Aku melihatnya, hampir di setiap malam. Duduk bersimpuh begitu anggun, dalam balutan kebaya cokelat dan jarik batik. Rambutnya lurus sepunggung tergerai indah, dengan selipan bunga kamboja di telinga sebelah kanan.
Ia tak melakukan apa-apa, hanya tersenyum berdiam diri di antara barang-barang antik kesayangan Kakek.
Asing, itulah yang kurasakan saat ini. Aku memandang ranjang besi yang tertutup kelambu ini bersama lamunanku. Aku gadis kota yang terpaksa harus tinggal di desa dengan segala
keheningannya.
Orang bilang tidur itu mudah, tinggal pejamkan mata saja. Tapi nyatanya bagiku ini sulit, ditambah lagi decitan suara bambu yang bergesekan dan gaungan suara binatang malam yang beradu. Seakan menjadi backsound kengerian suasana malam ini.
Ini sebuah kisah nyata, dari seorang Ibu paruh baya yang bertempat tinggal di daerah kota S. Sebut saja namanya Mbak Ibah.
***
Suara mesin jahit yang berisik, memenuhi ruang tamu Mbak Ibah, ia sedang sibuk menyelesaikan pekerjaannya membuat tali untuk sandal. Tatkala berisik mesin beradu dengan lantunan azan isya yang syahdu, Mbak Ibah segera menghentikan aktivitasnya.
Kuberanikan diri mengintip dari balik selimut, hanya mata yang menyembul ke luar menyusuri pandang menelisik keadaan ruangan kamar inap.
Tepatnya kira-kira setengah jam yang lalu, saat baru saja aku terlelap dalam mimpi. Kurasakan sentuhan kasar di ujung kaki, membuatku berjingkat terbangun. Mataku membelalak ketika menemukan sebuah tangan pucat meraih kakiku dengan rasa yang begitu dingin.
Tahun ketiga pernikahan, pertanyaan 'kapan hamil' terasa menjadi momok seram bagiku. Berbagai hal telah kulakukan untuk mendapatkan keturunan.
Mulai dari meminum jamu-jamuan herbal, kurma muda, meminum air tetesan embun yang ditampung di bawah genteng, hingga berbagai dokter dan bidan telah kudatangi untuk konsultasi.