan dan melangkah menuju beliau.
“Ada bunyi gamelan Pak, siapa yang main gamelan pagi-pagi? Emang udah ada yang dateng?” Tanya gw ke Pak Pur ketika sudah berada dekat dengannya.
“Ah kamu salah denger kali, gak ada yang main gamelan. Sudah sana ke kelas, saya mau bersihin ruang ini dulu.”
Tapi setelah kemunculan Pak Pur ini suara gamelan tiba-tiba berhenti, gak kedengaran lagi.
“Lain kali, kalau dengar atau melihat apa-apa dari ruang itu, jangan kamu samperin ya, biarin aja, jangan ya.”
Pak Pur mewanti-wanti seperti itu, entah apa maksudnya. Gw hanya mengangguk-angguk setelahnya.
Percakapan singkat dengan Pak Pur itu tentu saja sangat mengundang pertanyaan dalam benak, lah jelas-jelas gw mendengar suara gamelan, kok Pak Pur bilang gak ada siapa-siapa, ditambah ujungnya melarang gw ke ruang gamelan, aneh kan.
Ya sudah, setelah itu gw langsung menuju ruang kelas.
Gak lama kemudian, anak-anak lain mulai berdatangan, sekolah yang tadinya sepi berangsur ramai. Lalu sementara melupakan kejadian aneh yang gw alami pagi tadi.
Setelah hari itu, beberapa kali gw mengalami kejadian aneh menjurus seram terkait dengan gamelan jawa itu, nanti kapan-kapan gw ceritakan satu persatu, gak malam ini, malam ini beberapa aja.
***
Kejadian berikutnya, terjadi pada suatu malam.
*Malam-malam Brii?
Iya, malam-malam. Gw ingat waktu itu sudah kelas lima, gw yang sudah beranjak besar punya kebiasaan sering bermain hingga malam ke rumah salah satu teman sekelas, Doni namanya.
Doni ini rumahnya di belakang gedung sekolah, tapi agak jauh, sekitar dua kilometer jaraknya.
Tapi kalau pulang dari rumah Doni, gw harus lewat sekolah gw itu dulu, harus, karena gak ada jalan lain yang lebih dekat.
Pada malam itu gw keasikan di rumah Doni, sehingga baru pulang sekitar jam sembilan malam, dan waktu itu gw sudah mulai biasa naik sepeda.
BMX silver kesayangan gw kayuh menyusuri jalan setapak di belakang sekolah, melewati jembatan besi yang seram.
Btw, di jembatan besi inilah pertama kalinya gw melihat sosok kuntilanak, pernah gw ceritain di thread lama, silakan cari di “Likes”.
Singkat cerita, akhirnya gw sampai tepat di depan sekolah.
Ya karena sudah malam, lingkungan sekolah sudah pasti kosong. Dari luar pagar, gw melihat lampu-lampu yang menyala hanya lampu besar di depan ruang guru, dan beberapa lampu taman.
Jalur lintasan sepeda lewat persis di depan lapangan upacara, di belakang lapangan upacara ini ada tangga melebar dari kanan ke kiri, di atas tangga ada lantai luas yang tepat di belakangnya letak ruang guru berada, paham ya?
Makanya dari lintasan sepeda gw masih bisa melihat depan ruang guru walaupun dari kejauhan.
Gw yang harusnya cepat pulang, malah melambatkan kayuhan ketika sudah tepat berada di depan sekolah, melambat dan akhirnya benar berhenti.
Kenapa? Karena gw melihat pemandangan aneh.
*Pemandangan aneh apa Brii?
Yang pertama, gw melihat kalau pintu ruang guru dalam keadaan terbuka, tapi tirainya tertutup semua.
Yang kedua, gw melihat ada beberapa orang yang sedang berjalan berbaris beriringan dengan menggendong sesuatu di tangannya.
Curiga? Jelaslah,
Awalnya gw pikir mereka itu maling, tapi beberapa belas detik kemudian pikiran gw berubah.
Bukan, sepertinya bukan maling, karena mereka berjalan dari ruang-ruang kelas sebelah kanan menuju ruang guru, lalu masuk ke dalamnya. Tapi, apa yang sedang mereka gendong?
Setelah gw perhatikan, orang-orang itu berpakaian khas jawa, yang laki-laki mengenakan kain dan baju jawa lengkap dengan blangkon, sementara ada satu perempuan mengenakan kebaya lengkap dengan sanggulnya.
Nah, beberapa orang yang laki-laki menggendong alat gamelan, mereka melangkah pelan berbaris lalu masuk satu persatu ke ruang guru, sampai akhirnya masuk semua.
Penasaranlah gw..
Menyandarkan sepeda di pagar, lalu gw melangkah masuk ke lingkungan sekolah, menuju ruang guru.
Gelap, sebagian besar halaman sekolah sangat gelap, hanya dua atau tiga lampu taman berbentuk bola kaca yang sedikit menerangi. Tapi karena penasaran, gw tetap melangkah maju.
Melewati lapangan upacara, lalu menaiki tangga yang hanya beberapa pijakan saja. Setelah lewat tangga, beberapa meter kemudian gw sudah sampai di depan pintu ruang guru yang dalam keadaan terbuka.
Siapa orang-orang yang tadi masuk ke sini? Mau ngapain mereka malam-malam? Itu pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, ketika sudah tepat di depan pintu gw merasakan keraguan untuk melangkah masuk, takutkah? Mungkin.
Karena pintu ruang guru yang terbuka inilah akhirnya pada menit berikutnya gw bisa mendengar dengan jelas suara yang mengalun dari dalam.
*Ada suara apa Brii?
Gw mendengar alunan musik gamelan, kali ini bukan hanya satu instrumen tapi banyak alat musik yang dimainkan, bermain dengan nada seirama, bersatu jadi simfoni musik Jawa nan indah.
Gw terpesona mendengarnya, ditambah suara nyanyian tembang jawa mengiringi.
Nyanyian? Iya, nyanyian.
Musik gamelan ini gak berdiri sendirian, tapi mengiringi lantunan tembang jawa yang mengalir dari suara perempuan.
Ada perempuan yang sedang melantunkan tembang.
Semakin penasaran, akhirnya gw melangkah masuk, dengan niat menuju ruang gamelan.
Sangat berbeda suasananya ruang guru di malam hari, meja dan kursi diam dalam gelap jadi pemandangan sekitar.
Sepinya berbicara, kosongnya seperti punya rencana.
Sementara suara gemelan mengiringi nyanyian tembang jawa masih mengalun jelas dari ruang belakang.
Gak, gak bisa mundur, gw harus terus melangkah untuk mencari jawaban siapa gerangan yang sedang memainkan gamelan malam-malam begini.
Sampai akhirnya langkah terhenti ketika sudah tepat berada di depan pintu, pintu yang menghubungkan ruang guru dan ruang di mana gamelan berada.
Lagi-lagi pintunya dalam keadaan terbuka, walaupun gak lebar, tapi dari celahnya gw dapat melihat kalau ruangan itu gak gelap sepenuhnya, tapi ada lampu yang sepertinya menyala walaupun redup.
Terus, suara gamelan dan nyanyian masih terus terdengar.
Sudah kepalang tanggung, gw harus mendorong pintu agar terbuka lebar sehingga bisa melihat ke dalam dengan jelas.
Perlahan gw mendorong pintu..
Lalu celahnya semakin lebar dan lebar..
Beberapa belas detik kemudian, pintu terbuka sepenuhnya, saat inilah gw dapat melihat semuanya.
Benar perkiraan gw, ruang gamelan gak sepenuhnya gelap, ada satu lampu menyala di ujung ruangan sebelah kanan. Masih redup, tapi gw bisa melihat hampir seluruh sudut ruangan.
*Musik gamelan dan nyanyian masih ada Brii?
Masih ada, malah lebih jelas kedengarannya.
Lalu gw melangkah lagi beberapa, sampai akhirnya berada tepat di pintu. Dari sini lebih bisa lagi gw melihat semua, semuanya..
Pintu berada di tengah, di sebelah kanan ada deratan kursi yang diperuntukkan bagi penonton untuk duduk menyaksikan pertunjukan di atas panggung.
Panggungnya di mana? Panggungnya berada di sebelah kiri, di depan deretan kursi tadi.
Panggung permanen yang gak terlalu tinggi, paling hanya setengah meter, tapi di atasnya punya cukup ruang menyediakan tempat bagi semua alat musik gamelan.
Benar, semua gamelan dari yang bentuknya kecil sampai yang besar letaknya di atas panggung itu.
Dari atas panggung itulah musik gamelan dan lantunan tembang Jawa yang gw dengar sejak tadi berasal.
Iya, gw melihat semuanya, dalam redupnya cahaya gw melihat semua instrumen gamelan bergerak-gerak dengan sendirinya, bergoyang-goyang layaknya ada yang memukul sampai menghasilkan bunyi, padahal sama sekali gak ada orang yang sedang mamainkannya.
Gw hanya diam terpaku melihat itu semua..
Gamelan berbunyi memainkan musik dengan sendirinya.
Lalu, dari tadi terdengar suara perempuan sedang menyanyi, siapa yang menyanyi?
Setelah gw benar-benar perhatikan, di ujung ruangan, di belakang deretan gamelan, berdiri dalam gelap seorang perempuang berkebaya lengkap dengan sanggulnya, perempuan inilah yang sedang melantunkan tembang jawa.
Sungguh pemandangan yang sangat menyeramkan.
Seketika itu juga gw seperti tersadar, lalu ketakutan menyeruak isi kepala.
Perlahan melangkah mundur, sambil terus diiringi lantunan gamelan tembang jawa..
Cepat-cepat melangkah menuju pintu keluar, ingin pergi lalu menjauh dari sini.
Lega, karena akhirnya sampai juga di luar lalu menuruni tangga menuju gerbang.
Tapi tiba-tiba..
“Brii..!”
Gw langsung menoleh ke asal suara.
Ternyata Pak Pur, dia berdiri di halaman sekolah dengan lampu senter di tangannya.
“Ngapain kamu malam-malam di sini?” Tanya Pak Pur.
“Saya, saya baru pulang dari rumah Doni Pak.” Jawab gw.
“Trus tadi liat ada orang masuk ke ruang guru,”
“Trus kamu denger suara gamelan?”
“Iya Pak.”
“Kan saya sudah bilang, jangan penasaran sama gamelan. Sudah sana kamu pulang, sudah malam.”
Gak lama-lama, akhirnya gw benar pulang, mengayuh sepeda cepat-cepat agar sampai di rumah.
***
Sekian cerita malam ini, semoga bisa mengobati kekangenan dari cerita #Briikecil ya.
Sampai jumpa dengan cerita-cerita gw berikutnya.
Tetap sehat, supaya bisa terus merinding bareng.
Met bobok, semoga mimpi indah.
Salam,
~Brii~
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Setiap benda pasti punya sejarah, apa lagi kalau sudah terbilang tua.
Sering kali kita gak tahu ada kisah apa di belakangnya.
Rei akan cerita tentang mobil tua yang dibeli oleh ayahnya, mobil yang sepertinya punya sejarah kelam.
Simak kisahnya di sini, di Briistory.
***
“Itu di depan mobil siapa Pa?”
“Hehe, bagus kan? Temen Papa di kantor jual murah banget. Ya udah Papa beli deh”
“Waaah, kenapa beli mobil tua sih, sering mogok loh nanti.”
“Enak aja kamu, mesinnya masih bagus itu, bodinya juga mulus kan, hehehe.”
Itu percakapan dengan Ayah ketika aku baru sampai rumah sepulang kuliah.
Percakapan yang dipicu oleh keherananku ketika melihat ada mobil asing terparkir di halaman. Mobil yang telihat umurnya sudah cukup tua, tapi bisa dibilang masih bagus penampilannya, bodi mulus mengkilat.
Terkadang, ada manusia yang seperti kehabisan akal, sampai harus menempuh jalan pintas penuh darah dan dosa. Bekerja sama dengan sesuatu yang seharusnya gak jadi tumpuan harap.
Malam ini teman kita Refty akan berbagi pengalaman seramnya.
Simak di sini, di BriiStory..
***
Aku Refty, umurku 27 tahun. Aku akan bercerita tentang peristiwa seram yang aku alami 7 tahun yang lalu, ketika itu umurku masih 20 tahun.
Begini ceritanya..
Waktu itu tahun 2013.
Ketika itu aku tinggal di Malang, di rumah Tante May. Tante May adalah adik Bapakku yang nomor empat dari tujuh bersaudara, beliau tinggal di Malang karena memang bersama suaminya punya usaha di kota apel itu.
Lingkungan kerja baru, pasti menyajikan cerita baru juga, apa lagi kalau sampai harus tinggal di tempat baru. Kita gak tahu ada sejarah apa di belakangnya.
Fadli, akan menceritakan kisah seram ketika tinggal di mess berhantu di Tasikmalaya.
Simak di sini, di Briistory..
***
“Ok Mas Fadli, sampai ketemu hari senin ya.”
“Ok ok. Eh tapi saya minggu sore udah ada di Tasik. Saya udah ada di mess minggu sore, insyaAllah.”
“Oh gitu. Tapi Mas, kalau minggu sore mess masih kosong, belum pada datang. Biasanya penghuni baru berdatangan senin pagi.”
“Ya gak apa-apa lah mas, biar santai. Kalau senin pagi saya harus berangkat malam dari Jakarta.”